BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Definisi · PDF fileTB ekstra paru berat misalnya meningitis,...
Transcript of BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Definisi · PDF fileTB ekstra paru berat misalnya meningitis,...
6
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas definisi, etiologi, penularan dan patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, dan pengobatan tuberkulosis. Selanjutnya dibahas
pula mengenai tinjauan OAT, tinjauan tanaman obat, serta tinjauan studi praklinis
dan klinis sebelumnya.
1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
M. tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi dan terjadinya hipersensitif yang diperantarai oleh sel. Pada umumnya
penyakit ini menyerang paru-paru, tetapi organ-organ lain juga dapat terkena
(Zeind, 2000; Depkes R.I., 2002).
1.2 Etiologi Tuberkulosis
M. tuberculosis (basil tuberkel) adalah jenis bakteri yang termasuk ke dalam
marga Mycobacterium, suku Mycobacteriaceae dan bangsa Actinomycetales.
Bersama dengan M. bovis dan M. africanum, M. tuberculosis dapat menyebabkan
TB pada manusia (Zeind, 2000).
Mikobakterium berbentuk batang, lebar 0,4 µm, panjang 3-4 µm, tidak
mempunyai spora dan tidak bergerak. Bakteri ini dapat diwarnai dengan pewarna
khusus (Ziehl Neelsen). Setelah terwarnai, warna tersebut tidak dapat dihilangkan
dengan larutan asam, karena itu bakteri ini disebut bakteri tahan asam (Kayser,
2005).
Struktur dinding sel mikobakterium terdiri dari lapisan lilin dan lemak yang terdiri
dari glikolipid (misalnya, lipoarabinogalaktan), asam mikolat dan mikosida
(Kayser, 2005).
7
1.3 Penularan dan Patogenesis Tuberkulosis
Meskipun beberapa spesies mikobakterium dapat menyebabkan tuberkulosis,
M. tuberculosis merupakan bakteri penyebab TB yang utama. Organisme ini
mudah menyebar, dan infeksi baru biasanya disebabkan karena inhalasi droplet-
droplet (tetesan kecil berukuran 1-5 µm) mencapai alveolar. Penderita TB dengan
BTA positif dapat mengeluarkan droplet yang mengandung M. tuberculosis ketika
batuk, bersin, dan berbicara; partikel-partikel dapat tetap berada di udara selama
beberapa jam sehingga dapat terjadi pemaparan terhadap orang yang peka. Faktor-
faktor yang dapat menentukan kemungkinan terjadinya infeksi adalah kontak
yang intensif dan efektivitas daya tahan tubuh. Penularan dapat dikurangi dengan
ventilasi yang cukup dan penerangan dengan ultraviolet (Zeind, 2000).
Pada beberapa kasus, infeksi dapat cepat berkembang menjadi penyakit. Akan
tetapi pada kasus lain, M. tuberculosis mungkin ‘tertidur’ setelah dikendalikan
oleh daya tahan tubuh. Kemudian di saat terjadi suatu penurunan daya tahan
penderita, misalnya karena kurang gizi, penyakit lain (misalnya infeksi HIV) atau
usia tua, ada kemungkinan dapat timbul penyakit (Zeind, 2000).
1.4 Manifestasi Klinis Tuberkulosis
TB dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: TB paru dan TB ekstra paru. TB
paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi menjadi TB
paru BTA positif dan TB paru BTA negatif. TB ekstra paru adalah TB yang
menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung, kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain. Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstra
paru dibagi menjadi TB ekstra paru ringan misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
TB ekstra paru berat misalnya meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin (Depkes R.I., 2002).
8
1.5 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen sewaktu pagi sewaktu (SPS)
BTA hasilnya positif. Apabila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS
diulang.
- Jika hasil rontgen mendukung TB maka penderita didiagnosis sebagai
penderita TB BTA positif.
- Jika hasil rontgen tidak mendukung TB maka pemeriksaan dahak SPS
diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan lain,
misalnya biakan.
