Pengenalan Konsep Penilaian Jalan Dalam Mengukur Kinerja Keselamatan Jalan Ruas-Ruas Jalan Nas
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem - repository.ipb.ac.id · oleh Dinas Lalulintas Angkutan Jalan...
-
Upload
nguyenphuc -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem - repository.ipb.ac.id · oleh Dinas Lalulintas Angkutan Jalan...
2.1
per
Sec
mik
sist
sist
pad
me
per
sist
per
me
dar
per
aga
pas
. Sistem
Untuk
rmasalahan
cara makro
kro yang sa
tem jaringa
tem kelemb
da Gambar
Gamba
Interaks
nghasilkan
rgerakan ken
tem jaringa
rgerakan. B
mpengaruh
ri sistem pe
ranan yang
ar tercipta s
sti akan me
Transporta
mendapatk
transporta
sistem tra
aling terkait
an prasaran
bagaan. Hu
2.
r 2. Sistem T
si antara
suatu pe
ndaraan. Pe
n melalui su
Begitu juga
i sistem keg
ergerakan t
penting da
suatu sistem
empengaruh
B
TINJAUA
asi
kan penge
asi perlu dil
ansportasi te
t dan saling
na transpor
ubungan sis
Transportasi
sistem k
rgerakan m
erubahan pa
uatu peruba
a perubaha
giatan mela
tersebut. S
alam meng
m pergeraka
hi kembali s
BAB 2
AN PUSTAK
ertian yang
akukan sua
erdiri atas
g mempeng
rtasi, sistem
stem transp
i Makro (Tam
kegiatan d
manusia da
ada sistem
ahan pada t
an pada s
iui peningka
elain itu, s
gkombinasik
an yang lan
sistem kegia
KA
g lebih m
atu pendeka
beberapa s
garuhi, yaitu
m pergerak
portasi ters
min, 1997)
dan sistem
n/atau bara
kegiatan ak
tingkat pelay
sistem jarin
atan mobilita
sistem perg
kan suatu s
car, yang p
atan dan sis
mendalam t
atan secara
sistem trans
u sistem ke
kan lalulinta
sebut dapat
m jaringan
ang dalam
kan mempe
yanan pada
ngan akan
as dan akse
erakan mem
sistem perg
pada akhirn
stem jaringa
12
tentang
sistem.
sportasi
egiatan,
as, dan
t dilihat
akan
bentuk
ngaruhi
a sistem
dapat
esibilitas
megang
gerakan
ya juga
an yang
13
ada. Keempat sistem mikro ini saling berinteraksi satu dengan yang lain yang
terkait dalam suatu sistem transportasi makro.
Untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman,
nyaman, lancar, murah, dan sesuai dengan lingkungannya, terdapat sistem
kelembagaan yang terdiri atas beberapa individu, kelompok, lembaga, instansi
pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro
tersebut. Di Indonesia sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan
masalah transportasi adalah Bappenas, Bappeda, Pemda, dan Bangda, yang
memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan sistem kegiatan
melalui kebijakan, baik wilayah, regional, maupun sektoral. Sedangkan
kebijakan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian
Perhubungan, baik darat, laut, maupun udara, serta Kementerian Pekerjaan
Umum, melalui Direktorat Jenderal Bina Marga. Sistem pergerakan ditentukan
oleh Dinas Lalulintas Angkutan Jalan (DLLAJ), Kementerian Perhubungan,
Polantas, dan masyarakat sebagai pemakai jalan.
Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui
suatu peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan adanya suatu
sistem penegakan hukum yang baik pula. Secara umum dapat disebutkan bahwa
pemerintah, swasta dan masyarakat seluruhnya dapat berperan dalam
mengatasi masalah dalam sistem transportasi ini terutama dalam hal mengatasi
masalah kemacetan. Keterkaitan antara kebijaksanaan Sistem Kegiatan dan
Sistem Jaringan pada berbagai tingkat dapat digambarkan pada Gambar 3. RTRWN sebagai pedoman perumusan kebijakan pokok pemanfaatan
ruang di wilayah nasional menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional
harus mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan
antara wilayah serta keserasian antara sektor. RTRWN ini diharapkan menjadi
payung dan acuan bagi setiap provinsi dalam skala yang lebih kecil, yang
dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Selanjutnya
RTRWP menjadi acuan bagi rencana tata ruang yang lebih kecil, yaitu skala
kabupaten atau kota (RTRWK), untuk menjadi acuan rencana tata ruang
kabupaten atau kota tersebut.
14
Gambar 3. Keterkaitan Kebijakan Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan
Transportasi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan
perpindahan manusia dan atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Karena itu jasa transportasi berhubungan dengan penyediaan jaringan jalan
yang dapat melayani pergerakan, penyediaan ruangan dan lokasi tempat
pemberhentian untuk bongkar muat barang ataupun penumpang, pengaturan
kegiatan, konsumsi, dan produksi, serta perencanaan pengembangan
selanjutnya.
Persoalan transportasi melibatkan banyak faktor, termasuk faktor-faktor
manusia, sarana dan prasarana, administrasi, serta faktor-faktor lain yang
berkaitan dengan kondisi dan situasi wilayah perdesaan maupun wilayah
perkotaan. Transportasi juga memberikan nilai yang lebih besar daripada nilai
biaya yang dikeluarkan. Nilai-nilai yang diberikan, antara lain, adalah nilai waktu,
nilai sosial, nilai ekonomi, dan nilai kualitas.
Transportasi sangat berperan dalam kehidupan manusia. Peranan
transportasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalam bidang ekonomi; tanpa adanya transportasi semua kegiatan yang
ada dalam kegiatan ekonomi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
2. Dalam bidang sosial; sangat penting bagi suatu negara yang sedang
berkembang, yang sebagian penduduknya mempunyai tingkat
perekonomian menengah atau lebih rendah sehingga transportasi berperan
penting di bidang sosial.
3. Dalam bidang politik; transportasi memainkan peranan penting di bidang
politik, sehingga banyak pemilihan bentuk suatu sistem transportasi
RTRW NASIONAL
RTRW KAWASAN
RTRW KABUPATEN/KOTA
RTRW PROVINSI
Sistem Transportasi Nasional
Sistem Transportasi Kawasan
Sistem Transportasi Lokal
Sistem Transportasi Regional Provinsi
15
dibuat dengan mempertimbangkan konsekuensi politik yang mungkin
muncul.
4. Dalam bidang lingkungan; dalam beberapa tahun belakangan semakin
terbukti bahwa banyak kegiatan produktif manusia mempunyai pengaruh
terhadap lingkungan alamiah. Pengaruh ini harus dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan kegiatan tersebut secara keseluruhan. Salah satu
kegiatan tersebut adalah aktivitas transportasi. Oleh karena itu peranan
kegiatan transportasi dalam bidang lingkungan sangat penting, sehingga
setiap kegiatan transportasi harus mempertimbangkan lingkungan yang
ada.
Kegiatan transportasi terjadi karena apa yang diperlukan oleh manusia
tidak terdapat di tempat manusia tersebut berada. Dilihat dari segi produksi dan
perdagangan, keperluan akan transportasi dipengaruhi oleh kegiatan yang
terjadi di sektor produksi, perdagangan, serta jasa ekonomi lainnya.
Transportasi orang dan barang biasanya tidak dilakukan hanya untuk
satu keinginan saja, tetapi juga untuk mencapai tujuan lainnya. Oleh karena itu
kebutuhan akan transportasi disebut sebagai permintaan yang diturunkan
(derived demand), yang datang dari satu komoditi atau pelayanan. Pada
dasarnya transportasi diturunkan dari hal-hal sebagai berikut:
1. Kebutuhan seseorang untuk berjalan dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk
melakukan suatu kegiatan, misalnya belanja, sekolah, bekerja, dan Iain-lain.
2. Kebutuhan untuk mengangkut barang tertentu sehingga barang tadi tersedia
pada tempat-tempat lokasi barang-barang tersebut dapat digunakan oleh
manusia.
Sistem Pengembangan Transportasi untuk setiap model transportasi
tertentu mempunyai komponen-komponen kendaraan, jaringan jalan, terminal,
dan rencana operasi. Di antara komponen-komponen tersebut tercipta suatu
hubungan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain sehingga
mempunyai kemampuan untuk memindahkan, mengendalikan pergerakan, dan
kemampuan untuk melindungi objek.
Dengan adanya suatu hubungan yang saling berkaitan tersebut maka
terbentuk suatu sistem transportasi, karena adanya kebutuhan manusia untuk
memakai jasa transportasi. Secara sederhana sistem transportasi dapat
ditunjukkan pada Gambar 4.
16
Komponen-komponen sistem transportasi akan saling berkaitan atau
saling berhubungan. Dengan demikian sistem tersebut dapat melakukan proses
guna menghasilkan jasa transportasi. Secara sederhana hubungan-hubungan
tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Dalam Sistem Transportasi
Gambar 5. Komponen-Komponen Sistem Transportasi
2.2. Jalan Tol di Indonesia
Terdapat sejumlah konsep umum yang harus dipahami terlebih dahulu
dalam mengembangkan jaringan jalan tol di Indonesia. Secara khusus konsep
tersebut terkait dengan konsep jaringan jalan tol yang akan dikembangkan dan
konsep pengusahaan jalan tol.
Hal ini akan terkait dengan peraturan perundangan yang berlaku, konsep
jaringan jalan perkotaan, dan mekanisme pengusahaan jalan tol itu sendiri. Pada
bagian berikut akan diuraikan beberapa hal yang terkait.
17
2.2.1. Peraturan Perundangan Jalan Tol Saat ini peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang jalan
dan jalan tol adalah UU No. 38 Tahun 2004, tentang Jalan, dan PP No. 15 Tahun
2005, tentang Jalan Tol. Pada pasal 1 UU No. 38 Tahun 2004 dan PP No. 15
tahun 2005 disampaikan bahwa jalan tol adalah jalan umum yang merupakan
bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya
diwajibkan membayar tol. Sedangkan yang dimaksud dengan tol adalah
sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk pemakaian jalan tol. Rencana
umum jaringan jalan tol ditetapkan oleh Pemerintah dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari rencana umum jaringan jalan nasional.
Lebih lanjut, mengenai penyelenggaraan jalan tol, dalam UU No. 38
Tahun 2004 disampaikan pada Bab V bagian ketiga, tentang wewenang
penyelenggaraan jalan tol. Pada Pasal 45 disebutkan bahwa wewenang
penyelenggaraan jalan tol berada pada pemerintah, yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol. Sebagian wewenang
Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol dilaksanakan oleh Badan Pengatur
Jalan Tol (BPJT).
Dalam UU No. 38 Tahun 2004, Pasal 43, disebutkan juga bahwa jalan tol
diselenggarakan untuk:
a. memperlancar lalulintas di daerah yang telah berkembang;
b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan
jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi;
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan
d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
Disebutkan pula bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh pemerintah
dan/atau badan usaha yang memenuhi persyaratan.
Jalan tol harus memiliki spesifikasi atau tingkat pelayanan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan lintas jalan umum (UU No. 38 Tahun 2004, Pasal 44
ayat 3 dan PP No. 15 Tahun 2005 Pasal 5), sebagai jaminan kompensasi dari
uang tol yang dibayarkan oleh para penggunanya. Dalam Peraturan Pemerintah
tersebut disebutkan pula bahwa jalan tol yang digunakan untuk lalulintas antar-
kota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 (delapan puluh)
kilometer per jam dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan
kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam. Selain itu
18
jalan tol juga didesain untuk mampu menahan Muatan Sumbu Terberat (MST)
paling rendah 8 (delapan) ton.
Spesifikasi jalan tol menurut PP No. 15 tahun 2005, Pasal 6 adalah
sebagai berikut:
a. tidak mempunyai persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan
prasarana transportasi lainnya;
b. jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara
efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara
penuh;
c. jarak antar simpang susun paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol luar
perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam
perkotaan;
d. jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah;
e. menggunakan pemisah tengah atau median; dan
f. lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur
lalulintas sementara dalam keadaan darurat.
Syarat teknis lainnya, yang juga disebutkan dalam PP No.15 tahun 2005
adalah:
a. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran dan dilengkapi dengan
fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan.
b. Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna, jalan tol harus
diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan struktur yang
dapat menyerap energi benturan kendaraan.
c. Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang
dinyatakan dengan rambu lalulintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi
isyarat lalulintas.
d. Pada setiap jalan tol harus tersedia sarana komunikasi, sarana deteksi
pengamanan lain yang memungkinkan pertolongan dengan segera sampai
ke tempat kejadian, serta upaya pengamanan terhadap pelanggaran,
kecelakaan, dan gangguan keamanan lainnya.
e. Pada jalan tol antar-kota harus tersedia tempat istirahat dan pelayanan untuk
kepentingan pengguna jalan tol. Tempat istirahat dan pelayanan disediakan
paling sedikit satu untuk setiap jarak 50 (lima puluh) kilometer pada setiap
jurusan.
19
Untuk mencapai spesifikasi tersebut, terdapat sejumlah standar
perencanaan yang harus dipenuhi dalam merancang suatu jalan tol. Standar
perencanaan geometrik jalan tol yang digunakan pada penelitian ini adalah
standar yang dikeluarkan oleh Bina Marga, yaitu:
a. Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No. 38/T/BM/1997.
b. Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Jalan Bebas Hambatan, 1976.
c. Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1992.
Selain itu digunakan pula standar yang digunakan oleh AASHTO, yaitu A Policy
on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO 2001. Beberapa
parameter standar desain tersebut ditampilkan pada Tabel 1, Tabel 2, dan
Tabel 3.
Tabel 1. Standar Desain Geometrik Jalan
Parameter Desain Nilai Kecepatan Rencana (70 – 120) km/jam Superelevasi Maksimum 10 % Jari-Jari Minimum 210 m Kelandaian Relatif 1/150 Jarak Pandang Henti minimum 120 m Jarak Pandang Menyusul 550 m Kelandaian Maksimum (3-5) % Panjang Kritis 460 m Jumlah Lajur dan Arah 4 lajur 2 arah Lebar Lajur Minimum 3,50 m Lebar Bahu Luar Minimum 2,00 m Lebar Bahu Dalam MInimum 0,75 m Lebar Median Minimum 1,50 m
Sumber: Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No. 38/T/BM/1997
Tabel 2. Standar Desain Geometrik untuk Ramp
Parameter Rencana Nilai
Kecepatan Rencana Minimum 50 km/jam Superelevasi Maksimum 10 % Kemiringan Normal 2 % Lebar Lajur Minimum 3,50 m Lebar Bahu Minimum 0,50 mGradien Maksimum 4 % Panjang Taper Minimum 100 m
Sumber: Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1992.
