Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalaheprints.radenfatah.ac.id/174/1/Hilalliah.pdf · Dimana...
Transcript of Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalaheprints.radenfatah.ac.id/174/1/Hilalliah.pdf · Dimana...
1
Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pesantren merupakan produk budaya Indonesia asli, yang berkembang sejalan
dengan proses Islamisasi di Nusantara. Sebagai sebuah lembaga tertua di Indonesia,
pesantren memiliki peran sebagai wadah untuk memperdalam agama dan sekaligus
sebagai pusat penyebaran agama Islam (Dhofier dalam Galba; 1995: 2). Menilik dari
latar belakangnya, pesantren tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam
masyarakat yang terdapat implikasi-implikasi politis kultural yang menggambarkan
sikap ulama Islam sepanjang sejarah (Djamaluddin, 1999: 99). Dimana pada masa itu,
pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-
kader umat yang tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang
penjajahan. Bahkan semua bentuk kebudayaan ala Barat dipandang sebagai kekufuran
yang harus dijauhi oleh umat Islam. Hal inilah yang selanjutnya membawa pesantren
pada sistem kehidupan isolatof dari stratifikasi sosial yang timbul di kemudian hari.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, pesantren telah banyak mengalami
penyesuaian-penyesuaian menurut proses perubahan sosial dalam masyarakat dengan
tanpa meninggalkan keaslian dan kekhasan yang dimiliki pesantren sebagai khasanah
tradisi budaya bangsa yang menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus
industrialisasi dan perkembangan teknologi modern (Yasmadi, 2002: 152). Dimana
kekhasan itu tampak pada hampir setiap pesantren dengan ciri-ciri khusus
sebagaimana yang diungkapkan oleh Madjid (2002: 63) bahwa pesantren itu terdiri
dari lima elemen pokok yaitu Kyai, santri, masjid, pondok (asrama), dan pengajaran
kitab-kitab klasik. Pesantren yang umumnya didirikan oleh perseorangan (Kyai)
2
sekaligus juga berfungsi sebagai figur central mempunyai daulat kuat dalam
menetapkan tujuan yang dicita-citakan pesantrennya. Namun demikian dalam
menetapkan rumusan formal tujuan akhir pesantren harus tetap bersifat comprehensif
dan integral dengan dasar idiil negara yaitu Pancasila.
Negara menghendaki agar semua rakyat Indonesia dididik menjadi manusia
Pancasila sebenar-benarnya yang di dalam dirinya terbentuk mental moral-budi pekerti
serta keyakinan agama yang kuat (Djamaluddin, 1999 : 107), untuk itu pesantren
sebagai pendidikan keagamaan telah diperkuat dengan adanya landasan legal formal
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada bagian kesembilan pasal 30. Sehingga dengan memiliki landasan hukum yang
kuat maka pesantren diharapkan dapat berkiprah secara dinamis di masyarakat dan
melakukan fungsinya secara baik dalam mempersiapkan para santri menjadi anggota
masyarakat yang memahami, mengartikulasikan ajaran Islam dan mengamalkan nilai-
nilainya ditengah-tengah masyarakat yang terus mengalami perubahan.
Pesantren sebagai sebuah subkultur yang kaya dengan nilai-nilai, keyakinan
dan budaya, dimana hal itu biasanya selalu nampak dalam lingkungan kehidupan
keseharian pesantren. Sesuai dengan pendapat Sedarmayanti (2004: 206) bahwa kultur
pesantren itu meliputi nilai-nilai, norma perilaku, sistem, kebijakan, dan prosedur.
Dimana kultur pesantren tersebut dengan sengaja dibentuk atau diciptakan oleh
pimpinan dan pengasuh pesantren dalam proses pembinaan dan pendidikan pesantren
untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh pesantren tersebut. Dengan demikian
fungsi kultur pesantren sebagai pola perilaku yang menentukan batas-batas perilaku
yang telah disepakati oleh seluruh warga pesantren dan sebagai tata nilai yang
merupakan gambaran perilaku yang diharapkan dari warga pesantren dalam
mewujudkan tujuan pesantren dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Dimana tata
3
nilai yang dimaksud adalah aktualisasi dari keyakinan seseorang sebagai pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Ndraha, 2003: 45).
Kultur pesantren mempunyai sumber yang utama yaitu para pendiri pesantren.
Dimana visi dan misinya didasarkan pada pendirinya, artinya para pendiri pesantren
memandang dunia disekitarnya menurut nilai yang termuat didalam hidupnya, latar
belakang sosial, lingkungan dimana ia dibesarkan serta jenis dan tingkat pendidikan
formal yang pernah ditempuhnya (Ndraha: 4). Kyai sebagai pendiri sekaligus
pemimpin pesantren menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam sebuah pesantren.
Watak inklusif yang mendalam seorang Kyai terhadap santri juga kadang
memunculkan gaya pimpinan yang bersifat otokratif. Untuk itu, kultur pesantren
memerlukan perubahan ataupun pengembangan. Beberapa aspek seperti gaya
kepemimpinan Kyai yang cenderung otokratif dalam mengelola pesantren, sistem
managerial yang lebih terarah, tenaga pengajar yang mumpuni, sistem administasi
yang tertib termasuk juga semua bentuk dan jenis kegiatan yang perlu dilakukan serta
kegiatan-kegiatan pendukungnya. Kesemuanya itu harus tercakup dalam strategi
lembaga pendidikan yang bersangkutan (Ndraha: 51).
Pendekatan holistik yang digunakan pesantren juga mencerminkan paradigma
yang dianut pengasuh pesantren yaitu memandang bahwa kegiatan belajar-mengajar
merupakan kesatupaduan atau lebur dalam totalitas kegiatan hidup sehari-hari. Bagi
warga pesantren, belajar di pesantren tidak mengenal perhitungan kapan harus mulai
dan harus selesai, dan target yang harus dicapai (Masthuhu, 1994: 58). Dengan
demikian melalui pembiasaan yang berulang-ulang dalam totalitas kehidupan sehari-
hari maka santri diharapkan mampu membangun pribadi mandiri dengan didasari
oleh iman dan takwa. Sebab dalam pandangan pesantren, tujuan pendidikan tidak
semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi
untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-
4
nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan
bermoral, serta menyiapkan para santri belajar mengenai etika agama diatas etika-etika
yang lainnya.
Untuk itu, peranan kultur pesantren dapat terwujud dengan baik dalam bentuk
pembiasaan-pembiasaan dalam kehidupan pesantren. Dimana pembiasaan itu secara
keseluruhan merupakan ketaatan santri terhadap aturan-aturan yang telah disepakati.
Sehingga suatu kecenderungan yang dilakukan secara berulang akan menjadi
kebiasaan dan perbuatan itu menjadi mudah untuk dilaksanakan sebagai motivasi yang
timbul dengan sendirinya dari santri. Kebiasaan bangun pagi, shalat di awal waktu
dan berjama’ah akan dapat mengikis sifat kemalasan dan mendekatkan diri kepada
Allah. Kebiasaan menghafal dan membaca Al-Qur’an akan membuat suasana damai
dan melembutkan hati yang keras dan gelisah. Kebiasaan menuntut ilmu akan
mengikis kebodohan dan mengorganisir potensi kebaikan dalam diri pribadi.
Dengan keadaan jiwa yang terlatih, maka jiwa tersebut benar-benar telah
melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan,
tanpa dipikirkan dan diangan-angankan terlebih dahulu (Supadie dan Sarjuni, 2011:
217). Dengan demikian pembinaan dan pengajaran akhlak yang memadai selama 24
jam yang dilakukan dalam pesantren adalah sangat diperlukan dengan membangun
nuansa keagamaan yang kondusif bagi santri dalam kehidupan yang serba disiplin.
Disiplin waktu pada jadwal shalat, jadwal makan, jadwal sekolah, jadwal kegiatan
olah raga, seni dan lain-lain.
Untuk itu, fungsi pesantren sebagai fungsi religius (diniyyah), fungsi sosial
(ijtimaiyyah), fungsi edukasi (tarbawiyyah) (Mashum, 1995: 97), sebagai lembaga
pembinaan moral dan kultural (Zeni, 1995: 92) dapat dilakukan dengan baik sesuai
yang diharapkan. Bahkan para ahli pendidikan telah sepakat bahwa maksud dari
pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam
5
ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka
(Djamaluddin, 1999: 16). Jurjani dalam Octavia, dkk (2014: 11) memperjelasnya
dengan mengartikan akhlak sebagai kekokohan jiwa yang ada di dalam diri manusia,
yang mendorong manuisia berbuat baik atau buruk. Dimana akal dan hati nurani yang
jernih mendorong perilaku yang elok sedangkan nafsu mendorong perilaku nista.
Dengan demikian pembinaan akhlak menjadi hal penting untuk dilakukan dalam
pesantren yang menyangkut sikap dan tata nilai, yang kemudian termanifestasi dalam
budi pekerti dan tingkah laku yang baik.
Gambaran dari karakter seorang santri yang sudah terlebih dahulu berada di
pesantren akan tampak pada tingkah laku, cara berpakaian, cara bicara, dan sikap
sopan santun terhadap orang lain. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada para santri
yang baru memasuki pesantren dan santri yang sudah lama bertempat tinggal di
pesantren. Umumnya santri yang baru masuk memiliki tingkat kedisplinan yang
rendah seperti cara berpakaian yang masih sembarangan baik soal warna, mode, dan
jenis pakaian. Cara berbicara dengan pembawaan asli mereka dengan logat bicara
yang masih kasar, kurang santun, masih rendahnya rasa menghargai orang lain
terutama pada santri lain. Masih memiliki keengganan, kurang respon, atau
membantah ketika diajak melakukan kegiatan di dalam pesantren sebagaimana yang
tertuang dalam jadwal kegiatan-kegiatan pesantren.
Selain itu, adanya suatu peraturan yang ketat dalam pesantren terkadang dapat
menimbulkan gejolak pada diri santri terlebih bagi santri yang baru masuk pesantren.
Hal ini terjadi karena perbedaan lingkungan yang biasa mereka hadapi di luar
pesantren dan di dalam pesantren. Di luar pesantren, kebebasan dalam berbicara,
berpakaian, dan bertingkah laku menjadi hal biasa mereka lakukan. Akan tetapi,
semenjak mereka berada di dalam pesantren maka mereka dihadapkan pada aturan-
aturan yang harus dipatuhi oleh santri. Untuk itu, perlu adanya metode latihan dan
6
pembiasaan yang harus senantiasa dijalankan di dalam lingkungan pesantren maka
dengan demikian lambat laun diharapkan santri merasa betah hidup dan bertempat
tinggal di pesantren. Bahkan santri beranggapan bahwa pesantren merupakan sebuah
“penjara suci” yang akan melatih mereka memasuki kehidupan yang sebenarnya di
masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kultur pesantren sebagai tata nilai
dimana merupakan gambaran perilaku yang diharapkan dari warga pesantren terutama
para santri dalam mewujudkan tujuan yang diharapkan pesantren. Dengan demikian
perilaku diartikan sebagai seperangkat perbuatan ataupun tindakan seseorang dalam
merespon sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang
diyakini. Puspito (1984: 111) berpendapat bahwa perilaku atau pola kelakuan terbagi
menjadi pola kelakuan lahir yaitu cara bertindak yang ditiru oleh orang banyak secara
berulang-ulang dan pola kelakuan batin yaitu cara berfikir, berkemauan dan merasa
yang diikuti oleh banyak orang berulang kali. Perilaku menunjukkan wajah
kepribadian seorang manusia yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang
secara tetap pada setiap waktu dan tempat. Berkaitan dengan perilaku Islami, Howa
(1994: 7) berpendapat bahwa perilaku Islami adalah perilaku yang mendatangkan
kemaslahatan kebaikan, ketentraman bagi lingkungan.
Oleh karena itu, pesantren dengan nilai-nilai yang diterapkan sudah
seyogyanya dapat membantu santri dalam memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau
mempraktekkannya untuk diri mereka sendiri, dan kemudian bertindak dalam
kehidupan mereka sendiri (Octavia, dkk., 2014: 17). Sehingga dengan demikian
pendidikan akhlak dengan metode pembiasaan yang dilakukan dalam pesantren akan
dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Dimana akhlak sendiri
merupakan salah satu kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang
sangat penting. Terbentuknya akhlak mulia merupakan hasil dari proses penerapan
7
aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak mulia merupakan kesempurnaan dari
bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya dibangun dengan baik.
Menurut Saebani dan Hamid dalam Tanszhil (2012: 5), terdapat beberapa ciri
penting dari istilah akhlak yaitu: 1) Merupakan perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam diri seseorang sehingga menjadi kepribadian; 2) Merupakan perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran; 3) Merupakan sebuah perbuatan yang
timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan
dari luar. Hal tersebut murni atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan; 4) Merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan
main-main atau karena bersandiwara; 5) Dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
yang dilakukan secara ikhlas, semata-mata karena Allah SWT, bukan karena ingin
mendapatkan pujian.
Dengan demikian pembinaan dan pendidikan akhlak sangatlah penting dalam
membangun kecerdasan, perasaan serta perilaku individu. Basyir dalam
Abdurrahmansyah (2005: 192) menyatakan bahwa akhlak sebagai sub sistem dari
Islam sebagai sistem. Hal tersebut mengandung pemahaman bahwa iman sebagai
pemberi kekuatan pendorong bagi akhlak yang membangkitkan rasa takut dan cinta
pada Allah. Dimana implementasi akhlak dalam Islam tersimpul dalam karakter
pribadi Rasulullah yang didalamnya bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.
(Madjid dan Andayani, 2012: 59)
Kehidupan santri di dalam lingkungan pesantren dengan tata nilai yang
menyertainya dan berlangsung dalam totalitas hidup keseharian secara berulang
sehingga terbentuk kultur pesantren yang lekat dengan kepribadian warga pesantren
khususnya santri. Ketaatannya untuk melaksanakan peraturan dari yang paling
sederhana sampai ke peraturan yang kompleks. Kebiasaan-kebiasaan santri yang selalu
bersikap tawadhu (sopan dan patuh) terhadap semua apa yang dikatakan Kyai, selalu
8
berusaha menjalankan kegiatan-kegiatan pesantren dengan baik termasuk juga dalam
hal pelajaran. Santri-santri biasanya akan selalu mengulang kembali pelajaran yang
telah diajarkan oleh Kyai maupun ustadz di luar jam pelajaran termasuk juga dalam
hal hafalan Al-Qur’an yang kadang mereka lakukan di kamar masing-masing atau di
ruang perpustakaan.
Semua peraturan dan pembiasaan-pembiasaan yang seharusnya dapat
dilakukan oleh semua santri tanpa terkecuali di dalam kehidupan keseharian pesantren.
Akan tetapi, kenyataan yang ada tidak semua santri sepenuhnya melaksanakan
dengan baik. Artinya terdapat sebagian dari santri yang merasa terbebani dengan
semua aturan ataupun kebiasaan yang telah ada di dalam lingkungan pesantren.
Sehingga santri tersebut akan memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk
melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti merokok, tidak disiplin dalam
berpakaian, jadwal belajar, tidak patuh dengan ustadz, ataupun hal-hal lain. Bahkan
dalam beberapa kasus, terdapat beberapa orang santri yang harus dikeluarkan dari
pesantren dengan tidak hormat akibat perbuatannya yang berani mencuri uang
temannya.
Seharusnya sikap tegas yang diberlakukan oleh pesantren pada santri tersebut
menjadi pelajaran bagi santri yang lain. Beberapa bentuk pelanggaran masih saja
terjadi, sebagaimana yang telah dicontohkan pada kasus di atas. Padahal idealnya
dengan pembinaan dan pendidikan melalui kultur pesantren yang dilakukan secara
holistik dan berlangsung selama dua puluh empat jam penuh, telah memberi ruang
yang luas bagi santri agar mudah melaksanakan semua kegiatannya dengan baik. Oleh
karena dalam kultur pesantren itu sendiri telah termuat nilai-nilai, perilaku,
pembiasaan, yang dengan sengaja dibentuk atau diciptakan oleh pimpinan dan
pengasuh pesantren dengan tujuan untuk dapat mengarahkan, membina, dan mendidik
9
para santri untuk menjadi pribadi-pribadi yang memiliki perilaku Islami sesuai
tuntunan syariat.
Berdasarkan asumsi demikian, maka penulis merasa perlu untuk meneliti
pembiasaan-pembiasaan (kultur) seperti apa yang terjadi dan dilakukan di dalam
lingkungan pesantren Muqimus Sunnah sebagai proses dalam membina santri-santri
yang bermukim agar tercipta tujuan ideal yang dicita-citakan pesantren.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah pokok penelitian
ini adalah Bagaimana Kultur Pesantren Muqimus Sunnah dalam Rangka Membentuk
Perilaku Islami Santri ? Untuk memudahkan pembahasan masalah pokok tersebut,
maka dijabarkan sub-sub masalah sebagai :
1. Bagaimana peran pesantren dalam menerapkan kultur pesantren sebagai
bentuk penanaman nilai- nilai Islami pada santri ?
2. Bagaimana implimentasi kultur pesantren terhadap perilaku Islami santri
di lingkungan pesantren Muqimus Sunnah ?
3. Bagaimana implikasi kultur pesantren terhadap perilaku Islami santri di
pesantren Muqimus Sunnah ?
C. Batasan Masalah
Yang menjadi batasan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran
2014/2015
2. Sebagai subjek penelitian adalah santri-santri yang ada di pondok pesantren
Muqimus Sunnah 27 ilir Palembang .
3. Objek penelitian adalah kultur pesantren sebagai identitas yang
menentukan batas-batas perilaku yang telah disepakati oleh seluruh warga
pesantren.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menganalisis peran pesantren dalam menerapkan kultur pesantren
sebagai bentuk penanaman nilai- nilai Islami pada santri ?
10
b. Untuk menganalisis implimentasi kultur pesantren terhadap perilaku
Islami santri di lingkungan pesantren Muqimus Sunnah ?
c. Untuk menganalisis implikasi kultur pesantren terhadap perilaku Islami
santri di pesantren Muqimus Sunnah.
2. Kegunaan Penelitian
a. Teoritis
Kegunaan penelitian bagi pengembangan ilmu sosial diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran mengenai penekanan pada proses
pembiasaan, pembinaan dan penanaman akhlak santri melalui interaksi-
interaksi intensif baik secara internal dan eksternal pada lingkungan
pesantren.
b. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan
pertimbangan dalam penerapan, pengembangan dan peningkatan kultur
pesantren dalam rangka membentuk perilaku Islami santri khususnya di
pesantren Muqimus Sunnah 27 Ilir Palembang.
E. Definisi Konseptual
Definisi konseptual dimaksudkan untuk menghindari kesalahan pemahaman
dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam judul tesis.
Dengan demikian definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Kata “kultur” secara etimologi berasal dari bahasa Inggris Culture berarti
kebudayaan (Andreas: 97). Sedangkan kultur secara terminologi sebagaimana dikutip
Mudjijanto (2012: 4) mengemukakan pendapat Marvin Harris (1987) bahwa kultur
atau budaya sebagai serangkaian aturan yang dibuat oleh masyarakat sehingga menjadi
milik bersama, dapat diterima oleh masyarakat, dan bertingkah laku sesuai dengan
aturan. Denis Lawton (1975) juga mengemukakan pendapatnya bahwa culture is
everything that exists in a society. Culture includes every thing that is man made :
technological artifacts, skills, attitudes, and values. Dengan demikian kultur yang
11
dimaksud dalam penelitian ini adalah kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang
diterapkan dalam suatu lingkungan tertentu yang dalam hal ini adalah lingkungan
pesantren.
Kata “pesantren” secara etimologi berasal dari kata pesantrian yang berarti
tempat santri (Ridwan, 2005: 80). Secara terminologi pesantren adalah lembaga
keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan
menyebarkan ilmu agama Islam. Pesantren yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sebuah lembaga tempat santri mendapat pendidikan formal dan non formal berbasis
agama Islam dengan bermukim.
Kata “perilaku” secara etimologi adalah tanggapan atau reaksi individu
terhadap rangsangan lingkungan (KBBI, 2008: 1056). Secara terminologi perilaku
menurut Sarwono (1992: 16) adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh satu individu
dengan individu lainnya dan bersifat nyata. Dengan demikian yang dimaksud perilaku
dalam penelitian ini adalah semua reaksi yang dilakukan seseorang yang dapat
diamati.
Kata “Islami” secara etimologi berasal dari kata Islam dengan dibubuhi suffix
“i” yang dalam bahasa Indonesia diartikan “bersifat atau berhubungan dengan” atau
bersifat keislaman (KBBI, 2008: 549). Islami secara terminologi merupakan suatu
keinginan kembali kepada Islam yang benar. Islami yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah suatu sikap umat Islam terhadap agamanya.
Kata “santri” secara etimologi diduga berasal dari istilah Sansekerta “sastri”
yang berarti “melek huruf” atau dari bahasa Jawa “cantrik” berarti seseorang yang
mengikuti gurunya kemana pun dia pergi. Secara terminologi santri adalah murid
pesantren yang biasanya tinggal di asrama. Santri yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah sebutan bagi para siswa yang belajar di pesantren. (Dauly, 2001: 15)
12
Dengan demikian peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan definisi
konseptual judul penelitian mengenai kultur pesantren dalam membentuk perilaku
Islami santri adalah merupakan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang diterapkan
dalam lingkungan pesantren baik melalui pendidikan formal dan non formal berbasis
agama Islam dalam rangka membentuk suatu reaksi positif yang dapat ditampilkan
santri. Berdasarkan indikator-indikator seperti: adanya hubungan yang akrab antara
Kyai dan santri, tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap Kyai, pola
hidup sederhana (zuhud), kemandirian atau independensi, berkembangnya iklim dan
tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan, disiplin ketat, berani menderita
untuk mencapai tujuan, kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi.
F. Tinjauan Pustaka
Setiawan dalam tesis berjudul Eksistensi Budaya Patron Klien Dalam
Pesantren: Studi Hubungan Antara Kyai dan Santri dimana terdapat gambaran
mengenai pola interaksi hubungan sosial kyai dan santri setelah adanya modernisasi
dalam kurun waktu 2005-2012. Pola hubungan kyai dan santri tersebut dapat
dipahami menggunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan
fenomenologis. Seperti budaya untuk bersikap hormat takzim dan kepatuhan kepada
Kyai sebagai salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Dimana
kepatuhan mutlak itu telah melahirkan problem dalam hubungan antara dunia santri
dan Kyai yang sering diklaim sebagai penghambat kemajuan umat yaitu dengan
berkembangnya budaya patron-klien sehingga dalam posisi demikian santri “dipaksa”
bersikap konservatif dan berpikiran statis dengan alam bawah sadar yang telah terpatri
pada ketergantungan Kyai.
Seiring dengan perubahan waktu, relasi Kyai dan santri dalam ketundukan
lambat laun berkurang dengan bergesernya peran Kyai di pesantren maupun
masyarakat. Sosok Kyai yang dahulu disegani dan berpengaruh karena memiliki
13
karisma yang jarang dimiliki orang lain, mulai bergeser ketika mereka merambah ke
wilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis. Pada sisi yang
lain, seiring dengan demokratisasi di Indonesia dan kesempatan pendidikan yang
tinggi oleh santri, banyak komunitas santri yang mulai tercerahkan dimana hal ini bisa
kita lihat dari cara berpikir mereka yang kritis, independen dan kreatif. Dengan
memahami realitas tersebut maka sudah seharusnya pesantren sebagai suatu lembaga
independen tidak berafiliasi kepada organisasi atau golongan manapun, dengan
demikian kemurnian dan idealisme pesantren akan terbebas dari kepentingan politik
maupun golongan tertentu.
Miftahusyaian dalam tesis berjudul Pengembangan Sumber Daya Manusia
Santri di Pesantren Untuk Memasuki Kehidupan Masyarakat mengemukakan bahwa
dalam rangka mewujudkan sistem nilai di pesantren pada bidang pendidikan yang
dapat diandalkan, paling tidak ada dua cara. Pertama, meningkatkan kualitas berpikir
dengan cara meningkatkan kecerdasan. Kedua, memperluas wawasan dan
meningkatkan kualitas kerja melalui peningkatan etos kerja. Dimana pada prinsipnya,
secara sosiologis antara individu dengan lembaga sosial itu saling mempengaruhi
(process of social interaction).
Sedangkan Zuhriy dalam tesis berjudul Budaya Pesantren Dan Pendidikan
Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf mengemukakan bahwa pesantren sebagai
salah satu institusi yang unik dengan ciri-ciri khas yang sangat kuat dan lekat dalam
upaya-upaya pencerdasan bangsa yang telah turun temurun tanpa henti yang
mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil dalam membentuk karakter para santri.
Penelitian yang dilakukan di Pesantren Langitan Tuban dan Pesantren Ihyaul Ulum
Gilang Lamongan memberikan gambaran bahwa kedua pesantren tersebut tetap
mempertahankan cirinya sebagai pesantren salaf dengan tanpa menambahkan
pendidikan formal. Satu-satunya sentuhan modern dalam pelaksanaan proses belajar
14
mengajarnya adalah sistem pendidikan klasikal (madrasah diniyah) yang melibatkan
banyak Kyai dan ustadz.
Dengan demikian melalui pola pendidikan yang mereka bangun untuk
menumbuhkan karakter santri dengan kekhasan pesantren tersebut sebagai sebuah
komunitas sosial yang memiliki budaya khas yaitu pola kepemimpinan pesantren yang
mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kitab-kitab rujukan yang dikaji berasal dari
kitab-kitab klasik; serta sistem nilai yang dipilih. Berdasarkan tiga komponen inilah
yang dianggap peneliti tersebut sebagai penopang kuat atas budaya yang
dikembangkan di pesantren. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa seluruh
rangkaian kegiatan santri di kedua pesantren tersebut dipadu dalam sebuah program
kegiatan santri baik yang dilakukan dengan metode klasikal madrasiyyah ataupun
ma’hadiyyah. Bahkan kegiatan-kegiatan penting lainnya dilakukan sebagai bentuk
pembiasaan dan pembangunan karakter santri untuk menjadi tulang punggung bagi
arah keberhasilan santri.
Berdasarkan tulisan-tulisan yang telah dikemukakan maka terdapat beberapa
hal mendasar yang membedakan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan sebagai
berikut :
1. Kultur pesantren dengan ciri khas adanya Kyai dan santri yang selama ini
terjadi hubungan patron-klien, tidak dapat sepenuhnya digunakan lagi
mengingat telah berkembangnya sistem demokrasi dalam mengemukakan
pendapat. Dengan demikian sikap hormat dan takzim pada Kyai dapat tetap
dilakukan sebagai hubungan pengajar (guru) dengan santri tetapi bukan sebagai
ketundukan yang berlebihan.
2. Pesantren yang diharapkan dapat menciptakan santri yang berkualitas bukan
hanya mengandalkan kecerdasan kognitif saja tanpa memperhatikan
pembinaan akhlak dan moral santri. Padahal penekanan pada pembinaan
15
akhlak dan moral tentu akan dapat menciptakan santri-santri yang memiliki
integritas tinggi dan berakhlak akan jauh lebih baik hasilnya. Dengan demikian
pesantren sebagai salah satu lembaga yang paling relevan membina santri
dengan pengalaman langsung dari lingkungan dimana santri tinggal, kemudian
menjadi kebiasaan yang menghasilkan perilaku santri yang terjadi secara
langsung atau tidak langsung, formil atau tidak formil. (Daradjat, 1990: 119)
3. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pergeseran paradigma pembangunan pendidikan maka pesantren kini digiring
untuk dilengkapi dengan pendidikan formal, sehingga pesantren disamping
menyelenggarakan pendidikan non formal juga menyelenggarakan pendidikan
formal.
Berdasarkan pengamatan awal, peneliti mengambil kesimpulan bahwa
penelitian yang dilakukan di pesantren Muqimussunnah perlu dilakukan dengan
pertimbangan bahwa tidak terdapat hubungan patron-klien antara Kyai dan santri
sehingga pola hubungan yang terjadi antara Kyai dan santri lebih menekankan pada
terciptanya relasi yang baik antara keduanya. Selanjutnya, pembinaan akhlak dan
moral menjadi penekanan kuat di pesantren tersebut untuk menghasilkan santri-santri
yang berkualitas dan berakhlak yang tercermin dalam pribadi yang berperilaku Islami.
Terakhir, sistem dan pola pendidikan yang diselenggarakan pesantren Muqimus
Sunnah telah lengkap yaitu pendidikan non formal dan pendidikan formal.
G. Kerangka Teori
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat
manusia secara holistik, yang memungkinkan tiga dimensi kemanusiaan yang paling
elementer dapat berkembang secara optimal (Hidayat dan Machali, 2012: 33).
Aktualisasi potensi dan dimensi kemanusiaan pada unsur afektif menjadi prioritas,
16
dimana pada unsur afektif inilah tercermin kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak
mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis.
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Hidayat dan Machali, 2012: 319).
Daradjat (1990: 119) juga memberikan pandangan akan pentingnya sebuah
institusi pendidikan yang secara serius dan terorganisir mengelola pembinaan akhlak
atau moral para anak didiknya. Untuk itu, pesantren sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional dan merupakan lembaga pendidikan pengajaran Islam yang di
dalamnya terjadi interaksi antara Kyai atau ustadz sebagai guru dan para santri sebagai
murid (Hidayat dan Machali, 2012: 258) yang menjunjung tinggi dan melestarikan
tradisi, budaya, tatanan kehidupan Islami dalam proses pendidikan kepada santrinya.
Kemampuan pesantren dalam mengembangkan diri dengan kekhasan yang
dimiliki menjadi kekuatan potensial yang tidak dimiliki lembaga lain. Pesantren
menganut sebuah paradigma tersendiri dalam melaksanakan pembelajaran dan
pembinaan terhadap santri untuk memupuk mental dan sikap agar tertanam jiwa
agamis dan nasionalis yaitu dengan mengajarkan pengetahuan yang sekaligus
berbarengan dengan pengajaran etika, dan spiritual. Sikap takzim pada guru, pengajian
kitab-kitab kuning, pola hidup sederhana, bersahaja, ikhlas, dan berbagai nilai
eksplisit dari ajaran Islam yang mentradisi di pesantren juga ikut mendukung
kelestariannya hingga kini. Sehingga, pesantren akan tetap survive dengan
mempertahankan tradisi lama yang hidup di tengah-tengah lingkungan pesantren.
Salah satu basis kultural pesantren adalah bentuk pendidikan pesantren yang
bercorak tradisional yang mempunyai kekhasan baik sebagai lembaga dakwah,
17
bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan. Haedari dalam Arifin (2012: 43)
mengemukakan pola umum pendidikan Islam tradisional itu meliputi :
1. Adanya hubungan yang akrab antara Kyai dan santri.
2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap Kyai.
3. Pola hidup sederhana (zuhud).
4. Kemandirian atau independensi.
5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
6. Disiplin ketat.
7. Berani menderita untuk mencapai tujuan.
8. Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi.
Dengan demikian, pesantren dengan sistem pendidikan dua puluh empat jam,
yang mengkondisikan para santri dalam satu lokasi asrama yang dibagi dalam bilik-
bilik atau kamar-kamar sehingga mempermudah mengaplikasikan sistem pendidikan
yang total (Octavia, dkk., 2013: xi). Aktivitas pembelajaran yang berlangsung secara
tuntas dan terpadu tersebut dengan menekankan pentingnya moral sebagai pedoman
perilaku sehari-hari (Rofiq, dkk., 2005: 1) di dalam lingkungan pesantren. Dimana hal
tersebut dinilai sangat efektif dalam pembentukan akhlak para santri dibandingkan
dengan lembaga pendidikan formal lainnya yang hanya berlangsung beberapa jam.
Oleh karena kultur pesantren itu mengandung nilai-nilai, perilaku, pembiasaan,
yang dengan sengaja dibentuk atau diciptakan oleh pimpinan dan pengasuh pesantren
dalam proses pembinaan dan pendidikan dalam lingkungan pesantren untuk mencapai
tujuan yang diinginkan oleh pesantren. Sa a’buddin (2006: 61) mengatakan bahwa
pembiasaan merupakan salah satu metode pembinaan akhlak yang paling penting dan
menonjol. Suatu pembiasaan terus menerus dalam jangka waktu yang panjang yang
dilaksanakan secara konsisten dan penguatan (Komalasari dalam Soemantri, 2011:
426). Dengan norma dan sistem nilai akan terimplementasi dalam bentuk kualitas diri
yang dilandasi nilai-nilai luhur yang terwujud di dalam perilaku. (Nashir, 2013: v)
Pembiasaan menjadi salah satu kegiatan unggulan dalam pembangunan akhlak
para santri, terutama dalam pembinaan kemandirian dan disiplin. Tanszil (2012: 13)
18
berpendapat bahwa suatu perilaku yang ingin dibentuk menjadi kebiasaan, setidaknya
harus melalui dua tahapan. Pertama, bersungguh-sungguh. Kedua, mengulangi suatu
perilaku yang dimaksud hingga menjadi kebiasaan yang tetap dan tertanam dalam
jiwa, sehingga jiwa menemukan kenikmatan dan kepuasan dalam melakukannya.
Menurut Hamid (2009: 340-349) bahwa orang yang baik keIslamanannya tidak
hanya sholeh secara ritual, melainkan juga sholeh secara sosial yaitu harus senantiasa
berperilaku baik sebagaimana diajarkan dalam Islam, diantaranya adalah :
1. Amal Saleh yaitu melakukan pekerjaan baik yang bermanfaat bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain.
2. Amanah (jujur) yaitu menyampaikan sesuatu kepada yang berhak. Pengertian
amanah berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an ada dua macam:
a. Tunduk dan patuh kepada Allah, yakni mengerjakan segala perintah dan
menjauhi semua larangan-Nya.
b. Menjalankan tanggung jawab dengan baik.
3. Bakti kepada orang tua.
4. Cinta (Mahabbah). Orang yang beriman wajib memprioritaskan cintanya
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW.
5. Hemat.
6. Hormat yaitu suatu sikap yang tidak meremehkan orang lain.
7. Iffah yaitu memelihara kesucian diri.
8. Ihsan yaitu berbuat baik untuk orang lain tanpa memandang suku, warna kulit,
dan status sosial. Terutama kepada orang-orang yang berada di sekitar kita.
9. Ikhlas yaitu melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan.
10. Ilmu. Berkaitan dengan ilmu ada dua kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
orang yang beriman, yaitu belajar dan mengajar.
11. Sabar yaitu menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan
dengan ajaran Islam.
