BAB 2 TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE · kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk...
Transcript of BAB 2 TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE · kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk...
10
BAB 2
TEORI SIMBOL MENURUT PERSPEKTIF F.W. DILLISTONE
2.1. Pendahuluan
Simbol sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan beragam bentuk dan
tujuan penggunaannya, baik dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah atau pun dalam
membangun relasi dengan yang transenden atau Tuhan. Hal ini sangat menarik karena
simbol masih bertahan hingga hari ini dan manusia sering berhubungan dengan simbol.
Penulis mencoba melihat simbol menurut F.W. Dillistone untuk memahami daya
kekuatan simbol, yang akan digunakan untuk membantu analisis penulis terhadap makna
ornamen garis lengkung lingkaran suku Dayak Kenyah, dengan memperhatikan pula
pandangan beberapa ahli. Kemudian penulis akan memaparkan hakekat simbol, fungsi
simbol, simbol dan alam, simbol dan ormanen.
2.2. Hidup dan karya F.W. Dillistone
Frederick William Dillistone lahir di Sompting, Kerajaan Inggris Raya, 9 Mei
1903. Ia seorang pendeta dan juga seorang akademisi, Profesor Teologi di Wycliffe
College, Toronto dalam bidang Teologi Sistematika. Ia juga bekerja sebagai penulis pada
Departemen Pendidikan Kristen, membantu dalam perencanaan dan penulisan buku-buku
The Teaching (Pengajaran Gereja). Buku karyanya diantaranya Christianty dan
Symbolism1, The Christian Understanding of Atonement
2, Traditional Symbols and The
1F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism,(Philadelpha: The Westminster,1955)
11
Contemporary World3, The Power of Symbols in Religion and Culture
4, The Power of
Symbols5, dan lainnya.
Salah satu pemikiran menarik dari Dillistone adalah tentang simbol. Teori simbol
dipaparkan secara panjang lebar dengan memadukan beberapa pandangan para ahli dari
berbagai bidang sebagai sumber acuan penelitiannya sehingga mempengaruhi
pandangannya terhadap simbol dan kekuatannya. Simbol menjadi sangat menarik karena
mempengaruhi manusia dalam mengekspresikan dan merefleksikan kehidupannya, dalam
ranah horizontal maupun vertikal, atau dalam kaitan relasi dengan kehidupan sekitarnya
maupun dengan yang transenden atau Tuhan, sehingga eksistensi manusia dapat
dijelaskan menggunakan simbol. Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa
Dillistone merupakan tokoh yang beraliran filsafat eksistensialis, sebuah aliran dalam
ilmu filsafat yang menjelaskan keberadaan manusia di dunia yang memiliki kemampuan
menciptakan sesuatu dengan menggunakan kebebasannya untuk memberikan sumbangsih
berharga bagi kehidupan.
Pemikiran tentang makna simbol pun, menurut Dillistone sangat dipengaruhi oleh
kebebasan individu sehingga makna selalu dinamis tanpa meniadakan makna semula.
Tetapi kebebasan yang merusak simbol ialah ketika manusia melepaskan, meninggalkan
diri dari tradisi, atau bahkan tidak pernah diperkenalkan pada tradisi. Dillistone tidak
percaya bahwa simbol tradisional bisa dilupakan karena simbol tradisional berbicara ke
2F.W. Dillistone, The Christian Understanding of Atonement, (Philadelpha: The
Westminster,1968) 3F.W. Dillistone,Traditional Symbols and The Contemporary World, (London: Epworth
Press,1973) 4F.W. Dillistone, The Power of Symbols in Religion and Culture, (New York: Crossroad,1986)
5F.W. Dillistone, The Power of Symbols, (London: SCM Press,1986)
12
kedalaman hidup manusia, dan dia membuat saran praktis dan teologis mengenai cara
mengembalikan nilai tertinggi dari tanda-tanda tradisional kepada masyarakat.
2.3. Definisi Simbol
Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-bollein”, dan
beberapa ahli memberikan penjelasan kata tersebut sebagai berikut. Pertama, symbollein
berarti melemparkan bersama sesuatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide6.
Kedua, simbol artinya menyatukan unsur-unsur yang berbeda dengan cara menjadi
penghubung pikiran seorang pribadi dengan proses-proses alam. Sebuah simbol
mengkoordinasikan dan mengintegrasikan banyak citra atau sensasi dari dunia sekitar
yang diterima melalui panca-indera7. Ketiga, symbollein menurut Dillistone artinya
mencocokkan8, menempatkan kedua bagian berbeda dalam bentuk gambaran, bahasa dan
lainnya9. Pandangan para ahli di atas terhadap arti kata symbollein menunjukkan bahwa
simbol menghadapkan objek (benda, bahasa) yang berbeda untuk mencari kesepakatan
bersama dengan mengungkapkan kembali, menghubungkan dan menyatukan objek yang
berbeda.
Definisi yang lain menunjukkan bahwa simbol mengungkapkan sebuah objek
yang dekat dengan kehidupan manusia, dan hal ini ditegaskan oleh pendapat Carl G. Jung
yang menyatakan bahwa simbol adalah sebuah istilah, nama atau bahkan gambar yang
6Hartoko & Rahmanto , “Kamus Istilah Sastra,” dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 155. 7Jyoti Sahi “Tarian di Hutan Belantara”, dalam Bertheologia dengan Lambang-lambang dan
Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati Utomo, Pdt. Meno Subagyo
(Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 74. 8F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Symbol, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2002), 21. 9 Dillistone, Daya, 154.
