BAB 1.docx
-
Upload
mas-arif-hidayatullah -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
description
Transcript of BAB 1.docx
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jepang disebut juga sebagai negara berwajah dua. Disatu sisi sangat terlihat
masyarakatnya yang modern dan berteknologi canggih, di sisi lain masyarakat jepang masih
banyak melakukan ritual seperti tampak dalam kegiatan matsuri dan masih mempertahankan
brbagai kesenian tradisional yang telah ada sejak jaman dulu.
Masyarakat jepang hampir setiap hari menyelenggarakan matsuri, baik yang berhubungan
dengan agama atau kepercayaan yang dianut maupun ritual yang tidak berhubungan dengan
salah satu agama atau kepercayaan.
Matsuri adalah suatu upacara keagamaan yang bermaksud untuk mendatangkan atau
mendekatkan diri kepada kamisama (Dewa). Matsuri mempunyai pengertian berada di
samping Dewa. Penyelenggaraan matsuri di adakan setiap bulan dengan mengambil tempat
O-tera (kuil buddha) maupun di jinja (kuil shinto).
Bagi orang jepang, matsuri merupakan perwujudan perilaku keagamaan orang Jepang,
namun matsuri bukanlah merupakan bentuk agama orang Jepang karena tidak terdapat kitab
suci yang mengajarkan ajaran-ajarannya sebagai salah satu faktor yang harus dimiliki suatu
agama. pengikut matsuri tidak dicatat secara resmi dalam daftar keanggotaan suatu kelompok
agama. Matsuri tidak lain adalah suatu upacara yang bertujuan member kesempatan untuk
mendidik atau mengajarkan etika-etika keagamaan.
Salah satu matsuri yang menarik adalah O-bon Matsuri. Obon adalah upacara yang berkaitan
dengan agama Buddha jepang, tetapi banyak sekali tradisi dalam perayaan obon yang tidak
bisa dijelaskan dengan dogma agama Buddha.
BAB II
ISI
A. Pengertian
O-bon Matsuri adalah upacara untuk merayakan kedatangan arwah leluhur dan
merupakan tradisi secara turun temurun di jepang yang berkaitan dengan agama Buddha.
Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Urabon (盂蘭盆) yang hanya diambil
aksara Kanji terakhirnya saja bon ( 盆 , nampan) ditambah awalan honorifik huruf "O".
Mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para
arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal yang
diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu,
Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang
semasa perayaan Obon. Asal-usul tradisi Obon tidak diketahui secara pasti. Tradisi
memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke
8.
Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya
datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim
semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal
dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan
tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun.
Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah
yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan
kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi
jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi
permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut
kedatangan arwah leluhur.
Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta
agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang.
Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan
di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.
Urut-urutan ritual
Mukaebi, api untuk menerangi jalan para leluhur. Orang Jepang percaya arwah orang yang
meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal
13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar
rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa
lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus
pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.
Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama
Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra
yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di
depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.
Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api
yang disebut okuribi.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut Bon Odori ( 盆踊り tari Obon) dilangsungkan sebagai
penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal
jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam
Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di
neraka.
Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas yang diadakan di Jepang.
Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli
atau 16 Juli menurut kalender Tempo. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli
karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut
malam.
Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil Shinto.
Penyelenggara Bon Odori sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi
keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau
di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.
Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut yagura
untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering
mengundang pasar malam untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di
sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-
orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan
Obon.
Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering
diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori
di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal
di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama
sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara
keagamaan.
Hatsu-obon dan Niibon
Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru pertama kali dialami
oleh arwah orang meninggal yang baru saja peringatan 49 harinya selesai diupacarakan.
Perlakuan khusus diberikan untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam
bentuk pembacaan doa yang lebih banyak.
Tradisi di berbagai daerah
Kendaraan dari terong dan ketimun untuk arwah leluhur.
Persembahan permen jelly aneka warna untuk diletakkan di altar keluarga.
Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan
Obon.Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan yang disebut
Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api atau potongan sumpit sekali
pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi
"sapi" sedangkan ketimun menjadi "kuda" yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu
datang dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur bisa cepat
sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa berjalan pelan dengan maksud
agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah cepat-cepat pulang.
Mendoakan setan lapar:
Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha untuk menolong
Gaki (setan kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar yang disebut Gakidana dan
mendoakan arwah orang yang meninggal di pinggir jalan.
Lampion obon:
Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang disebut bon
chochin (lentera bon) dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan rumah yang dulu
pernah ditinggalinya. Bon chochin terbuat dari washidengan kaki penyangga dari kayu.
Melarung lampion:
Beberapa daerah memiliki tradisi toronagashi berupa pelarungan lampion dari washi di
sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk kembali ke alam sana. Ada daerah yang
mempunyai tradisi shoronagashi yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion
sebelum dilarung di sungai.
Liburan Obon
Liburan tidak resmi di Jepang sebelum dan sesudah hari raya Obon disebut liburan Obon
(Obonyasumi) yang lamanya tergantung pada keputusan masing-masing perusahaan. Kantor-
kantor dan pemilik usaha biasanya meliburkan karyawannya sebelum dan sesudah tanggal 15
Agustus selama 3 sampai 5 hari.
Festival Obon yang identik dengan lentera adalah perayaan yang dilakukan untuk mengingat
orang-orang yang sudah mati. dipercaya bahwa pada hari tersebut, jiwa-jiwa orang yang
sudah meninggal kembali ke bumi. hantu-hantu yang datang adalah hantu kerabat atau
keluarga. Dipercaya bahwa hantu-hantu tersebut datang untuk mengunjungi keluarga yang
masih hidup.
Masyarakat Jepang merayakan festival ini dengan menyiapkan sajian-sajian khusus berupa
masakan untuk arwah nenek moyang. Biasanya sajian ini diletakkan di kuil atau di altar
rumah. Selain itu, mereka juga membuat lentera berwarna-warni yang dihanyutkan di sungai.
Ini sebagai simbol penerangan dan petunjuk bagi arwah leluhur yang akan kembali ke alam
baka. biasanya dilakukan setiap bulan Agustus.
Bon Odori punya keunikan yg mirip dengan festival-festival budaya yang lainnya semacam
perayaan hari Valentine, Halloween, ThanksGivings, dll Sebagai sebuah festival. Obon bagi
penganut agama Buddha adalah waktu untuk mengenang dan menghormati semua orang yg
sudah meninggal. Saatnya untuk mengapresiasi semua jasa-jasa mereka dan pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia saat ini. Obon juga saatnya untuk melakukan refleksi diri,
bahwa kebahagiaan yg diperoleh bukanlah karena berhasil meraih apa yg dihasratkan, tetapi
kebahagiaan karena telah memperoleh kesadaran. Nilai universal yg ditawarkan dalam Bon
Odori, membuat perayaan ini tidak hanya menjadi milik penganut agama Buddha saja tetapi
juga milik semua orang yg bisa mengambil hikmah darinya.
OBON MATSURI
Disusun oleh:
Wahyu Intan Marheni
(105110207111009)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010