BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39539/3/BAB II.pdf · Mutasi gen, yaitu...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39539/3/BAB II.pdf · Mutasi gen, yaitu...
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Wajah
Embriologi wajah diawali dengan perkembangan kepala dan leher. Pada
saat kepala mulai terbentuk, embrio terdiri dari tiga lapisan jaringan, yaitu
ektoderm, mesoderm, dan endoderm (Greene & Copp, 2009). Perkembangan
kepala dan leher memiliki gambaran khas yang terletak pada lengkungan faring
atau disebut dengan lengkungan brankialis. Lengkungan tersebut berkembang
pada minggu ke-4 dan ke-5. Lengkungan faring berperan dalam proses
pembentukan kepala tetapi tidak ikut berperan dalam membentuk leher. Pada
akhir minggu ke-4, lengkungan faring mengelilingi bagian pusat wajah yang
terbentuk dari stomodeum. Ketiga mudigah yang berumur 32 hari atau 4½
minggu, terdapat lima lengkung faring yaitu (Sadler, 2015):
a. Lengkung faring pertama (tonjolan-tonjolan mandibula), disebelah
kaudal stomodeum.
b. Lengkung faring kedua (tonjolan-tonjolan maksila), terletak disebelah
lateral stomodeum.
c. Lengkung faring ketiga (tonjolan-tonjolan frontonasal), suatu tonjolan
yang berbentuk bulat disebelah kaudal stomodeum.
d. Lengkung faring keempat dan kelima yang unsur rawannya bersatu
membentuk tulang rawan thyroides, cricoidea, corniculata, dan
cuneiforme dari laring.
6
(Sadler, 2015)
Gambar 2.1
Tampilan Depan Embrio yang Berusia 24 Hari. Stomodeum, yang Ditutup
Sementara Oleh Membran Orofaring, Dikelilingi Oleh Lima Prominensia
Mesenkim
Penonjolan yang berada diatas stomodeum disebut ‘frontonasal
processes’, memberikan kontribusi terhadap perkembangan hidung dan juga bibir
atas. Dua buah mandibular processes berada di bagian bawah dan lateral
stomodeum yang berkontribusi pada perkembangan rahang bawah serta bibir.
Maxillary processes berada di atas mandibular processes yang berkontribusi
dalam perkembangan rahang atas dan bibir (Albery, et al., 1986).
Pada minggu ke-5, tumbuh dua penonjolan yaitu lateral processes
(maxillary swelling) dan frontonasal processes (median nasal swelling). Selama 2
minggu selanjutnya maxillary processes akan terus berkembang semakin ke
medial dan menekan frontonasal processes kearah midline. Penyatuan kedua
penonjolan ini akan membentuk bibir. Dari maxillary processes akan tumbuh 2
shelfike yang disebut palatina shelves yang akan terbentuk palatum primer,
sekunder dan foramen incisivus pada minggu ke-7 (Hupp, et al., 2008).
7
(Sadler, 2015)
Gambar 2.2
Embrio Minggu Kelima dan Keenam. Tonjolan Hidung yang Berangsur-
angsur Terpisah dari Tonjolan Maksila Oleh Alur yang Dalam.
Seperti yang terlihat pada gambar 2.2 terdepat tonjolan maksila yang akan
terus bertambah besar ukurannya dan juga akan tumbuh ke arah medial, sehingga
mendesak tonjolan hidung ke medial ke arah garis tengah pada dua minggu
selanjutnya. Tonjolan hidung medial dan tonjolan maksila akan menghilang
dikarenakan dua tonjolan tersebut bersatu (Sadler, 2015)
Bibir atas dibentuk oleh tonjolan hidung medial dan kedua tonjolan
maksila sedangkan tonjolan hidung lateral tidak ikut dalam proses pembentukan
tersebut. Bibir bawah dan rahang bawah dibentuk oleh tonjolan mandibula yang
menyatu digaris tengah (Sadler, 2015).
