Bab 2 TEORI
Transcript of Bab 2 TEORI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Pengertian Wilayah Pesisir
Dalam pengertian biologsis, Wilayah Pesisir adalah daerah pertemuan antara
darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut,
angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi proses alami yang terjadi di darat,
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono,
2000:1). Lebih lanjut dikatakan bahwa batas wilayah pesisir hanyalah garis khayal
yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat.
Lain halnya dengan para pemikir sosial, yang berpendapat bahwa wilayah
pesisir juga dapat lepas dari permasalahan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Sehingga batas pesisir tidak hanya didasarkan pada pendekatan biologis dan
pengaruh langsung dari lingkungannya. Wilayah pesisir sampai jauh menjangkau ke
arah darat tidak hanya sampai ke lokasi permukiman, tetapi meluas sampai ke mata
pencaharian penduduk yang masih berkaitan dengan produksi kelautan. Seperti
penjelasan Dahuri, dkk (dalam Adisasmita, 2007: 98 – 99) bahwa untuk kepentingan
pengelolaan atau wilayah perencaraan, batas wilayah pesisir ke arah daratan bisa
sampai ke daerah hulu sungai dengan ketentuan terdapat kegiatan manusia yang
secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumber daya di bagian
hilir.
9
Berkaitan dengan perencanaan dan pengembangan kawasan pesisir pantai,
PSDL UNHAS dan Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan Departeman
Pekerjaan Umum (dalam Adisasmita, 2007: 99 - 101) secara garis besar
mempertimbangkan klasifikasi tipologi kawasan pesisir pantai ke dalam 5 (lima)
jenis, yaitu : (1) Tipe A, pantai berupa teluk dan tanjung dan beberapa pulau terletak
di mulut teluk dengan kemiringan dasar yang curam (> 0,1) dan terbentuk dari kerikil
dengan daratan pantai yang berbukit; (2) Tipe B, Pantai berupa teluk tanpa pulau
terletak dimulut teluk dengan kemiringan dasar yang landai (0,01 < s 0,1) dan
terbentuk dari pasir dengan memiliki lingkungan muara; (3) Tipe C, pantai berupa
laguna dengan kemiringan dasar yang datar (s < 0,01) dan terbentuk dari Lumpur
dengan memiliki lingkungan rawa pantai; (4) Tipe D, pantai terbuka dengan dengan
kemiringan dasar yang landai (0,01 < s < 1) dan terbentuk dari pasir dengan memiliki
lingkungan muara; dan (5) Tipe E, pantai terbuka dengan kemiringan dasar yang
curam (s < 0,1) dan terbentuk dari kerikil dengan dengan memiliki lingkungan muara.
Implikasi dari penjelasan tersebut di atas, dapat ditafsirkan wilayah pesisir
sebagai wilayah peralihan antara lingkungan kelautan dan daratan, di mana aspek
pengelolaan dan perencanaan ruang wilayah pesisir saling memiliki keterkaitan
dengan lingkungan daratan sepanjang aktivitas pemanfaatan masih berhubungan
secara langsung dengan wilayah pesisir. Dengan pengertian inilah wilayah pesisir
secara operasional dapat dijelaskan untuk kepentingan pengelolaan dan perencanaan
penataan ruang wilayah perdesaan pesisir.
10
B. Konsep Penataan Ruang Wilayah Perdesaan
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
ditetapkan bahwa ruang lingkup kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 tahapan yaitu
pertama; tahap perencanaan tata ruang, kedua; tahap pemanfaatan ruang, dan ketiga;
tahap pengendalian pemanfaatan ruang. Ketiga tahapan selayaknya berjalan secara
kontinyu dengan keterkaitan yang utuh dalam suatu kegiatan perencanaan dan
pengelolaan penataan ruang. Berkaitan dengan Undang-Undang ini, penataan ruang
wilayah perdesaan merupakan salah satu yang diamanatkan dan penetapannya
memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait lainnya, terutama Undang-
Undang Otonomi Daerah.
