Bab 2 Kerosin

11
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerosin dan Avtur Sebelum mendefinisikan biokerosin, sangat diperlukan kajian tentang karakteristik dari bahan yang menjadi target penggantian, yaitu kerosin dan avtur. Kerosin dan avtur adalah campuran hidrokarbon yang tidak berwarna, mudah terbakar, dan memiliki rentang temperatur pendidihan antara 150 o C dan 320 o C. Komponen kerosin dan avtur terutama senyawa-senyawa hidrokarbon parafinik dan naftenik (sikloalkana) dalam rentang C 10 sampai C 15 dan dispesifikasikan sebanyak 15,9% aromatik, 52,8% naftenik (sikloalkana), 30,8% parafin, dan 0,5% alkena (wikipedia). Avtur digunakan sebagai bahan bakar mesin jet, sedangkan kerosin banyak digunakan sebagai bahan bakar memasak di banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Namun, di beberapa negara lain yang memiliki empat musim, kerosin juga digunakan sebagai bahan bakar pemanas ruangan. Tolok ukur terpenting mutu pembakaran kerosin dan avtur adalah titik asap, yakni tinggi maksimum nyala yang masih bisa dihasilkan, pada lampu standar, tanpa menimbulkan asap. Kerosin biasanya disyaratkan bertitik asap minimal 16 mm, sedangkan titik beku kerosin hanya disyaratkan tidak membeku pada temperatur kamar. Avtur, karena digunakan sebagai bahan bakar mesin jet, titik asapnya disyaratkan minimal 24 mm, dan titik bekunya maksimal -40 o C agar masih dapat mengalir/dipompa ketika pesawat sedang terbang tinggi. Faktor yang paling berpengaruh pada titik asap kerosin maupun avtur adalah kadar hidrogen di dalam bahan bakar dan grafik pada Gambar 2.1 [Bridge (1997)] memperlihatkan kuat dan teraturnya pengaruh tersebut. Sebagai pelengkap, Gambar 2.1 menampilkan pula kadar-kadar hidrogen dalam hidrokarbon-hidrokarbon C 10 dan C 15 . Alkana (C n H 2n+2 ) biasanya bertitik asap sangat baik/tinggi, sedangkan aromatik (C n H 2(n-3) ) sangat buruk/rendah. Alkana bercabang, naftena (sikloalkana) dan olefin biasanya adalah yang optimal : titik asap cukup tinggi, titik beku relatif rendah (Soerawidjaja, 2006).

Transcript of Bab 2 Kerosin

  • 5

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kerosin dan Avtur

    Sebelum mendefinisikan biokerosin, sangat diperlukan kajian tentang karakteristik dari

    bahan yang menjadi target penggantian, yaitu kerosin dan avtur. Kerosin dan avtur adalah

    campuran hidrokarbon yang tidak berwarna, mudah terbakar, dan memiliki rentang

    temperatur pendidihan antara 150oC dan 320oC. Komponen kerosin dan avtur terutama

    senyawa-senyawa hidrokarbon parafinik dan naftenik (sikloalkana) dalam rentang C10

    sampai C15 dan dispesifikasikan sebanyak 15,9% aromatik, 52,8% naftenik (sikloalkana),

    30,8% parafin, dan 0,5% alkena (wikipedia).

    Avtur digunakan sebagai bahan bakar mesin jet, sedangkan kerosin banyak digunakan

    sebagai bahan bakar memasak di banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Namun,

    di beberapa negara lain yang memiliki empat musim, kerosin juga digunakan sebagai

    bahan bakar pemanas ruangan.