Apabila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum
luas (misalnya kotrimoksazol atau amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, pemeriksaan dahak SPS
diulangi.
- Jika hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
- Jika hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TB.
• Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif
• Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
(Depkes, 2002)
1.6 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Menyembuhkan penderita dengan gangguan seminimal mungkin dalam
hidupnya.
b. Mencegah kematian pada penderita dengan sakit yang sangat berat.
c. Mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait.
d. Mencegah kambuhnya penyakit.
9
e. Mencegah M. tuberculosis menjadi resisten (resisten yang diperoleh).
f. Melindungi keluarga dan masyarakat penderita terhadap infeksi (Crofton,
2002; Depkes R.I., 2002).
1.6.1 Prinsip Pengobatan
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat dalam waktu yang cukup lama (6-8 bulan) agar semua kuman
(termasuk yang persisten) dapat dieradikasi. Apabila paduan obat yang digunakan
tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan
berkembang menjadi kuman yang resisten. Pengobatan TB dilakukan dalam dua
fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
a. Fase intensif
Pada fase intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama
rifampisin. Apabila pengobatan fase intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua
minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif.
b. Fase lanjutan
Pada fase lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama (Depkes R.I., 2002).
1.6.2 Paduan OAT di Indonesia
Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT
sebagai berikut:
a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Fase intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).
Kemudian diteruskan dengan fase lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan
Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
1). Penderita baru TB paru BTA positif
10
2). Penderita TB paru BTA negatif, rontgen positif, yang sakit berat, dan
3). Penderita TB ekstra paru berat.
b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Fase intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin
(S) setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan fase
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini
diberikan untuk:
1). Penderita kambuh (relaps)
2). Penderita gagal (failure)
3). Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Fase intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan fase lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
1). Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan,
2). Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
d. OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir fase intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari
selama 1 bulan (Depkes R.I., 2002).
1.7 Tinjauan OAT
OAT yang digunakan dalam Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia
adalah Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Etambutol, dan Streptomisin.
11
1.7.1 Isoniasid
Isoniasid (H) atau yang lebih dikenal dengan INH pertama kali diperkenalkan
sebagai OAT pada tahun 1952, merupakan obat yang paling luas digunakan
sebagai OAT. Obat ini bersifat bakterisid, relatif nontoksik, tidak mahal, dan
diabsorpsi dengan baik secara oral atau parenteral (Zeind, 2000).
Isoniasid merupakan prodrug yang diaktifkan oleh enzim katalase-peroksidase
mikobakterium (KatG). Bentuk aktif isoniasid memberikan efek letalnya dengan
membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa asil (AcpM) dan protein
pembawa-beta-ketoasil sintetase (KasA), yang menghambat sintesis asam
mikolat. Resistensi isoniasid berhubungan dengan mutasi yang disebabkan oleh
ekspresi yang berlebihan dari inhA, yang mengkode reduktase protein pembawa
asil tergantung NADH; mutasi katG; mutasi yang disebabkan oleh ekspresi yang
berlebihan dari ahpC, gen virulen yang diduga terlibat dalam proteksi sel terhadap
stres oksidatif; dan mutasi pada kasA. InhA mengekspresikan resistensi isoniasid
pada tingkat yang rendah dan resistensi silang dengan etionamida. Mutan-mutan
KatG mengekspresikan resistensi isoniasid pada tingkat yang tinggi dan biasanya
tidak ada resistensi silang dengan etionamida (Zeind, 2000; Chambers, 2004).
Mutan-mutan yang resisten terjadi pada populasi mikobakteri yang peka dengan
frekuensi sebesar 1 basil di dalam 106. Oleh karena lesi tuberkulus sering
mengandung lebih dari 108 basil tuberkel, mutan-mutan resisten dapat terjadi jika
isoniasid digunakan sebagai obat tunggal. Meskipun demikian, penambahan obat
kedua dapat efektif (Chambers, 2004).
