Bab 1 Pendahuluan -...
-
Upload
duongnguyet -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of Bab 1 Pendahuluan -...
1
Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri yang paling penting di
Indonesia dan semua negara berkembang. Setelah industri pengolahan makanan,
industri tekstil adalah aktivitas manufaktur terbesar pada fase awal industrialisasi
(Hill, 1992). Industri ini menyuplai komoditas dasar dan sumber yang penting untuk
generasi tenaga kerja. Mengemukanya industri ini sangat mudah untuk dijelaskan,
diantaranya, teknologi produksi yang standard dan hampir seluruhnya labour-
intensive, skala ekonominya tidak terlalu signifikan, dan pengetahuan mengenai
teknologi dan produknya sudah tersebar luas. Industri TPT Indonesia merupakan
andalan ekspor bagi industri nasional semenjak tahun 1987 dan mencapai puncaknya
pada tahun 1992 dengan nilai ekspor US$ 6,1 milyar (Widodo, 2001).
Industri tekstil Indonesia pernah menjadi keunggulan komparatif dan tulang
punggung perdagangan internasional Indonesia pada fase awal industriaisasi
Indonesia. Sumbangan sektor ini terhadap GDP cukup besar demikian juga perannya
terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, industri tersebut mengalami lost
opportunity di mana pangsa pasar internasional menurun dan peran bagi ekonomi
nasional menurun.
2
Berakhirnya rezim Multi Fiber Agreement pada tahun 2005 yang menghentikan
sistem kuota ekspor TPT ke negara maju memberikan dampak positif dan negatif
bagi Indonesia. Di satu sisi, ketiadaan kuota memberikan kesempatan yang tidak
terbatas untuk mengekspor tekstil. Di sisi lain, berakhirnya rezim ini meningkatkan
persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai
contoh China, negara kompetitor ini memiliki efisiensi yang lebih tinggi
dibandingkan Indonesia. China memiliki tenaga kerja yang murah. Selain itu, negara
kompetitor ini juga memiliki bahan baku kapas di negaranya sendiri di mana
Indonesia dalam hal ini masih harus mengimpor dengan konsekuensi harga yang
lebih mahal. Kompetitor lain, seperti negara-negara penghasil tekstil, seperti Vietnam,
yang tergabung dalam TPP memiliki bea masuk ke negara maju 0% sehingga
mengurangi daya saing Indonesia pasca berakhirnya rezim MFA.
Meskipun mengalami lost opportunity, produk garmen sebagai salah satu bagian dari
produk TPT cukup berptensi untuk dikembangkan kembali menjadi produksi
unggulan Indonesia. Selain karena industri TPT Indonesia sudah cukup siap, di mana
Indonesia telah memiliki industri hulu dan hilir TPT yang cukup terbangun. Pada
industri hulu, Indonesia memiliki industri pemintalan dan produksi kain yang telah
terbangun dengan baik. Di sisi hilir, Indonesia telah lama menjalin mitra dengan
perusahaan asing dalam memproduksi pakaian jadi untuk brand mereka. Selain itu,
dalam hal inovasi di industri hilir, Indonesia juga memiliki momentum yang cukup
baik di bidang industri garmen atau produk pakaian jadi seperti semakin banyaknya
3
disainer Indonesia yang berkualitas, semakin meningkatnya perhatian terhadap mode
baik dari pemerintah maupun aktor lain, serta berbagai keunikan pakaian jadi yang
hanya dimiliki oleh Indonesia seperti Busana Muslim, Batik, dan Pakaian Militer.
Pembahasan dalam penelitian ini akan berfokus pada produk TPT yang berupa
garmen atau pakaian jadi. Dari sisi value added, produk ini memberikan pertambahan
nilai yang cukup signifikan pada industri TPT dibandingkan dengan produk yang lain,
misalnya serat benang atau lembaran kain.
Sedangkan pengembangan industri tersebut berfokus pada ekspansi pasar ke luar
negeri yaitu ke negara-negara pasar non-tradisional. Hal tersebut dikarenakan latar
belakang berakirnya MFA yang menyebabkan pasar TPT negara tradisional sudah
mulai jenuh dan banyaknya negara kompetitor yang lebih efisien memasuki negara
pasar tradisional.
Peran komoditas TPT bagi perekonomian Indonesia, baik dalam sumbangannya
terghadap GDP, maupun penyerapan tenaga kerja, dinilai penulis layak untuk
dipertahankan sebagai komoditas unggulan. Berdasarkan rekam jejak komoditas ini
dan potensi yang dimiliki, komoditas TPT melalui sub sektor garmen berpotensi
untuk bangkit kembali, salah satunya melalui diversifikasi ke pasar negara non
tradisional.
4
1.2. Rumusan Masalah:
Rumusan masalah yang akan diteliti dalam tesis ini adalah:
1. Bagaimana strategi perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil melalui diplomasi
perdagangan terhadap negara-negara pasar non-tradisional?
2. Bagaimana strategi penambahan nilai Tekstil dan Produk Tekstil dalam
diplomasi perdagangan melalui analisa global value chain?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Menghasilkan penelitian ilmiah tentang perkembangan perdagangan bebas
serta strategi-strategi yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk bersaing
dalam rezim tersebut, salah satunya dengan menetapkan keunggulan suatu
komoditas.
2. Memberikan paparan yang detail tentang perkembangan komoditas pakaian
jadi Indonesia serta momentum pendukung industri pakaian jadi saat ini.
3. Memberikan analisa bagaimana strategi diplomasi perdagangan terhadap
pasar non-tradisional untuk revitalisasi industri TPT, khisusnya produk
pakaian jadi.
5
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh manfaat sebagai berikut:
1. Dalam bidang akademis, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi
studi ekonomi politik internasional, khususnya perdagangan internasional dan
liberalisasi perdagangan. Rezim liberalisasi perdagangan dewasa ini telah
menjadi trend dalam perdagangan internasional, serta dianut oleh sebagian
besar negara di dunia. Namun demikian, masih terdapat pro dan kontra apakah
rezim ini benar-benar dapat memberikan manfaat bagi para penganutnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan analisa mengenai strategi yang
dapat diterapkan oleh suatu negara untuk mengambil manfaat dari rezim
perdagangan internasional yang lebih bebas.