    Tolok ukur terpenting mutu pembakaran kerosin dan avtur adalah titik asap, yakni tinggi

    maksimum nyala yang masih bisa dihasilkan, pada lampu standar, tanpa menimbulkan

    asap. Kerosin biasanya disyaratkan bertitik asap minimal 16 mm, sedangkan titik beku

    kerosin hanya disyaratkan tidak membeku pada temperatur kamar. Avtur, karena

    digunakan sebagai bahan bakar mesin jet, titik asapnya disyaratkan minimal 24 mm, dan

    titik bekunya maksimal -40oC agar masih dapat mengalir/dipompa ketika pesawat sedang

    terbang tinggi. Faktor yang paling berpengaruh pada titik asap kerosin maupun avtur

    adalah kadar hidrogen di dalam bahan bakar dan grafik pada Gambar 2.1 [Bridge (1997)]

    memperlihatkan kuat dan teraturnya pengaruh tersebut. Sebagai pelengkap, Gambar 2.1

    menampilkan pula kadar-kadar hidrogen dalam hidrokarbon-hidrokarbon C10 dan C15.

    Alkana (CnH2n+2) biasanya bertitik asap sangat baik/tinggi, sedangkan aromatik (CnH2(n-3))

    sangat buruk/rendah. Alkana bercabang, naftena (sikloalkana) dan olefin biasanya adalah

    yang optimal : titik asap cukup tinggi, titik beku relatif rendah (Soerawidjaja, 2006).

  • 6

    Kadar hidrogen (%-b) :

    C10H22 : 15,6. C15H32 : 15,2. C10H20 : 14,38. C15H30 : 14,38. C10H18 : 13,13 C15H28 : 13,55. C15H26 : 12,71. C10H16 : 11,85. C15H24 : 11,85.

    Gambar 2.1 Hubungan antara kadar hidrogen dengan titik asap kerosin (avtur) dan rumus molekul hidrokarbon C10 C15.

    2.2 Biokerosin

    Biokerosin adalah bahan bakar cair berasal dari tumbuhan yang memiliki viskositas dan

    karakteristik pembakaran mirip kerosin, sehingga dalam penggunaannya tidak

    membutuhkan penanganan atau modifikasi pada alat yang menggunakan kerosin sebagai

    bahan bakarnya. Dengan demikian, konsumen kerosin akan mendapatkan kenyamanan

    dalam menggunakan biokerosin.

    Pada umumnya, senyawa hidrokarbon yang sering dijumpai dalam tumbuhan adalah

    senyawa hidrokarbon golongan terpen. Kelompok senyawa terpen yang terdapat dalam

    rentang hidrokarbon kerosin adalah kelompok monoterpen dan seskuiterpen. Dengan

    demikian, tumbuhan-tumbuhan yang berpotensial menjadi sumber biokerosin adalah

    tumbuhan-tumbuhan yang mengandung cukup banyak senyawa monoterpen dan

    seskuiterpen. Walaupun demikian, monoterpen dan seskuiterpen tidak memiliki kualitas

    pembakaran sebaik minyak tanah, karena titik asapnya tidak memenuhi syarat untuk

    kerosin. Namun, kekurangan tersebut dapat diatasi dengan cara hidrogenasi untuk

    meningkatkan kandungan hidrogen dalam monoterpen dan seskuiterpen, sehingga titik

    asapnya dapat ditingkatkan. Dengan cara ini juga, kualitas pembakaran biokerosin dapat

    ditingkatkan sampai memenuhi kualitas avtur. Hal ini menunjukkan bahwa selain

    biokerosin dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan lokal akan kerosin saat ini,

  • 7

    biokerosin juga memiliki potensial untuk memenuhi kebutuhan avtur di masa yang akan

    datang.

    2.2.1 Senyawa Monoterpen

    Monoterpen adalah senyawa golongan terpen yang tersusun dari dua senyawa isopren.

    Monoterpen memiliki rumus molekul C10H16. Struktur molekul monoterpen dapat berupa

    rantai lurus maupun siklik. Monoterpen yang terdapat di dalam pittosporum adalah

    myrcene, limonen, pinen, caren, dan sabinen.