Dalam penyelengggaraan penataan ruang di daerah, pemerintah daerah
berkewajiban melaksanakan serangkaian tahapan kegiatan seperti diungkapkan oleh
Suhandojo dkk, (2000: 17-23), sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan Tata Ruang
Dalam mengimplementasikan perencanaan tata ruang, terdapat 4 rangkaian
kegiatan yang dilalui :
a. Persiapan. Produk rencana yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan
daerah baik dari segi kualitas maupun kelengkapannya. Persiapan ini
diperlukan agar semua pihak yang terkait (stakeholders) dapat menyiapkan
keterlibatannya dalam proses perencanaan tata ruang;
b. Penyusunan Rencana Tata Ruang. Ini adalah kegiatan utama di
antara rangkaian penataan ruang. Penyusunan RTR bertujuan agar daerah
11
memiliki pedoman arah pembangunan wilayah serta arah pemanfaatan ruang
berbagai kawasan, sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai;
c. Penetapan RTR. Ini dilakukan agar hasil penyusunan RTR memiliki
kekuatan hukum yang ditetapkan dalam bentuk perundang-undangan yang
mengikat semua pihak dan berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
d. Penerbitan dan Publikasi. Ini dilakukan untuk memenuhi hak publik
mengetahui RTR, sehingga diharuskan bagi pemerintah daerah untuk
menyebarluaskan RTR yang telah ditetapkan dan disahkan.
2. Tahap Pemanfaatan Ruang
a. Pengaturan Pemanfaatan Ruang. Pengaturan ruang bertujuan
menerapkan dan menetapkan persyaratan teknis ruang pada setiap kawasan
yang berpedoman pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam arti
setiap kawasan memiliki pengaturan teknis satu sama lain, sehingga
pemanfataan ruang tidak terjadi tumpang tindih.
b. Kebijakan Insentif dan Disinsentif. Penetapan kebijaksanaan Insentif
bertujuan memberikan keringanan atau ransangan terhadap aktivitas yang
berkaitan dengan tujuan penataan ruang. Seperti tax holiday dalam bidang
ekonomi perpajakan, pembangunan infrastruktur dan prasarana sosial
ekonomi dasar dalam bidang fisik, mempermudah prosedur pemberian ijin
pemanfaatan ruang, manajemen lahan misalnya melalui program Kasiba
(kawasan siap bangun) dan Lisiba (lingkungan siap bangun), dan kemudahan
pelayanan tentang data dan informasi ( pasal 38 ayat (2) UU No. 26 / 2007
12
tentang Penataan Ruang ). Sementara itu, penetapan pengaturan perangkat
Disinsentif dengan pengenaan pajak yang tinggi, membatasi atau tidak
menyediakan sarana dan prasarana yang dapat merangsang perkembangan
wilayah, tidak menutup pemberian ijin pembangunan atau pembatalan
perijinan lokasi yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang ( pasal 38 ayat (3) UU
No. 26 / 2007 ). Termasuk prasyarat kelayakan lingkungan melalui Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
c. Penyelarasan Program Pembangunan dan Rencana Tata Ruang. Ini
bertujuan menetapkan program prioritas pemanfaatan ruang dan menentukan
rencana pembangunan tahunan dengan rencana tata ruang. Program
pembangunan tahunan harus sesuai dengan pola dan struktur tata ruang yang
telah disepakati.
d. Sinkronisasi Antarmateri Rencana Tata Ruang. Ini bertujuan
merumuskan kesepakatan antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota tentang pola dan struktur tata ruang wilayah. Kesepakatan ini
berupa pengaturan teknis ruang-ruang di wilayah Propinsi, di mana Propinsi
mengatur ketentuan umum persyaratan teknis pembangungan, sementara
wilayah Kabupaten/ Kota mengatur teknis operasional baik dari segi
peruntukkan, dimensi ruang, pola pengelolaan, pengawasan, dan penertiban.