2. Dalam bidang praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
pemikiran bagi para stakeholder, pengambil kebijakan, dan para pelaku usaha
terutama dalam sektor TPT untuk menjadi pemain dalam rezim perdagangan
bebas.
1.5. Tinjauan pustaka
Penelitian ini merujuk pada beberapa referensi yang masing-masing membahas isu-
isu terkait penelitian dalam tesis ini. Bahasan dalam literatur review yag
dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari tulisan yang membahas, industri TPT
Indonesia beserta pemasalahannya dan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan
tersebut, pembahasan analisa negara-negara pasar non tradisional, pembahasan
6
analisa global value chain industri Pakaian Jadi, dan literatur mengenai industri TPT
pasca berakhirnya rezim Multi Fiber Agreement (MFA).
Literatur pertama adalah tulisan dari Thee Kian Wie dalam bukunya Pengembangan
Kemampuan Teknologi Industri di Indonesia. Dalam salah satu chapternya mengenai
industri Garmen, Wie juga menyebutkan bahwa salah satu kendala dalam industri ini
adalah terkait hal-hal teknis seperti masalah mesin-mesin yang sudah tua. Namun
demikian, Wie juga menyebutkan bahwa kendala lain yang dihadapi oleh industri ini
adalah kemampuan kaitan pemasaran.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan TPT masih mengandalkan pada perusahaan
perniagaan asing (khususnya sogo sosha Jepang), pembeli perantara asing (buying
agents) yang berkedudukan di Hongkong atau Singapura dan yang umumnya
mewakili pembeli-pembeli di negara-negara maju, kontraktor asing, atau mitra asing
mereka (dalam kasus usaha patungan). Merujuk tulisan tersebut, penulis menekankan
akan pentingnya strategi keluar melalui diplomasi perdagangan untuk memasarkan
produk TPT di samping strategi teknis ke dalam.
Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Badan
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri tahun 2011,
“Strategi Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia terhadap Pasar Non-Tradisional”.
Penelitian ini memaparkan tentang rekam jejak Indonesia sebagai kekuatan baru
7
dalam politik global yang membawa implikasi bahwa diplomasi Indonesia di masa
mendatang akan semakin kuat dengan menguatnya posisi tawar negara secara relatif
terhadap negara lain. Hal ini juga dapat diartikan sebagai munculnya justifikasi bagi
Indonesia untuk semakin memperluas diplomasi politik dan ekonomi ke negara-
negara dan kawasan di luar mitra tradisional Indonesia saat ini.
Dalam penelitian tersebut juga telah dipaparkan mengenai strategi-strategi diplomasi.
Pemilihan strategi harus memperhatikan kapasitas yang dimiliki oleh Indonesia baik
dalam bentuk hard capacity yang berupa institusi-institusi pendukung perdagangan
internasional serta instrument kebijakannya dan soft capacity yang meliputi
kemampuan para aktor dalam berdiplomasi dan meyakinkan pelaku pasar di negara-
negara tujuan.
Hal ini memungkinkan hubungan perdagangan antar negara tidak hanya secara
bilateral namun satu negara dengan beberapa negara sekaligus. Strategi ketiga adalah
meningkatkan kerjasama politik sosial dan budaya. Hal ini sangat penting untuk
memperkenalkan Indonesia ke negara-negara mitra yang baru. Selanjutnya dapat
dilanjutkan menjadi kerjasama yang lebih lanjut. Dalam hal ini hard capacity dan soft
capacity sangat penting sebagai kelengkapan perangkat diplomasi dalam kapasitas
institusional seperti keberadan atase perdagangan, perwakilan dagang, atau
Indonesian Trade Promotion Center (ITPC).
8
Merujuk dari hasil penelitian tersebut, penulis sejalan dengan pendapat bahwa
Indonesia harus mengembangkan diplomasi perdagangan ke pasar-pasar non-
tradisional dengan strategi-strategi yang dipaparkan dalam tulisan tersebut. Dalam hal
ini penulis berfokus pada diplomasi perdagangan untuk komoditas TPT.
Penelitian lain tentang industri TPT dilakukan oleh Peter Dicken dalam salah satu
chapter buku Global Shift: Clothing Industries. Penelitian ini memaparkan secara
komprehensif tentang perubahan peta industri TPT dunia. Saat ini strategi yang
diadopsi oleh industri TPT dunia sangat beragam dan kompleks. Hal tersebut
mencakup kombinasi dari inovasi teknologi, tipe-tipe strategi internasionalisasi yang
berbeda, hubungan antara industri dengan retailer dan keterkaitan dengan berakhirnya
rezim MFA. Dalam hal ini pembeli tingkat besar dan retailer memainkan peran
penting dalam industri clothing global.
Dalam tulisan ini, selain menjelaskan bahwa sebagian besar negara-negara maju
memindahkan industrinya ke negara-negara berkembang, terutama negara-negara
Asia untuk mencapai efisiensi produksi, Dicken juga menunjukkan fakta bahwa ada
beberapa industri clothing dari beberapa negara yang tetap mempertahankan
produksinya di dalam negeri. Industri-industri tersebut misalnya Benetton, Zarra dan
H&M yang tetap menggunakan kontraktor yang berada di negaranya, Italia untuk
menjaga kualitasnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh brand Zara dari Spanyol.
Perusahaan yang berlokasi di La Coruna, bagian Barat Daya Spanyol ini berfokus
pada produksi industri tradisional yaitu tekstil Iberian.
9
Tulisan Clothing Industri dalam Global Shift tulisan Dicken memaparkan tentang
global value chain dan industri yang semakin dapat di-internasionalisasi atau industri
global. Namun demikian, tulisan tersebut cenderung merujuk dan ditulis dari sisi
negara maju. Dalam penelitian ini, penulis merujuk tentang global value chain dari
tulisan Dicken untuk diaplikasikan dalam analisa industri clothing Indonesia.
Selain itu, merujuk salah satu pembahasan Dicken tentang beberapa brand yang tetap
melakukan proses produksinya terlepas dari pertimbangan efissiensi produksi, penulis
merujuk bahasan tersebut sebagai suatu bentuk konsep keunggulan kompetitif suatu
produk. Hal ini dapat ditunjukan dari keberhasila Benneton dan Zara dalam
perdagangan internasional dengan berfokus pada penambahan nilai produk mereka.
Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam industri TPT Indonesia. Saat ini Indonesia
memiliki banyak sekali desainer profesional dan memiliki kesadadaran fashion yang
meningkat. Selain itu, salah satu keunggulan yang telah dimiliki Indonesia saat ini
adalah majunya secara bersamaan industri hulu dan hilir TPT. Dengan demikian,
merujuk dari Zara dan Benetto, Industri hilir TPT Indonesia dapat menjadi potensi
yang bagus untuk industri yang memiliki nilai tambah dalam perdagangan
internasional. Hal ini merujuk pada konsep keunggulan kompetitif suatu industi, di
mana produk yang memiliki nilai tambah akan masih tetap dapat bersaing
dibandingkan hanya mengandalkan konsep keunggulan komparatif yang terkait
dengan endowment.
10
Literatur review terakhir adalah tulisan dari Kisnu Haryo yang berjudul North
American Free Trade Area dan Implikasinya terhadap Industri dan Perdagangan
Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Penelitian ini berfokus pada strategi
menghadapi NAFTA yang diskriminatif dan restriktif terhadap TPT Indonesia.
Strategi tersebut di antaranya berfokus pada lobby terhadap AS dan Kanada untuk
menurunkan tarif TPT Indonesia dan peningkatan investasi asing di sektor TPT.
Strategi selanjutnya adalah koordinasi antar aktor dalam negeri untuk memperbaiki
industri TPT dari sisi teknis di dalam negeri.
Perbedaan penelitian tersebut dengan yang dilakukan oleh penulis adalah pada fokus
negara mitra perdagangan TPT. Penulis berfokus pada negara-negara pasar non
tradisional. Selain itu, penulis juga menganalisa tentang nilai tambah sub sektor
pakaian jadi dalam sistem global value chain yang belum dianalisa oleh penelitian
sebelumnya karena penelitian tersebut lebih berfokus pada upaya lobbying negara-
negara maju untuk penetrasi pasar TPT Indonesia.
1.6. Kerangka Konseptual
1.6.1. Konsep Diplomasi Perdagangan
Diplomasi perdagangan merupakan salah satu bagian dari diplomasi ekonomi.
Generally diplomacy (including economic diplomacy) is ‘the means by which states
pursue their foreign policies’ (Berridge 2002; 3). Diplomasi ekonomi adalah upaya
untuk memperoleh keamanan ekonomi dalam sistem ekonomi internasional yang
11
anarki. Diplomasi ekonomi didefinisikan sebagai penggunaan alat-alat diplomasi
tradisional seperti pengumpulan informasi, lobbying, representasi, negosiasi dan
advokasi untuk kebijakan ekonomi luar negeri yang lebih lanjut (Barston 1997;
Berridge 2002; Hamilton & Langhorne 1995; Jönsson and Hall 2005; Marshall 1997;
Watson 1982). Dengan demikian, diplomasi ekonomi berfokus pada agenda ekonomi
dalam diplomasi yang dapat dibedakan dari agenda politik. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan dalam tipe diplomasi maupun aktor-aktor diplomasi.
Beberapa studi menunjukkan bahwa awal mula dari diplomasi pada sebagian besar
negara terletak pada pengembangan hubungan yang ramah dengan tujuan untuk
memfasilitasi perdagangan (see Lee & Hudson 2004). Potter (2004) berpendapat
bahwa diplomasi perdagangan merupakan aktivitas value creating untuk tujuan fokus
manajerial dan pemerintah, masing-masing ditujukan menjadi kegiatan strategis yang
relevan.
Terdapat dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan utama (terkait dengan perdagangan dan
FDI, riset dan teknologi, pariwisata dan advikasi bisnis), dan kegiatan pendukung
yang menyediakan input yang diperlukan untuk kegiatan utama (intellegence,
networking, keterlibatan dalam kampanye image made-in, dukungan dalam negosiasi
bisnis, implementasi kontrak, dan problem solving).
Kotescki dan Naray (2007) mengidentifikasi kegiatan rasional berikut untuk
diplomasi perdagangan:
1. Kebutuhan akses untuk informasi bisnis yang reliable dan netral
12
2. Dukungan untuk kredibilitas dan image yang lemah dari pendatang baru
dalam pasar luar negeri
3. Pencarian mitra: mendorong perusahaan nasional (terutama SMEs) untuk go
internasional
4. Penanganan konflik
5. Dukungan untuk delegasi nasional: para menteri sering didampingi dalam
kunjungan kenegaraan oleh kalangan bisnis
6. Fokus strategis, seperti keinginan pemerintah untuk tergabung dalam
kebijakan perdagangan strategis, dukungan untuk kegiatan research and
development atau meningkatkan akses suplai.
Definisi diplomasi perdagangan menghubungkan lanskape diplomasi baru dan
menjelaskan diplomasi perdagangan sebagai kerjasama dari network aktor publik dan
swasta yang mengelola hubungan dagang menggunakan channel dan proses
diplomasi (Lee, 2004).
Pendekatan baru pada diplomasi ekonomi menunjukkan bahwa diplomasi tidak dapat
dibagi menjadi aktivitas ekonomi dan politik yang terpisah dan pada prakteknya,
sebagian besar negara akan menemukan bahwa pemisahan tersebut tidak berjalan
dengan baik. Di semua negara, diplomasi ekonomi adalah kunci dalam strategi
diplomasi dan oleh karena itu menjadi penting bagi negara untuk mengembangkan
diplomasi yang terintegrasi dan terkoordinasi. Diplomasi yang terkoordinasi ini
melibatkan multipel aktor dan individu yang terbangun di antara jaringan kebijakan
13
antara lain dari beberapa kementerian, termasuk kementerian luar negeri sebagaimana
pihak swasta dan aktor sipil ditempatkan di level nasional, regional dan internasional
(Hocking 2004).
