Bab 2 DATA dan ANALISA - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00176-DS bab...
Transcript of Bab 2 DATA dan ANALISA - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00176-DS bab...
3
Bab 2
DATA dan ANALISA
2.1 Data dan Analisa
Data-data dan informasi pendukung proyek Tugas Akhir ini diambil dari berbagai
sumber, diantaranya :
1. Literatur : buku dan artikel dari media elektronik maupun non-elektronik.
A. Buku :
• Senawangi, Ensiklopedia Wayang Indonesia, hat 205
• Program Studi Sent Pedalangan Institut Seni Indonesia, Denpasar, Jurnal
Ilmiah Sent Pewayangan volume 4 no.1 September 2005, hal 74
B. Elektronik :
• http://www.beritabali.com/?reg=&kat=hbrn&s=news&id=2007
• http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/6/29/potl.html
• http://pandebaik.blogspot.com/2006/06/wayang-cenkblonk.html
• http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/8/6/b8.htm
• http:I/www.balitravelnews.com/Batrav/Batrav221/guideindo_9.htm
• http://www.sinarharapan.co.id/berita/0612/28/hib07.html
2. Wawancara dengan Dalang Wayang Cenk Blonk, I Wayan Nardayana.
3. Pengamatan langsung di lapangan.
4
2.1.1 Literatur
WAYANG BALI
Wayang Bali tidak jauh berbeda dengan Wayang kulit Purwa yang Lazim dipergelarkan
di Pulau Jawa. Tetapi bentuk tatahan dan sunggingan wayang Bali berbeda. Bentuk seni
kriya Wayang Kulit Parwa Bali (di Bali disebut Wayang Kulit Parwa, bukan Purwa) agak
mirip dengan wayang batu yang terpahat di dinding Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur.
Bentuk seni kriya Wayang Kulit ball lebih mendekati bentuk seni kriya Wayang Kulit di
Pulau jawa beberapa abad yang lampau. Bentuk sanggul atau gelung pada tokoh-tokoh
wayang seperti Arjuna, lebih gemuk, dan tidak mencapai ubun-ubunnya. Pada tokoh-tokoh
raksasa dank era, Wayang Kulit Bali masih dilukiskan dengan dua mata.
Dibandingkan dengan Wayang kulit Purwa di Pulau Jawa, bagian tangan pada Wayang
Kulit Bali lebih Pendek.
Pergelaran Wayang kulit Bali, terutama yang dilaksanakan pada malam hari, juga
terasa lebih sacral. Unsur Wayang sebagai tontonan dan media hiburan lebih terasa
di pulau Jawa. Jika dipergelarkan pada siang hari, orang bali menyebutnya dengan
Wayang Lemah. Dan jika dipertunjukkan malam hari namanya Wayang Peteng. DI
Bali, blencong untuk penerangan, disebut damar wayang. Perbedaan lainnya, pergelaran
Wayang Kulit Bali tidak menggunakan pesinden atau swarawali.
DI Pulau Bali, pada dasamya fungsi pewayangan ada tiga macam, yakni yang
pertama untuk wali, yaitu yang berhubungan erat dengan suatu upacara keagamaan.
Fungsi kedua adalah untuk bebali, atau pelengkap upacara. Dan ketiga untuk balih-balihan
atau hiburan belaka.
5
Kelahiran Wayang bali
Tentang kapan Wayang Bali dilahirkan, tidak ada data yang jelas. Beberapa
Prasasti yang menyebut-nyyebut soal wayang, ditemukan oleh R. Goris, misalnya,
yang dikeluarkan oleh Raja Ugrasena, berangka tahun 818 Saka atau 896 masehi,
kini (1998) tersimpan di Desa Babatin, kabupaten Singaraja. Pada prasasti itu
disebutkan:
"... pande tembaga, pamukul, pagending, pabujing, papadaha, parhhangsi,
partapukan, parbawayang" (pemain wayang). Prasasti menguraikan tentang bermacam
profesi seni, termasuk orang yang mempertunjukan wayang, atau dalang.
Pada prasasti Dawan, kabupaten Klungkung, yang berangka 975 Saka (1035
Masehi) disebutkan kata aringgit yang artinya wayang. Kata aringgit juga dijumpai
pada prasasti Blantih yang berangka 980 saka (1058 Masehi).
PV van stein Callenfels menyalin kalimat yang tertera pada prasasti Gurun Pal,
Desa Pandak, Kabupaten Badung, yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu tahun 1071
Masehi. Isinya antara lain: ... yam amungkul, anuling, atapukan, abanwal, pirus,
menmen, dan aringgil.
Dari prasasti-prasasti itu hampir dapat dipastikan paling tidak pada tahun 896 Masehi
di Bali sudah ada pertunjukan wayang.
Angela Hobart dalam bukunya Dancing Shadows of' Bali, Theatre and Myth, 1987,
menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan raja Dalem Watu Renggong (1460- 1550
M) dari kerajaan Gelgel, pernah menerima hadiah cinderamata dari raja Majapahit
berupa satu kotak wayang kulit.
6
Lebih Tua Dari Wayang Purwa
Seni kriya Wayang Kulit Bali lebih tua umurnya dibandingkan dengan Wayang Kulit
Purwa yang popular di Pulau Jawa. K.G.P.A.A. Mangkunegara VII dari Surakarta, dalam
bukunya On The Wayang Kutit (Purwa) and its Symbolic and Mystical Flements,
(diterjemahkan oleh Claire Holt, 1957), secara jelas mengatakan bahwa gaya yang
lebih naturalistic dari Wayang Kulit Bali harus diakui lebih tua umurnya.
Seni perwayangan di Pulau Bali sampai saat ini (1998) masih cukup terpelihara
dengan baik. Pada pertengahan tahun 1994, di Pulau Bali tercatat ada lebih dari 240
kelompok pewayangan dari berbagai jenis wayang. Kelompok wayang yang terbanyak
terdapat di Kabupaten Gianyar (82 kelompok), Kabupaten Buleleng (32 kelompok), dan
Kabupaten badung (34 kelompok). Dibandingkan dengan luas Pulau Bali secara
geografis dan jumlah penduduknya, kelompok-kelompok ini sudah cukup memadai.
Adapun pendidikan dalang muda, sejak belasan tahun yang lalu aktif dilakukan, antara
lain di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) di Denpasar.
WAYANG KULIT "CENK BLONK"
DALAM MEDIA REKAM
I Dewa Made Darmawan
Abstrak
Di tengah-tengah modernisasi yang melanda Bali telah terjadi imeraksi antara bentuk-bentuk
seni budaya tradisional dengan bentuk-bentuk budaya modem. Hat ini terlihat dalam
7
penggunaan teknologi modern oleh bentuk-bentuk kesenian tradisional Bali.
Wayang Kulit "Cenk Blonk" lakon Dyah Rama Takeshi dalam kemasan audio kaset dan
video CD (VCD) adalah salah satu contoh kesenian tradisional Bali yang telah berhasil
masuk ke dalam industri rekaman.
Tulisan ini adalah penelitian kualitatif terhadap seni pertunjukan dalam kemasan audio
kaset dan video CD yang telah banyak beredar khususnya di Bali dan beberapa daerah di luar
Bali. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep dan teori. Konsep yang digunakan,
yakni teknologi media rekam, seni pertunjukan Wayang Kulit "Cenk Blonk". Dan
Teori yang digunakan untuk menganalisis bentuk, fungsi dan makna, yakni teori
estetika, teori teknoekonomi, teori SDR (Stimulation-Drive-Response), clan teori
komunikasi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi.
Sebagai suatu kesenian populer yang disukai oleh orang banyak, lakon Dyah Ratna
Takeshi karya Nardayana (dalang Wayang Kulit "Cenk Blonk") telah diproduksi
menjadi "sent media", yakni dalam bentuk audio kaset dan audio-visual (VCD). Fungsi
seni media ini adalah sebagai hiburan disamping fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi
ekonomi, fungsi dokumentasi, fungsi publikasi, promosi, dan fungsi pendidikan.
Pertunjukan wayang kulit "Cenk blonk" yang dikemas ke dalam "seni media" dan
diperdagangkan sehingga ia bermakna untuk meningkatkan kesejahtraan disamping
makna budaya, dan makna estetis. Sekilas media rekam yang dipublikasikan secara luas
berdampak pada meningkatnya popularitas dan kesejahtraan seniman seni pertunjukan,
tetapi jika tidak disikapi dengan bijaksana dan selalu aktif melakukan kreativitas dan
inovasi, justru media rekam akan menghancurkan popularitas yang telah dibangun.
8
Nardayana adalah salah satu model seniman Bali yang secara berani mengadopsi
teknologi media rekam ke dalam aktivitas berkeseniannya. Agar karyanya tetap
digemari orang banyak, ia terus-menerus berkreativitas dan berinovasi. la telah
membuktikan bahwa jika teknologi media rekam diberdayakan dengan baik dan benar,
justru dapat meningkatkan kesejahtraannya dan mengangkat popularitasnya di
masyarakat. Temuan dilapangan menunjukan keberhasilan Wayang Kulit "Cenk
Blonk" memanfaatkan media rekam berdampak pada semakin kuat dan meningkatkan
eksistensi wayang kulit yang dikhawatirkan akan di tinggal pendukungnya.
Kata Kunci : Wayang Kulit, teknologi dan media rekam.
1. Pendahuluan
Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali, menduduki posisi yang
paling penting di antara unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Alasannya karena kesenian terkait dengan sistem rehgi (Mantra, 1996:9).