3. Tahap Pengendalian Pemanfaatan Ruang
13
a. Pengawasan. Dimaksudkan mengendalikan pemanfaatan ruang agar
sesuai dengan RTR dan memperkecil penyimpangan dari RTR. Fungsi ini
juga dapat mengetahui penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari
rencana yang telah ditetapkan, dan upaya penyelesaian jika itu terjadi.
b. Penertiban. Dimaksudkan upaya mengambil tindakan agar
pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Penertiban dilakukan
dalam bentuk sanksi, baik dalam bentuk hukum maupun denda atas
penyimpangan RTR, sebagaimana tertuang dalam pasal 35 dan pasal 39
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007.
Berkaitan dengan penataan ruang wilayah perdesaan pesisir, harus
dipahami sebagai satu kesatuan integrasi pengembangan wilayah. Terutama
menyangkut masalah yang dihadapi wilayah perdesaan pesisir dan laut di
Indonesia antara lain pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya
alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukkan
pembangunan lainnya, dan bencana alam. Kondisi ini tentu saja membutuhkan
penanganan penataan ruang wilayah pesisir untuk meminimalisasi degradasi
lingkungan pesisir akibat aktivitas berlebihan.
Seperti halnya ruang daratan, penataan ruang wilayah perdesaan pesisir
perlu pengelolaan secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management).
Berkaitan dengan rencana pengelolaan wilayah pesisir, dapat diidentifikasi ke
dalam 4 isu utama (Supriharyono, 2000 : 182) :
1. Permintaan masyarakat terhadap produk-produk dan jasa yang ada atau
dihasilkan di wilayah pesisir;
14
2. Kompetisi yang sering berupa konfik pengelolaan sumber daya pesisir;
3. Dampak kerusakan alam terhadap lingkungan alam, seperti kerusakan pantai
akibat proses alami – abrasi pantai, sungai banjir, kemiringan tanah, mungkin
menimbulkan dampak terhadap permukiman dan area yang telah berkembang;
dan
4. Aktivitas-aktivitas potensial, yaitu investasi sektor pesisir, fasilitas-fasilitas
wisata, pelabuhan, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Supriharyono (2000 : 184) menekankan rencana pengelolaan
pesisir sebagai akibat dari isu yang berkembang di masyarakat, dengan melakukan
langkah-langkah :
1. Pengaturan kelembagaan dan organisasi yang dibutuhkan untuk
mempermudah keberhasilan dari pelaksanaan pengelolaan;
2. Intervensi kepada masyarakat secara langsung terhadap perubahan tingkah
laku yang terjadi pada anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijaksanaan,
seperti peraturan-peraturan; dan
3. Keikutsertaan pemerintah dan pengusaha secara langsung.
Pelaksanaan pengelolaan pesisir, dengan demikian membutuhkan suatu alur
proses meliputi perencanaan, implementasi, dan pemantauan serta evaluasi, yang
dilakukan secara efektif sesuai dengan penetapan penataan ruang wilayah perdesaan
pesisir yang telah disahkan. Secara skematis tahapan tersebut sebagai berikut:
Tahapan Kegiatan Penataan Ruang Wilayah
15
TAHAP PERENCANAAN
TAHAP PEMANFAATAN RUANG
TAHAP PENGENDALIAN
Gambar 1.
Tahapan Kegiatan Penataan Ruang WilayahSumber: Suhandojo dkk, (2000: 23)
C. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pesisir
Produk suatu kebijakan dalam perencanaan tidak terlepas dari kepentingan.
Perencanaan daerah di rejim sentralistik-otoriter menurut Abe (2002: 41-42) dua hal
yang ditonjolkan, pertama bahwa sebuah perencanaan tidak lain dari penjabaran lebih
rinci dari kehendak pusat. Kedua, untuk posisi daerah sendiri perencanaan sebagai
petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan dan batas apa yang tidak boleh
dijalankan oleh Daerah.
16
Persiapan Penyusunan RTR
Penerbitan dan Publikasi
Penetapan RTR
Pengesahan RTR
Pengaturan RuangLindung dan Budidaya
Penetapan InsentifDan Disinsentif
Pengawasan Penertiban
SinkronisasiMateri RTR
Penyelarasan Pembangunan dan RTR
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai kebijakan strategis
diharapkan mampu menjangkau pengelolaan sumber daya alam yang membawa
kemakmuran bagi rakyat dan martabat bangsa Indonesia. Dalam arti bagaimana
menempatkan ruang rakyat sebagai pelaku utama pengelolaan wilayah pesisir dan
laut dapat terlindungi dari aspek kebijakan pengelolaan, disamping paradigma
pengelolaan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dengan mempertahankan
ekosistem lingkungan dari eksploitasi sumber daya pesisir dan laut secara berlebihan.