Ketika berfikir tentang diplomasi, kita perlu bergerak melampaui pemikiran
sederhana mengenai kementerian luar negeri dan pejabat-pejabatnya di penugasannya
di luar negeri. Konsep yang paling berguna adalah National Diplomatic System
(NDS). Konsep ini menangkap dengan baik diplomasi terkoordinasi yang beragam
dan komplek. Diplomasi ekonomi dapat dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri,
tetapi melibatkan tanggung jawab dan kepentingan ekonomi di dalam dan di luar
pemerintah pada semua level pemerintahan. Struktur dan proses diplomasi dalam
pengertian NDS, kementerian luar negeri menjadi integrator dan koordinator
diplomasi. Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan partner seperti departemen
lain dalam pemerintahan sebagaimana dengan kelompok bisnis dan kelompok sipil
untuk menyampaikan tujuan-tujuan diplomasi.
Diplomasi ekonomi juga meliputi ranah politik. Seperti diplomasi konvensional,
diplomasi ekonomi juga mempergunakan alat-alat diplomasi yang sama seperti
halnya information gathering, lobbying dan representasi. Dapat diambil contoh, untuk
memasuki pasar suatu negara atau wilayah, melalui fungsi information gathering,
aktor dari negara eksportir harus menganalisa potensi pasar yang ada di negara tujuan,
bagaimana daya saing komoditas yang akan diekspor, bagaimana keadaan pesaing
dari negara lain dan sebagainya. Dari sisi lobbying dan negosiasi, aktor dari negara
14
eksportir dapat melakukan pembicaraan dengan aktor terkait di negara tujuan untuk
menghasilkan kesepakatan tentang perdagangan antara kedua negara. Dari sisi
representasi, negara-negara dapat memiliki perwakilan di negara mitra untuk
memudahkan kegiatan diplomasi ekonomi.
Analisa Teoritikal Diplomasi Ekonomi
Konsep klasik diplomasi menjelaskannya sebagai: the conduct of relations between
states and other entities with standing in world politics by official agents and by
peaceful means (Bull 1977/1995). Defiisi yang lebih baru menyatakan bahwa
Diplomacy is concerned with the management of relations between states and
between states and other actors (Barston, 2006). Sedangkan cakupan diplomasi
ekonomi menurut Odell adalah kebijakan terkait dengan produksi, perpindahan atau
pertukaran barag, jasa, investasi (termasuk bantuan pembangunan), uang, informasi,
dan regulasinya (Odell, 2000).
Berikut beberapa pendekatan teoritikal yang terkait lebih langsung dengan negosiasi
Model Rasionalis
Model Rasionalis secara umum didasarkan pada asumsi negara sebagai kesatuan yang
mengagregasi kepentingan-kepentingan domestik dengan tujuan untuk
memaksimalkan penggunaannya dalam pembentukan kekuasaan pertahanan (Tollison
dan Willet, 1979). Rasional model negosiasi pada dasarnya membangun konsep
model “principal-agent”dalam model tersebut, pemerintah dilihat sebagai aktor dan
15
serangkaian kepentingan-kepentingan sebagai “principals” (ditetapkan sebagai
kepentingan nasional) yang akan menentukan pemilihan selanjutnya dari pemerintah
tersebut.
Model rasionalis sering digambarkan sebagai konsep yang meminjam konsep
ekonomi. Dengan demikian, model negosiasi dapat dibangun di mana pihak-pihak
memaksimalkan keuntungan bersama melalui “pareto optimum” melalui di mana
pihak-pihak tidak lagi memungkinkan untuk meningkatkan keuntungannya tanpa
membuat pihak lain dirugikan (Sibenius, 1983).
Sebagai isu tunggal, negosiasi cenderung menjadi lebih zero sum games, para
negosiator diharapkan untuk menambah isu-isu dengan tujuan untuk menjamin
bahwa semua pihak mendapat keuntungan dari negosiasi. Penambahan isu-isu ini
atau “linking of negotiation”kemudiakan menyediakan cakupan untuk negosiasi
integratif di mana semua pihak memperoleh dan mengurangi elemen distributif dalam
negosiasi. Sebagian besar penulis berpendapat bahwa diplomasi ekonomi secara
umum merupakan perpaduan antara strategi-strategi distributif dan integratif, atau
menggunakan terminologi dari teori negiosiasi, perpaduan antara strategi value
claiming dan value creating (Odell, 2000)
Pendekatan Konstruktivis
Pendekatan konstruktivis menekankan pada peran dialog atau persuasi, bukan sekedar
bargaining (Ulbert dan Risse, 2005). Ketika negosiator menempatkan posisi tertentu,
16
mereka mendukung posisi tersebut dengan argumen pendukung. Argumen tersebut
didukung dengan informasi yang tepat ataupun hasil penelitian mengenai isu terkait.
Persuasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan bargaining maupun coercion
karena partner negosiasi ‘buys in’ terhadap kesepakatan. Hal ini penting ketika
persetujuan sampai pada tahap implementasi. Informasi memainkan peranan yang
sangat penting dalam persuasi atau argumen.
Strategi Negosiasi
Berikut beberapa strategi dalam negosiasi
1. Value Claiming
Merupakan sifat naluriah bagi negosiator melakukan bargaining untuk mendapatkan
keuntungan dengan mengorbankan pihak lawan; keuntungan bagiku berarti kerugian
bagimu. Namun demikian, apabila pemerintah hanya berkonsentrasi pada keuntungan,
hal ini menjadi tidak bermanfaat bagi diplomasi ekonomi. Kesepakatan seperti itu
tidak akan diratifikasi, dan meskipun diratifikasi, pihak yang kalah akan selalu
mencari cara untuk melanggarnya.
2. Value Creating
Negosiator yang ahli dalam diplomasi ekonomi akan mempergunakan value creating
di mana semua pihak mendapatkan keuntungan.
3. Package Deals
Pada prakteknya, banyak kesepakatan value creating berubah menjadi paket-paket
kesepakatan value claiming. Pada kesepakatan individu, beberapa negara
17
mendapatkan keuntungan lebih dari negara lain, tetapi total paket ditambahkan
sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan bagi semua pihak. Hal ini
biasanya dikenal dengan single undertaking di mana tidak ada kesepakatan mengenai
suatu isu sampai semua isu disepakati.