13
mungkin sudah biasa dipergunakan dalam hidup setiap hari, dan menambahkan pada
makna yang telah menjadi kesepakatan bersama. Lebih lanjut Jung menyatakan bahwa
simbol membantu manusia menyingkapkan sesuatu yang misteri dalam kehidupannya10
.
Dalam pemikiran Dillistone yang mendasarkan pada pemikiran Erwin
Goodenough menyatakan bahwa simbol adalah barang atau pola yang, apa pun sebabnya,
bekerja pada manusia dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-
mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan itu11
.
Definisi simbol menurut para ahli sangat beragam, namun ide, gagasannya
menemukan makna pada objek yang menjadi kajiannya, baik itu benda, bahasa, pola dan
lainnya dan ini senada seperti apa yang disampaikan Dillistone bahwa menyangkut
definisi simbol, rupanya ada kesepakatan umum bahwa sebuah simbol tidak berusaha
untuk mengungkapkan keserupaan yang persis atau untuk mendokumentasikan suatu
keadaan yang setepatnya. Simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas
penglihatan, merangsang daya imajinasi dan memperdalam pemahaman manusia12
.
2.4. Hakekat Simbol
Persepsi manusia berbeda-beda terhadap sebuah obyek karena tergantung pada
kemampuan dan pengalamannya. Berkaitan dengan hal tersebut, manusia menggunakan
imajinasinya yaitu daya untuk mengerti sebuah kebenaran, serta menciptakan sesuatu
untuk bertahan hidup. Meskipun demikian, disadari pula bahwa manusia memahami
sebagian dari sesuatu yang dilihat atau yang dianggap, manusia mengerti namun tidak
10
Carl G. Jung, Man and his Symbols, (New York: Anchor Press Doubleday, 1964), 20. 11
Dillistone, Daya, 19. 12
Dillistone, Daya, 20.
14
mengerti dengan jelas apa yang ada dibelakang pikirannya atau alam bawah sadarnya,
sehingga untuk mengkomunikasikan hal-hal yang tak disadari; muncullah lambang-
lambang. Orang-orang yang kreatif adalah pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan
untuk mengungkapkan hal-hal yang tak disadari itu dalam bentuk lambang-lambang13
.
Mereka memiliki imajinasi atau “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-
konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan)”14
.
Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak oleh mata) dan tekstural
(terasa serta teraba oleh tangan dan kulit). Sebuah lukisan adalah hasil imajinasi seorang
pelukis. Namun lukisan yang dilihat dan (mungkin) diraba itu tidak sama dengan imaji
yang muncul tatkala sang pelukis berimajinasi15
. Dillistone menulis bahwa daya ini tidak
terlihat dan tidak terdengar, seperti udara yang dihirup atau seperti angin di pipi16
.
Daya itu nampak dalam pemikiran-pemikiran yang mengungkapkan sebuah
realitas dan untuk berkomunikasi dengan sekitarnya. A.N. Whitehead mengatakan pikiran
manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya
menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-
komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol”
dan perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian
organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna disebut
13
Timur Indyah, Lambang-lambang bukan Lelaki dalam Kebudayaan Jawa, dalam Bertheologia
dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati
Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 27. 14
H. Tedjowono, Imaji dan Imajinasi : Suatu Telaah Filsafat Postmodern, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2001), 21. 15
Tedjowono, Imaji dan Imajinasi, 21. 16
Dillistone, Daya, 40.
15
referensi17
. Sependapat dengan Whitehead, Edwyn Bevan menyatakan simbol
menghadirkan suatu makna melalui indera atau imajinasi, menjadi penyangga terhadap
sesuatu yang lain dan berpengaruh dalam kehidupan18
.
Persepsi, pemikiran manusia kemudian disampaikan melalui bahasa sebagai alat
komunikasi untuk menyatakan perasaan, kebutuhan mendapatkan keterangan atau solusi
ketika manusia berelasi dengan sesama atau dengan alam. Dillistone membedakan bahasa
menjadi dua yaitu bahasa yang bersifat denotatife, yaitu tepat, ilmiah, harfiah, dan bahasa
yang bersifat konotatif , yaitu berasosiasi, tidak persis tepat, memungkinkan beragam
penafsiran, dan simbol termasuk kategori yang kedua. Simbol memiliki maknanya sendiri
atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri untuk
menggerakkan kita. Daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang merangsang orang
untuk bertindak sebagai ciri hakikinya19
.
Manusia menggunakan bahasa simbol atau hal-hal yang telah disepakati bersama
untuk berkomunikasi. Dillistone menyatakan bahasa membantu manusia memahami
simbol yang terdapat pada pengalamannya yang memiliki pola berirama dan berulang-
ulang, yang menunjuk kepada bahasa di sekitar barang yang dikenal sehari-hari yang
terperinci, diberi nama dan ditentukan pola hubungannya, kuantitas dapat ditunjukkan
dengan angka, banyak peristiwa terjadi berulang-ulang dan membentuk suatu tanda. Pola
berikutnya ialah yang berurutan dan memiliki tujuan, dan muncul pada hal-hal yang tidak
biasa dan peristiwa yang tak terduga, misalnya angin ribut dan hujan, sakit penyakit dan
17
Dillistone, Daya, 18-19. 18
Edwyn Bevan, Symbolism And Belief, (London: Goerge Allen & UNWIN LTD, 1938), 11. 19
Dillistone, Daya, 19.
16
cacat cela pada manusia dan binatang. Dillistone menegaskan dalam situasi seperti ini,
simbol melukiskan secara imajinatif fenomena baru dengan suatu analogi20
.