Dari sisi kebijakan – baik yang bersifat umum maupun bersifat spesifik –
pengelolaan wilayah pesisir dan laut, sudah seharusnya mereproduksi kebijakan-
kebijakan yang bersifat teknis, terutama arah dan strategi kebijakan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut yang dikaitkan dengan penataan ruang wilayah perdesaan
pesisir di tengah kemandirian daerah dalam optimalisasi pembangunan di era otonomi
daerah. Reproduksi kebijakan ini diharapkan tidak hanya berkemampuan mengontrol
pengelolaan wilayah pesisir dan laut, tetapi sekaligus dapat memberikan batas-batas
yuridiksi secara tegas tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan pemanfaatan
wilayah pesisir bagi para pihak yang berkepentingan – Pemerintah, Investor, dan
Masyarakat. Termasuk reproduksi kebijakan yang dibangun berdasarkan asas
partisipatif yang menempatkan rakyat sebagai penerima manfaat terbesar.
Dalam konteks ekonomi pembangunan, paradigma pengelolaan wilayah
pesisir tidak hanya dilihat dari sudut konsep pembangunan berkelanjutan, tetapi
diperlukan epistemologi yang kompleks dalam upaya mencermati pengelolaan
wilayah perdesaan pesisir, dengan mempertimbangkan pengetahuan-pengetahuan
lokal sebagai landasan utama otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut. Berkaitan
17
dengan hal ini, Dartoyo (2004: 8) mengatakan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang perlu diperhatikan yakni:
1. bahwa instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan
keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke depan
melalui analisis biaya manfaat;
2. didalam pembangunan berkelanjutan issue lingkungan seperti konservasi
keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan;
3. dalam pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia
pada saat sekarang dan masa yang akan datang
Prinsip tersebut sangat diperlukan dalam kerangka otonomi daerah, untuk
merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi pengelolaan penataan ruang
wilayah perdesaan pesisir, sebagai mekanisme untuk mendekatkan pemerintah
dengan masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah agar penyelenggaraan otonomi
daerah dan pengelolaan sumber daya pesisir dapat berkelanjutan. Lebih lanjut
menurut Darwanto, dkk (200: 6-7) yang dibutuhkan adalalah beberapa program
pembangunan dalam rangka pemanfaatan ruang di kawasan pesisir, laut dan pulau-
pulau kecil adalah: pertama Perlindungan sumberdaya alam, termasuk lahan basah,
daerah genangan, estuari, pantai, daerah berbukit pasir, habitat ikan dan biota laut,
yang semuanya terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Kedua, Pengelolaan
pengembangan pesisir untuk meminimasi hilangnya kehidupan dan bangunan yang
disebabkan oleh pembangunan yang sembarangan di kawasan rawan banjir, rawan
erosi, rawan bahaya geologis dan gelombang badai dan di area yang cenderung
18
terpengaruh dan rentan kerusakan oleh kenaikan tingkat permukaan, penurunan lahan
dan intrusi air laut. Ketiga, Penjaminan akses publik terhadap pesisir untuk keperluan
rekreasi.