12. Sederhana yaitu suatu sikap atau tindakan yang tidak berlebihan.
13. Taat yaitu suatu sikap yang menunjukkan ketundukan dan kepatuhan.
14. Zuhud yaitu lebih menomorsatukan pahala disisi Allah Swt dibandingkan
dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
19
Penelitian dapat dilihat dari beberapa sisi yaitu tujuan penelitian, pendekatan
yang digunakan, objek/ lokasi penelitian serta bidang ilmu penelitian.
a. Ditinjau dari sisi tujuan penelitian
Menurut Arikunto (2010: 14), tujuan penelitian terbagi menjadi tiga, yaitu
penelitian eksploratif, operation research, dan penelitian verifikatif. Penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai penelitian eksploratif yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal yang mempengaruhi
terjadinya sesuatu. Terkait dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
menggali keterangan lebih dalam dan luas mengenai kebiasaan-kebiasaan serta nilai-
nilai yang diterapkan pesantren dalam membentuk perilaku Islami santri di pesantren
Muqimus Sunnah 27 Ilir Palembang.
b. Ditinjau dari sisi pendekatan
Penelitian dapat ditinjau dari berbagai pendekatan seperti pendekatan
fenomenologi. Soelaiman (1985: 126) berpendapat bahwa pendekatan fenomenologi
mengarah pada dwifokus dari pengamatan yaitu apa yang tampil dalam pengalaman
dimana seluruh proses merupakan objek studi dan apa yang langsung diberikan
dalam pengalaman itu secara langsung hadir bagi yang mengalaminya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dimana melalui
pendekatan tersebut maka dapat mendeskripsikan fenomena kultur pesantren dalam
membentuk perilaku Islami santri yang tampak di lapangan sehingga dapat
diinterpretasikan makna dan isinya secara mendalam. Dimana aspek subjektif perilaku
adalah menjadi penekanan dalam pendekatan fenomenologi (Moleong, 1996: 9).
c. Ditinjau dari sisi bidang ilmu
Semua bidang ilmu memerlukan aktifitas penelitian. Berkenaan dengan jenis
spesialisasi dan interes, maka tentu saja bidang ilmu yang diteliti banyak sekali
20
ragamnya menurut siapa yang mengadakan penelitian (Arikunto, 2010: 16). Dalam
penelitian ini ditinjau dari bidang ilmu peradaban Islam.
d. Ditinjau dari sisi variabel
Variabel adalah objek penelitian(Arikunto, 2010: 161). Keberhasilan penelitian
sangat ditentukan oleh kejelasan setiap variabel yang dipilih. Dalam penelitian ini
yang menjadi variabel penelitian adalah kultur pesantren dan perilaku Islami santri.
e. Ditinjau dari sisi tempat penelitian
Dalam penelitian dapat dilakukan diberbagai tempat penelitian seperti
laboratorium, perpustakaan, dan lapangan (Arikunto, 2010: 16). Penelitian ini adalah
penelitian lapangan yaitu di pesantren Muqimus Sunnah 27 Ilir Palembang.
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data
yang berbentuk deskriptif, berupa kata-kata lisan atau tulisan tentang tingkah laku
manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan, 1984: 5). Data kualitatif dapat
dipilah menjadi 3 jenis (Patton, 1990: 34) yaitu sebagai berikut :
1) Hasil pengamatan : uraian rinci tentang situasi, kejadian, interaksi, dan
tingkah laku yang diamati di lapangan.
2) Hasil pembicaraan: kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang
pengalaman, sikap, keyakinan, dan pemikiran mereka dalam kesempatan
wawancara mendalam.
3) Bahan tertulis : petikan atau keseluruhan dokumen, surat menyurat, dan
kasus sejarah.
21
Dengan demikian data kualitatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
semua data yang berbentuk deskriptif baik berupa kata-kata (hasil pembicaraan),
tulisan dan hasil pengamatan terhadap perilaku santri.
b. Sumber Data
Sumber data primer penelitian ini adalah pimpinan, ustadz dan santri di
pesantren Muqimus Sunnah 27 Ilir Palembang. Dimana kata-kata, tindakan orang-
orang yang diamati atau diwawancarai dan dicatat melalui catatan tertulis atau melalui
perekam video/audio tape, pengambilan foto/film (Suryabrata, 1994: 84-85).
Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah semua bahan tertulis
baik berupa buku-buku, laporan-laporan, dokumen-dokumen tertulis dan dokumen-
dokumen perseorangan (Labovitz dan Hagedorn (terj), 1982: 78) yang berkaitan
dengan masalah.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
observasi, wawancara dan dokumentasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Observasi
Observasi adalah suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan
secara sistematis, dengan prosedur yang terstandar (Arikunto, 2010: 265). Dalam
menggunakan metode tersebut agar lebih efektif adalah dengan melengkapinya dengan
format atau blangko pengamatan sebagai instrumen dimana format yang disusun
tersebut berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan
terjadi (Arikunto: 272). Teknik observasi ini digunakan untuk mengamati secara
langsung dan tidak langsung tentang penerapan kultur pesantren dalam membentuk
perilaku Islami santri.
2). Wawancara
22
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 1998: 135). Pewawancara dalam penelitian ini adalah
peneliti sendiri sedangkan yang akan diwawancarai adalah pimpinan pesantren, ustadz,
dan santri di pesantren Muqimus Sunnah 27 Ilir Palembang.
Metode ini dipergunakan untuk memperoleh data terkait indikator-indikator
dalam variabel penelitian. Wawancara dengan pimpinan pesantren untuk memperoleh
data tentang bentuk-bentuk peraturan yang dibuat dengan sistem disiplin ketat dalam
pesantren, sedangkan wawancara dengan ustadz ataupun ustadzah bertujuan untuk
memperoleh data tentang pengawasan atas pelaksanaan peraturan yang ada serta peran
aktif mereka dalam membangun situasi kehidupan religiustis tinggi di dalam
lingkungan pesantren. Wawancara dengan santri untuk memperoleh data tentang
tradisi kepatuhan santri terhadap Kyai, pola hidup dan kemandirian santri, pengaruh
kedisplinan ketat dan situasi kehidupan religiustis tinggi yang diterapkan dalam
pesantren terhadap perilaku Islami santri.
3). Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda,
dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274). Dengan demikian dokumen sebagai sumber
data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen resmi dan
pribadi yang ada di pesantren Muqimus Sunnah 27 Ilir Palembang.
d. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
deskriptif kualitatif. Menurut Winartha (2006: 155), teknik analisis deskriptif kualitatif
merupakan suatu metode yang digunakan dalam menganalisis, menggambarkan, dan
23
meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil
wawancara atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan.
Dengan kata lain deskriptif kualitatif merupakan suatu cara analisis atau pengolahan
data dengan jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk kalimat atau kata-kata,
kategori-kategori mengenai suatu variabel tertentu sehingga diperoleh kesimpulan
umum.
Pengolahan data dapat dilakukan setelah data yang diperlukan terkumpul.
Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah karena
dengan pengolahan data maka data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna
dalam memecahkan masalah penelitian. Data mentah yang telah dikumpulkan perlu
dipecah-pecahkan dalam kelompok-kelompok, diadakan kategorisasi, dilakukan
manipulasi serta diperas sedemikian rupa sehingga data tersebut mempunyai makna
untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk menguji hipotesa atau pertanyaan
penelitian.
Mengadakan manipulasi terhadap data mentah berarti mengubah data mentah
tersebut dari bentuk awalnya menjadi suatu bentuk yang dapat dengan mudah
memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena. Setelah data disusun dalam
kelompok-kelompok serta hubungan-hubungan yang terjadi dianalisa, selanjutnya
dibuat penafsiran-penafsiran terhadap hubungan antara fenomena yang terjadi dan
membandingkannya dengan fenomena-fenomena lain di luar penelitian tersebut. Maka
dengan pengolahan data yang demikian baru dapat dilakukan penarikan kesimpulan
hasil penelitian.
Pengumpulan data kualitatif yaitu dengan menggunakan wawancara, observasi
dan dokumentasi. Data yang terkumpul dirumuskan dalam bentuk kata ataupun
kalimat dan dituangkan dalam fieldnote (catatan lapangan). Fieldnote merupakan
catatan lapangan yang berisi rekaman data yang terkumpul. Rekaman tersebut diolah
24
untuk menjawab permasalahan penelitian melalui bukti empiris. Teknik pengolahan
data kualitatif bersifat non statistik yaitu pengolahan data tidak menggunakan analisis
statistik, melainkan analisis kualitatif.
Tahapan pengolahan data kualitatif meliputi :
1) Reduksi data
Data yang terkumpul di lapangan dirangkum dan diseleksi. Hal ini didasarkan
pada fokus, kategori atau pokok masalah yang telah ditentukan. Reduksi data adalah
proses mengubah rekaman data ke dalam pola, fokus, kategori atau pokok
permasalahan tertentu. Tahap reduksi data dilakukan secara terus menerus hingga
proses penulisan laporan. Pada akhir tahap ini, semua data yang relevan diharapkan
telah tersusun dan terorganisir sesuai kebutuhan.
2) Penyajian data
Penyajian data dilakukan setelah proses reduksi data. Penyajian data dilakukan
dengan kegiatan menampilkan data dengan cara memasukkan data ke dalam sejumlah
matriks yang diinginkan (sesuai dengan keadaan data). Adapun fungsi matriks adalah :
a) Memilah-milah data yang telah direduksi.
b) Memudahkan pengkonstruksian data yang berguna untuk menuturkan,
menyimpulkan dan mengintepretasikan data.
c) Memudahkan mengetahui cakupan data yang telah terkumpul, jika
masih kurang segera dilengkapi dengan pengumpulan ulang di
lapangan.
3) Pengambilan kesimpulan
Setelah reduksi dan penyajian data dapat dihasilkan pemahaman dan
pengertian mendalam tentang keseluruhan data yang diolah. Pengambilan kesimpulan
dilakukan dengan mencari kesimpulan atas data yang direduksi dan disajikan.
I. Sistematika Penulisan
25
Sistematika penulisan ini terdiri dari bab 1 adalah pendahuluan dimana pada
bab ini akan dipaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab 2 berisi
landasan teori dimana pada bab ini akan diuraikan tentang kultur pesantren, peran
pesantren dalam kultur pesantren, elemen-elemen pembentuk kultur pesantren, sistem
komunikasi antar warga pesantren, metodologi pendidikan dan pengajaran yng umum
berlaku di pesantren, internalisasi aspek nilai-nilai ajaran Islam, kedudukan akhlak
dalam pesantren, pengertian perilaku Islami santri, perilaku Islami yang dicontohkan
Rasulullah.
Bab 3 adalah hasil penelitian dimana bab tersebut akan memaparkan hasil
temuan di lapangan sesuai dengan urutan rumusan masalah atau fokus penelitian, yaitu
latar belakang objek penelitian yang meliputi lokasi dan keadaan umum pesantren
Muqimus Sunnah, sejarah berdirinya, visi dan misi pesantren, susunan organisasi
pesantren, tenaga pengajar, sarana dan prasarana pendukung, jadwal kegiatan-kegiatan
santri. Bab 4 adalah analisis hasil penelitian dimana pada bab ini diharapkan sebagai
jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan terdahulu. Pada bab tersebut
peneliti akan menganalis hasil penemuan di lapangan mengenai peran pesantren dalam
menerapkan kultur pesantren sebagai bentuk penanaman nilai-nilai Islami pada santri,
menganalisis implimentasi kultur pesantren terhadap perilaku Islami santri di
lingkungan pesantren Muqimus Sunnah, dan menganalisis implikasi kultur pesantren
terhadap perilaku Islami santri di pesantren Muqimus Sunnah.
Bab 5 adalah penutup dimana terdapat kesimpulan dari keseluruhan rangkaian
pembahasan pada bab-bab terdahulu dan saran-saran bersifat konstruktif sebagai
upaya peningkatan hasil penelitian kearah yang lebih maju.
26
Bab 2
KULTUR PESANTREN DALAM PROSES PEMBENTUKAN
PERILAKU ISLAMI SANTRI
A. Kultur Pesantren Sebagai Wujud Pelestarian Peradaban Islam Di Indonesia
Pesantren adalah salah satu institusi yang unik dengan ciri-ciri khas yang
sangat kuat dan lekat (Zuhry, 2011: 288). Sebagai sebuah wilayah yang memiliki
budaya tersendiri maka pesantren memosisikan sebagai sub-kultur di tengah belantika
kebudayaan nusantara. Kontak interaksi dan afiliasi yang tak sama dengan lingkungan
biasa tersebut menjadikan pesantren memiliki cara bersosialisasi tersendiri dalam
memupuk mental, dan sikap para santri agar tertanam jiwa agamis dan nasionalis.
Sehingga menurut Octavia, dkk., (2014: 3), kekhasan yang dimilikinya itu pada
gilirannya mengantarkan pada sisi dinamis pesantren, terutama dalam merespon
27
perubahan sosial di satu sisi, dan kekuatan yang dimilikinya berupa tradisi dan budaya
kehidupan di sisi lain yang secara spesifik tidak dapat dijumpai di luar pesantren.
Pesantren menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah panjang umat Islam
di Indonesia. Pada masa-masa sulit, yaitu jauh sebelum kemerdekaan, dan masa
revolusi mempertahankan kemerdekaan yang baru dicapai negara-bangsa Indonesia,
banyak pesantren telah berdiri di Indonesia (Azra, 2012: 132). Sedangkan menurut
Mastuki dan El-Saha dalam Kholil (2011: 299) menyatakan bahwa meskipun
pesantren dalam arti lembaga pendidikan atau sebagai tempat dilakukannya pengajaran
tekstual baru muncul pada sekitar abad ke-18.
Namun berdasarkan catatan sejarah disebutkan bahwa berdirinya pesantren
sesungguhnya sudah ada sejak masa-masa awal penyebaran Islam di Indonesia,
terutama di Jawa dimana tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren Maulana
Malik Ibrahim (wafat 1419 M) yang menggunakan masjid dan pesantren untuk
pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh
Walisongo yang juga mendirikan pesantren di wilayahnya masing-masing, seperti
Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan
Drajat di Lamongan, dan Raden Fatah di Demak. Dengan demikian, menurut Octavia,
dkk., (2013: ix-x) bahwa pesantren merupakan warisan para Walisongo. Para
Walisongo-lah yang membawa kitab kuning ke Nusantara yang sampai sekarang
diajarkan di pesantren. Mereka berbaur di tengah masyarakat Nusantara dan
berdakwah dengan metode akulturasi, mengapresiasi tradisi dan kearifan lokal, serta
memberikan keteladanan dengan berpegang pada Al-Qur’an, hadist, dan kitab kuning.
Cara dakwah Walisongo dengan mencontohkan dan memberi teladan yang baik inilah
yang kemudian diikuti oleh para Kyai. Dengan demikian uswah hasanah itu tidak
hanya pada diri Rasulullah, tetapi juga ada pada diri para Kyai sebagai ulama yang
merupakan pewaris para nabi.
28
Selain fakta diatas, Dhofier (2011: 262-263) mengungkapkan pula bahwa
pesantren juga menjadi tali pengikat sejarah Indonesia modern sambung sinambung
yang tidak mengenal keterputusan. Sebagai bagian kehidupan bangsa Indonesia yang
berjumlah besar, maka kultur pesantren-pun mengalami pasang surut. Embrionya
yang kuat mulai tertanam di Barus pada abad ke-9 saat Borobudur sedang dibangun.
Pada abad ke-13 mampu menciptakan kesultanan Lamreh dan tahun 1200 dijadikan
titik tolak dimulainya sejarah Indonesia modern.
1. Kultur atau Budaya Pesantren
Pesantren memiliki banyak sekali tradisi dan potensi nilai-nilai keadaban
sehingga tidak sedikit kalangan pengkaji Islam Indonesia menyebut pesantren sebagai
kampung peradaban, artefak peradaban Indonesia, subkultur, institusi kultural, dan
lain-lain (Kholil, 2011: 299). Tradisi pesantren sempat mengalami kejayaan
mendampingi serta menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan internasional.
Pada menjelang seperempat terakhir abad ke-19, pesantren menguatkan kembali
dimensi intelektual keagamaan dan semangatnya melawan kolonialisme semenjak
Kyai-kyai memperdalam ilmunya di Mekah dan Madinah. Hingga kini peran aktif
pesantren dalam proses transformasi konsep-konsep Islam menjadikan pesantren
berada dalam lingkungan kultur tersendiri dengan keunikan karakteristik yang
dipunyainya. Dengan demikian kultur pesantren dapat dikatakan sebagai habituasi atau
tradisi yang berkembang di pondok pesantren Indonesia dan menjadi distingsi yang
membedakan praktik pembelajaran di pesantren dengan pelaksanaan pembelajaran di
luar pesantren. Sehingga tidak salah bila di dunia pesantren terdapat sebuah adagium
yang sangat melekat : al-muhâfazah ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdhu bi al-jadîd
al-ashlah artinya melestarikan tradisi-tradisi masa lalu yang baik, serta mengadopsi
tradisi-tradisi baru yang juga dianggap baik atau lebih baik.
29
Suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi ke generasi
berikutnya. Kultur atau budaya merupakan istilah yang datang dari disiplin
antropologi sosial (Fathurrohman, 2015: 43). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
budaya diartikan sebagai pikiran; adat istiadat; sesuatu yang sudah berkembang;
sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah (Depdikbud, 1991: 149).
Koentjaraningrat dalam Fathurrohman (2015: 45-47) mengelompokkan aspek-aspek
budaya berdasarkan dimensi wujudnya, yaitu:
a. Kompleks gugusan atau ide seperti pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan,
norma dan sikap.
Wujud pertama adalah ide kebudayaan yang sifatnya abstrak, tak dapat diraba
dan difoto. Kebudayaan ide ini dapat disebut tata kelakuan, karena berfungsi
sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah
kepada kelakuan dan perbuatan manusia.
b. Kompleks aktivitas seperti pola komunikasi, tari-tarian, upacara adat.
Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial, yang
menunjuk pada perilaku yang berpola dari manusia. Sistem sosial berupa
aktivitas-aktivitas manusia yang beriteraksi, berhubungan serta bergaul dari
waktu ke waktu.
c. Materian hasil benda seperti seni, peralatan dan sebagainya.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, yaitu keseluruhan
hasil aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat yang
sifatnya konkrit berupa benda-benda.
Lebih lanjut dikatakan, agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang tahan
lama, maka harus ada proses internalisasi budaya yaitu proses menanamkan dan
menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang
bersangkutan. Untuk itu, pesantren sebagai basis utama budaya atau kultur menjadi
suatu keniscayaan dalam masyarakat. Dimana menurut Hidayat dan Machali (2012:
261) bahwa pesantren itu memiliki tiga karakteristik, yaitu :
30
a. Pesantren sebagai lembaga tradisionalisme. Tradisionalisme dalam konteks
pesantren difahami sebagai upaya mencontoh tauladan yang dilakukan para
ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan ajaran Islam agar terhindar
dari bid’ah, khurafat, tahayyul dan klenik.
b. Pesantren sebagai pertahanan budaya (culture resistance). Mempertahankan
budaya masa lalu yang baik dan mengambil budaya yang baru yang baik dan
bersandar kepada Al-Qur’an dan sunnah adalah prinsip yang dipegang
pesantren. Subjek yang diajar dalam hal ini santri, dapat melalui hidayah dan
sabab (berkah) Kyai sebagai guru utama dan Irsyadul ustadzul adalah kitab
klasik atau kitab kuning. Dimana kitab-kitab klasik ataupun kitab kuning
tersebut diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
sekaligus juga menunjukkan keampuhan kepemimpinan seorang Kyai.
c. Pesantren sebagai pendidikan keagamaan. Pendidikan pesantren didasari,
digerakkan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada
ajaran Islam. Dengan demikian, pendidikan pesantren didasarkan atas dialog-
dialog yang terjadi secara terus menerus antara ajaran Islam sebagai keyakinan
yang memiliki kebenaran dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran
relatif.
2. Komponen Kebudayaan
Koentjaraningrat (2009: 179-181) menjelaskan bahwa kebudayaan hanya ada
pada makhluk manusia. Kebudayaan tidak lepas dari kepribadian individu melalui
suatu proses belajar yang panjang. Dalam proses itu kepribadian atau watak tiap-tiap
individu pasti juga mempunyai pengaruh terhadap kebudayaan itu dalam
keseluruhannya. Akhirnya, gagasan-gagasan, tingkah laku, atau tindakan manusia itu
ditata, dikendalikan, dan dimantapkan pola-polanya oleh bebrbagai sistem nilai dan
norma yang seolah-olah berada di atasnya. Dalam hal menganalisis suatu kebudayaan
dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam antara empat komponen, yaitu:
31
a) Sistem Budaya atau cultural system merupakan komponen yang abstrak dari
kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep,
tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan;
b) Sistem Sosial atau social system terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau
tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antar individu dalam
kehidupan masyarakat;
c) Sistem Keperibadian atau personality system adalah mengenal isi jiwa dan
watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat;
d) Sistem Organik atau organic system adalah melengkapi seluruh kerangka
dengan mengikutsertakan ke dalamnya proses biologis dan biokimia dalam
organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah yang apabila
dipikirkan lebih mendalam juga ikut menentukan kepribadian individu, pola-
pola tindakan manusia, bahkan juga gagasan-gagasan yang dicetuskannya.
B. Peran Pesantren Dalam Implementasi Dan Implikasinya Terhadap Proses
Pelaksanaan Kultur Pesantren
Pesantren memiliki arti dan peran yang sangat penting di tengah-tengah
masyarakat. Lembaga ini telah eksis jauh sebelum kedatangan Islam di Nusantara
(Depag, 2003: 10). Sejak masa awal penyebaran Islam, pesantren adalah saksi utama
penyebaran Islam di Indonesia dan merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan
penyiaran agama Islam. Dalam perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di
Indonesia, peranan pesantren tidak bisa terpisahkan. Kedinamisan pesantren tidak
hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam
bidang keilmuan dan intelektual (Asrohah, 2001: 184). Pesantren juga lah yang
memberikan pendidikan pada masa-masa sulit, masa perjuangan melawan kolonial dan
merupakan pusat studi yang tetap survive sampai masa kini. (Zuhriy, 2011: 288)
Sebagai sub-kultur yang memiliki pola berbeda dengan praktek Islam puritan
(tekstualis) dimana pola yang dibangun pesantren adalah tak menarik diri sepenuhnya
dari lingkungan sekitar dengan tradisi masyarakat yang sudah berkembang. Maka Azra
32
(2012: 136) mengatakan bahwa pesantren dituntut agar tetap menjalankan peran
sangat krusialnya dalam rangka mengakomodasi harapan masyarakat dalam tiga hal
pokok, yaitu :
1. Transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic
knowlegde)
2. Pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition)
3. Reproduksi (calon-calon) ulama (reproduction of ‘ulama)
Hidayat dan Machali (2012: 260-261) menambahkan bahwa kemampuan
pesantren dalam mengembangkan diri dan masyarakatnya, dikarenakan mempunyai
suatu potensi tersendiri yang tidak dimiliki oleh lembaga lainnya. Pertama, pesantren
dalam melakukan aktivitas pembelajarannya full time selama 24 jam sehingga
aktivitasnya tuntas dan terpadu. Kedua, pesantren secara umum mengakar pada
masyarakat. Ketiga, pesantren dipercaya masyarakat sehingga terdapat kecenderungan
dari masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di pesantren. Kecenderungan tersebut
lebih didasarkan pada kepercayaan masyarakat bahwa pembinaan yang dilakukan di
pesantren lebih mengutamakan pendidikan agama.
Sejalan dengan itu, Mastuhu (1994: 55-64) memberikan pengertian tentang
pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Dimana terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki pesantren, yaitu sebagai berikut:
1. Menggunakan pendekatan holistik, dimana para pengasuh pesantren
memandang bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan kesatupaduan atau
lebur dalam totalitas kegiatan hidup sehari-hari. Bagi warga pesantren, belajar
di pesantren tidak mengenal perhitungan waktu.
33
2. Memiliki kebebasan terpimpin. Setiap manusia memiliki kebebasan, tetapi
kebebasan itu harus dibatasi, karena kebebasan memiliki potensi anarkisme.
Pembatasan mengandung kecenderungan mematikan kreatifitas, karena itu
kebebasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan yang
terpimpin yang merupakan watak ajaran Islam.
3. Berkemampuan mengatur diri sendiri (mandiri). Di pesantren santri mengatur
sendiri kehidupannya menurut batasan yang diajarkan agama.
4. Memiliki kebersamaan yang tinggi. Dalam pesantren berlaku prinsip; dalam
hal kewajiban harus menunaikan kewajiban lebih dahulu, sedangkan dalam
hak, individu harus mendahulukan kepentingan orang lain.
5. Mengabdi orang tua dan guru. Tujuan ini antara lain melalui pergerakan
berbagai pranata di pesantren seperti mencium tangan guru, dan tidak
membantah guru.
Dalam perkembangannya menghadapi tantangan global, pesantren semakin
melebarkan wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas
vertikal dengan penjejalan materi-materi keagamaan, tetapi juga mobilitas horizontal
yaitu dengan kesadaran sosial. Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang
berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga
kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society-based
curriculum). Di sinilah pesantren memainkan peran ganda dalam ranah internal dan
eksternal pesantren. Dimana pada ranah internal pesantren menjadi wadah pendidikan
bagi para santri dalam penempaan diri menjadi insan kamil. Sedangkan dalam ranah
eksternal pesantren menjadi intitusi pertahanan dalam melestarikan budaya para alim
ulama dan leluhur terdahulu di tengah lingkungan masyarakat. Pesantren menjadi lebih
inklusif pada realita sehingga menjadikan sistem yang ada dalam pesantren lebih
efektif mengena ke sanubari santri dan masyarakat.
34
1. Elemen-elemen Pembentuk Kultur Pesantren
Pesantren merupakan sebuah kompleks dengan lokasi yang biasanya terpisah
dari kehidupan sekitarnya. Lingkungan pesantren yang secara fisik bercirikan Kyai,
santri, asrama santri, masjid atau surau, kediaman Kyai, dan madrasah membentuk
suatu kehidupan dengan komunitas yang unik dari kehidupan yang umum dan didesain
secara integral dalam lingkungan pesantren.
Menurut Dhofier (2011: 79) terdapat lima elemen dasar pembentuk kultur
pesantren, yaitu:
a. Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren
(Galba,1995: 62). Kyai pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang
yang mempunyai ilmu di bidang agama dalam hal ini agama Islam (Ghazali, 2001: 21)
dan alumni dari pesantren (Hasbullah, 1995: 144). Kyai bukan hanya pemimpin
pesantren tetapi juga pemilik pesantren (Ali dalam Ghazali, 2001: 21). Kyai
merupakan top figur bagi para santri dan merupakan salah satu sumber ilmu
pengetahuan serta memiliki peran penting dalam upaya pengembangan pesantren dan
pengembangan keilmuan para santrinya (Dhofier dalam Faesol, 2012: 113). Sebagai
salah satu unsur dominan dalam kultur pesantren maka Kyai memiliki peran sebagai
ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola
pesantren yang dapat mengatur irama perkembangan dan keberlangsungan kehidupan
suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karisma, dan keterampilannya.
(Anwar, 2010: 226)
Peran yang begitu kompleks tentu menuntut Kyai untuk dapat memposisikan
diri dalam berbagai situasi yang dijalani. Apalagi keberlangsungan suatu pesantren
umumnya sangat tergantung kemampuan kepemimpinan Kyai. Tak terkecuali, fungsi
Kyai sebagai penggerak dalam mengemban dan mengembangkan pesantren sesuai
35
dengan pola yang dikehendaki maka kemajuan dan kemunduran pesantren terletak
pada kemampuan Kyai dalam mengatur pelaksanaan pembinaan dan pengajaran di
dalam lingkungan pesantren. Dimana proses pengaruh yang dilakukan Kyai,
diterapkan melalui kekuasaan legitimasi dengan pemberlakuan peraturan kelembagaan
yang sifatnya mengikat perilaku warga pesantren secara keseluruhan.
Dhofier (2011: 94) juga menjelaskan bahwa Kyai dengan kelebihannya dalam
penguasaan pengetahuan Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat
memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang
awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk-
bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban. Keharusan
menempatkan Kyai dalam posisi yang istimewa. Kharisma dan karomah yang dimiliki
seorang Kyai di dalam pesantren menjadikan Kyai sangat disegani dan dihormati oleh
para ustadz maupun santrinya.
Dalam konteks keilmuan, dalam pemeliharaan tradisi Islam menempatkannya
sebagai penjaga utama ilmu keagamaan. Peran ini tidak bisa diwakilkan kepada
kelompok lain dalam komunitas Islam karena sebuah keyakinan bahwa para ulama
(Kyai) adalah pewaris para nabi. Para Kyai selanjutnya menjadi satu-satunya mufassir
yang sah atas dua sumber utama Islam yakni Al-Qur'an dan Hadist. Peran pengesahan
ajaran agama ini merupakan basis dimana pengetahuan Kyai ditransfer dari generasi
ke generasi dalam pesantren. (Mas'ud dalam Faesol, 2012: 112)
Menurut Turmudi dalam Faesol (2012: 112) bahwa komitmen keilmuan Kyai
diperoleh melalui dua jalur yakni tradisional dan modern. Dari dua jalur ini maka
muncul dua tipe Kyai di pesantren berdasarkan latar belakang pendidikan mereka,
yakni Kyai tradisional yang mengambil pendidikan Islam di pesantren tradisional, dan
36
Kyai modern yang pengetahuan Islamnya diperoleh dari lembaga pendidikan Islam
modern seperti perguruan tinggi Islam.
Kyai tradisional biasanya mempunyai pengetahuan Islam lebih banyak dari
pada Kyai modern. Sedangkan pada sisi yang lain, Kyai modern mempunyai
metodologi pengajaran Islam yang lebih baik dari pada Kyai tradisional. Dengan
demikian, perkembangan sebuah pesantren bergantung sepenuhnya kepada pribadi
Kyainya. Oleh karena Kyai merupakan cikal bakal dan elemen yang paling pokok dari
sebuah pesantren.
b. Masjid
Dalam sejarah Islam awal, masjid merupakan pusat peradaban. Ketika
Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah, pertama kali yang dilakukan adalah
membangun masjid. Dengan kata lain, peradaban Islam pada fase awal dimulai
dengan terbentuknya masyarakat masjid yang menjadi pilar utamanya sehingga sejarah
perkembangan Islam tidak dapat dipisahkan dari masjid. Arifin (2002: 22)
menjelaskan bahwa masjid dapat dikatakan sebagai madrasah yang berukuran besar
yang pada masa permulaan sejarah Islam dan masa-masa selanjutnya adalah
merupakan tempat menghimpun kekuatan umat Islam baik dari segi fisik maupun
mentalnya.
Kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid, sejak
masjid Qubba didirikan dekat Madinah pada masa nabi Muhammad SAW tetap
terpancar dalam sistem pesantren. Masjid merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan dari pesantren (Dhofier, 2011: 85), sehingga masjid menjadi bagian pokok
yang menghidupkan pesantren. Pada umumnya dimana ada pesantren pasti
didalamnya terdapat masjid. Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna
sendiri. Masjidlah yang tetap memberikan nuansa religius ataupun menjadi ruh bagi
kelangsungan pesantren. Masjid di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat
37
sholat berjamaah lima waktu, tetapi lebih dari itu masjid memiliki peran yang
strategis dalam pembinaan santri. Bahkan para Kyai selalu mengajar murid-muridnya
(santri) di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk
menanamkan disiplin para murid. (Dhofier, 2011: 86)
Oleh karena itu masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah
pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang
berkaitan dengan ibadah, shalat berjamaah, zikir, wirid, do’a, i’tiqaf, dan juga kegiatan
belajar mengajar (Yasmadi, 2002: 64). Bahkan Gazalba dalam Ghazali (2001: 18)
mengatakan bahwa seluruh kegiatan yang mengambil tempat di masjid tentu memiliki
nilai ibadah yang tinggi.
c. Santri
Umumnya kata santri diidentikkan bagi seseorang yang tinggal di pondok
pesantren. Nama santri dipakai khusus untuk lembaga pendidikan pesantren sedangkan
gurunya bernama Kyai, Syeikh, ustadz, atau sebutan lain (Soeleiman, 2007: 140).
Santri pada hakekatnya hanya orisinilitas spesifik budaya bangsa Indonesia. Predikat
santri adalah julukan kehormatan, karena gelar santri bukan semata-mata sebagai
pelajar tetapi ia memiliki akhlak yang berlainan dengan orang di sekelilingnya.
Santri merupakan unsur penting dalam perkembangan pesantren. Menurut
Dhofier (2011: 89-90) santri terdiri dari dua yaitu : Pertama, santri mukim yaitu
murid-murid yang berasal dan daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok
pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren biasanya merupakan
satu kelompok tersendiri yang memang bertanggung jawab mengurusi kepentingan
pesantren sehari-hari. Kedua, santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-
desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti
pelajarannya di pesantren, mereka bolak balik (nglaju) dari rumahnya sendiri.
Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari
38
komposisi santri kalong. Semakin besar sebuah pesantren, semakin besar jumlah
santri mukimnya.
Lebih lanjut, Dhofier menjelaskan beberapa alasan santri untuk pergi dan
menetap di pesantren, yaitu :
1) Ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas secara lebih mendalam di
bawah bimbingan Kyai yang memimpin pesantren;
2) Ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang
pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren
terkenal;
3) Ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban
sehari-hari di rumah keluarganya. Disamping itu, dengan tinggal di sebuah
pesantren yang sangat jauh letak dari rumahnya sendiri maka mereka tidak
mudah untuk pulang-balik meskipun kadang-kadang menginginkannya.
Menurut Daradjat (1990: 23) bahwa santri umumnya pada usia-usia remaja
yaitu antara 13-19 tahun yang merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju dewasa. Dalam masa ini anak mengalami pertumbuhan dan masa
perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak
baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang
dewasa yang telah matang. Dimana pada usia tersebut mereka mengalami gejolak
emosi dan krisis identitas sehingga sangat membutuhkan arahan dan bimbingan.
Sehingga secara tersirat inti dari tujuan pesantren itu adalah untuk meninggikan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan
menyiapkan para santri untuk hidup sederhana.
Selain itu, keberadaan para santri di pesantren mempunyai latar belakang dan
alasan-alasan yang berbeda sehingga hal ini akan membentuk kualitas pada diri santri
39
itu sendiri dalam menyerap nilai-nilai agama Islam. Oleh sebab itu, santri dalam
kehidupan sehari-harinya harus senantiasa menyesuaikan dengan pola dan gaya hidup
di dalam pesantren serta mengikuti apa yang dititahkan oleh Kyai. Dimana Kyai
merupakan sumber ilmu pengetahuan di pesantren serta penjaga moral santri termasuk
memberi hukuman kepada para santri apabila santri tersebut melanggar ketentuan-
ketentuan yang sudah dibuat oleh pesantren.
d. Asrama
Pesantren sebagai lembaga yang lebih menekankan aspek moralitas kepada
santri dalam nilai-nilai memerlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar
santri. Dhofier (2011: 80-82) menjelaskan bahwa asrama tersebut berada dalam
lingkungan kompleks pesantren yang biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga
keluar dan masuknya para santri dan tamu-tamu (orang tua santri, keluarga yang lain,
dan tamu-tamu masyarakat luas) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selanjutnya,
terdapat tiga alasan mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi santri :
1). Kemahsyuran seorang Kyai dan kedalaman ilmu pengetahuannya tentang
Islam menarik santri dari jauh, untuk dapat menggali ilmu dari Kyai tersebut
secara teratur dan dalam waktu yang lama. Para santri tersebut harus
meninggalkan kampung halamannya, dan menetap di kediaman Kyai.
2). Hampir semua pesantren berada di desa desa-desa, di mana tidak tersedia
perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung para santri
dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.
3). Sikap timbal balik antara Kyai dan santri, di mana para santri menganggap
para Kyai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan Kyai
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa
dilindungi.
40
Sedangkan Soeleiman (2007: 134) mengklasifikasikan kelas pesantren
berdasarkan jumlah santri menjadi tiga bagian, yaitu: Pertama, pesantren kecil dengan
jumlah santrinya di bawah 1.000 orang dan pengaruhnya terbatas di tingkat kabupaten.
Kedua, pesantren menengah dengan jumlah santrinya antara 1.000 s/d 2.000 orang dan
pengaruhnya menarik santri dari berbagai kabupaten. Ketiga, pesantren besar dengan
jumlah santrinya lebih dari 2.000 orang, berasal berbagai kabupaten dan propinsi.
e. Tradisi Keilmuan Kitab Kuning
Potensi pesantren sebagai center of civilized muslim di Indonesia diwujudkan
dalam bentuk khazanah intelektual yang melekat di dalam pesantren berupa tradisi
kajian kitab kuning. Pada masa lalu, pengajaran kitab kuning, terutama karangan-
karangan ulama yang menganut faham Syafi’i, merupakan satu-satunya pengajaran
formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren (Dhofier, 2011: 86).
