BAB 2 TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE · kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk...

24
10 BAB 2 TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE 2.1. Pendahuluan Simbol sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan beragam bentuk dan tujuan penggunaannya, baik dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah atau pun dalam membangun relasi dengan yang transenden atau Tuhan. Hal ini sangat menarik karena simbol masih bertahan hingga hari ini dan manusia sering berhubungan dengan simbol. Penulis mencoba melihat simbol menurut F.W. Dillistone untuk memahami daya kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk membantu analisis penulis terhadap makna ornamen garis lengkung lingkaran suku Dayak Kenyah, dengan memperhatikan pula pandangan beberapa ahli. Kemudian penulis akan memaparkan hakekat simbol, fungsi simbol, simbol dan alam, simbol dan ormanen. 2.2. Hidup dan karya F.W. Dillistone Frederick William Dillistone lahir di Sompting, Kerajaan Inggris Raya, 9 Mei 1903. Ia seorang pendeta dan juga seorang akademisi, Profesor Teologi di Wycliffe College, Toronto dalam bidang Teologi Sistematika. Ia juga bekerja sebagai penulis pada Departemen Pendidikan Kristen, membantu dalam perencanaan dan penulisan buku-buku The Teaching (Pengajaran Gereja). Buku karyanya diantaranya Christianty dan Symbolism 1 , The Christian Understanding of Atonement 2 , Traditional Symbols and The 1 F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism,(Philadelpha: The Westminster,1955)

Transcript of BAB 2 TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE · kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk...

10

BAB 2

TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE

2.1. Pendahuluan

Simbol sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan beragam bentuk dan

tujuan penggunaannya, baik dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah atau pun dalam

membangun relasi dengan yang transenden atau Tuhan. Hal ini sangat menarik karena

simbol masih bertahan hingga hari ini dan manusia sering berhubungan dengan simbol.

Penulis mencoba melihat simbol menurut F.W. Dillistone untuk memahami daya

kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk membantu analisis penulis terhadap makna

ornamen garis lengkung lingkaran suku Dayak Kenyah, dengan memperhatikan pula

pandangan beberapa ahli. Kemudian penulis akan memaparkan hakekat simbol, fungsi

simbol, simbol dan alam, simbol dan ormanen.

2.2. Hidup dan karya F.W. Dillistone

Frederick William Dillistone lahir di Sompting, Kerajaan Inggris Raya, 9 Mei

1903. Ia seorang pendeta dan juga seorang akademisi, Profesor Teologi di Wycliffe

College, Toronto dalam bidang Teologi Sistematika. Ia juga bekerja sebagai penulis pada

Departemen Pendidikan Kristen, membantu dalam perencanaan dan penulisan buku-buku

The Teaching (Pengajaran Gereja). Buku karyanya diantaranya Christianty dan

Symbolism1, The Christian Understanding of Atonement

2, Traditional Symbols and The

1F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism,(Philadelpha: The Westminster,1955)

11

Contemporary World3, The Power of Symbols in Religion and Culture

4, The Power of

Symbols5, dan lainnya.

Salah satu pemikiran menarik dari Dillistone adalah tentang simbol. Teori simbol

dipaparkan secara panjang lebar dengan memadukan beberapa pandangan para ahli dari

berbagai bidang sebagai sumber acuan penelitiannya sehingga mempengaruhi

pandangannya terhadap simbol dan kekuatannya. Simbol menjadi sangat menarik karena

mempengaruhi manusia dalam mengekspresikan dan merefleksikan kehidupannya, dalam

ranah horizontal maupun vertikal, atau dalam kaitan relasi dengan kehidupan sekitarnya

maupun dengan yang transenden atau Tuhan, sehingga eksistensi manusia dapat

dijelaskan menggunakan simbol. Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa

Dillistone merupakan tokoh yang beraliran filsafat eksistensialis, sebuah aliran dalam

ilmu filsafat yang menjelaskan keberadaan manusia di dunia yang memiliki kemampuan

menciptakan sesuatu dengan menggunakan kebebasannya untuk memberikan sumbangsih

berharga bagi kehidupan.

Pemikiran tentang makna simbol pun, menurut Dillistone sangat dipengaruhi oleh

kebebasan individu sehingga makna selalu dinamis tanpa meniadakan makna semula.

Tetapi kebebasan yang merusak simbol ialah ketika manusia melepaskan, meninggalkan

diri dari tradisi, atau bahkan tidak pernah diperkenalkan pada tradisi. Dillistone tidak

percaya bahwa simbol tradisional bisa dilupakan karena simbol tradisional berbicara ke

2F.W. Dillistone, The Christian Understanding of Atonement, (Philadelpha: The

Westminster,1968) 3F.W. Dillistone,Traditional Symbols and The Contemporary World, (London: Epworth

Press,1973) 4F.W. Dillistone, The Power of Symbols in Religion and Culture, (New York: Crossroad,1986)

5F.W. Dillistone, The Power of Symbols, (London: SCM Press,1986)

12

kedalaman hidup manusia, dan dia membuat saran praktis dan teologis mengenai cara

mengembalikan nilai tertinggi dari tanda-tanda tradisional kepada masyarakat.

2.3. Definisi Simbol

Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-bollein”, dan

beberapa ahli memberikan penjelasan kata tersebut sebagai berikut. Pertama, symbollein

berarti melemparkan bersama sesuatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide6.