Dalam PP No.15 tahun 2005, tentang Jalan Tol, disampaikan bahwa
kebijakan perencanaan jalan tol disusun dengan memperhatikan pengembangan
wilayah, perkembangan ekonomi, sistem transportasi nasional, dan kebijakan
nasional sektor lain yang terkait dan merupakan landasan penyusunan rencana
20
umum jaringan jalan tol dengan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan
kondisi lingkungan daerah sekitarnya. Kebijakan perencanaan jalan tol memuat
tujuan dan sasaran pengembangan, dasar kebijakan, prioritas pengembangan,
dan program pengembangan jaringan jalan tol.
Tabel 3. Standar Desain Geometrik untuk Interchange
Parameter Rencana Nilai
Kecepatan Rencana Minimum 50 km/jam Superelevasi Maksimum 10 % Kemiringan Normal 2 % Lebar Lajur Minimum 3,50 m Lebar Bahu Minimum 0,50 m Gradien Maksimum 4 % Radius Minimum 100 m
Sumber: Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1992.
Rencana ruas jalan tol, sebagai bagian jaringan jalan tol, ditentukan
berdasarkan hasil prastudi kelayakan terhadap ruas-ruas yang tertera dalam
rencana umum jaringan jalan tol. Prastudi kelayakan mencakup kegiatan analisis
kelayakan, yang terdiri atas analisis sosial ekonomi, analisis proyeksi lalulintas,
pemilihan koridor jalan tol, analisis perkiraan biaya konstruksi, serta analisis
kelayakan ekonomi. Dengan kata lain, untuk menyelenggarakan jalan tol perlu
dipahami beberapa pengertian sebagai berikut:
a. Jalan tol adalah jalan yang harus layak secara finansial pengusahaannya,
sehingga penetapan lokasinya harus didesain sebagai alternatif dari lintas
atau ruas jalan umum yang lalulintasnya padat, sehingga diharapkan
jumlah pengguna jalan tol relatif besar.
b. Untuk mengembangkan jaringan jalan tol perlu disediakan suatu rencana
umum jaringan jalan yang memuat gambaran wujud jaringan jalan yang
hendak dicapai disertai dengan tahapan pencapaiannya,
c. Pengembangan jaringan jalan (tol) perlu diselaraskan dengan rencana
pembangunan (Renstra dan lain-lain), RTRW, dan rencana jaringan
transportasi (Sistem Transportasi Nasional atau Sistem Transportasi
Wilayah)
Pengembangan jaringan jalan tol idealnya dilakukan berdasarkan suatu
masterplan (jangka panjang atau jangka menengah) yang jelas, dan tidak
didasarkan pertimbangan instant ataupun hit-and-run serta tidak didasarkan
21
kepada pandangan local-wise saja. Sebagai contoh, idealnya pengembangan
jaringan jalan tol perkotaan juga dilakukan dengan memperhatikan konteksnya
dalam jaringan transportasi maupun sistem ekonomi yang lebih besar, dalam
skala Provinsi maupun skala Nasional.
Gambar 6. Konsep Perencanaan Jaringan Jalan Tol
2.2.2. Konsep Konfigurasi Jaringan Jalan Tol
Jaringan jalan tol dalam kota pada prinsipnya merupakan pelengkap
struktur jaringan jalan perkotaan. Terdapat beberapa model struktur jaringan
jalan yang dapat diadopsi sebagai pola dasar sistem jaringan jalan perkotaan
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7, dari A hingga E, terurut sesuai
dengan tingkat efektivitasnya, dari yang paling buruk.
Pada kenyataannya sistem jaringan jalan di wilayah Jabodetabek saat ini
lebih mengarah kepada model weak-center-strategy, yang kelemahannya adalah
memusatnya arah perjalanan ke pusat kota. Meskipun wilayah pengembangan di
luar pusat kota Jakarta sudah direncanakan, namun hal ini belum banyak
memberikan pengaruh terhadap perubahan pola lalulintas. Jika strategi
penyebaran pusat kegiatan dapat dijalankan dengan efektif, setidaknya akan
membawa kondisi sistem ke arah perbaikan mendekati low-cost-strategy.
Perkuatan akses jaringan jalan ke pusat kota akan mengarahkan sistem jaringan
jalan menjadi model strong-center-strategy.
22
Sumber: Thompson, 1977
Gambar 7. Beberapa Strategi Pengembangan Pola Jaringan Jalan Perkotaan
2.2.3. Pengusahaan Jalan Tol Hingga saat ini telah terdapat 4 fase utama pada evolusi perkembangan
bisnis jalan tol di Indonesia, yaitu:
1. Tahun 1978 hingga tahun 1983; pembiayaan, konstruksi, dan operasi jalan tol
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
2. Tahun 1983 hingga tahun 1990; pembangunan jalan tol dibiayai oleh dana
pinjaman luar negeri.
3. Tahun 1987 hingga tahun 1993; sektor swasta dilibatkan melalui penunjukkan
langsung dengan proyek Built-Operate-Transfer (BPT).
4. 1994 hingga sekarang; dilakukan tender terbuka
Berdasarkan pengalaman investasi jalan tol di Indonesia dapat
dinyatakan beberapa besaran umum yang dapat dipakai sebagai acuan awal
mengenai tingkat kelayakan pengembangan jalan tol. Meskipun besaran ini tidak
mutlak belaku untuk semua ruas jalan tol, namun dapat dipakai sebagai
perbandingan umum.
Beberapa item rule-of-thumb tersebut adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan Besaran Investasi; Financial Rate of Return lebih besar dari
18%, lama pinjaman (loan tenor) 10 tahun hingga 15 tahun, masa konsesi
25 tahun hingga 35 tahun, dan waktu untuk penyiapan pendanaan 6 bulan
hingga 12 bulan.
23
2. Persyaratan Volume Lalulintas; LHR jalan alternatif (50 ribu-60 ribu)
kendaraan per hari dan angka perpindahan ke jalan tol minimal 40% atau
(20 ribu hingga 25 ribu) kendaraan per hari
3. Persyaratan Tarif; Pada saat pembukaan tarif yang dikenakan Rp. 300,-
per km hingga Rp. 400,- per km dan tarif harus disesuaikan berkala seiring
laju inflasi
2.3. Standar Pelayanan Minimal Jalan di Indonesia
Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, kewenangan
penyelenggaraan jaringan jalan Provinsi dan Kabupaten didelegasikan ke
daerah. Hal ini berimplikasi kepada adanya kewajiban bagi daerah untuk
menyelenggarakan jaringan jalan yang mampu memenuhi kebutuhan minimal
masyarakat terhadap jalan. Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi
masyarakat, dalam PP No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, pada pasal 3 butir (3)
disebutkan bahwa “daerah wajib melaksanakan pelayanan minimal”.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan kewenangan Pemerintah
Pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). SPM diadakan untuk menjamin tersedianya
pelayanan jalan untuk masyarakat dalam kondisi yang paling minimum. Dalam
hal ini SPM penyediaan jaringan jalan, sebagai salah satu infrastruktur publik,
juga disusun oleh kementerian teknis terkait, yaitu Kementerian Pekerjaan
Umum. Untuk bidang jalan, Kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan
Standar Pelayanan Minimum Bidang Jalan seperti yang disampaikan pada Tabel 4.
SPM di bidang jalan ini dikembangkan dalam sudut pandang publik
sebagai pengguna jalan, dengan ukurannya merupakan common indicator yang
diinginkan oleh pengguna. SPM dikembangkan dari 3 keinginan dasar pengguna
jalan, yaitu:
1. kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang);
2. tidak macet (lancar sepanjang waktu); dan
3. dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).
Pada dasarnya item dalam SPM jalan hampir sama dengan kriteria kemantapan
jalan, yang tujuannya adalah memelihara jalan dengan kondisi fisik minimal
sedang (indikator International Roughness Index, IRI), tidak macet (indikator nilai
rasio volume terhadap kapasitas atau Volume/Capacity ratio, VCR), lebar cukup,
24
dan jumlah panjang jaringan jalan yang mencukupi (aspek aksesibilitas dan
mobilitas).
Secara umum terdapat kaidah penentuan utilisasi SPM dalam menyusun
kebutuhan penanganan jalan untuk semua ruas jalan Provinsi, yaitu:
1. Untuk mencapai target 100% jalan mantap konstruksi, ruas jalan yang saat
ini berada dalam kondisi baik ditangani dengan pemeliharaan rutin, ruas
jalan yang saat ini dalam kondisi sedang ditangani dengan pemeliharaan
berkala, dan ruas jalan yang saat ini dalam kondisi rusak ditangani dengan
peningkatan struktur perkerasan jalan (restructuring).
2. Untuk mencapai target 100% jalan mantap layanan lalulintas, ruas jalan
yang saat ini dalam kondisi macet ditangani dengan peningkatan kapasitas
atau pelebaran jalan.
3. Kebutuhan pembangunan jalan baru ditentukan oleh tingkat aksesibilitas dan
mobilitas wilayah dan prediksi kebutuhan jaringan jalan untuk
pengembangan wilayah.
Dalam kaitan ini penyelenggara jalan harus mengakomodir tuntutan publik
terhadap SPM dengan mengikuti norma/kaidah/aspek di bidang investasi jalan,
yang meliputi aspek-aspek efisiensi, efektivitas, ekonomi investasi, dan aspek
kesinambungan. Untuk menentukan kondisi konstruksi jalan, Direktorat Jenderal
Bina Marga memanfaatkan parameter IRI (International Roughness Index),
seperti yang disajikan pada Tabel 5. Sedangkan untuk menentukan kondisi
layanan lalulintas, kebutuhan pelebaran jalan hanya diperlukan untuk ruas jalan
dengan rasio volume terhadap kapasitas (volume to capacity ratio, VCR) lebih
besar daripada 0,8 yang merupakan batas maksimum ketika lalulintas dapat
dikatakan dalam kondisi normal dan stabil.
Standar Pelayanan Minimal untuk jalan tol telah diatur dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No. 392/PRT/M/2005. SPM ini merupakan ukuran yang
harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol dan
diselenggarakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai
pengguna jalan tol. Dalam Permen PU ini disebutkan bahwa pelayanan minimal
jalan tol meliputi substansi pelayanan (pasal 3) kondisi jalan tol, kecepatan
tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, dan unit pertolongan atau
penyelamatan dan bantuan pelayanan. Cakupan dan tolak ukur standar
pelayanan minimal jalan tol dijabarkan pada Tabel 6.
25
Tabel 4. Standar Pelayanan Minimal Jalan
No. Bidang Pelayanan
Standar Pelayanan Keterangan Kuantitas Kualitas Cakupan Konsumsi/Produksi
1. Jaringan Jalan
A. Aspek Aksesibilitas seluruh jaringan
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Indeks Aksesibilitas
Panjang jalan/luas (km/km2)
sangat tinggi >5000 >5,0tinggi > 1000 >1,5 sedang > 500 >0,5 rendah > 100 >0,15
sangat rendah < 100 >0,05
B. Aspek Mobilitas seluruh jaringan
PDRB per kapita (Juta Rp/kapita/tahun) Indeks Mobilitas
panjang jalan per 1000 penduduk
sangat tinggi >10 >5,0 tinggi > 5 >2,0 sedang > 2 >1,0 rendah > 1 >0,5
sangat rendah < 1 >0,2
C. Aspek Kecelakaan seluruh jaringan
pemakai jalan Indeks Kecelakaan 1 Kecelakaan per 100.000 km. kend.
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Indeks Kecelakaan 2 kecelakaan/km/tahun sangat tinggi: > 5000 tinggi: 1000 - 5000 sedang: 500 – 1000rendah: 100 – 500
sangat rendah: < 100 2 Ruas Jalan
A. Kondisi Jalan
Lebar Jalan Min. Volume Lalulintas (kend/hari) Kondisi Jalan
2x7m LHR > 20000 sedang; IRI < 6; RCI > 6,5
7m 8000 < LHR < 20000 sedang; IRI < 6; RCI > 6,5
6m 3000 < LHR < 8000 sedang; IRI < 8; RCI > 5,5
4,5m LHR < 3000 sedang; iIRI< 8; RCI > 5,5
B. Kondisi Pelayanan
Fungsi Jalan Pengguna Jalan Kecepatan Tempuh Min.