Diplomasi Ekonomi dalam Pelaksanaannya
Pembahasan pada bagian ini menekankan pada analisa tehadap pelaksanaan dipomasi
ekonomi yang dilakukan oleh pejabat permanen dan birokrat. Unsur tersebut terdiri
dari aktor-aktor yang melaksanaan negosiasi internasional dalam diplomasi ekonomi;
dan ketika kekuatan pembuatan kebijakan resmi terletak pada menteri dan legislator,
kekuatan tersebut biasanya dipersiapkan oleh para pejabat institusi pemerintahan
terkait. Analisa ini juga mencari keterkaitan dan interaksi antara birokrat dengan
aktor negara lain serta aktor non-negara.
Pelaksanaan diplomasi itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu:
1. Pertama, pelaksanaan yang melalui serangkaian pembuatan kebijakan
domestik di dalam pemerintahan;
2. Kedua, melalui analisa proses negosiasi internasional dan mengaitkannya
dengan rangkaian negosiasi domestik;
3. Ketiga, membuat penilaian strategi negosiasi yang mengilustrasikan interaksi
antara level domestik dan internasional (Bayne dan Woolcok, 2007).
18
1.6.2. Global Value Chain
Global Value Chain didefinisikan dalam beberapa pengertian berdasarkan jenis global
value chain yaitu simple value chain, extended value chain, dan one or many value
chains (Kaplinsky dan Morris, 2000). Analisa global value chain merupakan salah
satu faktor penting yang menentukan pemenang dalam globalisasi.
Tipe value chain yang pertama adalah simple value chain. Tipe ini dideskripsikan
sebagai cakupan keseluruhan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk membawa produk
atau jasa dari tahap konsepsi, melalui fase produksi yang berbeda (meliputi
kombinasi dari transformasi fisik dan input dari jasa berbagai produser), dikirimkan
pada konsumen akhir, dan pembuangan terakhir setelah dipergubakan (Kaplinsky dan
Morris, 2000). Pada jenis ini, hanya terdapat satu jaringan value added. Pada setiap
jaringan rantai, terdapat berbagai kegiatan untuk value added. Meskipun sering
digambarkan sebagai rantai vertikal, jaringan intra-chain seringkali bersifat two-way
– sebagai contoh agensi khusus desain tidak hanya mempengaruhi karakteristik
proses produksi dan pemasaran, tetapi sebaliknya juga dipengaruhi oleh batasan
dalam jaringan downstream dalam rantai.
Empat Jaringan dalam simple value chain
19
(Kaplinsky dan Morris, 2000)
Extended Value Chain
Pada dunia nyata, tentu saja value chain sangat lebih komplek daripada simple value
chain. Salah satunya, cenderung terdapat lebih banyak link dan chain. Setiap rantai
atau link dalam suatu value chain, juga berhubungan dengan rantai yang lain untuk
menghasilkan produk yang dibutuhkan dalam rantai tersebut.
Design
and
product
develop
ment
Production
Inward logistic
Transforming
Inputs
Packaging
etc
Marketing Consumption /
Recycling
Design ProductionInward logistics transforming
input Packaging
Marketing Consumption /
Recycling
20
One or Many Value Chains
Pada tipe ini, produser intermediary dalam suatu value chain mungkin memenuhi
beberapa value chain yang berbeda. Dalam hal ini, share dari penjualan mungkin
mengaburkan peran krusial bahwa beberapa suplier mengontrol teknologi kunci atau
input (yang mungkin saja cenderung bagian kecil dari outputnya) pada bagian
selanjutnya dari value chain.
Analisa value chain penting pada konteks globalisasi karena beberapa alasan. Pertama,
dengan pertumbuhan division of labour dan global dispersion produksi komponen-
komponen, kompetitif sistemik menjadi lebih penting. Kedua, Efisiensi produksi
adalah kondisi yang penting untuk keberhasilan penetrasi pasar global. Ketiga,
Memasuki pasar global yang memungkinkan untuk pertumbuhan income yang
berkelanjutan membutuhkan pemahaman tentang faktor dinamis dalam keseluruhan
value chain.
Dalam value chain juga terdapat komponen core competence. Di sini, perusahaan
harus berkonsentrasi pada sumber daya yang mereka miliki yang relatif unik,
menyediakan pelayanan yang bernilai unik konsumen, dan yang sulit untuk ditiru,
dan mereka sebaiknya melakukan outsorce kompetensi yang lain pada perusahaan
lain dalam value chain. Hal ini dapat menciptakan systemic competitiveness.
Memetakan aliran input – barang dan jasa – dalam rantai produksi memungkinkan
21
masing-masing perusahaan untuk menentukan pihak mana yang memainkan peran
penting dalam keberhasilan chain.
Pada pelaksanaannya, di negara-negara maju produksi lebih banyak dilakukan oleh
subsidiari TNCs asing. Di kasus lain, produsi dilakukan melalui lisensi asing atau
oleh perusahaan yang mengembangkan desain lokal dan kemampuan teknologi.
Produser semacam ini mampu memenuhi harga global yang bersaing dan standar
kualitas, dan dapat menyuplai dalam jumlah yang mencukupi.
Value chain juga bermanfaat dalam kebutuhan menjadikan produk sampai pada pasar
lebih cepat. Hal ini berarti bahwa pembagian antara pengembangan, desain, produksi,
harus dijembatani. Inovasi produk yang cepat membutuhkan fungsi-fugsi yang
berbeda bekerja bersama dalam proses teknik paralel atau concurrent.
Analisa value chain juga penting dalam menjelaskan distribusi keuntungan, terutama
income, bagi mereka yang berpartisipasi dalam global ekonomi. Hal ini memudahkan
untuk mengidentifikasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk memungkinkan
produser individu dan negara untuk meningkatkan share gain mereka. Analisa value
chain dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahaya yang muncul dari pola yang
berbahaya dalam patisipasi di global ekonomi.
Faktor penting lain dalam analisa value chain adalah term of trade. Term of trade
menunjukkan pendapatan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan. Untuk mendapatkan
keuntungan, harus dipastikan agar tidak terjadi situasi di mana terjadi peningkatan
22
aktivitas ekonomi (banyak output dan banyak menyerap pekerja), tetapi terjadi
penurunan pendapatan ekonomi (Kaplinsky dan Morris, 2000).
Isu kunci dalam analisa value chain adalah bagaimana produser – baik perusahaan,
kawasan, atau negara – berpartisipasi dalam ekonomi global daripada mereka
terpaksa harus melakukannya. Apabila mereka salah dalam melakukannya, mereka
akan memasuki situasi “race to the bottom”, yang merupakan jalan pertumbuhan
immisering di mana mereka terkunci dalam kompetisi yang semakin ketat dan income
yang mengalami penurunan.