Kedua, simbol artinya menyatukan unsur-unsur yang berbeda dengan cara menjadi

penghubung pikiran seorang pribadi dengan proses-proses alam. Sebuah simbol

mengkoordinasikan dan mengintegrasikan banyak citra atau sensasi dari dunia sekitar

yang diterima melalui panca-indera7. Ketiga, symbollein menurut Dillistone artinya

mencocokkan8, menempatkan kedua bagian berbeda dalam bentuk gambaran, bahasa dan

lainnya9. Pandangan para ahli di atas terhadap arti kata symbollein menunjukkan bahwa

simbol menghadapkan objek (benda, bahasa) yang berbeda untuk mencari kesepakatan

bersama dengan mengungkapkan kembali, menghubungkan dan menyatukan objek yang

berbeda.

Definisi yang lain menunjukkan bahwa simbol mengungkapkan sebuah objek

yang dekat dengan kehidupan manusia, dan hal ini ditegaskan oleh pendapat Carl G. Jung

yang menyatakan bahwa simbol adalah sebuah istilah, nama atau bahkan gambar yang

6Hartoko & Rahmanto , “Kamus Istilah Sastra,” dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,

(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 155. 7Jyoti Sahi “Tarian di Hutan Belantara”, dalam Bertheologia dengan Lambang-lambang dan

Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati Utomo, Pdt. Meno Subagyo

(Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 74. 8F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Symbol, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta :

Penerbit Kanisius, 2002), 21. 9 Dillistone, Daya, 154.

13

mungkin sudah biasa dipergunakan dalam hidup setiap hari, dan menambahkan pada

makna yang telah menjadi kesepakatan bersama. Lebih lanjut Jung menyatakan bahwa

simbol membantu manusia menyingkapkan sesuatu yang misteri dalam kehidupannya10

.

Dalam pemikiran Dillistone yang mendasarkan pada pemikiran Erwin

Goodenough menyatakan bahwa simbol adalah barang atau pola yang, apa pun sebabnya,

bekerja pada manusia dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-

mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan itu11

.

Definisi simbol menurut para ahli sangat beragam, namun ide, gagasannya

menemukan makna pada objek yang menjadi kajiannya, baik itu benda, bahasa, pola dan

lainnya dan ini senada seperti apa yang disampaikan Dillistone bahwa menyangkut

definisi simbol, rupanya ada kesepakatan umum bahwa sebuah simbol tidak berusaha

untuk mengungkapkan keserupaan yang persis atau untuk mendokumentasikan suatu

keadaan yang setepatnya. Simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas

penglihatan, merangsang daya imajinasi dan memperdalam pemahaman manusia12

.

2.4. Hakekat Simbol

Persepsi manusia berbeda-beda terhadap sebuah obyek karena tergantung pada

kemampuan dan pengalamannya. Berkaitan dengan hal tersebut, manusia menggunakan

imajinasinya yaitu daya untuk mengerti sebuah kebenaran, serta menciptakan sesuatu

untuk bertahan hidup. Meskipun demikian, disadari pula bahwa manusia memahami

sebagian dari sesuatu yang dilihat atau yang dianggap, manusia mengerti namun tidak

10

Carl G. Jung, Man and his Symbols, (New York: Anchor Press Doubleday, 1964), 20. 11

Dillistone, Daya, 19. 12

Dillistone, Daya, 20.

14

mengerti dengan jelas apa yang ada dibelakang pikirannya atau alam bawah sadarnya,

sehingga untuk mengkomunikasikan hal-hal yang tak disadari; muncullah lambang-

lambang. Orang-orang yang kreatif adalah pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan

untuk mengungkapkan hal-hal yang tak disadari itu dalam bentuk lambang-lambang13

.

Mereka memiliki imajinasi atau “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-

konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan)”14

.

Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak oleh mata) dan tekstural

(terasa serta teraba oleh tangan dan kulit). Sebuah lukisan adalah hasil imajinasi seorang

pelukis. Namun lukisan yang dilihat dan (mungkin) diraba itu tidak sama dengan imaji

yang muncul tatkala sang pelukis berimajinasi15

. Dillistone menulis bahwa daya ini tidak

terlihat dan tidak terdengar, seperti udara yang dihirup atau seperti angin di pipi16

.

Daya itu nampak dalam pemikiran-pemikiran yang mengungkapkan sebuah

realitas dan untuk berkomunikasi dengan sekitarnya. A.N. Whitehead mengatakan pikiran

manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya

menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-

komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol”

dan perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian

organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna disebut

13

Timur Indyah, Lambang-lambang bukan Lelaki dalam Kebudayaan Jawa, dalam Bertheologia

dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati

Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 27. 14

H. Tedjowono, Imaji dan Imajinasi : Suatu Telaah Filsafat Postmodern, (Yogyakarta: Penerbit

Kanisius, 2001), 21. 15

Tedjowono, Imaji dan Imajinasi, 21. 16

Dillistone, Daya, 40.

15

referensi17

. Sependapat dengan Whitehead, Edwyn Bevan menyatakan simbol

menghadirkan suatu makna melalui indera atau imajinasi, menjadi penyangga terhadap

sesuatu yang lain dan berpengaruh dalam kehidupan18

.

Persepsi, pemikiran manusia kemudian disampaikan melalui bahasa sebagai alat

komunikasi untuk menyatakan perasaan, kebutuhan mendapatkan keterangan atau solusi

ketika manusia berelasi dengan sesama atau dengan alam. Dillistone membedakan bahasa

menjadi dua yaitu bahasa yang bersifat denotatife, yaitu tepat, ilmiah, harfiah, dan bahasa

yang bersifat konotatif , yaitu berasosiasi, tidak persis tepat, memungkinkan beragam

penafsiran, dan simbol termasuk kategori yang kedua. Simbol memiliki maknanya sendiri

atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri untuk

menggerakkan kita. Daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang merangsang orang

untuk bertindak sebagai ciri hakikinya19

.