arteri primer lalulintas regional jarak jauh 25 km/jam
kolektor primer lalulintas regional jarak sedang 20 km/jam lokal primer lalulintas lokal 20 km/jam
arteri sekunder lalulintas kota jarak jauh 25 km/jam kolektor sekunder lalulintas kota jarak sedang 25 km/jam Lokal sekunder lalulintas lokal kota 20 km/jam
Sumber: Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001
26
Tabel 5. Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganannya
Kondisi Jalan IRI (m/km) Kebutuhan penanganan
Baik IRI rata-rata < 4,5 Pemeliharaan rutin
Sedang 4,5 < IRI rata-rata < 8,0 Pemeliharaan berkala
Rusak 8,0 < IRI rata-rata < 12,0 Peningkatan jalan
Rusak Berat IRI rata-rata > 12,0 Peningkatan jalan
Macet VCR > 0,8 Pelebaran jalan Sumber: Jasa Marga, 2010
Tabel 6. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol
No. Substansi Pelayanan
Standar Pelayanan Minimum Indikator Cakupan/Lingkup Tolok Ukur
1. Kondisi Jalan Tol • Kekesatan • Ketidakrataan • Tidak ada
lubang
• Seluruh ruas jalan tol
• Seluruh ruas jalan tol
• Seluruh ruas jalan tol
• 0,33 µm • IRI ≤ 4 m/km • 100 %
2. Kecepatan Tempuh Rata-rata
Kecepatan Tempuh rata-rata
• Jalan tol dalam kota
• Jalan Tol luar kota
• 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol
• 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol
3. Aksesibilitas • Kecepatan transaksi rata-rata
• Jumlah gardu tol
• Gerbang tol sistem terbuka
• Gerbang tol sistem tertutup - Gardu Masuk - Gardu Keluar
• Kapasitas sistem terbuka
• Kapasitas sistem tertutup - Gardu Masuk - Gardu Keluar
• ≤ 8 detik setiap kendaraan
• ≤ 7 detik setiap
kendaraan • ≤ 11 detik setiap
kendaraan • > 450 kendaraan
per jam per gardu • > 500 kendaraan
per jam • > 300 kendaraan
per jam
4. Mobilitas Kecepatan penanganan hambatan lalulintas
• Wilayah pengamatan / observasi Patroli
• Mulai informasi diterima sampai ke tempat kejadian
• 30 menit per siklus pengamatan
• ≤ 30 menit • Melakukan
27
No. Substansi Pelayanan
Standar Pelayanan Minimum Indikator Cakupan/Lingkup Tolok Ukur
• Penanganan akibat kendaraan mogok
• Patroli kendaraan
derek
penderekan ke pintu gerbang tol terdekat/ bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis)
• 30 menit per siklus pengamatan
5. Keselamatan • Sarana Pengaturan Lalulintas - Perambuan
- Marka Jalan
- Guide post/ Reflektor
- Patok Kilometer setiap 1 km
• Penerangan jalan umum (PJU) wilayah perkotaan
• Pagar rumija • Penanganan
kecelakaan • Pengamanan
dan penegakan hukum
• Kelengkapan dan
kejelasan perintah dan larangan serta petunjuk
• Fungsi dan manfaat
• Fungsi dan
manfaat • Fungsi dan
manfaat • Fungsi dan
manfaat • Fungsi dan
manfaat • Korban
kecelakaan • Kendaraan
kecelakaan • Ruas jalan tol
• 100 % • Jumlah 100 %
dan reflektivitas / 80 %
• Jumlah 100 % dan Reflektivitas / 80 %
• 100 % • Lampu menyala
100 % • Keberadaan 100
% • Dievakuasi gratis
ke rumah sakit rujukan
• Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan tol)
• Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam
6. Unit pertolongan/ penyelamatan dan bantuan pelayanan
• Ambulans • Kendaraan
Derek • Polisi Patroli
• Ruas jalan tol • Ruas jalan tol :
- LHR > 100.000 kend/hari
- LHR ≤ 100.000
kend/hari • Ruas jalan tol :
- LHR > 100.000
• 1 unit per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan paramedis)
• 1 unit per 5 km
atau minimum 1 unit
• 1 unit per 10 km atau minimum 1 unit
28
No. Substansi Pelayanan
Standar Pelayanan Minimum Indikator Cakupan/Lingkup Tolok Ukur
Jalan Raya (PJR)
• Patroli Jalan Tol
(operator) • Kendaraan
Rescue • Sistem Informasi
kend/hari - LHR ≤ 100.000
kend/hari • Ruas jalan tol • Ruas jalan tol • Informasi dan
Komunikasi kondisi lalulintas
• 1 unit per 15 km atau minimum 1 unit
• 1 unit per 20 km atau minimum 1 unit
• 1 unit per 15 km
atau minimum 2 unit
• 1 unit per ruas jalan tol (dilengkapi dengan peralatan penyelamatan)
• Setiap gerbang masuk
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392/PRT/M/2005
2.4. Sistem Pergerakan Transportasi
Sistem pergerakan (transportasi) adalah hasil interaksi antara sistem
kegiatan dengan sistem jaringan yang akan menghasilkan pergerakan kendaraan
dan/atau orang dari sistem kegiatan yang satu ke sistem kegiatan yang lain
dengan media sistem jaringan. Sistem pergerakan yang baik dan berwawasan
lingkungan dapat tercipta apabila pergerakan tersebut dtatur oleh suatu
sistem rekayasa dan manajemen lalulintas yang baik (Tamin, 1994).
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah perkotaan telah
menarik arus urbanisasi yang tinggi pula, karena bagi banyak orang hal ini
menjanjikan kesempatan kerja yang lebih luas. Dengan demikian pertumbuhan
penduduk dan pekerja di perkotaan menjadi tinggi pula. Gejala demikian juga
terjadi pada daerah penyangga di sekitar perkotaan tersebut, yang akan
membuat bangkitan lalulintas bertumbuh tinggi pula (Tamin, 2005)
Penggunaan kendaraan pribadi di perkotaan merupakan cerminan
peningkatan taraf hidup seseorang yang dipicu juga oleh kebutuhan mobilitas
yang tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang di
satu sisi merupakan keberhasiian penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan)
dengan peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, di sisi lain
menimbulkan kerusakan kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi
udara, dan polusi suara (Tamin, 2005)
29
Tingkat pertumbuhan pergerakan yang sangat tinggi dan yang tidak
mungkin dihambat, sementara sarana dan prasarana transportasi sangat
terbatas, mengakibatkan aksesibilitas dan mobilitas menjadi terganggu. Untuk
mengatasi aksesibilitas dan mobilitas yang terganggu ini dibutuhkan biaya yang
sangat besar, misalnya biaya untuk membangun jaringan jalan baru atau
meningkatkan kapasitas jaringan jalan yang ada. Beberapa alternatif
penanggulangan sementara dapat juga dilakukan dengan rekayasa dan
manajemen lalulintas, pengaturan efisiensi transportasi umum, dan
penambahan armadanya (Tamin, 2005).
2.5. Operasi dan Pemeliharaan Jalan Tol
Biaya operasi dan pemeliharaan jalan tol yang dimaksud di sini adalah
pendanaan selama masa operasi, yaitu mulai dari dibukanya jalan tol sampai
masa rencana infrastruktur jalan yang sudah diperhitungkan. Selama masa
operasi jalan tol diperlukan pemeliharaan guna menjaga kenyamanan dan
keamanan pengguna jalan tol sesuai dengan fungsi jalan tol tersebut agar tingkat
pelayanan minimum jalan tol tercapai. Biaya pemeliharaan jalan tol meliputi biaya
pemeliharaan rutin, biaya pemeliharaan berkala, dan biaya peningkatan.
Pelaksanaan pemeliharaan jalan tol tidak boleh merugikan pengguna
jalan, dan tidak menimbulkan gangguan terhadap kelancaran lalulintas maupun
berdampak negatif terhadap lingkungan. Karena itu pemeliharaan jalan tol harus
dilaksanakan menurut ketentuan teknik pemeliharaan jalan tol.
Biaya Pemeliharaan Rutin dimaksudkan untuk pemeliharaan jangka
pendek, yang meliputi penyiraman dan pemotongan tanaman, kebersihan jalan,
penyediaan kebutuhan rutin kantor cabang, serta pemeliharaan gerbang dan
gardu tol. Pemeliharaan rutin dapat dilaksanakan dengan periode mingguan atau
bulanan bergantung kondisinya dan dapat pula dilakukan secara insidental, yang
tidak dapat diperkirakan waktunya, seperti perbaikan rambu yang rusak akibat
tertabrak lalulintas.
Biaya pemeliharaan berkala atau periodik diperuntukkan untuk
pemeliharaan berjangka menengah, yang meliputi perbaikan sarana drainase,
perbaikan bahu jalan, penggantian periodik perlengkapan gardu, kantor, dan
gerbang tol, pemeliharaan kantor cabang, dan pemeliharaan kendaraan
operasional.
30
Biaya peningkatan atau pemeliharaan khusus diperuntukkan untuk
pemeliharaan berjangka panjang, yang meliputi perbaikan kerusakan akibat
kondisi tanah, seperti badan jalan longsor atau penurunan badan jalan, sehingga
memerlukan penanganan khusus atau adanya pembangunan struktur jembatan
penyeberangan baru yang diperlukan akibat perkembangan dan tuntutan
masyarakat setempat.
2.6. Pola Penggunaan Lahan
Sistem kegiatan merupakan sistem pola kegiatan tataguna lahan, yang
terdiri atas sistem pola-pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain.
Berbagai aktivitas, seperti bekerja, sekolah, olahraga, belanja, dan bertamu yang
berlangsung di atas sebidang tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah, dan lain
lain) membentuk sistem kegiatan ini. Potongan-potongan lahan ini biasanya
disebut juga dengan sistem tataguna lahan. Untuk memenuhi kebutuhannya,
manusia meiakukan perjalanan di antara tataguna lahan tersebut dengan
menggunakan sistem jaringan transportasi (misalnya berjalan kaki atau naik bus),
sehingga hal ini menimbulkan pergerakan manusia, kendaraan, dan barang
(Tamin, 2000).
Pengembangan sistem transportasi untuk kelancaran mobilitas manusia
antar-sistem kegiatan (tataguna lahan) dalam memenuhi kebutuhan kehidupan
ekonominya adalah mengembangkan salah satu dari ketiga sub-sistem
transportasi atau ketiganya secara bersamaan kalau keadaan memungkinkan,
misalnya apabila dana tersedia melimpah. Sistem kegiatan ini disebut juga
sistem kebutuhan akan transportasi. Sistem kebutuhan akan transportasi ini
harus seimbang dengan sistem penyediaan jaringan transportasi (transport
network) agar tidak terjadi kemacetan dan agar terjadi keserasian pergerakan
antara sistem kegiatan yang satu dengan sistem kegiatan lainnya (Tamin, 2000).
Sistem kelembagaan, seperti Bappenas, Bappeda, Bangda, dan Pemda
berperan sangat penting datam menentukan sistem kebutuhan transportasi ini
melalui kebijakan kebijakan yang dikeluarkan dalam mengatur sistem kegiatan
atau kebutuhan transportasi, baik wilayah, regional, maupun sektoral. RTRWN
sebagai pedoman perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
nasional menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar-wilayah serta
keserasian antar-sektor, seperti kawasan-kawasan pariwisata, pertanian pangan
31
dan perkebunan, industri, pertambangan, serta pertahanan keamanan atau
perbatasan. Dasar hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dalam
penataan ruang adalah UU No.26 tahun 2008, tentang Penataan Ruang (Tamin.
2000).
Kebijakan tata ruang sangat erat kaitannya dengan kebijakan
transportasi. Ruang merupakan kegiatan yang berada di atas lahan kota,
sedangkan transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik
menghubungkan satu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Jika akses
transportasi ke suatu ruang kegiatan (persil lahan) diperbaiki, ruang kegiatan
tersebut akan menjadi lebih menarik, dan biasanya menjadi lebih berkembang.
Dengan berkembangnya ruang kegiatan tersebut, berkembang pula kebutuhan
akan transportasi. Peningkatan ini kemudian menyebabkan kelebihan beban
pada jaringan transportasi, yang harus ditanggulangi. Siklus akan terulang
kembali bila aksesibilitas diperbaiki.
Jenis tataguna lahan atau sistem kegiatan yang berbeda (permukiman,
pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda
(Tamin, 2000). Ciri-ciri tersebut meliputi jumlah arus lalulintas, jenis lalulintas, dan
waktu terjadinya lalulintas (orang ke kantor menghasilkan lalulintas pada pagi dan
sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus talu lintas di sepanjang
hari).
Untuk mengetahui intensitas bangkitan perjalanan yang timbul dari suatu
sistem kegiatan dapat dianaiisis dengan memberi ukuran intensitas pada masing-
masing jenis kegiatan pada petak atau daerah lahan (Tamin, 2000). Sebagai
contoh adalah sebagai berikut:
a. Petak lahan kegiatan perumahan; ukurannya adalah luas lokasi
perumahan,
banyaknya rumah masing-masing tipe, dan kepadatan penduduknya
(jumlah penghuninya).
b. Petak lahan kegiatan industri; ukurannya adalah luas daerah industri, jumlah
bahan baku, jumlah produksi, dan jumlah ragam industri.
c. Petak lahan perdagangan; ukurannya adalah luas lantai toko (plaza),
parkir,
jumlah perdagangan, dan ragam perdagangan.
32
d. Petak lahan pariwisata; ukurannya adalah luasnya, jumlah fasilitasnya,
jumlah kursinya, dan jumlah hotel yang dinyatakan dengan jumlah
kamarnya.
Pada penelitian ini akan dilihat perpindahan barang atau orang antara
dua jenis aktivitas tataguna lahan, yaitu zona untuk tempat tinggal (tataguna lahan
perumahan) sebagai zona 1 dan zona untuk bekerja (tataguna lahan pusat
perkantoran) sebagai zona 2.
Antara guna lahan perumahan dengan guna lahan perkantoran tersebut akan terjadi pergerakan (perjalanan) setiap harinya. Pergerakan tersebut didukung oleh sistem jaringan berupa prasarana jalan (Tamin, 2000). Jumlah dan jenis lalulintas yang dihasilkan oleh setiap tataguna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi. Contoh di Amerika Serikat (Black, 1978 dalam Tamin, 2000) adalah sebagai berikut:
a. 1 hektar perumahan menghasilkan (60-70) pergerakan kendaraan per minggu. b. 1 hektar perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari. c. 1 hektar tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari.
Beberapa contoh lain di Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Beberapa Aktivitas Tataguna Lahan
Deskripsi Aktivitas Tataguna Lahan
Rata-Rata Jumlah Pergerakan Kendaraan per
100 m2 Jumlah Kajian
Pasar swalayan 136 3
Pertokoan lokal* 85 21 Pusat pertokoan** 38 38
Restoran siap santap 595 6 Restoran 60 3 Gedung perkantoran 13 22
Rumah sakit 18 12 Perpustakaan 45 2
Daerah industry 5 98
*4.645-9.290 (m2) ** 46.452-92.903 (m2) Sumber: Black 1978, dalam Tamin, 2000
2.7. Lalulintas Jalan Tol
Volume lalulintas (q) adalah banyaknya kendaraan (n) yang melalui suatu
titik pengamatan di jalan per satuan waktu (s) tertentu, misalnya hari, jam, atau
33
menit. Volume lalulintas merupakan variabel yang penting dan sangat dibutuhkan
dalam perencanaan suatu jaringan jalan. Volume lalulintas dapat dinyatakan
dalam persamaan berikut:
q = n
S
dengan:
q = volume lalulintas, dalam kendaraan persatuan waktu
n = banyaknya kendaraan yang melalui suatu titik pengamatan
s = waktu
Volume lalulintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan
penentuan jumlah dan lebar jalur adalah Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR),
Volume Jam Perencanaan (VJP), dan Kapasitas.