Suburnya kesenian di Bali karena dipelihara dan didukung oleh sistem sosial
yang berintikan lembaga-lembaga tradisonal, seperti : desa adat, Banja, dan berbagai
Jenis sekaa (organisasi profesi). Sebagai wahana integrasi, kesenian Bali menunjukkan
sifat sebagai bagian dari kesenian konfigurasi budaya yang ekspresif. Sebagai sebuah
tradisi, keberadaan kesenian Bali sejalan dengan seluruh aspek kehidupan secara terpadu,
disamping mereflesikan cita-cita masyarakat pendukungnya. Tidaklah berlebihan jika
masyarakat Bali menganggap bahwa kesenian merupakan bagian integral dari
hidupnya.
9
Para pemerhati kesenian Bali melihat bahwa pertumbuhan kesenian di daerah ini
banyak didorong oleh aktivitas agama, yakni agama Hindu-Bali yang dianut oleh
sebagian besar penduduk di Bali, disamping karena kebutuhan hiburan. Hal ini
menunjukkan bahwa dikalangan masyarakat Bali, kesenian tidak hanya digunakan
sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pengikat solidaritas suatu komunitas dan
penunjang faktor ekonomi sebagian kecil masyarakatnya. Keterkaitan sistem
kesenian dengan sistem religi dapat diamati pada saat berlangsungnya suatu kegiatan
upacara keagamaan yang selalu mempertunjukan kesenian, seperti: Wuyung kulit,
topeng. Atau seni sastra.
Di zaman modem ini dunia seni kembali harus menghadapi tantangan baru sebagai
akibat dari terjadinya revolusi teknologi yang dihasilkan manusia-manusia pintar di abad
ini. Teknologi adalah salah satu dari tujuh unsur universal kebudayaan,
datangnya teknologi elektronik canggih tidak urung akan mempengaruhi gaya hidup
dan perilaku manusia dalam melakukan berbagai aktivitas maka termasuk olah
kreativitas dan cipta seni mereka. Dewasa ini para seniman dari berbagai bidang seni
secara perlahan-lahan, dan dengan penuh kesadaran meninggalkan cara lama yang
selama ini mereka tempuh dan mulai menerapkan cara-cara baru dengan
menggunakan jasa teknologi modern.
Sejak tiga dekade terakhir ini semakin banyak seniman seni pertunjukan Bali
yang mulai menggunakan teknologi media rekam dalam kiprah berkesenian
mereka di masyarakat. Teknologi ini tidak saja digunakan oleh seniman-seniman
pemula, tetapi juga oleh seniman-seniman yang sudah berpengalaman.
Akibatnya, kini hampir tidak ada satu jenis kesenian tradisnmal Bali yang tidak
10
tersentuh oleh teknologi media rekam. Salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji adalah
penggunaan teknologi media rekam ini dalam seni Pewayangan Bali.
Wayang Kulit adalah genre seni pertunjukan Bali yang merupakan warisan budaya
leluhur, yakni hingga kini masih tetap hidup dan dicintai oleh banyak orang di kalangan
masyarakat Bali. Untuk membawakan sebuah kisah, baik yang bersumber dari
wiracarita Ramayana, Mahabarata, maupun cerita lokal seperti Malat, Calonarang, dan
Cupak.
Masyarakat Bali mengenal beberapa jenis pertunjukan wayang kulit yang
perbedaannya, terutama ditentukan oleh sumber lakonnya. Berdasarkan sumber lakonnya,
wayang kulit Bali dapat dibedakan menjadi, wayang kulit ramayana dengan sumber
lakon Ramayarna; (2) wayang parwa yang menampilkan lakon-lakon dan epos
Mahabharata; 3) wayang gambuh dan wayang arja dcngan cerita Panji: (4) wayang
calonarang dengan lakon cerita Calonarang; (5) wayang cupuk dengan lakon Cupak
Grantang: dan (6). wayang tantri dengan cerita Tantri.
DI kalangan masyarakat Bali, wayang kulit adalah kesenian yang multi-fungsi. Secara
fungsional, dalam garis besamya pertunjukan wayang kulit Bali digunakan sebagai: (1)
pertunjukan bebali, yakni untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan, seperti
upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Butha Yadnya; (2)
pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan hiburan yang menekankan nilai artistik
dan didaktis (Sugriwa, 1963:7). Seni pertunjukan yang tergolong ke dalam kelompok
hiburan inilah kemudian banyak terkena pengaruh teknologi media rekam dan
teknologi media massa.
11
II. lndustri Kesenian
Tiga puluh tahun yang lalu, mendengar pertunjukan wayang Wit dalam bentuk rekaman
kaset audio masih merupakan sesuatu hal yang aneh dan asing bagi masyarakat.
Betapa tidak, ketika itu masyarakat masih lebih suka keluar malam untuk
menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Di desa-desa para penggemar wayang kulit rela
berjalan kaki sejauh tiga sampai empat kilometer untuk menyaksikan pertunjukan
wayang kulit oleh dalang-dalang kenamaan. Kini menyaksikan pertunjukan wayang
kulit tanpa harus datang ke tempat pertunjukan bukan merupakan suatu hal yang aneh
lagi. Teknologi rekarnan memungkinkan para penggemar wayang kulit untuk secara bebas
bisa menikmati pertunjukkan wayang kulit melalui siaran radio, tayangan televisi, atau
dengan cara memutar rekaman audio atau rekaman audio visual berupa video tape, video
compact disk (VCD), atau digital versatile disk (DVD).
Fenomena di atas selaras dengan padangan Giddens (dalam Barker, 2005:384)
yang membedakan tempat dengan ruang berdasarkan kehadiran ketidak hadiran, dalam hal
ini tempat dicirikan oleh adanya perjumpaan langsung antara penonton dengan pertunjukan
wayang kulit. Selanjutnya, ruang dicirikan oleh hubungan antara yang tidak hadir secara
langsung).
Penggunaan teknologi media rekam di kalangan seniman Bali, Khususnya oleh para
dalang wayang kulit, yakni erat kaitannya dengan munculnya televisi di Indonesia
termasuk Bali pada tahun 1970-an. Pada dekade tahun 1970-an, Bali belum tersentuh oleh
TV, tetapi penyebaran seni pertunjukan melalui media rekam sudah dimulai jauh
sebelumnya walaupun masih menggunakan teknik rekaman audio seadanya. Untuk
menggandakan rekaman kesenian Bali yang telah direkam pada saat itu para pengusaha
12
rekaman menggunakan dua buah tape recorder yakni masing-masing digunakan sebagai
sumber dan target. Pengakuan I Wayan Wijana, S.H. bagian pemasaran Bali record
mengatakan bahwa pada waktu itu perusahaannya menggunakan dua buah tape recorder
untuk mengawali produksi rekamannya, Bali Record adalah salah satu perusahan
rekaman yang telah banyak merekam dan memasarkan karya-karya seni seniman seni
pertunjukan, diantaranya rekaman dramatari Topeng Tugek Carangsari dengan dua belas
judul, drama gong dengan lima puluh judul, dan wayang kulit dengan empat puluh
satu judul termasuk tiga buah judul dalam bentuk CD (data Bali Record tahun 2004).
Jika dilihat dan kuantitasnya, dua belas judul hasil karya seniman Topeng Tugek
Carangsari yang telah direkam dan dipasar dan merupakan prestasi yang luar biasa. Hal ini
berarti media rekam telah memberikan pengaruh positif bagi popularitas para
seniman/seniwati pelaku pertunjukan ini. Namun, dalam dua belas judul yang merambah ke
segala penjuru desa di Bali dan di luar Bali ternyata mengandung dagelan
(bebanyolan) yang hampir sama; banyolan-banyolan yang serupa terlihat di setiap judul
yang berbeda sehingga rekaman-rekaman ini juga membawa dampak negatif terhadap
expularits sekaa Topeng Tugek Carangsari tersebut.
Di era globalisasi yang diprediksikan sebagai era pasar bebas, yakni era masyarakat dunia
mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya:
kehidupan masyarakat secara umum menjadi semakin sulit. Pada saat segalanya
didera oleh tekanan-tekanan krisis ekonomi, jarak antara satu negara dengan negara
lain secara plotis sudah semakin kabur. Dengan kemajuan teknologi, kini belahan dunia
seakan-akan tidak memiliki batas lagi, dari rumah kita bisa mengamati panggung/layar
dunia lewat kotak ajaib (TV). Kondisi seperti ini membuat kesenian tradisional seperti
13
wayang kulit mulai terdesak, yakni kalah bersaing dengan sumber hiburan dan tontonan
modern yang lebih menarik karena memanfaatkan media elektronik sedemikian canggih
dan beragam bentuknya, seperti film dan sinetron. Maraknya seni media elektronik,
mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus dihadapi tidak saja dengan jalan
meningkatkan daya kreativitas dan melakukan inovasi lainnnya sesuai dengan
tuntutan zaman, tetapi juga dengan memanfaatkan jasa teknologi media rekam.
Sekaa wayang kulit "Cenk Blonk" dari desa Belayu adalah salah satu sekaa (grup)
kesenian tradisional Bali yang telah berhasil mengatasi keterhimpitan kesenian tradisi oleh
kemajuan teknologi dan sekaligus telah dapat rnenggairahkan kembali seni pewayangan
di Bali yang sempat lesu dan sepi penonton. Patut diketahui bahwa wayang kulit "Cenk
Blonk" merupakan wayang ciptaan baru yang memadukan unsur-unsur estetis tiga varian
seni pewayangan Bali, yaitu wayang ramayana, wayang cupak, dan wayang tantri.