    Gambar 2.2 Struktur Molekul Mycrene

    2.2.2 Senyawa Seskuiterpen

    Seskuiterpen adalah senyawa golongan terpen yang tersusun dari tiga senyawa isoprena.

    Monoterpen memiliki rumus molekul C15H24. Seperti monoterpen, struktur molekul

    seskuiterpen dapat berupa rantai lurus maupun siklik, termasuk banyak struktur

    kombinasi yang khas. Contoh dari senyawa seskuiterpen adalah zingiberen, cadinen,

    copaen, dan lain-lain.

    Gambar 2.3 Struktur Molekul Cadinen

    2.3 Tumbuhan Potensial Sumber Biokerosin

    Berdasarkan literatur dan hasil penelusuran, tanaman-tanaman yang berpotensial menjadi

    sumber biokerosin adalah sebagai berikut,

    1. Minyak dari buah pohon Pittosporum sp.,

    2. Minyak rinu/kemukus (cubeb oil) dari buah rinu/kemukus (Piper cubeba),

  • 8

    3. Minyak keruing (gurjun balsam oil), dan

    4. Minyak sindur.

    Dari keempat tumbuhan di atas, yang paling berpotensial menjadi sumber biokerosin

    adalah buah Pittosporum sp. Buah ini menghasilkan minyak yang dapat langsung

    digunakan sebagai bahan bakar kompor minyak tanpa harus diolah lebih lanjut, karena

    kualitasnya, baik viskositas maupun titik asapnya, sebanding dengan kerosin. Buah ini

    juga yang akan digunakan sebagai bahan baku pada penelitian yang akan dilakukan.

    Pada umumnya, tumbuhan anggota keluarga Pittosporum berupa pohon berkayu

    berukuran sedang. Yang paling dikenal adalah Pittosporum resiniferum, dengan nama

    lokal Hanga dan nama internasional Petroleum nut. Pohon ini banyak terdapat di

    Filippina, dan sebagian kecil terdapat di Sulawesi Utara. Sudah sejak lama diketahui

    bahwa buah dari pohon ini, yang hijau sekalipun, akan segera terbakar dan menyala

    terang jika disulut api. Berbagai penelitian menunjukkan perolehan minyak sebesar 8%

    10% dari berat buah dan bahwa minyaknya mengandung n-heptana (5 %), n-nonana (7

    %), dan senyawa terpen seperti -pinen (60,2%), camphene (0,1%), sabinene (0,3%), -

    pinen (8,9%), mycrene (1,3%), limonen (0,7%), dan sisanya adalah (E)--ocimen, -

    caryophyllene, -humulene, germacrene [Bacon (1909), Garcia-Reyes (1937), Salgues

    (1954), Nemethy dan Calvin (1982), serta Yaacob dan Ariffin (2000)]. Kehadiran alkana

    seperti heptana dan nonana sangat bermanfaat karena meningkatkan mutu bakar (yaitu

    titik asap) minyak sebagai pengganti kerosin. Handbook of Energy Crops

    (http://www.hort.purdue.edu/newcrop/dukeenergy/Pittosporum_resiniferum.html)

    menyatakan bahwa pohon Hanga berpotensi menghasilkan 1 ton minyak per hektar per

    tahun. Asian Journal Online (http://asianjournal.com/cgi-bin/ view_info) melaporkan

    bahwa Otorita Kelapa dan Kementerian Pertanian Filipina telah menganjurkan

    penanaman pohon Hanga di bawah/antara pohon-pohon kelapa.

    Berdasarkan penelusuran, tumbuhan anggota keluarga yang banyak terdapat di Indonesia

    antara lain, Pittosporum ferrugineum (Ki Honje atau Kacombrangan), Pittosporum

    ramiflorum (Wuru combrangan atau Mawuring), dan Pittosporum pentandrum

    (Mamelis). Di antara ketiga pohon ini, yang disebutkan di dalam literatur memiliki

    kandungan minyak cukup banyak adalah Pittosporum ferrugineum atau Ki Honje [Heyne,

    1950]. Buah Ki Honje hanya terdiri atas kulit (berwarna kuning-coklat, 40 % dari berat

  • 9

    buah) dan biji (berwarna merah, 60 % dari berat buah) dan berdasarkan penelitian yang

    telah lalu, baik biji maupun kulitnya mengandung minyak yang berwarna merah.

