BAB 2 Baru Sekali

99
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini memaparkan teori dan konsep yang terkait dengan masalah penelitian, sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini tentang cedera kepala, terapi oksigen, motivasi , lingkungan kerja, Kompetensi perawat , ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana, Standar Operasional Prosedur (SOP), kebijakan Rumah Sakit . Teori dalam penelitian ini juga akan membantu peneliti untuk menghubungkan pengumpulan dan analisis data dalam penelitian. 2.1 Konsep Dasar Cedera Kepala Sedang Cedera kepala atau traumatic brain injury didefinisikan sebagai cedera pada kepala akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tembus (penetrating trauma) atau tenaga akselerasi-deselerasi yang menyebabkan gangguan fungsi otak sementara atau permanen. Sebagian ahli menggunakan istilah cedera kranio- serebral berdasarkan pemahaman bahwa perlukaan atau lesi yang terjadi dapat mengenai bagian tulang tengkorak (kranium) atau bagian jaringan otak (serebral) atau keduanya sekaligus (B.Batticaca, 2008) 12

description

ok

Transcript of BAB 2 Baru Sekali

74

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan teori dan konsep yang terkait dengan masalah penelitian, sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini tentang cedera kepala, terapi oksigen, motivasi , lingkungan kerja, Kompetensi perawat , ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana, Standar Operasional Prosedur (SOP), kebijakan Rumah Sakit . Teori dalam penelitian ini juga akan membantu peneliti untuk menghubungkan pengumpulan dan analisis data dalam penelitian.

2.1 Konsep Dasar Cedera Kepala SedangCedera kepala atau traumatic brain injury didefinisikan sebagai cedera pada kepala akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tembus (penetrating trauma) atau tenaga akselerasi-deselerasi yang menyebabkan gangguan fungsi otak sementara atau permanen. Sebagian ahli menggunakan istilah cedera kranio-serebral berdasarkan pemahaman bahwa perlukaan atau lesi yang terjadi dapat mengenai bagian tulang tengkorak (kranium) atau bagian jaringan otak (serebral) atau keduanya sekaligus (B.Batticaca, 2008)

Organization (WHO) tahun 2004 sebagian besar korban kecelakaan lalu lintas darat (KLLD) adalah pemakai jalan yang berisiko seperti pejalan kaki, pengendara sepeda motor, penumpang dan anak-anak. Faktor utama cedera kepala dari pengendara sepeda motor oleh karena tidak menggunakan helm. Penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa pengendara yang tidak menggunakan helm berisiko 4 kali lebih besar mengalami cedera kepala. Penelitian lain di Florida dari 995 pasien kecelakaan sepeda motor, didapatkan 201 pasien mengalami CKB dan yang tidak menggunakan helm menunjukkan proporsi lebih besar (21.8%) dibandingkan dengan yang menggunakan helm (10.2%). Kewajiban memakai helm bagi pengendara dan penumpang sepeda motor di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Badan Standarisasi Nasional juga telah memberlakukan wajib helm standar pada pengendara sepeda motor yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) terhitung April 2010. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam bertata tertib berlalulintas di jalan seperti melengkapi kelengkapan sepeda motor (2 spion, lampu sein, lampu rem), menggunakan helm standar, menggunakan tali pengaman helm, menyalakan lampu meski di siang hari, dan menggunakan lajur kiri bagi pengendara sepeda motor dapat menjadi pencetus timbulnya kecelakaan yang menyebabkan pengendara mengalami cedera, kecacatan bahkan kematian (Data statistik)

Cedera kepala menyebabkan secara signifikan separo kematian dari seluruh pasien akibat trauma. Hampir 75% dari korban fatal kecelakaan memperlihatkan bukti cedera kepala pada postmortem. Pembagian cedera kepala yaitu ringan, sedang dan berat berdasarkan atas derajat penurunan tingkat kesadaran penderita serta ada tidaknya defisit neurologi fokal dengan Gasglow Coma Scale (GCS). Penderita dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan dengan GCS 13 15, Cedera kepala sedang dengan GCS 9 12 serta cedera kepala berat dengan GCS 8.