Tonjolan maksila dan tonjolan hidung lateral dipisahkan oleh sebuah alur
yang dalam yang disebut dengan alur nasolacrimal. Ektoderm yang terdapat di
alur ini membentuk sebuah tali epitel padat yang melepaskan diri dari ektoderm di
bawahnya. Tali tersebutlah yang membentuk duktus nasolacrimalis yang bagian
ujung atasnya akan membentuk sacus lacrimalis setelah terjadinya kanalisasi.
Tonjolan maksila dan tonjolan hidung lateral akan menyatu setelah tali tersebut
8
lepas. Kemudian duktus lacrimalis akan berjalan ditepi medial ke meatus inferior
rongga hidung (Sadler, 2015).
(Ahmed, et al., 2017)
Gambar 2.3
Aspek frontal wajah. Embrio yang berusia tujuh minggu. Tonjolan maksila telah
bersatu dengan tonjolan medial
Tulang pipi merupakan artikulasi dari tulang zigomatikus dan prosesus
zigomatikus dari tulang temporal. Pusat penulangan berasal dari membran lateral
dan mengikuti perkembangan dari mata pada akhir bulan kedua. Bentuk wajah
orang dewasa dipengaruhi oleh perkembangan sinus paranasale, conchae nasales
dan gigi-geligi (Sadler, 2015).
2.2 Anatomi Normal Labia Oris
Bibir atau biasa disebut dengan labia, ialah lekukan jarigan lunak yang
mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir memiliki beberapa komponen
dasar, yaitu kulit, jaringan sub kutan mukosa, vermilion, dan musculus.
Komponen-komponen tersebut memiliki fungsi masing-masing dan saat
dilakukan rencana rekonstruksi komponen tersebut harus diperhatikan (Thorne,
2015).
9
(Luthra, 2015)
Gambar 2.4
Anatomi Bibir
Secara anatomi, bibir terdiri atas dua bagian antara lain bibir bagian atas
dan bagian bawah. Dasar dari hidung pada bagian superior sampai lipatan
nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian
inferior disebut sebagai bagian bibir atas. Sedangkan bibir bagian bawah adalah
bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke
bagian mandibula pada bagian inferior. Tidak hanya bagian atas dan bawah bibir
juga terdiri dari bagian luar dan dalam. Bagian luar bibir terdiri dari philtral
column dan cupid’s bow. Terdapat dua philtral column yang terbentuk dari m.
Orbicularis. Cupid’s bow memiliki dua puncak dan membentuk suatu titik rendah
yang disebut dengan cupid’s bow bagian dalam (Thorne, 2015). Bagian dalam
bibir dilapisi oleh mukosa yang berwarna merah dan basah, yang merupakan
lapisan epitel non-keratinin yang kaya akan kelenjar saliva minor. Sedangkan
vermilion memiliki warna merah kusam dan kering (Thorne, 2015).
Bibir mempunyai kulit yang merupakan bagian khas dari kulit wajah.
Kulit bibir memiliki ketebalan yang cukup untuk kulit wajah dan kaya akan
10
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Bagian terdalam kulit terdapat lemak
subkutan yang berpengaruh pada tebal tipisnya suatu bibir (Thorne, 2015).
Otot-otot yang tergabung adalah m. orbicularis oris, m. levator labii
superioris, m.depressor septum nasi. M. Orbicularis oris merupakan serat yang
melintang di garis tengah yang terbentuk di seberang philtrum dan berfungsi
sebagai spingter (serat dalam) dan untuk bicara (serat luar). M. levator labii
superior masuk di dalam dermis pada vermilion border dan pada tepi bawah
philtrum yang berfungsi elevasi bibir atas (Brown , et al., 2014).
Daerah bibir divaskularisasi oleh a. Labialis bilateral dan diinervasi oleh
nervus lima yaitu n. Trigeminal untuk sensorisnya. Sedangkan untuk motorisnya
Adiinervasi oleh nervus tujuh yaitu n. Facialis dan percabangan zygomaticus
(Brown , et al., 2014)
2.3 Anatomi Normal Palatum
Palatum terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu hard palate dan soft
palate. Hard palate sendiri terbagi menjadi tiga bagian antara lain ialah primer,
sekunder, foramen incisivus, premaksila. Hard palate primer adalah bagian
anterior yang terbentuk dari proses penyatuan palatina maksila. Hard palate
sekunder bagian posterior yang terbentuk dari proses penyatuan tulang-tulang
palatina horizontal bilateral. Bagian yang memisahkan hard palate primer dan
sekunder ialah foramen incisivus. Pada foramen incisivus juga dilewati oleh arteri
spenopalatina dan nervus nasopalatina (Brown, et al., 2014).