INH secara umum diberikan sebagai dosis tunggal 300 mg untuk dewasa dan 10-
20 mg/kg (maksimum 300 mg) untuk anak. Setelah pemberian peroral, absorpsi
terjadi dengan cepat dan sempurna, konsentrasi puncak sebesar 3-5 µg/mL
dicapai setelah dosis 3-5 mg/kg. Ketika INH diberikan secara peroral dengan
makanan, pengurangan kecepatan absorpsi dan konsentrasi plasma puncak INH
dapat terjadi. Antasida yang mengandung aluminium dapat menurunkan absorpsi
INH di saluran pencernaan. Obat secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh;
12
jumlah yang signifikan dapat ditemukan di pleura, cairan asites, dan cairan
serebrospinal; saliva; kulit; dan otot (Zeind, 2000).
Efek samping INH yang berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih
0,5% penderita. Apabila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus
membaik. Bila tanda-tanda hepatitisnya berat maka penderita harus dirujuk ke
spesialis. Efek samping yang ringan dapat berupa kesemutan, nyeri otot atau
gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
(vitamin B6 dengan dosis 5-10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks).
Efek samping lain berupa kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin
(sindrom pellagra) dan kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal.
Apabila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis
(Depkes R.I., 2002).
1.7.2 Rifampisin
Rifampisin (R) adalah derivat semisintetik dari rifamisin, antibiotik yang
dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini aktif secara in vitro terhadap
bakteri kokus gram negatif dan gram positif, beberapa bakteri usus,
mikobakterium dan klamidia. Organisme yang peka dihambat oleh konsentrasi
kurang dari 1 µg/mL. Mutan yang resisten ada pada semua populasi mikroba
dengan frekuensi 1:106. Pemberian rifampisin sebagai dosis tunggal dipilih untuk
organisme yang sangat resisten ini. Tidak terdapat resistensi silang untuk
kelompok OAT lain, tetapi dapat terjadi dengan turunan rifamisin lain misalnya
rifabutin (Chambers, 2004).
Rifampisin mengikat kuat subunit β DNA dependent RNA polymerase bakteri
sehingga menghambat sintesis RNA. Resistensi ditimbulkan dari satu atau
beberapa titik mutasi gen untuk subunit β RNA polimerase (rpoB). RNA
polimerase manusia tidak mengikat rifampisin dan tidak dihambat olehnya.
Rifampisin bersifat bakterisid untuk mikobakterium dan segera berpenetrasi ke
dalam banyak jaringan dan ke dalam sel fagositik. Obat ini dapat membunuh
13
organisme yang kurang dapat dicapai oleh banyak obat lain, misalnya organisme
intrasel, organisme di dalam abses dan di dalam kavitas paru (Chambers, 2004).
Rifampisin dapat menyebabkan kemerahan pada urin, keringat, air mata, dan
lensa kontak. Pemberian rifampisin dalam dosis terapi dapat menyebabkan ruam
kulit, trombositopenia dan nefritis. Obat ini juga dapat menyebabkan kolestatik
jaundice, hepatitis, dan proteinurea ringan. Ketika diberikan kurang dari dua kali
seminggu, rifampisin dapat menyebabkan sindrom mirip flu yang ditandai dengan
demam, menggigil, mialgia, anemia, trombositopenia, dan kadang-kadang
berhubungan dengan nekrosis tubular akut. Rifampisin secara kuat menginduksi
sistem enzim sitokrom P450, yang dapat meningkatkan eliminasi metadon,
antikoagulan, beberapa antikonvulsi, inhibitor protease, dan kontrasepsi.
Pemberian rifampisin dengan ketokonazol, siklosporin, atau kloramfenikol dapat
menurunkan kadar obat-obat tersebut di dalam serum. Ketokonazol pada
gilirannya dapat mengurangi konsentrasi serum rifampisin dengan mempengaruhi
absorpsinya (Chambers, 2004).