Menurut Azra (2012: 143) bahwa kitab kuning pada umumnya dipahami
sebagai kitab- kitab keagamaan Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan
oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau khususnya berasal dari
Timur Tengah. Kitab kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas
“kekuning-kuningan”. Harus diakui, sulit untuk melacak kapan waktu persis mulai
terjadinya penyebaran dan pembentukan awal tradisi kitab kuning di Indonesia.
Sebagaimana penelitian Van den Berg tentang buku-buku yang digunakan di
lingkungan pesantren di Jawa dan Madura pada abad ke-19 memang mendaftar kitab-
kitab yang ditulis para ulama Timur Tengah sejak abad ke-9 dan seterusnya; tetapi ini
tidak berarti kitab-kitab ini telah beredar di Indonesia tak lama setelah kitab-kitab
tersebut ditulis pengarangnya atau penyalinnya di Timur Tengah.
Meski sebagai literatur kuno, pesantren tetap menjadikannya sebagai teks wajib
karena disamping apresiasi terhadap penulisnya sebagai figur yang diakui memiliki
41
keluhuran intelektual dan spiritual, tema-tema utama di dalam teks-teks kuno itu
mengandung nilai-nilai universal dan pandangan-pandangan kehidupan yang humanis.
Keberadaan pesantren yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi kajian kitab kuning
sebagai literatur utamanya tersebut, menjadikan eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tradisional di Indonesia tetap terjaga.
Pada umumnya kitab yang diajarkan di pesantren sama. Sistem pengajaran pun,
yaitu sistem sorogan dan bandongan demikian pula bahasa (yang spesifik pesantren)
yang dipakai sebagai bahasa penerjemahan, juga sama (Dhofier, 2011: 87).
Kesamaan-kesamaan tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural
dan praktik-praktik keagamaan di kalangan Kyai dan santri di seluruh Nusantara.
Dengan demikian tradisi pesantren yang selalu mengkaji dan membahas segala
persoalan kehidupan kemasyarakatan berdasarkan kitab kuning telah menjadikan
pesantren mempunyai bentuknya tersendiri. Di dalam menghadapi berbagai masalah,
baik menyangkut keagamaan maupun problem-problem kemasyarakatan, pesantren
selalu menggunakan kitab kuning sebagai rujukannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Munif (1989: 25) kesamaan-
kesamaan kitab yang dikaji memiliki suatu kecenderungan. Artinya, dalam pesantren
dapat dikatakan tidak ada keseragaman pasti tentang kurikulum terkait kitab yang
dikaji. Sebagian pesantren mengkhususkan dirinya pada bidang ilmu tertentu sesuai
dengan disiplin keilmuan yang digeluti oleh sang Kyai (pesantren takhassus),
meskipun tentu saja dengan tetap tanpa mengesampingkan bidang ilmu lainnya. Hal
yang sangat diperhatikan oleh lembaga pesantren adalah selektifitas terhadap kitab-
kitab yang diajarkan kepada para santri (kitab-kitab mu’tabarah).
Hampir seluruh kitab yang dikaji di pesantren adalah kitab-kitab madzhab dan
sangat memperhatikan isnad kitab-kitab tersebut hingga sampai kepada pengarangnya.
Kitab-kitab kuning adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren.
42
Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai. Ajaran-ajaran yang
terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang
sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu asih cocok
dan berguna kini dan nanti.
Dhofier (2011: 87) menjelaskan bahwa sekarang kitab-kitab klasik (kitab-
kitab kuning) yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan
kelompok jenis pengetahuan, yaitu : nahwu (syntax) dan shorof (morfologi); fiqh; usul
fiqh; hadits; tafsir; tauhid; tasawuf dan etika, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan
balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang
terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh, usul fiqh dan tasawuf.
Kesemuanya dapat pula digolongkan dalam tiga kelompok tingkatan, yaitu: 1. Kitab
dasar; 2. Kitab tingkat menengah; 3. Kitab tingkat tinggi. Dimana seorang Kyai yang
memimpin pesantren kecil mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar
dalam kelompok pelajaran, sedangkan di pesantren besar Kyai mengajarkan kitab-
kitab tingkat tinggi. Masing-masing Kyai mengkhususkan diri jenis pengetahuan
tertentu yang paling dikuasainya.
Pengajaran dan penerjemahan kitab-kitab Islam klasik tidak hanya sekedar
membicarakan bentuk (form) dengan melupakan isi (content) ajaran yang tertuang
dalam kitab-kitab tersebut. Akan tetapi peran Kyai sebagai pembaca dan penerjemah
kitab, memberikan komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya.
2. Sistem Komunikasi Antarwarga Pesantren
Pesantren sebagai suatu wadah pendidikan agama di Indonesia merupakan
suatu komunitas dan masyarakat penuh dinamika yang tak pernah berhenti, sejalan
dengan perubahan sosial yang terjadi (Bull dalam Octavia, dkk., 2014: 5). Kehidupan
di lingkungan pesantren layaknya kehidupan dalam suatu keluarga besar, yang seluruh
43
anggotanya atau individu-individu yang ada di dalamnya harus berperan serta untuk
menciptakan keharmonisan dan ketentraman dalam lingkungan pesantren.
Sebagai sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat
Islam tradisional, pesantren telah membentuk suatu sub kultur yang secara sosio-
antropologis bisa dikatakan sebagai masyarakat pesantren. Oleh karena itu, pesantren
dengan dinamika masyarakat di dalamnya tidak lepas dari pola hubungan sosial yang
terjadi antara anggota-anggota masyarakat pesantren itu sendiri seperti Kyai, ustadz,
ustadzah dan para santri. Dimana hubungan sosial merupakan bentuk interaksi sosial
yang bersifat dinamis, yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu,
antara kelompok-kelompok manusia, antara individu dengan kelompok manusia.
Menurut Galba (1995: 54) bahwa bentuk-bentuk hubungan dalam suatu pesantren
dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu hubungan antara santri dengan santri dan
hubungan antara Kyai dan santri.
a. Hubungan Santri dengan Santri
Pesantren secara tidak langsung mengajarkan para santri untuk dapat
menghargai perbedaan dan menciptakan pergaulan yang diistilahkan Gus Dur sebagai
“kosmopilitanisme pesantren” (Octavia, dkk., 2014: xi). Santri diharapkan dapat
menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dalam lingkungan pesantren tempat mereka
menuntut ilmu. Situasi sosial yang berkembang di antara para santri menumbuhkan
sistem sosial tersendiri.
Galba (1995: 56-61) menjelaskan bahwa hubungan yang terjadi antar santri
adalah hubungan-hubungan yang bersifat pertemanan dan kekeluargaan karena pada
dasarnya semua muslim adalah bersaudara. Selain itu, menurut Octavia, dkk., (2014:
11) terdapat nilai-nilai universal Islam seperti toleransi (tasamuh), musyawarah
(syura), gotong royong (ta’awun), dan lainnya yang turut dikembangkan dalam
interaksi sosial antar santri.
44
1) Toleransi
Menurut Octavia, dkk., (2014: 85-104) bahwa prinsip utama yang melandasi
nilai toleransi adalah menghargai nilai kemanusiaan. Toleransi dimaknai sebagai sifat
atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Pada umumnya santri yang belajar di pesantren berasal dari berbagai daerah,
tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Pergaulan lintas suku, bahasa dan daerah
menjadikan para santri menyadari kebinekaan yang harus dihargai. Untuk itu, sikap
toleransi ditunjukkan dengan memberi kemudahan pada pihak yang berbeda untuk
melakukan apa yang diyakininya dan memperlakukan dengan kelembutan dan kasih
sayang terlepas apapun pendiriannya. Dengan demikian sikap toleran bukan berarti
membenarkan pandangan atau keyakinan yang berbeda, akan tetapi mengakui hak dan
kebebasan orang lain untuk memiliki dan mengapresiasikannya.
2) Musyawarah
Menurut Octavia, dkk., (2014: 137-149) bahwa dalam keseharian, syura atau
musyawarah dapat dipahami sebagai suatu forum dimana setiap orang mempunyai
kemungkinan untuk terlibat dalam urun-rembug, tukar pikiran, membentuk pendapat
dan memecahkan persoalan bersama. Musyawarah memiliki nilai yang tinggi, selain
memfasilitasi para pesertanya terlibat dalam pencarian solusi atas berbagai persoalan,
juga memiliki muatan kebenaran berdasarkan kesepakatan bersama. Kebenaran dan
keluhuran dalam musyawarah terletak pada suara akal budi atau nurani yang secara
formal bisa merujuk kepada sumber-sumber ajaran agama atau kearifan kolektif
lainnya, misalnya prinsip keadilan, persaudaraan, kebinekaan, dan seterusnya.
Lebih lanjut dijelaskan, tradisi musyawarah dalam pesantren dikenal dengan
istilah bahtsul masail yang merupakan bagian upaya pendalaman materi
45
pembelajaran, dimana forum ini pada dasarnya memfasilitasi para santri dalam
penguatan keilmuan dan peningkatan kecakapan retorika berbicara. Santri dilatih
menyampaikan statemen, ide, gagasan, wacana atau pandangannya secara tertata,
teratur, lugas dan mudah dipahami sehingga pada gilirannya nanti dapat mengantarkan
santri secara sosiologis-akademik memiliki keilmuan Islam yang memadai dan
kecakapan dalam berkomunikasi.
3) Gotong Royong
Menurut Octavia, dkk., (2014: 155-165) bahwa gotong royong merupakan
istilah khas dimiliki bangsa Indonesia. Hal ini cukup beralasan, karena dalam
sejarahnya bangsa ini sangat lekat dengan kehidupan saling tolong menolong antara
satu sama lain. Dalam konteks kebudayaan, gotong royong berarti mengerahkan segala
kemampuan anggota masyarakat untuk terlibat saling bantu membantu dalam
melaksanakan suatu jenis pekerjaan dengan target tertentu. Tradisi gotong royong
tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan landasan dalam Al-Qur’an tentang
pentingnya bekerjasama, tolong menolong atau saling bantu membantu untuk
kepentingan kebaikan dan ketakwaan.
Selanjutnya, gotong royong (ro’an) merupakan salah satu istilah yang populer
digunakan untuk menunjukkan aktivitas gotong-royong atau kerja bakti yang
melibatkan banyak santri di pesantren. Kegiatan ro’an ini pada dasarnya memiliki
kesamaan dengan kegiatan-kegiatan kebersihan di kampung halaman. Dengan
pengaturan dari para pengurus pesantren, para santri diarahkan untuk membersihkan di
lokasi-lokasi yang telah ditentukan seperti kamar, halaman, makam, kamar mandi, dan
lokasi lainnya. Bagi para santri, kegiatan ro’an memiliki pelajaran tersendiri,
terutama dalam memupuk kebersamaan dan kepedulian terhadap hal-hal yang baik.
b. Hubungan Kyai dan Santri
46
Kyai dan santri adalah dua entitas yang memiliki kesadaran yang sama untuk
secara bersama-sama membangun komunitas keagamaan dalam pesantren. Sebagai
figur dalam pesantren maka Kyai secara tradisional dianggap mempunyai otoritas
yang tidak tergoyahkan dan dianggap sebagai tokoh yang kharismatik. Pada masa
sekitar 20-30 tahun yang lalu, terutama pada periode awal usia pesantren, ketundukan
dan sikap hormat santri pada pemimpin atau Kyai digambarkan sebagai hal yang
sangat luar biasa. Menurut Rasyid (1998: 305) bahwa Kyai dan santri akan
berinteraksi secara kontinyu dan lama di pesantren sehingga seluruh kegiatan santri
dapat diawasi dan dibentuk oleh Kyai yaitu dengan meningkatkan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid
untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat telah menyandera pikiran dan
perilaku yang pada akhirnya memunculkan pola hubungan atas bawah antara Kyai dan
santri. Kepercayaan bahwa "melawan" Kyai apalagi sampai diusir dari pesantren akan
menyebabkan kesengsaraan dalam hidup atau ilmu yang dimiliki akan sia-sia sehingga
yang bersangkutan tidak akan menjadi orang yang berguna di masyarakat, telah
tertanam dalam benak santri jauh hari sebelum menetap di pesantren dan dikala dia
telah mengenyam pendidikan pesantren keyakinan akan nilai-nilai tersebut semakin
kuat. Nilai tersebut pada akhirnya dilestarikan antar generasi (di pesantren) dan
disebarluaskan pada masyarakat sekitar dimana santri hidup sehingga keyakinan akan
kesakralan Kyai yang anti kritik menjadi bagian dari sistem kepercayaan umum yang
membentuk pola berpikir masyarakat setempat. Dengan demikian pada kondisi sosial
yang dikuasai oleh nilai-nilai tradisionalis yang kuat, maka sulit membentuk sistem
otoritas baru. (Soekanto dalam Faesol, 2012: 115)
47
Sistem otoritas yang telah terpelihara tersebut secara turun temurun
menimbulkan pemikiran umum bahwa suatu perkara yang disampaikan oleh Kyai
(orang yang memiliki otoritas) tidak perlu lagi dipertanyakan, dipikirkan ulang
maupun diperdebatkan secara kritis oleh para santri. Pemikiran umum tersebut
merupakan konsekuensi sosial dari pemahaman bahwa Kyai sebagai pendiri pesantren
merupakan orang yang mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama sehingga segenap
perilakunya merepresentasikan budi pekerti mulia dan akhlak al-karimah di mata
umatnya. Inilah yang menyebabkan Kyai dipandang tidak saja sebagai sumber teladan
tingkah laku , melainkan juga sebagai sumber referensi ilmu pengetahuan.
Dalam tradisi pesantren, sistem hubungan antara guru dengan murid (santri)
berlangsung seumur hidup baik bagi Kyai maupun santri. Dimana perasaan hormat
dan kepatuhan murid kepada gurunya berlaku mutlak dan tidak kenal putus. Bahkan
bagi murid (santri), ia masih perlu hormat kepada anak keturunan Kyai (Dhofier, 2011:
125). Kepatuhan dan penghormatan yang diberikan santri kepada Kyai dalam konteks
tradisi keilmuan pesantren adalah tingkah laku yang memang seharusnya dilakukan
oleh seorang penuntut ilmu. Pola perilaku demikian dibentuk oleh materi pendidikan
pesantren yang mengarah kepada tiadanya sikap kritis dalam menuntut ilmu seperti
yang dikandung dalam kitab kuning yang menjadi kitab wajib hampir semua pesantren
yakni Ta' lim Muta'allim.
Dimana dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa mereka (santri) yang mencari
pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka (santri) tidak akan pernah
mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak berguna, kecuali kalau santri
menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru
(Kyai) yang mengajarkannya. Besarnya wibawa Kyai atas dasar diri santri menjadikan
Kyai juga sebagai sumber inspirasi dan penunjang moril dalam kehidupan pribadi
santri. Para santri menerima kepemimpinan Kyai karena percaya pada konsep berkah
48
yang dalam masyarakat Jawa didasarkan atas doktrin keistimewaan status seorang
alim dan wali (Mas'ud dalam Faesol, 2012: 111). Sehingga tidak mengherankan bila
santri selalu hormat dan ta’dhim terhadap Kyainya serta menghargai orang lain lebih
dari dirinya sendiri. Bahkan santri tidak berani berbicara sambil menatap mata Kyai.
Oleh karena itu, Suprayogo (2007: 34) mengatakan bahwa sikap hormat,
takzhim dan kepatuhan kepada Kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan
pada setiap santri. Kepatuhan mutlak diperluas sehingga mencakup penghormatan
kepada para ulama sebelumnya dan ulama yang mengarang kitab-kitab yang
dipelajarinya. Bahkan sikap patuh tidak hanya diperuntukkan bagi Kyai atau
pengarang kitab, namun kepada keluarga Kyai (anak) juga ditampakkan. Walaupun
sekarang pola hubungan yang demikian telah mengalami banyak perubahan dalam
rangka menciptakan pesantren masa depan yang lebih humanis. Karena dalam
perspektif humanisme religius, posisi santri diharapkan menghormati Kyai sebagai
rasa ta’dhim kepada seorang guru dan sebaliknya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, kitab Ta' lim Al-Muta' allim beserta
kitab-kitab sejenisnya menjadi bagian dari proses legitimasi otoritas keilmuan Kyai
yang pada akhirnya menjelma sebagai sistem nilai yang dianut warga pesantren dan
terejawantahkan dalam praktek-praktek intelektual kehidupan santri sehari-hari
sehingga menjadi standar etika perilaku yang mengatur hubungan Kyai-santri dalam
bingkai interaksi intelektual.
Nilai dan contoh perilaku etis tersebut kemudian disosialisasikan kepada santri
baru dari satu generasi ke generasi berikutnya dan akhirnya terinternalisasi pada diri
setiap santri. Pada titik inilah awal ketertiban sosial di lingkungan pesantren mulai
tercipta. Tindakan-tindakan santri yang mencoba keluar dari "jalur kepesantrenan"
diatur pula oleh nilai sosial komunitas. Perilaku menyimpang tersebut akan mendapat
49
stigma negatif dan pantas mendapatkan sanksi atau hukuman, baik dalam bentuk
moral, sosial maupun fisik.
3. Metodologi Pendidikan dan Pengajaran yang Umum Berlaku di
Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran yang sistemik.
Didalamnya memuat tujuan, nilai, dan berbagai unsur yang bekerja secara terpadu satu
sama lain. Sinkronisasi unsur-unsur dan nilai-nilai tersebut didasari, digerakkan, dan
diarahkan sesuai dengan nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran agama yang
diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki kebenaran
relatif (Wahid, 2001: 17).
a. Sistem Pengajaran Pesantren
Ghazali (2001: 29-33) membagi sistem pengajaran yang dilakukan pesantren
bersifat tradisional dan modern. Sistem tradisional adalah berangkat dari pola
pengajaran yang sangat sederhana dan sejak semula timbulnya, yaitu pola pengajaran
sorogan, dan bandongan (weton/halaqah) dalam mengkaji kitab-kitab agama yang
ditulis oleh para ulama zaman abad pertengahan. Dimana pola pengajaran tersebut
bergantung semata-mata pada Kyai sebagai pemegang otoritas dominan dalam
memimpin pesantren. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu,
tempat dan materi pengajaran (kurikulum) nya terletak pada Kyai atau ustadzlah yang
menentukan berlangsungnya proses belajar-mengajar di pesantren.
1) Sorogan
Merupakan sistem pengajaran yang dilakukan dengan cara menyorongkan
sebuah kitab dari santri kepada Kyai untuk dibaca di hadapan Kyai. Bila terdapat
kesalahan maka Kyai akan langsung memperbaikinya. Di pesantren besar, sistem
tersebut hanya dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasanya terdiri dari
keluarga Kyai atau santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi alim. Dhofier
50
(2011: 54) menyatakan bahwa sistem sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian
yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan, sebab sistem sorogan menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi guru pembimbing (Kyai) dan murid
(santri).
2) Bandongan (Weton / Halaqah)
Merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Dhofier
(2011: 54) menjelaskan bahwa sistem bandongan seringkali juga disebut sistem weton.
Dimana dalam sistem ini sekelompok santri mendengarkan seorang guru (Kyai) yang
membaca, menerjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid (santri) menyimak bukunya sendiri dan
membuat catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran
yang sulit. Kelompok kelas sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya
lingkaran murid (santri), atau kelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan
seorang guru (Kyai).
Sedangkan sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat modern merupakan
suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem. Dimana dalam perkembangannya
pesantren tidaklah semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional.
Menurut Ghazali (2001: 30-32) terdapat tiga sistem yang dapat diterapkan dalam
konteks pendidikan dan pengajaran yang bersifat modern.
1) Sistem Klasikal
Dimana pola penerapan sistem ini adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah
baik kelompok yang mengelola pengajaran agama maupun ilmu yang dimasukkan
dalam kategori umum. Dimana dalam sistem persekolahan diajarkan berdasarkan
kurikulum yang telah baku dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan.
Sekolah dari jalur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari sekolah-
sekolah umum dimana sekolah yang lebih banyak mengelola ilmu-ilmu sekuler
51
dengan wujud konkrit jenjang pendidikannya adalah sekolah dasar dan menengah.
Sedangkan sekolah-sekolah dari jalur Agama wujud konkritnya adalah tingkat
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).
Integrasi kedua jalur sistem pendidikan tersebut juga dapat diwujudkan dalam
pesantren komprehensip dimana kedudukan Kyai dalam proses belajar mengajarnya
bukan semata-mata sebagai pengajar melainkan pula bertindak sebagai pembimbing
yang secara direktif mengasuh pesantren tersebut dalam segala aktifitas. Dengan kedua
pola sistem tersebut, jelas bahwa selain kurikulum yang digunakan Kyai maka
digunakan pula kurikulum dan sylabi yang berasal dari kedua departemen tersebut
dengan harapan semua santri dapat mengikuti pula ujian yang dilaksanakan oleh
sekolah negeri sebagai status persamaan.
2) Sistem Kursus-kursus
Pola pengajaran yang ditempuh melalui kursus (takhassus) ini ditekankan pada
pengembangan keterampilan. Pengajaran sistem tersebut mengarah kepada
terbentuknya santri yang memiliki kemampuan hidup yang mandiri untuk menopang
ilmu-ilmu agama yang mereka tuntut dari Kyai. Dengan demikian santri diharapkan
tidak tergantung pada pekerjaan di masa mendatang, akan tetapi santri harus mampu
menciptakan pekerjaan sesuai kemampuan yang dimiliki.
3) Sistem Pelatihan
Pola pelatihan yang dikembangkan adalah termasuk menumbuhkan
kemampuan praktis seperti pelatihan pertukangan, managemen koperasi, kerajinan-
kerajinan, dan sebagainya yang berfungsi mendukung terciptanya kemandirian
integratif.
b. Metode Pengajaran Pesantren
Menurut Arief dalam Kamsinah (2008: 108), bagi pesantren setidaknya
terdapat tujuh metode yang dapat diterapkan dalam membentuk perilaku Islami santri,
52
yakni : Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); Latihan dan Pembiasaan; Mengambil
Pelajaran (Ibrah); Nasehat (Mauidzah); Kedisiplinan; Pujian dan Hukuman (Targhib
wa Tahzib); dan Kemandirian.
1) Keteladanan
Secara psikologis manusia sangat memerlukan keteladanan untuk
mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pemberian contoh-contoh kongkrit bagi
para santri mutlak diperlukan. Dalam pesantren, Kyai dan ustadz harus senantiasa
memberikan uswah yang baik bagi para santri, termasuk dalam ibadah-ibadah ritual,
serta dalam hidup keseharian. Seperti sikap Kyai yang rendah hati ketika mengajar
sebuah pengajian selalu diakhiri dengan kata-kata “Wallahu a’lam bi al-shawab” atau
kesederhanaan sosok Kyai dalam bergaul, bersikap ramah dengan siapa saja, dan
seterusnya. Tentu nilai-nilai tersebut merupakan aktualisasinya terhadap apa yang
disampaikan. Dengan demikian semakin konsekuen Kyai atau ustadz menjaga tingkah
lakunya maka semakin didengar ajarannya.
2) Latihan dan Pembiasaan
Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiasaan adalah dengan cara
memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma yang telah ditentukan, kemudian
santri membiasakan diri untuk melakukannya. Di pesantren, metode tersebut biasanya
akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan
pada Kyai dan ustadz, pola pergaulan sesama santri dan seterusnya. Latihan dan
pembiasaan yang terjadi terus menerus tersebut pada akhirnya akan menjadi akhlak
yang terpatri dalam diri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi santri.
Burghardt dalam Syah (2010: 117) berpendapat bahwa pembiasaan merupakan
perwujudan perilaku belajar santri. Sebagai usaha internalisasi suatu perilaku atau
nilai yang dilakukan secara berulang-ulang dan berintikan pengalaman. Pembiasaan
meliputi pengurangan perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan
53
ataupun pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif
menetap dan otomatis. Hasanah (2012: 136) mengungkapkan bahwa sikap atau
perilaku yang telah menjadi kebiasaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a) Perilaku tersebut relatif menetap.
b) Pembiasaan umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi,
misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa
mengingat atau meniru saja.
c) Kebiasaan bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat
atau hasil pengalaman atau belajar.
d) Perilaku tersebut tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap
stimulus yang sama.
Pembiasaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kepribadian manusia selain faktor alami atau fitrah. Fitrah manusia menurut perspektif
agama adalah cenderung kepada kebaikan, namun masih mengakui adanya pengaruh
lingkungan yang dapat mengganggu proses tumbuhnya fitrah. Hal ini memberikan
pembenaran perlunya faktor nurture, atau lingkungan budaya, pendidikan, dan nilai-
nilai yang perlu disosialisasikan (Megawangi, 2004: 25-26). Pesantren berperan
banyak dalam menjadikan kualitas karakter yang baik sebagai landasan utama dalam
semua kegiatan para santri baik formal maupun informal. Pembiasaan akan nilai-nilai
di lingkungan pesantren diterapkan melalui program-program kegiatan dan diawasi
dengan aturan-aturan kedisiplinan. Para santri dibiasakan untuk shalat lima waktu
dengan berjamaah, shalat Dhuha, mengantri ketika menunggu giliran makan,
menerapkan kebersihan di setiap tempat dengan adanya piket dan pembersihan umum,
menciptakan hidup sehat dengan berolah raga pada hari-hari yang telah dijadwalkan,
serta kegiatan-kegiatan lainnya.
3) Mengambil Pelajaran (Ibrah)
54
Secara sederhana ibrah berarti merenungkan dan memikirkan. Dalam arti
umum biasanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa
(Nahlawi, 1992: 390). Ibrah dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi psikis yang
menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan,
diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar,
sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu
mendorongnya kepada perilaku yang sesuai. Sebagaimana tujuan paedagogis dari
ibrah adalah mengantarkan manusia pada kepuasan pikir tentang perkara agama yang
bisa menggerakkan, mendidik atau menambah perasaan keagamaan. Pengambilan
Ibrah dapat dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-
peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang (Burhanuddin, 2001: 57).
4) Nasehat (Mauidzah )
Mauidzah berarti nasehat. Metode mauidzah harus mengandung tiga unsur,
yakni : Pertama, uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh
santri, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam
beramal; Kedua, motivasi dalam melakukan kebaikan; Ketiga, peringatan tentang
dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun
orang lain. (Burhanuddin, 2001: 57-58)
5) Kedisiplinan
Pembiasaan kedisiplinan merupakan salah satu keunggulan di pesantren. Mulai
dari bangun tidur sampai beranjak tidur lagi, para santri membiasakan untuk disiplin
terhadap norma dan nilai yang berlaku di pesantren. Dalam membudayakan kebiasaan-
kebiasaan yang baik tersebut maka pengasuh pesantren memiliki peran yang sangat
penting untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada santri untuk menerapkan
nilai-nilai kebaikan yang dilakukan secara holistis dalam keseharian santri.
55
Metode kedisiplinan identik dengan pemberian hukuman atau sangsi.
Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut
tidak benar sehingga ia tidak mengulanginya lagi (Nawawi, 1993: 234). Pembentukan
perilaku lewat kedisiplinan memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan
mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara
kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan
sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain.
Lebih lanjut dijelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang
pendidik sebelum menjatuhkan sanksi:
a) Perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;
b) Hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau
balas dendam dari si pendidik;
c) Harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar,
misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis
pelanggaran disengaja atau tidak.
Menurut Octavia, dkk., (2014: 188-189) bahwa hukuman atau dalam istilah
pesantren disebut ta’zir . Ta’zir merupakan salah satu metode memupuk kesadaran
para santri supaya bertanggung jawab. Setiap pelanggaran atas ketentuan yang berlaku
harus dipertanggung jawabkan dengan menjalani ta’zir. Misal, santri yang merokok
digundul, santri yang melalaikan tugasnya membersihkan wc, dan lain sebagainya.
Dalam batas-batas tertentu, hukuman dapat menjadi instrumen pendidikan bagi santri
yang bermasalah. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman
ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah
tidak bisa diperbaiki. Hukuman juga dapat diberikan kepada santri yang melanggar
dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.
6) Targhib wa Tahzib
56
Metode ini terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain;
targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang
melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk
menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar (Nahlawi, 1992: 412). Penekanan metode
targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara penekanan
metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa. Meski demikian
metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman. Perbedaannya terletak pada
akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai.
Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya
memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat Rabbaniyah, tanpa terikat
waktu dan tempat. Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum
rasio/akal yang sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di
pesantren, metode ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan
maupun bandongan. (Burhanuddin, 2001: 61)
7) Kemandirian
Kemandirian adalah kesiapan dan kemampuan individu untuk berdiri sendiri
yang ditandai dengan keberanian mengambil inisiatif, mencoba mengatasi masalah
tanpa minta bantuan orang lain, berusaha dan mengarahkan tingkah laku menuju
kesempurnaan. Nasrun dalam Octavia, dkk., (2014: 211) menyebutkan bahwa
kemandirian merupakan unsur terpenting dari moralitas yang bersumber pada
masyarakat. Kemandirian tumbuh dan berkembang karena dua faktor yaitu disiplin
dan komitmen terhadap kelompok.
Sedangkan Octavia, dkk., (2014: 212) menjelaskan bahwa kemandirian
mencakup kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku, dan kemandirian nilai.
Kemandirian emosional berhubungan dengan perubahan kedekatan emosional antar
individu, seperti hubungan anak dengan orang tua. Kemandirian tingkah laku adalah
57
kemampuan untuk membuat keputusan tanpa bergantung pada orang lain dan
melakukannya secara bertanggung jawab. Selanjutnya yang disebut sebagai
kemandirian nilai adalah kemampuan memaknai prinsip tentang benar dan salah
terhadap apa yang penting dan apa yang tidak penting.
Nasrun dalam Maulidiyah (2005: 24) menyebutkan bahwa kemandirian itu
ditandai dengan adanya perilaku:
a) Mengerjakan sendiri tugas-tugas rutinnya, yang ditunjukkan dengan kegiatan
yang dilakukan dengan kehendaknya sendiri dan bukan karena orang lain dan
tidak tergantung pada orang lain.
b) Aktif dan bersemangat, yaitu ditunjukkan dengan adanya usaha untuk mengejar
prestasi maupun kegiatan yang dilakukan tekun merencanakan serta
mewujudkan harapan-harapannya
c) Inisiatif, yaitu memiliki kemampuan berfikir dan bertindak secara kreatif
d) Bertanggung jawab, yang ditunjukkan dengan adanya disiplin dalam belajar,
melaksanakan tugas dengan baik dan penuh pertimbangan
e) Kontrol diri yang kuat, yaitu ditunjukkan dengan adanya mengendalikan
tindakan, mengatasi masalah, dan mampu mempengaruhi lingkungan atas
usaha sendiri.
Menurut Octavia, dkk., (2014: 214-215) bahwa pesantren memberikan
perhatian penting terhadap nilai dan praktek kemandirian. Masa-masa penanaman nilai
kemandirian sejak dini di pesantren seringkali disebut banyak kalangan memberikan
kontribusi pada pembentukan kepribadian manusia yang bertanggung jawab. Pesantren
turut memberikan andil dalam mempersiapkan santri untuk hidup mandiri dengan
mencukupi kebutuhan kesehariannya dengan bekal kiriman orang tuanya, dimana
mereka dihadapkan pada masalah pengelolaan keuangan, makanan, pakaian dan
bahkan pilihan keilmuan.
C. Internalisasi Aspek Nilai-nilai Ajaran Islam
58
Nilai adalah pola tata kelakuan yang harus dilakukan oleh manusia ketika ia
berhubungan dengan orang lain (Setiadi dan Kolip, 2011: 6). Nilai bukan saja
dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat dalam masyarakat, akan tetapi dijadikan
pula sebagai ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu
sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang
dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan
sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapatkan penolakan dari
masyarakat tersebut.
Menurut Musfah (2012: 50), nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi
selalu berubah. Sementara, Setiadi dan Kolip (2011: 119) menyatakan bahwa nilai
pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah atau benar. Sehingga nilai
merupakan bagian penting kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah ataupun secara
moral dapat diterima, jika harmonis atau selaras dengan nilai-nilai yang disepakati dan
dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan tersebut dilakukan. Sebagaimana dalam
konteks nilai kepesantrenan yang sebenarnya adalah membangun kesucian dan
keindahan secara nyata dalam kehidupan. Artinya tidak sekedar membangun kata,
tetapi juga membangun tindakan konkrit sehingga Rahman dan Rahim Allah benar-
benar nyata dalam kehidupan sehari-hari. (Octavia, dkk., 2014: x)
Fungsi pesantren sebagai lembaga dakwah, senantiasa melakukan internalisasi
nilai-nilai Islam di tengah masyarakat pesantren sendiri dan masyarakat umum
(Brusinessen dalam Octavia, dkk., (2014: 5). Dimana aspek nilai-nilai ajaran Islam
pada intinya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu nilai-nilai aqidah, nilai-nilai
ibadah, dan nilai-nilai akhlak (Hakim, 2012: 69). Nilai-nilai aqidah mengajarkan
manusia untuk percaya akan adanya Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa sebagai
Sang Pencipta alam semesta, yang akan senantiasa mengawasi dan memperhitungkan
59
segala perbuatan manusia di dunia. Hubungan manusia dengan Allah SWT merupakan
hubungan vertikal (menegak) antara makhluk dan Khalik, sebagai sentral dan dasar
dari ajaran Islam (Daradjat, 2011: 176) yang menuntut manusia untuk lebih taat dalam
menjalankan perintah Allah dan takut untuk berbuat dhalim ataupun kerusakan di
muka bumi ini.
Sedangkan aspek nilai-nilai ibadah mengajarkan pada manusia agar dalam
setiap perbuatannya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai ridho Allah.
Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia yang adil,
jujur, dan suka membantu sesamanya. Aspek nilai-nilai akhlak mengajarkan kepada
manusia untuk bersikap dan berperilaku yang baik sesuai norma atau adab, sehingga
akan membawa pada kehidupan manusia yang tenteram, damai, harmonis, dan
seimbang. Dengan demikian jelas bahwa nilai-nilai ajaran Islam merupakan nilai-nilai
yang akan mampu membawa manusia pada kebahagiaan, kesejahteraan, dan
keselamatan manusia baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat
kelak.
Sejalan dengan hal di atas, Zamzami, dkk., (2007: 183-187) mengungkapkan
bahwa nilai-nilai ajaran Islam yang dikembangkan di pesantren berupa sikap dan
perilaku tasamuh, tawassuth, dan tawazun. Selain itu, terdapat juga nilai-nilai seperti
al-ukhuwwah (persaudaraan), al-ta’awun (tolong menolong), al-ittihad (persatuan),
thalab al ‘ilm (menuntut ilmu), al-ikhlas (ikhlas), al-jihad (perjuangan), al-tha’ah
(patuh kepada Tuhan, Rasul, ulama atau Kyai sebagai pewaris nabi, dan kepada
mereka yang diakui sebagai pemimpin), ikut mendukung eksistensi pondok pesantren
(Rahardjo dalam Octavia, dkk., 2014: 7-8). Nilai-nilai tersebut tentu saja tidak lahir
dalam kondisi tunggal, melainkan melalui proses panjang dan melampaui beberapa
tahapan. Nilai-nilai yang dipilih dan ditetapkan menjadi karakter dan identitas
peradaban atau kultur tersebut muncul mengalami seleksi alam, dimana kesadaran
60
kolektif akan memilih nilai yang baik, signifikan dan relevan bagi eksistensi
peradaban atau kultur tersebut.