11
(Moore, et al., 2014)
Gambar 2.5
Anatomi Normal Palatum Dengan Semua Jaringan Lunak Diangkat
(Moore, et al., 2014)
Gambar 2.6
Anatomi Palatum Bagian Anterior yang Keras Jaringan Lunak Diangkat
Soft palatum (velum) berisi otot-otot yang melibatkan penutupan
velofaringeal, diantaranya adalah m. levator veli palatini, tendon tensor veli
palatini, m. palatofaringeus, m. palatoglossus, dan uvula.
12
(Moore, et al., 2014)
Gambar 2.7 Muskulus Langit-Langit Lunak (Soft Palate)
2.4 Sumbing Bibir dan Langit-langit
Sumbing bibir dan langit-angit (SBL) merupakan kelainan yang sering
terjadi pada congenital deformity setelah clubfoot deformity (Pujiastuti & S,
2008). Kelainan ini terjadi sejak minggu-minggu awal kehamilan. Pada minggu
ke enam kehamilan, bibir atas dan langit-langit rongga mulut bayi dalam
kandungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang berada di kedua sisi dari lidah
dan akan bersatu ditengah-tengah. Bila jaringan-jaringan tersebut dalam
penyatuannya terjadi kegagalan, maka akan terbentuk celah pada bibir atas atau
langit-langit rongga mulut (Brown, et al., 2014).
Epidemiologi dari celah bibir dan langitan lebih banyak dua kali terjadinya
pada anak laki-laki, sedangkan celah langitan dua kali lebih banyak terjadi pada
wanita. Celah bibir dengan atau tanpa celah langitan pada umumnya banyak
terjadi pada ras asli amerika, oriental, Caucasians dan sedikit terjadi pada ras
afrika, sebaliknya celah langitan terjadi konstan pada semua ras. Kombinasi
13
terjadinya celah bibir dan langitan adalah 30 %, isolated celah 20 % dan celah
bibir dan alveolus 5 % (Pujiastuti & S, 2008).
2.4.1 Faktor Resiko SBL
Penyebab pasti terjadinya sumbing bibir dan langit-langit masih belum
diketahui sepenuhnya, banyak ahli berpendapat terdapat banyak faktor, baik faktor
endogen maupun eksogen, berkontribusi dalam terjadinya kelainan ini. Seorang
ahli bernama Fraser memiliki pendapat faktor endogennya ada dua yaitu:
a. Mutasi gen
Mutasi gen, yaitu berhubungan dengan beberapa macam sindrom atau
gejala yang dapat diturunkan oleh hukum Mendel dimana sumbing bibir dan
langit-langit sebagai komponennya.
b. Aberasi kromosom
Aberasi kromosom yaitu apabila sumbing bibir terjadi sebagai gambaran
klinis dari beberapa sindrom yang dihasilkan dari aberasi kromosom.
Sedangkan untuk faktor eksogennya antara lain (Tobing, 2017):
a. Asap rokok
Bahaya merokok selama kehamilan telah lama diketahui, berbagai jurnal
telah mendukung efek teratogenik rokok terhadap fetus, salah satunya kelainan
SBL (Xuan, et al., 2016). Gunnerbeck, dkk, meneliti hubungan kejadian SBL
dengan terminasi aktivitas merokok, dan menemukan adanya penurunan angka
kejadian
14
SBL bila ibu hamil berhenti merokok pada antenatal care pertama. Namun resiko
pada perokok pasif belum ditelusuri lebih lanjut (Gunnerbeck, et al., 2014). .