Gaya pakelirannya menggabungkan seni tradisi dengan seni kreasi yang dipengaruhi
oleh teknologi modem. Musik pengiring yang digunakan tidak lagi menggunakan gender
wayang, akan tetapi menggunakan gamelan semarandana atau angklung. Sekaa wayang
kulit yang semula bernama sekaa wayang kulit "Gita Loka", dengan dalang sekaligus
pimpinan sekaa I Wayan Nardayana dengan berani "memberontak” kondisi seperti
disebutkan di atas. Pada awalnya pembrontakan ini harus dilakukannya dengan penuh
pengorbanan tetapi dengan upaya yang tidak mengenal menyerah dan dengan daya
kreativitas yang tinggi, wayang kulit "Cenk Blonk" sudah dapat menikmati hasil
perjuangannya.
Masuknya karya-karya seni tradisional seperti wayang kulit ke dalam teknologi
media rekam menandakan mulainya kesenian tradisional terlibat dalam "industri
14
kesenian", yakni sebuah industri yang berorientsi bisnis dengan memanfaatkan
kesenian sebagai komoditas pokoknya. Misalnya, industri kesenian dengan media audio-
visual (TV, radio, dan industn rekaman) dan penyelenggara Pementasan kesenian yang
dikelola dengan manajemen industn. Selanjutnya, ketika karya seni telah menjadi
komoditas industri, maka terjadilah tawar-menawar nilai antara pemilik modal
dengan pemilik dan pelaku seni. Idealnya tawar-menawar tersebut merupakan sesuatu
yang menguntungkan masing-masing pihak sesuai dengan hak-haknya. Disamping itu bagi
pemilik modal tentu pertukaran nilai dari produk-produk yang dihasilkan akan selalu
menghasilkan keuntungan finansial.
Ketika masuk ke dalam industri rekaman, banyak seniman seni pertunjukan
tradisional Bali, termasuk dalang wayang kulit, yang tidak sepenuhnya paham dengan
kontrak kerja dengan produser. Selanjutnya ketika ditanya soal kontrak kerja antara dirinya
dengan pihak produsen (Bali Record), dalang Nardayana terkesan kurang peduli walaupun
ia telah menandatangani kontrak yang terkait dengan produksi karya seninya
(pengakuan I Wayah Nardayana). Menurut pihak produser, perekaman wayang kulit
"Cenk Blonk" tidak semata-mata persoalan bisnis, tetapi lebih dari itu karena pihak
produser ingin ikut menjaga, melestarikan, dan mengembangkan seni tradisional.
Menurut produsen untuk kaset audio atau video tradisional terjual 3000 keping saja sudah
cukup bagus karena fokus pemasarannya sekitar Bali dan hanya sebagian kecil
terjual keluar Bali. Tampaknya I Wayan Nardayana sependapat dengan produser untuk
sekali rekaman karya seninya dihargai dua puluh lima juta rupiah dengan masa
putar dua jam, I Wayan Nardayana pun sadar bahwa secara finansial (sesuai isi
kontrak) hanya mendapatkan imbalan pada saat pertama kontrak untuk setiap judul
15
karya seninya, dalam arti dia sudah tidak memiliki hak apapun dikemudian hari ketika
karyanya diproduksi ulang dalam bentuk apapun. Kasus wayang kulit "Cenk Blonk"
rupa-rupanya juga terjadi pada seniman-seniman lain. Jika demikian, maka hal itu
menunjukkan sikap stereotip di kalangan seniman tradisional ketika mereka
menghadapi dunia industri. Hal yang kurang lebih serupa juga dialami oleh I
Gusti Ngurah Windia seniman Topeng Tugek Carangsari. Ada sesuatu hal menarik
yang pernah dialami oleh I Gusti Ngurah Windia pada tahun 1974 yang karya seninya
direkam dan diedarkan tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu. Hal ini kemudian
dapat diatasi secara damai karena saling pengertian kedua pihak (Pengakuan I Gusti
Ngurah Windia). Proses perekaman keberikutnya baru dibuatkan kontrak oleh pihak
produser yang berlanjut sampai dua betas judul. Namun dia pun tidak peduli dengan isi
kontrak, artinya dan pihak seniman tradisional kurang menempatkan dini dalam
bargaining position yang semestinya. Pembicaraan hanya sebatas tawar-menawar berapa juta
rupiah yang akan dibayar oleh pihak produser untuk satu paket pertunjukannya.
Pembicaraan tidak pernah sampai kepada hak-hakseniman apabila produksi rekaman
tersebut digandakan ulang.
Bertolak dari kasus di atas, maka dapat diasumsikan bahwa kedua seniman
tersebut, yaitu I Wayan Nardayana dan I Gusti Ngurah Windia belum menyikapi
dan memahami dengan benar keterlibatannya dengan industri kesenian. Perlu dipahami
bahwa ketika senima tradisional besinggungan dengan persoalan bisnis dalam industri
kesenian juga harus merujuk pada hal yang dalam dunia usaha disebut dengan "etika
bisnis". Etika bisnis lebih merujuk pada sikap moral para pelaku bisnis untuk tidak
16
merugikan satu sama lain, terutama hal-hal yang tidak tercantum dalam hukum formal
(Bertens, 1992:96 dalam GELAR Volume I No. 44 Tahun 1999).
III. Peran Media Massa
Berkembangnya industri kesenian tidak terlepas dari peran media massa radio dan
televisi (TV). Oleh karena TV adalah lambang sesuatu yang modern sehingga dianggap
mampu mengaitkan pemirsa dengan bayangan modernitas yang berasal dari luar
kemudian ditafsirkan kembali dan diolah supaya dapat memenuhi kebutuhan lokal
(Sedyawati, 1994). Melalui TV seni pertunjukan wayang kulit mampu membuka din
dalam tatanan derasnya arus informasi global yang sekaligus merupakan tantangan bagi
dunia pewayangan Bali. Jika seni tradisional seperti wayang kulit mampu masuk ke
dunia global, maka hal ini berarti yang lokal dapat pula ditafsirkan menjadi global
(Glokal), apalagi mulai berkembangnya wayang tradisional Bali yang
dikolaborasikan dengan wayang ala Amerika oleh Lery Reed dalam sebuah produksi
Shadow Light dengan lakon Shida Karya dan kolaborasi antara wayang Bali dengan
wayang ala Australia yang dibidangi oleh I Made Sidia dengan Naegel Jamin Fort
mengambil lakon The Theft of Sita, produksi Performing Lines.
TV memiliki keunggulan sebagai media komunikasi massa mutakhir karena sifatnya
yang audio-visual. TV memiliki keunggulan dalam hal menampilkan tayangan gambar yang
bergerak (motion picture) sehingga khalayak pemirsa secara emosional lebih terikat
dibandingkan jika mereka melihat gambar mati seperti terpampang dikoran dan
majalah.
17
Secara universal TV berfungsi dalam mendifusikan informasi (to inform), mendidik
(to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence) masyarakat
pemirsa (Ibrahim, 1997:256). Siaran di TV disamping memberikan informasi menank
tentang realitas sosial dalam pembangunan fistk dan mental spititual, TV juga berfungsi
sebagai media hiburan, media pendidikan dan media promosi yang berdampak terhadap
penlaku kehidupan masyarakat.
Melalui program-program, TV, seorang seniman seni pertunjukan bisa dengan mudah
memperoleh popularitas di masyarakat karena pertunjukannya dapat disaksikan oleh
masyarakat luas dari ruang pribadi atau ruang tidur, tanpa harus datang ke tempat-
tempat pertunjukan. Namun, jika tidak diwaspadai penampilan karya seni
pertunjukan melalui program-program TV dapat membuat popularitas seniman seni
pertunjukan menjadi luntur.
3.1 Seni Media
Seni pertunjukan Wayang Kulit "Cenk Blonk" lakon Dyah Ratna Takeshi yang dikemas
dalam media rekam (seni media) pada dasarnya adalah kesenian tradisional telah
berhasil memanfaatkan teknologi modern dalam meraih popularitas di masyarakat.
Memelihara seni tradisional yang dibayangi oleh seni modern memerlukan
ketekunan, kesadaran, dan kehati-hatian menyaring pengaruh budaya modern tersebut
agar itdak merusak sendi-sendi seni tradisi yang telah tertanam dengan baik. Seni
tradisi bersifat dinamis dan kreatif, kreativitas yang tinggi menghasilkan suguhan
menarik bagi penikmatnya, sebaliknya suguhan tanpa kreativitas akan menyebabkan
kemiskinan pada karya seni tersebut (Wibisono (2000:61).
18
Masuknya teknologi media rekam ke dalam seni pertunjukan tradisional seperti
wayang kulit, bukan saja telah mempercepat berbagai perubahan sosio-kultural, tetapi telah
mengkonstruksi budaya baru berupa budaya media yang bersifatsekuler, populer, dan
efisien. Transformasi seni pertunjukan wayang kulit ke dalam seni media membawa
dampak terkait dengan bentuk, fungsi, dan makna.
Seni media menyuguhkan hiburan yang sifatnya instan atau slap saji dan dapat
ditonton di mana saja dan kapan saja karena tidak terikat oleh ruang dan waktu. Seni
media adalah seni maya yang merupakan ilusi dan aktivitas dalam dimensi ruang ke
dalam aktivitas dimensi bidang (layar monitor). Karena seni media hanyalah sebuah ilusi,
interaksi yang hidup, ekspresif, dan motorik antara penonton dengan seniman dalang dan
penabuh tidak pemah terjadi.