Manusia menggunakan bahasa simbol atau hal-hal yang telah disepakati bersama

untuk berkomunikasi. Dillistone menyatakan bahasa membantu manusia memahami

simbol yang terdapat pada pengalamannya yang memiliki pola berirama dan berulang-

ulang, yang menunjuk kepada bahasa di sekitar barang yang dikenal sehari-hari yang

terperinci, diberi nama dan ditentukan pola hubungannya, kuantitas dapat ditunjukkan

dengan angka, banyak peristiwa terjadi berulang-ulang dan membentuk suatu tanda. Pola

berikutnya ialah yang berurutan dan memiliki tujuan, dan muncul pada hal-hal yang tidak

biasa dan peristiwa yang tak terduga, misalnya angin ribut dan hujan, sakit penyakit dan

17

Dillistone, Daya, 18-19. 18

Edwyn Bevan, Symbolism And Belief, (London: Goerge Allen & UNWIN LTD, 1938), 11. 19

Dillistone, Daya, 19.

16

cacat cela pada manusia dan binatang. Dillistone menegaskan dalam situasi seperti ini,

simbol melukiskan secara imajinatif fenomena baru dengan suatu analogi20

.

Analogi menyatakan informasi tentang dunia di mana manusia hidup dengan

memberikan penafsiran tentang alam dan eksistensi manusia, karena manusia cenderung

tidak merasa puas dan berusaha melampaui apa yang sudah ada. Analogi

mengembangkan pengetahuan tentang yang transenden, Ilahi atau Tuhan dengan merujuk

kepada fenomena dalam dunia adikodrati yang terlihat sebagai ciptaan-Nya21

. Penulis

berpendapat bahwa analogi menjelaskan objek dengan menafsirkan, memberikan

pandangan baik secara horizontal artinya relasi alam dan manusia, maupun secara

vertikal menjelaskan relasi antara Tuhan Pencipta dengan yang diciptakan-Nya. Simbol

kemudian menjadi penghubung untuk memperluas pengalaman manusia dalam

merefleksikan eksistensinya.

Dillistone juga menyatakan perlunya metafora dalam memahami simbol karena

metafora bersifat dinamis, meningkatkan interaksi dan membawa kepada kemungkinan

makna baru. Ia menemukan perbedaan antara analogi dan metafora melalui sebuah

ilustrasi yang ditulis penyair dari Irlandia, kemudian berpendapat bahwa bahasa analogi

digunakan oleh ilmuwan dalam menganalisis dan mendeskripsikan hubungan manusia

dengan dunia, ditemukan dalam catatan ilmiah, sedangkan metafora digunakan oleh para

penyair, penulis novel, sejarawan. Kesamaan dalam hubungan antara analogi dan

metafora ditemukan melalui pemikiran manusia yang menjelaskan sebuah objek dan

20

Dillistone, Daya, 80. 21

Dillistone, Daya, 81-86.

17

pengaruhnya, dan ini nampak pada daya imajinasi yang selalu terbuka terhadap adanya

interaksi, keterkaitan gambaran-gambaran yang kemudian dapat mengubah situasi22

.

Dillistone menyatakan bahwa dari semua simbol, simbol yang paling kuat adalah

manusia yang hidup23

, karena manusia memiliki kemampuan mengembangkan diri

dengan baik dalam keterkaitan dengan alam semesta dan diwujudkan dalam berbagai

bidang seperti ilmu pengetahuan, kesenian yang turut mempengaruhi kemajuan dan

perubahan sosial. Selain itu, manusia meninggalkan kenangan melalui perkataan,

perbuatannya dan pengaruh-pengaruh yang berlangsung lebih lama, dan ini menunjuk

pada tokoh-tokoh simbolis atau orang-orang yang telah bersedia untuk mengubah dan

memodifikasi hukum yang kaku dengan senantiasa mengadakan dialog, perdebatan,

tanya-jawab, transformasi situasi melalui interaksi dan diskursus simbolis yang sabar

tanpa kekerasan, untuk membangun dan menciptakan pertumbuhan bersama. Dengan

demikian, para pemimpin sendiri menjadi simbol integrasi atau simbol pendamaian24

.

Manusia bukan hanya makhluk yang berakal budi, bukan hanya makhluk sosial,

makhluk ekonomi tetapi juga makhluk bersimbol yang artinya bahwa manusia berpikir,

mengungkapkan perasaan dan bertindak dengan ungkapan simbolis. Manusia dengan

daya kemampuannya akan mengubah lingkungannya atau hidup dalam sebuah realitas

yang baru. Hal ini ditegaskan dalam pemikiran Dillistone yang mendasarkan pada dua

pemikiran para ahli yaitu pertama Ernst Cassirer yang mengatakan manusia adalah

animal simbolicum, sehingga dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat

22

Dillistone, Daya, 90-93. 23

Dillistone, Daya, 225. 24

Dillistone, Daya, 228.

18

mencapai kepada realitas yang tertinggi dalam hidupnya25

dan menurut penulis ini

merupakan ciri istimewa yang membedakan antara manusia dan hewan. Kedua pada

Susanne K. Langer yang berpendapat bahwa manusia melalui aktivitas simbolisnya

menunjukkan eksistensinya lebih tinggi dari hewan, dan ini nampak dalam penguasaan,

pengembangan kemampuannya dan memodifikasi tindakannya26

. Dengan demikian ada

simbolisasi yaitu kegiatan sangat penting yang membedakan manusia dari setiap makhluk

hidup lainnya.

Pada sisi yang lain manusia sebagai makhluk budaya27

. Makhluk budaya

mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah

laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia

terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi

landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan untuk mendasari

setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya sehubungan dengan pola hidup dan

tata cara kemasyarakatannya28

. Dengan demikian manusia akan terus menerus menggali,

menggiatkan, mengembangkan semua bakat yang ada padanya, bahkan menciptakan

kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupannya; yang berupa atau terdiri dari

gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku

manusia29

.