Analogi menyatakan informasi tentang dunia di mana manusia hidup dengan
memberikan penafsiran tentang alam dan eksistensi manusia, karena manusia cenderung
tidak merasa puas dan berusaha melampaui apa yang sudah ada. Analogi
mengembangkan pengetahuan tentang yang transenden, Ilahi atau Tuhan dengan merujuk
kepada fenomena dalam dunia adikodrati yang terlihat sebagai ciptaan-Nya21
. Penulis
berpendapat bahwa analogi menjelaskan objek dengan menafsirkan, memberikan
pandangan baik secara horizontal artinya relasi alam dan manusia, maupun secara
vertikal menjelaskan relasi antara Tuhan Pencipta dengan yang diciptakan-Nya. Simbol
kemudian menjadi penghubung untuk memperluas pengalaman manusia dalam
merefleksikan eksistensinya.
Dillistone juga menyatakan perlunya metafora dalam memahami simbol karena
metafora bersifat dinamis, meningkatkan interaksi dan membawa kepada kemungkinan
makna baru. Ia menemukan perbedaan antara analogi dan metafora melalui sebuah
ilustrasi yang ditulis penyair dari Irlandia, kemudian berpendapat bahwa bahasa analogi
digunakan oleh ilmuwan dalam menganalisis dan mendeskripsikan hubungan manusia
dengan dunia, ditemukan dalam catatan ilmiah, sedangkan metafora digunakan oleh para
penyair, penulis novel, sejarawan. Kesamaan dalam hubungan antara analogi dan
metafora ditemukan melalui pemikiran manusia yang menjelaskan sebuah objek dan
20
Dillistone, Daya, 80. 21
Dillistone, Daya, 81-86.
17
pengaruhnya, dan ini nampak pada daya imajinasi yang selalu terbuka terhadap adanya
interaksi, keterkaitan gambaran-gambaran yang kemudian dapat mengubah situasi22
.
Dillistone menyatakan bahwa dari semua simbol, simbol yang paling kuat adalah
manusia yang hidup23
, karena manusia memiliki kemampuan mengembangkan diri
dengan baik dalam keterkaitan dengan alam semesta dan diwujudkan dalam berbagai
bidang seperti ilmu pengetahuan, kesenian yang turut mempengaruhi kemajuan dan
perubahan sosial. Selain itu, manusia meninggalkan kenangan melalui perkataan,
perbuatannya dan pengaruh-pengaruh yang berlangsung lebih lama, dan ini menunjuk
pada tokoh-tokoh simbolis atau orang-orang yang telah bersedia untuk mengubah dan
memodifikasi hukum yang kaku dengan senantiasa mengadakan dialog, perdebatan,
tanya-jawab, transformasi situasi melalui interaksi dan diskursus simbolis yang sabar
tanpa kekerasan, untuk membangun dan menciptakan pertumbuhan bersama. Dengan
demikian, para pemimpin sendiri menjadi simbol integrasi atau simbol pendamaian24
.
Manusia bukan hanya makhluk yang berakal budi, bukan hanya makhluk sosial,
makhluk ekonomi tetapi juga makhluk bersimbol yang artinya bahwa manusia berpikir,
mengungkapkan perasaan dan bertindak dengan ungkapan simbolis. Manusia dengan
daya kemampuannya akan mengubah lingkungannya atau hidup dalam sebuah realitas
yang baru. Hal ini ditegaskan dalam pemikiran Dillistone yang mendasarkan pada dua
pemikiran para ahli yaitu pertama Ernst Cassirer yang mengatakan manusia adalah
animal simbolicum, sehingga dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat
22
Dillistone, Daya, 90-93. 23
Dillistone, Daya, 225. 24
Dillistone, Daya, 228.
18
mencapai kepada realitas yang tertinggi dalam hidupnya25
dan menurut penulis ini
merupakan ciri istimewa yang membedakan antara manusia dan hewan. Kedua pada
Susanne K. Langer yang berpendapat bahwa manusia melalui aktivitas simbolisnya
menunjukkan eksistensinya lebih tinggi dari hewan, dan ini nampak dalam penguasaan,
pengembangan kemampuannya dan memodifikasi tindakannya26
. Dengan demikian ada
simbolisasi yaitu kegiatan sangat penting yang membedakan manusia dari setiap makhluk
hidup lainnya.
Pada sisi yang lain manusia sebagai makhluk budaya27
. Makhluk budaya
mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah
laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia
terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi
landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan untuk mendasari
setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya sehubungan dengan pola hidup dan
tata cara kemasyarakatannya28
. Dengan demikian manusia akan terus menerus menggali,
menggiatkan, mengembangkan semua bakat yang ada padanya, bahkan menciptakan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupannya; yang berupa atau terdiri dari
gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku
manusia29
.
25
Dillistone, Daya , 10.
26 F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism, (Philadelphia: The Westminster Press, 1955), 23.
27M. Sastraprateja, Manusia Multi Dimensional, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1982), 109.
28 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 11.
29Sastraprateja, Manusia, 109.
19
Manusia memiliki keunikan yaitu kebebasan untuk menghasilkan, mengubah, dan
menentukan nilai-nilai bagi simbol-simbol. Kebebasan untuk menciptakan simbol-simbol
dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan simbol bagi simbol lainnya disebut proses
simbolik. Proses simbolik dilakukan manusia secara arbitrer untuk menjadikan hal-hal
tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya30
. Proses simbolik ini mentransformasi kehidupan
manusia dalam tingkat paling primitif dan juga tingkat paling beradab.