1. Kedudukan Akhlak di Pesantren
Dalam lingkungan pesantren, kedudukan akhlak merupakan hal yang sangat
penting dan utama bagi kehidupan. Ritonga (2005: 7-8) menjelaskan bahwa al-Akhlaq
adalah potensi yang tertanam di dalam hati seseorang yang mampu mendorongnya
berbuat (baik dan buruk) tanpa didahului oleh pertimbangan akal dan emosi. Untuk
memberi penilaian baik atau buruknya akhlak seseorang dilihat dari perbuatan-
perbuatan yang sudah menjadi kebiasaannya, dan inilah yang disebut dengan
perbuatan akhlak. Dengan demikian perbuatan seseorang adalah cerminan dari
akhlaknya, bukan sebagai akhlaknya sendiri.
Terdapat pandangan bahwa segala amal perbuatan, baik yang berkaitan dengan
persoalan hati maupun badan, ucapan atau perbuatan tidak dianggap sah apabila tanpa
kebaikan akhlak. Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa akhlak berkaitan erat
dengan tauhid. Tauhid adalah dasar dari segala sesuatu, maka lahirlah apa yang
dinamakan keimanan, dari keimanan timbul syariat, dari syariat muncullah akhlak.
Artinya, jika seseorang tidak memiliki akhlak, berarti tidak memiliki syariat, jika tidak
memiliki syariat berarti tidak memiliki keimanan dan itu juga berarti tidak memiliki
tauhid. (Burhanudin, 2001: 57)
Kecenderungan manusia dalam melakukan akhlak baik atau buruk, merupakan
bentuk dari proses, dari baik ke buruk dan kembali lagi ke baik, atau tetap dalam
keburukan dan dari baik tetap kepada yang baik. Proses inilah yang sebenarnya sangat
berperan dalam membentuk terminal akhir dari kecenderungan manusia. Proses ini
yang kemudian dijadikan acuan agar manusia tetap bertahan dalam kebaikan. Peran
61
aktif pesantren dalam pembinaan akhlak santri menjadi alternatif bagi upaya kearah
perbaikan dan pembangunan akhlak manusia secara keseluruhan.
Pencapaian akhlak yang sempurna adalah untuk membentuk santri-santri yang
bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan, dan beradab, ikhlas,
jujur dan suci (Abrasyi, 1970: 104). Dengan demikian pengasuh harus mengikhtiarkan
cara-cara yang bermanfaat untuk pembentukan adat istiadat, kebiasaan yang baik,
yang ditanamkan di dalam hati nurani santri, menguatkan kemauan untuk berdisiplin,
mendidik pancaindra dan membiasakan berbuat baik, menghindari setiap kejahatan.
(Zuhairi, dkk., 1995: 52)
Akhlak itu menyangkut tarbiyah yaitu menanamkan akhlak yang utama, budi
pekerti yang luhur serta didikan yang mulia (Ghoyani, 1976: 315). Sementara,
Daradjat (2011: 70) mengatakan bahwa pengajaran akhlak berarti pengajaran tentang
bentuk batin seseorang yang kelihatan pada tindak tanduknya (tingkah lakunya).
Dimana terdapat enam aspek penting dalam konsep pendidikan akhlak mulia di
pesantren :
a. Aspek pemahaman tentang makna akhlak yakni sikap dan perilaku baik yang
didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist
yang meliputi akhlak kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada Allah dan
kepada lingkungan hidup.
b. Tujuan pendidikan akhlak pada prinsipnya adalah perbaikan diri baik
kedudukannya sebagai diri sendiri, sebagai hamba Allah dan sebagai bagian
dari masyarakat.
c. Program pembentukan akhlak berupa pembiasaan yang dikemas menjadi
kegiatan harian, mingguan, bulanan, dan bahkan tahunan.
d. Materi akhlak meliputi sikap dan perilaku yang diwajibkan oleh ajaran Islam
baik kepada diri sendiri, orang lain, dan kepada lingkungan hidupnya.
62
e. Rujukan materi akhlak yang digunakan seperti Al-Qur’an, al- Hadist, kitab
akidah akhlak, Kitab Ta’lim Al Muta’allim, Kitab Al-Akhlak lil Banin wal
Banat, nilai-nilai kepesantrenan dan kultur pesantren.
f. Kualifikasi ustadz yang disyaratkan di pesantren untuk menumbuhkan akhlak
mulia pada santri yaitu memiliki kematangan intelektual, kematangan
psikologis, kematangan sosial, kematangan perilaku, dan kematangan spiritual.
Dimana nilai-nilai yang dikembangkan oleh pesantren dalam mendorong
terbentuknya perilaku Islami santri, yaitu : keikhlasan, kesederhanaan;
kemandirian, kekeluargaan, kebebasan; kepemimpinan, dan kemasyarakatan.
Dengan demikian kultur pesantren yang didalamnya terkandung nilai-nilai
mewujud dalam kebiasaan-kebiasaan akan mendorong terbentuknya perilaku Islami
santri dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Perilaku
Akhlak dilihat dari spontanitas tingkah laku (perilaku) yang baik (Sapuri,
2009: 274). Akhlak dan perilaku saling berkaitan dan memberikan gambaran satu
sama lain. Perilaku mewujud melalui aspek gerakan. Hal ini sangat diwarnai dan
ditentukan oleh akidah dan akhlak seseorang. Sejalan dengan itu, Ritonga (2005: 9)
mengungkapkan bahwa perilaku adalah perbuatan akhlak seseorang sebagai
penjelmaan (manifestasi) dari sifat mental yang terkurung dikalbunya. Dimana
perbuatan akhlak yang dimaksud adalah :
a. Perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan sehingga telah menjadi kepribadiannya.
b. Perbuatan itu mudah dilakukan tanpa didahului oleh pertimbangan.
c. Perbuatan itu timbul dari dorongan hati atau keinginan hati, bukan karena
terpaksa.
d. Perbuatan itu dilakukan dengan sesungguh hati, bukan sekedar bercanda dan
kajian ilmiah.
63
e. Perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas (untuk perbuatan baik).
f. Tidak merasa bersalah atau malu setelah melakukannya karena sudah menjadi
kebiasaannya sehari-hari.
Dengan demikian perilaku adalah tingkah laku yang diatur atau terbentuk dari
lingkungan (internal dan eksternal), tempat dimana melakukan suatu kegiatan dengan
pola tertentu. Hal tersebut hampir sejalan dengan pendapat Hakim (2012: 70) yang
mengatakan bahwa perilaku merupakan manifestasi dari respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus lingkungan sosial tertentu sehingga perilaku itu bisa diubah artinya
perilaku yang menentukan pengembangan diri seseorang. Dalam beberapa teori
mengatakan bahwa :
a. Perilaku adalah akibat.
b. Perilaku diarahkan oleh tujuan.
c. Perilaku yang diamati bisa diukur.
d. Perilaku yang tidak dapat secara langsung diamati seperti berpikir.
e. Perilaku dimotivasi atau didorong.
Sedangkan dalam pandangan Muhadjir (1992: 57-69) bahwa perilaku tidak
sekedar psikomotor tetapi merupakan performance kecakapan. Dimana kecakapan
berkaitan dengan aspek-aspek kecepatan, ketepatan, dan stabilitas suatu respon atau
reaksi terhadap suatu stimulasi lingkungan. Lebih lanjut, Muhadjir mengemukakan
beberapa jenis kecakapan yang berhubungan dengan kesuksesan seseorang dalam
menempuh kehidupan, antara lain yaitu: kecakapan berempati (kecakapan yang
berhubungan dengan tingkah laku sosial), kecakapan intelektual, kecakapan mental
(ketahanan atau ketangguhan mental), kecakapan dalam mengelola hasrat atau
motivasi, dan kecakapan dalam bertingkah laku sesuai etika masyarakat (watak baik
buruk). Dengan demikian perilaku yang cenderung mengarah dan berhubungan
dengan kecakapan (performance) dalam bertindak (watak baik dan buruk) sesuai
64
ukuran norma (etika/adab) ajaran Islam inilah yang lebih dekat dengan istilah akhlak
dalam tinjauan Islam.
3. Perilaku Islami Santri Sebagai Wujud Akhlakul Karimah
Rasulullah SAW adalah sosok yang wajib diteladani secara syar’i dalam segala
hal yang bersumber darinya, baik ucapan, perbuatan, maupun taqrir beliau (Hajjaj,
2013: 231). Perilaku Muhammad Saw adalah sunnah. Al-Qur’an menyebutkan nahwa
Rasulullah adalah panutan terbaik sekaligus manusia paling mulia. Sikap beliau yang
sopan, santun, penuh kasih sayang dan peduli terhadap orang lain, merupakan
cerminan sikap keberIslaman yang sesungguhnya. Keseharian dan perilaku Rasulullah,
bahkan diakui oleh para sarjana Barat merupakan gambaran kesempurnaan utuh
seorang manusia. Akhlak Nabi merupakan kesempurnaan akhlak pada diri seseorang.
Di kalangan umat Islam telah sepakat bahwa sunnah merupakan kunci untuk
memahami pesan-pesan Al-Qur'an dan sebagai perangkat pengurai yang menunjuki
dari dalil-dalil yang tersedia di dalamnya. Dimana Al-Qur'an diturunkan dengan
memuat prinsip-prinsip dasar dan hukum Islam secara global sebagai aturan hidup,
sedang sunnah mengajarkan petunjuk pelaksanaannya. Dengan demikian sunnah
sangat diperlukan dalam mengamalkan secara benar ajaran Islam.
Nashir (2013: 23-24) berpendapat bahwa ajaran tentang akhlak dalam Islam
sangatlah penting sebagaimana ajaran tentang aqidah (keyakinan tauhid), ibadah, dan
muamalah (kemasyarakatan). Nabi Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Menyempurnakan akhlak manusia berarti meningkatkan akhlak yang
sudah baik menjadi lebih baik lagi dan mengikis akhlak yang buruk agar hilang serta
digantikan oleh akhlak yang mulia. Itulah kemuliaan hidup manusia sebagai makhluk
Allah yang utama. Betapa pentingnya membangun akhlak sehingga melekat dengan
kerisalahan Nabi.
65
Lebih lanjut, Nashir menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dikenal memiliki
sifat-sifat akhlak amanah, siddiq, tabligh, fahtanah. Muhammad Al-Hufy dalam “Min
Akhlaq al-Nabiy” mengidentifikasi 21 sifat akhlak Nabi Muhammad yaitu :
gemar/suka pada akhlak yang mulia; asy-saja’ah (keberanian); al-karam (pemurah);
al-‘adl (adil); al-‘iffah (memelihara diri dari hal-hal buruk; ash-ahidq (benar, jujur);
al-amanat (amanah); ash-sbar (sabar); al-hilm (lapang hati, lembut); al-afw (pemaaf);
ar-rahman (kasih sayang); itsar as-salam (mengutamakan perdamaian; al-juhd
(juhud); al-haya (malu); al-tawadhu’ (rendah hati); al-wafa (kesetiaan); asy-syura
(musyawarah); thibul ‘isyrah (kebaikan pergaulan); hubb-al-aml (cinta bekerja); al-
bisyr wa fukhahah (gembira dan canda).
Menurut Hamid (2009: 340-349) bahwa perilaku Islami adalah orang yang
baik keIslamanannya tidak hanya sholeh secara ritual, melainkan juga sholeh secara
sosial yaitu harus senantiasa berperilaku baik sebagaimana diajarkan dalam Islam
yang sesuai dengan sifat-sifat akhlak yang dimiliki oleh nabi Muhammad SAW,
diantaranya adalah :
a. Adil yaitu sikap tidak memihak atau tidak berat sebelah dalam hal apapun, baik
dalam berperilaku sehari-hari maupun dalam menetapkan suatu hukum
terhadap siapapun. Dari segi sifat atau hakikatnya, menurut Aristoteles dalam
Nashir (2013: 78) terdapat dua macam keadilan (yang berasal dari kata adil),
yaitu : keadilan distributif, bahwa setiap orang mendapatkan apa yang menjadi
haknya; dan keadilan komutatif yaitu memberikan sesuatu kepada orang sama
banyaknya, yakni kesetaraan.
b. Amal saleh; melakukan pekerjaan baik yang bermanfaat bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain.
c. Amanah (jujur); menyampaikan sesuatu kepada yang berhak. Pengertian
amanah berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an ada dua macam:
66
a). Tunduk dan patuh kepada Allah, yakni mengerjakan segala perintah dan
menjauhi semua larangan-Nya.
b). Menjalankan tanggung jawab dengan baik. Dalam konteks tersebut adalah
memenuhi hak-hak sesama manusia seperti mengembalikan titipan, tidak
menyebarkan rahasia atau aib orang lain, memenuhi tugas yang semestinya.
Amanah selaras dengan jujur (kejujuran). Imam Al-Ghazali dalam Octavia,
dkk., (2014: 235) mengatakan bahwa kejujuran digunakan dalam enam hal,
yaitu : perkataan, niat, visi, menepati janji, perbuatan, dan kejujuran termasuk
salah satu tahapan pencapaian spritual yang harus dilalui agar kepribadian
seseorang semakin matang dan saleh. Dalam konteks pesantren, penanaman
nilai-nilai kejujuran teraktualisasi dalam sikap jujur pada diri sendiri dan orang
lain (tidak berbohong) baik dalam perilaku, ucapan maupun tanggung jawab,
menampilkan diri sendiri dengan apa adanya (‘tidak neko-neko’), tidak
mengambil hak orang lain, dan seterusnya.
d. Bakti kepada orang tua. Menghargai orang tua berarti berbakti dan berbuat
baik kepada mereka, menyayangi orang tua sebagaimana mereka menyayangi
kita di masa kecil. (Octavia, dkk., 2014: 198)
e. Cinta (Mahabbah). Segala bentuk interaksi sosial antar kaum mukmin
seyogyanya dilandasi dengan cinta sebagai konsekwensi keimanan yang
sempurna kepada Allah (Hajjaj, 2013: 233). Dengan demikian membenci dan
mencintai dalam tata pergaulan sosial di tengah masyarakat harus dilakukan
dalam konteks demi meraih keridhaan Allah SWT.
f. Hemat. Berarti tidak boros. Dalam membelanjakan uang hendaknya
berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan (hawa nafsu). (Hamid, 2009: 340)
g. Hormat yaitu suatu sikap yang tidak meremehkan orang lain. Hormat dan
rendah hati (tawadhu) kerap ditemui dalam lingkungan pesantren. Octavia,
dkk., (2014: 259) menjelaskan bahwa para santri selalu diajarkan untuk rendah
67
hati dan tidak sombong. Dalam kehidupan sehari-hari para santri terus
diingatkan untuk menjaga sikap rendah hati, tidak merasa paling pintar dalam
bidang agama sehingga santri senantiasa terdorong untuk selalu belajar dan
tidak cepat merasa puas akan ilmu yang telah didapatkan. Selain itu santri
diajarkan juga untuk senantiasa mendahulukan orang yang lebih tua.
h. Iffah; memelihara kesucian diri. Setiap orang yang berimana dituntut
memelihara kesucian diri baik lahir maupun batin. Islam adalah agama yang
mengajarkan kebersihan. Islam sangat menganjurkan kepada setiap individu
mualim agar selalu menjaga kebersihan badan, pakaian, dan tempat tinggal
masing-masing. Seorang mualim hendaknya menyucikan diri dari najis dan
kotoran yang menempel pada pakaian atau badan, karena ketika menghadap
Allah SWT seseorang diharuskan bersuci. Allah SWT berfirman, “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu, dan basuhlah
kakimu sampai dengan kedua mata kaki; dan jika kamu junub, mandilah.” (QS
Al-Maidah: 6).
i. Ihsan; berbuat baik untuk orang lain tanpa memandang suku, warna kulit, dan
status sosial. Terutama kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Ihsan
merupakan perbuatan manusia dalam melaksanakan seluruh ibadahnya secara
baik dan menjalankannya secara benar. Hajjaj (2013: 277) menjelaskan bahwa
ihsan merupakan posisi mulia dan derajad luhur serta tinggi yang dicapai
seorang hamba mukmin ketika ia mencapai kesempurnaan iman dan kesejatian
Islam. Dimana kesempurnaan imannya teraktualisasikan dalam keyakinannya
yang teguh akan kebenaran masalah-masalah ghaib yang disampaikan
Rasulullah SAW.
Sementara kesejatian Islamnya teraktualisasikan dalam ketulusan dan
kemurniannya dalam mengesakan AllaH SWT setelah mengikrakan dua
68
kalimat syahadat. Aktualisasi selanjutnya adalah dalam bentuk komitmen yang
kuat dalam menjalankan shalat sebagai tiang agama, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, dan berhaji. Perbuatan ihsan juga terdapat dalam bentuk interaksi
dengan siapapun makhluk Allah SWT seperti berbakti kepada orang tua,
berbuat baik dengan orang lain, bersungguh sungguh dalam belajar; membalas
keburukan orang-orang yang berlaku salah dengan kebaikan atau menerima
permintaan maaf dari mereka; menjauhkan diri dari perilaku balas dendam dan
memendam amarah.
j. Ikhlas; melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan.
k. Ilmu. Berkaitan dengan ilmu ada dua kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
orang yang beriman, yaitu belajar dan mengajar.
l. Maaf-memaafkan; tradisi yang harus dihidupkan diantara umat Islam. Hajjaj
(2013: 335) menjelaskan bahwa kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap
pemaaf, yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap diri mereka. Sikap
pemaaf termasuk akhlak yang mulia. Contoh aktualisasi sikap yang sesuai
hadist Rasulullah tersebut adalah memaafkan orang yang berbuat zalim,
menyambung silaturrahim orang yang memutus hubungan, dan memberi
sesuatu kepada orang yang tidak mau memberi.
m. Malu (haya). Menurut Ritonga (2005: 217), malu adalah kondisi objektif
kejiwaan yang merasa tidak senang, merasa rendah dan hina karena melakukan
perbuatan yang tidak baik. Malu merupakan bagian dari iman, yang dapat
mendekatkannya pada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Sikap malu
akan mencegah seorang mualim untuk melakukan perbuatan dosa. Selain itu
juga akan menjadikan seorang mualim untuk berbicara benar dalam berbagai
kondisi. Rasulullah SAW adalah orang yang sangat pemalu, sehingga beliau
tidak pernah berbicara kecuali yang baik-baik saja.
n. Sabar; menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Sabar merupakan akhlak utama yang digalakkan Al-
69
Qur’an dalam sejumlah ayatnya (Hajjaj, 2013: 298). Sedangkan Octavia,dkk.,
(2014: 271-272) menjelaskan bahwa sabar atau kesabaran memiliki dimensi
untuk mengubah sebuah kondisi, baik yang sifat pribadi maupun sosial,
menuju perbaikan agar lebih baik. Dalam dunia pesantren, kesabaran menjadi
nafas penting yang diekspresikan dalam bentuk sikap qana’ah yang menerima
apapun yang telah diberikan Allah dan kebiasaan hidup yang tidak pernah
mengeluhkan fasilitas yang ada di pesantren, internalisasi dalam bentuk
lahiriah baik pakai maupun perilaku serta menolak segala bentuk kemalasan
dan hidup yang berlebih-lebihan.
o. Sederhana; suatu sikap atau tindakan yang tidak berlebihan.
p. Taat; suatu sikap yang menunjukkan ketundukan dan kepatuhan.
q. Zuhud; lebih menomorsatukan pahala disisi Allah Swt dibandingkan dengan
segala sesuatu yang dimilikinya.
Dalam konteks implementasi kultur pesantren terhadap pembentukan perilaku
Islami santri maka Octavia, dkk., (2014: 18-19) menjelaskan sebagai berikut:
a. Nilai-nilai pesantren dalam tradisi keilmuan kitab kuning dengan landasan
ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist menjadi titik tekan dalam pembinaan dan
pengajaran santri.
b. Nilai dalam realitas yang dipraktekkan di dunia pesantren digambarkan dengan
peran para Kyai, ustadz dan para santri dalam mempraktekkan dan
menghidupkan sebuah nilai kehidupan sehari-hari sebagai wujud nyata dari
implementasi sebuah nilai.
c. Internalisasi nilai sebagai upaya para Kyai, ustadz ataupun guru dan para santri
dalam menghayati, merefleksikan dan menghidupkan nilai-nilai yang pada
akhirnya nilai-nilai tersebut terinternalisasi ke dalam dirinya sebagai karakter
yang inheren. Demi menghantarkan pada tujuan tersebut, dibutuhkan media-
media yang dapat merangsang dan menstimulasi seseorang untuk berkarakter
seperti nilai-nilai luhur tersebut, seperti menggunakan media puisi, syair lagu,
70
kasidah, permainan peran yang disarikan dari sebuah kisah nyata tentang peran
seorang tokoh yang telah menghidupkan nilai tertentu, diskusi kelompok, atau
dengan poin-poin refleksi yang dianggap sebagai saripati dari sebuah nilai
tertentu.
Bab 3
GAMBARAN UMUM PESANTREN MUQIMUS SUNNAH
71
A. Profil Pesantren
1. Sejarah Berdirinya Pesantren
Berdasarkan data-data dokumentasi yang diperoleh bahwa Pondok Pesantren
Muqimus Sunnah dibangun untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuan santri,
baik dari segi ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama, sehingga
diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang berkarakter. Asal nama “MUQIMUS
SUNNAH” diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, dengan tujuan melestarikan
dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW. Pondok Pesantren Muqimus Sunnah
terletak di Jalan Depaten Lama, 27 Ilir, Ilir Barat II, Palembang.
Peletakkan batu pertama gedung ini dilakukan oleh Bapak Ir.H. Syahrial
Oesman, M.M. yang pada saat itu menjabat selaku Gubernur Sumatera Selatan. Acara
tersebut juga dihadiri oleh Bapak Kemas H. Halim Ali (Pengusaha asal Palembang),
Bapak Ir. H. Eddy Santana Putra, M.T. (Walikota Palembang), para pejabat, alim
ulama, serta masyarakat dari berbagai lapisan Kota Palembang dan Sumatera Selatan.
Pondok Pesantren Muqimus Sunnah diresmikan pada tanggal 29 Desember 2008,
bertepatan dengan tanggal 1 Muharrom 1430 H. Peresmian Pondok Pesantren
Muqimus Sunnah dilakukan oleh Bapak Drs. H. Mal’an Abdullah, Kepala Kantor
Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, dan dihadiri oleh para pejabat dalam
lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, kaum
muslimin dan muslimat, termasuk Syekh Hajjaj Romadhoni Al-Hindawi, Qori
Internasional Mesir yang sekaligus mengisi acara tilawatil qur’an (Berdasarkan data
dokumentasi berbentuk file Pesantren Muqimus Sunnah).
Selanjutnya, dari data dokumentasi juga dijelaskan bahwa pembangunan
pondok pesantren tersebut diawali dengan pembelian tanah yang dicicil sejak tahun
2006. Pembangunan pondok pesantren ini memakan waktu selama empat belas bulan
dan menghabiskan dana sebesar Rp 2.231.779.430,00 (dua milyar dua ratus tiga puluh
72
satu juta tujuh ratus tujuh puluh sembilan ribu empat ratus tiga puluh rupiah). Pondok
Pesantren Muqimus Sunnah memiliki luas 1.061m2 dan memiliki tiga lantai yang
terdiri dari : bangunan kantor 3 lantai, 14 lokal belajar, Aula, kamar mandi, WC,
Asrama santri, dan tempat wudhu’ di masing-masing lantai.
Untuk pendirian dan pembangunan Pondok Pesantren Muqimus Sunnah
menurut data dokumentasi yang diperoleh adalah diprakarsai oleh Almarhum
Almuqarrom K.H.M Zen Syukri dan anak beliau Izzah Zen Syukri, S.Pd., M.Pd.
Dalam setiap pembangunan masjid, musholla, sekolah, atau pondok pesantren,
almarhum Almuqarrom K. H. M. Zen Syukri selalu memulainya dengan merogoh
kantongnya sendiri, baru kemudian mengajak orang lain. Begitu pula dalam
membangun Gedung Utama Pondok Pesantren Muqimus Sunnah, beliau lebih dahulu
mempersiapkan lahan dengan membeli sebidang tanah dan sebuah rumah. Kemudian
beliau mengajak para ulama, umaro, pengusaha, dan masyarakat, terutama murid-
murid beliau untuk mulai membangun gedung. Di atas 2 lahan itulah kini berdiri
Gedung Utama Pondok Pesantren Muqimus Sunnah. Dalam Pembangunan Tahap I
yang disebut Gedung Utama, yang sekarang dinamai Gedung Syahir (diambil dari
nama Rasulullah yang artinya masyhur atau terkenal), pembangunannya merupakan
wakaf dari pewakaf sebagai berikut :
a. Lantai I merupakan wakaf kaum muslimin dan muslimat serta para pencinta
amal ibadah yang dihimpun oleh Almarhum Almukarrom K.H.M Zen Syukri.
b. Lantai II merupakan wakaf Bapak Kemas H. Halim Ali (Pengusaha asal
Palembang)
c. Lantai III merupakan wakaf Bapak Ir. H. Syahrial Oesman, M.M. (Gubernur
Sumatera Selatan)
d. Kompleks perkantoran berlantai 3 merupakan wakaf Bapak Ir. H. Eddy
Santana Putra, M.T. (Walikota Palembang).
73
Bangunan tiga lantai yang menjadi satu kesatuan tersebut merupakan
Pembangunan Tahap I yang disebut Gedung Utama, yang sekarang dinamai Gedung
Syahir. Mengingat bahwa setiap tahun ajaran baru dibutuhkan penambahan ruang
kelas dan ruang asrama sementara daya tampung Gedung Utama tidak memadai lagi,
maka Pondok Pesanteren Muqimus Sunnah telah melakukan pembelian lahan tanah
dan rumah baik yang dibangun menjadi gedung baru maupun yang hanya direnovasi.
(Berdasarkan data dokumentasi berbentuk file Pesantren Muqimus Sunnah)
Pesantren Muqimus Sunnah juga memiliki visi, misi, motto, tujuan, dan
lambang pesantren yang diperoleh melalui data-data dokumentasi.
2. VISI :
Menegakkan kalimat tauhid melalui pilar ahlussunnah wal jamaah.
(Berdasarkan data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
3. MISI :
a. Mewujudkan generasi ahli tauhid, ahli bahasa, ahli quran dan berakhlak
karimah
b. Mengembangkan dan melaksanakan sistem pendidikan pesantren yang
terpadu antara modern dan salaf
c. Mengembangkan potensi santri dalam bersosialisasi dan menjadi pribadi
yang mandiri
d. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang efektif dan inovatif sesuai
dengan perkembangan zaman
e. Mengadakan bimbingan, pembinaan bakat, minat dan kreatifitas santri
f. Menjadikan santri yang berjiwa enterpreuner. ( Berdasarkan data
dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
4. MOTTO
“Terdepan dan Terbaik”. (Berdasarkan data dokumentasi Pesantren
Muqimus Sunnah)
5. TUJUAN :
74
Mengacu pada visi dan misi, maka tujuan pondok pesantren Muqimus Sunnah
adalah sebagai berikut :
a. Menjadikan pondok pesantren yang unggul sebagai basis pembinaan
generasi anak bangsa yang islami dan qurani
b. Menjadikan pesantren sebagai model pengembangan pesantren yang
berciri khas ketauhidan
c. Menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kompetensi yangn handal
dan unggul kualitas ilmu keagamaan, cakap kebahasaan, kepribadian,
berakhlakul karimah dan terampil sebagai kader umat calon pemimpin
bangsa. (Berdasarkan data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
6. LAMBANG :
a. Lambang hijau yang bertuliskan angka 99 melambangkan
99 Asmaul Husna (nama Allah) ini menunjukkan bahwa
Allah lah yang memiliki kebaikan dan kebajikan. Kita
sebagai ciptaan-Nya hendaklah selalu bergantung dan
berhajat pada-Nya.
b. Angka 99 dapat dirangkai menjadi huruf M. Kependekan
dari Muqimus. Garis hitam dibawahnya adalah lambang
huruf S. Kependekan dari Sunnah. Nama Muqimus
Sunnah diambil dari kitab Dalailul Khoirot. Nama ini
adalah salah satu nama Baginda Rasulullah Saw.
Maknanya, orang yang memukimkan (menjaga) Sunnah
(Rasulullah Saw).
c. Jika ditarik garis dari ujung atas ke bawah titik pada garis
hitam di bawah, maka terbentuklah segitiga yang berarti
Iman, Islam, dan Ihsan.
d. Warna Hijau melambangkan pertumbuhan, kesuburan,
dan kemakmuran. Sementara warna hitam melambangkan
75
ketegasan. (Berdasarkan data dokumentasi Pesantren
Muqimus Sunnah)
B. Struktur Organisasi Pesantren Muqimus Sunnah
Pesantren Muqimus Sunnah memiliki susunan organisasi untuk Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Diniyah, berdasarkan data-data dokumentasi
sebagai berikut :
SUSUNAN ORGANISASI MTS MUQIMUS SUNNAH
TAHUN AJARAN 2013-2014
1. Penasihat : - Kakanwil Depag Provinsi Sumatera Selatan
-Kakandepag Kota Palembang
2. Direktur Madrasah : Izzah Zen Syukri, S.Pd.,M.Pd.
3. Kepala Madrasah : Sasi Mawardah,S.Th.I.,M.Pd.I
4. Wakil Kepala Madrasah : Helmi,S.Pd
5. Tata Usaha : Fitriana,S.Pd.I
6. Bendahara : Siti Khodijah,A.Md
7. Pembina Osmus : Iin Noviyanti,S.Pd.I
8. Kepala Lab. IPA : Indah Febriyanta,S.Pd.
9. Kepala Lab. Bahasa : Siti Zuraidah,S.Pd.I
10. Kepala Perpustakaan : Ratih Rahmasari,S.Pd.
11. Pembina UKS : Yenita Sari,S.Pd.
12. Kepala Lab. Komputer : Vicky Haniv Putra,S.Kom
(Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah Tahun Ajaran 2013-2014)
Pesantren Muqimus Sunnah telah pula memiliki susunan organisasi
kepengurusan untuk Madrasah Aliyah tahun ajaran 2013-2014.
SUSUNAN ORGANISASI MADRASAH ALIYAH MUQIMUS SUNNAH
TAHUN AJARAN 2013-2014
1. Penasihat : 1. Kakanwil Depag Provinsi Sumatera Selatan
2.Kakandepag Kota Palembang
2. Kepala Madrasah : Izzah Zen Syukri, S.Pd.,M.Pd.
3. Wakil Kepala Madrasah : Rohman,M.Pd.I
4. Tata Usaha : Iin Noviyanti,S.Pd.I
5. Bendahara : Siti Khodijah,A.M
6. Pembina Osmus : M. Masyhuri,S.H.I
7. Kepala Lab. IPA : Yuni Puspitasari,S.Pd.
8. Kepala Lab. Bahasa : Ramzul Ikhlas,S.Pd.
9. Kepala Perpustakaan : Indah Mulyati,S.Pd.I
10. Pembina UKS : Inka Widiarti ,S.Pd.I
76
11. Kepala Lab. Komputer : Kuswatun,S.Kom
(Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah Tahun Ajaran 2013-2014)
Selain menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran formal, pesantren
Muqimus Sunnah juga menjalankan pendidikan dan pengajaran non formal dalam
bentuk diniyah. Untuk itu, guna menunjang kegiatan-kegiatan maka dibentuk susunan
organisasi yang berkonsentrasi pada bidang tersebut di atas.
SUSUNAN ORGANISASI DINIYAH MUQIMUS SUNNAH
TAHUN AJARAN 2013-2014
1. Penasihat : 1. Kakanwil Depag Provinsi Sumatera Selatan
2.Kakandepag Kota Palembang
2. Mudir : H.M. Husni Thamrin Yunus
3. Kepala Diniyah : M. Masyhuri,S.H.I
4. Tata Usaha : Iin Noviyanti,S.Pd.I
5. Bendahara : Siti Khodijah,A.Md
6. Divisi Dakwah & Sosial : M.Shodiqin
7. Divisi Ekstrakulikuler : Jani Suspandi
8. Multimedia & Lab. Komputer : Vicky Hanif Putra,S.Kom
(Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah Tahun Ajaran 2013-2014)
C. Data Guru Dan Santri Di Pesantren Muqimus Sunnah
Pesantren Muqimus Sunnah memiliki guru-guru yang kompeten dalam
bidangnya masing-masing. Berdasarkan data-data dokumentasi yang diperoleh, berikut
ini adalah data guru yang mengajar di pesantren Muqimus Sunnah tahun pelajaran
2013/2014 :
Tabel 1
DATA GURU PESANTREN MUQIMUS SUNNAH
TAHUN AJARAN 2013/2014
Madrasah Tsanawiyah
No Nama GuruBidang studi yang
diajarkanPendidikan Terakhir
1 H. M. Husni Thamrin Yunus Akidah Akhlak PP DARUSSALAM
GONTOR / DAMSKUS
2 Sasi Mawardah, S.Th.I,
M.Pd.I
Bahasa Arab
S2 IAIN RADEN FATAH Khot
3 Herlina, S.Pd.I Bahasa Arab S1 IAIN RADEN FATAH
77
4 Syukron Katsiron, S.Pd Fiqih S1 IAIN RADEN FATAH
5 Fitriana,S.Pd.I Fiqih S1 IAIN RADEN FATAH
6 Ismail,S.Pd.I Nahwu S1 IAIN RADEN FATAH
7 M. Masyhuri,S.H.I Qur’an Hadis S1 IAIN RADEN FATAH
8 Fitri Sapta Dewi, S.Pd Qur’an Hadis S1 IAIN RADEN FATAH
9 Jani Suspandi Qur’an Hadis SEDANG S1 IAIN RADEN
FATAH
10 Iin Noviyanti, S.Pd SKI S1 IAIN RADEN FATAH
11 Syarifudin Hidaytullah SKI SEDANG S1 IAIN RADEN
FATAH
12 Ahmad Syukri SKI PONPES DARUL
MUTTAQIN
13 Helmi, S.Pd Bahasa Indonesia S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
14Drs.K.Sofyan
Bahasa Inggris S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
15 Ramzul Ikhlash, S.Pd. Bahasa Inggris S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
16 Rahman, S.Pd., M.Pd.Matematika S2 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
17Yenita Sari, S.Pd
Matematika S1 UNIVERSITAS
MUHAMADIYAH
18 Aprilia, S.PdBiologi S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
19Angga Tanama Pendidikan
Kewarganegaraan
S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
20 Muslimah, SE IPS Terpadu STIE SULTAN M.B
21 Indah, S.Pd Fisika S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
22 Andi Andri, S.Pd Penjaskes S1 UNIVERSITAS PGRI
23 Arba’in IPS Terpadu S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
24 Yuni Puspitasari,S.Pd. Fisika S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
25 M.Shodiqin Nahwu PP .RUBBAT PALEMBANG
26 M. Faris Al-Athos Fiqih PP RUBATH AL JUFRY
MADINAH
27 Ica Hafizah Penjas S1 BINA DARMA
78
28 Muhammad Zen Smith Al-Qur’an Hadist
PP RUBBAT AL-MUHIBINSKI
29 Siti Zuraidah.S.Pd.I Bahasa Arab S1 IAIN RADEN FATAH
30 Ja’far Assegaf Fiqih PP RUBAT PALEMBANG
31 Sayid Hamid,S.H.I Shorof STAI DARUL LUGHOH
WADDA'WAH
32 Baidarus,S.Sos.I Shorof S1 IAIN RADEN FATAH
33 Haznul,S.Pd. Biologi S1 UNIVERSITAS
MUHAMADIYAH
34 Habibullah,S.Pd. PKN S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
35 Erick Rahman,S.H.I Bahasa Inggris S1 IAIN RADEN FATAH
36 Alvi Kurniansyah,S.Pd. Bahasa Inggris S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
37 Ratih Rahmasari,S.Pd. Bahasa Indonesia S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
38 Vicky Haniv Putra TIK S1 MDP
39 Kuswatun TIK S1 MDP
(Sumber: Monografi Pesantren Muqimus Sunnah Tahun Ajaran 2013-2014)
Tabel 2
DATA GURU PONDOK PESANTREN MUQIMUS SUNNAH
TAHUN AJARAN 2013/2014
Madrasah Aliyah
No Nama GuruBidang studi yang
diajarkanPendidikan Terakhir
1H. M. Husni Thamrin Yunus
Akidah Akhlak PP DARUSSALAM
GONTOR / DAMSKUS
2 Sasi Mawardah,S.Th.I,M.Pd.I Bahasa Arab S2 IAIN RADEN
FATAH
3 Dra. Rubayah Bahasa dan Sastra
Indonesia
S1 IAIN RADEN
FATAH
4 Ramzul Ikhlash, S.Pd. Bahasa Inggris S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
5 Rohman, S.Pd., M.Pd.Matematika S2 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
6
Muslimah, SE
IPS STIE SULTAN
MAHMUD
BADARUDIN
79
7 Ratna Dewi,S.E IPS STIE TAMSIS
8Novia Ballianie,M.Pd.I
Biologi S2 IAIN RADEN
FATAH
9Angga Tanama Putra,S.Pd.