b. Minuman Alkohol
Penelitian yang dilakukan Molina-Solana menyatakan alkohol sebagai
faktor resiko utama kedua teratas setelah rokok yang menyebabkan SBL (Molina-
Solana, et al., 2013). Namun, sebuah metaanalisis pada tahun 2014 tidak
menemukan asosiasi antara konsumsi alkohol dan SBL, yang diduga disebabkan
oleh desain studi (Bell, et al., 2014). DeRoo juga tidak menyatakan adanya resiko
SBL pada ibu hamil yang minum alkohol pada ‘binge level’ (konsentrasi alkohol
darah mencapai 0,09 g/dL), atau ± 5 gelas. Namun, studi ini menyatakan bahwa
konsumsi alkohol yang berulang dan konstan selama trimester pertama kehamilan
meningkatkan resiko SBL (DeRoo, et al., 2016).
c. Obat-obatan
Telah banyak penelitian mengenai hubungan obat antikonvulsan sebagai
resiko SBL seperti diazepam, fenobarbital serta fenitoin, yang dinyatakan paling
berpotensi mengakibatkan kelainan ini (Oginni & Adenekan, 2012).
Penggunaan kortikosteroid oral telah lama dinyatakan berhubungan kuat
dengan kejadian SBL, dan didukung oleh beberapa studi pada 10 tahun terakhir,
namun tidak ada penelitian yang menyatakan asosiasi signifikan penggunaan
kortikosteroid topikal non-sistemik pada trimester pertama kehamilan (Murphy, et
al., 2013).
15
Pada penggunaan obat anti-asma bronkodilator selama kehamilan,
albuterol dikatakan berpotensi mengakibatkan kelainan SBL (Munsie, et al.,
2011). Di sisi lain, Murphy dkk, tidak menyatakan ada hubungan antara
penggunaan bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi dengan malformasi
kongenital, namun ibu hamil penderita asma memiliki resiko lebih tinggi untuk
mendapatkan keturunan dengan SBL (Murphy, et al., 2013).
d. Vitamin
Defisiensi vitamin B-6 secara signifikan berhubungan terhadap kejadian
SBL di beberapa area di Filipina (Munger, et al., 2004), pengukuran kadar
erythrocyte aspartate aminotransferase activity coefficient (EAST-AC) dan
plasma pyridoxal- 5’-phosphate (PLP) baik untuk menilai status vitamin B-6
dalam darah serta hubungannya dengan SBL (Tamura, et al., 2007). Selain itu,
ditemukan adanya peningkatan resiko kejadian SBL di California, Amerika
Serikat, pada pasien dengan konsumsi rendah riboflacin, niacin, vitamin B-12, dan
kalsium (Wallenstein, et al., 2013).
Konsumsi asam folat harian 400 μg tanpa vitamin lain selama kehamilan
dimulai sebelum periode menstruasi terakhir ibu dinyatakan dapat mengurangi
angka kejadian SBL, namun studi lain menyatakan bahwa konsumsi folat tanpa
multivitamin lain tidak mempengaruhi secara signifikan kejadian SBL (Li, et al.,
2012)
e. Keseimbangan Diet
Sebuah studi kasus kontrol di Amerika meneliti hubungan SBL dengan
nutrisi maternal, dengan menyertakan analisis pola diet ibu hamil selama
16
kehamilan. Western diet (diet ala barat) dengan menu tinggi karbohidrat (daging,
pizza, kentang) dan rendah buah dikatakan dapat meningkatkan risiko SBL
hampir dua kali lipat (Vujkovic, et al., 2007).
Salah satu penelitian juga menduga pengaruh konsumsi minuman
cola selama kehamilan dengan terjadinya SBL, namun belum ada penelitian lebih
jauh, oleh sebab itu belum ada rekomendasi pasti menu diet untuk mencegah SBL
(Bille, et al., 2007).
f. Stres
Sebuah studi menyatakan bahwa kondisi stres emosional selama
kehamilan adalah potensi kuat untuk terjadinya SBL, stress karena kehilangan
orang dekat (Ingstrup, et al., 2013). Tidak hanya dengan SBL, stres selama
kehamilan terhadap gangguan pembentukan organ lain, seperti jantung dan
pembuluh darah (Carmichael, et al., 2007). Malformasi kongenital juga
berhubungan dengan stress pada kehamilan yang tidak diinginkan (Blomberg ,
1980).