Dillistone menjelaskan bahwa pengalaman manusia menunjukkan bentuk
simbolis yang berbeda. Pertama orang tinggal di daerah dunia yang kurang ramah, yang
tidak tenang, selalu mencari, bergerak, bersitegang dengan lingkungan alam mereka dan
karena di sekitarnya banyak binatang terpaksa berburu serta membunuh agar memperoleh
makanan yang memadai. Sistem komunikasi mereka adalah pertama-tama sistem saling
memberi signal dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan praktis atau
menghadapi keadaan darurat praktis dan mempergunakan alat-alat simbolis, entah untuk
mengenang pengalaman-pengalaman masa lalu, entah meramal realisasi hubungan-
hubungan yang baik dengan roh, binatang dan sesama manusia di masa yang akan
datang. Kedua, orang tinggal di daerah dunia yang lebih ramah, di mana akar-akaran,
buah-buahan dan tempayak merupakan makanan sehari-hari, di mana air dapat
diperoleh, di mana orang dapat membangun sekelompok tempat berlindung dan
melangsungkan kehidupan sehari-hari yang lebih teratur. Sistem komunikasi mereka
berupa sistem tanda penataan kehidupan yang menunjukkan tugas-tugas yang harus
dilakukan dan yang memberikan peranan-peranan yang sesuai kepada beberapa anggota
30
S.I. Hayakawa dalam Deddy Mulyana, Komunikasi antar Budaya Pandung Nerkomunikasi
dengan Orang yang Berbudaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), 96-97.
20
masyarakat dengan tujuan menjaga kelestarian sumber-sumber makanan dan minuman
yang menjadi tempat bergantung kehidupan masyarakat. Simbol tetap berkaitan dengan
kegiatan hubungan sehari-hari, tetapi mempunyai fungsi tambahan, yaitu merayakan dan
mengabadikan siklus kehidupan dari dunia alami yang teratur dan memperkuat
kesesuaian siklus itu31
.
Lingkungan alam menginspirasi manusia untuk mengembangkan dirinya melalui
usaha pencarian sebuah makna pada pengalamannya, dan menurut Arthur Asa Berger
makna itu dipelajari dan bahkan dapat menjadi simbol yang memiliki pengaruh
emosional bagi individu dan orang lain32
, serta menurut Clifford Geertz bahwa makna-
makna simbolik juga harus diwariskan untuk membangun komunikasi, melestarikan dan
memperkembangkan pengetahuan manusia tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap
kehidupan33
. Jadi simbol mempersatukan atau menggabungkan suatu segi pengalaman
manusia yang sudah di kenal baik dengan apa yang mengatasi pengalaman itu maupun
pengungkapannya (Simbol dapat berupa sebuah kata atau tindakan atau gambaran atau
drama). Dengan kata-kata yang lebih umum, sebuah simbol menghubungkan usaha
pencarian manusia dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang tertinggi34
.
Simbol berkaitan dengan kehidupan manusia bukan hanya secara individual tetapi
juga manusia dalam artian masyarakat dan menurut Dillistone simbol berkaitan dengan
31
Dillistone, Daya, 23.
32 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,
diterjemahkan oleh M. Dwi Marianto (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2010), 28. 33
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, diterjemahkan oleh Francisco Budi hardiman
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992)
34 Dillistone, Daya, 28.
21
kohesi sosial dan transformasi sosial35
. Melalui simbol manusia berkomunikasi dan
berinteraksi dalam menghayati eksistensinya. Komunikasi efektif yang dibangun untuk
menghadapi situasi dan realitas yang ada. Simbol-simbol yang digunakan mempengaruhi
perubahan manusia sebagai individu maupun individu dengan masyarakat.
Komunikasi yang efektif menghantarkan manusia pada sebuah pengertian dan
pemaknaan tentang simbol yang kontekstual. Komunikasi tersebut menurut Jung,
ditunjukkan dalam sebuah perjumpaan pemaknaan simbol antar individu dengan
individu, atau individu dengan masyarakat. Perjumpaan tersebut merupakan sebuah
kenyataan dan fakta bahwa manusia memiliki kesamaan. Pikiran manusia pada dasarnya
bekerja dengan struktur-struktur simbolik tertentu, dan struktur-struktur ini dengan
demikian menjadi universal. Lambang-lambang atau simbol tidak bekerja secara terpisah,
tetapi dalam suatu konteks yang bersifat sosial sekaligus historis36
. Pemaknaan sebuah
simbol berdasarkan kesepakatan bersama yang diperoleh melalui penglihatan dan
pengalaman masing-masing individu dalam kelompok akan menciptakan kesadaran
bersama tentang sesuatu. Dengan demikian simbol membentuk memory collective, yang
muncul dalam pikiran manusia dan tertanam dalam konteks sosial tertentu. Jan Asmann
menyebutnya sebagai pengukuhan identitas atau keterkaitan atau kesatuan individu dalam
sebuah komunitas.
Menurut penulis, hakekat simbol merupakan hasil persepsi manusia terhadap
objek yang ditangkap oleh panca indera dan diproses dengan berpikir dan berefleksi di
tengah situasi kondisi, pengalaman hidup manusia yang beragam, untuk menemukan
35 Dillistone, Daya, 22.
36Jyoti Sahi, “Tarian di Hutan Belantara” dalam Bertheologia, 76-77.
