Bab 1 Pendahuluan Asam Siklamat
description
Transcript of Bab 1 Pendahuluan Asam Siklamat
BAB 1
PENDAHULUAN
Meluasnya penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) khususnya pemanis buatan
memberikan konsekuensi kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan penggunaannya
dalam produk pangan. Hal ini tertuang dalam pedoman persyaratan penggunaan BTP
pemanis buatan yaitu SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 dan SNI 01–
6993–2004. Standar ini disusun selain untuk memberikan pedoman penggunaan bagi
produsen pangan, juga untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap dampak
merugikan akibat penyalahgunaan pemanis buatan tersebut (BSN, 2004).
Seiring dikeluarkannya peraturan tersebut, terdapat kebutuhan akan suatu metode
analisis untuk penentuan BTP pemanis buatan pada produk pangan. Disebutkan bahwa
pengambilan contoh dan penyiapan sampel pada masing-masing produk pangan akan sangat
berbeda dan khas, sehingga diperlukan pengkajian laboratoris yang lebih rinci (BSN, 2004).
Diharapkan dengan adanya metode analisis tersebut, selain dapat digunakan untuk analisis
rutin, juga bermanfaat sebagai alat kontrol dalam aspek pengawasan terhadap penggunaan
BTP pemanis buatan di masyarakat.
Pemanis buatan siklamat hingga saat ini penggunaannya masih banyak menimbulkan
kontroversi karena aspek keamanan jangka panjangnya (Ofitserova et al. 2005) yang
berpotensi karsinogenik jika terkonversi menjadi cyclohexylamine di dalam saluran
pencernaan (Mathlouthi & Bressan, 1993). Di Indonesia pemakaian siklamat dilaporkan
sering disalahgunakan dan penggunaannya melebihi batas yang diijinkan (Badan POM,
2004). Hasil penelitian berdasar monitoring Badan POM menunjukkan adanya penggunaan
siklamat pada beberapa produk pangan yang melebihi batas maksimum yang diijinkan
berdasar Permenkes No.722/1988, yaitu produk sirup (3,430 mg/kg berbanding standar 3,000
mg/kg) dan minuman ringan berperisa (4,836 mg/kg berbanding standar 3,000 mg/kg)
(Sintawatie 2006, diacu dalam Indrotristanto 2006). Siklamat (dalam bentuk garam Ca- dan
Na-siklamat) umum dipakai sebagai pemanis non kalori dalam produk diet dan kesehatan,
serta dalam industri farmasi. Sodium siklamat dilarang di USA dan Kanada, sementara Uni
Eropa, Britania Raya dan CAC (Codex Alimentarius Commission) mengijinkan
pemakaiannya (FSANZ, 2007).
Dalam kajian paparan BTP, tingkat risiko dilihat dari nilai paparannya yaitu tingkat
konsumsi setiap hari per kilogram berat badan, yang dibandingkan dengan tingkat konsumsi
yang aman setiap harinya (ADI=Acceptable Daily Intake) (Badan POM, 2005). Semakin
besar paparan semakin besar pula risiko terkena bahaya kesehatan akibat konsumsi BTP.
Selama ini data tingkat paparan agen bahaya, khususnya bahan kimia/BTP belum banyak
ditemui. Padahal hasil dari kajian paparan ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi
kebijakan di bidang keamanan pangan (Badan POM, 2005).
Beberapa hasil kajian paparan siklamat yang telah dilakukan terhadap kelompok
anak-anak usia 1–12 tahun (Ilback et al. 2003; FSANZ, 2004; Leth et al. 2007) menunjukkan
tingkat paparan siklamat yang melebihi nilai ADI siklamat sebesar 11 mg/kg bb/hari. Studi-
studi tersebut menggunakan data konsentrasi BTP dengan cara estimasi, seperti konsentrasi
maksimum yang diijinkan (maximum permitted levels=MPLs). Pendekatan MPLs umumnya
menghasilkan perkiraan yang lebih tinggi karena diasumsikan semua pangan mengandung
BTP dengan jumlah maksimum (JECFA, 2001).
WHO pada tahun 1999 merekomendasikan suatu metode kajian paparan yang dapat
memprediksi paparan bahan kimia melalui pengukuran langsung konsentrasi bahan kimia
pada pangan yang dikonsumsi, yaitu metode TDS (Total Diet Study). Melalui penggunaan
metode TDS diharapkan dapat diperoleh suatu tingkat paparan yang lebih mendekati nyata
karena mempunyai uncertainty yang rendah (tingkat kepercayaan tinggi). Di Indonesia,
penerapan metode TDS telah dilakukan pada program pilot kajian paparan BTP (termasuk
siklamat) terhadap murid SD di Malang (Slamet, 2004), dimana untuk penentuan konsentrasi
siklamat menggunakan teknik analisis kromatografi gas.
Diantara beberapa metode pengukuran siklamat yang telah dilakukan, baik secara
klasik (gravimetri, volumetri/titrimetri, spektrofotometri) maupun instrumentasi seperti
amperometri, elektroda ion selektif, capillary electrophoresis, dan kromatografi (TLC, HPLC,
GC); HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi), merupakan metode yang paling umum dan banyak diamati, karena pada
penggunaan fase gerak dan fase stationer yang optimum terbukti mampu memisahkan analit
target pada matriks pangan (Choi et al. 2000). Penggunaan KCKT untuk penentuan siklamat
dibanding kromatografi gas mempunyai keuntungan yaitu senyawa yang dianalisis tidak
harus volatil dan analisis dapat dilakukan tanpa pembuatan senyawa turunan (derivatisasi)
(Gritter et al. 1991; Johnson & Stevenson, 1991).
Sejumlah riset mengenai aplikasi KCKT untuk penetapan siklamat pada matriks
pangan telah dilakukan antara lain Schwedt dan Hauck (1988); Hauck dan Kobler, (1990);
Ruter dan Raczek (1992); Ofitserova et al. (2005); dengan metode derivatisasi menjadi
cyclohexylamine, serta reaksi dengan reagen pewarna (Lawrence, 1987; Choi et al. 2000).
Menurut Swadesh (2001), penggunaan reagen pewarna dalam fase gerak berpotensi merusak
kolom kromatografi. Metode lain oleh German Food Act (1999) serta Wasik dan Buchgraber
(2007), yaitu penetapan kadar siklamat dengan KCKT tanpa proses derivatisasi maupun
penambahan reagen pewarna.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut dilakukan penelitian pengembangan
metode penetapan kadar siklamat berbasis KCKT. Metode analisis yang dikembangkan
kemudian digunakan untuk menentukan kandungan siklamat pada produk pangan; dan
selanjutnya hasil penetapan kadar siklamat ini dipakai sebagai data konsentrasi dalam kajian
paparan siklamat.