Volume lalulintas rata-rata dalam satu hari disebut Lalulintas Harian Rata-
Rata. Satuan volume lalulintas dapat berupa unit kendaraan, seperti kendaraan
penumpang, bus, atau gabungan, persatuan waktu tertentu. Dari cara
memperolehnya, Lalulintas Harian Rata-Rata dibagi menjadi dua jenis, yaitu
Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) dan Lalulintas Harian Rata-Rata
(LHR)
Lalulintas harian rata-rata tahunan (LHRT) adalah jumlah total lalulintas
dua arah yang melalui suatu titik pengamatan dibagi dengan jumlah hari dalam
satu tahun (365 hari). Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan dapat dihitung
dengan rumus:
LHRT = Jumlah Total Lalulintas
365
Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR) adalah volume lalulintas yang melalui
suatu titik pengamatan selama periode waktu pengamatan tertentu, dengan waktu
pengamatan tersebut lebih besar dari satu hari dan lebih kecil dari satu tahun.
Lalulintas Harian Rata-Rata dapat ditulis dengan rumus:
LHR = Jumlah Lalulintas Selama Pengamatan
Jumlah Hari Pengamatan
34
2.8. Interaksi Sistem-Sistem Kegiatan - Jaringan Jalan Tol - Transportasi
Transportasi atau sistem pergerakan bukan suatu tujuan akhir tetapi timbul
akibat adanya permintaan sistem kegiatan. Peran transportasi terhadap
perkembangan dan pertumbuhan wilayah tercermin pada interaksi antara sistem
jaringan, sistem pergerakan, dan sistem kegiatan wilayah. Setiap perubahan atau
perkembangan sistem kegiatan akan menimbulkan perubahan atau kenaikan
pergerakan (volume, jarak, dan sebagainya). Perubahan dan perkembangan ini
dilayani melalui pengelolaan dan pengembangan sistem pergerakan (misalnya
lalulintas dua arah menjadi lalulintas satu arah) dan/atau sistem jaringan
(misalnya pelebaran jalan).
Peningkatan fasilitas dan layanan transportasi akan meningkatkan
perkembangan sistem kegiatan, meningkatkan bangkitan pergerakan, dan
menimbulkan kemacetan baru, dan seterusnya. Siklus ini adalah peran "pasif”
sistem pergerakan dan/atau sistem jaringan dalam melayani perubahan dan
perkembangan sistem kegiatan. Sebaliknya sistem pergerakan dan/atau sistem
jaringan dapat juga berperan "aktif” terhadap perkembangan sistem kegiatan.
Pengelolaan serta pengembangan sistem pergerakan dan/atau sistem jaringan
dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan
sistem kegiatan. Misalnya adalah penerapan lalulintas satu arah serta pelarangan
parkir di tepi jalan (on-street parking) pada suatu koridor jalan dapat
mengakibatkan dampak negatif berupa matinya kegiatan ekonomi di sepanjang
koridor tersebut, khususnya pada lokasi-lokasi yang tidak memiliki lahan parkir
khusus atau off-street parking (Dardak, 2006).
Sebaliknya pengalihan rute angkutan umum pada satu koridor dapat
memberikan dampak positif dengan meningkatkan perkembangan sistem kegiatan
sepanjang koridor tersebut (misalnya meningkatnya kegiatan transaksi kawasan
perbelanjaan). Demikian pula pembangunan serta peningkatan kualitas jaringan
jalan ke arah timur-barat dibarengi dengan penurunan kualitas jaringan jalan ke arah
selatan akan memberikan dampak positif mendorong perkembangan sistem
kegiatan ke arah timur-barat sekaligus dampak negatif terhadap perkembangan
ke arah selatan. Pembangunan sistem jaringan juga dapat membelah kehidupan
sosial suatu sistem kegiatan (Dardak, 2006).
Peran "pasif dan aktif” sistem jaringan tersebut juga mengarahkan
perencanaan dan pembangunan sistem infrastruktur lainnya (misalnya jaringan-
35
jaringan listrik, telepon, air bersih, dan limbah). Perencanaan dan pembangunan
sistem jaringan juga merupakan perencanaan dan pembangunan struktur sistem
kegiatan. Peran strategis sistem jaringan tersebut menyebabkan pembangunan
sistem jaringan tidak saja kompleks, tetapi juga menyangkut dana besar serta
sekali dibangun tidak akan mudah untuk diubah-ubah (Dardak, 2006).
Sasaran umum perencanaan transportasi adalah membuat interaksi
antara sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan menjadi
semudah dan seefisien mungkin. Cara perencanaan transportasi untuk mencapai
sasaran umum itu antara lain dengan menetapkan kebijakan tentang hal berikut ini
(Tamin, 2000):
a. Sistem kegiatan; Rencana tataguna lahan yang baik, misalnya lokasi
toko, sekolah, perumahan, pekerjaan yang benar, dapat mengurangi
kebutuhan akan perjalanan yang panjang, sehingga membuat interaksi
menjadi lebih mudah. Perencanaan tataguna lahan biasanya
memeriukan waktu yang cukup lama dan bergantung pada badan
pengelola yang berwenang untuk melaksanakan rencanatataguna lahan
tersebut.
b. Sistem jaringan; Hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan
kapasitas pelayanan prasarana yang ada, misalnya dengan melebarkan
jalan atau menambah jaringan jalan baru.
c. Sistem pergerakan; Hal yang dapat dilakukan, antara lain, adalah dengan
mengatur teknik dan manajemen lalulintas (jangka pendek), menyediakan
fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah),
atau membangun jalan baru (jangka panjang).
Karakteristik serta keterkaitan ketiga sistem tersebut juga dipengaruhi oleh
keberadaan serta kesiapan sistem kelembagaan, yang terdiri atas (Dardak, 2006):
a. Aspek legal; yaitu kesiapan serta kesesuaian UU, PP, kebijakan, dan RTRW.
Misalnya adalah kebijakan walikota untuk lebih mementingkan pembangunan plaza
(pusat perbelanjaan) tanpa melihat pada sisi kemacetan yang mengakibatkan
perubahan guna lahan perumahan menjadi pusat perbelanjaan, atau
penerapan sistem setoran dibandingkan dengan sistem gaji bulanan
mengakibatkan kemacetan akibat sopir angkutan umum mengejar setoran tanpa
menghiraukan ketertiban serta rambu-rambu lalu-lintas.
36
b. Aspek organisasi; yaitu kesiapan serta kejelasan pembagian tugas, tanggung
jawab, serta koordinasi intra dan antar unit-unit organisasi pemerintah,
dunia
usaha, serta masyarakat. Sebagai contoh adalah kemacetan yang ditimbulkan
akibat buruknya koordinasi antar sektor dalam masalah klasik gali-tutup
lubang jalan untuk listrik, air minum, dan telepon.
c. Aspek sumber daya insani; yaitu kesiapan sumber daya insani, yang
mencakup operator, user, non-user, dan regulator. Misalnya adalah
pelanggaran RTRW karena ketidaksiapan sumber daya insani pengawasan
atau pengendalian.
d. Aspek keuangan; yaitu kesiapan serta kesesuaian pendanaan. Misalnya adalah
terlambatnya pembangunan jalan layang karena adanya masalah pencairan dana
pinjaman luar negeri.
2.9. Aspek Psikososial dalam Transportasi
Berbagai permasalahan yang juga berpotensi besar menimbulkan
kemacetan lalulintas di suatu ruas jalan tol adalah hal-hal yang terkait dengan aspek
psikososial. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Perbaikan dan pemeiiharaan jaringan utilitas yang tidak terjadwal yang
mengakibatkan berkurangnya kapasitas jalan. Hal ini dapat menimbulkan citra
pekerjaan gali dan tutup lobang yang tidak kunjung selesai. Diperlukan suatu
sistem koordinasi yang baik antara kontraktor-kontraktor terkait dan tidak
menghambat para pengguna jalan tol.
b. Ketidakdisiplinan selalu merupakan alasan utama terjadinya
permasalahan transportasi. Saling serobot dan tidak mengindahkan pengemudi
kendaraan lain akan mengakibatkan bertambah panjangnya kemacetan
lalulintas.
c. Kendaraan yang diparkir di badan jalan akan mengurangi kapasitas jaringan
jalan sehingga tidak sesuai lagi dengan kapasitas rencana semula.
2.10. Pencemaran Lingkungan Akibat Transportasi
Udara yang tercemar dengan partikel dan gas dapat menyebabkan gangguan
kesehatan dengan berbeda-beda tingkatan dan jenisnya, bergantung pada
macam, ukuran, dan komposisi kimiawinya. Gangguan tersebut terutama terjadi
37
pada fungsi faal organ tubuh, seperti paru-paru dan pembuluh darah atau
menyebabkan iritasi pada mata dan kulit.
Pencemaran udara karena partikel debu biasanya menyebabkan
penyakit pernafasan kronis, seperti emfiesma paru-paru, asma bronchial, dan
bahkan kanker paru-paru. Sedangkan bahan pencemar gas yang terlarut dalam
udara dapat langsung masuk ke dalam tubuh sampai ke paru-paru, yang pada
akhirnya diserap oleh sistem peredaran darah. Kadar timah (Pb) yang tinggi di
udara dapat mengganggu pembentukan sel darah merah. Gejala keracunan dini
mulai ditunjukkan dengan terganggunya fungsi enzim untuk pembentukan sel
darah merah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan
lainnya, seperti anemia dan kerusakan ginjal. Sedangkan keracunan Pb bersifat
akumulatif (Soedomo, 2001).
Keracunan gas CO timbul sebagai akibat terbentuknya karboksi
hemoglobin (COHb) dalam darah. Afinitas CO yang lebih besar dibandingkan
oksigen (O2) terhadap Hb menyebabkan fungsi Hb untuk membawa oksigen ke
seluruh tubuh menjadi terganggu. Bekurangnya penyediaan oksigen ke seluruh
tubuh ini akan membuat sesak napas dan dapat menyebabkan kematian apabila
tidak segera mendapat udara segar kembali. Sedangkan bahan pencemar udara
seperti SOx, NOx, H2S dapat merangsang saluran pernapasan yang
mengakibatkan iritasi dan peradangan (Soedomo, 2001).
Lapisan udara yang mengelilingi bumi merupakan suatu campuran gas
dengan komposisi yang selalu berubah-ubah. Beberapa di antaranya, yang
konsentrasinya paling bervariasi, adalah H2O dan CO2. Konsentrasi CO2 di udara
selalu rendah, yaitu sekitar 0,03%. Konsentrasi ini kadang-kadang sedikit lebih
tinggi pada tempat-tempat pembusukan sampah tanaman yang menghasilkan
CO2, tempat pembakaran, atau ditempat kumpulan manusia dalam suatu ruang
tertutup. Proses fotosintesis pada tanaman juga menyerap CO2 sehingga
konsentrasi CO2 di tempat-tempat yang ‘hijau’ relatif lebih rendah. CO2 juga larut
dalam air sehingga konsentrasi CO2 udara yang baru melewati lautan juga
rendah (Fardiaz, 1992).
Komposisi udara kering dengan semua uap air telah dihilangkan relatif
konstan. Komposisi udara kering yang bersih, yang dikumpulkan di sekitar laut,
dapat dilihat pada Tabel 8. Konsentrasi gas dinyatakan dalam persen atau per
sejuta (part per million, ppm), tetapi untuk gas yang konsentrasinya sangat kecil
biasanya dinyatakan dalam ppm. Selain gas-gas yang tercantum dalam Tabel
38
2.8, masih ada gas-gas lain yang mungkin terdapat di udara, tetapi jumlahnya
sangat kecil, yaitu kurang dari 1 ppm (Fardiaz, 1992).
Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali
(Fardiaz, 1992). Proses-proses alami, seperti aktivitas vulkanik, pembusukan
sampah tanaman, dan kebakaran hutan, dapat melepas beberapa gas, seperti
SO2, H2S, dan CO ke udara sebagai produk sampingan. Selain itu partikel-
partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin,
letusan vulkanik, atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan polutan alami
tersebut, polusi udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti
pabrik dan transportasi.
Tabel 8. Komposisi Udara Kering dan Bersih
Komponen Formula/Lambang Persen Volume Ppm Nitrogen N2 78,08 780.800 Oksigen O2 20,95 209.500 Argon Ar 0,934 9.340 Karbon dioksida CO2 0,0314 314 Neon NE 0,00182 18 Helium HE 0,000524 5 Metana CH4 0,0002 2 Kripton Kr 0,000114 1 Sumber: Stoker dan Seager dalam Fardiaz, 1992
Polutan udara primer, yaitu polutan yang mencakup 90% dari jumlah
polutan udara seluruhnya dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
(1) Karbon monoksida (CO), (2) Nitrogen oksida (NOx), (3) Hidrokarbon (HC), (4)
Sulfur dioksida (SO2), dan (5) Partikel (SPM).
Menurut Fardiaz (1992), sumber polusi utama berasal dari transportasi,
dengan sekitar 60% adalah karbon monoksida dan 15% hidrokarbon. Sumber-
sumber polusi lainnya meliputi pembakaran, proses industri, dan pembuangan
limbah. Polutan yang utama adalah karbon monoksida, yang mencapai hampir
setengah seluruh polutan yang ada. Tingkat toksisitas polutan tersebut berbeda-
beda, seperti tertera pada Tabel 9.