25

Dillistone, Daya , 10.

26 F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism, (Philadelphia: The Westminster Press, 1955), 23.

27M. Sastraprateja, Manusia Multi Dimensional, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1982), 109.

28 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 11.

29Sastraprateja, Manusia, 109.

19

Manusia memiliki keunikan yaitu kebebasan untuk menghasilkan, mengubah, dan

menentukan nilai-nilai bagi simbol-simbol. Kebebasan untuk menciptakan simbol-simbol

dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan simbol bagi simbol lainnya disebut proses

simbolik. Proses simbolik dilakukan manusia secara arbitrer untuk menjadikan hal-hal

tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya30

. Proses simbolik ini mentransformasi kehidupan

manusia dalam tingkat paling primitif dan juga tingkat paling beradab.

Dillistone menjelaskan bahwa pengalaman manusia menunjukkan bentuk

simbolis yang berbeda. Pertama orang tinggal di daerah dunia yang kurang ramah, yang

tidak tenang, selalu mencari, bergerak, bersitegang dengan lingkungan alam mereka dan

karena di sekitarnya banyak binatang terpaksa berburu serta membunuh agar memperoleh

makanan yang memadai. Sistem komunikasi mereka adalah pertama-tama sistem saling

memberi signal dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan praktis atau

menghadapi keadaan darurat praktis dan mempergunakan alat-alat simbolis, entah untuk

mengenang pengalaman-pengalaman masa lalu, entah meramal realisasi hubungan-

hubungan yang baik dengan roh, binatang dan sesama manusia di masa yang akan

datang. Kedua, orang tinggal di daerah dunia yang lebih ramah, di mana akar-akaran,

buah-buahan dan tempayak merupakan makanan sehari-hari, di mana air dapat

diperoleh, di mana orang dapat membangun sekelompok tempat berlindung dan

melangsungkan kehidupan sehari-hari yang lebih teratur. Sistem komunikasi mereka

berupa sistem tanda penataan kehidupan yang menunjukkan tugas-tugas yang harus

dilakukan dan yang memberikan peranan-peranan yang sesuai kepada beberapa anggota

30

S.I. Hayakawa dalam Deddy Mulyana, Komunikasi antar Budaya Pandung Nerkomunikasi

dengan Orang yang Berbudaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), 96-97.

20

masyarakat dengan tujuan menjaga kelestarian sumber-sumber makanan dan minuman

yang menjadi tempat bergantung kehidupan masyarakat. Simbol tetap berkaitan dengan

kegiatan hubungan sehari-hari, tetapi mempunyai fungsi tambahan, yaitu merayakan dan

mengabadikan siklus kehidupan dari dunia alami yang teratur dan memperkuat

kesesuaian siklus itu31

.

Lingkungan alam menginspirasi manusia untuk mengembangkan dirinya melalui

usaha pencarian sebuah makna pada pengalamannya, dan menurut Arthur Asa Berger

makna itu dipelajari dan bahkan dapat menjadi simbol yang memiliki pengaruh

emosional bagi individu dan orang lain32

, serta menurut Clifford Geertz bahwa makna-

makna simbolik juga harus diwariskan untuk membangun komunikasi, melestarikan dan

memperkembangkan pengetahuan manusia tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap

kehidupan33

. Jadi simbol mempersatukan atau menggabungkan suatu segi pengalaman

manusia yang sudah di kenal baik dengan apa yang mengatasi pengalaman itu maupun

pengungkapannya (Simbol dapat berupa sebuah kata atau tindakan atau gambaran atau

drama). Dengan kata-kata yang lebih umum, sebuah simbol menghubungkan usaha

pencarian manusia dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang tertinggi34

.

Simbol berkaitan dengan kehidupan manusia bukan hanya secara individual tetapi

juga manusia dalam artian masyarakat dan menurut Dillistone simbol berkaitan dengan

31

Dillistone, Daya, 23.

32 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,

diterjemahkan oleh M. Dwi Marianto (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2010), 28. 33

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, diterjemahkan oleh Francisco Budi hardiman

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992)

34 Dillistone, Daya, 28.

21

kohesi sosial dan transformasi sosial35

. Melalui simbol manusia berkomunikasi dan

berinteraksi dalam menghayati eksistensinya. Komunikasi efektif yang dibangun untuk

menghadapi situasi dan realitas yang ada. Simbol-simbol yang digunakan mempengaruhi

perubahan manusia sebagai individu maupun individu dengan masyarakat.

Komunikasi yang efektif menghantarkan manusia pada sebuah pengertian dan

pemaknaan tentang simbol yang kontekstual. Komunikasi tersebut menurut Jung,

ditunjukkan dalam sebuah perjumpaan pemaknaan simbol antar individu dengan

individu, atau individu dengan masyarakat. Perjumpaan tersebut merupakan sebuah

kenyataan dan fakta bahwa manusia memiliki kesamaan. Pikiran manusia pada dasarnya

bekerja dengan struktur-struktur simbolik tertentu, dan struktur-struktur ini dengan

demikian menjadi universal. Lambang-lambang atau simbol tidak bekerja secara terpisah,

tetapi dalam suatu konteks yang bersifat sosial sekaligus historis36

. Pemaknaan sebuah

simbol berdasarkan kesepakatan bersama yang diperoleh melalui penglihatan dan

pengalaman masing-masing individu dalam kelompok akan menciptakan kesadaran

bersama tentang sesuatu. Dengan demikian simbol membentuk memory collective, yang

muncul dalam pikiran manusia dan tertanam dalam konteks sosial tertentu. Jan Asmann

menyebutnya sebagai pengukuhan identitas atau keterkaitan atau kesatuan individu dalam

sebuah komunitas.