2.4.2 Klasifikasi SBL
Klasifikasi sumbing bibir dan langit-langit dibagi menjadi berdasarkan
tingkat dan lokasi. Dibawah ini akan dijelaskan klasifikasinya (Allori, et al.,
2017):
a. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Complete
Kerusakan jaringan lunak dan dasar hidung lengkap, cenderung lebih luas
dan lebih besar.
Incomplete
17
Kerusakan jaringan lunak dengan derajat yang bervariasi. Alveolus
biasanya utuh dengan kecenderungan premaksila menonjol. Kemungkinan
susah dideteksi. Inkomplit bila di bagian kranial dari celah tersebut masih
terdapat kulit dan mukosa, tetapi tanpa lapisan otot dan jaringan
mesodermal lain.
b. Berdasarkan Lokasi
Unilateral
Bilateral
Sumbing bibir bisa terjadi disisi kanan atau kiri dengan atau tanpa
keterlibatan alveolus. Dapat minimal, hanya menyebabkan cekungan kecil pada
bibir atau lebih ekstensif dengan melibatkan bibir dan alveolus seperti gambar 2.8
(Allori, et al., 2017).
(Wang, et al., 2014)
Gambar 2.8
Klasifikasi SB
Sumbing langit-langit saja yaitu jika mengenai bagian palatum saja, baik
palatum lunak maupun palatum keras. Sumbing bibir dan langitan satu sisi dapat
terjadi di sisi kanan atau kiri premaksila, melewati foramen insisivum, palatum
18
keras dan lunak. Sedangkan SBL dua sisi yaitu bila sumbing melewati kedua sisi
premaksila, foramen palatum keras dan palatum lunak (Allori, et al., 2017).
(Chacon & Furchtgott, 2010)
Gambar 2.9
Klasifikasi SL
2.4.3 Klasifikasi Otto Kreins
Sistem LAHSAL diciptakan oleh Otto Kreins, dengan menggunakan
sistem kode lokasi sumbing. Cara menuliskan lokasi sumbing bibir dan langit-
langit adalah sistem LAHSHAL yang sangat sederhana dan dapat menjelaskan
setiap lokasi sumbing pada bibir, alveolar, hard palate dan soft palate serta
kelainan komplit, inkomplit, microform, unilateral atau bilateral. Dengan
keterangan sebagai berikut (Hartel, et al., 1991):
L (lips) : Bibir
A (alveolus) : Gusi
H (hard palate) : Palatum durum
19
S (soft palate) : Palatum mole
Bila normal (tidak ada celah) maka urutannya dicoret, celah komplit (lengkap)
dengan huruf besar, celah inkomplit (tidak lengkap) dengan huruf kecil dan huruf
kecil dalam kurung untuk kelainan microform (Hartel, et al., 1991).
Contoh:
CLP/L—L
Cleft lip and palate. Lokasi sumbing berada di bibir kanan dan kiri, sumbing
komplit.
CLP/--SHAL
Cleft lip and palate dengan lokasi sumbing komplit pada soft palate, hard palate,
alveolus dan bibir bagian kiri.
CLP/l----
Cleft lip and palate lokasi sebelah kanan inkomplit (Hartel, et al., 1991).
(Serrano P, et al., 2009)
Gambar 2.10
Klasifikasi SBL dengan Kode LAHSHAL
20
2.4.4 Penatalaksanaan SBL
Penatalaksanaan tergantung pada kecacatan. Prioritas pertama antara lain
pada tekhnik pemberian nutrisi yang adekuat untuk mencegah komplikasi,
fasilitas pertumbuhan dan perkembangan. Dalam penatalaksanaan ini berfokus
pada:
1. Medis Pre Operasi
Tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah:
a. Ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi
b. Asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang
dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of
ten
Selain itu, perlu juga memperhatikan hal berikut:
Bebas dari infeksi pernapasan sekurang-kurangnya lebih dari dua minggu
Tanpa infeksi kulit pada waktu operasi
Dari hasil pemeriksaan darah leukosit <10.000/µL dan hematokrit
sejumlah 35%
Hal ini bertujuan untuk meminimalkan resiko anastesi, anak lebih
dapat menahan stress akibat operasi, memaksimalkan status nutrisi dan
penyembuhan serta elemen bibir lebih besar sehingga memungkinkan
rekonstruksi yang lebih teliti dan ukuran alat yang sesuai (Cobourne & DiBiase,
2015).