Kehadiran audio kaset dan VCD Wayang Kulit "Cenk Blonk" lakon Dyah Ratna Takeshi
menawarkan efisiensi dalam cara menikmatinya karena dapat dinikmati dalam ruang
pribadi, diputar berkalikali, dipercepat pada adegan yang dianggap membosankan. Seni
media juga cepat menimbulkan kebosanan, karena bersifat monoton, tidak interaktif dan tidak
hadir sebagai kesenian yang hidup (living art). Wayang Kulit "Cenk Blonk" adalah salah
satu dari seni tradisional yang memiliki karakter sebagai seni populer (pop art) dan
sebagai komuditas industri kesenian yang dapat diinterpretasi sebagai bagian dari
aktivitas ekonomi, kesempatan kerja, dan pendapatan melalui kesenian.
Bentuk pertunjukan seni media dimodifikasi ke dalam struktur yang lebih
sederhana, dengan inovasi, substansi sejalan dengan diskutsus yang sedang populer di
masyarakat. Penyuguhan komedi dan humor mengindikasikan bahwa seni media
lebih mementingkan fungsi hiburan yang hangat dan komunikatif. Seni media seperti
19
Wayang Kulit "Cenk Blonk" penuh dengan komedi, humor problema pergaulan anak muda.
Seni media juga mengemban fungsi sebagai kritik sosial yang melawan hegemoni
kekuasaan, mengedepankan keragaman untuk menghindari kebuntuan dan kejenuhan. Seni
media mencoba melelehkan pakem-pakem seni yang konvensional sebagai refresentasi
karakteristik budaya posmodern dan budaya pop (storey, 2003: 91).
Lakon Dyah Ratna Takeshi adalah produksi industri kesenian diciptakan oleh
pasar hiburan komersial yang memproyeksikan perilaku remaja dalam mengatasi masalah
seksual dan emosional. Nardayana (dalang Wayang Kulit "Cenk Blonk") membuat lakon
tersebut untuk tujuan komersial menunjukan bahwa lakon dan settingnya tidak memiliki
otentisitas tertentu, namun Nardayana mendramatisir perasaan otentis, semuanya itu
mengekspresikan dilema emosional remaja.
Deskripsi diatas merefleksikan bentuk, fungsi, dan makna seni tradisional (Wayang
Kulit "Cenk Blonk" lakon Dyah Ratna Takeshi) yang telah mengalami inovasi dan
adaptasi sesuai dengan perkembangan pasar dan teknologi.
3.2 Dampak Seni Media Terhadap Popularitas Seniman.
Kehadiran seni pertunjukan kedalam media rekam "seni media" yakni berdampak
positif bagi seniman yang mempunyai daya kreativitas tinggi. Seni media dapat
meningkatkan popularitasnya. Tetapi pada sisi yang lain "seni media" juga mempunyai
pengaruh negatif terhadap popularitas seniman yang kurang memiliki daya kreativitas
dan inovasi pada karyanya. Seperti menurunnya popularitas Topeng Tugek Carangsari
yang karyanya beredar secara luas di masyarakat.
20
Untuk menganalisi dampak Seni medal terhadap popularitas seniman dalam studi
kasus Wayang Kulit "Cenk Blonk" menggunakan beberapa konsep dan teori. Konsep-
konsep itu adalah teknologi media rekam, seni pertunjukan, Wayang Kulit "Cenk Blonk".
Konsep sangat dipentingkan dalam membangun teori. Sebuah teori hanya dapat dibangun
apabila telah ada pemahaman konsep-konsep serta diketahui cara penerapannya. Dan
teori yang digunakan untuk menganalisis bentuk, fungsi dan makna, Wayang Kulit
"Cenk Blonk" dalam Media Rekam yakni teori estetika, teori teknoekonomi, teori SDR
(Stimulation-Drive-Response), dan teori komunikasi. Metode yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Hubungan Popularitas seniman (dalang wayang kulit) dengan seni media dapat dianalisis
dengan menggunakan teori Stimulation Drive Response (SDR), teon Need for Achievement
(N-Ach), teori tekno ekonomi dan teori komunikasi. Secara matematis hubungan popularitas
seniman dengan seni media dapat dituliskan seperti persamaan berikut:
Pop ~ D
Pop ~ PL
Pop = k(Dk +P1)
Pop adalah popularitas seniman, Dk adalah daya kreativitas, PI adalah penyebarluasan,
dan konstanta k adalah dorongan untuk berprestasi. Arti dan persamaan diatas adalah
popularitas seniman (Pop) berbanding lurus dengan daya kreativitas (Dk) dan
penyebar luasan karyanya (PI). Artinya semakin besar Dk, dan atau PI serta dorongan untuk
berprestasi (k) maka popularitas seniman semakin meningkat. Dorongan berprestasi dan
21
meningkatkan taraf hidup (k) terjadi karena adanya rangsangan teknologi media rekam,
yang kemudian ditanggapi oleh Mardayana sehingga menghasilkan pakeliran
bentuk batu. Adanya perubahan bentuk karya seni yang dihasilkan Nardayana
berpengaruh pada fungsi dan makna wayang kulit karena telah dipoles denganteknologi.
Wayang Kulit dalam fungsinya sebagai hiburan seni media bermakna ekonomis
disamping makna lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat mempengaruhi
pembeli, benda/barang haruslah dikemas dengan baik sehingga secara emosi seseorang
berkeinginan untuk memilikinya. Kemasan yang baik dan indah dihasilkan oleh polesan
kreativitas dan teknolugi yang memadai sehingga ia mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kemasan yang dimaksud disini adalah sebagai berikut: 1) Keterampilan mengemas cerita
yang dipertunjukan. 2) Keterampilan mengemas kritik sosial kekinian ke dalam humor.
3) Keterampilan dalam mengatur alur cerita (dramatiknya), 4) Keterampilan menarikan
wayang, dan 5) yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian "label" dan kemasan promosi.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan temuan di lapangan masih ada sebagian masyarakat yang menghendaki
seni pewayangan tidak hanyut mengikuti perkembangan zaman. Artinya seni pewayangan
harus sesuai dengan pakem. Hal demikian oleh sebagian informan/seniman akan dapat mem-
belenggu kreativitas "dalang", tetapi sebagian yang lainnya berpandangan bahwa seni
pewayangan harus terus dikembangkan, Oleh karena hanya dengan melakukan kreasi dan
inovasi, pertunjukan wayang kulit akan lebih menarik untuk ditonton.
Keberadaan seniman wayang kulit dalam meraih popularitas tidak bisa terlepas dari
pengaruh teknologi modern, seperti media rekam dan media massa (TV dan radio).
22
Sebaliknya, menurunnya popularitas seniman, juga diakibatkan oleh teknologi tersebut.
Untuk memperkecil dampak negatif dan pengaruh teknologi modern, maka diperlukan kerja
keras dalam mengolah pikiran dan tenaga untuk menghasilkan kreasi-kreasi baru, di
samping juga dituntut memiliki pengetahuan koprehensif.
Rekaman pertunjukan Wayang Kulit "Cenk Blonk" merupakan hasil perpaduan
teknologi tradisional dengan teknologi modern. Masuknya kesenian tradisional ke
dalam industri rekaman memberikan kontribusi terhadap penyebaran pertunjukan
wayang kulit ke berbagai pelosok, baik di kota maupun di desa yang dapat
memberikan dampak positif bagi dalang Nardayana.
Bentuk pertunjukan Wayang Kulit "Cenk Blonk" mengalami sedikit perubahan
dengan wayang tradisi. Jika pada wayang tradisi terdapat alas arum, akan tetapi
dalam rekaman lakon Dyah Ratna Tajeshi alas arum dihilangkan. Pada pertunjukan
Wayang Kulit "Cenk Blonk" tidak lagi menggunakan gender sebagai pengiringnya, akan
tetapi menggunakan barungan gender rambat yang dipadukan dengan gerong. Di samping
itu, digunakan adegan petangkilan berjalan, sedangkan pada wayang tradisi adegan
petangkilan diam.
Fungsi rekaman pertunjukan Wayang Kulit "Cenk Blonk" mengalami perubahan,
yakni dari fungsi religius ke profan. Adapaun fungsi utama rekaman pertunjukan
Wayang Kulit "Cenk Blonk" adalah sebagai hiburan (Seni balih-hulihan).
Tampilnya Wayang Kulit "Cenk Blonk" dalam rekaman dapat mengaerahkan kembali
seni pewayangan di era teknologi modern dan berdampak pada semakin kuat dan
meningkatkan eksistensi wayang kulit yang dikhawatirkan akan di tinggal pendukungnya.
23
Sosialisasi Mitigasi Bencana lewat
Wayang "Cenk Blonk" Denpasar,
Cenk Blonk merupakan pertunjukan wayang yang sangat digemari banyak kalangan.
Gaya penyampaian yang penuh jenaka menjadikan wayang yang di dalangi I Wayan
sebelumnya materi wayang lebih ke arah hiburan, kini sudah dimasuki muatan-muatan
sosialisasi, seperti penyuluhan narkoba, HIV/AIDS dan Rabu (25/7) nanti tentang Mitigasi
Bencana. Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar Ir. Nengah Udiarsa MSi
menyatakan, dipilihnya Wayang Cenk Blonk untuk media sosialisasi mitigasi
bencana mengingat daya tarik dan kepiawaian dalang Nardayana mengemas pesan. "Kita
harapkan melalui media yang tengah digemari masyarakat mi, pesan-pesan dapat lebih
mudah dipahami. Apalagi bahasa yang dipergunakan adalah bahasa sehari-hari.