PKN S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
10 Adistia,S.Pd. Kimia S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
11 Ica Hafidzatul,S.Pok Penjaskes S1 BINA DARMA
12 Andi Andre,S.Pok Penjaskes S1 PGRI
13 Vicky Hanif Putra,S.Kom TIK S1 MDP
14 Kuswatun,S.Kom TIK S1 MDP
15 M.Shodiqin Nahwu
PP RUBBATQur’an Hadist
16 Yuni Puspita sari,S.Pd. Fisika S1 UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
17 Hamid Barakbah,LC Shorof STAI DARUL
LUGHOH
WADDA'WAH
18 M. Faris Al-Athos,LC Fiqih PP RUBATH AL
JUFRY MADINAH
19 Siti Rahma,S.Pd. Biologi S1 UNIVERSITAS
(Sumber: Monografi Pesantren Muqimus Sunnah Tahun Ajaran 2013-2014)
Menurut data monografi yang ada di pesantren Muqimus Sunnah, terdapat
peningkatan jumlah santri yang diterima. Peningkatan jumlah santri tersebut, juga
diikuti dengan penambahan jumlah kelas baru bagi santri. Dimulai dari penerimaan
khusus santri perempuan (santriwati) untuk setingkat madrasah Tsanawiyah pada
tahun ajaran 2009/2010 sekaligus juga sebagai santri pertama yaitu 28 orang. Pada
tahun ajaran berikutnya baru diterima santri putra (santriwan). Lebih jelas, berikut
adalah data rekapitulasi jumlah santri pesantren Muqimus Sunnah mulai tahun 2009
sampai 2014.
Tabel 3
REKAPITULASI JUMLAH SANTRI PONPES MUQIMUS SUNNAH
TAHUN 2009 s.d. 2014
Madrasah Tsanawiyah
80
Tahun
Ajaran
Kelas I Kelas II Kelas III Total
Jumlah
Santri Jumlah
Kelas
Jumlah
Santri
Jumlah
Kelas
Jumlah
Santri
Jumlah
Kelas
Jumlah
Santri
Jumlah
Kelas
Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk
2009/2010 28 - 1 - - - - - - 28 - 1
2010/2011 25 17 2 26 - 1 - - - 51 17 3
2011/2012 28 25 2 25 17 2 26 - 1 79 42 5
2012/2013 27 23 2 28 23 2 24 17 2 79 63 6
2013/2014 29 47 3 24 26 2 21 25 2 74 98 7
(Sumber: Monografi Pesantren Muqimus Sunnah)
Berdasarkan data monografi yang ada di pesantren Muqimus Sunnah, untuk
tingkat madrasah Aliyah baru mulai menerima santrwatii pada tahun ajaran
2012/2013. Sedangkan untuk penerimaan santriwan, baru dimulai tahun ajaran 2013-
2014. Selain untuk menampung lulusan madrasah Tsanawiyah agar tetap melanjutkan
pendidikan di pesantren Muqimus Sunnah, juga bermaksud mengembangkan jenjang
pendidikan dan pengajaran formal yang ada sehingga dapat menjadi alternatif bagi
orang tua dalam menyekolahkan anaknya di pesantren Muqimus Sunnah. Berikut
adalah rekapitulasi jumlah santri pesanten Muqimus Sunnah untuk madrasah Aliyah
dimulai tahun ajaran 2012 hingga 2014.
Tabel 4
REKAPITULASI JUMLAH SANTRI PONPES MUQIMUS SUNNAH
TAHUN 2012 s.d. 2014
Madrasah Aliyah
Tahun Kelas I Kelas II Total
81
Ajaran
Jumlah
SantriJumla
h Kelas
Jumlah
Santri
Jumla
h Kelas
Jumlah
Santri
Jumla
h Kelas
Pr Lk Pr Lk Pr Lk
2012/2013 21 - 1 - - - 21 - 1
2013/2014 20 6 2 21 - 1 41 6 2
(Sumber: Monografi Pesantren Muqimus Sunnah)
D. Sarana dan Prasarana Pesantren Muqimus Sunnah
Berdasarkan sumber data dokumentasi yang diperoleh pada tanggal 4 April
2014 bahwa pesantren Muqimus Sunnah berdiri di atas tanah seluas 1898,125 m2.
Dengan memiliki gedung sendiri dimana bangunan gedung tersebut terdiri atas tiga
tingkat dengan luas keseluruhan bangunan adalah 3800 m2.
Tabel 5
LUAS TANAH DAN BANGUNAN
Tanah dan Bangunan
Luas
Tanah: 1898,125 m²
Luas
Bangunan: 3800 m²
(Sumber: Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
Untuk menunjang seluruh proses kegiatan yang berlangsung di dalam
lingkungan pesantren maka telah disediakan sarana dan prasarana yang cukup bagi
warga pesantren Muqimus Sunnah termasuk untuk kepentingan para santri di
pesantren Muqimus Sunnah.
Tabel 6
SARANA DAN PRASARANA
82
No Sarana dan Prasarana Jumlah Kondisi
1 Ruang Kelas 13 Baik
2 Ruang Guru 1 Baik
3 Ruang T.U. 1 Baik
4 Ruang Ka. TU - -
5 Ruang Ka. Madrasah 1 Baik
6 Ruang BP/BK 1 Baik
7 Ruang OSIS 1 Baik
8 Perpustakaan 1 Baik
9 Laboratorium IPA 1 Baik
10 Laboratorium Komputer 1 Baik
11 Laboratorium Bahasa 1 Baik
12 U K S 1 Baik
13 Koperasi - -
14 Sanggar Pramuka 1 Baik
15 Sanggar Kesenian 1 Baik
16 Musholla 1 Baik
17 WC Siswa 1 Baik
18 WC Guru 2 Baik
19 Aula 1 Baik
20 Lapangan Olahraga 1 Baik
21 Kantin (wardah) 1 Baik
22 Telepon 3 Baik
23 Hotspot 1 Baik
(Sumber: Dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah 2013/2014)
E. Jadwal Kegiatan Dan Pelajaran Diniyah Santri Muqimus Sunnah
Berdasarkan data-data dokumentasi, para santri di pesantren Muqimus Sunnah
telah memiliki jadwal kegiatan yang diatur selama 24 jam penuh. Dimana seluruh
83
jadwal tersebut terdapat dalam bentu kegiatan harian, mingguan, bulanan. Termasuk
pula jadwal pelajaran diniyah.
Tabel 7
KEGIATAN HARIAN
NO PUKUL KEGIATAN
1 03.30 - 04.00 BANGUN TIDUR, MANDI, SIAP-SIAP SHALAT MALAM
2 04.00 - 04.30
SHALAT TAHAJUD BERJAMAAH,
SETORAN / TAHFIDZ, SHOLAWAT
3 04.30 - 05.15 SHOLAT SUBUH DAN DZIKIR BERJAMAAH
4 05.15 - 05.45 TAHFIDZ / SETORAN
5 05.45 - 06.30 MAKAN PAGI, SIAP-SIAP SEKOLAH
6 06.30 - 12.15 SEKOLAH
7 12.15 - 12.30 SHOLAT DZUHUR BERJAMAAH
8 12.30 - 14.15 MAKAN, TIDUR SIANG
9 14.15 - 15.00 VOCABULARY BAHASA INGGRIS
10 15.00-16.00
SHOLAT ASHAR BERJAMAAH, SIAP-SIAP KITAB
KUNING / EKSKUL
11 BA’DA ASHAR KITAB KUNING / EKSKUL
12 17.00 - 17.30 MAKAN, SIAP-SIAP SHOLAT MAGHRIB
13 17.45 – 18.00 MEMBACA SURAH AL WAQI’AH (DIPIMPIN SATU ORANG)
14 18.00 - 18.30 MAGHRIB DAN DZIKIR BERJAMAAH
15 18.30 – 19.15
MENGULANG HAFALAN AL QUR’AN / MEMBACA AL-
QUR’AN
16 19.15 – 19.45 SHALAT ISYA BERJAMAAH
17 19.45- 21.00 BELAJAR MALAM DAN MUFRODAT
18 21.00 – 21.15 SIAP-SIAP TIDUR MALAM DAN GOSOK GIGI
19 21.15 - 03.30 TIDUR MALAM
(Sumber: Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
Untuk jadwal kegiatan mingguan santri terdiri dari berbagai macam kegiatan
ekstrakurikuler, membaca kitab Barzanji, kegiatan Muhadlarah, pembersihan
lingkungan pesantren secara gotong royong, serta kegiatan-kegiatan lainnya
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.
Tabel 8
KEGIATAN MINGGUAN
84
No Hari PUKUL KEGIATAN
1 SENIN 20.00-SELESAI EKSKUL KARATE (PILIHAN)
2 SELASA 20.00-SELESAI EKSKUL PENCAK SILAT (PILIHAN)
3 RABU 20.00-SELESAI BARZANJI
4 KAMIS 06.00-07.30
07.30-12.00
13.00-14.00
20.00-22.00
RAPAT MINGGUAN ORGANISASI
SANTRI MUQIMUS SUNNAH (OSMUS)
TAHFIZHUL QUR’AN
HADITS ARBA’IN
MUHADLARAH
5 JUM’AT
SUBUH
06.30-07.00
07.00-SELESAI
SUJUD SAJADAH, MUHASABAH,
MEMBACA SURAH AL- KAHFI
PEMBERSIHAN BERSAMA
LATIHAN DRUM BAND (BAGI YANG
MENGIKUTI)
6 SABTU 16.00-17.00
19.45-SELESAI
EKSKUL TAMBAHAN
(KALIGRAFI/TATABOGA/TATA
BUSANA/TILAWAH/MARAWIS)
DZIKIR TAUBAT/ZIKIR SAMAN
(Sumber : Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
Untuk kegiatan bulanan santri di pesantren Muqimus Sunnah sebagaimana
yang terjadwal yaitu para santri menghatam Al-Qur’an, diadakannya rapat
kepengurusan dan anggota organisasi santri Muqimus Sunnah (OSMUS), dan kegiatan
merekap bintang emas untuk santri yang mempunyai prestasi baik dan tidak
melakukan pelanggaran selama satu bulan berjalan ataupun bintang hitam untuk santri
yang tidak taat peraturan tertentu sebagaimana yang berlaku di pesantren.
Tabel 9
KEGIATAN BULANAN
No KEGIATAN
1 KHOTMUL QUR’AN TIAP AWAL BULAN HIJRIAH
2 RAPAT PENGURUS OSMUS
85
3 PEREKAPAN BINTANG EMAS DAN BINTANG HITAM TERBANYAK
(Sumber : Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
Untuk jadwal kegiatan diniyah santri Muqimus Sunnah, umumnya
dilaksanakan setelah sholat Ashar dan dibagi dalam beberapa materi bahasan kitab
secara bergantian berdasarkan tingkatan kelas santri. Selengkapnya data tersebut dapat
dilihat dalam tabel 10 berikut ini.
Tabel 10
JADWAL PELAJARAN DINIYAH SANTRI
HARI WAKTU
KELAS
VII A
KELAS
VII B
KELAS
VII C
KELAS
VIII A
KELAS
VIII B
KELA
S IX A
KELAS
IX B
SENIN 15.30-17.00 Bulughul
MaramMahfudzot Ta'lim
Muta'lim
Bulughul
MaramTafsir Akhlaq Bulughul
MaramSELASA 15.30-17.00 Ta'lim
Muta'lim
Bulughul
MaramMahfudzot Tafsir Ta'lim
Muta'limTafsir Akhlaq
RABU 15.30-17.00 Mahfudzot Ta'lim
Muta'lim
Bulughul
Maram
Ta'lim
Muta'lim
Bulughul
Maram
Bulughul
MaramTafsir
KAMIS 15.30-17.00 Hadist Hadist Hadist Hadist Hadist Hadist Hadist
SABTU15.30-17.00
ESKUL PILIHAN
PRAMUKA
AHAD 15.30-17.00
HARI WAKTU KELAS X A KELAS X B KELAS XI A KELAS XI B KELAS XII
SENIN 15.30-17.00 Tafsir Bulughul
MaramFathul Mu'in Tafsir Bulughul
MaramSELASA 15.30-17.00 Bulughul
MaramFathul Mu'in Tafsir Bulughul
MaramFathul Mu'in
RABU 15.30-17.00 Fathul Mu'in Tafsir Bulughul
MaramFathul Mu'in Tafsir
KAMIS 15.30-17.00 Hadist Hadist Hadist Hadist Hadist
SABTU 15.30-17.00
ESKUL PILIHAN
PRAMUKA
AHAD
15.30-17.00
(Sumber: Data dokumentasi Pesantren Muqimus Sunnah)
86
Bab 4
HASIL PENELITIAN
A. Pesantren Muqimus Sunnah dan Proses Pembentukan Perilaku Santri
Kemampuan suatu pesantren dalam mengembangkan diri dengan kekhasan
yang dimiliki menjadi suatu kekuatan yang sangat potensial. Demikian halnya dengan
paradigma tersendiri yang dianut pesantren Muqimus Sunnah dalam melaksanakan
pembelajaran dan pembinaan terhadap santri yang diharapkan mampu memupuk
mental dan perilaku Islami santri. Dimana dalam konteks pelaksanaan nilai-nilai,
keyakinan dan budaya di lingkungan pesantren tersebut dapat diamati dengan adanya
hubungan yang akrab antara Kyai dan santri, tradisi ketundukan dan kepatuhan
seorang santri terhadap Kyai, pola hidup sederhana (zuhud), kemandirian atau
independensi, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana
87
persaudaraan, disiplin ketat, berani menderita untuk mencapai tujuan, kehidupan
dengan tingkat religiusitas tinggi.
Untuk dapat mencapai hal tersebut, pihak pimpinan pesantren mempunyai
peran besar dalam mengatur dan mengontrol semua aktivitas yang berlangsung di
dalam pesantren. Proses pembelajaran santri yang hampir dua puluh empat jam penuh
dengan mengkondisikan para santri berada dalam satu lokasi asrama besar sehingga
dapat mempermudah penerapan dan pengawasan terhadap kegiatan santri. Penekanan
pada pentingnya moral sebagai pedoman perilaku sehari-hari dalam lingkungan
pesantren menjadi hal yang terpenting dalam proses pembelajaran tersebut. Dimana
hal ini dinilai sangat efektif dalam pembentukan akhlak para santri pesantren Muqimus
Sunnah. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bunda Izzah Zen Syukri selaku
pimpinan pesantren Muqimus Sunnah (20 Januari 2015) yang mengatakan:
Para santri yang menuntut ilmu di sini senantiasa dibekali dengan
akhlak-akhlak yang mulia, kemandirian, keterampilan, dan bahkan lebih
dari itu. Banyak orang tua sebelum anaknya masuk ke pesantren
mengeluhkan tentang perilaku mereka. Alhamdulillah, sekarang mereka
secara berangsur mengalami banyak perubahan menuju perilaku yang
lebih baik. Mereka menjadi lebih santun, berkata-kata yang baik dan
sopan, lebih patuh dengan perintah orang tua, hormat dan selalu
mencium tangan bila bertemu atau hendak pergi, berkurang sifat manja,
lebih dapat mengatur kebutuhan-kebutuhannya sendiri baik dalam
keuangan, pakaian, serta hal-hal lain.
Lebih lanjut Bunda Izzah mengatakan bahwa semua itu tentu saja harus
melalui suatu proses. Untuk itu pihak pesantren sangat menekankan tentang kepatuhan
terhadap semua aturan ataupun peraturan yang diterapkan dalam lingkungan pesantren
Muqimus Sunnah. Semua warga pesantren termasuk pimpinan, pengasuh, guru, dan
seluruh santri harus ikut serta dalam rangka menjalankan aturan ataupun peraturan itu.
Aturan-aturan dalam bentuk lisan ataupun yang tak tertulis biasanya berupa nasehat-
nasehat langsung kepada para santri ataupun berupa uswatun hasanah dari Kyai,
ustadz ataupun ustadzah. Sedangkan untuk peraturan-peraturan dibuat secara tertulis
88
dan tertuang dalam bentuk SOP (Standard Operational Procedur). Selanjutnya Bunda
Izzah mengatakan bahwa dengan adanya SOP tersebut, maka menjadi acuan bagi
seluruh warga pesantren Muqimus Sunnah untuk dapat menjalankan tugas masing-
masing sesuai fungsinya. (Hasil wawancara tanggal 20 Januari 2015)
Berdasarkan data-data dokumentasi yang diperoleh sebagaimana terlampir,
terdapat SOP (Standard Operational Procedur) Guru MTs dan MA Pesantren Muqimus
Sunnah, SOP Pengasuh Pesantren Muqimus Sunnah, SOP Bank Mini Pesantren
Muqimus Sunnah, SOP Karyawan Wardah (Warung Ibadah) Pesantren Muqimus
Sunnah, SOP Karyawan Isi Ulang Pesantren Muqimus Sunnah, SOP Karyawan Dapur
Pesantren Muqimus Sunnah, SOP Karyawan Loundry Pesantren Muqimus Sunnah,
SOP Karyawan Kebersihan Pesantren Muqimus Sunnah. Dimana dalam SOP tersebut
mengatur tentang pedoman-pedoman yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh semua
unsur di dalam lingkungan pesantren baik guru (ustadz ataupun ustadzah) yang
mengajar dan para santri pesantren Muqimus Sunnah.
Beberapa peran yang dilakukan pesantren Muqimus Sunnah dalam rangka
membentuk perilaku Islami santri dalam lingkungan pesantren :
1. Bidang Pendidikan dan Pengajaran
Metode dan sistem pengajaran serta kurikulum yang dijalankan di pesantren
Muqimus Sunnah merupakan kombinasi antara tradisional dan modern. Pola
tradisional lebih mengacu pada aktivitas pendidikan dan pengajaran non formal
(diniyah) termasuk pula yang menyangkut seluruh aktivitas keseharian santri yang
biasanya dimulai sejak sebelum subuh hingga malam hari dan dengan adanya
keharusan untuk berpedoman pada jadwal kegiatan santri sebagaimana yang telah
dibuat pimpinan pesantren.
Untuk pendidikan dan pengajaran non formal atau sering disebut sebagai
pendidikan diniyah biasanya dalam bentuk pengajian yang dilakukan setelah sholat
89
ashar hingga menjelang maghrib dan kemudian dilanjutkan kembali hingga menjelang
Isya. Pesantren Muqimus Sunnah juga sangat menekankan pada bidang Al-Qur’an.
Dimana para santri diwajibkan untuk mengikuti pengajian yang diselenggarakan
dengan dua macam cara yaitu santri yang mengaji dengan cara membaca mushaf Al-
Qur’an dan santri yang mengaji dangan menghafal mushaf. Bahkan untuk waktu
sekarang ini, pimpinan pesantren Muqimus Sunnah sedang menggiatkan dan memacu
santri agar menjadi penghafal Al-Qur’an dengan cara memberikan waktu yang lebih
luas bagi santriwati dan santriwan untuk menyetor hafalan pada hafizd dan hafidzoh
pembimbing. Sehingga dengan demikian kelak diharapkan, khusus dari pesantren
Muqimus Sunnah akan banyak lahir generasi penghafal Al-Qur’an. Hal ini
sebagaimana diungkapkan ustadz H.M. Husni Thamrin selaku mudir pesantren
Muqimus Sunnah dalam wawancara (18 Januari 2015) mengatakan:
Seluruh santri di sini diharuskan untuk menghafal Al-Qur’an. Ada yang lancar
dan cepat menghafalnya, tapi ada juga yang tidak. Kami tidak dapat memaksa
karena itu berdasarkan kemampuan anak dan terlebih itu adalah merupakan
karunia Allah bagi mereka. Yang penting santri harus tetap semangat
menghafal. Meskipun sedikit-sedikit. Apalagi sekarang ustadz ataupun
ustadzah yang hafidz Qur’an sudah ditambah. Jadi akan mempermudah santri
menyetor hafalan. Jadi santri tidak perlu waktu lama mengantri untuk setoran
hafalan Al-Qur’an.
Bunda Izzah juga memperkuat pendapat tersebut di atas dalam wawancara
pada 20 Januari 2015 yang mengatakan :
Untuk memberi semangat santri agar cepat menyelesaikan hafalannya. Kami
berikan mereka umroh gratis bagi yang sudah hafal 30 Juz. Sekarang seorang
santriwati Ferima Melati sudah diberangkatkan. Mudah-mudahan akan muncul
Ferima-Ferima yang lain. Sudah ada beberapa orang santri yang hafalannya
sudah banyak. InsyaAllah sebelum mereka tamat sekolah Aliyah sudah dapat
menyelesaikan hafalan mereka. Ada sekitar 3 orang santriwati dan 4 orang
santriwan yang hampir selesai. Kita berdoa saja agar anak-anak diberi Allah
kemudahan.
Selain pengajian pokok (pengajian Al-Qur’an), di pesantren Muqimus Sunnah
diselenggarakan juga pengajian kitab kuning sebagai materi penyempurna. Diantara
kitab-kitab yang dikaji meliputi kitab Fiqh, Tauhid, Akhlak, Hadits, dan Tafsir.
90
Pengajian tersebut biasanya diberikan oleh Kyai ataupun ustadz/ustadzah. Kadang
menggunakan sistem pengajian halaqah, kadang juga sistem klasikal. Hal tersebut
berdasarkan wawancara dengan santri putra (S. A, pada 10 Desember 2014), yang
mengatakan :
Kami biasanya kalau ngaji kitab Tafsir Jalalain sama ustadz Shodikin. Seluruh
santri harus hadir, biasanya duduk besilo (bersila). Ustadz mengartikan dan
menerangkan kitab yang dibahas di depan. Santri mendengarkan dan mencatat
yang dijelaskan ustadz. Kalau untuk kitab akhlak dan yang lainnya, sudah ada
jadwal masing-masing sesuai dengan tingkatan kelas santri. Biasanya
pengajiannya dilakukan dalam kelas dengan diajar oleh ustadz ataupun
ustadzah masing-masing. Sistemnya seperti belajar biasa. Kami membaca kitab
yang sudah diterjemahkan, mencatat, dan bisa bertanya bila kurang jelas.
Dengan demikian terlihat bahwa untuk pengajian Tafsir Jalalain saja para
santri menggunakan sistem halaqah, selebihnya para santri melaksanakan pengajian
kitab kuning dengan sistem belajar seperti sekolah formal. Mereka hadir di kelas
masing-masing menurut jenjang sekolah biasa, begitupun dengan proses belajar
mengajarnya. Ustadz mengajar di depan kelas dan menjelaskan materi bahasan, santri
duduk di bangku masing-masing dengan menyimak kitab yang sedang dipelajari.
2. Aturan dan Peraturan
Pimpinan pesantren telah membuat aturan dan peraturan bagi seluruh warga
pesantren baik tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan tertulis tertuang dalam bentuk
Standar Operational Procedur (SOP). Dimana isi SOP tersebut bersifat mengikat dan
wajib dijalankan oleh guru (ustadz ataupun ustadzah), santri dan masyarakat di dalam
pesantren termasuk karyawan baik administrasi, petugas dapur, petugas kebersihan,
dan petugas keamanan.
a. Bagi Guru (Ustadz ataupun Ustadzah)
Pada beberapa SOP yang telah dibuat pimpinan pesantren Muqimus Sunnah
telah pula mengatur perihal guru dan pengasuh. Guru yang dimaksud adalah seluruh
guru yang mengajar para santri pada jenjang sekolah madrasah Tsanawiyah dan
91
madrasah Aliyah. Sedangkan pengasuh adalah ustadz ataupun ustadzah yang ditunjuk
untuk mendampingi dan membimbing para santri selama santri tinggal di asrama
pesantren Muqimus Sunnah. Dimana ustadz ataupun ustadzah tersebut juga
diharuskan tinggal dan menginap di pesantren seperti halnya santri.
Dalam SOP tentang etika guru pada bab I pasal 1 disebutkan bahwa setiap guru
(ustadz ataupun ustadzah) wajib menjaga dan menjunjung tinggi integritas (akhlakul
karimah, kejujuran, dan kemandirian). Guru (ustadz ataupun ustadzah) diwajibkan
pula untuk membuka komunikasi seluas-luasnya dengan stake holder (orang tua siswa
dan masyarakat) dan juga wajib menjunjung tinggi budaya hormat kepada orang yang
dituakan sebagaimana tercantum dalam bab II pasal 6. Dalam presentasi kehadiran
guru juga menjadi perhatian pimpinan pesantren Muqimus Sunnah sebagaimana
tercatat pada bab IV pasal 10 tentang guru bidang studi yang menyebutkan bahwa guru
(ustadz ataupun ustadzah) wajib memberikan motivasi belajar kepada siswa serta guru
(ustadz ataupun ustadzah) yang mengajar pada jam terakhir wajib membimbing siswa
sholat berjama’ah. Selain itu, guru juga telah diatur dalam hal berpakaian yaitu harus
rapi, bersih, dan sopan sebagaimana yang dicantumkan pada pasal 14 SOP guru.
Sama halnya dengan guru yang mengajar sekolah madrasah, para pengasuh
santri juga diwajibkan untuk berakhlakul karimah dalam berlaku dan bertutur serta
bersikap jujur. Demikian juga dalam hal berpakaian telah ditentukan tersendiri pada
pasal 9 dimana di situ disebutkan bahwa bagi pengasuh laki-laki (ustadz) wajib
memakai gamis/baju takwa dan sarung ketika sholat berjamaah. Tentang etika profesi
pada pasal 2 disebutkan pula bahwa ustadz ataupun ustadzah pengasuh wajib disiplin,
dalam pembelajaran, ibadah dan kegiatan-kegiatan di pesantren Muqimus Sunnah.
Pesantren juga memberlakukan aturan yang tegas bagi pelanggarnya tak
terkecuali pada ustadz ataupun ustadzah pengasuh. Sebagaimana yang tercantum pada
pasal 10 tentang sanksi disebutkan bahwa jika ustadz ataupun ustadzah melakukan
92
perbuatan tercela, seperti tidak bangun pagi, tidak sholat berjamaah padahal tidak uzur,
tidak menerima “setoran” al-Qur’an dari santri, berkata kotor, dan hal-hal yang sejenis
akan ditegur oleh kepala pengasuh/pimpinan pondok. Bahkan jika ustadz ataupun
ustadzah berbuat melampaui batas toleransi akan dikeluarkan dengan tidak hormat.
Untuk tugas dan kewajiban pengasuh, pimpinan pesantren telah membuat
peraturan dimana dalam lampiran tersebut dinyatakan bahwa pengasuh bertugas untuk
membangunkan santri/anak asuh pada pukul 03.30 untuk melakukan qiyamullail,
mandi, dan lain-lain. Pengasuh juga diwajibkan juga untuk melaksanakan sholat
berjamaah terutama sholat subuh, maghrib dan Isya’.
Selain dari kewajiban dalam hal ibadah, pengasuh juga berkewajiban untuk
mengawasi dan mengingatkan anak asuh agar selalu menjaga kebersihan kamar yang
dibuktikan dengan adanya jadwal piket kamar, memeriksa dan mewajibkan anak
asuhnya setiap hari untuk bersih dan rapi pada badan, pakaian, lemari dan isinya, dan
tempat tidur. Pengasuh juga harus membimbing dan mengawasi anak asuh saat belajar
malam (termasuk mengerjakan PR, mengawasi santri tadarusan (membaca Al-Qur’an)
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan serta diharuskan datang terlebih dahulu
dari santri, mengabsensi, dan mengawasi santri dalam setiap kegiatan pesantren seperti
sholat berjamaah, menerima setoran hafalan Al-Qur’an, tadarusan, dan sebagainya.
Peran pengasuh yang besar dalam keseharian hidup santri sangat diharapkan
pimpinan pesantren Muqimus Sunnah untuk menjadi uswatun hasanah (contoh yang
baik) bagi para santri yaitu dengan mengedepankan akhlakul karimah dalam setiap
tindakan. Pengasuh juga diharuskan mempunyai inisiatif dan mendukung pelaksanaan
program berbahasa Inggris dan Arab dalam kehidupan sehari-hari santri dengan
harapan santri akan terbiasa menggunakan dengan lancar kedua bahasa tersebut dalam
komunikasi di dalam lingkungan pesantren Muqimus Sunnah. Selain itu pengasuh
juga dituntut untuk dapat memberikan contoh yang baik dalam makan dan tidur tepat
93
waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan agar tidak mengganggu proses
kegiatan yang lain terutama karena padatnya jadwal kegiatan santri.
Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut selanjutnya
akan dievaluasi oleh pimpinan pesantren dengan mengadakan rapat guru ataupun
pengasuh pesantren. Rapat dengan guru-guru sekolah biasanya dilakukan dalam
sebulan sekali atau bila ada yang hal yang penting dan mendesak maka sewaktu-waktu
diadakan rapat mendadak. Sedangkan untuk pengasuh (ustadz ataupun ustadzah), rapat
rutin biasanya diadakan seminggu sekali pada setiap Sabtu malam setelah sholat Isya’.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan seorang ustadzah (U. M, pada tanggal 13
Desember 2014) yang mengatakan :
Biasanya setiap Sabtu malam habis Isya’ diadakan rapat. Bunda Izzah langsung
ataupun ustadz Husni (Mudir) yang memimpin. Yang hadir biasanya adalah
pengurus inti dan ustadz ataupun ustadzah pengasuh. Materi yang dibahas
adalah kejadian-kejadian yang ada di dalam lingkungan pesantren selama
seminggu. Termasuk juga jika ada santri yang melakukan pelanggaran berat,
santri yang dapat prestasi dalam lomba, sarana dan prasarana yang kurang
ataupun yang perlu diperbaiki. Semua dibahas dalam forum tersebut. Pimpinan
biasanya mengkomunikasikan dengan kami ataupun memberi petunjuk untuk
solusi terbaik atas masalah-masalah yang ada.
Sejalan dengan hasil wawancara di atas, observasi yang dilakukan pada Sabtu
malam tanggal 20 Desember 2014 setelah sholat Isya’ diperoleh hasil bahwa terlihat
pimpinan dan seluruh ustadz ataupun ustadzah pengasuh sudah berkumpul dan bersiap
untuk memulai rapat. Untuk selanjutnya, hal yang dibicarakan dalam rapat tersebut
diantaranya adalah laporan ustadz tentang santri-santri yang berprestasi dalam
kegiatan di luar pesantren dan arahan pimpinan tentang persiapan maksimal para santri
yang akan menghadapi ujian tengah semester termasuk menyangkut jadwal
kepulangan santri yang harus diundurkan waktunya agar tidak mengganggu
konsentrasi santri dalam belajar.
b. Bagi Santri
94
Untuk dapat mencapai keberhasilan dalam pembinaan santri secara baik, maka
pesantren Muqimus Sunnah telah membuat dan membagikan buku santri yang berisi
jadwal kegiatan harian santri. “Biasanya buku santri diberikan sewaktu santri baru
masuk pesantren”, kata santri ‘S’ kelas 10 madrasah Aliyah pada 12 Januari 2014.
Dimana dalam buku tersebut tercantum beberapa kegiatan yang harus dijalani santri,
mulai dari pukul 03.30 pagi hingga pukul 21.15 WIB malam. Demikian seterusnya
berulang kembali setiap harinya.
Dengan adanya jadwal-jadwal yang telah tersusun sedemikian rupa maka
pimpinan pesantren Muqimus Sunnah sangat berharap agar santri dapat mematuhinya
dan akan menjadi pedoman santri untuk melakukan segala aktivitas pendidikan dan
pengajaran di pesantren Muqimus Sunnah. Jenis kegiatan santri yang begitu banyak
namun terjadwal dengan baik tersebut diatur mulai dari kegiatan bangun tidur, jadwal
sholat, jadwal makan, tahfidz, sekolah, kursus, pengajian kitab kuning, berpuasa
sunnah pada hari-hari besar Islam termasuk juga berpuasa pada setiap hari Senin dan
Kamis, hafalan Al-Qur’an, sampai tidur malam kembali juga sudah ada. Sosialisasi
yang dilakukan pesantren biasanya sejak awal santri baru masuk asrama. Sehingga
santri lama kelamaan terbiasa dengan jadwal kegiatan yang berlaku di pesantren
Muqimus Sunnah. Sebagaimana wawancara dengan santri putra (S. L, pada tanggal 22
Desember 2014) yang mengatakan :
Iya, kami sudah hafal betul dengan jadwal setiap hari. Sekiranya ada perubahan
paling hanya sekali-sekali. Kami harus patuh, kalau melanggar ustadz akan
marah dan kami dapat bintang hitam. Pernah teman kami ada yang malas-
malasan untuk pengajian dan selalu telat datang, maka ustadz sampai
menghukumnya untuk tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler di luar pesantren.
Atau juga ada yang pernah pura-pura berpuasa, dan ketahuan jajan di kantin
maka semenjak itu kalau santri sedang ada jadwal puasa baik Senin-Kamis atau
puasa sunnah lainnya maka kantin yang ada di dalam lingkungan pesantren
ditutup dan baru dibuka kalau sudah sore setelah waktu Ashar. Biar santri tidak
jajan.
95
Demikian halnya dengan kegiatan mingguan santri. Pimpinan juga sudah
membuat jadwal tersendiri. Dimana para santri diharuskan untuk melakukan kegiatan-
kegiatannya mulai hari Senin hingga Rabu para santri diharuskan melaksanakan
kegiatan ekstrakurikuler karate, pencak silat dan Barzanji setelah waktu sholat Isya’
sekitar jam 8 malam sampai selesai. Untuk hari Kamis pagi santri melakukan rapat
OSMUS dilanjutkan dengan tahfiz Qur’an mulai dari jam setengah delapan pagi
hingga menjelang waktu dzuhur. Setelahnya pengajian Hadits Arba’in dan malamnya
ditutup dengan kegiatan Muhadlarah.
Kegiatan pada hari Jum’at berlangsung dimulai dari sholat Subuh berjamaah
dengan tambahan kegiatan seperti sujud sajadah, muhasabah, dan membaca surah Al-
Kahfi. Dilanjutkan dengan kegiatan pembersihan bersama dalam lingkungan pesantren
Muqimus Sunnah dan bagi santri yang ikut kegiatan latihan drum band maka
dilanjutkan kemudian. Pada hari Sabtu sore setelah Ashar hingga menjelang waktu
Maghrib, santri diharuskan untuk mengikuti kegiatan tambahan berupa seni kaligrafi,
tataboga, tatabusana, tilawah atau marawis. Selesai sholat Maghrib, kegiatan
dilanjutkan dengan zikir taubat ataupun zikir saman.