Menurut Rao (2000) dalam lisnawati (2012) menyebutkan bahwa cedera kepala dapat menimbulkan berbagai gangguan neuropsikiatri mulai dari defisit yang tidak jelas sampai gangguan intelektual dan emosional yang berat. Neuropsikiater yang berhubungan dengan cedera kepala meliputi gangguan kognitif, gangguan mood, ansietas, psikosis dan masalah tingkah laku. Defisit kognitif telah diklasifikasikan dalam berbagai bentuk seperti delirium, demensia oleh karena cedera kepala, gangguan amnestik atau gangguan intelektual yang tergantung pada gejala dan waktu saat onset serta masa resolusi. Kesemua ini dapat menunda proses kesembuhan pada sistem saraf pusat.

2.1.1 Pengertian Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada usia reproduktif, sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Penanganan yang tepat dan adekuat mulai dari tempat kejadian, selama transportasi ke rumah sakit serta penanganan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan perjalanan klinis pasien serta prognosis penyakitnya (Mansyour, 2007).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital (Tobing, 2011).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).

2.1.2. EtiologiSetelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi berturut-turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral (Brain Trauma Foundation. Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury,2007). Klasifikasi etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi perdarahan ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu cedera sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi. Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cedera otak sekunder antara lain meningitis dan abses otak (CDC, 2011 dan Brain Trauma Foundation. Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury,2007).

Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cedera otak sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik (Moppet, 2007). Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya cedera otak sekunder adalah hiperglikemi, hiperkapni, dan hipokapni (Moppet, 2007)

Masalah ekstrakranial menghasilkan kerusakan otak sekunder baik oleh hipoksia ataupun oligemia/iskemia. Konsekuensi utamanya adalah pengurangan dalam ketersediaan energi tinggi fosfat (adenosin triphosphat, ATP). Hal ini menyebabkan kegagalan pompa membran sehingga memicu kematian sel atau sel menjadi bengkak (edema sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia primer dan iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary zones). Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas yaitu neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada pasien. Akibat lebih fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetatif yang persisten (persistent vegetatif state PVS) atau kematian. PVS terjadi karena masih masih adanya refleks batang otak tetapi hilangnya sebagian besar reflek kortek (Moppet, 2007; CDC, 2011 dan Brain Trauma Foundation,2007)Cedera otak sekunder dapat terjadi karena hipoksemia sistemik. Hipoksemia terjadi pada 22,4% pasien cedera otak traumatik parah dan secara signifikan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Jones et al pada inhospital study terhadap 124 pasien dengan cedera otak dengan tingkat keparahan yang berfariasi, menunjukkan subgrup analisis terhadap 71 pasien dengan data yang dikumpulkan untuk delapan tipe efek sekunder yang berbeda (termasuk hipoksemia dan hipotensi). Durasi hipoksemi (ditandai dengan SaO2 90%; median durasi berkisar dari 11,5 hingga 20 menit) dinyatakan sebagai prediktor mortalitas (p=0,024) tetapi tidak terhadap morbiditas (Moppet, 2007 dan Marrik, 2002)