Berdasarkan pengalaman, pendekatan melalui kesenian tradisional selama ini lebih mudah
diterima masyarakat," ujarnya. (gus)
I Wayan "Cenk Blonk" Nardayana
Saya Ingin Wayang Jadi Hiburan Favorit
Jika mendengar nama dalang I Wayan Nardayana, kening Anda pasti berkerut, siapakah
dia? Tetapi kalau mendengar nama Cenk Blonk, pastilah langsung ingatan Anda melayang
pada pertunjukan wayang yang sangat digemari banyak kalangan. Wayang Cenk Blonk
memang tengah naik daun, namun tahukah Anda bahwa perjalanan suksesnya tidak
gampang? Dalang laris yang tengah mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia
24
(STSI) Denpasar ini pernah bekerja sebagai tukang parkir di swalayan Tiara Dewata.
Namun demikian ia tetap mengasah kemampuannya dalam mendalang. la mengakui
bahwa lakon wayang yang dibawakan dulunya lebih banyak yang ngomong jorok,
namun sekarang ia berusaha memasukkan banyak tuntunan pada masyarakat. Lantas,
mengapa dalang yang berpentas sedikitnya 20 kali per bulan ini menolak
didokumentasikan pementasannya? Tetapi, mengapa ia justru bangga banyak dalang
yang menirunya? Berikut wawancara Bali Post dengan dalang Cenk Blonk. Hasil
wawancara ini juga disiarkan Radio Global 99,15 FM, Sabtu (28/6) kemarin.
MENGAPA Anda memakai nama Cenk Blonk?
Dalam pewayangan ada beberapa tokoh punakawan yang namanya Nang
Klenceng, Nang Ceblong, Nang Ligir, Nang Semangat dan sebagainya. Tokoh-tokoh itu
sudah dikenal masyarakat. Pada mulanya, nama wayang saya bukan Cenk Blonk, namun
Gitaloka. Makanya setiap pementasan saya cantumkan di kelir nama "Wayang Gitaloka
dari Belayu". Setiap pentas saya menampilkan dua tokoh itu, Nang Kleceng clan Nang
Ceblong selain Tualen, Merdah, Sangut dan Delem. Tetapi setiap pentas, tidak ada orang
yang menyebut nama pertunjukan saya Wayang Gitaloka. Waktu pentas di Jempayah,
Mengwitani, saat saya masih duduk di mobil dan ada penonton yang bertanya pada
temannya, "Wayang apa yang pentas?" Temannya menjawab, "Wayang Cenk Blonk."
Saya kaget, lho saya kok dibilang Wayang Cenk Blonk? Padahal nama wayang saya
Wayang Kulit Gitaloka. Mungkin bagi masyarakat nama itu lebih gampang. Maka
akhirnya saya ubah nama Gitaloka
25
menjadi Wayang Kulit Cenk Blonk, di kelir saya isi dengan gambar Cenk Blonk,
lalu saya beri tulisan Cenk Blonk. Cenk saya ambil dari nama Nang Klenceng dan
Blonk dari Nang Ceblong.
Anda banyak berimprovisasi dalam pewayangan yang tidak lazim di Bali, mengapa?
Suatu kesenian menurut saya tidak boleh kaku, diam, sementara zaman bergelinding
terus. Jadi, suatu kesenian harus mengikuti zamannya. Saya melirik apa yang disenangi
penonton saat ini. Kita tahu, fungsi wayang sebagal wali, tuntunan dan tontonan.
Sebagai tontonan harus bisa menarik dan menghibur masyarakat. Bagaimana dalang bisa
memberikan tuntunan pada masyarakat, sementara penontonnya enggak suka. Sekarang
kebanyakan orang stres dengan pekerjaannya, jadi mereka menonton itu untuk mencari
hiburan atau menghilangkan kepenatan sehingga banyak lelucon yang saya tampilkan.
Setelah saya kuliah di STSI Denpasar, saya diingatkan terus-menerus bahwa wayang itu
sebagai tontonan dan tuntunan, sehingga saya berusaha mengembalikan ke fungsi semula
yaitu tuntunan. Saya melucu tetap melucu namun leluconnya saya isi dengan muatan-
muatan agama, politik, ekonomi dan sebagainya. Ini mungkin yang membuat kita
semakin eksis.
Dari mana dan bagaimana proses mendapatkan ide pementasan?
Ide-ide itu muncul dari baca buku, koran, banyak bergaul dan banyak bertanya.
Dar] percakapan sehari-hari dengan tidak sengaja kita mendapatkan suatu poin atau
ide. Saya tidak menutup din bahwa saya pun meniru dalang-dalang yang lain.
Misalnya dalang favorit saya IB Ngurah (alm) dari Buduk, dalang Jagra dan
26
Bongkasa, ada beberapa dialognya yang saya tiru namun tidak jiplak begitu saja,
saya kembangkan sesuai dengan kemampuan saya.
Apa resep yang bisa diterapkan agar wayang semakin menarik?
Saya kembalikan pada saya sendiri. Wayang beberapa tahun yang lalu hanya ditonton
orang-orang dewasa atau orang tua. Lalu saya berpikir, bagaimana caranya agar wayang
itu menarik untuk anak-anak remaja, makanya saya cari apa yang disenangi remaja tanpa
lepas dan normanonna. Melucu boleh, namun ada aturannya. Perlu diketahui, membuat
lelucon lebih sulit daripada membuat filsafat. Membuat filsafat bisa kita dapatkan dan
membaca buku, lalu kita tulis dan hafalkan. Tetapi membuat lelucon? Bisa saja kita
tulis lalu kita bacakan, lantas apakah penonton mau tertawa? Makanya saya mengimbau
kepada dalang-dalang agar terus mengasah din, terjun ke masyarakat dan mencari tahu
apa yang mereka sukai dan apa yang diingini. Kesenian bukan untuk din sendiri sang
seniman, namun hasil karyanya untuk orang lain.
Bagaimana suatu kesenian itu bisa dikatakan bagus kalau yang nonton tidak ada?
Mengapa Anda kuliah di STSI? Denpasar?
Setelah laris seperti sekarang, bagi seniman, ini adalah tantangan. Kita tidak boleh
berdiam diri atau berbangga din sebab penonton punya rasa bosan. Untuk mengantisipasi
ini, saya terus mengasah diri. Setelah kuliah di STSI Denpasar saya dapat rasakan
bergaul dengan seniman-seniman, dengan dosen yang tahu tentang wayang. Akan
semakin terbuka wawasan kita untuk memandang bagaimana wayang itu agar dapat
kita kembangkan sejauh kemampuan kita. Sebelumnya saya tidak punya guru khusus
27
mendalang. Selain itu, sebelum kita kembangkan harus tahu dasar-dasar tradisinya,
barulah kita akan melangkah pada pengembangan.
Apa ilmu yang dapat Anda terapkan dari kuliah di STSI?
Seperti yang sering penonton lihat, artistik kelir itu saya dapatkan dari STSI.
Pengaruhnya memang banyak dari Jawa, namun saya transfer dengan gaya Bali. Ada
tambahan sinden. Sebelum kuliah, wacana leluconnya pasti agak norak atau porno,
namun sekarang saya berusaha terus-menerus untuk menekan hal-hal seperti itu. Rasa
tidak puas mendapatkan kuliah pasti ada. Itulah sebabnya saya sering bertanya pada dosen
baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Bagaimana awalnya Anda mendalang?
Saya tamat SMA tidak punya pekerjaan. Ekonomi morat-marit. Saya tidak punya
keterampilan sehingga melakoni pekerjaan apa saja, termasuk sebagai tukang parkir.
Namun saya terus berpikir, apakah kehidupan saya akan terus begini? Saya masih
mencari jati diri, itulah sebabnya saya kuliah di IHD (Institut Hindu Dharma, red), namun
terbentur dengan biaya. Akhirnya terpaksa berhenti dan menikah.
Pekerjaan dalang ini sudah saya tekuni. Namun demikian, saat itu pentasnya tidak
tentu. Kalau ada orang yang meminta saya mendalang barulah pentas, enam bulan
belum tentu. Saya lakoni sebagai tukang parkir sambil melirik peluang pekerjaan lain.
Saya rasakan payah sekali waktu itu, sebab dari Blayu ke Gemeh, Denpasar, saya
pulang-perginya naik sepeda gayung. Tetapi waktu itu perasaan sakit atau kurang sehat
tidak pernah saya rasakan. Mungkin karena sering olah raga. Enggak seperti sekarang
28
sakit-sakitan. Setelah saya kawin, entah bagaimana, pekerjaan mendalang itu mulai laris.
Awalnya saya pentas di Blahkiuh, lalu merembet ke Abiansemal dan seterusnya. Jadi
cerita tentang pementasan wayang saya dan mulut ke mulut, akhirnya banyak sekali
orang yang meminta saya pentas.
Sebelum laris mendalang, seperti apa perangkat wayang yang Anda miliki?
Saya tidak punya warisan wayang dari leluhur. Tetapi sejak kecil saya suka mengukir
dan menggambar. Saya bikin wayang sendiri. Awalnya saya punya 20 buah wayang dan
di-pelaspas di pura. Saya di-winten jro mangku, maka saya sah jadi dalang. Sambil
jalan saya bikin lagi dan kalau punya uang saya beli wayang. Hingga sekarang saya
masih membuat wayang sendiri. Saya punya satu gedog wayang untuk koleksi. Saya belum
pernah terima pesanan wayang. Tetapi kalau dipesan untuk bikin wayang, saya enggak
sanggup, enggak sempat.
Setelah laris, Anda justru membatasi pementasan, mengapa?