39
Tabel 9. Tingkat Toksisitas Polutan Polutan Level Toleransi
ppm ug/m³ Toksisitas Relatif
CO HC Sox NOx
Partikel
32,0 40.000 - 19.300 0,50 1.430 0,25 514
- 375
1,00 2,07 28,0
77,80 106,70
Sumber: Babcock (1971) dalam Fardiaz (1992)
Udara yang normal mengandung gas yang terdiri atas 78% nitrogen, 20%
oksigen, 0,93% argon, 0,03% (300 ppm) karbondioksida, dan sisanya terdiri atas
neon, helium, metan, dan hidrogen. Komposisi ini dapat mendukung kehidupan
manusia. Karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) merupakan
efek rumah kaca berguna bagi makhluk hidup di bumi. Jika tidak ada gas rumah
kaca, temperatur di bumi rata-rata hanya -180C. Temperatur ini terlalu rendah
bagi sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia. Tetapi dengan adanya
efek rumah kaca temperatur rata-rata di bumi menjadi 330C lebih tinggi, yaitu
150C. Temperatur ini sesuai bagi kehidupan makhluk hidup (Soemarwoto, 1994).
Karbondioksida merupakan gas rumah kaca yang paling dominan yang terjadi
secara ilmiah dan sangat berperan dalam sistem biologis di dunia.
Karbondioksida bersama dengan air merupakan bahan baku fotosintetis.
Aliran karbon dari atmosfer ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat
dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan
pembakaran dan penyerapan CO2 oleh tanaman. Secara alamiah berada di
atmosfer bumi, berasal dari emisi gunung berapi dan aktivitas mikroba di tanah
(perombakan bahan organik) dan respirasi tumbuhan serta hasil pernapasan
manusia. Selain dari itu gas ini juga dihasilkan dari proses pembakaran bahan
bakar minyak dan gas yang banyak di pergunakan menghasilkan jumlah emisi
gas CO2 yang berbeda-beda.
40
Sumber : IPCC, 2007
Gambar 8. Efek Gas Rumah Kaca (1970 – 2004)
Pada Tabel 10 dapat dilihat nilai emisi karbondioksida yang dihasilkan
dari beberapa jenis bahan bakar, yang disebut juga sebagai faktor emisi atau
nilai yang digunakan untuk mendapatkan berat karbondioksida berdasarkan
besaran-besaran yang dinilai, misalnya minyak tanah, bensin, solar, LPG dan
sebagainya.
Tabel 10. Emisi Gas CO2 Yang Dihasilkan Oleh Beberapa Macam Bahan Bakar
No. Jenis Bahan Bakar Jumlah Emisi Satuan 1. Bensin 23,1 kg/lt 2. Solar 2,68 kg/lt 3. Minyak Tanah 2,52 kg/lt 4. LPG 1,51 kg/kg
Sumber: DEFRA (2005)
Perhitungan emisi CO2 yang dihasilkan bahan bakar minyak solar dan
gas adalah sebagai berikut: (1) solar mempunyai densitas 0,7329 kg/liter, (2)
atom C diasumsikan sama dengan 12, dan (3) berat 1 liter solar sama dengan
0,7329 kg. Kandungan CO2 dalam 1 liter solar sama dengan 44/12 dikalikan
dengan 0,7329 kg sama dengan 2,687 kg. Jadi faktor emisi solar adalah sebesar
2,687 kg CO2/liter, yang artinya setiap liter solar akan menghasilkan emisi 2,687
kg
min
ma
kea
ban
me
jam
seb
bum
ata
teru
oil)
50.
me
ber
hid
pem
me
min
me
CO2. Deng
nyak tanah, d
Menuru
khluk hidup
adaan seha
nyaknya se
mbutuhkan
m. Jumlah g
banyak 39,6
Manusia
mi. Minyak b
s atas hid
utama alkan
mengandun
Dalam kim
mpunyai tit
rbanding lur
rokarbon, s
murnian/refin
misahkan m
nyak bumi
njadi bahan
Sumber
Gamba
gan cara ya
dan LPG.
t Goth (20
juga meng
at dan tidak
kitar 500 m
(6-9) liter ud
as CO2 yan
gr.
a membutu
bumi adalah
rokarbon. H
na (CnH2n+2),
ng sekitar 5
ia organik, s
tik didih m
rus dengan
semakin be
ning minyak
minyak men
setelah did
bakar minya
: McKinsey, 2
r 9. Propors
ang sama, d
005) diacu
hasilkan gas
k bergerak
ml udara pa
dara dalam 1
ng dihasilka
uhkan bahan
suatu camp
Hidrokarbon
kemudian
500 jenis hid
senyawa hid
masing-masin
titik didih d
esar titik d
k bumi dila
ntah dalam
destilasi ber
ak dan gas.
2007
si Konsumsi
diperoleh ha
dalam Dah
s CO2. Rata
sebanyak
ada setiap
1 menit atau
an dari pern
n bakar miny
puran komple
n yang terk
sikloaltana (
drokarbon de
drokarbon te
ng, dengan
dan densita
idih dan d
akukan mela
kelompok-k
rdasarkan ti
Energi Di In
asil faktor e
hlan (2007),
-rata manus
(12-18) ka
tarikan nap
u sekitar (36
apasan ma
yak yang dip
eks yang se
kandung da
(CnH2n). Min
engan jumla
erutama par
n panjang
snya. Sema
densitasnya.
alui destilas
kelompok (f
itik didihnya
ndonesia
emisi untuk
manusia
sia bernapas
ali per men
pas. Jadi m
0-540) liter d
nusia dalam
peroleh dari
ebagian besa
alam minya
nyak mentah
ah atom C-1
rafinik dan a
rantai hidro
akin panjang
. Oleh kar
si bertingka
raksi-fraksi)
a dapat dib
41
bensin,
sebagai
s dalam
nit yang
manusia
dalam 1
m 1 jam
minyak
ar terdiri
ak bumi
h (crude
hingga
aromatik
okarbon
g rantai
rena itu
at, yang
. Fraksi
bedakan
42
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senjawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon
dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida
merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa, dan pada temperatur
udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna.
Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, tetapi
sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia, Korban monoksida yang
berasal dari alam termasuk dari lautan, oksidasi metal di atmosfir, pegunungan,
kebakaran hutan dan badai listrik alam. Sumber CO buatan, antara lain, adalah
kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin.
Berdasarkan estimasi, jumlah CO dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60
juta ton per tahun. Separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang
menggunakan bakan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari sumber tidak
bergerak, seperti pembakaran batubara dan minyak dari industri dan
pembakaran sampah domestik. Dalam laporan WHO (1992) dinyatakan bahwa
paling tidak 90% dari CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan
bermotor. Selain itu asap rokok juga mengandung CO, sehingga para perokok
dapat merusak dirinya sendiri dari asap rokok yang sedang dihisapnya. Sumber
CO dari dalam ruang (indoor) termasuk dari tungku dapur rumah tangga dan dari
tungku pemanas ruang.
Dalam beberapa penelitian ditemukan kadar CO yang cukup tinggi dalam
kendaraan sedan maupun bus. Kadar CO diperkotaan cukup bervariasi
bergantung pada kerapatan kendaraan bermotor dalam lalulintas yang
menggunakan bahan bakar bensin dan umumnya ditemukan kadar maksimum
CO yang bersamaan dengan jam-jam sibuk pada pagi dan malam hari.
Selain cuaca, variasi kadar CO juga dipengaruhi oleh topografi jalan dan
bangunan di sekitarnya. Pemajanan CO dari udara ambien dapat direfleksikan
dalam bentuk kadar karboksi-haemoglobin (HbCO) dalam darah yang terbentuk
dengan sangat pelahan, karena butuh waktu (4-12) jam untuk tercapainya
keseimbangan antara kadar CO di udara dan HbCO dalam darah. Oleh karena
itu kadar CO dalam lingkungan cenderung dinyatakan sebagai kadar rata-rata
dalam 8 jam pemajanan. Data CO yang dinyatakan dalam rata-rata setiap 8 jam
pengukuran sepajang hari (moving 8 hour average concentration) lebih baik
dibandingkan dengan data CO yang dinyatakan dalam rata-rata dari 3 kali
43
pengukuran pada periode waktu 8 jam yang berbeda dalam sehari. Perhitungan
tersebut akan lebih mendekati gambaran respons tubuh manusia terhadap
keracunan CO yang berasal dari udara. Karbon monoksida yang bersumber dari
dalam ruang (indoor) terutama berasal dari alat pemanas ruang yang
menggunakan bahan bakar fosil dan tungku masak. Kadarnya akan lebih tinggi
bila ruangan tempat alat tersebut bekerja tidak mempunyai ventilasi yang
memadai. Namun umumnya kadar pemajanan yang berasal dari dalam ruangan
lebih kecil dibandingkan dengan kadar CO hasil pemajanan asap rokok.
Beberapa Individu juga dapat terpajan oleh CO karena lingkungan
kerjanya. Kelompok masyarakat yang paling terpajan oleh CO termasuk polisi
lalulintas atau tukang pakir, pekerja bengkel mobil, petugas industri logam,
industri bahan bakar bensin, industri gas kimia, dan pemadam kebakaran.
Pemajanan Co dari lingkungan kerja tersebut perlu mendapat perhatian.
Misalnya kadar CO di bengkel kendaraan bermotor ditemukan mencapai 600
mg/m3 dan dalam darah para pekerja bengkel tersebut bisa mengandung HbCO
sampai lima kali lebih tinggi daripada kadar nomal. Para petugas yang bekerja di
jalan raya diketahui mengandung HbCO dengan kadar (4-7,6) % (porokok) dan
(1,4-3,8) % (bukan perokok) selama bekerja sehari. Sebaliknya kadar HbCO
pada masyarakat umum jarang yang melampaui 1 % walaupun studi yang
dilakukan di 18 kota besar di Amerika Utara menunjukan bahwa 45 %
masyarakat bukan perokok yang terpajan oleh CO udara, dalam darahnya
terkandung HbCO melampaui 1,5%. Perlu juga diketahui bahwa manusia sendiri
dapat memproduksi CO akibat proses metabolismenya yang normal. Produksi
CO dalam tubuh sendiri ini (endogenous) bisa sekitar (0,1-1%) dari total HbCO
dalam darah.
Karakteristik biologik CO yang paling penting adalah kemampuannya
untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengakut
oksigen keseluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan
oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan
terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa
oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal,
karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan fungsi
enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang stabil
44
tersebut. Dampak keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah
menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah.
Dampak dari CO bervasiasi bergantung pada kondisi kesehatan
seseorang pada saat terpajan. Beberapa orang yang berbadan gemuk dapat
mentolerir pajanan CO sampai kadar HbCO dalam darahnya mencapai 40 %
dalam waktu singkat. Tetapi seseorang yang menderita sakit jantung atau paru-
paru akan menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar (5-
10) %. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan sistem
kardiovaskular telah banyak diketahui. Namun respons masyarakat berbadan
sehat terhadap pemajanan CO kadar rendah dan dalam jangka waktu panjang
masih sedikit diketahui. Misalnya kinerja para petugas jaga, yang harus
mempunyai kemampuan untuk mendeteksi adanya perubahan kecil dalam
lingkungannya yang terjadi pada saat yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya
dan membutuhkan kewaspadaan tinggi dan terus menerus, dapat terganggu
atau terhambat pada kadar HbCO kurang dari 10 % dan bahkan sampai 5 % (hal
ini secara kasar ekivalen dengan kadar CO di udara masing-masing sebesar 80
mg/m3 dan 35 mg/m3) Pengaruh ini tidak terlalu terlihat pada perokok, karena
kemungkinan sudah terbiasa terpajan dengan kadar yang sama dari asap rokok.
Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan
atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5° C dan titik didih 1.740° C
pada tekanan atmosfer. Senyawa Pb-organik, seperti Pb-tetraetil dan Pb-
tetrametil, merupakan senyawa yang penting karena banyak digunakan sebagai
zat aditif pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan
secara ekonomi. PB-tetraetil dan Pb tetrametil berbentuk larutan dengan titik
didih masing-masing 110° C dan 200° C.
Karena daya penguapan kedua senyawa tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan daya penguapan unsur-unsur lain dalam bensin,
penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar P-tetraetil dan Pb-
tetrametil. Kedua senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan
adanya sinar matahari dan senyawa kimia lain di udara, seperti senyawa holegen
asam atau oksidator.
Pembakaran Pb-alkil sebagai zat aditif pada bahan bakar kendaraan
bermotor merupakan bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer.
Berdasarkan estimasi, sekitar (80–90) % Pb di udara ambien berasal dari
pembakaran bensin, dan kondisi ini tidak sama antara satu tempat dengan
45
tempat yang lain, karena bergantung pada kerapatan lalulintas kendaraan
bermotor dan upaya untuk mereduksi kandungan Pb pada bensin.
Penambangan dan peleburan batuan Pb di beberapa wilayah sering
menimbulkan masalah pencemaran. Tingkat kontaminasi Pb di udara dan air
sekitar wilayah tersebut bergantung pada jumlah Pb yang diemisikan tinggi
cerobong pembakaran limbah. Senyawa Pb organik bersifat neurotoksik dan
tidak menyebabkan anemia. Hampir semua Pb–tetraetil diubah menjadi Pb
Organik dalam proses pembakaran bahan bakar bermotor dan dilepaskan ke
udara. Pengaruh Pb dalam tubuh belum diketahui dengan lengkap tetapi perlu
diwaspadai pemajanan Pb untuk jangka panjang. Timah Hitam dalam tulang
tidak beracun tetapi pada kondisi tertentu bisa dilepaskan karena infeksi atau
proses biokimia dan memberikan gejala keluhan. Garam Pb tidak bersifat
karsiogenik terhadap manusia.
Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan
sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat
pembuatan haemoglobin. Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam
jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut, muntah, atau diare akut.
Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, lelah, sakit
kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan
penglihatan.. Peleburan Pb sekunder, penyulingan dan industri senyawa dan
barang-barang yang mengandung Pb, serta insinerator juga dapat menambah
emisi Pb ke lingkungan. Karena batubara, seperti juga mineral lainnya, pada
umumnya mengandung Pb dengan kadar rendah, kegiatan berbagai industri,
terutama yang menghasilkan besi dan baja, peleburan tembaga, dan
pembakaran batubara, harus dipandang sebagai sumber yang dapat menambah
emisi Pb ke udara.
Penggunaan pipa air yang mengandung Pb di rumah tangga, terutama
pada daerah yang kesadahan airnya rendah (lunak), dapat menjadi sumber
pemajanan Pb pada manusia. Demikian juga dengan rumah tua, yang masih
banyak menggunakan cat yang mengandung Pb, dapat menjadi sumber
pemajanan Pb.