Terdapat tiga elemen kunci dari analisa value chain. Pertama, barrier to entry dan
rent, kedua, governance, dan ketiga adalah jenis-jenis value chain.
Barriers to Entry dan Rent
Value chain merupakan konstruksi yang penting untuk memahami distribusi
pendapatan yang muncul dari desain, produksi, marketing, koordinasi dan recycling.
Pada intinya, pendapatan yang terutama bertambah pada pihak-pihak yang mampu
melindungi dirinya dari kompetisi. Kemampuan ini dapat disebut sebagai konsep rent,
yang muncul dari kepemilikan sumber-sumber yang langka atau terbatas dan
melibatkan barriers to entry.
Terdapat beberapa bentuk rent. Pertama adalah economic rents. Ahli ekonomi klasik
seperti Ricardo berargumen bahwa economic rent bertambah pada dasar
ketidakseimbangan kepemilikan/akses atau kontrol terhadap sumber daya langka
23
yang tersedia. Namun demikian, Schumpeter menunjukkan, keterbatasan atau
kelangkaan dapat dikonstruksi melalui tindakan sengaja, dan oleh karena itu surplus
perusahaan dapat bertambah kepada mereka yang menciptakan kelangkaan ini. Bagi
Schumpeter, hal ini intinya merupakan ketika pengusaha berinovasi, menciptakan
‘kombinasi baru’ atau kondisi yang menyediakan pendapatan yang lebih besar dari
harga produk daripada biaya yang dibutuhkan untuk sebuah inovasi. Pendapatan dari
inovasi tersebut merupakan bentuk dari super profit dan berperan sebagai hal yang
menarik untuk ditiru oleh pengusaha yang lain juga berharap untuk menjadi bagian
dari profit ini.
Tipe rent yang kedua adalah producer rent. Pada masing-masing industri, equilibrium
ditentukan oleh rata-rata harga atau profit. Producer rent dapat dideskripsikan
sebagai ‘kombinasi baru’ bagi pengusaha untuk meraih surplus. Kemudian karena
inovasi perusahaan ditiru – proses difusi – producer rent mengalami penurunan, harga
turun, dan inovasi bertambah pada bentuk surplus konsumen. Namun demikian,
semua ini mendorong pencarian baru untuk ‘kombinasi baru’, baik oleh pengusaha
yang sama ataupun oleh pengusaha yang lain, dalam pencarian berlanjut untuk
surplus enterpreneurial. Economic rent memiliki bentuk yang beragam dalam
perusahaan, termasuk kemampuan teknologi, kemampuan organisasi, kemampuan
marketing (seperti nama brand).
Sebagai konsekuensinya, dapat dikatakan bahwa economic rent yang utama dalam
rantai produksi lebih banyak ditemukan di wilayah luar produksi, seperti desain,
24
branding, dan marketing. Namun demikian, hal tersebut merupakan kesimpulan yang
sederhana, sebab bahkan dalam produksi beberapa kegiatan melibatkan barriers to
entry yang besar. Trend yang meluas merupakan kontrol terhadap Kegiatan-kegiatan
yang terpisah dalam value chain.
Kebijakan pemerintah yang efisien mempermudah perusahaan untuk membangun
economic rents melalui tersedianya akses yang lebih baik terhadap ketrampilan
pekerja, infrastruktur yang lebih baik, dan perantara finansial yang lebih efisien
daripada di negara kompetitor.
1. Terdapat berbagai bentuk umum economic rent dalam global ekonomi;
Beberapa merupakan endogenous dan dikonstruksi oleh perusahaan dan
merupakan bentuk klasik dari rent Schumpetarian
a. Technology rents – memiliki command terhadap teknologi yang
langka
b. Human resource rents – memiliki akses terhadap skill yang lebih baik
daripada kompetitor
c. Organisational rents – kepemilikan bentuk superior organisasi internal
d. Marketing rents – kepemilikan kemampuan marketing yang lebih baik
dan/atau nama brand.
Yang lainnya merupakan endogenous terhadap chain dan dibangun oleh
kelompok perusahaan:
25
e. Relational rents – memiliki kualitas hubungan superior terhadap
suplier dan konsumen
2. Rent dapat merupakan exogenous terhadap chain dan muncul melalui
anugerah alamiah:
Resource rent – akses terhadap sumber daya alam yang langka
3. Produser dapat juga mendapat keuntungan dari rents yang disediakan oleh
pihak eksternal dari chain:
a. Policy rents – beroperasi di lingkungan pemerintahan yang efisien;
membangun barriers to entry terhadap kompetitor
b. Infrastructural rents – akses terhadap input infrastruktur dengan
kualitas tinggi seperti telekomunikasi
c. Financial rents – akses terhadap keuangan dalam situasi yang lebih
baik daripada kompetitor
4. Rent bersifat dinamis – rent yang baru akan ditambahkan seiring berjalannya
waktu dan rent yang sudah ada dapat dihapus karena kekuatan kompetisi.
Governance
Konsep analisa kedua merupakan berbagai aktivitas di dalam chain – di dalam
perusahaan dan dalam division of labour antar perusahaan – menurut Gereffi
disebut sebagai ‘governance’ (Gereffi, 1994). Value chain menunjukan
pengulangan interaksi jaringan. Governance menjamin bahwa interaksi antar
perusahaan dalam value chan berjalan dalam manajemen oraganisasi dan bukan
26
secara random. Value chain diatur melalui mekanisme governance ketika
parameter yang membutuhkan produk, proses, dan kualifikasi logistik memiliki
konsekuensi kenaikan atau penurunan nilai dan melibatka beberapa aktivitas,
aktor, peran, dan fungsi.