    Gambar 2.4 Foto Buah Ki Honje (termasuk yang muda)

    Gambar 2.5 Foto Kulit Buah Ki Honje

    Gambar 2.6 Foto Biji Buah Ki Honje

    2.4 Pengambilan/Penggondolan dan Uji Nyala Minyak Buah Ki Honje

    Pada penelitian sebelumnya (Soerawidjaja,dkk., 2006), biokerosin yang berasal dari buah

    Ki Honje diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan alat Soxhlet. Penggondolan

    minyak buah Ki Honje juga pernah dilakukan dengan cara distilasi kukus tetapi gagal

    memperoleh minyak. Bagian dari buah Ki Honje yang dijadikan bahan baku adalah

  • 10

    bagian kulit dan bagian bijinya. Perolehan minyak kulit buah Ki Honje dan minyak biji

    buah Ki Honje, yang keduanya berwarna merah, setelah diekstraksi adalah sekitar 10 %-

    berat dan 12%-berat. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut heksan.

    2.4.1 Ekstraksi Padat-Cair Dengan Alat Soxhlet

    Ekstraksi merupakan sebuah metode pemisahan yang memanfaatkan kelarutan suatu zat

    dalam zat lain. Pada skala laboratorium, ekstraksi padat-cair biasanya dilakukan dengan

    menggunakan alat soxhlet. Pada prinsipnya, senyawa hidrokarbon yang terkandung di

    dalam buah Ki Honje diambil dengan jalan pengontakan dengan zat pelarut (solvent)

    sambil dipanaskan pada titik didih normal pelarut. Skema alat soxhlet diperlihatkan pada

    Gambar 2.7.

    Keterangan,

    1. Pengaduk

    2. Labu bundar

    3. Jalur uap (distillation path)

    4. Selongsong

    5. Padatan

    6. Siphon top

    7. Siphon exit

    8. Penghubung

    9. Kondensor

    10. Air pendingin masuk

    11. Air pendingin keluar

    Gambar 2.7 Skema Alat Soxhlet

    Alat ini didisain untuk mengekstraksi suatu senyawa yang terkandung dalam padatan

    dengan menggunakan pelarut (solvent) cairan. Biasanya, Soxhlet digunakan untuk

    ekstraksi lipid dari material padatan, namun saat ini Soxhlet juga digunakan untuk

    ekstraksi pada lingkup yang luas. Dalam penggondolan minyak buah Ki Honje dengan

    menggunakan alat Soxhlet, biji/kulit buah Ki Honje yang akan diekstraksi diletakkan di

    dalam sebuah selongsong (nomor 4 pada Gambar 2.7), yang terletak di dalam menara

  • 11

    utama alat Soxhlet. Kemudian, bagian bawah alat Soxhlet dihubungkan dengan sebuah

    labu bundar yang berisi pelarut cair, dan bagian atasnya dihubungkan dengan sebuah

    kondensor. Pelarut diuapkan dan uapnya dibawa ke kondensor melalui distilation path

    (nomor 3 pada Gambar 2.7). Sebagian uap pelarut akan mengembun di dalam kondensor

    dan mengalir ke dalam selongsong dimana terdapat biji/kulit buah Ki Honje di dalamnya.