1.7.3 Pirasinamid
Pirasinamid (PZA atau Z) terkait dengan nikotinamida. Pada pH netral, obat ini
tidak aktif secara in vitro, tetapi pada pH 5,5 dapat menghambat basil tuberkel dan
beberapa mikrobakterium lain pada konsentrasi 20 µg/mL. Obat ini kontak
dengan makrofag, kemudian memberikan aktivitas terhadap organisme intrasel di
dalam lingkungan asam (Chambers, 2004).
Pirasinamid diubah menjadi asam pirasinoat, bentuk aktif obat, oleh
pirasinamidase dari mikobakterium. Target dan mekanisme kerjanya masih belum
diketahui. Resistensi terjadi karena mutasi di dalam pncA yang mengganggu
konversi pirasinamid menjadi bentuk aktifnya. Gangguan pada uptake pirasinamid
juga dapat menyebabkan resistensi (Chambers, 2004).
14
Efek samping utama pirasinamid termasuk hepatitis (pada 1-5% penderita), mual,
muntah, demam, dan hiperurikemia. Hiperurikemia dapat menyebabkan terjadinya
artritis gout akut (Chambers, 2004).
1.7.4 Etambutol
Etambutol (E) merupakan obat sintetik yang secara in vitro dapat menghambat
strain yang peka dari M. tuberculosis dan mikobakterium lain pada konsentrasi 1-
5 µg/mL. Etambutol merupakan penghambat enzim arabinosil transferase
bakteri yang terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglikan, komponen yang
esensial untuk dinding sel mikobakterium. Resistensi dapat terjadi akibat
terjadinya mutasi yang disebabkan oleh ekspresi yang berlebihan (overexpression)
produk-produk gen emb atau di dalam gen struktural embB. Resistensi etambutol
dapat terjadi dengan cepat apabila obat ini digunakan sendiri. Oleh karena itu,
etambutol harus diberikan di dalam kombinasi dengan OAT lain (Chambers,
2004).
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling
serius adalah neuritis optik. Efek samping ini berhubungan dengan dosis, biasanya
terjadi setelah penggunaan dosis 25 mg/kg/hari selama beberapa bulan. Perlu
dilakukan penilaian fungsi visual secara periodik apabila menggunakan etambutol
dengan dosis 25 mg/kg/hari. Etambutol dikontraindikasikan untuk anak yang
terlalu muda untuk menjalani penilaian fungsi visual (Chambers, 2004; Zeind,
2000).
1.7.5 Streptomisin
Streptomisin (S) adalah antibiotik aminoglikosida, yang dahulu merupakan OAT
pertama yang efektif secara klinis. Obat ini dihasilkan oleh Streptomyces griseus,
bersifat bakterisid pada lingkungan basa dan bekerja dengan menghambat sintesis
protein. Streptomisin dianjurkan hanya diberikan secara intramuskular (Zeind,
2000).
15
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan saraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur
penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada dua bulan pertama
dengan tanda-tanda telinga mendenging, pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
dengan 0,25 g. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini terutama
akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi
hipersensitif kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Pengobatan harus dihentikan
dan penderita dirujuk ke tenaga spesialis. Efek samping sementara dan ringan
misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut
dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi dengan 0,25 g.
Streptomisin dapat menembus barier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin (Depkes R.I, 2002,
Chamber, 2004).
1.8 Tinjauan Tanaman Obat
1.8.1 Jahe Merah
Jahe merah termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Monocotyledoneae, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga
Zingiber, jenis Zingiber officinale Rosc. (Depkes dan Kessos R.I., 2001).
Jahe merah merupakan habitus herba, tanaman semusim, tegak, tinggi 40-50 cm.
