BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes...

25
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua- duanya. 6 Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya difiltrasi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL. 14 Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan klasik berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali saja angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu sewaktu ≥ 200 mg/dL pada hari yang lain, atau kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL pada 2 jam pascapembebanan glukosa 75 g pada tes toleransi glukosa oral (TTGO). 15 Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-

duanya.6 Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi

dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL.

Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya difiltrasi oleh tubulus ginjal

selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL.14

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan klasik

berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200

mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa

darah puasa ≥ 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis. Untuk kelompok

tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja

abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemastian

lebih lanjut dengan mendapat sekali saja angka abnormal, baik kadar glukosa darah

puasa ≥ 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu sewaktu ≥ 200 mg/dL pada hari

yang lain, atau kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL pada 2 jam pascapembebanan

glukosa 75 g pada tes toleransi glukosa oral (TTGO).15

Universitas Sumatera Utara

2.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus

American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in

Diabetes (2009) memberikan klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan pengetahuan

mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa.

Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat

klasifikasi Diabetes Mellitus: Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2,

Diabetes Mellitus Gestasional (Diabetes kehamilan), dan Diabetes Mellitus tipe

khusus lain.16

Dikenal 2 jenis utama Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus tipe 1 dan

Diabetes Mellitus tipe 2. Kedua jenis DM ini dibagi dengan melihat faktor

etiologisnya.17

2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kondisi autoimun sel-sel beta pulau

Langerhans sehingga timbul defisiensi insulin. Individu yang memiliki

kecenderungan penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan.

Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti

gondongan (mumps), rubella, dan sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajanan terhadap

obat atau toksin tertentu juga diduga dapat memicu serangan autoimun ini. Karena

proses penyakit DM tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor

pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi

terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.18

Mengapa individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans

sebagai respon terhadap faktor pencetus belum diketahui penyebabnya. Salah satu

Universitas Sumatera Utara

mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agen lingkungan yang secara

antigenis mengubah sel-sel prankreas sehingga menstimulasi pembentukan

autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para individu yang mengidap DM tipe 1

memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta prankreas mereka dengan

mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat,

sistem imun mungkin gagal mengenali sel prankreas. Pada saat diagnosis DM tipe 1

ditegakkan lebih dari 80% sel beta telah dihancurkan. 18

Sebelumnya DM tipe 1 disebut sebagai Diabetes Mellitus dependen insulin

atau IDDM (insulin dependent diabetes mellitus), karena individu pengidap penyakit

ini harus mendapat insulin pengganti. DM tipe 1 dulu juga dikenal sebagai tipe

juvenile-onset. Akan tetapi, DM tipe 1 dapat muncul pada sembarang usia . Insidens

DM tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya.18

2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2

DM tipe 2 merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar

85% pasien DM. Keadaan ini ditandai dengan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif. 17 Individu yang mengidap DM tipe 2 tetap menghasilkan insulin.

Akan tetapi sering terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah

total insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan

pertambahan usia pasien18

DM tipe 2 dulu disebut DM tidak tergantung insulin atau NIDDM

(noninsulin dependent diabetes mellitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak

individu yang mengidap DM tipe 2 dapat ditangani dengan insulin.18 DM tipe 2 dulu

juga dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas karena lebih sering terjadi

Universitas Sumatera Utara

pada pasien berusia di atas 40 tahun. Namun, dengan menigkatnya insidensi obesitas

di negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi

DM tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak.17

Insidens DM tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 80%

pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi

insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang

menyebabkan DM tipe 2.14

2.3. Gejala-Gejala Diabetes Mellitus

Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar

glukosa plasma puasa normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika

hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat itu, maka timbul

glikosuria. Glikosuria ini akan mengkibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan

pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang

bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan

berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungin akan timbul sebagai

akibat kekurangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.14

Pasien dengan DM tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif

dengan polidipsia, poliuria, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa

hari atau beberapa minggu. Pasien dapat terjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis,

serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Sebaliknya,

pasien dengan DM tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,

dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan

Universitas Sumatera Utara

melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut

mungkin menderita polidipsi, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak

mengalami ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut namun

hanya relatif.14

2.4. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah

utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai

pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer.6

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

a. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Glukosa plasma sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu

makan terakhir.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya

keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8

jam.