Pemajanan Pb dari industri telah banyak tercatat, tetapi kemaknaan
pemajanan di masyarakat luas masih kontroversi. Kadar Pb di alam sangat
bervariasi tetapi kandungan dalam tubuh manusia berkisar antara (100–400) mg.
Sumber masukan Pb adalah makanan, terutama bagi mereka yang tidak bekerja
46
atau kontak dengan Pb. Diperkirakan rata-rata masukan Pb melalui makanan
adalah 300 ug per hari, dengan kisaran antara (100–500) mg perhari. Rata-rata
masukan melalui air minum adalah 20 mg, dengan kisaran antara (10–100) mg.
Hanya sebagian asupan (intake) yang diabsorpsi melalui pencernaan. Pada
manusia dewasa, absorpsi untuk jangka panjang berkisar antara (5–10) %. Bila
asupan tidak berlebihan, kandungan Pb dalam tinja dapat untuk memperkirakan
asupan harian karena 90% Pb dikeluarkan dengan cara ini.
Kontribusi Pb di udara terhadap absorpsi oleh tubuh lebih sulit
diperkirakan. Distribusi ukuran partikel dan kelarutan Pb dalam partikel juga
harus dipertimbangkan. Biasanya kadar Pb di udara sekitar 2 mg/m3 dan dengan
asumsi 30% mengendap di saluran pernapasan dan absorpsi sekitar 14 mg/per
hari. Mungkin perhitungan ini bisa dianggap terlalu besar dan partikel Pb yang
dikeluarkan dari kendaraan bermotor ternyata bergabung dengan filamen karbon
dan lebih kecil dari yang diperkirakan walaupun agregat ini sangat kecil (0,1 mm)
dan jumlah yang tertahan di alveoli mungkin kurang dari 10 %. Uji kelarutan
menunjukkan bahwa Pb berada dalam bentuk yang sukar larut.
Hampir semua organ tubuh mengandung Pb dan kira-kira 90 % dijumpai
di tulang. Kandungan Pb dalam darah kurang dari 1% dan dipengaruhi oleh
asupan yang baru (dalam 24 jam terakhir). Manusia dengan pemajanan rendah
mengandung (10–30) mg Pb per 100 g darah Manusia yang mendapat
pemajanan kadar tinggi mengandung lebih dari 100 mg per 100 g darah.
Kandungan Pb dalam darah sekitar 40 mg Pb per 100 g dianggap terpajan berat
atau mengabsorpsi Pb cukup tinggi walau tidak terdeteksi tanda-tanda keluhan
keracunan.
Terdapat perbedaan tingkat kadar Pb di perkantoran dan perdesaan.
Wanita cenderung mengandung Pb lebih rendah dibandingkan dengan pria, dan
pada perokok lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok. Gejala klinis
keracunan Pb pada individu dewasa tidak akan timbul pada kadar Pb yang
terkandung dalam darah kurang dari 80 mg Pb per 100 g darah, namun
hambatan aktivitas enzim untuk sintesis haemoglobin sudah terjadi pada
kandungan Pb normal, yaitu (30–40) mg.
Pb berakumulasi di rambut sehingga dapat dipakai sebagai indikator
untuk memperkirakan tingkat pemajanan atau kandungan Pb dalam tubuh. Anak-
anak merupakan kelompok dengan risiko tinggi. Menelan langsung bekas cat
yang mengandung Pb merupakan sumber pemajanan, selain emisi industri dan
47
debu jalan yang berasal dari lalulintas yang padat. Mungkin keracunan Pb ada
juga hubungannya dengan keterbelakangan mental tetapi hingga saat ini belum
ada bukti yang signifikan.
Kendaraan di jalan mengeuarkan banyak emisi CO2 ke udara. Bila
lalulintas dibiarkan tumbuh seperti sekarang dan kemacetan lalulintas yang
terjadi dibanyak kota semakin parah, emisi CO2 total tahun pada 2020 yang
dihasilkan oleh kendaraan di jalan diperkirakan mencapai sekitar 222 juta ton,
atau ekivalen dengan berat 63 Candi Borobudur.
Sumber : Susantono, 2011
Gambar 10. Estimasi Emisi CO2 Nasional Tahun 2020 akibat Transportasi Jalan Bila Kemacetan Lalulintas Dibiarkan Bertumbuh Seperti Sekarang (Do Nothing)
Masalah pencemaran udara di kota-kota besar sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, yaitu topografi, kependudukan, iklim dan cuaca, serta tingkat
atau angka perkembangan sosio-ekonomi dan industrialisasi. Keadaan masalah-
masalah ini akan meningkat jika jumlah penduduk perkotaan semakin meningkat,
yang mengakibatkan jumlah penduduk yang terpapar polusi udara juga
meningkat. Perkiraan PBB menunjukkan bahwa sampai tahun 2000 terdapat 47
% jumlah keseluruhan populasi tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun1990,
terdapat 60 kota di dunia yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 3 juta orang
dan pada tahun 2000 diproyeksikan 85 kota-kota akan termasuk jenis kategori
ini.
Pertumbuhan polusi kota dan tingginya tingkat industrialisasi yang
membutuhkan energi yang lebih besar, umumnya akan menghasilkan
pembuangan limbah atau zat pencemar lebih banyak. Pembakaran bahan bakar
fosil, untuk pemanasan rumah tangga, untuk pembangkit tenaga listrik,
ken
pad
zat
dan
dar
tera
der
Clim
teru
kac
aka
tem
aka
me
dae
seb
ini.
yan
gur
ndaraan ber
dat dengan
pencemar d
Sumber:
Gamba
Menuru
n Teknologi
ratan bumi m
akhir, rata-ra
rajat Fahren
mate Chang
utama diseb
ca ke atmos
an meningka
mperatur ini,
an mencair
naikkan per
erah pantai
bagai negara
Selain i
ng lebih ting
run, yang m
rmotor, dala
pembakaran
di daerah pe
: Kementerian
r 11. Konstr
t Pusat Info
(PIRBA), m
menyebabka
ata tempera
heit). Dalam
ge (IPCC) p
babkan oleh
sfer. IPCC m
at (1,4-5,8)
jika seluruh
r, yang m
rmukaannya
atau bahk
a kepulauan
tu, daerah d
ggi, tetapi t
menyebabka
am proses–
n, merupaka
erkotaan.
n Perhubunga
ribusi Sektor
rmasi Riset
meningkatny
an terjadinya
atur ini telah
m laporan ya
ada tahun 2
h aktivitas m
memprediks
derajat Ce
bangsa di d
mengakibatka
a sekitar (9-1
kan dapat
n patut khaw
dengan iklim
tanah juga
n kerusakan
proses indu
an sumber u
an RI, 2011
r Terhadap P
Bencana Al
a temperatu
a pemanasa
meningkat
ng dikeluark
2001, disimp
manusia yan
si peningkat
elsius pada
dunia tidak m
an meningk
100) cm, ya
menenggela
watir dengan
m yang hang
lebih cepat
n pada tana
ustri, dan pe
utama pemb
Polusi Udara
lam, Kemen
ur rata-rata
n global. Se
sebesar 0,6
kan Intergov
pulkan bahw
ng menamb
tan tempera
tahun 2100
melakukan a
katkan volu
ng akan me
amkan pula
n peningkat
gat akan me
kering dan
aman bahka
embuangan
buangan limb
a di Indones
terian Nega
atmosfer, la
elama seratu
6 derajat Ce
ernmental P
wa perubah
bah gas-gas
atur rata-rata
0. Akibat k
apa-apa, es
ume lautan
enimbulkan b
au-pulau. In
an perubah
nerima cura
n potensial
an mengha
48
limbah
bah zat-
i
ra Riset
aut, dan
us tahun
elsius (1
Panel on
an iklim
s rumah
a global
kenaikan
di kutub
n serta
banjir di
donesia
an iklim
ah hujan
menjadi
ncurkan
49
suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan
bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu
berpindah akan musnah. Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan dan
menyebarnya penyakit tropis, seperti malaria ke daerah-daerah baru karena
bertambahnya populasi serangga, akan menyebabkan daerah-daerah tertentu
menjadi padat dan sesak karena arus pengungsian.
Sumber: IPCC, 2007
Gambar 12. Perubahan Temperatur Bumi Tahun 1970 - 2004
Selain karena penambahan gas rumah kaca ke atmosfer, pemanasan
yang cepat ini disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu
bara, dan minyak bumi. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca
ini, maka atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas
dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Sedangkan penggunaan batu bara,
yang dinilai paling berpengaruh dalam pemanasan global, saat ini mencapai 5,3
milyar ton dengan produksi gas buang berupa karbon dioksida untuk setiap
kilogram batubara sebanyak 2,7 kilogram. Karena itu lebih dari 13 milyar ton gas
CO2 yang dilepas ke atmosfir setiap tahunnya. Hal inilah yang berdampak pada
perubahan iklim dunia.
50
2.11. Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertentu, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan (Kepmen LH No.48 Tahun 1996) atau
semua suara yang tidak dikehendaki, yang bersumber dari alat-alat proses
produksi dan/atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran (Kepmen Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999). Menurut
Poernomosidhi (1995), pada umumnya terdapat tiga sumber kebisingan, yaitu
kebisingan lalulintas atau transportasi, kebisingan pekerjaan atau industri, dan
kebisingan penduduk atau permukiman.
Semua kebisingan tersebut dapat menghasilkan kerusakan fisik dan
psikologis. Kebisingan lalulintas bersifat konstan dan menyebar luas, sehingga
menimbulkan masalah-masalah yang lebih serius. Pada umumnya kecepatan
kendaraan yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat kebisingan yang lebih
tinggi pula, dan permukaan jalan yang makin kasar juga akan menghasilkan
kebisingan yang makin tinggi. Bunyi yang paling keras timbul di daerah
persimpangan (intersection area) karena adanya kendaraan yang berhenti atau
mengerem serta kendaraan yang mulai berjalan.
Di antara pencemaran lingkungan yang lain, pencemaran atau polusi
kebisingan dianggap istimewa dalam hal: (1) penilaian pribadi dan subjektif
sangat menentukan untuk mengenali suara sebagai pencemaran kebisingan
atau tidak, dan (2) kerusakannya setempat dan sporadis dibandingkan dengan
pencemaran udara dan pencemaran air, dengan bising akibat pesawat terbang
merupakan pengecualian.
Apabila bel dibunyikan, seseorang menangkap ‘nyaring’, ‘tinggi’, dan
‘nada’ suara yang dipancarkan. Ini merupakan suatu tolok ukur yang
menyatakan mutu sensorial suara dan dikenal sebagai ‘tiga unsur suara’. Ukuran
fisik ‘kenyaringan’ adalah amplitudo dan tingkat tekanan suara. Untuk ‘tinggi’
suara adalah frekuensi. Sedangkan ‘nada’ adalah sejumlah besar ukuran fisik.
Kecenderungan saat ini adalah menggabungkan segala yang merupakan sifat
suara, termasuk tingginya, nyaringnya, dan distribusi spectral sebagai ‘nada’.
Decibel (dB) adalah ukuran energi bunyi atau kuantitas yang dipergunakan
sebagai unit-unit tingkat tekanan suara berbobot A. Pengukuran tingkat
51
kebisingan diperlukan untuk menghitung bertambah atau berkurangnya tingkat
tekanan suara berbobot A rata-rata. Meskipun pengaruh suara banyak kaitannya
dengan faktor-faktor psikologis dan emosional, ada kasus-kasus ketika akibat-
akibat serius, seperti kehilangan pendengaran, terjadi karena tingginya tingkat
kenyaringan suara pada tekanan suara berbobot A dan karena lamanya telinga
terpapar kebisingan itu (Susanto, 2006).
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan
(Kepmen LH No.48 Tahun 1996). Pada Tabel 11 dapat dilihat jenis-jenis akibat
kebisingan yang diderita oleh seseorang akibat terpapar kebisingan dalam
waktu yang cukup lama. Baku mutu tingkat kebisingan untuk berbagai lokasi,
sesuai Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.587/1980, tanggal 7 Juni 1980,
dapat dilihat pada Tabel 12.
Kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan
penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari, untuk waktu
tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu, adalah 85 dB(A) (Kepmen
Tenaga Kerja No.51/1999), seperti yang terdapat pada Tabel 13. Agar
kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan, perlu diambil
tindakan seperti pengguanaan peredam pada sumber bising, penyekatan,
pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan bukit buatan, atau
pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri sehingga
kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.
52
Tabel 11. Akibat Fisik dan Psikologis Kebisingan
Tipe Uraian Akibat lahiriah Kehilangan
Pendengaran Perubahan ambang batas sementara akibat kebisingan dan perubahan ambang batas permanen akibat kebisingan
Akibat fisiologis Rasa tidak nyaman atau stres meningkat, tekanan darah meningkat, sakit kepala, dan bunyi dering
Akibat psikologis
Gangguan emosional
Kejengkelan dan kebingungan
Gangguan gaya hidup
Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja, dan mambaca.
Gangguan pendengaran
Merintangi kemampuan mendengarkan TV, radio, percakapan, dan telpon.
Sumber: Susanto, 2006
Tabel 12. Kriteria Ambien Kebisingan
Sumber: Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.587/1980
Peruntukan Derajat Kebisingan (dbA)
Maksimum yang diinginkan
Maksimum yang diperkenankan
Perumahan 45 60 Industri/Perkantoran 70 70 Pusat Perdagangan 75 85 Rekreasi 50 60 Campuran Perumahan/Industri 50 50
53
Tabel 13. Batas Kebisingan Yang Dapat Diterima oleh Tenaga Kerja
Waktu pernapasan per hari Intensitas Kebisingan dB(A)
8 Jam 85 4 88 2 91 1 94 30 Menit 97 15 100 7,5 103 3,75 106 1,88 109 0,94 112
28,12 Detik 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139
Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dB(A) walaupun sesaat
Sumber: Kepmen Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999
2.12. Studi-Studi Terdahulu Tentang Pengelolaan Transportasi
Medawati (1996), dalam penelitiannya mengenai pengembangan model
pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman, mengemukakan
bahwa karakteristik emisi pencemar udara di daerah perkotaan, seperti Jakarta,
Bandung, dan Surabaya, ditentukan oleh besarnya sektor-sektor yang
menggunakan bahan bakar. Sektor yang paling dominan di ketiga kota tersebut
adalah sektor transportasi. Kontribusi pencemar CO, HC, NOx, SPM, dan SOx
dari sektor transportasi tidak saja ditentukan oleh volume lalulintas dan jumlah
kendaraan, tetapi juga oleh pola lalulintas dan sirkulasinya di dalam kota,
khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan. Pengendalian pencemaran
udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan penanaman pohon-
54
pohon angsana, bougenvile, dan flamboyan. Emisi CO dapat lebih diserap oleh
kerimbunan tanaman-tanaman tersebut dibandingkan dengan emisi SOx.