Keempat, Pemberian kesempatan kepada masyarakat dan institusi
pemerintahan daerah dalam pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan
kawasan pesisir dan lautan. Kelima Pengelolaan pengembangan kawasan pesisir dan
lautan untuk meningkatkan, menjaga dan memperbaiki kualitas air pesisir dan
melindungi sumberdaya alam dan penggunaan air yang ada. Keenam, Perbaikan
lingkungan perkotaan pantai dan pelabuhan dan perlindungan terhadap lingkungan
sejarah, kultur, pemandangan yang indah. Ketujuh, Perencanaan secara
komprehensif, konservasi dan pengelolaan bagi kehidupan biota laut termasuk
perencanaan untuk penempatan fasilitas pengendalian polusi dan budidaya perairan
dalam kawasan pesisir dan lautan dan koordinasi yang lebih baik antar pemerintahan
daerah instansi lainya. Kedelapan, Pertimbangan prioritas yang diberikan untuk
penggunaan yang bergantung pada pesisir dan proses pengaturan penempatan fasilitas
hankam, energi, budidaya perikanan, rekreasi, pelabuhan dan perhubungan dan lokasi
kegiatan komersil dan industri di dalam dan sekitar kawasan dimana pembangunan
tersebut telah ada.
Dengan demikian, kebijakan dan strategi pembangunan pesisir secara terpadu
berbasis masyarakat, dibutuhkan untuk membantu meminimalisasi konflik-konflik
struktural dan dapat mencegah kerusakan-kerusakan ekosistem lingkungan pesisir
dan laut. Kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir dan laut secara
terpadu berbasis masyarakat, dapat dijelaskan melaui tahapan proses manajemen
19
yang dimulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, sebagaimana
gambar berikut :
Gambar 2.
Proses Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat(Sumber: Dahuri, dkk, 2001)
D. Perencanaan Tata Ruang Kabupaten Donggala
1. Tujuan dan Sasaran Perencanaan Tata Ruang Wilayah
20
Isu dan Permasalahan
Pendefinisian Masalah Aspirasi Masyarakat Potensi SDA dan Ekosistem
Tujuan dan SasaranPeluang dan Kendala
Formulasi Rencana Mekanisme Umpan Balik
Pelaksanaan/Implementasi
Monitoring dan Evaluasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Berbasis Masyarakat
Tujuan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggala
adalah Mewujudkan rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang berkualitas,
serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah Kabupaten
serta sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemampuan daya dukung
lingkungan, melalui pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dalam mencapai keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar
wilayah/kawasan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. (Bappeda
Kabupaten Donggala, 2003: I ; 3)
Sementara itu, sasaran yang ingin dicapai dalam rangka penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggala adalah sebagai berikut :
a. Terumuskannya pengelolaan kawasan berfungsi lindung dan kawasan
budidaya;
b. Terumuskannya pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan,
dan kawasan tertentu;
c. Terumuskannya sistem kegiatan pembangunan dan sistem
permukiman perkotaan dan perdesaan;
d. Tersusunnya sistem prasarana wilayah meliputi prasarana antara lain
transportasi, pengairan, energi/listrik, telekomunikasi, prasarana pengelolaan
lingkungan;
e. Terumuskannya pengembangan kawasan-kawasan yang perlu
diprioritaskan pengembangannya/penanganannya selama jangka waktu
rencana;
21
f. Tersusunnya penatagunaan lahan/tanah, air, udara, hutan, mineral dan sumber
daya alam lainnya serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya
manusia dan sumber daya buatan, yang merupakan bagian integral dari
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang wilayah
kabupaten. (Bappeda Kabupaten Donggala, 2003: I ; 3)
2. Fungsi Perencanaan Tata Ruang Wilayah
Fungsi yang diemban Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggala
(Bappeda Kabupaten Donggala, 2003: I ; 4) adalah :
a. Sebagai penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan regional tata ruang lainnya yang berlaku, serta
Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Donggala;
b. Sebagai matra ruang dari Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten
dan Repelita Daerah Kabupaten, serta menjadi acuan untuk menyusun
Repelita Daerah Kabupaten periode berikutnya;
c. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
Kabupaten sesuai dengan kondisi wilayah dan berazaskan pembangunan
berkelanjutan;
d. Sebagai perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan
perkembangan antar kawasan di dalam wilayah Kabupaten serta keserasian
antar sektor;
e. Sebagai pemberi kejelasan dalam penetapan investasi yang dilakukan
pemerintah, masyarakat, dan swasta;
22
f. Sebagai acuan dalam Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang
Kawasan;
g. Sebagai dasar penerbitan terhadap perijinan lokasi pembangunan;
h. Bagi Departemen/Instansi Pusat dan Propinsi dalam penyusunan
program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan
secara terkoordinasi dan terintegrasi.