Value chain dikoordinasikan pada tempat-tempat yang berbeda di dalam jaringan
dengan tujuan untuk memastikan tujuan tersebut (intra firm, inter firm, regional)
dikelola dengan cara-cara tertentu. Power asymetry merupakan isu sentral dalam
governance value chain. Terdapat beberapa aktor kunci di dalam chain yang
bertanggung jawab terhadap division of labour inter-firm, dan terhadap kapasitas
partisipan-partisipan tertentu untuk meng-upgrade aktivitas mereka. Hal ini
penting karena kerumitan dan kompleksitas perdagangan di era globalisasi
membutuhkan bentuk koordinasi yang mutakhir, bukan sekedar posisioning
(siapa yang dialokasikan peran apa dalam value chain) dan logistik (kapan dan di
mana input intermediate, termasuk jasa dikirim sepanjang chain, tetapi juga
hubungan terhadap integrasi komponen-komponen terhadap desain produk akhir,
dan standar kualitas di dalam integrasi. Koordinasi biasanya meliputi pengelolaan
parameter ini karena parameter-parameter tersebut merupakan serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh berbagai aktor yang mengerjakan peran spesifik di
dalam chain. Fungsi ini juga membutuhkan monitoring outcome, menghubungkan
kegiatan-kegiatan yang berlainan antar aktor-aktor yang berbeda, membangun dan
mengelola hubungan antar aktor yang berbeda-beda meliputi link, dan
27
mengorganisasi logistik untuk mempertahankan jaringan nasional, regional,
maupun global.
Tipe-tipe value chain
Terdapat dua tipe value chain menurut Gereffi, yaitu producer driven value chain,
dan buyer driven value chain (Gereffi, 1999). Buyer driven merupakan chain di
mana peran kritikan governance dimainkan oleh pembeli di puncak chain. Tipe
ini memiliki karakteristik industri labour intensive (dan oleh karena itu relevan
untuk negara berkembang), seperti alas kaki, clothing, furniture dan mainan.
Producer driven chain dunia di mana produser inti di dalam chain, pada umumnya
merupakan perintah teknologi vital, memainkan peran mengkoordinasi berbagai
link. Di sini, produsen bertanggung jawab untuk membantu efisiensi baik suplier
dan konsumen mereka. Gereffi menunjukkan bahwa producer driven chain lebih
cenderung berkarakteristik foreign direct investment (FDI) daripada buyer driven
chain (Gereffi, 1999). Lebih lanjut Gereffi menyatakan bahwa producer driven
chain merupakan refleksi dari import subtitituting industrialization order,
sedangkan buyer-driven chain lebih merupakan outward-oriented dan sistem
produksi network pada abad ke-21.
Producer-driven commodity chain merupakan perusahaan manufaktur besar dan
biasanya transnasional yang memainkan peran sentral dalam mengkoordinasi
network produksi (termasuk link backward dan forward mereka). Hal ini
28
merupakan karakteristik industri kapital dan teknologi intensif seperti automobil,
aircraft, komputer, semikonduktor, dan mesin.
Buyer driven commodity chain merujuk pada industri di mana retailer, marketer,
dan manufaktur brand memainkan peranan penting dalam setting up jaringan
produksi desentralisasi di berbagai negara pengekspor, biasanya berada di negara
dunia ketiga. Pola trade-led industrialization ini pada umumnya merupakan
labour-intensive, industri barang konsumsi seperti garment, alas kaki, mainan,
alat-alat rumah tangga, alat-alat elektronik, dan berbagai handicraft. Produksi
pada umumnya dijalankan oleh jaringan yang terikat dari kontraktor di negara
dunia ketiga yang membuat barang jadi. Spesifikasinya disuplai oleh retailer besar
atau marketer yang memesan barang.
Value Chain, Inovasi, dan Upgrading
Tipe-tipe Upgrading
Terdapat dua tipe upgrading. Pertama, yang memfokuskan pada kompetensi
(Hamel dan Pralahad, 1994). Tipe ini menekankan bahwa perusahaan perlu untuk
menilai kapabilitas mereka untuk menentukan sumber-sumber yang:
1. Menyediakan value untuk final customer
2. Relatif unik dalam hal sedikit kompetitor yang memilikinya
3. Sulit untuk ditiru, sehingga menjadikannya barriers to entry.
29
Dengan demikian, kapasitas untuk berinovasi muncul dari konsentrasi pada
kompetensi dan melakukan outsorcing pada fungsi-fugsi yang tidak memenuhi
kriteria ini. Dalam dunia yang dinamis, kompetensi inti dapat dengan mudah berubah
menjadi ketetapan inti (Leonard-Barton, 1995), dan bagian dari tugas upgrading
adalah untuk melepaskan wilayah ekspertis yang telah lalu.
Tipe yang kedua adalah ide yang berfokus pada kapabilitas dinamis (Teece dan
Pisano, 1994). Literatur ini secara eksplisit dibangin di atas konsep rent
Schumpeterian yang telah dibahas sebelumnya. Ide ini berpendapat bahwa profit
korporasi dalam jangka waktu yang lama tidak dapat dibuat berkesinambungan oleh
kontrol terhadap pasar (sebagai contoh, melalui penggunaan praktek quasi-
monopolistic), tetapi melalui pengembangan kapabilitas dinamis yang muncul
sebagai hasil dari:
1. Proses internal yang memfasilitasi pembelajaran, termasuk kapasitas untuk
mengkonfigurasi ulang apa yang telah dilakukan oleh perusahaan di masa lalu
2. Posisi, yang merupakan akses terhadap kompetensi spesifik baik di dalam
aktivitasnya sendiri, maupun yang digambarkan dari sistem inovasi regional
atau nasional
3. Path, merupakan lintasannya karena perubahan selalu merupakan path-
dependent.
30
Kedua konsep tersebut penting untuk memahami faktor yang memfasilitasi
improvement dalam produk dan proses yang muncul dari aktivitas perusahaan itu
sendiri. Namun demikian, konsep tersebut memiliki kelemahan, karena hanya
berhenti pada level perusahaan, dan gagal untuk menjelaskan proses upgrading yang
bersifat sistemik dan melibatkan kelompok perusahaan berhubungan bersama dalam
value chain. Hal ini bertentangan dengan pendekatan core competences yang secara
eksplicit mengabaikan chain melalui kesimpulan normatifnya bahwa upgrading
hampir selalu melibatkan outsorcing.