Santoso et al. (2001) dalam penelitiannya mengenai “tinjauan
aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan, studi kasus kota Semarang”
meneliti tentang aksesibilitas transportasi di lingkungan perumahan dan
perbedaan aksesibilitas antara perumahan yang satu dengan yang lain.
Pengambilan data dilakukan dengn cara survei wawancara terhadap 179
responden rumah tangga di 4 lokasi perumahan yang dipilih. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aksesibilitas transportasi perumahan yang satu tidak sama
dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik perumahan
maupun karakteristik penghuninya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
aksesibilitas transportasi perumahan adalah kepemilikan sepeda motor dalam
keluarga, kepemilikan mobil dalam keluarga, tingkat kemudahan mendapatkan
angkutan umum, dan kondisi jalan.
Avianto (2002) dalam penelitiannya tentang transportation green house
gasses (emisi gas buang kendaraan) dan akibatnya pada pencemaran udara
yang berpotensi mengurangi kunjungan wisatawan ke kota Bandung
mengemukakan bahwa dari 4 alternatif kebijakan yang ada, yaitu basic (tanpa
perubahan), urban greening (penghijauan kota), parking area (penyediaan
parkir), dan public transportation (angkutan umum). Dengan simulasi sistem
dynamics diperoleh hasil bahwa alternatif kebijakan terbaik adalah alternatif 4,
yaitu peningkatan pertumbuhan angkutan umum dan pengurangan kendaraan
pribadi. Menurut model yang dibuat oleh peneliti, kebijakan tersebut akan
membuat pertumbuhan wisatawan di kota Bandung berkelanjutan dan
mengurangi pencemaran udara secara signifikan.
Purwaamijaya (2005) dalam penelitiannya mengenai pola perubahan
lingkungan yang disebabkan oleh prasarana dan sarana jalan mengemukakan
bahwa pola perubahan lingkungan yang disebabkan oleh prasarana dan sarana
jalan mengenali 3 tahap pembangunan dan operasional jalan yang pengelolaan
dan pemantauan lingkungannya harus mempertimbangkan peningkatan
ekonomis wilayah, mengurangi perubahan bentang alam, mengurangi
penurunan kualitas lingkungan, mengurangi keresahan masyarakat, dan
mengurangi penurunan keaneka ragaman hayati. Pertimbangan prinsip-prinsip
ekonomis, ekologis, dan sosial politis dalam pembangunan dan operasional jalan
akan mendukung pembangunan berkelanjutan.
55
Umadevi (2006), dalam penelitiannya mengenai “sistem dynamics
modeling for land use transport interaction” meneliti tentang interaksi antara
tataguna lahan dan transportasi serta alternatif kebijakan untuk pengelolaan
transportasi dari suatu kawasan tataguna lahan di kota metropolitan. Peneliti ini
membagi pengelolaan transportasi di suatu tataguna lahan menjadi 3 (tiga) sub-
model, yaitu sub-model population, sub-model land use, dan sub-model
transportation. Hasil peneliti ini, dengan peningkatan peran “public transport” dan
pengawasan pada penggunaan tataguna lahan akan diperoleh penurunan
bangkitan perjalanan, dari 4.621 menjadi 2.017 (turun sekitar 50%).
Wismadi (2008), dalam penelitiannya tentang “studi tipologi land use
sebagai pendekatan input bangkitan dan tarikan perjalanan pada pemodelan
transportasi, studi kasus di Yogyakarta”, melakukan perhitungan estimasi volume
lalulintas jalan dengan memperhatikan dinamika aktivitas tataguna lahan dari sisi
tata ruang. Penelitian ini menghasilkan model generik yang diharapkan dapat
diimplementasikan di kota atau di daerah lain. Variabel-variabel yang terdapat
dalam model tersebut harus dikalibrasi dengan kondisi setempat sebelum model
ini dapat dimanfaatkan dan menghasilkan nilai prediksi yang tepat.
Abeto (2008), dalam penelitiannya mengenai tingkat kemacetan di kota
Bandar Lampung, mengemukakan bahwa dari hasil analisis dan pembahasan
perilaku derajat kejenuhan jalan di kota Bandar Lampung dengan menggunakan
metodologi sistem dynamics, diperoleh hasil bahwa kebijakan yang cocok
dipakai untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi di kota Bandar
Lampung adalah dengan penerapan skenario kebijakan pengembangan sistem
angkutan umum massal, kebijakan pembatasan umur kendaraan bermotor, dan
dengan pembuatan lajur khusus sepeda motor.
Masri (2009), dalam penelitiannya mengenai “kajian perubahan
lingkungan di zona buruk untuk perumahan, studi kasus: Kawasan Bandung
Utara”, mengemukakan bahwa dari analisis special zonasi kesesuaian lahan
untuk perumahan di Kawasan Budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang, dan
Cimenyan (perumahan di kawasan Bandung Utara) menunjukkan bahwa 68,22%
dari total luas lahan untuk perumahan berada di zona buruk untuk perumahan.
Sedangkan hasil analisis spasial evaluasi lokasi untuk perumahan eksisting
menunjukkan bahwa 45,90% luas terbangun berada di zona buruk untuk
perumahan dengan faktor pembatas drainase (buruk sampai sangat buruk),
kepekaan terhadap erosi (sedang sampai berat), bencana banjir (jarang sampai
56
sangat sering), kemiringan lereng (berbukit sampai sangat curam), tekstur tanah
(halus sampai agak halus), batuan dan kerikil (banyak sampai sangat banyak),
dan kedalaman efektif tanah (dalam sampai sedang). Hasil analisis spasial
menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan di kawasan lindung menjadi
kawasan perumahan. Seluas 78,49% kawasan perumahan berada di daerah
hutan lindung dan 21,51% nya berada di daerah konservasi.
Tabel 14. Matriks Beberapa Penelitian Yang Pernah Dilakukan Tentang Transportasi dan Pencemaran Udara di Perkotaan
No. Nama Peneliti Tahun
Penelitian Tujuan dan Sasaran Penelitian
Ruang Lingkup Hasil Penelitian Kaitan dengan Penelitian ini
1. Medawati 1996 Pengembangan model pengendaiian pencemaran udara di Kawasan permukiman.
Penelitian mengenai karakteristik emisi pencemar udara di perkotaan dari sektor transportasi dan rumah tangga, serta pengendaliannya dengan menggunakan tanaman hijau.
Kontribusi pencemar CO, HC, NOx, SPM, dan Sox dari sektor transportasi tidak saja diteniukan oleh volume lalulintas dan jumlah kendaraan, tetapi juga oleh pola lalulintas dan sirkulasinya di dalam kota, khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan.
Hanya meneliti tentang pencemaran akibat transportasi dan sistem tataguna lahan, tidak membahas tentang sistem pergerakan, sistem jaringan dan sistem sarana transportasi.
Pengendaiian pencemaran udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan pohon Angsana, Bougenviie dan Flamboyan. Emisi CO dapat tebih diserap oleh Kerimbunan tanaman-tanaman Tersebut dibandingkan dengan emisi SOx.
2. Santoso et al. 2001 Tinjauan aksesibitas transportasi lingkungan perumahan; studi kasus Kota Semarang.
Penelitian tentang aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan dan perbedaan aksesibilitas antara perumahan yang satu dengan yang lain.
Aksesibilitas transportasi perumahan yang satu tidak sama dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik perumahan maupun karakteristik penghuninya. Faktor-faktor yang berpengruh terhadap aksesibilitas transportasi perumahan adalah kepernilikan sepeda motor dalam keluarga, kepemilikan mobil dalam keluarga, tingkat kemudahan mendapatkan angkutan umum dan kondisi jalan.
Penelitian tentang transportasi, tidak membahas pencemaran udara.
3. Avianto 2002 PeneJitian tentang Gas Rumah Kaca yang disebabkan oleh transportasi.
Penelitian tentang gas rumah kaca yang disebabkan oleh transportasi dan pengaruhnya terhadap kunjungan wlsatawan di Bandung.
Kebijakan terbaik adalah peningkatan pertumbuhan angkutan umum dan pengurangan kendaraan pribadi. Menurut model yang dibuat oleh peneliti, kebijakan tersebut akan membuat pertumbuhan
Membahas tentang sistem sarana transportasi (kendaraan) dan pencemaran udara. Tidak membahas sistem tataguna Iahan, sistem pergerakan dan
57
No. Nama Peneliti Tahun Penelitian
Tujuan dan Sasaran Penelitian
Ruang Lingkup Hasil Penelitian Kaitan dengan Penelitian ini
wisatawan di kota Bandung berkelanjutan dan mengurangi pencemaran udara secara signifikan.
sistem jaringan jalan.
4. Purwaamijaya 2005 Menelitipola perubahan Lingkungan yang diaktbatkan oleh prasarana dan sarana jalan.
Penelitian tentang pola perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan prasarana jalan pada tahap perencanaan, pembangunan. dan operasionalisasi jalan.
Pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologts dan soslal politis dalam pembangunan dan opersional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Penelitian tentang pencemaran udara dan air akibat transportasi perkotaan, tidak membahas tentang tataguna lahan, sistem pergerakan, sistem jaringan jalan dan sistem sarana kendaraan.
5. Umadevi 2006 Merancang model sistem dinamik untuk interaksi antara tataguna lahan dengan transportasi.
Meneliti tentang interaksi antara tataguna lahan dan transportasi serta attematif kebijakan untuk pengelolaan transportasi dart suatu kawasan tataguna lahan di kota metropolitan.
Dengan peningkatan peran dari "public transport" dan pengawasan pada penggunaan tataguna lahan akan diperoleh penurunan bangkitan perjalanan dari 4621 menjadi 2017 (turun sekitar 50%).
Penelitian tentang interaksi antara tataguna lahan dengan transportasi. Tidak membahas tentang pencemaran udara.
6. Wismadi 2008 Melakukan studi tipologi land use sebagai pendekatan input bangkitan dan tarikan perjalanan pada pemodelan transportasi; studi kasus di Yogyakarta
Melakukan perhitungan estimasi volume lalulintas jalan dengan memperhatikan dinamika aktivitas tataguna lahan dari sisi tataruang.
Model generik yang diharapkan dapat diimplementasikan di kota atau daerah lain, dengan variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut harus dikalibrasi dengan kondisi setempat sebelum model ini dapat dimanfaatkan dan menghasilkan nilai prediksi yang tepat
Penelitian tentang Transportasi (tataguna lahan), tidak membahas sistem jaringan jalan, sistem pergerakan dan sistem sarana.
7. Abeto, M. 2008 Menganalis ist'ngkat kemacetan di kota Bandar Lampung
Menganalisis dan membahas perilaku derajat kejenuhan jalan di kota Bandar Lampung dengan Menggunakan metodologi system dynamic
Penerapan kebijakan pengembangan sistem angkutan umum massa! dan kebijakan pembatasan umur kendaraan bermotor dan pembuatan lajur khusus sepeda motor, yang bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi di kota Bandar Lampung.
Penelitian tentang sistem tataguna lahan, sistem pergerakan, sistem jaringan jalan dan sistem sarana, tidak membahas tentang pencemaran udara.
8. Masri 2009 Mengkaji perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan dengan studi kasus: Kawasan Bandung Utara.
Analisis spasial zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di kawasan budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang, dan Cimenyan (perumahan di Kawasan Bandung Utara)
Terjadi konversi lahan di kawasan findung menjadi kawasan perumahan. Seluas 78,49 % kawasan perumahan berada di daerah hutan lindung, dan 21,51% nya berada di daerah konservasi.
Penelitian tentang pencemaran udara, pencemaran air dan kesesuaian lahan untuk perumahan di pinggiran kota. Tidak secara khusus membahas sistem jaringan jalan, sistem pergerakan, dan tataguna lahan.
58
2.13. Teori Sistem Dinamis
Sebagai salah satu pendekatan dalam pemodelan kebijakan, analisis
sistem dinamis telah dan sedang berkembang sejak diperkenalkan pertama kali
oleh Jay W. Forrester pada dekade 50-an. Metodologi ini muncul sewaktu
kelompok Jay Forrester melakukan riset di MIT dengan mencoba
mengembangkan manajemen industri guna mendesain dan mengendalikan
sistem industri (yang merupakan sebuah sistem sosial yang kompleks). Mereka
mencoba mengembangkan metode manajemen untuk perencanaan industri
jangka panjang.
Sebagai obyek, sistem dapat didekati dengan berpikir sistemik yang pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 jenis yang berbeda, yaitu: (1) sistem hidup
(manusia), (2) sistem fisik (dinding bata, jalan raya), dan (3) sistem non-fisik
(organisasi, lembaga, instansi).
Menurut Muhammadi (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar-
unsur sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai
tujuan. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan
(aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh
keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Apabila
dalam aljabar 1 ditambah 1 adalah 2, dalam sistem 1 ditambah 1 tidak sama
dengan 2 dan nilainya bisa tak berhingga. Pengertian interaksi adalah pengikat
atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk atau struktur kepada obyek,
membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek.
Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit maupun abstrak, yang menyusun
obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur. Gangguan
pada salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi
unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem ini disebut
juga bagian sistem atau sub-sistem. Pengertian obyek adalah sistem yang
menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara
sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar batas sistem
adalah lingkungan sistem. Pada umumnya semakin luas bidang bidang perhaian
semakin kabur batas sistem. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa batas
obyek dengan lingkungan cenderung bersifat konseptual, terutama terhadap
obyek-obyek non-fisik.