Sebagian besar studi observasional terhadap cedera otak traumatik menunjukkan hubungan antara hipoksia awal (Spo2 55 ml 100 g-1 mnt-1) dan diikuti hiperemi. Mendiagnosis hipoperfusi atau hiperperfusi hanya valid setelah mengukur CBF dan konsumsi oksigen di serebral. ( Mauritz, 2008; Moppet, 2007 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Autoregulasi serebral dan reaktivitas-CO2 merupakan mekanisme penting menjaga aliran CBF tetap konstan dengan cara menjaga tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP) dan tekanan intrakranial (TIK). Gangguan pada mekanisme regulasi tersebut meningkatkan resiko cedera otak sekunder ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Setelah terjadinya cedera otak traumatik, autoregulasi CBF (respon konstriksi dan dilatasi cerebrovaskuler untuk meningkatkan atau menurunkan CPP) pada sebagian besar pasien, terganggu atau hilang. Gangguan autoregulasi CBF dapat muncul segera setelah trauma atau beberapa saat setelah trauma, bersifat sementara atau menetap, dan menyebabkan kerusakan ringan, sedang, atau berat. Autoregulasi vasokonstriksi cenderung lebih resisten terhadap kerusakan dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi. Hal ini menunjukkan bahwa CPP yang rendah lebih rentan menyebabkan kerusakan otak dibandingkan dengan CPP tinggi( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Jika dibandingkan dengan autoregulasi CBF, reaktivitas CO2 serebrovaskuler (konstriksi atau dilatasi serebrovaskuler sebagai respon terhadap hipokapni dan hiperkapni) memiliki pengaruh lebih kuat. Pada pasien dengan cedera otak berat dan prognosis buruk, gangguan reaktivitas serebrovaskuler terjadi pada tahap awal setelah terjadi trauma. Sebaliknya, reaktivitas CO2 masih intak atau bahkan meningkat pada sebagian besar pasien. Hal ini merupakan prinsip fisiologis yang digunakan sebagai target dalam manajemen TIK pada keadaan hiperemis (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Serebral vasospasme pasca trauma menentukan prognosis pasien. Vasospasme terjadi pada lebih dari satu per tiga pasien cedera otak traumatik dan mengindikasikan kerusakan otak berat. Onsetnya bervariasi dari hari ke-2 hingga hari ke-15 post trauma. Hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang mengalami vasospasme. Vasospasme terjadi karena depolarisasi kronis otot polos vaskuler yang disebabkan oleh penurunan aktivitas kanal potasium, pelepasan endotelin bersama dengan penurunan nitrit oksida, penurunan siklik Guanosin Monophosphate (GMP) otot polos vaskular, potensiasi prostaglandin memicu vasokonstriksi, dan pembentukan radikal bebas (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Metabolisme serebral dan energi serebral menurun setelah cedera otak. Derajat kegagalan metabolik berhubungan dengan keparahan cedera primer dan prognosisnya buruk pada pasien dengan angka metabolik yang rendah dibandingkan pada pasien dengan penurunan angka metabolik minimal atau tanpa disfungsi metabolik. Penurunan serebral metabolik pasca trauma berhubungan dengan cedera primer yang memicu disfungsi mitokondria dengan penurunan kecepatan respirasi dan produksi ATP, penurunan availibilitas ko-enzim, dan berlebihnya Ca2+ di intra mitokondria. Penurunan kebutuhan metabolisme serebral tidak berhubungan dengan penurunan CBF (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Cedera otak ditandai dengan ketidakseimbangan hantaran dan konsumsi oksigen serebral. Meskipun ketidakseimbangan ini ditandai dengan gangguan pada hemodinamik dan vaskuler, hasil akhirnya adalah hipoksia jaringan otak. Pengukuran tekanan oksigen jaringan otak pada pasien cedera otak teridentifikasi pada ambang batas kritis di bawah 15-10 mmHg pada kondisi terjadinya infark jaringan neuronal. Akibatnya, insiden, durasi, dan perluasan jaringan hipoksia berhubungan dengan prognosis yang buruk (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Cedera otak primer dan sekunder berhubungan dengan pelepasan berlebih neurotransmiter asam amino eksitasi, khususnya glutamat. Kelebihan glutamat ekstraseluler mempengaruhi neuron dan astrosit. Hal ini menyebabkan stimulasi berlebih ionotropik dan reseptor metabotropik glutamat dengan aliran Ca2+, Na+, dan K+. Meskipun proses tersebut memicu proses katabolik melalui perusakan sawar darah otak, kompensasi selular terhadap gradien ion adalah peningkatan aktivitas Na+/K+ ATPase dan mengubah kebutuhan metabolik (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007).

Stres oksidatif berhubungan dengan jenis oksigen reaktif (oksigen radikal bebas, superoksida, hidrogen peroksida, nitrit oksida, dan peroksinitrit) sebagai respon terhadap cedera otak. Kelebihan produksi jenis oksigen reaktif karena eksitotoksisitas dan kelelahan sistem endogen antioksidan menginduksi peroksidase selular dan struktur vaskuler, oksidasi protein, pembelahan DNA, dan inhibisi rantai transport elektron mitokondria. Meskipun mekanisme ini cukup menyebabkan kematian sel mendadak, proses inflamasi dan apoptosis diinduksi oleh stres oksidatif ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007).