Batang jahe merah merupakan batang semu, beralur, membentuk rimpang, dan
berwarna hijau. Daun jahe merah tunggal, bentuk lanset, tepi rata, ujung runcing,
pangkal tumpul, berwarna hijau tua. Bunga jahe merah merupakan bunga
majemuk, bentuk bulir, sempit, ujung runcing, panjang 3-5 cm, lebar 1,5-2 cm,
tangkai panjang kurang lebih 2 cm, hijau merah, kelopak bentuk tabung, bergigi
16
tiga, mahkota bentuk corong, panjang 2-2,5 cm, dan berwarna ungu. Buah jahe
merah berbentuk kotak, bulat panjang, coklat dan berbiji bulat hitam. Akarnya
serabut dan putih kotor (Depkes dan Kessos R.I., 2001). Morfologi rimpang jahe
merah terdapat pada Lampiran A.
Jahe merah telah dikenal di Cina lebih dari 2.500 tahun yang lalu, dan hingga
sekarang terus digunakan di dunia sebagai rempah-rempah atau untuk memberi
cita rasa pada makanan. Dalam dunia pengobatan terutama di Asia, jahe dikenal
sebagai karminatif, stimulan, diuretik, obat malaria, obat demam dan antiemetik
(Foster, 1999, Mills, 2000). Jahe bersama dengan lemon dan garam secara
empirik digunakan untuk menambah nafsu makan dan menstimulasi sekresi cairan
lambung. Jahe juga digunakan untuk nyeri abdomen, anoreksia, artritis, dispepsia
atonik, perdarahan, kanker, kongesti dada, cacar, kolera, bronkhitis kronis, cold
extrimities, kolik, kolitis, flu, batuk, fibrosis sistis, diare, kesulitan bernafas,
demam, flatulensi, gangguan pencernaan, gangguan empedu, hiperasiditas,
hiperkolesterolemia, hiperglikemia, morning sickness, mual, rematik, sakit
tenggorokan, sakit perut dan muntah (Mills, 2000).
Berdasarkan studi farmakologi dan klinis, jahe merah mempunyai aktivitas
sebagai antiemetik, meningkatkan fungsi pencernaan, antitukak, antiplatelet,
antiinflamasi, antipiretik, efek kardiovaskular, antioksidan, dan efek-efek lain
(Mills, 2000).
Farnsworth dan Mahmoud telah mengamati aktivitas mutagenik ekstrak jahe
pada beberapa strain mencit. Nakamurah menyatakan bahwa 6-gingerol
diketahui mempunyai potensi mutagen. Farnworth dan Qian mengamati bahwa
ketika mutagenisitas gingerol atau shogaol diuji dengan adanya zingeron,
diketahui bahwa zingeron menurunkan aktivitas mutagenik kedua komponen
tersebut (Mills, 2000).
Mascolo mengamati bahwa ekstrak jahe tidak menyebabkan kematian pada dosis
di atas 2,5 g/kg mencit (ekuivalen dengan sekitar 75 g/kg rimpang jahe segar.
17
Pada studi terpisah yang dilakukan oleh Qureshi diketahui bahwa ekstrak jahe
100 mg/kg perhari selama tiga bulan tidak menyebabkan toksisitas kronik. Futrell
mengamati bahwa pemberian jahe secara topikal dapat menyebabkan dermatitis
kontak pada penderita yang sensitif (Mills, 2000).
Penelitian Chang, Mowrey, Kawai, Blumberger menunjukkan bahwa jahe
biasanya mengandung minyak atsiri 1-3%, komponen yang pedas (pungent) yaitu
gingerol dan shogaol dan sekitar 6-8 lipid, dan komponen lain. Minyak jahe
mengandung zingiberen dan bisabolin sebagai konstituen utama bersama dengan
seskui- dan monoterpen lain. Oleoresin jahe terutama mengandung komponen
yang pungent yaitu gingerol dan shogaol dan zingiberon. Shogaol diketahui dua
kali lebih pedas daripada gingerol (Mills, 2000).
1.8.2 Mengkudu
Mengkudu termasuk ke dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,
subkelas Asteridae, bangsa Rubiales, suku Rubiaceae, marga Morinda, jenis
Morinda citrifolia Linn. (Jones, 1987). Morfologi buah mengkudu terdapat pada
Lampiran A.