Pertama, untuk kesehatan. Sebab pekerjaan dalang banyak begadang. Kalori untuk
begadang lebih banyak dikeluarkan. Di samping itu, untuk menjaga agar penonton tidak
bosan. Semakin sering kita pentas, penonton akan semakin cepat bosan. Sebab kita
akui, sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Bagaimana kita setiap malam
bisa memuaskan penonton? Sementara penonton terus menginginkan hal-hal yang baru. Kita
belum tentu mendapatkan hal-hal baru. Sekitar dua tahun yang lalu saya pernah tifus dan
opname 10 hari, lalu saya mengaso satu bulan. Ada yang bilang kalau dalang Cenk Blonk
29
sudah meninggal. Itu namanya gosip, namanya juga seniman atau selebritis kan biasa
diisukan, ha, ha, ha...
Seberapa banyak Anda pentas dalam satu hari?
Kalau dulu saya pernah pentas satu malam dua kali. Misalnya pukul 20.00
sampai 22.30 wita, lalu sisanya ke tempat lain. Karena orang senang, maka jam
berapa pun orang akan menunggu. Sekarang saya enggak mau seperti itu, semalam
hanya pentas sekali saja. Sebab persiapan untuk pentas satu kali itu lama sekali. Selain
itu, sekarang saya bekerja sama dengan sanggar. Personelnya berasal dari desa-desa yang
jauh. Biasanya, personel kami 30 orang termasuk penabuh, gerong, dan pendamping-
pendamping saya. Normalnya, kami mulai pentas pukul 21.00 wita, pukul 19.00 sudah
sampai di tempat.
Apakah ada pesan-pesan yang diselipkan penanggap wayang Anda?
Itu tidak tentu. Kalau penanggapnya ingin memasukkan pesan dalam pertunjukan
wayang, biasanya disampaikan jauh jauh hari saat ia pesan untuk pementasan. Lebih
banyak diserahkan pada kreasi kami. Biasanya saya pentas dalam rangka upacara,
misalnya upacara manusia yadnya atau dewa yadnya.
Usia Anda masih muda, namun seakan sudah jadi dalang senior, bagaimana perasaan
Anda?
Maaf, saya bukan merasa diri senior. Saya masih tetap belajar. Sejak umur
delapan tahun saya sudah mulai belajar mendalang. Saya pakai wayang kertas atau
30
wayang karton. Di desa kami ngumpul delapan orang lalu membuat satu grup gamelan
wayang yang diiringi tingklik Hampir setiap malam pentas. Kalau ada orang ngotonan,
kami diminta pentas dengan alat sederhana, kelir seadanya dan wayangnya dari karton
serta gedog-nya dari triplek. Saat kenaikan kelas, rapor saya semuanya merah. Lalu
orangtua saya marah. Wayangnya dibakar. Orang tua saya petani dan beliau
menginginkan saya jadi pegawal. Tetapi saya tidak berkeinginan seperti itu. Sebelum
mendalang saya juga punya grup drama gong yang sering juga pentas.
Setamat SMA, saya belum juga serius mendalang. Lalu ada tukang topeng, I
Gusti Ketut Putra yang mengajak saya untuk gabung dengan sekaa topengnya. Sampai
sekarang pun saya masih punya topeng satu set. Kalau ada yang minta menari topeng
Sidakarya, saya ladeni. Kalau di luar desa saya tidak mau, karena saya eksis di
pedalangan.
Bagaimana pengalaman Anda nonton wayang waktu anak-anak?
Sejak kecil saya senang sekali melihat dalang memainkan wayang. Saya enggak
senang melihat bayangannya dari depan, tetapi saya suka lihat dari belakang. Di
samping itu, ketika dalang itu datang, ia sangat dihormati sekali. Melihat itu saya
kagum, "Wah enak sekali jadi dalang, saya ingin seperti itu." Waktu saya kecil
kesenian wayang ini sangat favorit. DI desa saya ada wayang Pan Yusa yang sering
ditanggap, setiap pementasannya saya menonton.
Anda ingin mengembangkan wayang seperti apa?
31
Saya ingin suatu saat wayang Bali menjadi hiburan yang favorit seperti konser-konser
musik pop Bali sekarang. Makanya, saya terus melakukan pembenahan baik di bidang
manajemen, dengan sanggar, dalam cerita, wacana, teknik-teknik mendalang terus saya
asah. Saya berharap, dalang-dalang yang lain juga melakukan hal itu. Jadi terus
mengasah din agar wayang menjadi hiburan yang favorit. Saya memang belum
berkolaborasi dengan penyanyi pop Bali, walaupun seperti di Jawa ada yang namanya
wayang campur sari. Kita tetap pada inti wayang kulit, namun kita tetap menyelidiki, apa
yang disenangi masyarakat, apa yang harus dibenahi dengan tidak menghilangkan akar-
akar tradisi.
Menurut Anda, pakem wayang itu apa?
Misalnya pakem Sukawati, sebelum ada pakem itu apakah sebelumnya tidak ada
pakem wayang sebelumnya? Bentuknya lain, masyarakat tidak puas, lalu dikembangkan
lagi seperti yang kita temukan di Buduk. Seniman tidak puas, la kembangkan lagi, la ingin
punya ciri tersendiri. Jadi kita keluar dari pakem yang mana? Saya juga punya pakem.
Pakem di Buleleng beda dengan Gianyar, juga beda dengan Buduk. Saya buat pakem
sendiri, syukur kalau ditiru orang lain. Sekarang saya lihat di kelir-kelir itu sudah
banyak diisi tulisan. Gambar kayak Cenk Blonk sudah banyak sekali ditiru, lalu
muncul dengan nama Co Blank, Ce Klin. Kita mendalang bukan menantang hal itu, yang
penting mendalang, itu saja!
Ritual yang dilakukan apa?
32
Dalam pedalangan ada kitab Dharma Pewayangan untuk aturan dalang. Dalang juga
memiliki pantangan, misalnya jangan makan jejeron. Dari segi medis, jejeron itu panas,
karena kita duduk. Kalau dari segi ilmu pewayangan, jejeron merupakan tempat-tempat
wayang itu berada di dalam diri kita. Untuk protein saya mengkonsumsi kacang, tahu, dan
tempe. Saya suka jalan-jalan supaya keluar keringat. Yang pasti pikiran jangan stres
sebab penyakit berasal dari pikiran.
• Pewawancara: Asti Musman
WAYANG CENGBLONK
Wayang, kesenian tradisional dahulu mungkin akan membosankan jika ditonton
remaja. Sedari aku kecil, sangat jarang pertunjukan wayang bisa menyedot ratusan
penonton yang antusias. Paling hanya Wayang Lemah (Wayang yang dipentaskan
slang hari), sedikit menghias upacara-upacara kecil, yang penontonnya mungkin lebih
tertarik pada gadis-gadis yang bersliweran lewat membawa nampan berisi kopi dan
Camilan. Namun kini Wayang di Bali, telah mulai bangkit dengan begitu banyak kreasinya.
Menyedot perhatian penonton tua muda hingga anak kecilpun antusias menanti, kapan
pertunjukan akan diadakan. Bahkan tak jarang, tanpa pamflet yang ditempelpun, informasi
begitu cepat menyebar dari kuping masyarakat yang memang menantikan hiburan ditengah
krisis Indonesia berkepanjangan. Cenk Blonk Belayu, pertama kali aku kenal dari seorang teman
kerja, Ramaita, yang iseng membeli VCD Original 2 keping, kalo gak salah, tahun 2002, dan tak
bosan-bosan kami tonton saat istirahat, maupun hanya didengar suaranya saja, saat asyik
bekerja, lantas mulai ditularkan pada sanak sodara hingga dibuatkan kopiannya dan dikirim ke
33
Kanada, untuk kakak yang bersekolah disana. Keluar dari pakem yang ada, menciptakan 2
penokohan baru, kalo tidak salah, Nang Ncenk dan nang Eblonk, yang selalu keluar tampil
menjelang berakhirnya cerita. Hingga kini sudah 3 vcd originalnya yang beredar plus I vcd
bajakan benar-benar menciptakan hiburan yang baru dimata masyarakat, yang mulai sering
dipentaskan saat upacara-upacara besar di Pura maupun ditempat-tempat pertunjukan. Tidak
salah jika kini banyak dalang-dalang yang latah, ikut-ikutan berusaha untuk eksis, seperti
Wayang Joblar, namun bagiku pribadi, sangat disayangkan bahwa baik cerita maupun banyolan
yang dibawakan sangat vulgar dan kasar, bahkan terkesan memaksa. Tidak heran kalau para
peniru ini tidak berumur panjang. Ceng Blonk sampai hari ini, bagi kami pribadi lingkungan
rumah, makin bertambah saja penggemarnya. Anak-anak kecil keponakan kami, bahkan mulai
merayu Bapak maupun Kakek mereka untuk dibuatkan Wayang dari karton maupun kertas
manila, untuk kemudian berandai menjadi Dalang layaknya Cenk Blonk Belayu. Yang
lebih membuatku tersenyum, walaupun dalam hati, Istriku bahkan mulai ikut menyukai
walau hanya baru sebatas mendengarkan banyolannya saja, yang iseng-iseng aku
potong dan kumpulkan, hanya pada bagian lawakannya saja -Sangut Delem dan tokoh
Cenk Blonk. Ini terjadi, lantaran Om dari Istri baru sebulan ini resmi menjadi Dalang
baru didesanya. Semoga saja, apa yang telah dirintis oleh Cenk Blonk, benar-benar
dapat membangkitkan Dalang-dalang baru yang tentunya diharapkan tanpa menjadi
penjiplak, apa yang telah dilakukan Cenk Blonk sebelumnya.