Pembentukan edema sering terjadi pada cedera otak. Klasifikasi edema otak berhubungan dengan kerusakan struktural atau ketidakseimbangan air dan osmotik yang diinduksi oleh cedera primer atau sekunder ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Edema otak vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanis atau autodigestif, atau perusakan fungsional lapisan sel endotel pembuluh darah otak. Disintegrasi dinding endotel serebral vaskuler memungkinkan transfer ion dan protein yang tidak terkontrol dari intravaskuler ke ekstravaskuler (interstisial) kompartmen otak dan menyebabkan akumulasi air. Secara anatomis, proses patologi ini meningkatkan volume ruang ekstravaskuler. Edema otak sitotoksik ditandai dengan akumulasi cairan di intraseluler sel-sel neuron, astrosit, dan mikroglia terlepas dari integritas dinding endotel vaskuler. Proses patologi ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion, kegagalan pompa ionik karena kekurangan energi, dan reabsorpsi selular terhadap zat terlarut aktif osmotik. Meskipun edema sitotoksik terlihat lebih sering dibandingkan dengan edema vasogenik setelah cedera otak, keduanya berhubungan dengan peningkatan TIK dan proses iskemik sekunder (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Cedera kepala menginduksi susunan kompleks respon inflamasi jaringan, mirip dengan cedera iskemik karena reperfusi. Cedera primer dan sekunder memicu pelepasan mediator seluler, meliputi sitokin proinflamasi, prostaglandin, radikal bebas, dan komplemen. Proses ini menginduksi chemokine dan molekul adhesi serta mengaktifkan pergerakan imun dan sel glial. Polimorfonuklear leukosit yang teraktivasi berikatan pada defek dan pada lapisan sel endotel yang masih intak. Hal ini dimediasi melalui adhesi molekul. Sel-sel tersebut menginfiltrasi jaringan cedera bersama dengan makrofag dan sel T limfosit. Infiltrasi jaringan oleh limfosit terjadi melalui upregulasi adhesi molekul seluler, seperti P-selektin, intercellular adhesion molecules (ICAM-1), dan vascular adhesion molecules (VAM-1). Respon terhadap proses inflamasi, cedera dan jaringan sekitarnya akan dieliminasi dalam hitungan jam, hari, dan minggu ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Astrosit menghasilkan mikrofilamen dan neutropin untuk mensintesis jaringan parut. Enzim proinflamasi, seperti tumor nekrosis faktor, interleukin-1-, dan interleukin-6 mengalami upregulasi dalam hitungan jam setelah cedera. Progresi kerusakan jaringan berhubungan dengan pelepasan langsung mediator neurotoksik atau pelepasan tidak langsung nitrit oksida dan sitokin. Pelepasan vasokonstriktor tambahan (prostaglandin dan leukotrin), adhesi leukosit dan platelet, lesi sawar darah otak, dan pembentukan edema, menurunkan perfusi jaringan dan memperburuk kerusakan otak sekunder ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Dua tipe kematian sel yang mungkin terjadi setelah cedera otak adalah nekrosis dan apoptosis. Nekrosis terjadi sebagai respon terhadap keparahan mekanik atau iskemik atau kerusakan jaringan hipoksik dengan kelebihan pelepasan neurotransmiter asam amino dan kegagalan metabolik. Akibatnya, fosfolipase, protease, dan lipid peroksidase menyebabkan autolisis membran. Hasilnya, sel detritus dikenali sebagai antigen dan akan hilang dengan proses inflamasi serta meninggalkan jaringan scar Sebaliknya, neuron mengalami apoptosis secara morfologis. Neuron tetap intak selama periode pasca traumatik segera, dengan produksi ATP yang cukup. Apoptosis terjadi dalam hitungan jam hingga hari setelah cedera primer. Selanjutnya terjadi penghancuran disintegrasi membran secara progresif melalui lisisnya membran nuklear, kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