3. Azaz-Azas Perencanaan Tata Ruang Wilayah
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggala didasarkan
pada azas, sebagai berikut :
a. Azas fungsi utama. Pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan fungsi
utama perlindungan dan budidaya;
b. Azas fungsi kawasan dan kegiatan. Pemanfaatan ruang dilakukan
berdasarkan fungsi kawasan dan kegiatan meliputi kawasan perdesaan,
kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu;
c. Azas manfaat. Pemanfaatan ruang secara optimal harus tercermin di
dalam penentuan jenjang, fungsi pelayanan kegiatan dan sistem jaringan
prasarana wilayah;
d. Azas keseimbangan dan keserasian. Penciptaan keseimbangan dan
keserasian struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran penduduk
antar kawasan serta antar sektor dan daerah. Disamping itu keseimbangan dan
keserasian fungsi dan intensitas pemanfaatan ruang dalam wilayah kabupaten.
(Bappeda Kabupaten Donggala, 2003: I ; 4-5).
23
E. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam setiap program pengembangan masyarakat
sangat diperlukan dan menjadi indikator keberhadilan suatu proses pembangunan.
Dalam UU dan peraturan-peraturan Pemerintah secara eksplisit membuka ruang
partisipasi masyarakat khususnya masyarakat penerima manfaat atau yang akan
terkena dampak serta kelompok profesi dalam proses perencanaan. Namun dalam
perkembangannya seringkali peran serta masyarakat kurang dilibatkan, kalaupun ada
cenderung kehilangan makna.
Dari sudut terminologi peran serta msyarakat dapat diartikan sebagai suatu
cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang
selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahasan yang termuat dalam
peran serta masyarakat sesungguhnya menurut Goulet merupakan suatu cara untuk
membahas incentive material yang mereka butuhkan (dalam Arimbi,dkk: 2007: 2).
Peran serta masyarakat dengan demikian merupakan insentif moral sebagai jalan bagi
masyarakat untuk mempengaruhi lingkup-makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya
suatu keputusan-keputusan yang sangat menetukan kesejahteraan mereka. Asngari
(2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya
pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-
orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran
serta semua pihak itu diperlukan: (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis,
dan (2) terbinanya kebersamaan.
24
Gaventa dan Valderama (dalam Ikbal, 2007:3), mencatat tiga tradisi konsep
partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis
yaitu: 1) partisipasi politik (Political Participation) lebih berorientasi pada
mempengaruhi dan mendudukan wakil-wakil rakyat dalam lembaga pemerintahan
ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri., 2)
partisipasi sosial yang mengandng arti bahwa partisipasi sebagai keterlibatan
masyarakat terutama sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan
dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek
pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan
dan evaluasidan 3) partisipasi warga (Citizen Participation/Citizenship) yang
menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada
lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep
partisipasi yang dulunya hanya sekedar kepedulian terhadap komunitas miskin
menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam
pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan dan bahkan pengawasan.
Cormick (dalam Horoepoetri, 2007: 1) membedakan peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu bersifat konsultatif
dan bersifat kemitraan. Peran serta masyarakat dengan pola konsultatif antara pihak
pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan,
anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan
untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat
keputusan tersebut. Peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat
keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar
25
kedudukannya. Antara pihak perencana/pengambil keputusan bersama-sama
masyarakat membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan.
Melibatkan masyarakat pada setiap proses pembangunan merupakan
kewajiban para perencana (pemerintah), misalnya dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997
yang menyatakan: Pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup. Ketentuan-ketentuan tentang peran masyarakat dalam penataan ruang sesuai
amanat 26 Tahun 2007 yang secara eksplisit dijelaskan dalam PP No. 69/1996
tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang. Namun dalam pelaksanaannya implemntasi
terhadap PP 69/1996 ini hingga kini belum sepenuhnya dihayati dan dilaksanakan
karena masyarakat belum memahami arti penting dan manfaat penataan ruang.