22
sebuah makna baru, mengembangkan atau tidak menggantikan arti makna simbol itu
sendiri. Pemikiran Dillistone yang mendasarkan pada pemikiran Victor Turner
menegaskan bahwa makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif
pada wahana-wahana simbolis yang lama dan lagi individu-individu dapat menambahkan
makna pribadi pada makna umum sebuah simbol37
.
2.5. Simbol dan Alam
Alam menjadi sumber penting bagi manusia dalam mengaktualisasikan
keberadaannya. Alam menyediakan banyak hal bagi kelangsungsan hidup manusia dan
seluruh ciptaan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Mary Douglas menyatakan manusia
harus memahami alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya dan
mengeskpresikan alam dalam bentuk-bentuk simbol sebagai hasil dari kontruksi
pengalaman dan pikirannya38
.
Proses tersebut melalui sebuah interaksi antara alam dan manusia yang saling
mempengaruhi antara satu dan lainnya. Alam memiliki pengaruh besar bagi manusia
karena merupakan komponen penting dari kehidupan manusia. Demikian sebaliknya,
manusia memiliki pengaruh besar terhadap alam dalam hal pemeliharaan dan pelestarian.
Melalui interaksi inilah muncul pemaknaan sebagai simbol manusia terhadap alam yang
pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia dan alam itu sendiri.
Sikap manusia beragam terhadap lingkungannya dan digambarkan dengan
membandingkan pola umum kehidupan yang selalu berubah dari dulu hingga sekarang,
37
Dillistone, Daya, 114.
38Mary Douglas, Natural Symbol: Explorations in Cosmology, (London: Barrie and Jenkins,
1973), XXXI..
23
dan situasi tersebut dipandang sebagai yang dulu dan sekarang. Pertama, yang dulu
konservatif dan tradisional, berpegang teguh pada kebijaksanaan warisan masa lalu.
Kedua, terbuka dan menyesuaikan bentuknya dengan kondisi kehidupan yang cepat
berubah.
Dalam situasi tersebut Dillistone berpendapat bahwa pada dasarnya perbedaan ini
dapat ditemukan dalam totalitas hubungan manusia dengan alam, tanah dan pepohonan,
dengan buahnya dari bumi dan hasil panen dari laut, dengan bukit-bukit dan gunung-
gunung lembah, dengan sinar matahari dan badai hujan, dengan lembut sungai dan sungai
yang mengalir deras. Apakah alam adalah ibu pertiwi yang berkelimpahan, perawat yang
baik, wali pelindung? Atau alam itu liar dan masih asli, atau manusia tidak bisa hidup
berdampingan dengan alam? Apakah perannya yang dominan pasif, di mana ia menerima
dari alam, belajar dari alam, bekerja sama dengan proses alam yang sudah mapan,
mendedikasikan dirinya untuk alam?39
.
Manusia diperhadapkan pada pilihan antara yang dulu dan sekarang, dengan
pandangan-pandangan yang telah diwariskan nenek moyang dan pengalaman kehidupan
yang semakin maju dan berkembang. Simbol memiliki peran dalam memberikan
pemahaman yang membuka cakrawala, persepsi dan sikap terhadap masa depan
kehidupan manusia dan alam.
Disisi lain, muncul sebuah pertanyaan, apakah manusia bertanggung jawab
menghargai alam tempat kehidupannya, atau alam dipahami sebagai objek yang harus
dikuasai, yang akhirnya alam menjadi bencana dalam kehidupannya?
39
F.W. Dillistone, Christianity and Symbolism, (Philadelphia: The Westminster Press, 1955), 39.
24
Alam adalah ciptaan Tuhan yang diberikan pada manusia untuk bertahan hidup.
Manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan alam tidak berarti dan tidak bermakna tanpa ada
manusia di dalamnya karena manusia diberikan kekuasaan oleh Tuhan untuk mengelola
dan memanfaatkan alam bagi kelangsungan hidupnya secara bertanggungjawab. Salah
satu unsur alam yang penulis akan paparkan ialah tanah.
Tanah merupakan salah satu bahan utama penciptaan Allah dan oleh sebab itu
berada di bawah kedaulatan Allah (Kej. 1 db. 2: 4 db). Tanah diberikan oleh Allah
sebagai teman akrab utama yang mendukung dan menopang kehidupan manusia sehingga
tanah menjadi simbol utama dari tindakan Allah yang kreatif dan menopang, dan sering
hal ini diakitkan erat dengan, dan secara amat dominan disimbolkan melalui, pemberian
tanah40
. Tanah diberikan supaya manusia memiliki relasi yang permanen dengan Tuhan.
Tanah merupakan bukti adanya hubungan istimewa itu. Sebidang tanah disebut warisan
atau milik pusaka (Ul. 4:21,38)41
. Tanah dimiliki setiap keluarga turun-temurun melalui
sistem pewarisan dan karenanya tetap menjadi milik sebuah keluarga. Tanah warisan tak
boleh dijual dalam pengertian ganti pemilik. Tanah tidak pindah tangan menjadi milik
keluarga lain untuk selama-lamanya. Prinsip tegas bahwa tanah tak boleh
diperjualbelikan secara permanen berdasarkan klaim Tuhan bahwa Dirinyalah pemilik
tanah42
.
40
Nenita Flores-Cao, Nellie M. Cleto, Tanah Sebagai Simbol Kehidupan dalam Bertheologia
dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati
Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 191-192. 41
Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Pejanjian Lama: dari kanon sampai doa, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,2009),81.
42Karman, Bunga Rampai, 85.