2.1.2 Mekanisme timbulnya lesi pada Cedera Kepala.Manifestasi cedera otak sekunder berhubungan dengan terganggunya fungsi serebral dan terganggunya persediaan energi serebral. Manifestasinya antara lain peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan otak iskemik, hipoksia serebral dan hiperkarbi, serta terganggunya autoregulasi serebral ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Tengkorak merupakan ruangan tertutup, sehingga jika terjadi peningkatan volume intrakranial, tekanan di dalamnya akan meningkat dan cenderung menyebabkan penurunan perfusi serebral. Penyebab utama peningkatan TIK pada cedera kepala adalah edema otak dan pendarahan intrakranial. Edema otak terjadi karena cairan berpindah ke ruang ekstraseluler melalui endotel vaskuler yang rusak. Sedangkan pendarahan intrakranial dapat terjadi di ekstradural, subdural, ruang subarahnoid, dan dapat pula terjadi di dalam otak atau di dalam sistem ventrikel. Pendarahan subarahnoid dan pendarahan intraventrikel menyebabkan gangguan pada sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal, sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus. (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2007 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya. Gamgguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan berdampak terhadap sistem tubuh lainnya :1. Sistem kardiovaskuler : aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. (Pahria, 2002)2. Sistem pernafasan : konsentrasi oksigen dan karbondiosida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokontriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan intrakranial (TTIK). Edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusiobotak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapakn edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaingan sekitarnya. Edema otak dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata. Akibat penekanan daerah medulla oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif. (Pahria, 2002)3. Sistem pencernaan : hipothalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya erhadap lambung adalah peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Sein itu, hiperasiditasterjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung (Pahria, 2002)4. Sistem endokrin dan perkemihan : retensi natrium disebutkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengampil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium (Pahria, 2002)5. Sistem muskuloskeletal : trauma kepala menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berbagai proses pengolahan impuls yang datang terganggu, begitupun terhadap aktivitas otot dan rangka, sehingga bila terjado kerusakan pada yang mengatur aktivitas motorik maka akan menyebabkan terjadinya hemiplegi atau parase. Selain itu, sebagai akibat tidak langsung dari terganggunya system pernafasan, kardiovaskuler dan pencernaan maka akan mengakibatkan terganggunya proses metabolisme sel sehingga terjadi kelemahan fisik (Hudak dan Gallo, 2005).6. Sistem integumen : pada klien yang terjadi trauma kepala sehingga menimbulkan luka di kepala penyembuhan lukanya tidak baik akan didapatkan tanda tanda rubor, tumor, dolor kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didaatkan gangguan integritas kulit. Seain itu, juga dapat terjadi peningakatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak banyak keringat.Dengan hilangnya fungsi motorik, pasien cedera kepala dapat rentan terhadap kerusakan kulit. Pasien tidak sadar dan seseorng yang daam keadaan immobilisasi cenderung mengalami masalah kulit karena penekanan, kelembaban, gesekan dan penurunan sensasi (Hudak dan Gallo, 2005).

Kerusakan otak iskemik disebabkan karena kontusio fokal dengan infark yang menyertai cedera otak. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak. Manifestasi klinis yang muncul tergantung dari lokasi iskemik. (Brain Trauma Foundation,2007)

Hipoksia serebral dan hiperkarbi berhubungan dengan gangguan pada pertukaran gas di paru-paru atau gangguan ventilasi. Hal ini merupakan faktor tambahan yang penting pada pasien dengan infeksi dada, edema paru, pneumotorak, dan pada flail chest atau fraktur iga multipel. Efek hipoksia dan atau hiperkarbi dapat diperburuk oleh hipotensi sistemik yang menyebabkan gangguan aliran darah serebral (Marik, 2002 dan Brain Trauma Foundation,2007)

Otak yang normal dapat menjaga pasokan darah untuk kebutuhan metabolismenya melalui myogenik autoregulasi dalam pembuluh darah serebral. Kerusakan otak menyebabkan terganggunya kemampuan regulasi pasokan darah, dan aliran darah serebral menjadi lebih pasif terhadap perubahan tekanan darah sistemik (Mauritz, 2008 dan Marik, 2002)

2.2 Oksigenasi Sebagai Kebutuhan Dasar ManusiaLandasan teori menurut Virginia Henderson dalam Asmadi (2005) tentang kebutuhan dasar manusia adalah model konsep aktifitas sehari-hari dengan menggambarkan fungsi utama perawat yaitu menolong orang yang sakit/sehat dalam usaha menjaga kesehatan atau menghadapi kematian dengan tenang. Teori Henderson berfokus pada individu berdasarkan pandangan, yaitu jasmani (body) dan Rohani (mind) yang tidak dapat di pisahkan.