Menurut penulis, hakekat simbol merupakan hasil persepsi manusia terhadap

objek yang ditangkap oleh panca indera dan diproses dengan berpikir dan berefleksi di

tengah situasi kondisi, pengalaman hidup manusia yang beragam, untuk menemukan

35 Dillistone, Daya, 22.

36Jyoti Sahi, “Tarian di Hutan Belantara” dalam Bertheologia, 76-77.

22

sebuah makna baru, mengembangkan atau tidak menggantikan arti makna simbol itu

sendiri. Pemikiran Dillistone yang mendasarkan pada pemikiran Victor Turner

menegaskan bahwa makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif

pada wahana-wahana simbolis yang lama dan lagi individu-individu dapat menambahkan

makna pribadi pada makna umum sebuah simbol37

.

2.5. Simbol dan Alam

Alam menjadi sumber penting bagi manusia dalam mengaktualisasikan

keberadaannya. Alam menyediakan banyak hal bagi kelangsungsan hidup manusia dan

seluruh ciptaan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Mary Douglas menyatakan manusia

harus memahami alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya dan

mengeskpresikan alam dalam bentuk-bentuk simbol sebagai hasil dari kontruksi

pengalaman dan pikirannya38

.

Proses tersebut melalui sebuah interaksi antara alam dan manusia yang saling

mempengaruhi antara satu dan lainnya. Alam memiliki pengaruh besar bagi manusia

karena merupakan komponen penting dari kehidupan manusia. Demikian sebaliknya,

manusia memiliki pengaruh besar terhadap alam dalam hal pemeliharaan dan pelestarian.

Melalui interaksi inilah muncul pemaknaan sebagai simbol manusia terhadap alam yang

pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia dan alam itu sendiri.

Sikap manusia beragam terhadap lingkungannya dan digambarkan dengan

membandingkan pola umum kehidupan yang selalu berubah dari dulu hingga sekarang,

37

Dillistone, Daya, 114.

38Mary Douglas, Natural Symbol: Explorations in Cosmology, (London: Barrie and Jenkins,

1973), XXXI..

23

dan situasi tersebut dipandang sebagai yang dulu dan sekarang. Pertama, yang dulu

konservatif dan tradisional, berpegang teguh pada kebijaksanaan warisan masa lalu.

Kedua, terbuka dan menyesuaikan bentuknya dengan kondisi kehidupan yang cepat

berubah.

Dalam situasi tersebut Dillistone berpendapat bahwa pada dasarnya perbedaan ini

dapat ditemukan dalam totalitas hubungan manusia dengan alam, tanah dan pepohonan,

dengan buahnya dari bumi dan hasil panen dari laut, dengan bukit-bukit dan gunung-

gunung lembah, dengan sinar matahari dan badai hujan, dengan lembut sungai dan sungai

yang mengalir deras. Apakah alam adalah ibu pertiwi yang berkelimpahan, perawat yang

baik, wali pelindung? Atau alam itu liar dan masih asli, atau manusia tidak bisa hidup

berdampingan dengan alam? Apakah perannya yang dominan pasif, di mana ia menerima

dari alam, belajar dari alam, bekerja sama dengan proses alam yang sudah mapan,

mendedikasikan dirinya untuk alam?39

.

Manusia diperhadapkan pada pilihan antara yang dulu dan sekarang, dengan

pandangan-pandangan yang telah diwariskan nenek moyang dan pengalaman kehidupan

yang semakin maju dan berkembang. Simbol memiliki peran dalam memberikan

pemahaman yang membuka cakrawala, persepsi dan sikap terhadap masa depan

kehidupan manusia dan alam.

Disisi lain, muncul sebuah pertanyaan, apakah manusia bertanggung jawab

menghargai alam tempat kehidupannya, atau alam dipahami sebagai objek yang harus

dikuasai, yang akhirnya alam menjadi bencana dalam kehidupannya?

39

F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism, (Philadelphia: The Westminster Press, 1955), 39.

24

Alam adalah ciptaan Tuhan yang diberikan pada manusia untuk bertahan hidup.

Manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan alam tidak berarti dan tidak bermakna tanpa ada

manusia di dalamnya karena manusia diberikan kekuasaan oleh Tuhan untuk mengelola

dan memanfaatkan alam bagi kelangsungan hidupnya secara bertanggungjawab. Salah

satu unsur alam yang penulis akan paparkan ialah tanah.

Tanah merupakan salah satu bahan utama penciptaan Allah dan oleh sebab itu

berada di bawah kedaulatan Allah (Kej. 1 db. 2: 4 db). Tanah diberikan oleh Allah

sebagai teman akrab utama yang mendukung dan menopang kehidupan manusia sehingga

tanah menjadi simbol utama dari tindakan Allah yang kreatif dan menopang, dan sering

hal ini diakitkan erat dengan, dan secara amat dominan disimbolkan melalui, pemberian

tanah40

. Tanah diberikan supaya manusia memiliki relasi yang permanen dengan Tuhan.

Tanah merupakan bukti adanya hubungan istimewa itu. Sebidang tanah disebut warisan

atau milik pusaka (Ul. 4:21,38)41

. Tanah dimiliki setiap keluarga turun-temurun melalui

sistem pewarisan dan karenanya tetap menjadi milik sebuah keluarga. Tanah warisan tak

boleh dijual dalam pengertian ganti pemilik. Tanah tidak pindah tangan menjadi milik

keluarga lain untuk selama-lamanya. Prinsip tegas bahwa tanah tak boleh

diperjualbelikan secara permanen berdasarkan klaim Tuhan bahwa Dirinyalah pemilik

tanah42

.