Oleh sebab itu, diperlukan pandangan mengenai tantangan upgrading dalam
perspektif yang lebih luas dan menjelaskan ide sentral tentang upgrading mungkin
mencakup perubahan karakteristik dan perpaduan aktivitas, baik di dalam masing-
masing link di tiap chain, dan aktivitas distribusi intra-chain. Dapat diidentifikasi
empat lintasan yang dapat diadopsi oleh perusahaan untuk memperoleh tujuan
upgrading, yaitu:
1. Process upgrading: Meningkatkan efisiensi proses-proses internal sedemikian
sehingga menjadi lebih baik daripada rival-rivalnya, baik di dalam link
individual di dalam chain (sebagai contoh, increased inventory turn, lower
scrap), dan di antara link di dalam chain (sebagai contoh, pengiriman yang
semakin sering, semakin kecil dan tepat waktu)
2. Product upgrading: memperkenalkan produk baru atau meningkatkan kualitas
produk lama lebih cepat daripada saingan. Hal ini mencakup perubahan proses
31
perngembangan produk baru baik di dalam link individual dalam value chain
dan di dalam hubungan antar berbagai jaringan chain
3. Functional upgrading: meningkatakan value aded dengan merubah perpaduan
aktivitas yang dilakukan di dalam perusahaan (sebagai contoh, mengambil
tanggung jawab atau melakukan outsorcing fungsi akuntansi, logistik dan
kualitas) atau memindahkan tempat aktivitas ke link yang berbeda dalam
value chain (sebagai contoh dari manufaktur ke desain)
4. Chain upgrading: berpindah ke value chain yang baru (sebagai contoh,
perusahaan Taiwan berpindah dari kegiatan manufaktur transistor radio ke
kalkulator, ke TV, ke monitor komputer, ke laptop dan sekarang ke telefon
WAP)
Terdapat hierarki upgrading. Salah satunya dimulai dari proses upgrading, kemudian
berganti menjadi product upgrading, ke functional upgrading dan terakhir ke chain
upgrading. Hal ini accord dengan bergabungnya perusahaan-perusahaan Asia Timur
yang bertansisi dari produksi original equipment assembling (OEA) yang memiliki
value added kecil, melakukan assembling di bawah kontrak pembeli global, ke OEM
(original equipment manufacturing) yang memproduksi produk yang akan diberi
brand oleh pembeli, ke ODM (own design manufacturer), ke OBM (own brand
manufacturing). Hal tersebut merupakan lintasan yang meliputi secara progresif
konten yang lebih tinggi dari aktivitas yang diwujudkan.
32
1.7. Argumen
1. Industri Pakaian Jadi Indonesia dapat menjadi produk unggulan dan
menyumbang devisa yang signifikan melalui diversifikasi pasar ke negara-
negara non-tradisional dengan melibatkan peningkatan nilai tambah melalui
analisa global value chain (GVC).
2. Strategi memasuki negara-negara pasar non-tradisional dilakukan melalui
diplomasi perdagangan yang melibatkan aktor negara dan non-negara melalui
aktivitas-aktivitas rasional diplomasi perdagangan yang tercakup dalam
fungsi-fungsi diplomasi yaitu representing, lobbying, dan information
gathering.
3. Untuk meningkatkan nilai perdagangan, pemerintah dapat melakukan strategi
penambahan nilai melalui mekanisme global value chain (GVC) yang
berfokus pada management elemen kunci GVC yaitu barriers to entri dan
rent, serta governance, dan berfokus pada komponen upgrading GVC yang
meliputi upgrading kapabilitas dan kompetensi yang didukung dengan
diplomasi perdagangan.
1.8. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian
lapangan. Bahan-bahan penelitian terutama diperoleh dari buku-buku, jurnal, terbitan
berkala, bulletin, majalah, surat kabar, internet, maupun data yang diperoleh dari
33
lembaga dan institusi yang terkait dengan industri dan perdagangan pakaian jadi,
seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustian, dan Kementerian
Perdagangan. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara kepada beberapa ahli dalam bidang industri dan perdagangan
pakaian jadi dan para pelaku yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API).
1.9. Jangkauan Penelitian
Rentang waktu penulisan tesis ini difokuskan pada masa berakhirnya Multi Fiber
Agreement pada tahun 2005 sampai awal tahun 2015. Hal tersebut dikarenakan
bahwa berakhirnya MFA merupakan babak baru industri dan perdagangan TPT.
Selain itu, pasca tahun 2005, Indonesia juga mengalami perkembangan dunia fashion
yang pesat, sehingga hal tersebut menjadi momentum yang baik dalam industri dan
perdagangan pakaian jadi.
1.10. Sistematika Penulisan
Bab pertama dari tesis ini berisi pendahuluan yang mengantarkan pada pemahaman
awal sebelum masuk ke dalam pokok bahasan tulisan ini. Dalam pendahuluan,
penulis menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka konseptual, hipotesa, metode penelitian, jangkauan
penelitian dan sistematika penulisan.
34
Dalam bab kedua penelitian ini, akan dielaborasi secara menyeluruh tentang kondisi
perdagangan global garmen perdagangan global. Hal-hal yang dibahas mencakup
data-data perdagangan internasional, skema perdagangan dan rezim serta kebijakan
internasional perdagangan pakaian jadi. Bab ini juga akan membahas tentang industri
dan perdagangan pakaian jadi Indonesia. Hal tersebut meliputi data-data kondisi
industri dan perdagangan pakaian jadi Indonesia serta kebijakan dan strategi yang
telah dilakukan sejauh ini.
Bab ketiga akan membahas mengenai negara-negara pasar non tradisional, potensi,
peluang dan tantangan serta kondisi baik perekonomian maupun politik di negara-
negara tersebut. Dalam bab ini juga akan dibahas tentang analisa strategi diplomasi
perdagangan TPT yang dilakukan Indonesia dengan mengambil studi kasus diplomasi
perdagangan Indonesia ke Kawasan Eropa Tengah dan Timur.
Bab keempat akan memaparkan analisa penambahan nilai TPT dalam mekanisme
global value chain, pemetaan TPT Indonesia dalam jaringan industri global, dan
bagaimana diplomasi perdagangan berperan dalam dalam mekanisme GVC. Pada
pembahasan ini juga akan dilanjutkan studi kasus mitra diplomasi perdagangan
Kawasan Eropa Tengah dan Timur.
Bab kelima merupakan kesimpulan dan hasil penelitian dari tesis ini.