Cenk Blonk, Wayang Lima Ribu Penonton
Ketika ribuan penggemar bola nonton tayangan Piala Dunia di layar televisi beberapa
waktu lalu, ribuan masyarakat Bali justru berjubel di depan layar wayang. Lho? Ya,
34
sebuah pementasan wayang kulit Bali yang disaksikan bak tontonan sepak bola baru kali
itu terjadi sepanjang sejarah. Ini adalah peristiwa fenornenal, di tengah kian lesunya minat
masyarakat Bali pada umumnya menonton wayang. Membludaknya penonton wayang di
forum Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-28 itu sungguh fantastis.
Panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar, yang berkapasitas lima ribu
penonton itu penuh sesak. Tua-muda, pria-wanita, dengan membeli tiket berduyun-duyun
datang untuk dapat menyaksikan pertunjukan yang dimulai pukul 21.00 wita itu. Penonton
yang tak dapat tempat duduk terpaksa merangsek ke belakang dalang. Tembok dan
pepohonan pun dipanjat penonton untuk dapat menyaksikan pertunjukan itu.
Itulah pentas wayang oleh dalang yang sedang naik daun, I Wayan Nardayana.
Wayang ini populer dengan sebutan Cenk Blonk (baca: Cengblong). Nama ini adalah
pemberian para penonton, karena dalam pementasan wayangnya, dalang asal Belayu,
Tabanan, ini hadir dengan dua karakter tokoh rakyat yaitu Nang Klenceng dan Pan Eblong
yang dalam penampilannya selalu mengundang perhatian penonton dengan celetukan-
celetukannya nan kocak menggelitik. Dua tokoh tambahan yang hanya ada dalam wayang
kulit daerah Tabanan ini lalu jadi merek khusus Nardayana. Pada bagian atas layar
wayangnya ditulisi "Cenk Blonk". Pun pada kaca depan kendaraan yang membawa
rombongannya pentas keliling Bali sejak sekitar tiga tahun terakhir ini.
Sangat jarang dijumpai dalang wayang kulit di Bali yang diundang pentas secara
lintas daerah. Biasanya, masing-masing wilayah di Bali hanya mementaskan wayang
yang dibawakan oleh dalang dari desa atau kabupatennya sendiri. Namun kini, wayang ala
Nardayana hampir bisa diterima di seluruh Bali. Lantas, mengapa wayang Cenk Blonk
mampu menyihir penonton?
35
Nardayana berani tampil beda. Pemanggungan wayang kulit Bali yang bersahaja
ditinggalkannya. Panggung pentas Cenk Blonk dibuat megah, semacam gapura yang
berukir ornamen meriah khas Bali. Sementara para dalang Bali lainnya masih
memakai lampu blencong, Nardayana sudah memakai lampu listrik warna-warni.
Sejak kuliah di Jurusan Pedalangan, Instutut Seni Indonesia (ISI) Denpasar tiga tahun lalu,
dalang yang pernah jadi satpam pasar swalayan ini mulai memakai ensambel gamelan
semarapagulingan lengkap yang dimainkan puluhan pengerawit. Alunan tembang koor
vokalis wanita (sinden di Jawa) kin] juga selalu menyertai pentas Nardayana.
Berbagai terobosannya itu sesungguhnya dibekali dengan kemampuan mendalang
yang sudah mapan. Sebelum berinovasi, Nardayana sudah dikenal laris, khususnya di
lingkungan Tabanan dan Bali Selatan khususnya. Dalang yang sempat belajar sabetan
hingga ke Jawa Tengah ini memiliki teknik permainan wayang yang komplet. Olah
vokalnya lentur dan matang. Wawasannya terhadap sastra tradisional Bali cukup
memadai dan interpretasinya terhadap sumber cerita Mahabharata dan Ramayana sarat
dengan imaji yang kreatif.
Malam itu, di tengah kepungan ribuan penonton, Nardayana mengetengahkan lakon
"Kumbakarna Lina" yang bergulir lebih dan tiga jam. Struktur dramatiknya dimulai
dengan adu argumentasi kakakberadik Rahwana dan Kumbakarna. Di sini, misalnya,
tampak kepekaan Nardayana mengkontekstualisasikan tema-tema kekinian dalam
bangunan gaya berkisahnya yang memikat.
Urgennya rasa cinta Tanah Air di era global ini digedor-gedornya. Sikap kepahlawanan
yang aji mumpung diolok-oloknya. Tentang para pemimpin yang rakus kekuasaan
diobok-oboknya. Dua punakawan, Delem dan Sangut, saat memberi ilustrasi retorika
36
terjemahan bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno) tokoh Rahwana dan Kumbakarna,
diartikulasikannya secara jenaka, mengena, usil, dan mengetuk relungrelung moral.
Semangat penjelajahannya menangkap berbagal persoalan sosial dan fenomena
kehidupan yang kemudian diolah menurut versinya inilah yang menjadi keunggulan
Nardayana. Ia tak hanya menggali bahan-bahan itu dari peristiwa hangat kekinian, namun
menyuruk dalam-dalam ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kebanyakan di
sekelilingnya. Kearifan-kearifan lokal diadopsi dan dikais-kaisnya yang direlasikan atau
dikonfrontasikannya dengan pandangan kekinian. Olah pikir dan kreativitasnya itu ia
representasikan pada tokoh-tokoh punakawan seperti Delem, Sangut, Malem, dan
Merdah, atau pada dua maskotnya, Ceng clan Blong.
Struktur dramatik wayang Wit Bali tak mengenal adegan goro-goro seperti halnya
wayang Jawa. Kendati tak disajikan secara khusus, adegan semacam itu mengalir dalam
untaian cerita. Topik yang dimunculkan tak begitu jauh melenceng dari lakonnya. Dalang
Nardayana tampak mahir mengayun penonton dalam hal ini. Gelak tawa dan tepuk tangan
bergemuruh mewarnai penampilan tokoh Ceng dan Blong yang berinteraksi dengan
empat punakawan tadi. Kepiawaian Nardayana mengungkapkan mated dalam
konsistensi karakter warna suara dari tokoh-tokoh yang dimainkannya itu mengagumkan.
Pada bagian akhir pentas ini, anehnya, menonton hampir secara berbarengan
menggeliat bubar. Kematian tragis Kumbakarna tak dihiraukan penonton lagi, padahal
bagian inilah intinya. Simpul nilainilai kepahlawan yang dilontarkan sang dalang menguap
dalam keriuhan penonton yang beranjak pulang. Ini artinya apa? Ini artinya, mungkin,
penonton hanya membutuhkan hiburannya dan bukan nilai tuntunannya.
37
Di tengah popularitasnya yang sedang meroket, Nardayana kiranya punya peluang
besar memberikan pencerahan budi kepada masyarakat penonton dengan kiat sajian
berimbang antara porsi hiburannya dengan nilai-nilai ideal seperti keapikan binar
estetiknya, persuasi muatan etiknya, dan pengayaar cakrawala bobot dialektika
pemikirannya, untuk merehabilitasi selera instan dan budaya manja masyarakat penonton.
Para dalang, di Jawa dan Bali, dulu memiliki idealisme mulia seperti itu dan
kontribusinya pernah dijadikan acuan teladan dan panutan karismatik masyarakat.
Fenomena wayang Cenk Blonk belakangan memang sedang dikunyah-kunyah nikmat
oleh masyarakat Bali. Tarif per pentasnya yang sudah sebesar Rp 7 juta (wayang kulit
Bali umumnya hanya diupah Rp 1-2 juta) tak mengurungkan niat masyarakat untuk
mengundangnya. Alhasil, tiap bulan Nardayana hanya berkesempatan libur tak lebih dari
seminggu. Permintaan pentas mulai klan deras sejak VCD pentas wayangnya
dikomersialkan dengan harga murah meriah. Untuk sementara, dampak peredaran VCD itu
menguntungkan dan menjadi media promosi secara tidak langsung.
Jika saja Nardayana tetap konsisten menyalakan api kreativitasnya, mungkin ia tak
akan kehilangan penonton seperti yang pernah dialami Grup Arja Cowok yang begitu cepat
terkenal pada 1990-an tapi tak lama kemudian terj ungkal, ditengarai karena sebuah lakon
favoritnya ditayangkan sebuah televisi lokal di Bali. Sebelumnya, pada tahun 1970-an,
Topeng Carangsari dengan bintangnya I Gusti Ngurah Windia, juga sempat merengkuh
popularitas yang menjulang tapi kemudian disungkurkan oleh perekam gelap yang tanpa
izin memperbanyak dan menjual pita kaset rekaman pementasan topengnya yang
materinya sama dengan yang biasanya disajikan grupnya di tengah masyarakat.
38
Namun, tiga volume rekaman VCD komersial Nardayana yang kini banyak dikoleksi
masyarakat penggemarnya, "Diah Ratna Takesi", "Katundung Anggada", dan "Rudra
Murthi" agaknya belum mengusik pamor Wayang Cenk Blonk. Justru ia melesat bak meteor,
sendiri, tanpa saingan, tanpa tandingan.
kadek suartaya
Wayang, Cermin Kehidupan
Wayang sebagai pertunjukan seni teater komplek yang memadukan keselarasan gerak
tari, musik, vokal, lukis, dan sastra secara filosofi merupakan cermin prilaku kehidupan.
Semua karakter kehidupan - manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan - ada di sana. Menurut
Dewa Wicaksana, Ketua Jurusan Pedalangan 1SI Denpasar, sampai saat ini belum ada yang
mengetahui kapan wayang itu lahir. Ada yang mengatakan, wayang berasal dari India
karena dikuatkan dengan cerita yang diambil dari Epos Ramayana dan Mahaberata.
Namun, secara etimologi kata wa-yang serta aparatus lainnya seperti damar wayang,
kelir, cepala, keropak, blencong, gedebong terdapat di dalam bahasa Jawa Kuno.