Mengkudu ditemukan di wilayah tropis Asia hingga Polinesia. Kulit kayu, batang,
akar, daun, bunga dan buahnya digunakan secara tradisional untuk banyak
penyakit termasuk penuaan dini, diabetes, halitosis, hemoroid, tumor,
tuberkulosis, hipertensi, dan sebagai tonik. Akarnya digunakan untuk tonik,
roboransia, obat disentri, antitetanus, penurun tekanan darah, antikongestif untuk
hemoroid, nasal kongesti dan perdarahan serebral, antiseptik, serta
antituberkulosis. Daun digunakan untuk antitukak, obat luka akibat teriris, obat
cacing, obat batuk, antimual, obat pembengkakan ginjal, antikolik, emolien, dan
antiartritis. Buah mengkudu digunakan untuk obat cacing, untuk penanganan
lumbago, obat asma, obat disentri, emolien, obat batuk, penurun panas, obat
pembengkakan limfa, obat anuria, antidiabetes, dan antelmintik (Perry, 1980,
Longe, 2005).
18
Pada penelitian farmakologi diketahui bahwa jus buah mengkudu dapat
memperpanjang umur mencit yang mengalami kanker paru Lewis. Efek analgesik
ekstrak akar mengkudu telah diuji dan menunjukkan aktivitas analgesik sentral
yang signifikan dan berkaitan dengan dosis pada mencit (Mingfu, 2000).
Buah mengkudu mengandung morindin, morindon, antrakinon, damnakantal,
rubidin, glikosida, lemak, triterpenoid, alkaloid, asperulosid, asam kaproat, asam
kaprilat, asam benzoat, asam oleat, asam palmitat, skopoletin, alizarin, glukosa
dan eugenol (Marderosian, 1988).
Kandungan bioaktif lain yaitu prokseronin, dalam tubuh diubah menjadi alkaloid
seronin yang mempunyai khasiat menurunkan tekanan darah, sakit menstruasi,
artritis, tukak lambung dan gangguan pencernaan. Buah mengkudu diketahui
mempunyai aktivitas antimikroba dari senyawa yang aktif sebagai
antituberkulosis yaitu E-phytol (campuran 2 ketosteroid) dan turunan
epidioksisterol dari campesta-5, 7, 22-trien-3 beta-ol (Saludes, 2000).
1.9 Tinjauan Studi Praklinis dan Klinis Sebelumnya
Penelitian Sugihartina (2004) menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang jahe
(Zingiber officinale Rosc.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) mampu
menghambat pertumbuhan M. tuberculosis yang sensitif maupun yang resisten
terhadap OAT secara in vitro pada konsentrasi 10 µg/mL. Hasil tersebut
diperoleh setelah menguji aktivitas ekstrak etanol sebelas tanaman yang sering
digunakan oleh masyarakat untuk mengobati batuk berdarah ataupun batuk
menahun terhadap M. tuberculosis yang sensitif dan resisten. Kesebelas tanaman
tersebut yaitu bulbus bawang putih (Allium sativum Linn.), bulbus bawang
merah (Allium cepa Linn.), lendir-daun lidah buaya (Aloe vera L. Webb.),
rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.), rimpang temu putih (C. zedoaria (Berg.)
Rosc.), rimpang jahe (Zingiber officinale Rosc.), rimpang lempuyang wangi (Z.
aromaticum Val.), antanan (Centela asiatica (L.) Urb.), bunga kembang sepatu
19
(Hibiscus rosa-sinensis Linn.), biji selasih (Ocimum basilicum L.), dan buah
mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) (Sugihartina, 2004).
Penelitian Surya (2005) menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc. var. sunti Val.) memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan M. tuberculosis galur H37Rv dan galur 552 yang paling kuat dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) 5 µg/mL dibandingkan dengan varietas jahe lainnya yaitu jahe gajah dan jahe emprit (Surya, 2005).