    Semakin lama, selongsong tempat padatan akan terisi oleh pelarut hangat hingga padatan

    terendam sepenuhnya oleh pelarut, dan sebagian senyawa yang diinginkan (monoterpen,

    seskuiterpen dan heptan), yang terkandung di dalam biji/kulit buah Ki Honje, akan

    terlarut ke dalam pelarut. Setelah ketinggian pelarut yang mengisi selongsong lebih tinggi

    dari siphon top (nomor 6 pada Gambar 2.7), pelarut akan mengalir kembail ke dalam labu

    bundar melalui siphon. Siklus ini terus berulang selama proses ekstraksi berlangsung.

    Setelah sekian banyak siklus, maka senyawa yang diinginkan akan terkonsentrasi di

    dalam pelarut. Setelah proses ekstraksi selesai, pelarut dipisahkan dengan menggunakan

    distilasi. Ekstrak yang diperoleh yaitu minyak biji/kulit buah Ki Honje. Bagian biji/kulit

    buah Ki Honje yang tidak terlarut di dalam pelarut tertinggal di dalam selongsong.

    2.4.2 Distilasi Kukus

    Distilasi kukus adalah metode distilasi khusus untuk memisahkan material yang sensitif

    terhadap temperatur seperti senyawa aromatik organik. Metode ini menggunakan prinsip

    bahwa tekanan total dari suatu campuran yang tidak saling larut merupakan penjumlahan

    dari tekanan uap masing-masing komponennya. Jika tekanan total sama dengan tekanan

    atmosfer, maka campuran tersebut akan mendidih. Dengan demikian, campuran memiliki

    titik didih yang lebih rendah dari titik didih komponen-komponennya. Berdasarkan fakta

    tersebut, penambahan uap air akan menyebabkan senyawa organik yang terkandung di

    dalam bahan baku teruapkan pada temperatur yang lebih rendah dari titik didihnya.

    Setelah disitilasi, uap yang dihasilkan akan terkondensasi di dalam kondensor dan

    kondensat ditampung terlebih dulu di dalam dekanter sebelum diambil. Di dekanter akan

    dihasilkan sistem dua fasa, yakni fasa air dan fasa senyawa organik. Dengan demikian,

    pemisahan selanjutnya untuk memperoleh senyawa organik dapat dilakukan dengan

    mudah. Skema alat distilasi diperlihatkan pada Gambar 2.8.

  • 12

    Gambar 2.8 Skema Alat Distilasi Kukus

    2.4.3 Uji Nyala Minyak Buah Ki Honje

    Pengujian yang pernah dilakukan adalah pengujian dengan menggunakan lampu minyak

    sederhana. Kemudian, diamati dan dibandingkan kualitas nyala apinya dengan kerosin.

    Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, secara kualitatif, kualitas nyala api dari

    minyak buah Ki Honje lebih baik dibandingkan dengan kualitas nyala api dari kerosin.

    Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan bahwa kualitas nyala api dari minyak buah

    Ki Honje lebih baik dari nyala api dari minyak tanah,

    Gambar 2.9 Uji pembandingan nyala api kerosin (kiri) dengan nyala api minyak kulit

    buah Ki Honje (kanan)

  • 13

    Gambar 2.10 Uji pembandingan nyala api kerosin (kiri) dengan nyala api minyak biji

    buah Ki Honje (kanan)

    Gambar 2.9 dan 2.10 mengisyaratkan bahwa minyak buah Ki Honje sangat berpotensial

    untuk menggantikan kerosin. Dengan kualitas nyala yang lebih baik, maka penggunaan

    minyak buah Ki Honje akan menjadi lebih hemat dan lebih efisien dari pada penggunaan

    kerosin. Namun, pengujian lebih lanjut, meliputi standar kualitas, perlu dilakukan agar

    minyak buah Ki Honje dapat menggantikan kerosin.