Pada jadwal kegiatan bulanan, santri diharuskan untuk melaksanakan khotmul
Qur’an pada setiap akhir bulan Hijriyah. Sebagaimana wawancara dengan santri putri
(S. B, pada tanggal 12 Januari 2015) yang mengatakan :
Biasanya kami khatam Qur’an pada akhir bulan Hijriyah. Kami melakukannya
setiap menunggu sholat lima waktu. Membaca Al-Qur’an nya secara bersama.
Ada seorang santri yang ditunjuk oleh ustadzah untuk memimpinnya. Biasanya
bergiliran. Agar bisa khatam Qur’an dalam satu bulan maka kami diharuskan
untuk membacanya minimal dua lembar Al-Qur’an. Jika adzan, kami harus
segera menyelesaikan bacaan.
Melihat hasil wawancara di atas bahwa dengan adanya jadwal kegiatan
tersebut maka santri secara otomatis dan dengan kesadaran melaksanakan semua
96
kegiatan-kegiatan itu, termasuk juga adanya keharusan bagi mereka untuk
mengkhatam Qur’an sebulan sekali.
c. Bagi Karyawan
Untuk dapat mensukseskan semua kegiatan yang berlangsung di pesantren,
tentunya peran semua warga pesantren sangat diharapkan oleh pimpinan. Termasuk
juga untuk karyawan ataupun petugas yang bekerja di dalam pesantren. Untuk itu,
pimpinan pesantren telah pula mengatur semua aktivitas bagi karyawan dalam SOP
karyawan. Seperti dalam SOP bagi koordinator dan karyawan Wardah (Warung
Ibadah) dimana pada bab I pasal 1 disebutkan bahwa koordinator warung yang
umumnya berasal dari karyawan dari luar pesantren diwajibkan berakhlakul karimah
dan bertutur santun dalam melayani santri dan warga pondok serta bersikap jujur.
Karyawan Wardah juga diwajibkan pula untuk disiplin waktu dan tidak melayani
santri berbelanja yang tidak berbahasa Arab dan Inggris (dibantu OSMUS)
sebagaimana yang dicantumkan dalam bab II pada pasal 2 tentang dedikasi karyawan
pesantren.
Pimpinan pesantren juga mengingatkan karyawan agar hendaknnya
memberikan motivasi kepada santri dan warga pondok agar tidak boros dan tidak jajan
pada waktu yang diharamkan seperti pada saat santri melaksanakan puasa sunnah
seperti yang diatur dalam pasal 4 tentang etos kerja karyawan pesantren Muqimus
Sunnah. Karyawan Wardah juga diharuskan untuk wajib melaporkan dan melakukan
diskusi sehubungan dengan memberi hukuman santri yang melanggar dalam aturan
berbelanja di wardah (misal: mencuri, berteriak, berlaku / berbicara tidak sopan
dengan penjaga wardah, membuang sampah sembarangan dan tidak menggunakan
bahasa ketika berbelanja) seperti yang tercantum dalam bab IV pasal 7. Sebagaimana
yang dituturkan penjaga Wardah (I. A, pada 20 Desember 2014) yang mengatakan :
97
Anak-anak di sini (pesantren) sopan-sopan. Dak katek yang macam-macam.
Santrinyo baek-baek galo. Kami jugo senang melayani mereka. Ado jugo yang
nak cepat minta dilayani. Bik..bik ... aku duluan yee. Paling cak itu bae. Kalau
berbuat yang dak baek dak pernah. Dak katek juga yang nak maling makanan
di sini. Paling-paling ngomong nak ngambek dulu, kalo ado duit kiriman orang
tua baru mereka bayarke. Tinggal ngitung bae katanyo.
Selain membuat peraturan untuk karyawan Wardah, pimpinan pesantren
Muqimus Sunnah telah pula membuat SOP untuk karyawan kebersihan dimana dalam
bab I tentang etika koordinator kebersihan dan kerapian pada pasal 1 disebutkan
bahwa koordinator kebersihan wajib berakhlakul karimah dan bertutur santun serta
bersikap jujur. Selanjutnya dalam bab II tentang etika profesi pada pasal 2 tentang
dedikasi disebutkan bahwa koordinator harus dapat memanagemen urusan kebersihan
lingkungan pondok pesantren Muqimus Sunnah yaitu: kantor, Aula, pelataran, gudang,
asrama (kamar), kelas, kamar mandi, tempat parkir dan seluruh lingkungan pesantren,
mengontrol santri untuk membuang sampah di luar jam belajar, wajib membuat buku
kebersihan harian dan mingguan terdiri dari kamar, lemari, ranjang, kelas, kamar
mandi terbersih dan terkotor. Selain itu, koordinator dan karyawan kebersihan juga
diwajibkan untuk melakukan pembersihan umum setiap jum’at, membuat kalimah
motivasi untuk kamar mandi dan sekitar lingkungan pesantren sebagaimana diatur
dalam bab IV pada pasal 7 SOP karyawan kebersihan pesantren Muqimus Sunnah.
3. Peran Pesantren Dalam Memberikan Suri Tauladan
Tata tertib dan tata nilai yang telah dibuat tersebut menjadi acuan dalam
seluruh aktivitas keseharian masyarakat pesantren. Bagi tenaga pengajar maupun
pengasuh sudah ada pedoman yang harus dipatuhi agar dalam berinteraksi dengan
santri dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik. Aplikasi di lapangan menunjukkan
bahwa guru (ustadz ataupun ustadzah) sangat dituntut untuk berakhlak mulia baik
perkataan maupun perbuatan. Memberi tauladan untuk datang tepat waktu dalam
setiap kegiatan baik kegiatan formil dalam poses belajar mengajar di kelas maupun
98
dalam kegiatan di luar kelas. Memberi contoh yang baik dalam bertutur kata yang
sopan, berbuat baik dan saling membantu. Sebagaimana wawancara dengan seorang
guru sekaligus ustadzah pengasuh (U. S, pada tanggal 22 Desember 2014) yang
mengatakan :
Kami harus berusaha menjadi panutan anak-anak. Bila melanggar pasti juga
ditegur dan diberi sanksi oleh pimpinan. Seperti juga santri, jika datang
mengajar tidak tepat waktu atau terlambat lima menit saja maka kami dianggap
tidak mengajar pada jam tersebut. Itu semua demi kebaikan bersama, begitu
kata bunda Izzah. Jadi, kami berusaha maksimal agar dapat menjalankan
semua kewajiban dan tugas kami dengan sebaik-baiknya. Apalagi kami ini
berada di lingkungan pesantren. Tentu bebannya berat karena dari dalam diri
kita sendiri harus ada motivasi dan semangat yang kuat untuk menjadi yang
terbaik agar dapat dicontoh oleh santri-santri di sini.
Selain dalam hal berperilaku dan bertutur kata, maka pimpinan pesantren juga
mengharuskan seluruh warga pesantren untuk dapat memelihara aurat. Mulai dari
pimpinan, guru dan ustadz ataupun ustadzah pengasuh, serta karyawan-karyawan yang
berada dalam lingkungan pesantren Muqimus Sunnah diharuskan untuk mengenakan
pakaian sesuai ketentuan yang diatur oleh pimpinan pesantren. Seperti untuk seluruh
guru yang mengajar di madrasah diharuskan berpakaian seragam khusus guru.
Sedangkan bila mengajar diniyah maka mereka umumnya memakai pakaian gamis
atau baju koko dan sarung bagi ustadz. Untuk ustadzah biasanya memakai gamis dan
berjilbab. Demikian halnya yang berlaku untuk santri putri dan santriwan serta
karyawan laki-laki dan perempuan. Semua telah ditentukan sesuai aturan yang ada.
B. Implementasi Kultur Pesantren Terhadap Perilaku Islami Santri Dalam
Lingkungan Pesantren Muqimus Sunnah.
Implementasi kultur pesantren dalam lingkungan pesantren Muqimus Sunnah
dilakukan terhadap :
1. Hubungan Antara Kyai dan Santri.
Kyai merupakan bagian terpenting di dalam pesantren Muqimus Sunnah.
K.H.M. Zen Syukri atau biasa dipanggil aba selaku pendiri pesantren dinilai sebagai
99
sosok penting dan panutan bagi seluruh warga pesantren. Bukan saja sebagai penjaga
ilmu-ilmu agama akan tetapi beliau adalah sebagai uswah hasanah kehidupan dalam
lingkungan pesantren khususnya dan masyarakat umumnya. Mengenai sosok K.H.M
Zen Syukri tersebut, ustadz Masyuri Al-Hafizh (5 Januari 2015) mengatakan :
Beliau adalah sosok seorang ulama yang kharismatik dan berwibawa. Sosok
yang sangat disegani oleh banyak kalangan baik di Palembang. Beliau sangat
bijaksana, tidak pernah ada kata lelah dalam hidup beliau. Ketika sakitpun,
beliau masih mau mengisi pengajian. Mengingat usia beliau yang sudah uzur
maka hanya sekali-sekali saja beliau dapat memberikan pengajian kepada para
santri, biasanya yang diajarkan berisi ilmu-ilmu tentang tauhid. Walaupun
komunikasi Kyai dengan santri tidak terlalu intensif tetapi hubungan Kyai-
santri berlangsung dengan baik. Melalui wejangan-wejangan dan nasehat-
nasehat yang disampaikan beliau dengan nada bahasa yang lembut dan
mengayomi menjadikan hubungan beliau dengan santri menjadi dekat.
Hubungan lahir batin sedemikian rupa layaknya orang tua-anak.
Walaupun K.H.M Zen Syukri sudah wafat pada tanggal 22 Maret 2012 dalam
usia 93 tahun tetapi ajaran dan peran beliau di pesantren Muqimus Sunnah tetap
diteruskan oleh dengan beberapa orang sebagai wakil Kyai seperti H.M Husni
Thamrin, Izzah Zen Syukri, dan Masyuri Al-Hafidz. Hubungan Kyai (ustadz) dengan
para santri juga tetap terpelihara dengan baik. Berikut wawancara dengan 2 orang
santri putri (S. V dan S. S, pada tanggal 22 Desember 2014) yang mengatakan:
Dulu sewaktu aba masih hidup, yang mengajar kitab Tauhid dan akhlak sama
santri aba itulah. Kalau lagi ngajar biasanya aba sering nasehati kami untuk
taat pada Allah dan mencintai Rasulullah, tapi kadang jugo beliau marahi kami
apalagi kalau ada santri yang tidak memperhatikan dengan baik penjelasan
beliau. Kato aba, “nurutla kato dikit kamu, biar hidup jadi barokah”.
Mendengar itu, santri jadi diam semua. Beliau juga kadang tempat bertanya
santri. Yang penting kami tidak mengganggu karena beliau yang sudah uzur
dan butuh banyak istirahat. Kalau sekarang, yang menggantikan aba mengajar
adalah bunda Izzah. Tidak banyak yang berbeda, beliau dalam mengajar dan
berkomunikasi dengan santri hampir mirip dengan cara aba.
Sedangkan menurut pendapat 2 orang santri putra (S. A dan S. F, pada tanggal
22 Desember 2014) mengatakan :
Kyai itu seperti orang tua kami sendiri apalagi ketika kangen dengan mereka.
Karena disini (pesantren) adalah tempat tinggal kedua bagi kami dan guru
disini adalah orang tua kedua kami yang semua perhatian pada anaknya. Kyai
juga sering sekali memberi nasehat pada santri terutama tentang akhlak dan
100
sholat, baik di saat mata pelajaran berlangsung atau sesudah sholat fardhu. Juga
waktu ada jadwal perpulangan maka kami para santri ada pembekalan etika
namanya. Itu semua akan memotivasi kami agar santri menjadi lebih baik.
Selain itu, jika ada santri yang sedang menghadapi suatu masalah maka akan
dicarikan solusi oleh Kyai.
Berdasarkan hasil data wawancara diatas diperoleh gambaran bahwa
komunikasi yang berjalan harmonis antara Kyai sebagai guru dan orang tua bagi santri
memunculkan hubungan batin yang kuat antara Kyai dengan santri. Materi pengajian
yang diajarkan dan disertai nasehat-nasehat Kyai tersebut menjadikan santri merasa
dekat dengan Kyai. Santri menganggap Kyai bukan saja sebagai guru yang akan
mengajari mereka pengetahuan umum dan agama tetapi lebih daripada itu mereka
membutuhkan kehadiran sosok orang tua yang mendidik, membimbing dan
mengayomi mereka dalam menempuh pendidikan dan pengajaran di dalam pesantren
Muqimus Sunnah. Mereka dapat bertanya tentang suatu hal, baik pelajaran ataupun
pengajian kitab yang mereka belum faham ataupun hal-hal lain yang tidak dapat
diselesaikan santri tanpa bantuan Kyai. Hubungan yang terbina dengan baik antara
Kyai dan santri menjadikan pula santri betah berada di asrama.
Observasi di lapangan pada tanggal 24 Desember 2014 didapat bahwa santri
sedang mengikuti pembekalan etika pada jadwal perpulangan. Para santri waktu itu
dikumpulkan dalam aula besar pesantren Muqimus Sunnah dan di situ para santri
diberi pengarahan dan nasehat-nasehat oleh H.M. Husni Thamrin dan bunda Izzah.
Wejangan-wejangan tersebut tentang apa yang akan mereka lakukan jika sudah berada
dalam lingkungan keluarga mereka. Bahwa apa yang baik yang telah diajarkan
pesantren pada mereka maka harus mereka terapkan pula hal itu di rumah. “Di rumah,
santri tidak minta dilayani tetapi santri yang melayani orang tua, menyenangkan orang
tua, dan seterusnya”, demikian salah satu nasehat yang disampaikan oleh H.M. Husni
Thamrin pada waktu itu. Berikutnya bunda Izzah (24 Desember 2014) juga
101
memberikan petunjuk dan nasehat-nasehat untuk para santri yang akan pulang libur
akhir tahun dengan mengatakan :
Santri sekalian akan pulang ke rumah. Apa yang akan di kerjakan?... santri nak
nonton tv.... boleh.... pergi ke mall... tidak dilarang... makan yang enak-enak.....
Alhamdulillah ...... lupo sholat dan baca Qur’an..... nah itu yang dak boleh.
Santri harus tetap istiqomah dengan amal ibadahnya. Setuju?..... Apalagi
sebentar lagi akan menghadapi tahun baru Masehi biasanya banyak kegiatan
yang di luar kendali kita termasuk pesta kembang api dan sebagainya. Jangan
sampai ada laporan bahwa santri Muqimus Sunnah yang keluyuran malam,
nongkrong-nongkrong dak keruan. Tolong ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian,
anaknya harus diawasi dengan baik. Kalau mereka di sini (pesantren) kamilah
orang tua nya yang akan mengawasi.
Perhatian yang begitu besar pimpinan pesantren (Bunda Izzah dan H.M. Husni
Thamrin) terhadap para santri tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi apapun dan
dimanapun santri berada mereka akan tetap memonitor kegiatan mereka dengan
kerjasama yang baik antara orang tua santri dan pihak pesantren sebagai orang tua
kedua santri. Santri senantiasa diingatkan untuk menjaga amal ibadahnya, tetap
berprilaku sopan santun, tidak berbuat hal-hal yang tercela dan melalaikan santri.
Penulis mengkonfirmasi aktivitas santri jika berada di rumah mereka. Sebagaimana
yang dituturkan seorang wali santri yang hadir dalam acara pembekalan tersebut (I. I,
pada 24 Desember 2014) yang mengatakan :
Alhamdulillah pesantren sudah mendidik anak kami dengan baik. Semula kami
agak kesal dengan ketatnya aturan di sini (pesantren). Karena anak kami
biasanya banyaklah manja di rumah. Apa-apa kita (orang tua) yang
mengerjakan. Boro-boro mencuci pakaian sendiri, disuruh belajar saja kadang
susah apalagi untuk sholat. Pokoknya kita nih ngomel terus sama anak. Dengan
dia dididik di sini, berangsur berubah sifat dan kelakuannya. Sekarang, kalau
mereka sedang di rumah, mereka berlaku lebih hormat dengan orang tua,
santun berkata dan tidak ngomong teriak-teriak, sudah rajin ibadah bahkan
untuk ibadah-ibadah sunnah, sudah bagus cara baca Qur’an nya dan lebih
lancar, dan kadang sudah tidak perlu disuruh lagi mengerjakan pekerjaan dalam
rumah.
Senada dengan wali santri di atas, Ibu S (24 Desember 2014) yang posisi
duduknya tidak terlalu jauh dengan ibu tadi mengatakan bahwa anak kami jadi
102
betahlah di sini (pesantren) daripada di rumahnya sendiri. Katanya enaklah tinggal di
pesantren banyak kawan dan banyak kegiatan yang dilakukan bersama-sama.
2. Tradisi Ketundukan dan Kepatuhan Santri
Terhadap Kyai.
Di dalam sebuah pesantren, peran Kyai mempunyai pengaruh besar. Kyai
merupakan pemimpin tunggal yang memegang peran hampir mutlak. Kharisma
seorang Kyai di dalam pesantren menjadikan Kyai biasanya sangat disegani dan
dihormati oleh para ustadz maupun santrinya. Para santri harus menunjukkan hormat
dan kepatuhan mutlak kepada gurunya, bukan sebagai manifestasi dari penyerahan
total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas. Akan tetapi karena keyakinan
santri kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan
kepada murid-muridnya, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dalam ajaran
Islam, bahwa murid harus menganggap gurunya seolah-olah ayahnya sendiri
sebagaimana dalam hadits “Ayahmu sebenarnya ada tiga; pertama, bapakmu yang
telah membuahi ibumu; kedua, bapak yang telah memberimu seorang istri; dan ketiga,
guru yang sedang dan telah mengajarimu” dan “Dan sesungguhnyalah, orang yang
mengajarmu walaupun hanya sepatah kata dalam pengetahuan agama adalah ayahmu
menurut ajaran Islam” (Az-Zarnuji, 1963: 60). Berikut adalah wawancara dengan
santri putri (S. H dan S. F, pada tanggal 23 Desember 2014) yang mengatakan :
Dalam kitab Akhlakul Banin telah diajarkan pada kami adab berbicara pada
guru/orang yang lebih tua. Hal itu juga sebagai penghormatan kami terhadap
guru (Kyai ataupun ustadz/ustadzah), karena penghormatan itu penting bagi
murid terhadap guru demi mendapat keberkahan ilmu dan menjaga kesopanan
serta akhlak sebagai santri. Seperti yang biasa kami lakukan apabila santri akan
lewat di depan Kyai, maka menundukkan badan tanda hormat. Kami juga akan
mencium tangan Kyai bila akan belajar, sesudah belajar atau bila bertemu
dengan beliau.
103
Selain santri putra, terdapat hal yang berbeda dengan santri putri ketika
dilakukan wawancara (S. A dan S. S, pada tanggal 23 Desember 2014) yang
mengatakan :
Kalau yang mengajar seorang ustadzah baru kami akan mencium tangan. Tapi
bila Kyai yang mengajar kami kadang menjadi risih. Jadi untuk santriwati
biasanya tidak melakukannya. Paling-paling kami hanya mengangguk saja
tanda hormat. Demikian juga bila pengajian telah selesai maka kami hanya
membuntut di belakang Kyai. Kyainya dulu yang harus berjalan, santri tidak
boleh membelakangi guru karena guru harus dimuliakan. Kami juga tidak
berani untuk membantah Kyai selagi nasehat itu baik.
Berdasarkan hasil data wawancara di atas maka tradisi ketundukan dan
kepatuhan seorang santri terhadap Kyai di pesantren Muqimus Sunnah tetap
terpelihara dalam batas-batas tertentu. Santriwan selalu mencium tangan Kyai ketika
mengaji ataupun bertemu. Hal tersebut selalu dilakukan santri karena mereka
menganggap mencium tangan Kyai sebagai adab murid kepada guru dalam menuntut
ilmu. Mereka bersikap baik terhadap Kyai dengan menundukkan badan tanda hormat,
mendahulukan Kyai bila berjalan beriringan, dan mematuhi perintah dan nasehat Kyai.
Kebiasaan-kebiasaan seperti ini yang senantiasa dilakukan santri pesantren
Muqimus Sunnah sebagai adab, akhlak, kewajiban santri terhadap guru. Mereka juga
menganggap penghormatan itu penting demi mendapat keberkahan ilmu sebagaimana
tercantum dalam kitab Akhlakul Banin yang menjadi kitab pegangan santri.
Hasil observasi (5-10 Desember 2014) juga menunjukkan hampir seluruh
santri di pesantren Muqimus Sunnah menunjukkan kepatuhan pada Kyai. Hal ini
terlihat pada santri umumnya tidak berani membantah Kyai, apa yang baik
diperintahkan mereka menurut. Kadang Kyai menyuruh sesuatu seperti mengambilkan
kitab yang tertinggal di kelas, santri langsung mengerjakannya. Apalagi sewaktu Kyai
menasehati maka mereka diam, menundukkan kepala, serta mendengarkan dengan
baik. Para santri juga bila bertemu Kyai dalam pengajian atau dalam keseharian selalu
mencium tangan, terutama bagi santriwan. Sikap tersebut bukan saja mereka lakukan
104
pada Kyai, ustadz dan ustadzah, tetapi terhadap orang yang lebih tua pun seperti wali
santri, biasanya mereka menundukkan badan tanda hormat atau mencium tangan.
Santri juga umumnya berkata lemah lembut, tidak teriak-teriak, dan bersikap sopan
santun bukan saja kepada Kyai mereka tetapi hampir pada setiap wali santri mereka
juga melakukan hal tersebut.
3. Pola Hidup Sederhana Santri
Sejak awal santri masuk di dalam lingkungan asrama pesantren Muqimus
Sunnah telah menerapkan pola hidup sederhana yang berasas pada hidup hemat pada
santri. Nilai-nilai kesederhanaan tersebut diberlakukan pada santri sejak awal adalah
untuk menyesuaikan antara keinginan dan kebutuhan santri. Artinya santri harus
sanggup menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada serta berusaha membatasi diri
untuk memenuhi hawa nafsu ataupun keinginan fisik yaitu dengan cara menjauhkan
diri dari sifat materialistis. Sebagaimana wawancara dengan santri (S. L dan S. N, pada
tanggal 8 Januari 2015) yang mengatakan :
Makanan yang disediakan di sini (pesantren) cukup. Sederhana dan setiap hari
berganti-ganti. Menunya lengkap ado nasi, sayur, buah, lauk pauk. Sudah
menyediakan asupan gizi yang cukup. Nasi sedang tidak terlalu banyak atau
sedikit. Untuk sayur kadang sayur bening bayam, terong, dan kangkung.
Kadang jugo sayur asem. Buahnya banyaklah pisang, yang lain tuh kadang
semangka. Kalau lauknya, banyaklah ikan-ikanan, tempe, tahu. Daging dan
ayam sekali-sekali bae. Kalau ada hajatan biasanya. Sekali waktu kami makan
lauk kambing dari sedekah donatur. Mulanya kami banyak yang tidak habis
makannya. Tidak selera dengan menunya. Jadi kami sering kena tegur dan
dinasehati. Tapi lama kelamaan santri menjadi terbiasa dengan menu makan
yang disajikan sehingga sekarang jarang ada makanan yang bersisa di dalam
tempat makanan yang disediakan.
Selain dalam hal makan dan minum, pesantren Muqimus Sunnah juga telah
menerapkan kesederhanaan dalam berpakaian santri. Sebagaimana wawancara dengan
santri putri (S. B dan S. L, pada tanggal 8 Januari 2015) yang mengatakan :
Semenjak masuk pesantren, pakaian kami banyak yang kena seleksi. Bentuk
pakaiannya harus sederhana saja, warnanya tidak boleh terlalu mencolok,
sedapat mungkin yang polos dan tidak banyak corak. Kami juga tidak
diperbolehkan memakai pakaian yang membentuk badan. Dilarang untuk
105
memakai perhiasan termasuk gelang, cincin dan kalung apalagi berbahan emas.
Selain takut hilang, juga untuk membiasakan santri agar hidup apa adanya dan
tidak bermewah-mewahan.
Hampir senada dengan yang diungkapkan santri putri, maka santri putra juga
kena aturan yang sama. Berikut wawancara dengan santri putra (S. B, pada 8 januari
2015) yang mengatakan:
Harus berpakaian yang rapi dan pakaian itu harus berwarna putih standar. Peci
nya pun harus standar yaitu peci Palembang. Santriwan juga tidak boleh
pakaian yang ketat ataupun pakai celana jeans/levis. Harus celana panjang
berbahan kain biasa dan berwarna gelap. Baju dalam kaos tidak boleh
berkerah, harus oblong. Untuk sholat dan pelajaran diniyah, kami harus pakai
gamis. Jika ada santriwan yang melanggar, akan ditegur dan dikatakan bahwa
di ponpes bukan untuk bergaya tapi untuk menuntut ilmu.
Penerapan pola hidup sederhana dalam keseharian santri di pesantren Muqimus
Sunnah juga menyangkut hal pengelolaan keuangan santri. Terlebih lagi karena santri
berada jauh dari orang tua maka santri diharapkan untuk mampu mengatur
kebutuhannya dengan ketersediaan dana yang ada. Seperti yang terungkap dari
wawancara dengan seorang santri putri dan santri putra (S. L dan S. M, pada tanggal
10 Januari 2015) yang mengatakan :
Menabung itu diwajibkan. Apalagi santri tidak boleh pegang uang lebih dari
20.000. Jadi kalau ada uang kiriman orang tua setiap bulan, diharuskan untuk
di tabung pada bank mini pesantren Muqimus Sunnah. Biasanya ustadzah yang
menerimanya. Untuk pengambilan uang tabungan juga sudah diatur agar tidak
boros dalam belanja sehari-hari. Dalam satu minggu hanya dibolehkan tiga kali
pengambilan dan paling banyak uang yang diambil untuk keperluan jajan santri
sebesar 10 ribu, tetapi bila ada keperluan mendesak lain maka diperbolehkan
mengambil lebih dari ketentuan tersebut. Kadang ada juga yang menyimpan
uang sendiri, kalau tidak takut hilang.
Gambaran penerapan pola hidup sederhana di pesantren juga tampak dari
keseharian santri yang jauh dari fasilitas hidup mewah. Pimpinan telah menetapkan
aturan bahwa di dalam lingkungan pesantren para santri dilarang membawa
handphone. Bahkan untuk televisi dan komputer yang tersedia di pesantren hanya
ditujukan untuk menunjang kepentingan pelajaran santri. Sebagaimana wawancara
dengan santri putra (S. K, pada tanggal 10 Januari 2015) yang mengatakan :
106
Tidak boleh ada yang membawa Hp.Tidak sama sekali, itu akan merusak
konsentrasi santri. Untuk membuat jera santri agar tidak melakukan hal yang
dilarang, pernah ada Hp santri yang dihancurkan di depan para santriwan.
Padahal sudah berkali-kali diingatkan. Jika santri akan kepentingan menelepon
orang tua dalam masalah yang penting maka pesantren membolehkan memakai
telepon kantor atau bisa meminjam Hp ustadz/ustadzah. Kalau untuk TV dan
komputer ada/disediakan tetapi menggunakannya ketika diperlukan saja
sewaktu pelajaran.
Berdasarkan hasil data wawancara di atas maka pola hidup keseharian santri
pesantren Muqimus Sunnah yang ditinjau dari cara berpakaian, makan, dan hal-hal
lainnya sudah dapat dikatakan sederhana dan jauh dari kemewahan. Dalam hal
makanan dan minuman semuanya sudah diatur tersendiri oleh pesantren. Dimana
makanan tersebut sudah dibagi dalam sebuah rantang dengan porsi dan menu makanan
yang sama.
Sejalan dengan hasil wawancara, maka hasil observasi yang dilakukan pada
beberapa kesempatan (8-13 Januari 2015), terlihat pada hampir seluruh santri di
pesantren Muqimus Sunnah tidak mempermasalahkan mengenai pola hidup sederhana
yang diterapkan dalam hal makan-minum dimana santri tetap mengambil jatah
makanan masing-masing tanpa harus mengambil makanan jatah temannya. Tampak
mereka sudah merasa cukup dengan porsi yang disediakan. Demikian halnya dalam
berpakaian, terlihat pada hampir seluruh santri mengenakan pakaian yang sederhana,
tidak terlalu mencolok baik warna dan modelnya. Santri putri umumnya mengenakan
gamis sederhana dan berjilbab segiempat polos sedangkan santri putra umumnya
memakai baju koko dan gamis serta pakai peci Palembang warna putih. Untuk
pemakaian barang-barang elektronik, tidak satupun santri yang terlihat membawa dan
menggunakan Hp karena memang hal ini dilarang keras di pesantren Muqimus
Sunnah. Untuk TV dan komputer, diperbolehkan bila sewaktu dibutuhkan saja dalam
kapasitas menunjang kegiatan belajar mengajar bagi santri.
107
Peneliti juga melakukan wawancara dengan ustadzah (U.I pada 15 Januari
2015) untuk mengkonfirmasi keterangan dari hasil wawancara dengan santri dan
observasi, dimana ustadzah tersebut mengatakan :
Sejak santri masuk pertama kalinya, kami sudah mengingatkan bahwa santri
dilarang untuk menggunakan handphone. Bila ketahuan ada yang membawa
dan menggunakannya maka akan di sita dan dimusnahkan. Jadi ini tidak main-
main. Tujuannya tentu untuk kebaikan santri. Agar santri tidak lalai dengan
kegiatan. Kan tujuan santri ke sini (pesantren) untuk belajar dan menuntut
ilmu. Bukan untuk bersantai dan bersenang-senang. Dengan demikian
diharapkan santri menjadi fokus dalam belajar dan beraktivitas dalam
pesantren. Kalau untuk menelpon orang tua, kan bisa dengan telpon kantor atau
bisa pinjam dengan ustadzah. Nelponnya juga kan tidak boleh sering-sering.
Selain dalam beberapa hal yang telah disebutkan di atas, pimpinan pesantren
juga telah menerapkan pola hidup hemat dalam keuangan santri. Untuk mendidik dan
membiasakan para santri untuk hidup sederhana dalam hal keuangan maka di
pesantren Muqimus Sunnah diwajibkan untuk rajin menabung di bank mini yang
dikelola oleh pesantren. Bekal uang kiriman dari orang tua sebagian harus disisihkan
untuk disimpan. Santri juga tidak diperkenankan memegang uang dalam jumlah
banyak. Selain takut hilang dan tercecer, juga agar santri terbiasa tidak boros belanja
ataupun jajan.
4. Kemandirian Santri
Mandiri merupakan suatu keadaan pengaturan diri dimana kemampuan
seseorang untuk mengambil keputusan atas kehendaknya sendiri dalam melakukan
sebuah tindakan. Kemandirian sebagai nilai, tidak bisa diajarkan sebagaimana
mengajarkan pengetahuan atau keterampilan pada umumnya. Ia memerlukan proses
yang panjang dan bertahap melalui berbagai pendekatan yang mengarah pada
perwujudan sikap. Dengan demikian kemandirian lebih menekankan pada proses-
proses pemahaman, penghayatan, penyadaran dan pembiasaan. Berikut adalah
108
wawancara dengan santri putri (S. A dan S. L, pada tanggal 8 Januari 2015) yang
mengatakan :
Santri harus mandiri. Dak boleh cengeng. Harus kuat. Tugas-tugas pelajaran
dan beberapa hal tertentu harus dikerjakan secara mandiri seperti mengurus
keperluan sendiri (mencuci dan sebagainya). Selain ama (petugas laundry),
kami juga kadang harus mencuci pakaian sendiri terutama untuk pakaian
dalam. Waktunya di cari yang luang, kadang habis sekolah. Atau juga kami
mandiri dalam hal beres-beres tempat tidur dan yang lainnya. Pokoknya tidak
boleh mengandalkan teman.
Hampir senada dengan pendapat di atas, santri putri yang lain (S. M dan S. B,
tanggal 8 Januari 2015) mengatakan:
Kehidupan di pondok tuh sangat dituntut untuk dapat hidup mandiri. Santri
harus dapat mengerjakan sesuatu dengan sendiri dan sedapat mungkin tidak
bergantung dengan teman. Belajar malam juga kadang dilakukan sendiri-
sendiri. Paling kalau ada tugas kelompok barulah kami mengerjakan secara
bersama. Waktu awal masuk pondok, sedih rasanya. Tapi semakin lama kami
menjadi terbiasa.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, para santri di pesantren Muqimus Sunnah
sudah menunjukkan sikap kemandiriannya. Santri umumnya tidak lagi
menggantungkan diri dangan teman. Mereka mengerjakan sendiri apa yang menjadi
tugas dan kewajibannya di dalam pesantren. Belajar dan mengerjakan tugas-tugas
yang diberikan guru harus dilakukan secara mandiri dan sendiri. Kecuali untuk tugas-
tugas kelompok, barulah mereka melakukannya secara bersama.
Selain kemandirian dalam belajar, santri juga telah mandiri dalam mengurus
kebutuhan-kebutuhan kesehariannya. Seperti dalam hal mencuci pakaian, selama
santri berada di rumah sendiri umumnya mereka masih sangat bergantung dengan
orang tua. Akan tetapi, semenjak mereka berada di asrama pesantren kegiatan tersebut
harus santri kerjakan sendiri. Walaupun di pesantren Muqimus Sunnah sendiri telah
disediakan laundry ataupun ada ama yang bertugas mencucikan pakaian para santri.
Itupun ada ketentuan tersendiri. Mereka hanya diizinkan untuk mencuci paling banyak
2 stel pakaian perharinya tidak boleh lebih, dengan catatan hanya untuk mencuci
109
pakaian luar. Selebihnya, untuk pakaian dalam dan lainnya maka santri tetap
diwajibkan untuk mencucinya sendiri. “Pakaian yang dicucikan ama dak boleh
banyak-banyak. Kakak kelas biasanya yang seperti itu. Tiap hari 2 stel bae, paling
pakaian sekolah. Jadi kalau mau mencuci pakaian yang lain, harus cuci sendiri”,
demikian kata santri ‘G’ kelas 9 pada tanggal 8 Januari 2015. Para santri juga
sepertinya sudah memahami aturan tersebut sehingga mereka akan mencuci sendiri
bila mereka memerlukan tambahan pakaian.
Kemandirian santri lainnya yang diterapkan di pesantren adalah dalam hal
membersihkan dan merapikan kamar santri. Peneliti melakukan wawancara dengan
ustadzah (U.H dan U. M, pada tanggal 8 Januari 2015) yang mengatakan :
Santriwati (santri putri) jika bangun tidur harus segera membereskan tempat
tidurnya masing-masing. Sprei, bantal, dan lain-lain harus dirapikan sebelum
santri melakukan kegiatan yang lain. Santri akan diawasi dan ditegur ustadzah
pengasuh jika melalaikannya dan tentunya juga akan diberi catatan buruk
berupa satu bintang hitam, dimana hal ini sangat dihindari santri. Walaupun
pada setiap hari ada giliran santri yang piket kamar sesuai jadwal yang telah
dibuat ustadz ataupun ustadzah pengasuh, tetapi para santri harus tetap
bertanggung jawab dengan kondisi kebersihan tempat tidurnya masing-masing.
Kadang juga santri menyapu lantai kamar sebelum bersiap sekolah.
Untuk memupuk kemandirian santri dalam hal mengelola keuangan sendiri,
maka santri diharuskan mampu mengatur kebutuhan dengan keuangan yang ada
sehingga akan cukup sampai akhir bulan. Santri dibiasakan untuk berhemat dan
mengaturnya dengan cermat dalam setiap pos kebutuhan. Uang jajan, uang untuk
keperluan alat-alat tulis, uang untuk keperluan sumbangan bila ada tugas, dan
seterusnya. “Rata-rata santriwati sudah bisa mengatur pengeluarannya, tapi untuk
santriwan masih ada yang tidak cukup hingga akhir bulan sehingga harus saling
pinjam dengan temannya”, demikian kata ustadzah ‘H’ pada wawancara tanggal 8
Januari 2015.