Selain rule of tens, sebaiknya jika bayi belum mencapai rule of tens
beberapa nasehat harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi
21
yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot
khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan
jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak
atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot
dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan
bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk
menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah (Cobourne &
DiBiase, 2015).
2. Medis Operasi
Pada tahap ini yang diperhatikan adalah tentang kesiapan tubuh si bayi
menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli
bedah. Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan.
Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan
sehingga jika koreksi pada bibir lebih usia tersebut maka pengucapan huruf bibir
sudah terlanjur salah sehingga dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap
menjadi kurang sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada
usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak
masuk sekolah. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan
tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat
bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah
ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi
juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi
untuk gusi dilakukan pada saat usia 8 – 9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi
ahli ortodonsi operasi, dengan beberapa tahap, sebagai berikut (Thorne, 2015):
22
Tabel 2.1 Protokol Tatalaksana Berdasarkan Usia
Usia Tindakan
0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala
miring (posisi 45°)
1-2 minggu Pasang obturator untuk menutup
sumbing langit, agar dapat menghisap
susu atau memakai dot lubang kearah
bawah untuk mencegah aspirasi (dot
khusus).
10 minggu Labioplasty dengan memenuhi Rules
of Ten:
Umur 10 minggu
Berat 10 pons
Hb>10gr%
1,5-2 tahun Palatoplasty karena bayi mulai bicara
2-4 tahun Speech therapy
4-6 tahun Velopharyngoplasty untuk
mengembalikan fungsi katup yang
dibentuk m.tensor veli palatini &
m.levator veli palatini, untuk bicara
konsonan, latihan dengan cara meniup.
6-8 tahun Ortodonsi (pengaturan lengkung gigi)
8-9 tahun Alveolar bone grafting
9-17 tahun Ortodonsi ulang
17-18 tahun Cek kesimetrisan mandibula dan
maksila
(Thorne, 2015)
3. Medis Post Operasi
Tahapan setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap jenis
operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan
instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas
23
operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk
memberikan minum bayi (Cobourne & DiBiase, 2015).
Untuk mengetahui keberhasilan operasi maka perlu dilakukan evaluasi
pasca operasi labioplasty atau palatoplasty yaitu dengan pemeriksaan subyektif
melalui wawancara yang meliputi : 1) keluhan dari segi bicara, 2) keluhan dari
segi fungsi makan dan minum, 3) perubahan perilaku setelah dilakukan operasi.
Kemudian dilakukan pemeriksaan obyektif meliputi : 1) berhasil tidaknya operasi
dengan melihat kondisi klinis pada luka operasi terjadi penutupan sempurna atau
tidak, 2) ada tidaknya fistula, 3) penyambungan bibir atau palatum (Arun &
Randall, 2007).
2.5 Sumbing Bibir
2.5.1 Embriologi
Unilateral cleft lip terjadi karena kegagalan fusi prominensia nasalis
medialis dan prominensia maksilaris satu sisi. Bilateral cleft lip merupakan hasil
dari kegagalan fusi terhadap penggabungan prominensia nasalis medialis dengan
prominensia maksilaris ke dua sisi lateral. Sehingga prominensia nasalis medialis
sering menonjol akibat tidak ditahan oleh prominensia nasalis maksilaris bagian
lateral. Penderita ini akan manifes sebagai CL bilateral komplit dengan proyeksi
berlebihan premaksila dan prolabium ke anterior. Pada bagian lateral, prominensia
maksilaris dan mandibularis yang merupakan satu kesatuan gagal bergabung,
maka terbentuklah lateral cleft. Cleft facial lain yang jarang adalah cleft lip
median, hal ini disebabkan kegagalan penggabungan prominensia nasalis medialis
yang tidak sempurna di garis tengah (Thorne, 2015).