Universitas Sumatera Utara

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO

200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang

dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif

dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun

pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan

berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan

persiapan khusus.6

Pemeriksaan kadar HbA1c (≥ 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan

menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium

yang telah terstandardisasi dengan baik.6 Kadar HbA1C normal pada bukan

penyandang DM antara 4% sampai dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi

(HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan

salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula

darah.19 HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan

hemoglobin (bagian dari sel darah merah).20

Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah tinggi) maka

gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata

kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar

gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula.

Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan

(sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata

kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.19

Universitas Sumatera Utara

2.5. Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.5.1. Distribusi dan Frekuensi

a. Menurut Orang

Umumnya penderita DM di negara berkembang berada pada kelompok umur

45-64 tahun, sedangkan di negara maju penderita DM berada pada usia di atas 64

tahun. Secara global, prevalensi Diabetes Mellitus lebih tinggi pada laki-laki.7

Menurut WHO (2008) prevalensi DM pada laki-laki 9,8% dan pada perempuan

9,2%.21

Dalam sebuah penelitian dengan desain cross sectional, prevalensi diabetes

pada laki-laki 7,2% dan pada perempuan 5,8%. Hasil penelitian tersebut menyatakan

bahwa faktor yang terkait dengan diabetes pada laki-laki dan perempuan berusia 40

tahun ke atas adalah pendapatan yang rendah, obesitas, dan riwayat keluarga

menderita diabetes.22

Berdasarkan penelitian Tarigan (2011) di RS Herna Medan tahun 2009-2010

proporsi penderita DM berusia < 40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut

5,0% dan yang menderita komplikasi kronik 4,4% sedangkan proporsi penderita DM

berusia ≥40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut 95,0% dan komplikasi

kronik 95,6%. Proporsi laki-laki menderita DM dengan komplikasi akut 55,0% dan

yang mengalami komplikasi kronik 37,7% sedangkan proporsi perempuan yang

mengalami komplikasi akut 45,0% dan komplikasi kronik 62,3%.13

b. Menurut tempat

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan

penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan

Universitas Sumatera Utara

prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka

diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah

urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan

penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang

berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan

rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang DM di daerah urban dan

8,1 juta di daerah rural.6

Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan

pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di

Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada

rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam.

Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7%

pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi

12,8% pada tahun 2001.6

c. Menurut Waktu

Jumlah penderita DM meningkat dari 153 juta pada tahun 1980 menjadi 347

juta pada tahun 2008.23 Menurut IDF, DM menjadi salah satu masalah kesehatan

yang paling menantang pada abad 21. Secara global, 4,6 juta kematian setiap

tahunnya disebabkan DM. Pada 2011 terdapat 366 juta penduduk dunia menderita

DM diperkirakan 552 juta pada 2030, atau satu dari sepuluh orang dewasa menderita

DM.24

Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Determinan

a. Genetik

Pada pasien DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat.

Indeksnya untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko

berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk

anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat

dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of the young),

yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika

orangtua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan

sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe 2.14

b. Usia

DM dapat terjadi pada semua kelompok umur. DM tipe 1 biasanya terjadi

pada usia muda ataupun juga pada orang yang berusia ≤ 40 tahun sedangkan DM tipe

2 biasanya disebut DM yang terjadi pada usia dewasa. Kebanyakan kasus DM tipe 2

terjadi sesudah umur 40 tahun. Pada usia ini umumnya manusia mengalami

penurunan fungsi fisiologis dengan cepat, sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin

karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi insulin.25 Sedangkan menurut

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) salah satu faktor risiko DM adalah

orang yang berumur > 45 tahun.6

Berdasarkan penelitian Sri A.M. Handayani di di RSUP Dr. Kariadi dan

RSUD Kota Semarang (2003) diketahui bahwa pada umur < 45 tahun berisiko tujuh

kali lebih besar untuk terkena DM.26 Berdasarkan penelitian Tri Murti Handayani di

RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) penderita DM tipe 2 mengalami peningkatan

Universitas Sumatera Utara

jumlah kasusnya pada umur di atas 40 tahun, dan jumlah kasus paling banyak terjadi

pada umur 61 sampai 70 tahun (48%).27

c. Obesitas (Kegemukan)