Pemahaman konsep teori keperawatan dari Virginia Handerson didasari kepada keyakinan dan nilai yang dimilaikinya diantaranya : 1) Manusia akan mengalami perkembangan mulai dari prtumbuhan dan perkembangandalam rentang kehidupan, 2) Dalam melaksankan aktifitas sehari hari individu akan mengalami ketergantungan sejak lahir hingga menjadi mandiri pada dewasa yang dapat dipengaruhi oleh pola asuh, lingkungan dan kesehatan, 3) Dalam melaksanakan aktifitas sehari hari individu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok diantaranya terhambat dalam melakukan aktifitas, belum dapat melaksanakan aktifitas dan tidak dapat melakukan aktifitas (Hidayat, 2007)

Henderson mengkonseptualisasikan peran perawat sebagai peran yang membantu individu sakit atau sehat dengan cara menambah atau saling melengkapi. Perawat harus menjadi mitra klien, orang yang memberikan bantuan pada klien dan jika diperlukan, pengganti bagi klien. Fokus perawat adalah membantu individu dan keluarga untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi 14 kebutuhan dasar: 1) Bernafas dengan normal, 2) Nutrisi, 3) Eliminasi, 4) Gerak dan keseimbangan tubuh, 5) Istirahat tidur, 6) Berpakaian, 7) Mempertahankan sirkulasi, 8) Personal hygiene, 9) Rasa aman dan nyaman, 10) Berkomunikasi, 11) Kebutuhan spiritual, 12) Kebutuhan rekreasi, 13) Kebutuhan bekerja, 14) Kebutuhan bermain dan rekreasi dan kebutuhan belajar

Menurut Kozier dan Erb (2004) Kebutuhan tubuh terhadap oksigen merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan mendesak. Tanpa oksigen dalam waktu tertentu, sel tubuh akan mengalami kerusakan yang menetap dan menimbulkan kematian. Otak merupakan organ yang sensitif terhadap kekurangan oksigen. (Asmadi, 2005).

Permasalahan dalam hal pemenuhan kebutuhan oksigen tidak terlepas dari gangguan yang terjadi pada sistem respirasi baik pada anatomi maupun fisiologis dan organ-organ respirasi. Permasalahan dalam pemenuhan tersebut juga dapat disebabkan karena adanya gangguan pada system tubuh yang lain, misalnya system kardiovaskuer. Gangguan pada system respirasi dapat disebabkan di antaranya oleh karena peradangan, obstruksi, trauma, kanker, degenerative dll. Gangguan tersebut akan menyebabkan kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara adekuat (Asmadi, 2005).

Oksigen atau zat asam adalah salah satu bahan farmakologi, merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau digunakan untuk proses pembakaran dan oksidasi. Oksigen merupakan unsur golongan kalkogen dan dapat dengan mudah bereaksi dengan hampir semua unsur lainnya (utamanya menjadi oksida). Pada Temperatur dan tekanan standar, dua atom unsur ini berikatan menjadi dioksigen, yaitu senyawa gas diatomic. (Sudarmoko dan Susanto,2010). Oksigen banyak dipakai untuk pasien dengan kelainan kardiopulmoner.

Kebutuhan Oksigen orang dewasa sehat pada kondisi istirahat rata-rata 53 liter oksigen per jam, kalau sedang bernapas rata-rata sekitar 500 mL udara per napas. Hal ini disebut volume tidal normal, yaitu terdiri dari 150 mL udara akan pergi ke daerah yang tidak berfungsi di paruparu, hal ini yang disebut "ruang mati." Tingkat napas rata-rata adalah 12 kali per menit. Jumlah udara yang di hirup oleh manusia adalah 12 x(500 ml -150 ml) = 4.200 mL/menit. Kalikan dengan 60 untuk mendapatkan 252.000 mL / jam. Artinya, setiap jam, orang akan bernapas dalam 252 liter udara (prasetyo, 2011).