25
Dalam pandangan masyarakat yang hidup bergantung pada tanah sebagai mata
pencaharian untuk pemenuhan kebutuhan kehidupannya, tanah sangatlah berarti dan
secara turun temurun menjadi warisan yang sangat berharga. Dillistone memberikan
sebuah contoh pada masyarakat yang bekerja sebagai petani yang ada di seluruh dunia,
dengan menyatakan bahwa tanah mempunyai arti simbolis penting yaitu memberi
perasaan keyakinan jati diri yang kuat dan keamanan, merupakan tanda jelas
kesinambungan masa lalu, masa sekarang dan masa depan serta menyediakan sumber
makanan yang dapat diandalkan dari tahun ke tahun. Tanah adalah simbol yang berharga
dan alat, sarana43
.
2.6. Fungsi Simbol
Simbol membuka celah ketika manusia melihat sesuatu atau objek dan
menyingkapkannya secara mendalam. Dillitone membuka celah untuk menyingkapkan
makna simbol dengan mendasarkan pada pemikiran para ahli, yang kemudian
menemukan pola-pola hubungan yang menunjukkan fungsi simbol yaitu untuk
menjembatani jurang antara “sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau
peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret (atau yang di sebut simbol)” dan
“sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi; sebuah makna, realitas, suatu
cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga dan suatu keadaan
(atau yang disebut referen)”44
. Simbol menjadi penghubung dalam usaha pencarian
manusia yang terus bertanya dan mencari jawaban untuk menyatukan dua realitas ini,
43
Dillistone, Daya,50-52
44Dillistone, Daya, 20-21.
26
untuk menemukan sebuah makna simbol terbaru atau pengembangan dari makna
sebelumnya.
Simbol menjaga hubungan dengan apa yang sudah dikenal melalui pengalaman
tetap. Bersamaan dengan itu, simbol juga terentang menuju kepada hal tak terduga yang
tidak seutuhnya cocok dengan pola yang sudah biasa. Simbol melukiskan secara
imajinatif fenomena baru dengan suatu analogi: simbol berbeda, namun sebanding,
dengan apa yang sampai saat ini merupakan pengalaman biasa. Simbol seperti ini tidak
melekatkan nama yang sama sekali baru pada perubahan pengalaman sosial tersebut.
Simbol dapat berupa bentuk kata yang menambah asli dengan awalan atau adjektif atau
adverbia; alternatifnya, simbol itu dapat memperluas nama asli sedemikian rupa sehingga
tetap mempertahankan susunan asli tetapi menunjuk lebih jauh lagi. Sifat penting simbol
seperti itu ialah bahwa simbol itu menunjuk kepada cakrawala yang lebih luas tanpa
meninggalkan hubungan dengan yang sudah biasa dan menjadi tradisi45
. Simbol
mengembangkan suatu objek tanpa menghilangkan ciri khas dan tradisi yang sudah ada.
Simbol berfungsi mempertahankan apa yang sudah ada, yang secara kolektif diterima
dalam masyarakat secara turun temurun.
Dalam arsitektur, simbol menerangkan bentuk dan menyampaikan pesan karena
menurut Joyce M. Laurens, arsitektur adalah kristalisasi dari pandangan hidup dan bukan
semata-mata persoalan teknik dan estetika bangunan. Bentuknya ada karena persepsi dan
imajinasi manusia. Mempelajari arsitektur berarti juga mempelajari hal-hal yang tidak
45
Dillistone, Daya, 80.
27
kasat mata sebagai bagian dari realitas yaitu realitas konkret dan realitas simbolik.46
.
Dalam bentuk arsiktektur, simbol berfungsi menghidupkan tanda-tanda material dan
membuatnya berbicara, menceritakan sesuatu, menggambarkan pengalaman yang
menciptakannya, dan menegaskan sebuah identitas tertentu.
Identitas bagi individu atau kelompok memiliki beragam kisah, peristiwa yang
melekat, dikenang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Simbol mengungkapkan
cerita berdasarkan pengalaman historis seperti tentang perjuangan kemerdekaan atau
tentang perdamaian. Simbol berfungsi, pertama dapat mengungkapkan kebenaran di
tengah gambaran yang bukan sebenarnya, apalagi dengan sengaja digunakan untuk
memutarbalikkan kenyataan untuk alasan ekonomi, politik. Kedua, simbol dapat
membebaskan, menyampaikan aspirasi dan menunjukkan perjuangan rakyat yang
sesungguhnya untuk merdeka47
.
Simbol berfungsi menghubungkan manusia dengan yang ilahi. Pengalaman-
pengalaman manusia sehari-hari memberikan inspirasi, imajinasi yang tinggi, lain dari
pada biasanya, terhadap sesuatu yang tidak terlihat, tidak nyata namun dirasakan
memiliki kekuatan yang melebihi dirinya. Dalam situasi seperti ini, manusia
menunjukkan kelebihannya dalam melihat lebih jauh keberadaannya, kemampuannya
untuk menganalisa, memaknai diri terhadap yang ilahi melalui simbol-simbol yang akan
mengubah pola perilaku kehidupannya. Dengan demikian, simbol memiliki peran dalam
46
Joyce Marcella Laurens, Arsitektur dan Perilaku Manusia , (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2004), 26. 47
Lolita T. Dais, Mildred M, Teqius, Luna l, Dingayan, Simbol-simbol Perjuangan dan
Kehidupan Refleksi Atas Pengalaman Filipina dalam Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-
citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga:
BITES-Persetia, 1992), 180-181.
28
rangka pengenalan manusia pada yang ilahi, dan simbol-simbol rohani tersebut ada dalam
setiap agama dan kepercayaan.