DM tipe 2 sering terjadi pada individu dengan berat badan lebih dan obes

(gemuk). Obesitas merupakan pemicu terpenting penyebab DM tipe 2. Menurut

definisi, obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak 20% dari berat badan ideal

atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2.28

Dari berbagai penelitian didapatkan adanya keterkaitan erat antara IMT dan

risiko terjadinya DM tipe 2. Risiko Relatif meningkat lebih dari 10 kali lipat di antara

perempuan dari hasil penelitian the Nurses’ Health Study (2001) dengan IMT yang

melebihi 29 kg/m2 dan diantara laki-laki dari hasil penelitian the Health Professional

Followup Study (2001) dengan IMT yang melebihi 31 kg/m2 jika dibandingkan

dengan mereka dalam kategori IMT yang lebih rendah. WHO memperhitungkan

bahwa sekitar 64% DM tipe 2 yang diderita laki-laki Amerika dan 74% yang diderita

perempuan Amerika seharusnya dapat dihindari jika IMT mereka dipertahankan pada

atau di bawah 25 kg/m2.29

d. Pola Makan (Diet)

Pola makan merupakan determinan penting yang menentukan obesitas dan

juga memengaruhi resistensi insulin. Dengan demikian, pola makan memainkan

peranan yang penting dalam proses terjadinya DM tipe 2. Konsumsi makanan yang

tinggi energi dan tinggi lemak, selain aktivitas fisik yang rendah, akan mengubah

keseimbangan energi dengan disimpannya energi sebagai lemak simpanan yang

jarang digunakan. Asupan energi yang berlebihan itu sendiri akan meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan yang signifikan. Diet

tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan dengan DM tipe 2. Diet

yang kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan kenaikan berat badan dan

resistensi insulin kendati pada populasi yang berisiko rendah seperti orang-orang

Eropa.29

e. Kurangnya Aktivitas Fisik

Olahraga juga berperan dalam kontrol kadar gula darah. Otot yang

berkontraksi atau aktif tidak atau kurang memerlukan insulin untuk memasukkan

glukosa ke dalam sel, karena otot yang aktif lebih sensitif terhadap insulin, sehingga

kadar glukosa darah jadi turun.28

Untuk kedua tipe DM, olahraga terbukti dapat meningkatkan pemakaian

glukosa oleh sel sehingga glukosa darah turun. Pengidap DM tipe 1 harus berhati-hati

sewaktu berolahraga karena dapat terjadi penurunan glukosa darah yang mencetuskan

hipoglikemia.18

Universitas Sumatera Utara

2.6. Komplikasi Diabetes Mellitus

2.6.1. Komplikasi Akut

Komplikasi metabolik Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan relatif

akut dari konsentrasi glukosa plasma.14

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL.

Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang DM harus selalu dipikirkan

kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh

penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu

hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya

kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut

sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.6

Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,

gemetar, sakit kepala, palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah

laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa

serangan hipoglikemia adalah serangan berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi

dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau bahkan

kematian.14

b. Hiperglikemia

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada DM,

baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang

mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol dengan baik. Krisis

hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status

Universitas Sumatera Utara

hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua

keadaan diatas.30

Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan

yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain infeksi

penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan gastrointestinal dan obat-obatan.

Pada DM tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan

menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.30

b.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Pada ketoasidosis diabetik, kadar glukosa darah meningkat dengan cepat

akibat glukoneogenesis (300-600 mg/dL), dan peningkatan penguraian lemak yang

progresif. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL). Terjadi poliuria dan

dehidrasi. Kadar keton juga meningkat (ketosis) akibat penggunaan asam lemak yang

hampir total untuk menghasilkan ATP. Keton keluar melalui urine menyebabkan bau

napas seperti buah. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3 yang menyebabkan asidosis

metabolik.17

Individu dengan KAD sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat

terjadi muntah yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium

turun total tubuh tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan.17

Kejadian tahunan dari KAD berdasarkan suatu penelitian population-based

pada tahun 1980 di Amerika Serikat diperkirakan berkisar dari 4 sampai 8 kejadian

per 1000 pasien DM setiap tahunnya. Insiden KAD terus meningkat, diperkirakan

terdapat 115.000 pasien rawat inap di Amerika Serikat pada tahun 2003.31 Walaupun

data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak

Universitas Sumatera Utara

sebanyak di negara Barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan

KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada pasien

DM tipe 2.32

Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar

antara 9-10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut

angka kematian dapat mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2005) terdapat 39 kasus KAD

dengan angka kematian 15%.32

b.2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

SHH adalah komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap DM tipe 2.