59
Pengertian batas antara sistem dengan lingkungan tersebut memberikan
dua jenis sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah
sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap (tidak tembus) terhadap
pengaruh lingkungan. Sistem tertutup tersebut hanya ada di dalam anggapan
(untuk analisis), karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan
lingkungan, atau sebagai sebuah sistem terbuka.
Lingkungan Sistem
Gambar 13. Diagram Sistem Pengertian tujuan adalah unjuk kerja sistem yang teramati atau
diinginkan. Unjuk kerja yang teramati tersebut merupakan hasil yang telah
dicapai oleh kerja sistem, yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas
lingkungan tertentu. Di lain pihak, unjuk kerja yang diinginkan merupakan hasil
yang akan diwujudkan dalam sistem melalui keseluruhan interaksi antar unsur
dalam batas lingkungan tertentu. Perumusan tujuan sistem ini akan membantu
memudahkan menarik garis batas sistem yang menjadi perhatian.
Unjuk membangun model yang bersifat sistemik, ada lima langkah yang
perlu dilakukan (Muhammadi, 2001), yaitu:
1. Identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; yaitu mengungkapkan
pemikiran tentang bagaimana proses yang terjadi sehingga menghasilkan
suatu kejadian di alam nyata.
2. Identifikasi kejadian yang diinginkan; yaitu memikirkan kejadian yang
seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan, atau yang
direncanakan.
Unsur A
Unsur E
Unsur B
Unsur C
Unsur F
Unsur D
BATAS
Sumber: Muhammadii (2001)
60
3. Identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; adalah
memikirkan tingkat kesenjangan antara kejadian aktual dengan yang
seharusnya. Kesenjangan tersebut adalah masalah yang harus dipecahkan.
Perumusan masalah ini secara konkrit, bisa dinyatakan secara kualitatif atau
kuantitatif.
4. Identifikasi dinamika menutup kesenjangan; yaitu aliran informasi tentang
keputusan-keputusan yang telah bekerja dalam sistem. Keputusan-
keputusan tersebut pada dasarnya adalah pemikiran yang dihasilkan melalui
proses pembelajaran yang dapat bersifat reaktif (berdasarkan pengalaman
masa lampau) atau kreatif (bisa berbeda dengan pengalaman masa lampau
dan berorientasi pada masa depan (visionary).
5. Analisis kebijakan; yaitu menyusun alternatif tindakan atau keputusan
(policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual
transformation) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual
state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang
diinginkan (desired state).
Berdasarkan lima langkah tersebut, untuk membangun model yang
didasarkan pada sistem dinamis dapat disusun tahapan-tahapan pembuatan
model (Saeed, 1995), yaitu:
a. Identifikasi dan definisi masalah;
b. Konseptual sistem;
c. Perumusan model;
d. Analisis perilaku model;
e. Pengujian dan pengembangan model;
f. Analisis kebijakan; dan
g. Implementasi model
Langkah-langkah tersebut dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 14.
Selanjutnya tahapan pemodelan sistem dinamik menurut Tasrif (1985)
dalam Mulyana (1999) dapat diuraikan penjelasannya sebagai berikut:
(1) Identifikasi dan Definisi Masalah; yaitu mendefinisikan masalah juga
mencakup penentuan data yang diperlukan, termasuk data historis.
Untuk mendapatkan inti permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang
perlu diungkapkan, yaitu:
(a) Pola Referensi (Reference Mode); pada langkah ini diidentifikasikan pola
historis atau pola hipotesis yang menggambarkan perilaku persoalan
61
(problem behavior). Pola referensi ini merupakan gambaran perubahan
variabel-variabel penting dan variabel lain yang terkait, dari waktu ke
waktu. Berdasarkan pola historis variabel-variabel ini, akan dihasilkan inti
masalah untuk suatu kajian system dynamics.
Gambar 14. Tahapan Pembuatan Model Dengan Sistem Dinamik
(b) Hipotesis Dinamik; langkah ini memberikan hipotesis awal tentang
interaksi-interaksi perilaku yang mendasari pola referensi. Beberapa
formulasi, perbandingan dengan bukti empiris dan reformulasi akan
diperlukan untuk sampai pada satu hipotesis yang logis dan sahih secara
empiris.
(c) Batas Model; menggambarkan cakupan analisis dan akan berdasarkan
kepada isu-isu yang ditunjukkan oleh analisis tersebut dan akan meliputi
semua interaksi sebab akibat yang berhubungan dengan isu tersebut,
(d) Jangkauan Waktu; menunjukkan dalam periode waktu yang mana
aspek-aspek perubahan menjadi suatu masalah.
DEFINISI MASALAH
KONSEPTUALISASI SISTEM
PENGGAMBARAN MODEL
PERILAKU MODEL
EVALUASI MODEL
ANALISIS MODEL DAN PENGGUNAAN MODEL
PERBAIKAN
KONSEPTUAL
TEKNIS
Sumber: Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Kimpraswil, 2003
62
(2) Konseptualisasi Sistem; yaitu tahapan penyusunan unsur-unsur yang
dianngap berpengaruh dalam struktur sistem, mengenali saling
keterkaitannya, serta menggambarkan causal loop serta diagram alirnya.
(3) Perumusan Model; yaitu setelah unsur-unsur diketahui kemudian disusun
dalam bentuk persamaan yang dituangkan ke dalam program komputer,
dengan mempertimbangkan komponen level, rate, dan alirannya:
(a) Persamaan Level; menyatakan akumulasi yang terdapat dalam sistem
yang besarnya dipengaruhi oleh nilai awalnya dan perbedaan aliran
(rate) masuk dan aliran keluar. Level pada suatu loop hanya bisa
didahului oleh rate , tetapi bisa diikuti oleh auxialiary atau rate. Level
tidak bisa dipengaruhi secara langsung oleh level lainnya.
(b) Persamaan rate; menyatakan formulasi aliran yang bisa mengubah level
(masuk atau keluar level) dan nilainya dipengaruhi oleh informasi-
informasi yang datang kepadanya. Rate merupakan suatu aliran yang
menyebabkan bertambah atau berkurangnya level. Ada rate masuk
menambah akumulasi dalam level dan rate keluar yang
menghubungkan panah menunjuk pada ‘sink’.
(c) Persamaan auxiliary; adalah persamaan bantu di dalam merumuskan
persamaan rate, yang digunakan untuk mendefinisikan faktor-faktor
yang menentukan persamaan rate secara terpisah. Persamaan
tambahan yang disubtitusikan satu sama lain, serta dapat disubtitusikan
pada beberapa persamaan rate yang berbeda.
(d) Persamaan sisipan (suplementary); digunakan untuk mendefinisikan
variabel-variabel yang bukan merupakan bagian dari struktur model,
tetapi dibutuhkan dalam pencetakan dan pembuatan grafik dari nilai-nilai
yang diperlukan tentang perilaku model.
(e) Persamaan nilai awal (initial value); digunakan untuk mendefinisikan
harga awal dari semua level, kadang-kadang harga awal rate, yang
harus diberikan sebelum siklus pertama perhitungan persamaan model.
(f) Persamaan eksogen; yaitu suatu metode untuk menghasilkan masukan-
masukan yang hanya merupakan fungsi terhadap waktu. Persamaan ini
bermanfaat jika dapat dilakukan aproksimasi terhadap data historis yang
ada. Biasanya dipakai sebagai masukan uji model.
(g) Aliran material; yaitu aliran dari level satu ke level lain yang besarnya
ditentukan oleh persamaan rate.
63
(h) Aliran informasi; yaitu suatu struktur yang berperan dalam fungsi-fungsi
keputusan yang tidak mempengaruhi variabel secara langsung.
(4) Analisis Perilaku Model; yaitu mensimulasikan model yang telah terbentuk
untuk mengetahui perilakunya terhadap waktu. (5) Pengujian dan Pengembangan Model; karena model merupakan
penyederhanaan dari sistem dunia nyata, maka perlu dilakukan pengujian
model yang berupa verifikasi (pengujian kebenaran dan ketepatan) dan
validasi (pengujian hasil kesimpulan) dari model tersebut, yaitu
membandingkan model yang sudah disimulasikan dengan kondisi dunia
nyata termasuk perilakunya, untuk menyatakan bahwa model yang dibuat
adalah sahih dan bisa dipergunakan selanjutnya. Selain replika data historis,
pengujian seharusnya dilakukan juga untuk mengenali keterbatasan kinerja
model sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan model dalam
rangka penyelesaian masalah (Hartrisari, 2007). (6) Analisis Kebijakan dan Implementasi Model; yaitu tahap menganalisis
kebijakan dari model yang telah dinyatakan sahih atau model dimaksud
digunakan untuk menganalisis kebijakan. Konsekuensi kebijakan yang
diambil dapat terpantau pada model yang sahih. Fenomena dunia nyata bila
hendak dideskripsikan, merupakan model yang sangat luas dan kompleks.
Perlu batasan-batasan, sehingga fokus analisis khususnya dalam kebijakan
analisis kebijakan dapat tepat sasaran tanpa keluar dari koridor dunia nyata
atau realitas yang ada.
2.13.1. Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop) Untuk memahami struktur dan perilaku sistem digunakan diagram lingkar
sebab akibat (causal loops) dan diagram alir (flow chart). Diagram lingkar sebab
akibat dibuat dengan cara menentukan peubah penyebab yang signifikan dalam
sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke peubah
akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua peubah
saling mempengaruhi. Diagram ini berguna untuk (Hartrisari, 2007):
1. Secara tepat memberikan gambaran sifat dinamik dari sistem yang dikaji;
2. Memberikan dasar untuk pembentukan persamaan pada model; dan
3. Mengidentifikasi faktor yang penting dalam pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
64
Pada sistem dinamis, diagram lingkar sebab akibat ini akan digunakan sebagai
dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan
menggunakan program model sistem dinamis.
Pembuatan diagram lingkar sebab-akibat adalah proses perumusan
mekanisme peubah-peubah yang bekerja dalam suatu sistem ke dalam bahasa
gambar, sekaligus merupakan langkah awal dari identifikasi sistem yang
digunakan untuk menyederhanakan kerumitan dalam rangka menciptakan
sebuah konsep model. Dua terminologi penting dalam pembuatan diagram
lingkar sebab-akibat adalah keadaan (level) dan proses (rate). Prinsip dasar
pembuatan diagram lingkar sebab akibat dalam penerapan berfikir sistem adalah
dengan logika: proses sebagai sebab yang menghasilkan keadaan (proses →
keadaan), atau sebaliknya keadaan sebagai sebab yang menghasilkan proses
(keadaan → proses). Informasi tentang hal ini menghasilkan pengaruh sebab
akibat yang dapat secara searah (+) maupun berlawanan arah (-). Pada
Gambar 15 disajikan konsep diagram lingkar sebab akibat secara.
K1
+
P1 P2
+
K2 -
Keterangan :
K1 = keadaan (level) 1
K2 = keadaan (level) 2
P1 = proses (rate) 1
P2 = proses (rate) 2
Gambar 15. Konsep Diagram Lingkar Sebab Akibat
‐
Sumber: Hartisari, 2007
65
Menurut Hastrisari (2007), hubungan antar-variabel pada diagram lingkar
sebab akibat tidak menunjukkan mekanisme sebenarnya yang terjadi dalam
sistem. Hubungan antar vraiabel hanya menunjukkan “apa yang akan terjadi bila”
(what will happen if....) terjadi perubahan pada variabel bebas. Hal tersebut
disebabkan oleh:
(1) Suatu variabel terikat memiliki lebih dari satu input (variabel bebas). Untuk
mengetahui apa yang terjadi pada variabel terikat perlu diketahui terlebih
dahulu bagaimana semua input yang mempengaruhi dapat berubah.
(2) Diagram lingkar sebab akibat tidak akan membedakan mana laju (rate) dan
akumulasi dari laju (stock).
Pembuatan diagram lingkar sebab akibat hanya sebagai alat bantu untuk
memperjelas kaitan antar elemen sistem, terutama pada sistem yang bersifat
kompleks. Seorang analis sistem yang telah memahami mekanisme yang terjadi
dalam sistem tidak perlu membuat diagram lingkar sebab akibat.
2.13.2. Diagram Input-Output Diagram Input-Output menggambarkan hubungan antara output yang akan
dihasilkan dengan input tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan
(Hartrisari, 2007). Diagram input-output sering disebut diagram kotak gelap
(black box), karena diagram ini tidak menjelaskan bagaimana proses yang akan
dialami input menjadi output yang diinginkan.
INPUT TAK TERKONTROL INPUT LINGKUNGAN OUTPUT YANG DIINGINKAN
INPUT TERKONTROL OUTPUT YANG TAK DIINGINKAN
Sumber: Hartrisari, 2007
Gambar 16. Diagram Input-Output
P R O S E S
UMPAN BALIK
66
Output adalah tujuan yang harus dicapai oleh sistem. Output dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu output yang diinginkan dan output yang tidak diinginkan. Output yang tidak diinginkan ini akan menjadi umpan balik untuk perbaikan input dan memodifikasi input sehingga dapat lebih memperbanyak output yang diinginkan dan meminimalkan output yang tidak diinginkan.
Input terdiri atas input terkendali (input yang berada dibawah kontrol analis) dan input tak terkendali (input yang diluar kontrol dan tidak dapat dikendalikan oleh analis). Input lainnya adalah input lingkungan, yaitu merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam mencapai tujuan.
Struktur model akan memberikan bentuk pada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal kausal (causal loops) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya, dapat disederhanakan menjadi struktur dasar, yaitu mekanisme masukan proses, keluaran, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk kinerja (level) suatu model sistem dinamis.
2.13.3. Diagram Alir (Struktur Model)
Pembuatan diagram alir model (struktur model) didasarkan atas persamaan sistem dinamik yang mencakup keadaan (level), aliran (flow), auxiliary, dan konstanta (constant) dan digambarkan dengan simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut digunakan dalam pembuatan diagram alir model untuk operasi komputer dalam melakukan simulasi. Terdapat satu tipe operasi komputer umum yang dapat digunakan dalam melakukan simulasi sistem dinamik.
Gambar 17. Simbol-Simbol Diagram Alir