2.7. Simbol dan Ornamen
Sejarah ornamen menunjukkan rekaman, catatan dari asul-usul dan kemajuan
perkembangannya dalam desain dekorasi. Dekorasi ialah sebuah objek ornamen yang
dimodifikasi sesuai yang diinginkan dari bentuk dan warna. Ketika pengulangan dekorasi
dilakukan atau bentuk kombinasi spesifik menurut skema yang ditentukan, bentuk itu
disebut motif. Secara kolektif didominasi ornamen dan bila digabungkan atau diulang
akan membentuk sebuah pola48
.
Kata ornamen secara etimologis berasal dari bahasa latin “ornare” yang berarti
menghiasi, dalam artian, sesuatu yang awal mulanya kosong terisi hiasan sehingga
menjadi tidak kosong49
. Pengertian tersebut menjelaskan ornamen dipakai untuk
menghias suatu bidang atau benda50
. menambahkan sesuatu pada benda, baik seni ukir,
seni lukis untuk memberikan nilai dan makna yang lebih sehingga indah dan berharga.
Ornamen mengambil bentuk-bentuk tertentu yang merupakan hasil imajinasi dan
daya cipta manusia yang menciptakannya, yang terinspirasi oleh keberadaannya sehingga
menurut Jim Supangkat dan Rizki A. Zaelani, ornamen mengandung bentuk makna
simbolik, baik bersifat sakral maupun tidak. Bentuk ornamen berasal atau dihasilkan dari
gambaran tentang manusia, binatang, tumbuhan, atau obyek-obyek yang biasa dikenal
48
A.D.F. Hamlin, A History of Ornament: Ancient and Medi/eval, (London: BT. Batsford,
1916),3.
49Syafii dan Tjetjep Rohendi Rohidi, Ornamen Ukir, (Semarang : IKIP Semarang, 1987), 3.
50Moh Charis Jaelani, Teknik Seni Mengukir Kayu, (Yogyakarta : Absolut, 2007), 34.
29
dalam pengalaman hidup manusia; serta juga bentuk-bentuk abstrak yang diciptakan
secara khusus51
.
ornamen diklasifikasikan dengan memperhatikan beberapa prinsip, dan menurut
A. Hamlin di antaranya:
Pertama, menurut penempatannya yang disesuaikan dengan ruang atau tempatnya
misalnya berbentuk garis (linear), keseluruhan (all-over), memancarkan (radiating), yang
semua ornamen saling berkesinambungan. Motif ornamen berbentuk garis atau linear
disusun secara berurutan sepanjang garis tunggal untuk membentuk perbatasan. Dalam
pola keseluruhan (all-over), unit-unit disusun sepanjang dua atau tiga lebih sistem
berpotongan warna sehingga menutupi permukaan yang luas. Terputus secara
keseluruhan disebut membedaki, atau dilipat.
Kedua, menurut penggolongan dan pembuatannya yang dapat digolongan sebagai
plastik atau bertautan dengan warna. Ornamen plastik tergantung pada cahaya dan efek
bayangan, dibuat dengan menaikkan atau menekan permukaan dengan berbagai cara
seperti pada ukiran, cetakan, stampel. Ornamen chromatic ialah semua warna, dan
tergantung dengan warna hitam dan putih. Misalnya ornamen tekstil seperti renda dan
bordir, berfungsi terbuka dan menghasilkan pola termasuk ornamen plastik. Hiasan
chromatic terdiri dari ornamen yang dicat, yang dilapis, gelas berbintik dan berseni, dan
semua hiasan textile yang bergantung pada warna, baik yang diproduksi dengan tenun,
menyulam, percetakan dan sebagainya.
51
Jim Supangkat dan Rizki A. Zaelani, Ikatan Silang Budaya Seni Serat Biranul Anas, (Bandung :
Art Fabric, 2006), XVI.
30
Ketiga, menurut metode atau dasarnya, di mana ornamen terbagi menjadi tiga
kategori yaitu konvensional adalah ornamen traditional, yang mengandung unsur aturan
yang dikerjakan bersama, yang sebagian besar nampak dalam karakter geometris
ornamen, seperti zigzag, spiral. Ornamen narutalistik adalah semua bentuk dekoratif yang
diambil dari unsur alam, seperti bunga dan daun, kepala singa. Terbentuknya hiasan
alami terkait dengan tujuan modifikasi untuk memberikan efek dekoratif. Ornamen ini
sebagian memiliki cara sejarah, contohnya daun acanthus dan seluruh motif bunga dalam
seni klasik. Menurut natural, bentuk ornamen dari alam dikenal satu atau lebih karena
secara umum alam tidak teratur atau tidak simetris, cirinya abstrak tapi memberikan
pengaruh dalam dekorasi dan penyatuan dengan alam.
Keempat, menurut objek yang digunakan, ornamen terbagi menjadi ornamen
arsitektur, diaplikasikan pada bangunan dan industri ornamen yang menghiasi benda-
benda seperti perhiasan, ukiran furnitur, sampul buku, perak, tali pengaman bahkan pada
mimbar, tempat paduan suara.
Kelima, menurut hubungan dengan strukturnya, terbagi atas struktur hiasan yang
berasal dari, tumbuh dari, objek yang dihias seperti pilar, jendela, papan. logam.
Penerapan ornamen ialah menambahkan ke objek untuk memperlengkapi dan
memperindah struktur yang ada. Semua klasifikasi tersebut merupakan perangkat yang
didiskusikan dan dikritik utnuk menerapkan tujuan dan berfungsinya ornamen52
.