40

Nenita Flores-Cao, Nellie M. Cleto, Tanah Sebagai Simbol Kehidupan dalam Bertheologia

dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati

Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 191-192. 41

Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Pejanjian Lama: dari kanon sampai doa, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia,2009),81.

42Karman, Bunga Rampai, 85.

25

Dalam pandangan masyarakat yang hidup bergantung pada tanah sebagai mata

pencaharian untuk pemenuhan kebutuhan kehidupannya, tanah sangatlah berarti dan

secara turun temurun menjadi warisan yang sangat berharga. Dillistone memberikan

sebuah contoh pada masyarakat yang bekerja sebagai petani yang ada di seluruh dunia,

dengan menyatakan bahwa tanah mempunyai arti simbolis penting yaitu memberi

perasaan keyakinan jati diri yang kuat dan keamanan, merupakan tanda jelas

kesinambungan masa lalu, masa sekarang dan masa depan serta menyediakan sumber

makanan yang dapat diandalkan dari tahun ke tahun. Tanah adalah simbol yang berharga

dan alat, sarana43

.

2.6. Fungsi Simbol

Simbol membuka celah ketika manusia melihat sesuatu atau objek dan

menyingkapkannya secara mendalam. Dillitone membuka celah untuk menyingkapkan

makna simbol dengan mendasarkan pada pemikiran para ahli, yang kemudian

menemukan pola-pola hubungan yang menunjukkan fungsi simbol yaitu untuk

menjembatani jurang antara “sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau

peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret (atau yang di sebut simbol)” dan

“sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi; sebuah makna, realitas, suatu

cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga dan suatu keadaan

(atau yang disebut referen)”44

. Simbol menjadi penghubung dalam usaha pencarian

manusia yang terus bertanya dan mencari jawaban untuk menyatukan dua realitas ini,

43

Dillistone, Daya,50-52

44Dillistone, Daya, 20-21.

26

untuk menemukan sebuah makna simbol terbaru atau pengembangan dari makna

sebelumnya.

Simbol menjaga hubungan dengan apa yang sudah dikenal melalui pengalaman

tetap. Bersamaan dengan itu, simbol juga terentang menuju kepada hal tak terduga yang

tidak seutuhnya cocok dengan pola yang sudah biasa. Simbol melukiskan secara

imajinatif fenomena baru dengan suatu analogi: simbol berbeda, namun sebanding,

dengan apa yang sampai saat ini merupakan pengalaman biasa. Simbol seperti ini tidak

melekatkan nama yang sama sekali baru pada perubahan pengalaman sosial tersebut.

Simbol dapat berupa bentuk kata yang menambah asli dengan awalan atau adjektif atau

adverbia; alternatifnya, simbol itu dapat memperluas nama asli sedemikian rupa sehingga

tetap mempertahankan susunan asli tetapi menunjuk lebih jauh lagi. Sifat penting simbol

seperti itu ialah bahwa simbol itu menunjuk kepada cakrawala yang lebih luas tanpa

meninggalkan hubungan dengan yang sudah biasa dan menjadi tradisi45

. Simbol

mengembangkan suatu objek tanpa menghilangkan ciri khas dan tradisi yang sudah ada.

Simbol berfungsi mempertahankan apa yang sudah ada, yang secara kolektif diterima

dalam masyarakat secara turun temurun.

Dalam arsitektur, simbol menerangkan bentuk dan menyampaikan pesan karena

menurut Joyce M. Laurens, arsitektur adalah kristalisasi dari pandangan hidup dan bukan

semata-mata persoalan teknik dan estetika bangunan. Bentuknya ada karena persepsi dan

imajinasi manusia. Mempelajari arsitektur berarti juga mempelajari hal-hal yang tidak

45

Dillistone, Daya, 80.

27

kasat mata sebagai bagian dari realitas yaitu realitas konkret dan realitas simbolik.46

.

Dalam bentuk arsiktektur, simbol berfungsi menghidupkan tanda-tanda material dan

membuatnya berbicara, menceritakan sesuatu, menggambarkan pengalaman yang

menciptakannya, dan menegaskan sebuah identitas tertentu.

Identitas bagi individu atau kelompok memiliki beragam kisah, peristiwa yang

melekat, dikenang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Simbol mengungkapkan

cerita berdasarkan pengalaman historis seperti tentang perjuangan kemerdekaan atau

tentang perdamaian. Simbol berfungsi, pertama dapat mengungkapkan kebenaran di

tengah gambaran yang bukan sebenarnya, apalagi dengan sengaja digunakan untuk

memutarbalikkan kenyataan untuk alasan ekonomi, politik. Kedua, simbol dapat

membebaskan, menyampaikan aspirasi dan menunjukkan perjuangan rakyat yang

sesungguhnya untuk merdeka47

.

Simbol berfungsi menghubungkan manusia dengan yang ilahi. Pengalaman-

pengalaman manusia sehari-hari memberikan inspirasi, imajinasi yang tinggi, lain dari

pada biasanya, terhadap sesuatu yang tidak terlihat, tidak nyata namun dirasakan

memiliki kekuatan yang melebihi dirinya. Dalam situasi seperti ini, manusia

menunjukkan kelebihannya dalam melihat lebih jauh keberadaannya, kemampuannya

untuk menganalisa, memaknai diri terhadap yang ilahi melalui simbol-simbol yang akan

mengubah pola perilaku kehidupannya. Dengan demikian, simbol memiliki peran dalam

46

Joyce Marcella Laurens, Arsitektur dan Perilaku Manusia , (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2004), 26. 47

Lolita T. Dais, Mildred M, Teqius, Luna l, Dingayan, Simbol-simbol Perjuangan dan

Kehidupan Refleksi Atas Pengalaman Filipina dalam Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-

citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga:

BITES-Persetia, 1992), 180-181.