Dalam hal perencanaan tata ruang kebutuhan yang mendasari peran serta
masyarakat adalah kebutuhan akan fungsi kontrol. Seringkali kepentingan ekonomi
jangka pendek, yang ditentukan oleh kelompok dominan mewarnai penetapan tata
ruang. Sebagai contoh penyimpangan tata ruang daerah, seringkali dilakukan oleh
pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan pemasukan kas
pemerintah daerah. Untuk mencegah penyimpangan seperti ini, peran serta
masyarakat dapat didayagunakan untuk menjalankan peran kontrol. Abe (2002: 85-
87) menyarankan prinsip dasar yang harus dilakukan dalam perencanaan bersama
rakyat, yakni: 1). Memastikan bahwa masyrakat mimiliki rasa saling percaya, saling
26
mengenal dan bias bekerjasama; 2). Agar semua orang bias berbicara secara fair dan
bebas; 3). Bisa menyepakati hasil yang diperoleh baik saat perencanaan maupun
sesudahnya; 4) jujur dalam pemberian informasi; 5) objektif; 6). Objek yang dbahas
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan selain berfungsi sebagai alat kontrol,
peran serta masyarakat juga berguna untuk mendapatkan Informasi dan Data Sosial.
Peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang menjadi penting dalam
kerangka menjadikan sebuah perencanaan tata ruang sebagai hal yang responsif.
Perencanaan yang responsif menurut Mc Connel (dalam Horoepoetri, 2007:5) adalah
proses pengambilan keputusan tentang perencanaan tata ruang yang tanggap pada
preferensi serta kebutuhan dari masyarakat yang potensial terkena dampak apabila
perencanaan tersebut diimplementasikan.
McConnel (dalam Horoepoetri, 2007: 6) mengusulkan beberapa parameter
responsiveness dari suatu perencanaan, yang mengacu pada proses, sebagai berikut :
(1). Sejauh mana masyarakat diwilayah obyek perencanaan telah diberi kesempatan
yang layak (reasonable) untuk terlibat dalam tahap identifikasi permasalahan,
aspirasi serta kebutuhan sampai dengan pelaksanaan (implementasi). (2). Sejauh
mana masyarakat yang tinggal diluar objek perencanaan, akan tetapi sering
berhubungan dengan wilayah objek penelitian, diberi kesempatan yang memadai
untuk terlibat dalam proses identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan
sampai dengan tahap pelaksanaan. dan (3). Sejauh mana kepentingan para pihak yang
potensial terkena dampak ususlan perencanaan (dimasa mendatang) telah
dipertimbangkan dan terwakili dalam tahap-tahap sebelumnya.
27
Untuk menggerakkan perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup
masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus dilakukan dengan usaha : (1)
perencanaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need),
(2) dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya
jawaban (response), dan (3) dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi
membangkitkan tingkah laku (Ndraha, dalam Ikbal 2007:5). Dalam perencanaan yang
partisipatif (participatory planning), masyarakat dianggap sebagai mitra dalam
perencanaan yang turut berperan serta secara aktif baik dalam hal penyusunan
maupun implementasi rencana, karena walau bagaimanapun masyarakat merupakan
stakeholder terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.
Slamet, (2003 : 11) menegaskan bahwa usaha pembangunan perdesaan
melalui proses perencanaan partisipasi perlu didekati dengan berbagai cara yaitu : (1)
penggalian potensi-potensi dapat dibangun oleh masyarakat setempat, (2) pembinaan
teknologi tepat guna yang meliputi penciptaan, pengembangan, penyebaran sampai
digunakannya teknologi itu oleh masyarakat perdesaan, (3) pembinaan organisasi
usaha atau unit pelaksana yang melaksanakan penerapan berbagai teknologi tepat
guna untuk mencapai tujuan pembangunan, (4) pembinaan organisasi
pembina/pendukung, yang menyambungkan usaha pembangunan yang dilakukan
oleh individu-individu warga masyarakat perdesaan dengan lembaga lain atau dengan
tingkat yang lebih tinggi (kota, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional), (5)
pembinaan kebijakan pendukung, yaitu yang mencakup input, biaya kredit, pasaran,
dan lain-lain yang memberi iklim yang serasi untuk pembangunan.