SHH adalah manifestasi awal DM pada 7-17% pasien DM.33 Walaupun tidak rentan

mengalami ketosis, pengidap DM tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat

peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL). Kadar hiperglikemia ini

menyebabkan osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL). Situasi ini

menyebabkan pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus yang hebat, defisit kalium

yang parah dan sekitar 15-20 menit dapat terjadi koma dan kematian.17

Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel T.J. dan kawan-kawan di Rhode

Island negara bagian AS pada tahun 1986,1987, dan 1988, ditemukan bahwa dari 613

pasien DM yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33% merupakan

campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata sepertiga

dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD dan SHH, adalah mereka yang

berusia lebih dari 60 tahun.34

Universitas Sumatera Utara

Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden SHH sebesar 17,5 per 100.000

penduduk. SHH lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-

laki. Angka mortalitas pada kasus SHH cukup tinggi , sekitar 10-20%.35

2.6.2. Komplikasi Kronik

Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar

disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM

tersebut hampir mengenai semua organ tubuh.18 Komplikasi kronis ini berkaitan

dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular dan komplikasi

makrovaskular.18

a. Komplikasi Mikrovaskular

a.1. Retinopati Diabetik (Kerusakan Mata)

Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalah gangguan

penglihatan. Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati diabetik,

atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan

yang aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan

secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan

memperlihatkan bercak-bercak perdarahan. Terbentuk jaringan-jaringan infark

(jaringan yang mati) yang diikuti neuvaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),

bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan

tunas-tunas dari pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan

aktivasi sistem inflamasi dan pembentukan jaringan parut di retina. Edema interstisial

terjadi dan tekanan intaokulus meningkat, yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan

Universitas Sumatera Utara

saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan peningkatan

katarak dan glaukoma.18

Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang

baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya

dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan

penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.30

Retinopati diabetik terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun tipe 2.

Retinopati diabetik berkembang hampir pada semua penderita DM tipe 1 dan juga

pada 77% lebih penderita DM tipe 2 yang bertahan hidup lebih dari 20 tahun. WHO

menyatakan bahwa pada tahun 2002 retinopati diabetik bertanggung jawab atas 4,8%

dari 37 juta kasus kebutaan di seluruh dunia.38 DM adalah penyebab nomor satu

kebutaan di Amerika Serikat. Retinopati dabetik juga bertanggung jawab atas sekitar

10.000 kasus kebutaan setiap tahunnya di Amerika Serikat.18

a.2. Nefropati Diabetik (Kerusakan Ginjal)

Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada

DM yang lama. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang

terjadi di ginjal pada DM.18 Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus

(peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difusi pada

membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam

urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda sangat akurat terhadap kerusakan vaskular

secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular.

Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR

(Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih

Universitas Sumatera Utara

(protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal

ginjal.30

Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan

berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah

awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal

ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%.14 Nefropati

diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat dan negara-

negara barat lainnya.18

a.3. Neuropati Diabetik (Kerusakan Saraf)

Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik

dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM disebut

neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang

kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan

fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai menggunakan

metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa kronis, yang akhirnya

mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.18

Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM. Neuropati diabetik yang

paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom.36 Neuropati perifer,

pada awalnya menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak adanya

sensasi getar pada extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri menghilang.

Pasien sering kali mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti terbakar di malam

hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempat yang terkena trauma

berulang.39

Universitas Sumatera Utara

Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan

edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada daerah

ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman

stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya

melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus,

streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.6

Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi seksual)

pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta infeksi saluran kemih.36

Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup

tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan masalah

psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal

mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi lain seperti dislipidemia,

merokok, obesitas dan hipertensi.6

b. Komplikasi Makrovaskular

Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis (pengerasan

arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran

darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Pada DM

terjadi kerusakan pada lapisan sel endotel arteri dan dapat disebabkan secara langsung

oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit glukosa, atau tingginya kadar

asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien DM. Akibat kerusakan

tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang mengandung

lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi imun dan

inflamasi sehingga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan

Universitas Sumatera Utara

fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan

hipertensi, yang semakin merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya

yang merobek-robek sel-sel endotel.17

Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika

mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer

yang disertai klaudikasio intermitten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi

serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat

mengakibatkan angina dan infark miokardiun.14

Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali lipat,

penyakit jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit

pembuluh darah perifer meningkat 40 kali.25 Risiko relatif penyakit kardiovaskular

adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria dan tiga sampai empat kali

lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol berusia sama.

Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2,

mancakup 50% kematian pada kelompok ini.16

2.7. Upaya Pencegahan Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus adalah suatu keadaan penyakit degeneratif yang bersifat

kronik dan disertai komplikasi akut maupun kronik. Pada sebagian penyandang DM,

seringkali tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga tidak menyadari dan berobat

secara teratur sampai timbul komplikasi. Sayangnya bila komplikasi DM telah terjadi

biasanya tidak dapat sembuh sempurna. Pengobatan DM dan penyembuhannya

seringkali menjemukan. Walaupun penyandang DM telah berobat secara teratur,

Universitas Sumatera Utara

cepat atau lambat akan mengalami komplikasi kronik DM yang kadang-kadang

menyebabkan dokter, perawat dan pasien putus asa. Atas dasar fakta di atas, saat ini

terjadi perubahan paradigma berpikir dan para ahli DM, pencegahan komplikasi DM

seyogianya dimulai dengan pencegahan primer DM.28

2.7.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya Diabetes Mellitus.

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki

faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat

DM dan kelompok intoleransi glukosa.

Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan yang ditujukan

untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.

Materi penyuluhan meliputi antara lain:

a. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko DM dan

mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama

untuk menurunkan risiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa

penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau

memperlambat munculnya DM tipe 2.

b. Diet sehat. Diet sehat dapat dilakukan dengan mengatur jumlah asupan kalori agar

tercapai berat badan yang ideal, mengonsumsi makanan yang mengandung

karbohidrat kompleks agar tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang

tinggi setelah makan dan juga makanan yang mengandung sedikit lemak jenuh,

dan tinggi serat larut.

Universitas Sumatera Utara

c. Latihan jasmani, latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,

mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar

kolesterol HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan, dikerjakan sedikitnya selama

150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut

jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai

denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali

aktivitas/minggu

d. Menghentikan merokok.

Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular.

Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi

glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari

intoleransi glukosa dan DM tipe 2.6

2.7.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya

penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian

pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan

penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang

peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program

pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan

terutama pada pasien baru.6

Universitas Sumatera Utara

a. Penyuluhan

Berbagai penelitian menunjukkan kepatuhan pada pengobatan penyakit yang

bersifat kronik, pada umumnya rendah. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut,

penyuluhan atau edukasi bagi penyandang DM beserta keluarganya diperlukan.

Penyuluhan diperlukan karena penyakit DM adalah penyakit yang berhubungan

dengan gaya hidup.2

Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi

tingkat lanjutan. Materi edukasi pada tingkat awal meliputi pemahaman tentang:

perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara

berkelanjutan, penyulit DM dan risikonya, intervensi farmakologis dan

nonfarmakologis serta target pengobatan, interaksi antara asupan makanan, aktivitas

fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain, mengatasi

sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia, pentingnya

latihan jasmani yang teratur, pentingnya perawatan kaki, dan cara mempergunakan

fasilitas perawatan kesehatan.6 Materi edukasi pada tingkat lanjut yaitu: mengenal dan

mencegah penyulit akut DM, pengetahuan mengenai penyulit menahun DM,

penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, hasil

penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM, dan

pemeliharaan/perawatan kaki.6

Universitas Sumatera Utara

b. Pengobatan

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai

sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan

atau suntikan insulin.6

b.1. Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5

golongan:

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.

Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh

sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal dan kurang. Sedangkan golongan glinid merupakan obat yang

cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan

sekresi insulin fase pertama.

2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion

Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin

dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

3. Penghambat glukoneogenesis: metformin

Golongan metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Terutama dipakai pada penyandang DM yang gemuk.

Universitas Sumatera Utara

4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

5. DPP-IV inhibitor

DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap

dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang

penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.6

b.2. Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM

tipe 1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi

dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus

mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam

tubuhnya dapat berjalan normal.40 Terapi insulin pada pasien DM tipe 2 dapat

dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa

darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dL),

riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa

darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun,

dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.41

2.7.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang DM yang telah

mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya

rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada

upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai

kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi

antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik

antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah

vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam

menunjang keberhasilan pencegahan tersier.6

Universitas Sumatera Utara