5. Tradisi Tolong-Menolong dan Persaudaraan.
110
Islam mengajarkan manusia bahwa hidup bukan hanya tentang satu orang. Di
luar kehidupan kita masih banyak orang lain yang juga berusaha meraih
kepentingannya. Untuk itu, nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) di pesantren
Muqimus Sunnah berusaha ditanamkan sedemikian rupa kepada santri. Apalagi
sebagai makhluk sosial, manusia meniscayakan rasa kerjasama, tenggang rasa, saling
toleransi dan membantu bahu membahu satu dengan lainnya. Sikap menjauhkan dari
rasa egois dan mendahalukan kepentingan orang lain tentu akan menarik simpati.
Dengan saling memerhatikan, menghargai, dan menyayangi orang lain maka tidak
akan sulit untuk mendapatkan hati mereka. Pesantren memiliki peran dan tanggung
jawab dalam pengembangan nilai-nilai tersebut terhadap santri di dalam lingkungan
pesantren. Berikut adalah hasil wawancara dengan 2 orang santri putra (S. N dan S. B,
pada tanggal 12 Januari 2015) yang mengatakan :
Di pesantren kami diajari untuk saling tolong menolong dengan teman. Jika
ada masalah santri harus dibantu semampunya. Rasul pun mengajarkan
demikian, jadi kami harus mencontoh nabi. Seperti kalau ada santri yang sakit.
Kami melaporkannya ke ustadz ataupun ustadzah agar diberikan obat. Kadang
jika parah ustadz yang akan mengantarkan ke dokter. Santri yang lain terutama
teman sekamarnya wajib memintakan nasi di dapur walaupun setiap kamar ada
petugas khusus, kadang ia yang duluan membantu.
Hal yang hampir serupa diungkapkan oleh santri yang lain (S. K dan S. A,
pada tanggal 12 Januari 2015) yang mengatakan:
Kami biasa saling berbagi, terutama bila ada makanan yang dikirim orang tua.
Terutama dengan teman sekamar dan sahabat karibnya. Santri juga lebih
senang makan bersama dibandingkan dengan makan sendiri. Selain itu kami
juga harus saling mengajari jika menghadapi kesukaran dalam pelajaran.
Ustadzah sangat menganjurkan kami agar jangan segan-segan membantu
teman. Sesama santri tetap harus saling peduli. Apalagi kami berada dalam satu
asrama yang kegiatannya banyak dilakukan secara bersama-sama. Pembersihan
asrama, Muhadhoroh, presentasi, zikir, tadarus, kegiatan kelompok. Kami juga
bila ada waktu luang, ada yang saling curhat dan bercanda.
Dari hasil wawancara di atas maka diperoleh kesimpulan bahwa di dalam
pesantren Muqimus Sunnah telah berkembang iklim dan tradisi tolong menolong dan
suasana persaudaraan. Hal ini tergambar dari hampir sebagian besar santri yang sering
111
membantu temannya. Terlebih bila terdapat salah seorang santri yang sakit maka santri
yang lain pun ikut membantunya. Yang mereka lakukan biasanya adalah
mengambilkan jatah makanan untuk santri yang bersangkutan di dapur. Ataupun
melaporkannya pada ustadz ataupun ustadzah agar dapat diberikan obat atau bila perlu
diantarkan ke dokter terdekat.
Selain membantu teman yang sakit, santri juga saling membantu dalam hal
tugas-tugas pelajaran dan PR. Yang menjadi masalah umum bagi santri biasanya tugas
matematika dan bahasa, baik itu bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Untuk itu, santri
yang lebih pintar dalam matematika akan menjadi tempat bertanya bagi teman-
temannya yang lain terutama sekali bagi adik-adik kelas mereka. Demikian pula
halnya dengan masih adanya santri yang mengalami kesulitan dalam berbahasa.
Biasanya agar dapat melancarkannya, mereka akan sering melakukan latihan saling
tanya jawab dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris sehingga dengan begitu santri
tersebut akan cepat hafal kosa kata.
Selanjutnya, santri di pesantren Muqimus Sunnah telah pula dibiasakan untuk
saling berbagi. Kehidupan yang jauh dari orang tua telah membangun pribadi santri
untuk memiliki sikap toleransi dan selalu menjaga hubungan baik dengan teman-
teman santri yang lain. Hal yang biasa dilakukan santri adalah jika ada makanan atau
minuman yang dikirim orang tua seorang santri, maka mereka biasanya membaginya
dengan teman-teman sekamar ataupun dengan yang lainnya. Sekalipun jumlah yang
dibagi kadang sedikit tetapi karena di pesantren mereka terus diajarkan dan dibiasakan
untuk tidak pelit, maka santri akan tidak merasa berat untuk melakukannya. Makan
juga tidak boleh sembunyi-sembunyi dan sendiri-sendiri.
Pihak pesantren juga telah melarang orang tua untuk mengirim makanan
ataupun minuman hanya untuk anaknya saja. Tetapi harus dalam jumlah yang banyak
sehingga santri lain juga dapat mencicipinya, minimal untuk teman sekamar santri
112
yang bersangkutan. Hasil observasi (8 Januari 2015), terlihat ada orang tua yang
menitipkan makanan cepat saji untuk anaknya di pesantren tapi kemudian ditolak
untuk disampaikan. Oleh karena yang dibawa hanya satu porsi, maka bunda Izzah
dengan tegas menolaknya dan disuruh untuk dibawa pulang kembali. Bunda Izzah (8
Januari 2015) mengatakan “hal itu sama saja mengajari anak menjadi pelit dan tidak
mau berbagi, padahal dalam satu kamar terdapat beberapa orang santri lain yang tentu
akan melihat dan kepingin dengan makanan santri tersebut”.
Untuk dapat membangun dan menjaga rasa kebersamaan santri dalam suasana
persaudaraan selama berada di dalam lingkungan pesantren Muqimus Sunnah maka
pesantren menerapkan aturan bahwa santri harus melakukan kegiatan yang telah
terjadwal secara bersama-sama. Mengerjakan sholat harus berjamaah terutama sholat-
sholat fardhu, berzikir, kegiatan muhadhoroh yang dilakukan setiap malam Sabtu,
Barzanji. Bahkan waktu makan juga mereka bersama-sama dengan membentuk
kelompok-kelompok kecil. Demikian halnya juga pada kegiatan pembersihan setiap
Jum’at. Semua santri bekerja bersama dalam kegiatan tersebut menurut pembagian
tugas masing-masing. Ada yang membersihkan kamar, Aula, pelataran, ruang guru,
kantor, bahkan di halaman depan pesantren. Ustadz ataupun ustadzah juga turut serta
mengerjakan dan mengawasi kegiatan yang sedang berlangsung dengan suasana
keakraban dan keceriaan dengan para santri, kadang juga kegiatan seperti ini mereka
manfaatkan untuk saling berbagi cerita ataupun sekedar bercanda.
6. Tingkat Kedisiplinan Santri
Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk
mengikuti, menaati peraturan-peraturan dan nilai-nilai hukum yang berlaku dalam
suatu lingkungan tertentu seperti pesantren. Dengan berdisiplin maka santri
diharapkan mampu mengatur tingkah lakunya sendiri dan mempunyai tanggung jawab
atas kegiatan yang dilakukannya tersebut.
113
Dalam lingkungan pesantren Muqimus Sunnah, pembinaan disiplin santri ini
tidaklah bertujuan untuk mengekang santri. Melainkan bertujuan untuk menyiapkan
santri agar menjadi generasi muda yang penuh tanggung jawab dalam menyelesaikan
problema kehidupan terutama untuk diri santri dan lingkungannya. Dengan
kedisiplinan diharapkan dapat melatih para santri dalam melaksanakan kewajiban-
kewajiban agama, seperti shalat, berpuasa dan seterusnya. Disiplin waktu juga menjadi
penekanan pada proses pembinaan santri yaitu dengan jadwal yang telah dibuat
pesantren mulai dari kegiatan bangun tidur sampai santri tidur kembali.
Selain itu, para santri juga diharuskan disiplin dengan larangan yang telah
dibuat pesantren. Mereka tidak diperkenankan bergaul dengan masyarakat luar secara
bebas, serta membatasi hubungan laki-laki dengan perempuan dengan sangat ketat.
Hanya mereka yang mempunyai hubungan darah (muhrim) yang dibolehkan bertemu
dalam lingkungan pesantren. Berikut hasil wawancara dengan 2 orang santri (S. S dan
S. M, pada tanggal 12 Januari 2015) yang mengatakan :
Maksimal tidur malam jam 22.00 tapi bila ada yang mengulang hafalan atau
belajar maka tetap dibiarkan. Kami harus sudah bangun tidur sekitar 03.00-
04.00 pagi. Kemudian santri langsung merapikan tempat tidur, antri untuk
mandi, yang selesai mandi lalu bersiap dengan pakaian sekolah, berwudhu dan
sholat tahajjud kemudian mengaji sampai waktu adzan subuh, sholat subuh di
aula, menghafal Al-Qur’an, makan, siap-siap sekolah.
Kedisiplinan santri tidak hanya ditunjukkan dengan mematuhi segala kegiatan
yang telah terjadwal. Akan tetapi, para santri juga dituntut berdisiplin dalam seluruh
sisi keseharian hidup santri termasuk berdisiplin dalam menaruh barang-barang pada
tempatnya kembali. Seperti yang dituturkan oleh santri (S. P dan S.L, pada tanggal 15
Januari 2015) yang mengatakan:
Kami (para santri) di sini selalu di ajari disiplin soal waktu, tempat dan hal
kecil lainnya. Seperti kalau setiap selesai membaca Al-Qur’an, kami harus
meletakkannya kembali pada rak khusus. Demikian juga dengan yang lain-
lain. Sepatu, sandal, dan wadah sabun, jika sudah dipakai harus ditaruh pada
tempatnya. Begitupun dengan rantang wadah makanan santri. Santri juga harus
membuang sampah pada tempatnya dan menaruhnya pada lokasi tertentu.
114
Santri yang lain (S. B dan S. N, pada 15 Januari 2015) juga memberikan
keterangan tentang kedisiplinan-kedisiplinan yang biasa dilakukan santri sebagaimana
yang mereka katakan:
Santri diharuskan mengantri jika mengambil nasi/rantang, mandi, belanja di
Wardah (warung ibadah), dalam menunggu giliran mengaji, mengambil
tabungan di bank mini, dan lain-lain. Selain itu, santri harus berdisiplin dengan
aturan yang mengharuskan santri izin dahulu sebelum keluar pesantren
termasuk jika ada keperluan seperti ada santri yang akan pergi berobat atau
santri yang bermaksud menjahitkan pakaian yang rusak di luar asrama. Jika
tidak izin dengan ustadz ataupun ustadzah maka dianggap minggat.
Kedisiplinan santri juga ditunjukkan dengan ketaatan santri pada peraturan
mengenai jadwal kunjungan orang tua ke pesantren dan adanya larangan bertemu
dengan sengaja dengan santri yang bukan muhrim. Sebagaimana wawancara dengan
santri putri (S. K, pada tanggal 15 Januari 2015) yang mengatakan:
Dalam sebulan kami hanya boleh dikunjungi satu kali yaitu pada hari Jum’at.
Mulai dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Selain dari waktu yang telah
ditentukan tersebut, santri tidak diperkenankan bertemu langsung dengan orang
tua ataupun wali santri. Kami harus pulang kembali tepat waktu. Jadi sebelum
jam lima sore, semua santri harus sudah berada di pondok. Jika telat maka akan
dikenakan denda ataupun berupa hukuman dapat bintang hitam. Untuk
larangan bertemu dengan sengaja bagi santri yang bukan muhrim. Kami sudah
faham dan berusaha menghindar dengan berbalik badan, mengucap
astaghfirullah, segera menjauh, atau itu tidak kami lakukan maka santri bisa
ditegur ataupun dimarahi ustadzah.
Dari hasil wawancara di dapat data bahwa pesantren Muqimus Sunnah telah
menerapkan serangkaian aturan yang membiasakan santri agar dapat hidup disiplin
dalam pesantren. Adanya jadwal tidur dan bangun dengan limit waktu tertentu.
Sebagaimana yang ditentukan dalam jadwal, santri harus bangun tidur sekitar 03.30
dan langsung merapikan tempat tidur, bergegas antri untuk mandi, berwudhu,
melakukan sholat tahajjud, membaca Al-Qur’an, melaksanakan sholat subuh
berjamaah di aula kebanggaan para santri, menghafal Al-Qur’an, dan bersiap dengan
pakaian sekolah. Semua kegiatan tersebut secara otomatis dikerjakan santri setiap
harinya tanpa harus dikomando lagi.
115
Kedisiplinan pada hal-hal lain juga dilakukan santri seperti santri harus
menempatkan ataupun meletakkan suatu barang pada tempat yang telah ditentukan,
contohnya santri akan meletakkan Al-Qur’an dan kitab-kitab pada rak khusus,
membuang sampah di kotaknya, meletakkan dan menyusun sepatu dan sandal yang
sudah dipakai di rak yang tersedia, dan meletakkan rantang makanan pada meja yang
telah ditentukan.
Selain hal-hal di atas, kedisiplinan santri dalam mengantri telah pula diterapkan
di pesantren Muqimus Sunnah. Santri mengantri untuk giliran mandi dimana santri
yang bangun terlebih dahulu maka dia pula yang mandi lebih dahulu dari yang lain.
Demikian pula jika santri belanja di wardah (warung ibadah), santri akan tertib
menunggu gilirannya siapa yang duluan datang maka dia pula yang terlebih dahulu
untuk dilayani sehingga tidak ada saling menyerobot. Atau juga dalam hal mengantri
giliran tahfidz, dimana santri akan menghadap ustadz ataupun ustadzah berdasarkan
urutan kedatangan mereka di kelas. Mengantri mengambil rantang makanan dan
tabungan pun berlaku hal yang sama.
Di pesantren Muqimus Sunnah juga telah diterapkan kedisiplinan santri dalam
mematuhi jadwal kunjungan bagi orang tua ataupun kerabat. Artinya, santri tetap tidak
diperkenankan bertemu jika tidak dalam jadwal kunjungan. Orang tua santri juga
sudah diberitahu mengenai hal tersebut. Tetapi bila ada santri yang sakit atau hal-hal
penting lainnya maka orang tua baru diperbolehkan untuk menjenguk. Memang
terdapat sejumlah santri di pesantren Muqimus Sunnah yang berasal dari daerah di
luar kota Palembang. Ada yang berasal yang dari kota Lahat, OKI, Prabumulih, Muara
Enim, dan Muara Dua OKU. Mengingat jarak yang jauh maka orang tua santri yang
datang menjenguk ke pesantren biasanya hanya beristirahat di pesantren sekaligus
bertemu dan mengobrol dengan anaknya. Atau kegiatan lain yang dapat mereka
116
lakukan adalah keluar pesantren sebentar untuk berbelanja keperluan santri dalam
sebulan yang akan datang.
Pesantren Muqimus Sunnah juga telah menerapkan larangan bagi santriwan
dan santriwati bertemu dengan sengaja terutama bagi yang bukan muhrim. Antara
santriwan dan santriwati tidak diperbolehkan untuk bertemu apalagi mengobrol tanpa
ada keperluan penting sekali. Itulah sebabnya pesantren juga telah memisahkan asrama
santriwan dan santriwati. Sehingga dapat meminimalisir kemungkinan untuk
terjadinya pertemuan antar santriwati dan santriwan. Tetapi walaupun dengan asrama
yang terpisah, mau tidak mau kadang mereka bertemu tanpa sengaja terutama sekali
bila ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di luar asrama. Untuk mengatasinya hal
tersebut, biasanya mereka berusaha untuk menghindar yaitu dengan langsung
membalikkan badan agar tidak bertemu muka. Hal observasi (15 Januari 2015) terlihat
tidak ada santriwan ataupun santriwati bukan muhrim yang sengaja untuk saling
bertemu, apalagi untuk mengobrol dengan bebas di dalam lingkungan pesantren.
Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan tidak terlalu peduli dengan
santriwati ataupun santriwan. Para santri juga sudah sangat menyadari larangan
tersebut, karena bila mereka tidak mematuhi aturan maka santri akan ditegur,
dimarahi, bahkan akan disidang oleh ustadz ataupun ustadzah.
7. Semangat Santri Untuk Mencapai Cita-cita.
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan maka tekad dan disiplin merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan santri. Karena dengan itu, santri akan menjadi
sosok pribadi yang kuat dan mantap dalam perjuangannya meraih cita-cita. Santri
harus senantiasa menjaga semangatnya untuk tidak mudah menyerah dan bersabar
dalam menghadapi rintangan. Hanya kerugianlah bagi santri-santri yang malas dalam
berbuat, enggan melakukan yang semestinya ia kerjakan. Tentu hal tersebut akan
berdampak pada kegagalan bagi diri santri.
117
Usaha yang dilakukan akan memberikan hasil yang sebanding dengan apa
yang akan didapat. Kesuksesan yang akhirnya berhasil diraih membuktikan bahwa
‘dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan’. Oleh karena itu, suatu keberhasilan
senantiasa didapat dengan usaha yang sungguh-sungguh. Allah sangat mencintai
orang-orang mukmin yang kuat, yang mampu menantang aral-rintang dengan
kesabaran dan keuletan, selalu bersemangat, berjuang tanpa menyerah. Berikut adalah
wawancara dengan santri putra (S. L dan S. D pada tanggal 20 Januari 2015) yang
mengatakan:
Saya bercita-cita menjadi hafidz dan ahli tafsir. Tapi harus disertai dengan
akhlak yang baik agar dapat membanggakan orang tua. Berusaha juga menjadi
yang terbaik dan ingin merubah gaya hidup masyarakat yang materialistik,
fashinist barat, serta kurang akhlak. Rata-rata santri punya cita-cita jadi hafizh.
Untuk itu kami diharuskan banyak membaca Al-Qur’an sekaligus
menghafalnya. Setiap selesai sholat subuh, hafalan kami disetorkan. Belajar
dengan sungguh-sungguh. Kebanyakan santri berebut dan berlomba-lomba
ingin jadi juara dalam hal apa saja. Persaingan tinggi, tetapi yang lebih
diinginkan adalah nilai kejujuran bagaimana dan darimana nilai itu didapat,
yang penting ilmu itu barokah.
Dari hasil wawancara yang diperoleh, para santri di pesantren Muqimus
Sunnah umumnya santri mempunyai cita-cita untuk menjadi hafidz dan ahli tafsir.
Untuk mencapai itu, santri telah berusaha untuk giat menghafal Al-Qur’an, belajar
tekun dan sungguh-sungguh, berlomba-lomba mencapai yang terbaik. Bahkan kadang
mereka harus mengulangi hafalannya hingga larut malam. Sebagaimana wawancara
dengan santri putri (S. S, pada tanggal 20 Januari 2015) yang mengatakan :
Biasanya kami diberikan kelonggaran atas aturan jadwal tidur santri dan
diizinkan untuk tidur diluar waktu yang ditentukan pesantren yaitu sekitar jam
10 malam. Rata-rata rutin menghafal Al-Qur’an dalam sehari biasanya
sehalaman ataupun selembar. Harus lebih sering nyetor hafalan, apalagi
sekarang pesantren kami sudah banyak hafidz dan hafidzoh. Jadi santri tidak
terlalu ngantri untuk setoran. Mudah-mudahan saja hafalan kami cepat selesai.
Jika ada kesempatan dan waktu luang, kami dapat mengejar setoran hafalannya
lebih dari biasanya. Untuk santriwati, biasanya mereka lakukan pada setiap
selesai sholat subuh, sedangkan untuk santriwan ada tambahan waktu pada
setiap hari kamis mulai dari pagi hari hingga menjelang waktu zuhur tiba.
118
Persaingan yang tinggi menjadikan berusaha untuk mendapatkan hal yang
terbaik, maka mereka bergiat untuk belajar. Semangat, tekad kuat, dan keikhlasan
santri hidup di pesantren dengan serangkaian aturan-aturan yang mengikat harus
dijalani mereka dengan kerelaan. Tuntutan untuk hidup mandiri yang terpisah jauh dari
keluarga dan orang tua, membuat mereka umumnya belajar lebih tekun, serius, dan
harus mampu mengerjakan setiap tugas yang diberikan ustadz ataupun ustadzah
dengan nilai yang terbaik. Mereka berlomba-lomba mencapai hal itu dengan caranya
masing-masing. Diperkuat pula observasi di lapangan (20 Januari 2015) yang
menunjukkan bahwa santri-santri di pesantren Muqimus Sunnah jarang menyia-
nyiakan waktu luang untuk hal-hal dianggap kurang penting. Mereka lebih banyak
memanfaatkannya untuk mengulangi hafalan Al-Qur’an ataupun membaca buku
sambil duduk-duduk santai ataupun santri akan mengerjakan tugas-tugas pelajaran.
8. Tingkat Religiusitas Santri
Religiusitas warga pesantren khususnya santri merupakan sikap taat dan
keteguhan santri dan warga pesantren dalam meyakini dan mengamalkan ajaran agama
Islam. Intensitas kegiatan yang begitu padat di pesantren merupakan suatu usaha yang
sangat serius bagi santri dalam mengikutinya guna mendapatkan hasil yang maksimal.
Hal tersebut dapat tercermin dalam tingkah laku baik dalam hal ibadah kepada Allah
dan akhlak bergaul dengan sesama. Berikut wawancara dengan santri putri (S. M dan
S. B, pada tanggal 20 Januari 2015) yang mengatakan :
Setiap sholat fardhu, santri diharuskan selalu untuk berjamaah termasuk
ustadz/ustadzah. Kalau tidak jamaah ada hukuman, kecuali kalau ada santri
yang sakit. Selain sholat wajib, santri diharuskan pula mengerjakan sholat-
sholat sunnah. Witir, qobliyah dan ba’diyah, dhuha, tahajjud, taubat, hampir
kami lakukan setiap hari. Kami juga melaksanakan sunnah-sunnah yang lain
seperti berpuasa Senin-Kamis, Rajab, Syawwal, hari Arafah, dan yang lainnya.
Karena santri di sini ingin menegakkan sunnah Rasul. Apalagi kami disediakan
makan sahur dan berbuka oleh pihak pesantren Jadi tidak ada alasan untuk
tidak mengerjakannya.
119
Selain ibadah-ibadah yang telah disebutkan di atas, santri juga diharuskan
untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah yang lain. Memperbanyak sholawat dan
menyantuni anak yatim juga senantiasa santri lakukan di pesantren Muqimus Sunnah.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam wawancara dengan santri putri (S. Y dan S. D,
pada tanggal 20 Januari 2015) yang mengatakan :
Banyak-banyak sholawat. Minimal 100 kali setiap harinya. Biasanya kami
lakukan sehabis sholat dan sebelum sholat karena ingin mendapat syafaat nabi
Saw. Kami juga diharuskan untuk senantiasa menjaga wudhu apalagi santri di
sini banyak yang menghafal Al-Qur’an. Selain itu, kami harus banyak sedekah
dan juga turut menyantuni anak-anak yatim, yaa..seadanya santri. Karena di
sini (pesantren) pada setiap hari Jum’at ada program “Cinta Anak Yatim”,
sekitar 30 orang anak yatim.
Dari hasil wawancara diperoleh bahwa di pesantren Muqimus Sunnah telah
berlangsung suatu kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi dimana seluruh warga
pesantren khususnya santri melaksanakan perintah Allah SWT dalam bentuk rutinitas
ibadah. Para santri dan seluruh warga pesantren termasuk ustadz ataupun ustadzah
melaksanakan sholat-sholat fardhu berjamaah, berzikir, dan membaca Al-Qur’an.
Tidak hanya sholat-sholat fardhu, para santri juga melaksanakan sholat-sholat sunnah
witir, dhuha, qobliyah, ba’diyah, taubat, tahajjud dan seterusnya.
Selain perihal sholat, para santri dan seluruh warga pesantren juga
membiasakan diri untuk selalu menjalankan puasa sunnah. Sebagaimana mereka
menyatakan bahwa dengan berpuasa sunnah maka mereka ingin menegakkan sunnah
Rasul. Sehingga pada hampir setiap puasa sunnah Senin-Kamis ataupun puasa sunnah
yang lain seperti puasa di bulan Rajab, Syawwal, dan hari Arafah umumnya mereka
melaksanakannya. Pesantren juga telah menyediakan keperluan mereka untuk makan
sahur dan berbuka setiap pada hari-hari tersebut.
Di dalam pesantren Muqimus Sunnah juga dihidupkan untuk senantiasa
banyak bersholawat kepada nabi Muhammad SAW. Setidaknya para santri
melakukannya secara bersama sehabis sholat dan sebelum sholat fardhu minimal 100
120
kali. Karena ingin mendapat syafaat nabi SAW, demikian pendapat santri. Selain itu
pula, santri dibiasakan untuk senantisa menjaga wudhu. Terlebih lagi karena
kebanyakan dari mereka merupakan santri penghafal Al-Qur’an. Sedangkan untuk
membiasakan para santri dalam beramal sedekah. Pihak pesantren sudah membuat
jadwal tersendiri yaitu pada hari Jum’at sore diadakan kegiatan program “Cinta Anak
Yatim”. Hal tersebut dilakukan selain sebagai bentuk rasa syukur atas segala nikmat
rezeki yang diberikan Allah juga sebagai bentuk kepedulian sosial santri terhadap
sesama. Dimana para santri biasanya turut menyantuni anak-anak yatim tersebut.
Melalui pembiasaan menyantuni anak yatim ini, tentu pihak pesantren mengharapkan
akan mendidik dapat para santri agar terbiasa melakukannya meskipun kelak mereka
sudah tidak berada di dalam pesantren. Dengan demikian, seluruh sikap ketaatan dan
keteguhan santri khususnya dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Islam di dalam
lingkungan pesantren Muqimus Sunnah akan dapat senantiasa memunculkan gerak
kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi dalam seluruh bagian pesantren.
C. Implikasi Kultur Pesantren Terhadap Perilaku Islami Santri
Pesantren sebagai pendidikan dengan basis nilai, keyakinan, dan budaya maka
diperlukan adanya pembiasaan-pembiasaan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga
nilai-nilai ajaran Islam itu dapat terinternalisasi dalam diri santri yang pada akhirnya
dapat membentuk perilaku Islami santri. Pembiasaan merupakan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus dan dalam kehidupan sehari-hari santri sehingga
menjadi suatu kebiasaan yang baik. Dimana pembiasaan tersebut dapat melalui
pengembangan moral dan nilai-nilai agama, pengembangan sosio emosional dan
kemandirian. Dengan pengembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan dapat
meningkatkan ketaqwaan para santri pada Allah SWT dan membantu terbentuknya
121
perilaku Islami pada diri santri. Demikian pula dengan pengembangan sosio-
emosional, dimana para santri diharapkan dapat memiliki sikap gemar membantu
orang lain, dapat mengendalikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Peran pesantren dalam hal ini pimpinan pesantren (Kyai ataupun wakil Kyai)
sebagai pembuat aturan ataupun peraturan dalam pesantren telah mampu membangun
kultur pesantren dengan baik. Adanya Standar Operasional Prosedur bagi seluruh
warga pesantren terutama guru ataupun ustadz/ustadzah, santri dan termasuk karyawan
di pesentren Muqimus Sunnah serta telah tersusunnya jadwal kegiatan harian,
mingguan dan bulanan adalah sebagai acuan bagi warga pesantren khususnya dalam
rangka menjalankan semua aktivitas keseharian di dalam lingkungan pesantren.
Sehingga dengan demikian akan dapat membangun tradisi tersendiri dalam lingkungan
pesantren Muqimus Sunnah. Selain itu, peran para pengasuh juga menjadi hal yang
sangat penting. Dimana tugas mereka adalah dalam rangka mengarahkan dan
memonitor penerapan kultur pesantren tersebut, apakah sudah berjalan sebagaimana
yang diharapkan atau belum.
Implikasi kultur pesantren terhadap pembentukan perilaku Islami santri di
pesantren Muqimus Sunnah yang didapat berdasarkan hasil wawancara serta diperkuat
dengan hasil observasi telah menunjukkan kearah yang dicita-citakan. Artinya
penerapan kultur pesantren telah dapat menimbulkan kesadaran diri pada santri atas
apa yang berlaku di pesantren. Aturan, peraturan, dan berbagai kegiatan yang
mendukungnya memunculkan implikasi internal dan eksternal. Dimana implikasi
internal dapat dilihat dari :
1. Terjalin Komunikasi dan Hubungan yang Akrab
Antara Kyai (Ustadz/Ustadzah) dengan Santri
122
Telah disebutkan di awal bahwa pesantren dengan dinamika masyarakat di
dalamnya tidak lepas dari pola hubungan sosial yang terjadi antara anggota-anggota
masyarakat pesantren itu sendiri seperti Kyai, ustadz, ustadzah dan para santri.
Dimana hubungan sosial tersebut merupakan bentuk interaksi sosial yang bersifat
dinamis baik menyangkut hubungan antara individu dengan individu, antara
kelompok-kelompok manusia, antara individu dengan kelompok manusia. Galba
(1995: 54) menyatakan bahwa bentuk-bentuk hubungan dalam suatu pesantren dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu hubungan antara santri dengan santri dan hubungan
antara Kyai dan santri.
a) Hubungan santri dengan santri, tumbuh dalam sistem sosial tersendiri di
pesantren. Dimana hubungan yang terjadi antar santri adalah hubungan-
hubungan yang bersifat pertemanan dan kekeluargaan (Galba, 1995: 56-61).
Oleh karena hubungan santri dengan santri menyangkut pula kemandirian dan
kedisiplinan santri maka akan dibahas kemudian.
b) Hubungan antara Kyai dan santri telah mengalami banyak perkembangan.
Dimana Kyai secara tradisional dianggap mempunyai otoritas yang tidak
tergoyahkan dan dianggap sebagai tokoh yang kharismatik. Ketundukan dan
sikap hormat santri pada pemimpin atau Kyai digambarkan sebagai hal yang
sangat luar biasa. Rasyid (1998: 305) mengatakan Kyai dan santri akan
berinteraksi secara kontinyu dan lama di pesantren sehingga seluruh kegiatan
santri dapat diawasi dan dibentuk oleh Kyai yaitu dengan meningkatkan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan
menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Sebagai dua entitas yang memiliki kesadaran yang sama untuk secara bersama-
sama membangun komunitas keagamaan dalam pesantren. Nilai-nilai sosial yang
123
berlaku di masyarakat telah menyandera pikiran dan perilaku yang pada akhirnya
memunculkan pola hubungan atas bawah antara Kyai dan santri. Dalam tradisi
pesantren, sistem hubungan antara guru dengan murid (santri) berlangsung seumur
hidup baik bagi Kyai maupun santri. Dimana perasaan hormat dan kepatuhan murid
kepada gurunya berlaku mutlak dan tidak kenal putus. Bahkan bagi murid (santri), ia
masih perlu hormat kepada anak keturunan Kyai (Dhofier, 2011: 125). Kepatuhan dan
penghormatan yang diberikan santri kepada Kyai dalam konteks tradisi keilmuan
pesantren adalah tingkah laku yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang
penuntut ilmu.
Oleh karena itu, Suprayogo (2007: 34) mengatakan bahwa sikap hormat,
takzhim dan kepatuhan kepada Kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan
pada setiap santri. Kepatuhan mutlak diperluas sehingga mencakup penghormatan
kepada para ulama sebelumnya dan ulama yang mengarang kitab-kitab yang
dipelajarinya. Bahkan sikap patuh tidak hanya diperuntukkan bagi Kyai atau
pengarang kitab, namun kepada keluarga Kyai (anak) juga ditampakkan. Walaupun
sekarang pola hubungan yang demikian telah mengalami banyak perubahan dalam
rangka menciptakan pesantren masa depan yang lebih humanis. Karena dalam
perspektif humanisme religius, posisi santri diharapkan menghormati Kyai sebagai
rasa ta’dhim kepada seorang guru dan sebaliknya.
Pola komunikasi yang berlangsung timbal balik antara Kyai dan santri dengan
batasan tertentu telah dijalankan di pesantren Muqimus Sunnah. Di satu sisi Kyai
ataupun ustadz/ustadzah tidak lagi sepenuhnya menerapkan hubungan atas-bawah.
Kyai (selanjutnya di sebut dengan ustadz/ustadzah) sebagai guru lebih bijaksana dalam
perannya tersebut, bukan semata-mata memberi pengetahuan ataupun materi-materi
pelajaran akan tetapi posisi mereka juga merangkap sebagai orang tua bagi santri
seperti halnya anak-anak mereka. Komunikasi antara ustadz/ustadzah lebih mengarah
124
pada layaknya orang tua kepada anaknya. Di sisi lain, santri menjadi tidak canggung
untuk berkomunikasi secara intensif dengan ustadz/ustadzah. Khusus santri putra
(selanjutnya disebut santriwan) lebih banyak berkomunikasi dengan ustadz demikian
sebaliknya dengan santri putri (selanjutnya disebut santriwati) akan lebih komunikatif
pada ustadzah. Komunikasi yang lancar antara santri dengan gurunya tersebut terlihat
dari kemudahan-kemudahan bagi santri untuk belajar ataupun bertanya di luar jam
mengaji yang biasanya dilakukan dengan gaya bahasa yang tidak formil, santri juga
kadang mengadukan suatu hal tentang yang terjadi di dalam asrama kepada
ustadz/ustadzah dan seterusnya.
Selain itu, ustadz/ustadzah di pesantren Muqimus Sunnah sering memberikan
nasehat-nasehat pada santri terutama setelah selesai melaksanakan sholat. Nasehat
tersebut biasanya menyuruh mereka untuk senantiasa berbuat kebaikan, rajin
mengerjakan hal-hal sunnah seperti sholat sunnah taubah dan berpuasa sunnah senin
kamis ataupun puasa hari-hari tertentu lainnya. Santri juga diajari ustadz/ustadzah
untuk senantiasa dapat berbagi dengan sesama, dan tidak boleh kikir dengan teman
serta senantiasa memuliakan dan menyayangi anak yatim dengan cara menyantuni
mereka.
Dalam tradisi ketundukan dan kepatuhan santri, tampak santri pesantren
Muqimus Sunnah sangat menaruh hormat kepada Kyai termasuk ustadz/ustadzah.
Santriwan khususnya biasanya akan mencium tangan ketika bertemu dengan Kyai.
Para santri juga menundukkan badan dan tidak berani untuk berjalan mendahului Kyai
terlebih lagi setelah kegiatan pengajian, umumnya para santri hanya berjalan
mengiringi dari belakang Kyai. Hampir seluruh santri mematuhi setiap perintah
ataupun nasehat-nasehat yang diberikan Kyai. Mereka jarang sekali untuk membantah,
alasannya agar ilmu yang diberikan menjadi barokah dan hidup santri menjadi
125
selamat. Dengan kebiasaan demikian, maka membuat para santri menjadi terbiasa
untuk bersikap patuh bukan saja kepada guru tetapi juga kepada orang tua mereka.
2. Kemandirian dan Kedisiplinan Santri
Kemandirian dan kedisiplinan santri ditunjukkan dari cara santri bersikap dan
berprilaku. Mulai dari bangun tidur sampai beranjak tidur lagi, para santri
membiasakan diri untuk disiplin terhadap norma dan nilai yang berlaku di pesantren.
Peran penting pengasuh pesantren dalam memberikan arahan dan bimbingan pada
santri sangat diperlukan untuk menerapkan nilai-nilai dalam keseharian santri. Dimana
dalam pembentukan perilaku lewat kedisiplinan memerlukan ketegasan dan
kebijaksanaan. Ta’zir merupakan salah satu metode memupuk kesadaran para santri
supaya bertanggung jawab. Setiap pelanggaran atas ketentuan yang berlaku harus
dipertanggung jawabkan dengan menjalani ta’zir. Misal, santri yang merokok
digundul, santri yang melalaikan tugasnya membersihkan wc, dan lain sebagainya.