28

rangka pengenalan manusia pada yang ilahi, dan simbol-simbol rohani tersebut ada dalam

setiap agama dan kepercayaan.

2.7. Simbol dan Ornamen

Sejarah ornamen menunjukkan rekaman, catatan dari asul-usul dan kemajuan

perkembangannya dalam desain dekorasi. Dekorasi ialah sebuah objek ornamen yang

dimodifikasi sesuai yang diinginkan dari bentuk dan warna. Ketika pengulangan dekorasi

dilakukan atau bentuk kombinasi spesifik menurut skema yang ditentukan, bentuk itu

disebut motif. Secara kolektif didominasi ornamen dan bila digabungkan atau diulang

akan membentuk sebuah pola48

.

Kata ornamen secara etimologis berasal dari bahasa latin “ornare” yang berarti

menghiasi, dalam artian, sesuatu yang awal mulanya kosong terisi hiasan sehingga

menjadi tidak kosong49

. Pengertian tersebut menjelaskan ornamen dipakai untuk

menghias suatu bidang atau benda50

. menambahkan sesuatu pada benda, baik seni ukir,

seni lukis untuk memberikan nilai dan makna yang lebih sehingga indah dan berharga.

Ornamen mengambil bentuk-bentuk tertentu yang merupakan hasil imajinasi dan

daya cipta manusia yang menciptakannya, yang terinspirasi oleh keberadaannya sehingga

menurut Jim Supangkat dan Rizki A. Zaelani, ornamen mengandung bentuk makna

simbolik, baik bersifat sakral maupun tidak. Bentuk ornamen berasal atau dihasilkan dari

gambaran tentang manusia, binatang, tumbuhan, atau obyek-obyek yang biasa dikenal

48

A.D.F. Hamlin, A History of Ornament: Ancient and Medi/eval, (London: BT. Batsford,

1916),3.

49Syafii dan Tjetjep Rohendi Rohidi, Ornamen Ukir, (Semarang : IKIP Semarang, 1987), 3.

50Moh Charis Jaelani, Teknik Seni Mengukir Kayu, (Yogyakarta : Absolut, 2007), 34.

29

dalam pengalaman hidup manusia; serta juga bentuk-bentuk abstrak yang diciptakan

secara khusus51

.

ornamen diklasifikasikan dengan memperhatikan beberapa prinsip, dan menurut

A. Hamlin di antaranya:

Pertama, menurut penempatannya yang disesuaikan dengan ruang atau tempatnya

misalnya berbentuk garis (linear), keseluruhan (all-over), memancarkan (radiating), yang

semua ornamen saling berkesinambungan. Motif ornamen berbentuk garis atau linear

disusun secara berurutan sepanjang garis tunggal untuk membentuk perbatasan. Dalam

pola keseluruhan (all-over), unit-unit disusun sepanjang dua atau tiga lebih sistem

berpotongan warna sehingga menutupi permukaan yang luas. Terputus secara

keseluruhan disebut membedaki, atau dilipat.

Kedua, menurut penggolongan dan pembuatannya yang dapat digolongan sebagai

plastik atau bertautan dengan warna. Ornamen plastik tergantung pada cahaya dan efek

bayangan, dibuat dengan menaikkan atau menekan permukaan dengan berbagai cara

seperti pada ukiran, cetakan, stampel. Ornamen chromatic ialah semua warna, dan

tergantung dengan warna hitam dan putih. Misalnya ornamen tekstil seperti renda dan

bordir, berfungsi terbuka dan menghasilkan pola termasuk ornamen plastik. Hiasan

chromatic terdiri dari ornamen yang dicat, yang dilapis, gelas berbintik dan berseni, dan

semua hiasan textile yang bergantung pada warna, baik yang diproduksi dengan tenun,

menyulam, percetakan dan sebagainya.

51

Jim Supangkat dan Rizki A. Zaelani, Ikatan Silang Budaya Seni Serat Biranul Anas, (Bandung :

Art Fabric, 2006), XVI.

30

Ketiga, menurut metode atau dasarnya, di mana ornamen terbagi menjadi tiga

kategori yaitu konvensional adalah ornamen traditional, yang mengandung unsur aturan

yang dikerjakan bersama, yang sebagian besar nampak dalam karakter geometris

ornamen, seperti zigzag, spiral. Ornamen narutalistik adalah semua bentuk dekoratif yang

diambil dari unsur alam, seperti bunga dan daun, kepala singa. Terbentuknya hiasan

alami terkait dengan tujuan modifikasi untuk memberikan efek dekoratif. Ornamen ini

sebagian memiliki cara sejarah, contohnya daun acanthus dan seluruh motif bunga dalam

seni klasik. Menurut natural, bentuk ornamen dari alam dikenal satu atau lebih karena

secara umum alam tidak teratur atau tidak simetris, cirinya abstrak tapi memberikan

pengaruh dalam dekorasi dan penyatuan dengan alam.

Keempat, menurut objek yang digunakan, ornamen terbagi menjadi ornamen

arsitektur, diaplikasikan pada bangunan dan industri ornamen yang menghiasi benda-

benda seperti perhiasan, ukiran furnitur, sampul buku, perak, tali pengaman bahkan pada

mimbar, tempat paduan suara.

Kelima, menurut hubungan dengan strukturnya, terbagi atas struktur hiasan yang

berasal dari, tumbuh dari, objek yang dihias seperti pilar, jendela, papan. logam.