Agusta (2005) mengamati bahwa kombinasi ekstrak etanol jahe merah dan mengkudu pada perbandingan 2,5 : 2,5 µg/mL, 250 : 250 µg/mL, dan 500 : 500 µg/mL berturut-turut menghambat pertumbuhan M. tuberculosis galur H37Rv, galur 552, dan galur 223 (Agusta, 2005).
Uji toksisitas subkronis ekstrak etanol rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc. var. sunti Val.), ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn.), dan kombinasinya yang dilakukan Qowiyyah (2006) menunjukkan bahwa penggunaan berulang ekstrak jahe merah dosis 50 mg/kg bb, ekstrak mengkudu dosis 50 mg/kg bb, dan kombinasi ekstrak jahe merah dan mengkudu (1:1) dosis 50, 400, dan 1.000 mg/kg bb tidak mempengaruhi perilaku dan aktivitas motorik, parameter hematologi, parameter urin, dan indeks tukak. Penggunaan berulang ekstrak jahe merah dosis 50 mg/kg bb, ekstrak mengkudu dosis 50 mg/kg bb, dan kombinasi ekstrak jahe merah dan mengkudu (1:1) dosis 50, 400, dan 1.000 mg/kg bb dapat meningkatkan bobot badan tikus jantan bermakna terhadap kontrol (p<0,05). Aktivitas imunomodulator diperlihatkan oleh kelompok ekstrak jahe merah dosis 50 mg/kg bb, ekstrak mengkudu dosis 50 mg/kg bb, dan kombinasi ekstrak jahe merah dan mengkudu (1:1) dosis 50, 400, dan 1.000 mg/kg bb. Penggunaan berulang ekstrak jahe merah dosis 50 mg/kg bb, ekstrak mengkudu dosis 50 mg/kg bb, dan kombinasi ekstrak jahe merah dan mengkudu (1:1) dosis 50, 400, dan 1.000 mg/kg bb tidak memberikan efek toksik sedangkan kombinasi ekstrak jahe merah dan mengkudu dosis 1.000 mg/kg bb bersifat hepatotoksik ringan dan nefrotoksik yang dapat pulih (Qowiyyah, 2006).
Hasil penelitian Sovia (2006) menunjukkan bahwa konversi dahak BTA positif menjadi BTA negatif pada minggu keenam setelah pemberian ekstrak buah mengkudu dosis 0,5 g perhari disamping OAT lebih cepat daripada setelah
20
pemberian ekstrak rimpang jahe merah dosis 0,5 g perhari maupun plasebo. Selain itu, ekstrak rimpang jahe merah dan ekstrak buah mengkudu tidak mempengaruhi fungsi hati dan fungsi ginjal. Angka kejadian yang tidak diinginkan pada penderita yang diberi ekstrak rimpang jahe merah dosis 0,5 g perhari dan buah mengkudu dosis 0,5 g perhari lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok plasebo (Sovia, 2006).
Penelitian Surialaga (2006) tentang penggunaan kombinasi ekstrak rimpang jahe
merah dan buah mengkudu sebagai obat komplementer pada penanganan TB
selama fase intensif (dua bulan pertama pengobatan) menunjukkan bahwa
konversi dahak BTA positif menjadi BTA negatif pada minggu kedua setelah
pemberian kombinasi ekstrak rimpang jahe merah dan buah mengkudu (1:1) dosis
1 g perhari berbeda secara bermakna dengan kelompok plasebo sedangkan dosis
0,5 g perhari tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok plasebo. Selain itu,
kecenderungan penambahan berat badan pada kelompok yang menerima
kombinasi ekstrak rimpang jahe merah dan buah mengkudu (1:1) dosis 1 g perhari
lebih besar dibandingkan dengan kelompok dosis 0,5 mg perhari dan kelompok
plasebo (Surialaga, 2006).