Indikasi primer terapi oksigen adalah pada kasus hipoksemia yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan analisa gas darah. Indikasi lain adalah trauma berat, infark miokard akut, syok, sesak napas, keracunan CO, pasca anestesi dan keadaan-keadaan akut yang diduga terjadi hipoksemia. Adapun tujuan dari terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 %, sehingga dapat mencegah terjadinya hipoksia sel dan jaringan, menurunkan kerja pernapasan dan menurunkan kerja otot jantung. Untuk pemberian terapi oksigen sama seperti memberikan obat, sehingga beberapa kata kunci pada terapi oksigen adalah :a. Siapa yang memerlukan terapi oksigenb. Bagaimana cara pemberian terapi oksigenc. Bagaimana cara memonitor pemberian oksigen

Untuk mendeteksi keadaan hipoksemia perlu dilakukan pemeriksaan antara lain :1. Pemeriksaan gejala klinik seperti sianosis, disorientasi, takipnu, dispnu, takikardi atau bradikardi, aritmia, hipertensi atau hipotensi, polistemia dan clubbing.2. Pemeriksaan analisa gas darah.Pemeriksaan ini merupakan gold Standar analysis untuk mendeteksi keadaan hipoksemia dan dapat dilihat nilai PaO2 dan SaO2.3. Pulsa oksimetri Pulsa Oksimetri mengukur kadar oksigen di darah arteri. Alat ini bekerja dengan cara ditempelkan di bagian tertentu di tubuh pasien seperti telinga, jari, atau kaki yang selanjutnya akan mentransmisikan sinar melalui pembuluh darah pasien. Alat ini lalu mengukur perbedaan absorpsi panjang gelombang cahaya yang berbeda. Pulsa Oksimetri merupakan kemajuan di bidang kedokteran, dan banyak digunakan terutama di bidang anestesi dan perawatan intensif. Meski demikian, pulsa oksimetri memiliki sejumlah kekurangan, misalnya teknologi ini tidak bisa menembus jaringan yang lebih dalam, sensitif terhadap cahaya di sekitarnya, dan memiliki keterbatasan terhadap perfusi periferal seperti di jari. Oksimetri jaringan, teknologi yang memugkinkan untuk menembus jaringan yang lebih dalam, tidak bisa memberikan sebuah ukuran absolut mengenai saturasi oksigen darah. Pulsa oksimetri adalah suatu metode non invasive untuk monitoring oksigen saturasi (SpO2) dari hemoglobin. Sekarang ini, alat pulsa okimetri banyak digunakan di tempat pelayanan kesehatan yang mencakup perawatan intensif, ruang penyembuhan rehabilitasi dan untuk monitoring pasien yang dianesthesia. Alat pulsa oksimetri mengijinkan dua panjang gelombang cahaya yang berbeda (merah, biasanya 550 nm dan inframerah, biasanya 950 nm) untuk menembus sekeliling bagian peripheral dari tubuh pasien, biasanya ujung jari atau daun telinga, dan mengukur tiap panjang gelombang cahaya yang relatif berkurang (R-ratio). Jaringan biologi yang sedang diukur terdiri dari banyak unsur-unsur, mencakup kapiler, arteri, vena, kulit dan jaringan yang lainnya. Kecuali untuk pembuluh darah arteri, berkurangnya cahaya oleh unsur jaringan lainnya adalah relatif tetap.