Penerapan ornamen ialah menambahkan ke objek untuk memperlengkapi dan

memperindah struktur yang ada. Semua klasifikasi tersebut merupakan perangkat yang

didiskusikan dan dikritik utnuk menerapkan tujuan dan berfungsinya ornamen52

.

Selain itu, sebuah benda menjadi menarik dibuat dengan mempertimbangkan

aspek fungsionalnya dan aspek keindahannya karena manusia membuatnya dengan

52

Hamlin, A History, 5.

31

tujuan dan hasil akhir yang indah. Hal ini diperjelas oleh pemikiran Edji Krismantanto

dengan mendasarkan pada pemikiran Arifin Bustomi, yang menyatakan bahwa menurut

kodratnya manusia adalah makhluk yang mengenal keindahan. Manusia dalam usahanya

menuju arah hidupnya memiliki dorongan dan keinginan untuk memperindah diri,

memperindah benda-benda yang dimilikinya53

. Keindahan menjadi salah faktor penting

dalam sebuah ornamen, dapat mempercantik sekaligus menarik perhatian. Pertimbangan

tersebut membuat manusia berimajinasi dan berkreasi untuk menambahkan suatu hiasan

yang semakin menunjukkan keindahan pada benda yang dibuatnya misalnya penambahan

warna pada ukiran. Hiasan tersebut yang secara umum disebut ornamen.

Ornamen juga diciptakan untuk menyatakan suatu nilai secara simbolis karena

mempunyai tujuan untuk memperindah suatu benda dan menyatakan suatu nilai tertentu

secara simbolis menurut norma-norma tertentu seperti adat, kepercayaan, sistem sosial

lannya sehingga penempatannya sangat ditentukan oleh norma-norma tersebut untuk

menghindari timbulnya salah pengertian akan makna atau nilai simbolis yang terkandung

di dalamnya. Ornamen banyak dijumpai pada mereka yang memiliki jiwa dan

pengetahuan tentang seni, termasuk di dalamnya pelaku seni atau seniman.

Ornamen mempengaruhi persepsi manusia terhadap dirinya dan kegiatannya, dan

menurut Budiono Herusatoto pengaruh ornamen terdapat dalam tindakan-tindakan

simbolis. Hal ini disebabkan karena melalui alam seni ini rasa budaya manusia yang tidak

dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari antar manusia, dicurahkannya dalam

53

Edji Kismartanto, Membuat Ukiran dari Bahan Gabus, (Jakarta: CV. Pamularsih, 2007), 1.

32

bentuk-bentuk simbol di dalam alam seninya54

. Lebih lanjut Sunaryo mengatakan fungsi

simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk-produk benda upacara atau

benda pusaka dan bersifat keagamaan atau kepercayaan55

, bahkan dalam ranah sosial

untuk mendamaikan dan mempersatukan.

2.8. Penutup

Manusia mengenal simbol dan menggunakan simbol untuk mengungkapkan siapa

dirinya dan bagaimana berinteraksi dengan individu dalam kelompok, dengan alam

maupun dengan Tuhan. Ornamen garis lengkung dan lingkaran, menjadi salah satu

contoh simbol yang menunjukkan interaksi di atas.

Dillistone tidak menjelaskan simbol dalam kaitan dengan ornamen sehingga

penulis mencoba untuk melihat apa hubungan simbol dan ornamen. Penulis melihat

bahwa keduanya menjelaskan tentang objek. Ornamen merupakan sebuah benda yang

menggambarkan sesuatu dan menyampaikan pesan kepada manusia. Benda-benda dalam

ornamen sangat dekat dengan kehidupan manusia, dan benda tersebut mengandung nilai-

nilai yang harus ditemukan dan dimaknai dalam kehidupan bersama. Ketika manusia

menggunakan benda itu, secara tidak langsung manusia menggunakan analogi dan

metafora untuk menjelaskannya secara konkrit berdasarkan konteks di mana manusia

tinggal. Misalnya, ornamen tumbuhan, hutan dan binatang, yang menegaskan alam

manjadi bagian integral dalam hidup dan manusia bertanggungjawab terhadap pelestarian

alam.

54

Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 17.

55Sunaryo, Ornamen Nusantara: Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia , (Semarang: Dahara

Prize, 2009), 5.

33

Penulis berpendapat juga bahwa ornamen dan simbol memiliki fungsi

menyatukan untuk sebuah keteraturan dalam kosmos, yang tampak dalam interaksi yang

saling mempengaruhi. Ada kesamaan dalam proses menghubungkan dan menjangkau

objek atau sesuatu yang diluar pikiran manusia, yang dalam perkembangannya

mempunyai pengaruh kuat dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia. Dalam proses

tersebut ada sebuah kebebasan dan menurut penulis, inilah daya kekuatan simbol

Dillistone yang terletak pada menciptakan dengan kebebasan dalam sebuah usaha

menghubungkan, menyatukan dan mempertemukan sesuatu atau bagian yang berbeda,

yang pada akhirnya manusia menjadi tokoh simbolis berharga, bermakna dan berkarya

yang aktif dalam sebuah relasi dengan yang Ilahi dalam kehidupan. Daya kekuatan ini

nampak dalam ornamen, di mana daya ini pertama ada pada seniman yang bebas

mengekspresikan daya imajinasinya untuk menggambarkan setiap objek dengan cermat

dan teliti, memberikan pewarnaan untuk menambahkan arti sebuah objek dan

menghubungkan unsur-unsur di dalamnya, untuk menjelaskan eksistensi manusia dalam

kesatuannya secara utuh sebagai ciptaan Tuhan.

Dengan demikian, simbol memiliki daya kekuatan dan menurut penulis, ini

nampak dalam sebuah ornamen yang hingga hari ini masih terus dilestarikan untuk

memaknai kehidupan baik di masa lampau, sekarang dan masa depan.