Selain itu, sebuah benda menjadi menarik dibuat dengan mempertimbangkan
aspek fungsionalnya dan aspek keindahannya karena manusia membuatnya dengan
52
Hamlin, A History, 5.
31
tujuan dan hasil akhir yang indah. Hal ini diperjelas oleh pemikiran Edji Krismantanto
dengan mendasarkan pada pemikiran Arifin Bustomi, yang menyatakan bahwa menurut
kodratnya manusia adalah makhluk yang mengenal keindahan. Manusia dalam usahanya
menuju arah hidupnya memiliki dorongan dan keinginan untuk memperindah diri,
memperindah benda-benda yang dimilikinya53
. Keindahan menjadi salah faktor penting
dalam sebuah ornamen, dapat mempercantik sekaligus menarik perhatian. Pertimbangan
tersebut membuat manusia berimajinasi dan berkreasi untuk menambahkan suatu hiasan
yang semakin menunjukkan keindahan pada benda yang dibuatnya misalnya penambahan
warna pada ukiran. Hiasan tersebut yang secara umum disebut ornamen.
Ornamen juga diciptakan untuk menyatakan suatu nilai secara simbolis karena
mempunyai tujuan untuk memperindah suatu benda dan menyatakan suatu nilai tertentu
secara simbolis menurut norma-norma tertentu seperti adat, kepercayaan, sistem sosial
lannya sehingga penempatannya sangat ditentukan oleh norma-norma tersebut untuk
menghindari timbulnya salah pengertian akan makna atau nilai simbolis yang terkandung
di dalamnya. Ornamen banyak dijumpai pada mereka yang memiliki jiwa dan
pengetahuan tentang seni, termasuk di dalamnya pelaku seni atau seniman.
Ornamen mempengaruhi persepsi manusia terhadap dirinya dan kegiatannya, dan
menurut Budiono Herusatoto pengaruh ornamen terdapat dalam tindakan-tindakan
simbolis. Hal ini disebabkan karena melalui alam seni ini rasa budaya manusia yang tidak
dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari antar manusia, dicurahkannya dalam
53
Edji Kismartanto, Membuat Ukiran dari Bahan Gabus, (Jakarta: CV. Pamularsih, 2007), 1.
32
bentuk-bentuk simbol di dalam alam seninya54
. Lebih lanjut Sunaryo mengatakan fungsi
simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk-produk benda upacara atau
benda pusaka dan bersifat keagamaan atau kepercayaan55
, bahkan dalam ranah sosial
untuk mendamaikan dan mempersatukan.
2.8. Penutup
Manusia mengenal simbol dan menggunakan simbol untuk mengungkapkan siapa
dirinya dan bagaimana berinteraksi dengan individu dalam kelompok, dengan alam
maupun dengan Tuhan. Ornamen garis lengkung dan lingkaran, menjadi salah satu
contoh simbol yang menunjukkan interaksi di atas.
Dillistone tidak menjelaskan simbol dalam kaitan dengan ornamen sehingga
penulis mencoba untuk melihat apa hubungan simbol dan ornamen. Penulis melihat
bahwa keduanya menjelaskan tentang objek. Ornamen merupakan sebuah benda yang
menggambarkan sesuatu dan menyampaikan pesan kepada manusia. Benda-benda dalam
ornamen sangat dekat dengan kehidupan manusia, dan benda tersebut mengandung nilai-
nilai yang harus ditemukan dan dimaknai dalam kehidupan bersama. Ketika manusia
menggunakan benda itu, secara tidak langsung manusia menggunakan analogi dan
metafora untuk menjelaskannya secara konkrit berdasarkan konteks di mana manusia
tinggal. Misalnya, ornamen tumbuhan, hutan dan binatang, yang menegaskan alam
manjadi bagian integral dalam hidup dan manusia bertanggungjawab terhadap pelestarian
alam.
54
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 17.
55Sunaryo, Ornamen Nusantara: Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia , (Semarang: Dahara
Prize, 2009), 5.
33
Penulis berpendapat juga bahwa ornamen dan simbol memiliki fungsi
menyatukan untuk sebuah keteraturan dalam kosmos, yang tampak dalam interaksi yang
saling mempengaruhi. Ada kesamaan dalam proses menghubungkan dan menjangkau
objek atau sesuatu yang diluar pikiran manusia, yang dalam perkembangannya
mempunyai pengaruh kuat dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia. Dalam proses
tersebut ada sebuah kebebasan dan menurut penulis, inilah daya kekuatan simbol
Dillistone yang terletak pada menciptakan dengan kebebasan dalam sebuah usaha
menghubungkan, menyatukan dan mempertemukan sesuatu atau bagian yang berbeda,
yang pada akhirnya manusia menjadi tokoh simbolis berharga, bermakna dan berkarya
yang aktif dalam sebuah relasi dengan yang Ilahi dalam kehidupan. Daya kekuatan ini
nampak dalam ornamen, di mana daya ini pertama ada pada seniman yang bebas
mengekspresikan daya imajinasinya untuk menggambarkan setiap objek dengan cermat
dan teliti, memberikan pewarnaan untuk menambahkan arti sebuah objek dan
menghubungkan unsur-unsur di dalamnya, untuk menjelaskan eksistensi manusia dalam
kesatuannya secara utuh sebagai ciptaan Tuhan.
Dengan demikian, simbol memiliki daya kekuatan dan menurut penulis, ini
nampak dalam sebuah ornamen yang hingga hari ini masih terus dilestarikan untuk
memaknai kehidupan baik di masa lampau, sekarang dan masa depan.