Gejala kekurangan pasokan oksigen ke otak dapat menyebabkan penurunan kontrol dan perubahan kognitif meliputi pusing jika bangun dan berdiri dengan cepat, lemah peningkatan detak jantung, kehilangan memori untuk jangka pendek dan perubahan warna kebiruan. Pada kondisi parah seseorang yang mengalami hipoksia dapat mengalami gejala seperti kejang, koma, berhentinya nafas dan tidak adanya refleks otak. Seseorang dapat dikatakan mati otak ketika terjadi kerusakan otak dan hilangka fungsi otak tapi jantung terus berddenyut sedangkan pernafasan dibantu dengan ventilator mekanik. Hipoksia serebral dapat didiagnosa dengan bantuan pemeriksaan fisik, tes darah dan sebagainya. Penderita memerlukan alat bantu pernafasan atau ventilator mekanik. Jika otak kekurangan oksigen dalam waktu yang sangat singkat mungkin ada sedikit kerusakan. Namun, beberapa pasien dapat pulih tergantung sejauh mana cedera terjadi pada otak. Resiko kematian otak lebih tinggi jika otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup lama lebih dari lima menit (Wedaran, 2015).

2.2.1 DefinisiTerapi oksigen mempunyai beberapa definisi di antaranya yang ditentukan oleh Perry dan Potter (2006) terapi oksigen (O2) adalah cara pemberian O2 ke klien untuk mencegah hipoksia. Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari udara lingkungan (Kallstrom, 2002).

Le Mone, (1997) menyebutkan bahwa terapi oksigen adalah pemberian O2 yang berasal dari sentral atau tabung oksigen. Sumber oksigen di setiap rumah sakit ada dua yaitu oksigen sentral, di mana akan dialirkan ke setiap ruangan dengan menggunakan pipa yang ditanam di dalam tembok. Kedua tabung oksigen, yaitu oksigen yang terdapat di dalam tabung silinder yang bisa di bawa kemana- mana. Tabung oksigen digunakan sebagai sumber oksigen pada waktu transpor pasien. Oksigen dari kedua sumber perlu diwaspadai saat diberikan ke klien karena bersifat kering (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004).

2.2.2 Tujuan terapi oksigenTujuan utama terapi O2 secara klinis untuk mencegah atau mengatasi keadaan hipoksia (Perry & Potter, 2006). Smeltzer dan Bare (2008) Memberikan transpor oksigen yang adekuat dalam darah sambil menurunkan upaya bernafas dan mengurangi stres pada miokardium.

Berdasarkan tujuan terapi oksigen, dapat di tentukan indikasi utama pemberian O2 yaitu: klien dengan hipoksemia (PaO2 6 LPM) tidak diperlukan humidifien.

6Teknik Pemberiana. Nasal prong (O2 Nasal) 24%-40% 2-4 LPMb. Masker Sederhana 40%-80% 8-10 LPMc. RM 40%-80% 8-10 LPMd. NRM 40%-90% 8-10 LPMe. Venturi mask 24%-60% 4-10 LPMf. Jackson Reese 100% 10-15 LPMg. CPAP Mask atau Nasal 21-100%h. Respirator 21-100%i. Incubator (sampai 40%)j. Oxygen Tent/ Head Box 30-50%1. Tanpa O2 21%2. Dengan 02 tanpa reservoir 40%-60% 8-10 LPM3. Dengan O2+reservoir 100% 8-10 LPM

1.10 Kerangka TeoriInput Proses Output

Terapi OksigenasiTerpenuhi Kebutuhan OksigenPerawatPasienTidak mampuTidak mauTidak tahu

Kebutuhan dasar manusiaBernafas dengan normalNutrisiHliminasiHerak dan keseimbangan tubuhIstirahat tidurBerpakainMempertahankan sirkulasiPersonal hygieneRasa aman dan nyamanBerkomunikasiKebutuhan spiritualKebutuhan rekreasiKebutuhan bekerjaKebutuhan bermain dan rekreasi dan kebutuhan belajar

Faktor Internal:KompetensiMotivasi Outcome

Faktor Eksternal:Lingkungan KerjaFasilitasKebijakanMeningkatnya kualitas hidup

Tercegahnya kecacatan dan kematian

Karakteristik PasienUmurJenis kelaminPendidikan terakhirKarakteristik PerawatKarakteristik PerawatUmurJenis kelaminPendidikan terakhirLama bekerja

Gambar 2.1 Modifikasi menggunakan teori Kebutuhan Dasar Manusia Virginia Hunderson.

12