    2.5 Penelitian Lebih Lanjut Tentang Biokerosin

    2.5.1 Pengaruh Pemilihan Pelarut Pada Ekstraksi Minyak Buah Ki Honje

    Terhadap Titik Asap

    Pada penelitian sebelumnya oleh Soerawidjaja dan mahasiswanya (2006), ekstraksi buah

    Ki Honje dilakukan dengan menggunakan pelarut heksan. Dari uji nyala yang telah

    dilakukan, terdapat kemungkinan terkandungnya senyawa heptan dalam minyak buah Ki

    Honje, yang menjadikan minyak Ki Honje memiliki titik asap yang memuaskan. Oleh

    karena itu, dengan penggunaan pelarut heksan akan mempengaruhi kualitas minyak buah

    Ki Honje.

    Heksan memiliki titik didih normal 69 oC, sedangkan heptan memiliki titik didih normal

    98,4 oC. Saat proses ekstraksi selesai, maka dilanjutkan dengan proses pemisahan pelarut,

    yakni dengan cara menguapkan pelarut dan menyisakan senyawa ekstrak. Karena

    dekatnya titik didih heksan, sebagai pelarut, dengan heptan yang terkandung dalam

    minyak buah Ki Honje, maka terdapat kemungkinan teruapkannya heptan saat proses

  • 14

    pemisahan pelarut berlangsung. Dengan demikian, titik asap minyak buah Ki Honje akan

    berkuarang dari yang seharusnya karena berkurangnya jumlah heptan. Penelitian lebih

    lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas sebenarnya minyak

    buah Ki Honje. Oleh karena itu, penggunaan pelarut lain yang memiliki titik didih yang

    jauh lebih rendah dari titik didih heptan perlu dipertimbangkan. Selain heksan, pelarut

    yang berpotensial untuk digunakan dalam estraksi minyak buah Ki Honje adalah

    dikhlorometana (T.d. 39,8 oC), dietil eter (T.d 34,6 oC), dan aseton (T.d. 56,5 oC).

    2.5.2 Uji Titik Asap dan Titik Beku Minyak Buah Ki Honje

    Seperti yang didefinisikan sebelumnya, bahwa biokerosin adalah bahan bakar minyak

    dari tumbuhan yang memiliki karakteristik mirip kerosin, maka perlu dilakukan penelitian

    lebih lanjut mengenai karakteristik minyak buah Ki Honje, untuk membuktikan bahwa

    minyak buah Ki Honje memiliki karakteristik mirip minyak tanah. Dengan demikian,

    dapat diketahui bahwa minyak buah Ki Honje memiliki prospek ke depan untuk

    menggantikan minyak tanah tanpa harus mengubah cara penggunaannya, yaitu

    menggunakan kompor minyak biasa (yang sudah ada/dimiliki konsumen). Selain itu,

    dengan biaya produksi yang tidak terlalu mahal, minyak buah Ki Honje dapat dibeli

    konsumen dengan harga lebih murah. Pengujian karakteristik minyak buah Ki Honje

    yang akan dilakukan meliputi, pengujian titik asap dan pengujian titik beku.

    Pengujian titik asap merupakan parameter penting yang menunjukkan bahwa minyak

    buah Ki Honje memiliki kualitas bakar yang setara dengan minyak tanah. Untuk hasil

    yang lebih teliti, pengujian titik asap akan dilakukan dengan metode standar, yaitu ASTM

    D1322 menggunakan lampu titik asap. Sampel minyak dibakar di dalam lampu dan

    diukur tinggi api tanpa menyebabkan asap (prosedur pengujian dapat dilihat di Lampiran

    B).

    Pengujian titik beku dilakukan untuk mengetahui potensial minyak buah Ki Honje untuk

    dijadikan bioavtur, karena syarat avtur harus memiliki titik beku maksimal -40oC agar

    masih dapat mengalir/dipompa ketika pesawat sedang terbang tinggi. Pengujian

    dilakukan juga dengan menggunakan metode standar, yaitu ASTM D2386 (prosedur

    pengujian dapat dilihat di Lampiran B).

  • 15

    Gambar 2.11 Lampu Uji Titik Asap (ASTM D1322)

    Gambar 2.12 Alat Uji Titik Beku (ASTM D2386)