24
2.5.2 Anatomi
Pada pasien CL terjadi beberapa perubahan anatomi, yaitu terjadi
perubahan pada orbicularis oris, levator labii, dan nasalis terhadap kualitas
ototnya, panjang bibir vertikal berkurang, gangguan cupid bow, pada complete
cleft lip terjadi dasar alveolus dan cuping hidung terbuka, premaksila berputar dan
menojol. Selain itu juga terdapat kelainan CL nasal seperti hipoplasti, kartilago
lateral atas dan bawah saling tumpang tindih, hipoplasi maksila, septum caudal
tertari ke arah yang tidak cleft, ratanya tulang hidung, columella pendek terutama
pada kasus bilateral (Brown , et al., 2014).
Deformitas CL dibagi menjadi unilateral atau bilateral, kemudian dibagi
menjadi komplit, inkomplit atau mikroform. Lebar sumbing berperan dalam
perencanaan operasi, karena berpengaruh langsung terhadap deformitas nasal
dikategorikan dalam ringan, sedang dan berat. Deformitas nasal ringan ditandai
dengan pergeseran dasar alae ke lateral namun kontur ale normal, pemendekan
kolumela minimal dan proyeksi dome normal. Deformitas nasal sedang ditandai
dengan pergeseran dasar alae ke lateral posterior, defisiensi kolumela dan dome
yang rendah. Deformitas nasal berat ditandai dengan proyeksi dome alae sangat
rendah dengan kartilago lateral bawah ambruk dan defisiensi berat ketinggian
kolumela. Hal ini berakibat kurvatura rima alae yang terbalik (Brown , et al.,
2014).
2.6 Sumbing Langit-langit
2.6.1 Embriologi
Awal terjadinya sumbing langit-langit karena kegagalan fusi mesenkim
yang berasal dari prominensia nasalis medialis (seperti dari prosesus palatinus
25
medianus atau nasal septum) atau dari prominensia maksilaris (seperti prosesus
palatinus lateral) untuk saling bertemu dan bergabung (Thorne, 2015).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kegagalan fusi mesenkim pada
prosesus palatinus lateral dengan prosesus palatinus medial merupakan gambaran
sumbing langit-langit primer yang terjadi pada bagian anterior dari foramen
incisivus. Sumbing langit-langit sekunder yang terjadi pada bagian posterior dari
foramen incisivus, merupakan kegagalan fusi mesenkim antara prosesus palatinus
lateral dengan septum nasal. Sumbing langit-langit primer bisa complete atau
incomplete, begitupun untuk sumbing langit-langit sekunder. Complete atau
incompletenya tergantung dari derajat fusi yang terjadi saat perkembangan embrio
(Thorne, 2015).
2.6.2 Anatomi
2.6.2.1 Sumbing Langit-langit Primer
Langit-langit (palatum) primer terdiri mulai dari bibir, pintu lubang
hidung, alveolus dan palatum primer. Dikatakan sebagai sumbing langit-langit
primer bisa saja hanya bibir lalu meluas ke bagian alveolus atau bisa juga meluas
hingga ke palatum primernya (Brown, et al., 2014).
2.6.2.2 Sumbing Langit-langit Sekunder
a. Tingkat variabel CP
Uvula bifida, trias SL sub mukosa (uvula bivida bentukan hard palate,
zona pellucida), celah velum (bagian belakang langit-langit), dan celah seluruh
langit-langit sekunder (Brown, et al., 2014).
b. Kelainan Penempatan tensor veli palatini
26
Keadaan normalnya m. tensor veli palatini bilateral transversal berasal dari
belakang velum tetapi dengan adanya celah, membuat muskulus tersebut berjalan
kedepan dan masuk ke tepi belakang dari hard palate, seperti yang tampak pada
gambar 2.11 (Schaffner, 2015).
(Schaffner, 2015)
Gambar 2.11
Anatomi Sumbing Langit-langit