Wayang diperkirakan sudah ada sebelum masehi, jauh sebelum masuknya berbagai
pengaruh kebudayaan luar. Dulu, wayang bentuknya sederhana yang dipertunjukkan
pada malam hari sebagai sebuah persembahan kepada leluhur. Bahkan kesenian wayang
ini dulu hanya dimainkan oleh Saman (seorang ahli yang mampu berkomunikasi dengan
leluhur). Setelah masuknya budaya Hindu yang kebetulan memiliki persamaan budaya,
wayang rnulai mengarah kepada seni pertunjukan dengan menggandeng berbagai jenis
cerita. "Di Indonesia, wayang Bali diperkirakan tertua. Hal itu dibuktikan dengan adanya
39
relief berwujud wayang yang bentuknya persis wayang Bali di Candi Penataran,
Jawa Timur," katanya. Meski sebagai seni pertunjukan yang populer di mata masyarakat,
tidak gampang menjadi seorang dalang. Di samping memerlukan konsentrasi tinggi dan
stamina yang fit, seseorang dalang dituntut juga menguasai bahasa kawi, mecepala,
memainkan dan menyuarakan masing-masing karakter dari pada tokoh wayang. "Paling
tidak, dalang harus mengetahui rasa seni musik, tari dan mengetahui sastra,"
lanjutnya. Kesenian wayang dalam perjalanannya hingga kini, selain sebagai pertunjukan
seni wall (pelengkap upacara), juga sebagai bebali (penunjang upacara), dan balih-
balihan (hiburan). Menjadi seorang dalang dalam tradisi masyarakat Bali tidak gampang.
Pertama-tama harus melakukan penyucian diri lewat pewintenan dan mesakapan (kawin)
dengan wayang dengan tujuan menyatukan wayang dan dalang sehingga dalam setiap
pertunjukannya muncul taksu (inner power) wayang sesungguhnya. Proses ritual itu juga
sebagai tanda bahwa dalang berfungsi sebagai pandita bergelar Jero Dalang yang
bertugas untukmembuat tirta (air suci). Sebagai Wall, kesenian ini dapat dikategorikan
menjadi tiga: wayang lemah, Wayang Sapu Leger dan Wayang Sudamala. Wayang
lemah dipentaskan sebagai pelengkap upacara (Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa
Yadnya, Pitra Yadanya, Bhuta Yad-nya) yang lebih menekankan pada sebuah
persembahan. Wayang lemah dipertunjukkan siang hari dan cerita yang diangkat
disesuaikan dengan jenis upacara yang digelar. Wayang Sapu Leger dan Wayang Sudamala
merupakan pertunjukan wayang Wit biasa yang digelar malam hari. Namun, dalam
pentasnya khusus untuk meruwat anak yang lahir pada tumpek wayang sehingga
mengangkat cerita dan memakal banten yang khusus pula. Pertunjukan Wayang Sapu
Leger biasanya mengambil kisah Dewa Kala atau Siwa Rare Kumara. Sedang Wayang
40
Sudamala, memakai cerita Durga yang diruwat oleh Sahadewa. Menurut I Nyoman
Sumandhi, sebelum tahun 60-an pertunjukan wayang sudah banyak mengarah pada dunia
hiburan. Misalnya, kehadiran Wayang Buduk dengan dalang 113 Ngurah. DI samping
sarat dengan filsafat, dipadukan de-ngan unsur-unsur modem yang bersifat kekinian. DI
sisi lain pertunjukan wayang ini juga menampilkan banyolan sehingga sibuk meladeni
penanggap. Demikian pula Dalang Jagra dari Bongkasa yang khas dengan Wa-yang
Ramayana dan Wayang Bangli khas dengan lelucun dan tafsiran nomer lotre (buntut).
Perkembangan kemudian, muncul Wayang Aria dan Wayang Tantri dengan binatang
sebagai tokoh sentral, serta Wayang Wakul yang memasukkan unsur modem se-perti ada
kapal udara dan robot ke dalam tokoh-tokohnya,. DI tahun 90-an dikejutkan dengan
munculnya wayang Cenk Blonk yang sangat inovatif.
Dalam pentasnya, diiringi oleh puluhan pendukung serta berbagai elemen gamelan Bali.
Menjadi khas adalah dua tokoh punakawan Cenk dan Blonk yang secara kocak
melontarkan keadaan masa kini. Estetika betul-betul menjadi kebutuhan utama sehingga
lampu, soundsystem, dan efek suara alam betul-betul ditata. Wajarlah dalam belasan tahun
terakhir ini, Cenk Blonk menjadi pertunjukan wayang terlaris di Bali. Sebab, untuk bisa
menanggap harus memesan 5 - 9 bulan sebelumnya dan upahnya berkisar antara Rp 8
hingga Rp 9 juta.(BTN/015)
Wayang Gaul Munculkan Minat Masyarakat
Denpasar - Tak dipungkiri, saat ini pentas kesenian tradisional seperti wayang sudah
kurang diminati masyarakat, terutama kaum muda. Justru sebaliknya, pementasan wayang
41
banyak disenangi masyarakat di mancanegara. Tak pelak muncul rasa khawatir bahwa
kesenian tradisional wayang terancam punah. Bagaimana dengan kegairahan
masyarakat Bali menonton pertunjukan wayang kulit? Menurut budayawan Dr I Nyoman
Catra, la menangkap adanya fenomena menggembirakan di mana pentas wayang kulit
kembali "diburu" masyarakat di Bali. Salah satunya, wayang Cenk Blonk yang
"kemasannya" dinilai sangat gaul, tapi tidak keluar dari pakem pertunjukan wayang
tradisi. "Saya melihat masyarakat kita kembali bergairah menonton wayang. Lebih-lebih
dengan dimasukkan unsur-unsur teknologi ke dalam seni pertunjukan wayang, ini
sebuah babak awal yang positif untuk menggairahkan kembali kesenian ini," katanya,
beberapa waktu lalu di Denpasar. Agar sebuah seni pertunjukan bisa tetap bertahan
dan tidak ditinggalkan penonton, menurutnya, seniman dituntut senantiasa kreatif untuk
melahirkan karya-karya segar. Begitu pula dengan kesenian wayang, kreativitas itu
tidak boleh bergerak stagnan sehingga pertunjukan wayang kulit itu tak pernah
menjemukan untuk ditonton. "Kuncinya kembali kepada kreativitas. Saya optimistis,
kreativitas-kreativitas baru dari para seniman akan terus bermunculan, sehingga
pertunjukan wayang kulit itu tidak akan pernah ditinggalkan masyarakat," tuturnya.
Kendati ide-ide segar terus bermunculan, Catra mengaku optimistis seni pertunjukan
wayang konvensional tidak akan pernah mati. Alasannya, kesenian wayang
(konvensional-red) di Bali juga melekat dengan prosesi upacara keagamaan.
Misalnya, dijadikan sarana panglukatan bagi generasi Bali yang lahir pada wuku Wayang
yang dikenal dengan Wayang Sapuleger. "Ketika wayang sudah akrab dengan teknologi
canggih, wayang konvensional pun tidak serta-merta boleh dibunuh atau dihilangkan, tapi
tetap bertahan karena seni wayang di Bali juga merupakan seni persembahan. Ketika kita
42
menggelar upacara Nyapuleger, jelas kita tak mungkin menggunakan wayang listrik
ataupun wayang multimedia. Jadi, wayang konvensional itu tetap akan bertahan selama
manusia Bali masih memeluk agama Hindu," paparnya. (cinta malem ginting) Copyright
© Sinar Harapan 2003
2.1.2 Wawancara
Wayang Ceng Blonk, lahir pada tahun 1990-an yang di ciptakan oleh I Wayan
nardayana. Beliau merubah citra wayang yang ada selama ini. Dengan menyisipkan pesan
sosial di setiap penampilannya seperti penyuluhan narkoba, HIV/AIDS, sampai
penanggulangan bencana serta membahas agama, politik, dan ekonomi. Selain itu Wayang
Ceng Blonk juga disesuaikan dengan perkembangan jaman yang semakin modem.
Pennainan Dalang penuh dengan humor sangat membantu keberadaan wayang ini. Apalagi
wayang mempunyai fungsi sebagai wall, tuntunan, dan tontonan. Sehingga dengan
menyertakan humor yang kucu, maka diharapkan fungsi dari wayang tersebut terlaksana
dengan baik. Oleh karena itu wayang ini di nilai sangatlah komunikatif untuk
menyampaikan pesan tersebut.
Nama dari wayang Ceng Blonk tersebut merupakan kependekan dari karakter yang
digunakan, yaitu Nang Klenceng dan Nang Ceblonk. Penggabungan kedua nama karakter
tersebut yang digabungkan, sehingga tercipta Wayang Ceng Blonk.
43
2.2 Target Komunikasi
• Behavior : suka akan budaya
• Psikografi : Masih mudah diyakinkan, memiliki rasa ingin tahu yang besar,
• Demografi : Remaja sampai Dewasa, umur 20-25 tahun, kelas ekonomi A & B
Geografi : modern, domisili di kota besar
2.3 Anlisa SWOT
Analisa S.W.O.T ini dibuat berdasarkan literature dan data yang diperoleh serta hasil
pengamatan langsung.
Strength
Pertunjukan Wayang menarik dengan permainan tata cahaya clan suara.
Weakness
Memerlukan perhatian yang lebih agar para remaja sampai dewasa dapat menerima dan
menyaksikan film semi-dokumenter wayang ini.
Opprtunity
Remaja sampai dewasa suka sesuatu hal yang lucu
Threat
Remaja sampai Dewasa suka menganggap wayang adalah hal yang kuno.