28
Dalam proses partisipasi, dikenal konsep representasi sebagai perwujudan
keterwakilan masyarakat. Representasi harus tetap memelihara keaslian aspirasi
masyarakat, dan tidak menjadi penghalang untuk memanipulasinya. Karena itu sangat
perlu diperhatikan cara-cara representasi yang ditujukan untuk mencapai legitimasi
dan validitas setinggi-tingginya. Keadaan negara, daerah, komunitas setempat, harus
terus menerus diteliti untuk menghasilkan representasi yang memenuhi syarat-syarat
keterwakilan. Representasi paling tidak memuat representasi berdasarkan ruang
(kawasan administratif, kawasan ekologis-geografis, etnis, dsb); Representasi
fungsional (golongan profesional, tukang becak, organisasi pengusaha, dsb) dan
Representasi struktural (pemerintah, legislatif, partai politik, dsb). Repsentasi atau
biasa dikenal dengan nama stakeholder dan atau pemangku kepentingan kerap
ditafsirkan secara keliru hingga tidak dapat dipetakan dan diwakili secara tepat. Di
tingkat daerah, perumusan kebijakan dan partisipasi stakeholder bahkan cenderung
berlangsung ke arah yang salah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Christian dkk
mengenai Konflik, Kohesi Sosial dan Perdamaian di Sulawesi Tengah
merekomendasikan suatu strategi yang lebih alami ketimbang program-program
eksternal yang oleh pemangku-pemangku kepentingan dianggap manipulatif.
Masyarakat setempat hendaknya dibantu untuk membina minat bersama dan
menggali kapasitas serta sumber daya mereka tanpa selalu harus membutuhkan
bantuan pendanaan. Kuncinya adalah menemukan pelaku lokal yang bertindak
sebagai fasilitator setempat, yang dapat mendorong masyarakat menyumbangkan ide
bagi pemecahan masalah dan perubahan positif (Huber, dkk. 2004: 43)
29
Pemangku kepentingan atau stakeholder adalah perorangan dan kelompok
yang secara aktif terlibat dalam kegiatan, atau yang terkena dampak, baik positif
maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar, pemangku
kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok (Crosby, 1992: 1-2), First, if an
actor or group is in a position to damage or weaken the authority or political support
of the decision maker or the organization, then it should be taken into account.
Second, if the group’s presence and/or support provides a net benefit or strengthens
an organization and/or enhances the decision-maker’s authority (and capacity to
secure compliance to decisions), then it should be given close consideration. Third, if
a group is capable of influencing the direction or mix of an organization’s activities,
it needs to be counted as a stakeholder.
F. Kerangka Pikir Penelitian
Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara kawasan laut dan darat
yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara
biogeofisik maupun sosial ekonomi. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang
khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di
lautan. Dengan memperhatikan aspek kewenangan daerah di wilayah laut, dapat
disimpulkan bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah administrasi Daerah Propinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem
pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang
beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut.
30
Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem
yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Dalam Penataan ruang wilayah pesisir haruslah menempatkan keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan penataan runag dengan memperhatikan faktor-faktor
internal (kekuatan da kelemahan) dan faktor- faktor eksternal (peluang dan
tantangan). Selain itu dalam penataan ruang mempertimbangkan faktor-fator fisik
lainnya seperti luas lahan, jumlah penduduk, dan lainnya. Secara skematis kerangka
pemikara penelitian ini sebagai berikut:
31
Gambar 3.Kerangka Pikir Penelitian
32
Penataan Ruang Wilayah PesisirPenataan Ruang Wilayah Pesisir
Keterlibatan Masyarakat
Analisis Faktor Fisik:1. Pemanfaatan Lahan2. Jumlah Penduduk 3. Pendapatan Perkapita4. Sumber Daya Buatan
(Produksi Kakao)
Faktor InternalKekuatanKelemahan
Faktor Ekternal:PeluangAncaman