Dalam batas-batas tertentu, hukuman dapat menjadi instrumen pendidikan bagi santri
yang bermasalah. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman
ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah
tidak bisa diperbaiki. Hukuman juga dapat diberikan kepada santri yang melanggar
dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren. Sedangkan
kemandirian merupakan unsur terpenting dari moralitas yang bersumber pada
masyarakat (Nasrun dalam Octavia, dkk., 2014: 211). Dimana kemandirian itu sendiri
tumbuh dan berkembang karena dua faktor yaitu disiplin dan komitmen terhadap
kelompok. Nasrun dalam Maulidiyah (2005: 24) menyebutkan bahwa kemandirian
itu ditandai dengan adanya perilaku:
a) Mengerjakan sendiri tugas-tugas rutinnya, yang ditunjukkan dengan kegiatan
yang dilakukan dengan kehendaknya sendiri dan bukan karena orang lain dan
tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian santri yang sudah tampak di
126
lapangan ditunjukkan dengan adanya sebagian besar santri pesantren Muqimus
Sunnah yang membersihkan dan merapikan kamar sendiri. Menyapu, menyusun
buku dan pakaian dengan rapi di lemari santri telah biasa mereka lakukan
walaupun ada santri yang telah diberi tugas piket kamar setiap harinya. Selain itu,
santri juga telah mandiri dalam mengerjakan tugas-tugas pelajaran dan belajar
tanpa harus menunggu perintah ustadz ataupun ustadzah.
b) Aktif dan bersemangat, yaitu ditunjukkan dengan adanya usaha untuk mengejar
prestasi maupun kegiatan yang dilakukan tekun merencanakan serta mewujudkan
harapan-harapannya. Persaingan yang tinggi dalam hal mengejar prestasi yang
terbaik telah ditunjukkan hampir seluruh santri di pesantren Muqimus Sunnah.
Umumnya mereka giat, tekun, dan serius dalam belajar. Mereka bersemangat
dalam mengerjakan sholat-sholat fardhu berjamaah, mengerjakan sholat-sholat
sunnah, berzikir, tadarus Al-Qur’an, melaksanakan puasa-puasa sunnah,
bersholawat kepada nabi Muhammad SAW, dan melakukan amal sedekah
terutama untuk anak-anak yatim terutama setiap pada hari Jum’at. Termasuk
dalam mengejar setoran hafalan al-Qur’an, mereka harus menghafal hingga
malam hari agar besok sudah bisa disetor hafalannya kepada ustadz ataupun
ustadzah.
c) Inisiatif, yaitu memiliki kemampuan berfikir dan bertindak secara kreatif. Ide-ide
kreatif santri di pesantren yang nampak adalah dalam memanfaatkan barang-
barang yang sudah tidak terpakai menjadi bernilai seni. Seperti memanfaatkan
gallon air minum santri yang sudah tak terpakai (pecah) dan kemudian santri
mengecat gallon tersebut dengan gambar-gambar ataupun tulisan-tulisan menurut
daya kreatifitas mereka. Ada yang menggambar tentang aliran air dalam
kehidupan manusia, pohon-pohon, bunga-bunga, dan sebagainya. Selain itu, santri
juga dituntut berfikir kreatif dalam menyiasati hal keuangan agar cukup hingga
akhir bulan terutama bagi santri yang hanya sedikit mendapat uang kiriman dari
127
orang tuanya. Biasanya santriwati dengan jiwa entrepreneur akan membuat
kerajinan tangan manik-manik berbentuk tempat pena atau boneka-boneka kecil
untuk gantungan kunci kemudian santri akan menitipkan ke warung ibadah untuk
dijual atau santri dapat menjualnya langsung pada teman santri yang lain.
d) Bertanggung jawab, yang ditunjukkan dengan adanya disiplin dalam belajar,
melaksanakan tugas dengan baik dan penuh pertimbangan. Santri di pesantren
Muqimus Sunnah pada hampir setiap tugas yang diberikan ustadz ataupun
ustadzah telah dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak dilalaikan. Setiap tugas
harus mereka kerjakan dengan segera karena tugas-tugas yang lain juga sudah
menunggu. Karena itu baik dalam belajar, mengerjakan PR sekolah/pengajian,
tugas piket kebersihan selalu dikerjakan sesuai aturan yang berlaku.
e) Kontrol diri yang kuat, yaitu ditunjukkan dengan adanya mengendalikan tindakan,
mengatasi masalah, dan mampu mempengaruhi lingkungan atas usaha sendiri. Di
pesantren Muqimus Sunnah santri sudah terbiasa harus bersabar dalam hal
mengantri mengambil makanan, menunggu giliran mandi, mengantri dalam
mengambil tabungan dan juga harus bersabar dalam menunggu giliran untuk
setoran hafalan. Demikian pula dalam memupuk rasa kepedulian terhadap sesama
dan saling tolong serta memelihara rasa persaudaraan antara teman dilakukan
dengan cara santri membagi makanan kepada teman, membantu teman yang sakit,
membantu mengangkat barang bawaan teman yang berat ataupun hal lainnya.
Begitupun dalam aktivitas gotong royong pada kegiatan pembersihan yang
dilakukan pada setiap hari Jum’at.
Dengan demikian para santri pesantren Muqimus Sunnah, umumnya dalam
mengerjakan suatu kegiatan tidak lagi sepenuhnya berharap bantuan orang lain
termasuk temannya. Semua terbiasa mengerjakan tugas-tugas sekolah, tugas piket,
serta beberapa tugas lain secara mandiri dalam disiplin waktu dan tempat. Aturan dan
peraturan yang telah ada mereka sudah menjalankan dengan sebaik-baiknya.
128
Kehidupan yang serba teratur menjadikan santri berdisiplin dengan semua aktivitas
keseharian yang dijalaninya. Santri tidak hanya mandiri terhadap kebutuhan-
kebutuhannya sendiri seperti mencuci pakaian dan belajar, akan tetapi juga dalam
mengurus keperluan-keperluan bersama seperti mengisi atau mengganti galon air
mineral yang kosong pada setiap depan ruangan kamar santri. Karena asrama
santriwati dan santriwan berada di lantai 2 dan 3 maka para santri harus kerjasama dan
gotong royong untuk dapat membawa galon air itu ke lantai atas.
Terkait dengan kebiasaan santri yang bersifat rutinitas tersebut, santri di
pesantren Muqimus Sunnah telah menunjukkan kecenderungan menjadi santri yang
lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara
mandiri, seperti dalam hal pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan
aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kehidupan mereka
yang tidak tinggal bersama orangtua mereka serta adanya tuntutan pesantren yang
menginginkan para santri untuk dapat hidup dengan berdikari. Santri juga telah dapat
melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas
seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama.
Pembentukan perilaku Islami santri melalui kedisiplinan sangat dituntut di
pesantren. Dimana hal tersebut memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan pengasuh
dalam memberikan sanksi bagi pelanggar agar dapat berbuat adil dan arif, tidak
terbawa emosi atau dorongan lain. Dimana santri yang melakukan pelanggaran di
pesantren Muqimus Sunnah, biasanya ditandai dengan pemberian bintang hitam
sebagai sanksi. Setiap satu pelanggaran berarti santri mendapat satu bintang hitam.
Semakin banyak santri mendapatkannya maka semakin berat sanksi yang dijatuhkan.
Sanksi tersebut beragam mulai dari yang ringan sampai yang berat. Seperti santri
diharuskan membersihkan kamar tidur, kamar mandi, menyapu halaman, atau dapat
juga berupa sanksi lain seperti santri diharuskan menggantinya dengan minyak goreng,
129
semen, dan lain-lain. Tentu semua itu menurut kadar kesalahan santri agar dijadikan
pelajaran berharga bagi santri. Sehingga dengan demikian santri sudah terbiasa untuk
senantiasa disiplin dalam berbagai hal termasuk disiplin waktu.
Implikasi eksternal dapat dilihat dari interaksi santri dengan kehidupan di luar
pesantren baik dalam keluarga, masyarakat sekitar dan stake holder.
1. Berkembangnya Nilai-nilai Religius Santri Di Luar Lingkungan Pesantren.
Nilai dalam realitas yang dipraktikkan dari dunia pesantren sebenarnya adalah
membangun kesucian dan keindahan secara nyata dalam kehidupan. Tidak sekedar
membangun kata, tetapi juga membangun tindakan konkret sehingga Rahman dan
Rahim Allah benar-benar nyata dalam kehidupan sehari-hari (Octavia, dkk., 2014: x).
“Ilmu yang diamalkan”, demikian yang diistilahkan dalam kalangan pesantren.
Dimana dalam proses transformasi nilai dari pesantren ke masyarakat di sekitar
lingkungan diri santri harus dapat menyampaikan pesan-pesan yang dapat
menginspirasi kesadaran orang-orang di lingkungannya tersebut. Untuk itu santri harus
maksimal dalam mengerjakan segala perintah dan menjauhi semua larangan Allah
SWT. Lebih menomorsatukan keridhoan disisi Allah Swt dibandingkan dengan segala
sesuatu yang dimilikinya. Menjalankan tanggung jawab dengan baik. Dimana dalam
konteks tersebut adalah memenuhi hak-hak sesama manusia seperti tidak menyebarkan
rahasia atau aib orang lain, dan memenuhi tugas yang semestinya.
Berkembangnya nilai-nilai kejujuran santri teraktualisasikan pula dalam sikap
jujur pada diri sendiri dan orang lain (tidak berbohong) baik dalam perilaku, ucapan
maupun tanggung jawab, menampilkan diri sendiri dengan apa adanya (‘tidak neko-
neko’), tidak mengambil hak orang lain, dan seterusnya. Sebagaimana Imam Al-
Ghazali dalam Octavia, dkk., (2014: 235) mengatakan bahwa kejujuran digunakan
dalam beberapa hal, yaitu : perkataan, niat, visi, menepati janji, perbuatan. Kejujuran
termasuk salah satu tahapan pencapaian spritual yang harus dilalui agar kepribadian
130
seseorang semakin matang dan saleh. Selain itu santri dalam tata pergaulan di dalam
keluarga dan masyarakat harus lebih mengutamakan sikap sabar yaitu dengan
menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam,
karena sabar atau kesabaran memiliki dimensi untuk mengubah sebuah kondisi, baik
yang sifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik (Octavia,dkk.,
2014: 271-272).
2. Berbakti Kepada Orang Tua dan Berbuat Baik Kepada Orang Lain.
Berbakti kepada orang tua adalah amal yang paling utama yang dapat
menghilangkan kesulitan yang sedang dialami dengan cara bertawassul dengan amal
sholeh tersebut. Begitu besarnya jasa orang tua sehingga apapun yang dapat dilakukan
santri untuk menunjukkan bakti pada orang tua tidak akan dapat membalas jasa
keduanya. Beberapa cara dapat dilakukan santri dalam rangka memuliakan orang tua
seperti lemah lembut dalam bertutur kata, membantu berbagai pekerjaan rumah yang
menjadi rutinitas orang tua, ringan tangan menjalankan perintah orang tua, bersikap
sabar dan menahan amarah, memberi hadiah yang dapat menyenangkan hati orang tua,
merawat mereka saat usia semakin renta, dan mendoakan orang tua jika mereka telah
meninggal dunia.
Sebagai makhluk sosial, santri juga dituntut untuk selalu berbuat baik terhadap
sesama dalam kondisi apapun tak terkecuali bagi orang-orang terdekat di sekeliling
santri seperti tetangga, teman, saudara, dan seterusnya. Dengan demikian berbuat baik
untuk orang lain tanpa harus memandang suku, warna kulit, dan status sosial.
Sehingga segala bentuk interaksi sosial antar kaum mukmin seyogyanya dilandasi
dengan cinta sebagai konsekwensi keimanan yang sempurna kepada Allah (Hajjaj,
2013: 233). Membenci dan mencintai dalam tata pergaulan sosial di tengah
masyarakat harus dilakukan dalam konteks demi meraih keridhaan Allah SWT.
131
Orang yang disebut muslim adalah orang yang menjamin keselamatan bagi
pihak lain dan tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Nabi
Muhammad Saw mengatakan, “Al-muslimu man salima al-muslimun min yadihi wa
lisanihi,” orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak melukai dan
merugikan orang lain (Octavia, dkk., 2014: 64). Dalam kehidupan sehari-hari para
santri terus diingatkan untuk menjaga sikap rendah hati, tidak merasa paling pintar
dalam bidang agama sehingga santri senantiasa terdorong untuk selalu belajar dan
tidak cepat merasa puas akan ilmu yang telah didapatkan.
Selain itu, santri juga harus senantiasa mendahulukan orang yang lebih tua.
Bersikap ikhlas dalam beramal ibadah sehingga akan tercapai ihsan. Sebagaimana
Hajjaj (2013: 277) menjelaskan bahwa ihsan merupakan posisi mulia dan derajad
luhur serta tinggi yang dicapai seorang hamba mukmin ketika ia mencapai
kesempurnaan iman dan kesejatian Islam. Dimana kesempurnaan imannya
teraktualisasikan dalam keyakinannya yang teguh akan kebenaran masalah-masalah
ghaib yang disampaikan Rasulullah SAW. Aktualisasi sikap yang sesuai hadist
Rasulullah tersebut adalah memaafkan orang yang berbuat zalim, menyambung
silaturrahim orang yang memutus hubungan, dan memberi sesuatu kepada orang yang
tidak mau memberi. Bersikap sederhana, tidak berlebihan dan membudayakan malu
(haya). Oleh karena menurut Ritonga (2005: 217), malu adalah kondisi objektif
kejiwaan yang merasa tidak senang, merasa rendah dan hina karena melakukan
perbuatan yang tidak baik. Malu merupakan bagian dari iman, yang dapat
mendekatkannya pada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Sikap malu akan
mencegah seorang mualim untuk melakukan perbuatan dosa. Selain itu juga akan
menjadikan seorang mualim untuk berbicara benar dalam berbagai kondisi. Rasulullah
SAW adalah orang yang sangat pemalu, sehingga beliau tidak pernah berbicara kecuali
yang baik-baik saja.
132
D. Hambatan dan Kendala
Beberapa hambatan kadang juga ditemui ustadz dan ustadzah pengasuh dalam
menerapkan kultur pesantren pada santri. Hal tersebut terungkap dari wawancara
dengan ustadz pengasuh (U. M, pada hari Sabtu tanggal 10 Januari 2015 jam 16.00
sore) yang mengatakan :
Pelaksanaan kultur pesantren di pesantren Muqimus Sunnah secara umum
telah berjalan baik sebagaimana mengacu pada aturan dan peraturan yang
dibuat pimpinan pesantren. Memang jarang ada santri yang ditemukan
melanggar. Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan pada perilaku antara
santri yang baru masuk dengan santri yang sudah lama belajar di pesantren.
Umumnya santri yang baru, belum sepenuhnya menerima dan melaksanakan
semua jadwal kegiatan seperti yang telah tercantum. Diantara mereka kadang
ada yang masih berontak. Seperti masih ada santri yang terlambat datang ke
aula untuk sholat berjamaah, telat datang ke pengajian, selesai sholat fardhu
tidak lagi mengerjakan sholat sunnah yang lain, atau juga pernah ada yang
pura-pura sakit ketika di pesantren melakukan kegiatan pembersihan bersama.
Mungkin semua hal itu disebabkan mereka masih terbiasa hidup di luar
pesantren dengan pola hidup yang cenderung bebas dari aturan sehingga
mereka tidak terbiasa dan berat melaksanakannya.
Dengan demikian yang terjadi pada sebagian kecil santri belum sepenuhnya
menjalankan aturan dan peraturan yang diterapkan di pesantren. Terutama sekali untuk
santri yang baru masuk. Ada santri yang mencoba membandel seperti selalu datang
telat dalam kelas ketika ada pengajian, tidak menyimak dengan baik ketika ustadz
ataupun ustadzah menjelaskan materi pelajaran ataupun ribut di kelas.
Kecenderungan mereka yang masih membawa sifat dan cara-cara sebelum
mereka masuk ke pesantren sehingga masih memerlukan latihan dan pembiasaan.
Latar belakang dan proses pendidikan santri di rumah yang berbeda-beda juga bisa
jadi menjadi penyebab kurang taatnya santri pada aturan di dalam lingkungan
pesantren. Sebagaimana contoh santri yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang
mandiri di lingkungan tempat tinggalnya tentu akan membawa perilaku mandiri pula
di dalam kehidupan pesantren. Sehingga dengan demikian santri tersebut tidak terlalu
menemui kendala dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan pesantren.
133
Akan berbeda halnya dengan santri yang berasal dari lingkungan keluarga yang
selalu menggantungkan diri kepada orang lain ataupun orang tua. Tentu santri yang
demikian akan mengalami banyak kesulitan untuk dapat hidup mandiri dan disiplin di
dalam lingkungan pesantren. Sehingga sewaktu di dalam pesantren akan ditemui
bahwa ada santri yang terbiasa terlambat datang ke Aula untuk melaksanakan sholat
berjamaah, jika keluar asrama pesantren untuk suatu keperluan tanpa izin terlebih
dahulu pada ustadz ataupun ustadzah, atau juga ada santri yang masih suka menjahili
santri yang lain. Sehingga untuk menghadapi masalah santri yang demikian maka
tentu memerlukan waktu dalam proses pembinaannya. Hal ini terungkap dari
wawancara yang dilakukan dengan ustadzah (U. S, pada hari Senin tanggal 19 Januari
2015 jam 13.00 siang) yang mengatakan :
Masih ada santri yang keluar tanpa izin ustadzah, tapi itu biasanya santri yang
baru masuk. Mungkin mereka belum faham dengan aturan di pondok. Mereka
dinasehati dulu, jika melanggar lagi maka akan dapat sanksi. Mulai dari yang
ringan seperti santri akan mendapat satu bintang hitam, bahkan sanksi yang
terberat biasanya menyangkut hal fatal seperti santri berkelahi atau mencuri.
Jika yang terjadi demikian maka santri akan langsung dikeluarkan dari
pesantren. Hal itu sudah pernah terjadi beberapa tahun silam. Tapi
Alhamdulillah, untuk beberapa tahun terakhir tidak ada kasus serius. Ada juga
orang tua yang protes. Tetapi itulah adanya, kalau anaknya dipercaya untuk di
didik di sini (pesantren) maka orang tua harus turut mendukungnya selagi hal
itu dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan. Tapi secara umum saya
bangga bahwa santri di sini (pesantren Muqimus Sunnah) sudah dapat
melaksanakan jadwal kegiatan dengan baik tanpa dikomando lagi. Pengasuh
santri perkamar hanya mengarahkan dan mengontrol setiap kegiatan yang
dilakukan santri.
Dalam hal kemampuan dasar yang dimiliki santri, tidak jauh berbeda dengan
latar belakang santri. Kemampuan dasar yang dimiliki santri juga berbeda-beda,
sekalipun mereka sudah melalui seleksi untuk masuk ke pesantren. Rata-rata para
santri yang di terima di pesantren Muqimus Sunnah sudah memiliki kemampuan yang
memadai. Tetapi walaupun demikian adanya perbedaan kemampuan dasar tersebut
juga perlu diasah dan dibiasakan dalam lingkungan pesantren yaitu dengan adanya
jadwal-jadwal kegiatan setiap hari yang telah diatur sedemikian rupa. Seperti adanya
134
jadwal belajar khusus, latihan-latihan tentang kedisiplinan baik soal waktu dan tempat,
latihan dan pembiasaan dalam mengerjakan sholat fardhu secara berjamaah,
menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti berpuasa sunnah, latihan kemandirian
dalam berbagai aspek kehidupan dalam pesantren seperti dalam hal cara berpakaian
sesuai aturan pesantren, pengaturan pada pola penggunaan keuangan, pembiasaan akan
pola hidup bersih, mendawamkan membaca Al-Qur’an, serta kegiatan-kegiatan lain
yang tentunya akan dapat memacu santri agar mampu memperbaiki diri menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Sebagaimana wawancara dengan ustadzah yang lain (U.H, pada
hari Senin tanggal 19 Januari 2015 jam 10.00 pagi) yang mengatakan :
Santri secara keseluruhan sudah menjalankan semua kegiatannya tanpa
keterpaksaan dan dengan penuh kesadaran diri akan kewajibannya. Santri
harus rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar di sini. Walaupun memang
masih ada saja beberapa orang santri yang sulit untuk diatasi. Jika ditegur,
seperti diabaikan. Kadang juga harus dilakukan berkali-kali. Untuk
menghadapi hal tersebut, kami harus mengundang orang tua santri dan
membicarakannya bersama. Bila tidak ada perbaikan maka dengan terpaksa
santri dididik di tempat lain bukan di sini. (Ustadzah diam sejenak, lalu
melanjutkan lagi). Semua santri kami bersaing secara sehat. Mereka berlomba-
lomba untuk mencapai yang terbaik. Jika tidak demikian, maka santri akan
ketinggalan prestasinya. Santri itu sebenarnya tidak ada yang terlalu bodoh,
tetapi ketekunan akan membawa keberhasilan bagi santri. Bahkan pesantren
selalu memberikan penghargaan berupa piagam, hadiah agar menjadi motivasi
bagi santri untuk mengejar prestasi. Contohnya ada seorang santriwati yang
sudah diberangkatkan umroh karena telah mencapai hafalan Al-Qur’an 30 Juz.
Sehingga dengan diterapkannya kultur pesantren di lingkungan pesantren
Muqimus Sunnah maka diharapkan dapat membentuk perilaku Islami santri dalam
keseharian aktivitas kehidupannya bukan saja semasa mereka berada di dalam
pesantren akan tetapi juga akan tetap diterapkan dalam kehidupan santri setelah keluar
nantinya.
135
Bab 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahsan dalam penelitian ini ada beberapa hal yang
menjadi kesimpulan pokok terkait tema penelitian :
Pertama, pesantren Muqimus Sunnah mempunyai peran besar dalam rangka
penerapan kultur pesantren bagi seluruh warganya terutama para santri. Sebagai acuan
pelaksanaannya, pimpinan pesantren telah membuat aturan ataupun peraturan dalam
bentuk SOP (Standard Operational Procedur), jadwal-jadwal kegiatan harian,
mingguan dan bulanan. Aturan ataupun peraturan tersebut bersifat mengikat seluruh
136
warga pesantren terutama para santri agar melaksanakan aturan dan peraturan tersebut
dalam seluruh aktifitas kegiatan kesehariannya di lingkungan pesantren Muqimus
Sunnah. Dimana kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung secara kontinu dan terjadi
berulang setiap harinya sesuai jadwal. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat
membangun tradisi yang baik bagi santri dalam lingkungan pesantren.
Kedua, implementasi kultur pesantren dalam lingkungan pesantren Muqimus Sunnah
dilakukan melalui transformasi nilai-nilai ajaran agama Islam. Akhlak dan adab santri
sebagai seorang anak terpelihara dengan baik terutama terhadap Kyai. Dimana posisi
Kyai sebagai pengayom dan pembimbing santri di pesantren menghasilkan hubungan
yang dekat layaknya hubungan orang tua-anak. Demikian halnya dengan sikap
ketundukan dan kepatuhan santri terhadap Kyai sebagai seorang guru telah dilakukan
santri sesuai dengan tuntunan kitab-kitab kuning yang telah mereka pelajari dan
mengambil teladan yang baik sebagaimana yang dicontohkan sang Kyai. Menghormati
dan menuruti perintah Kyai adalah salah satunya. Selain itu, santri di pesantren
Muqimus Sunnah juga telah diajarkan untuk hidup sederhana, mandiri dan disiplin
dalam berbagai hal. Baik dalam hal pakaian, makan-minum, keuangan dan belajar.
Santri juga diajarkan untuk dapat membangun kerjasama yang baik antar santri
sehingga berkembang sistem gotong royong dan persaudaraan. Santri juga dipacu
semangatnya untuk mencapai cita-cita mereka dengan memberikan keluwesan dalam
waktu belajar, intensitas belajar, dan memberikan tambahan SDM baik guru,
ustadz/ustadzah, dan hafidz/hafidzah. Dengan demikian semua aktifitas yang
dijalankan para santri di pesantren Muqimus Sunnah juga telah dapat meningkatkan
religiusitas ibadah santri secara keseluruhan. Bukan saja dalam hal menjalankan
ibadah-ibadah wajib tetapi juga untuk ibadai sunnah seperti sholat sunnah taubat,
berpuasa Senin-Kamis, berzikir, sholawat pada nabi Muhammad Saw, dan tadarus Al-
Qur’an.
137
Ketiga, implikasi kultur pesantren di lingkungan pesantren Muqimus Sunnah telah
menunjukkan perubahan yang semakin baik dalam sikap, tatakrama serta perilaku
santri. Bila sebelum masuk pesantren masih banyak santri yang manja, mengandalkan
orang tua, tidak berani untuk tinggal di asrama, tidak tahan dengan kesulitan yang
dihadapi, sering meninggalkan ibadah wajib maka dengan diterapkannya kultur
pesantren selama 24 jam penuh, para santri berangsur-angsur mengalami perubahan
perilaku. Seperti munculnya kemandirian santri dalam berfikir dan bertindak,
munculnya kedisiplinan santri dalam mengelola waktu dan menaati tata peraturan, dan
munculnya figur-figur santri yang menjadi contoh yang baik bagi santri yang lain.
Proses tersebut tentu tidak selalu berjalan mulus, ada beberapa hambatan yang
dihadapi terutama menyangkut latar belakang kehidupan santri dan kemampuan dasar
yang dimiliki santri sehingga untuk beberapa santri diperlukan perhatian khusus dalam
pembinaannya.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka terdapat beberapa saran yang
dapat penulis sampaikan, antara lain :
Pertama, pesantren Muqimus Sunnah hendaknya tetap dapat mempertahankan budaya,
tradisi yang baik di pesantren terutama dalam hal penghormatan dan ketundukan santri
terhadap Kyai ataupun guru dengan cara lebih mengedepankan adab dan akhlak santri
dalam kehidupan kesehariannya. Kedua, dalam hal pengajaran kitab-kitab kuning
sebaiknya yang memberikan materi adalah ustadz yang mempunyai ilmu mumpuni
dan mempunyai integritas keilmuan, serta yang mampu membimbing santri
memahami dan mengaplikasikan dengan baik apa yang diajarkan. Selain itu,
diperlukan pula tambahan waktu mengaji bagi santri karena selama ini pengajian santri
138
untuk mengkaji satu jenis kitab hanya dijadwalkan 1 minggu sekali yang dilakukan
sehabis sholat Isya. Ketiga, pihak pimpinan hendaknya lebih memberikan tekanan
dalam hal membangun pribadi santri yang melakukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap aturan yang ada. Seperti masih adanya santri yang terlambat sholat harus
diberi kewajiban yang lebih banyak dalam hal menghafalkan doa-doa, atau dalam
komunikasi sehari-hari santri yang tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris
hendaknya santri diberi kewajiban menghafalkan lebih banyak kosa kata, atau santri
yang tidak mengantri mandi, mengambil makanan, tahfidz, dan seterusnya hendaknya
diberi waktu yang paling akhir setelah semua santri melaksanakan kegiatan. Dengan
demikian santri diharapkan dapat dengan tertib dan disiplin dalam setiap kegiatan
keseharian di pesantren dengan penuh kesadaran diri.
J. Referensi
Abdurrahmansyah, 2005. Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan
Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tanatangan Pendidikan Moralitas,
Yogyakarta : Global Pustaka Utama
Abrasyi, M. Athiyah, 1970. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan
Bintang
Andreas, Jhonny. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Surabaya : Karya Agung
Arifin, 2002. Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta : Rineka Cipta
Arifin, Zainal. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. IX No.1, Juni 2012, Yogyakarta :
UIN Sunan Kalijaga
Arikunto, Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :
Rineka Cipta
Asrohah, Hanun, 2001. Sejarah Pendidikan Islam,Cet. Ke -2, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu
139
Aqib, Zainal. 2011. Pendidikan Karakter Membangun Peri laku Posi t i f
Anak Bangsa, Bandung : Yrama Widya
Aqib, Zainal, dan Sujak. 2011. Panduan dan Apl ikasi Pendidikan Karakter.
Bandung : Yrama Widya
Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Az-Zarnuji, 1963. Taklim Muta’allim, Kudus : Menara Kudus
Burhanuddin, Tamyiz, 2001. Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak,
Yogyakarta : Ittiqa Press
Daradjat, Zakiah, 1990. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan
Bintang
---------------------, 2011. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi
Aksara
Dauly, Haidar Putra, 2001. Historisistas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan
Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana
Departemen Agama, 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren, Jakarta : Ditjen
Kelembagaan Agama Islam
Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka
Dhofier, Zamakhsyari, 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta : LP3ES
Djamaluddin dan Aly, Abdullah, 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung :
CV. Pustaka Setia
Dwiloka, Bambang, dan Riana, Ria, 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah, Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Fadjar, Malik, 1998. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta : LP3N
Faesol, Achmad. 2012. Kyai, Otoritas Keilmuan dan Perkembangan Tradisi Keilmuan
Pesantren, Volume 15 Nomor 1. Malang : Universitas Muhammadiyah
Fathurrohman, Muhammad, 2015. Budaya Religius Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan, Yogyakarta : Kalamedia
Galba, Sindu, 1995. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Jakarta : PT. Rineka Cipta
Garna, Judistira K. 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif, Bandung : Primco
Akademika
Ghazali, Bahri. 2001. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya
140
Ghazali, 1977. Ihya Ulumuddin, Jilid III , Beirut : Dar-al-Mishri: Beirut
Ghoyani, Musthofa, 1976. Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, Semarang :
Thaha Putra
Hajjaj, Muhammad Fauqi, 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak . Jakarta : AMZAH
Hakim, Lukman, 2012. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 10 No. 1,
Tasikmalaya : STH Galunggung
Hamid, Syamsul Rijal, 2009. Buku Pintar Agama Islam edisi Junior, Bogor : Cahaya
Salam
Hasanah, Aan, 2012. Pendidikan Karakter Berperspekt i f Is lam , Bandung:
Insan Komunika
Hasbullah, 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangannya, Cet. II, Yogyakarta: LKiS
Hidayat, Ara, dan Machali, Imam. 2012. Pengelolaan Pendidikan. Yogyakarta :
Kaukaba
Howa, Said, 1994. Perilaku Islam, Jakarta : Studio Press.
Ismail S.M, Pengembangan Pesantren Tradisional; Sebuah Hipotesis Mengantisipasi
Perubahan Sosial, dalam Ismail S.M. dan Nurul Huda (editor), “Dinamika
Pesantren dan Madrasah”
Kamsinah, 2008. Lentera Pendidikan. Vol. 11 No. 1, Makassar : UIN Alauddin
Kholil, Mohammad, 2011. Media Akademika, Vol. 26, No. 3 Edisi Juli, Indramayu :
STKIP
Labovitz, Sanford dan Hagedorn, Robert, 1982. Metode Riset Sosial Suatu Pengantar,
Terjemah, Jakarta : Erlangga
Ma’shum, Ali, 1995. Ajakan Suci, Yogyakarta : LTN-NU
Madjid, Abdul, dan Andayani, Dian. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Madjid, Nucholish, 2002. Modernisasi Pesantren, Jakarta : Ciputat Press
Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS
_______, 1990. Gaya dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren, dalam “Jurnal Ulumul
Qur’an”, No. 7, Vol II. hlm 88-89. Baca juga dalam Mastuhu, 1999.
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm.
106-107.
Mastuki, 2002. Pendidikan Pesantren antara Normativitas dan Objektivitas, Majalah
Pesantren LAKPESDAM NU. Edisi I/ Th. 1
141
Mastuki, HS, dan El-Saha, M.Ishom, (eds.), 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva
Pustaka
Maulidiyah, Anik Wahidatul, 2005. Pengaruh Perr Group Terhadap Kemandirian
Siswa Dasar Kelas IV Di Min 2 Malang, UIN Malang : Fakultas Tarbiyah
Megawangi, Ratna, 2004. Pendidikan Karakter , Depok : Indonesia Heritage
Foundation (IHF)
Menteri Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS, Jakarta : Sinar Grafika
Moleong, Lexy, 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
Mudjijanto, Janny, 2012. Membangun Sekolah Berkualitas dengan Budaya Sekolah,
Surabaya
Mukhdar, Zuhdy, 1989. KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya, Yogyakarta
Musfah, Jejen, 2012. Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Kris is
M u l t i d i m e s i o n a l . Jakarta : PT. Bumi Aksara
Nahlawi, Abd. Rahman, 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
diterjemahkan Dahlan & Sulaiman, Bandung : CV. Diponegoro
Nashir, Haedar, 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya, Yogyakarta :
Multi Presindo
Nazir, Moch, 2003. Metode Penelitian, Jakarta : Salemba Empat
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas
Ndraha, Takliziduhu, 2003. Budaya organisasi, Jakarta: PT Rineka Cipta
Noor, Juliansyah, 2012. Metodologi Penelitian : Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Patton, Michael Quinn, 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods, Newbury
Park : Sage
Puspito, Hendro, 1984. Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius
Rasyid Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar Jilid II, Mesir : Maktabah al-Qahirah, tt
Rasyid, Daud, 1998. Islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta : Gema Insani
Ritonga, H.A. Rahman, 2005. Akhlak (Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia).
Surabaya : Amelia
142
Rofiq, dkk, 2005. Pemberdayaan Pesantren, Jakarta : Pustaka Pesantren
Saleh, Abdur Rahman, 1982. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta :
Departemen Agama RI
Sedarmayanti, 2004. Pengembangan Kepribadian Pegawai, Bandung : Mandar Maju
Sapuri, Rafy, 2009. Psikologi Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Suprayogo, Imam, 2007. Kyai dan Politik : Membaca Citra Politik Kyai, UIN Malang:
Malang Press
Suryabrata, Sunadi, 1994. Metodologi Penelitian. Cet. 8, Jakarta: Rajawali
Syah, Muhibbin, 2010. Psikologi Pendidikan (Dengan Pendekatan
Baru, ) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Taylor SJ dan Bogdan R, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods : The
Search for Meaning, second edition, John Wiley and Sons, Toronto
Tanshzil, Sri Wahyuni, 2012. Model Pembinaan Pendidikan Karakter. Jurnal
Penelitian Pendidikan UPI. Vol. 13 No. 2 Oktober.
Tim Redaksi, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tirtadihardja, Umar, dan La Sulo, S.L. 2013. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Wahid, Abdurrahman, 2001. Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta:
LKiS
Winartha, I Made, 2006. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan Tesis,
Yogyakarta : ANDI
Yasmadi, 2002. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap
Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta : Ciputat Press
Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta : BIGRAF
Publishing
Zamzami M., dkk., 2007. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU
Zeni, Wahid, 1995. Dunia Pemikiran Kaum Santri, Yogyakarta: LKPSM NU DIY.
Zuhriy, M. Syaifuddien, 2011. Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter, Jurnal
Walisongo Vol. 19 No. 2
Zuhairi, dkk., 1995. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
143
BIODATA PENULIS
Nama : Hilalliah
Tempat / tanggal lahir : Palembang, 30 Juni 1970
Alamat : Jl. Radial Lrg. Melati 2 No. 1169 Rt. 19 Rw. 05
24 Ilir Palembang 30134
Pendidikan Formal :
SD : SDN 67 Palembang tahun 1983
SMP : SMPN 7 Palembang tahun 1986
SMA : SMAN 8 Palembang tahun 1989
S1 : Universitas Sriwijaya Palembang tahun 1995 Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Matematika
144
dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Kimia
S2 : UIN Raden fatah Palembang tahun 2015 Program Studi
Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam
Indonesia
Karya Tulis : Skripsi “Hubungan Antara Minat dan Tingkat
Kecerdasan Siswa Dengan Hasil Belajar Kimia Siswa
SMA Negeri Se-Kotamadya Palembang” tahun 1994