BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang · 2018. 4. 25. · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum...

19
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum ketenagakerjaan dipahami sebagai himpunan peraturan- peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang berdasarkan pembayaran upah. Menurut Utrecht Hukum ketenagakerjaan mengatur sejak dimulainya hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja, penyelesaian perselisihan sampai pengahkiran hubungan kerja. Sedangkan menurut Molenaar mengatakan bahwa batas hukum ketenagakerjaan tidak dapat dilakukan dalam suatu perumusan secara tepat, pada pokoknya mengatur hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja, antara pekerja dengan pekerja dan antara pekerja dengan penguasa. 1 Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia merupakan salah satupermasalahan hukum yang paling sering terangkat di permukaan.Aspek Hukum Ketenagakerjaan 2 harus selarasdengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini sehingga substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja semata, akan tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajian tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja ( during employment), tetapi setelah hubungan kerja (post employment). 1 Mohd.Syaufii Syamsuddin, SH,MH.,Norma Perlindungan dalam hubungan industrial,( Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 2. 2 Pasal 1 Butir 1 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang · 2018. 4. 25. · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum...

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Hukum ketenagakerjaan dipahami sebagai himpunan peraturan- peraturan

    hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang

    berdasarkan pembayaran upah. Menurut Utrecht Hukum ketenagakerjaan

    mengatur sejak dimulainya hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja,

    penyelesaian perselisihan sampai pengahkiran hubungan kerja. Sedangkan

    menurut Molenaar mengatakan bahwa batas hukum ketenagakerjaan tidak dapat

    dilakukan dalam suatu perumusan secara tepat, pada pokoknya mengatur

    hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja, antara pekerja dengan pekerja

    dan antara pekerja dengan penguasa.1

    Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia merupakan salah

    satupermasalahan hukum yang paling sering terangkat di permukaan.Aspek

    Hukum Ketenagakerjaan2harus selarasdengan perkembangan ketenagakerjaan

    saat ini sehingga substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi

    hubungan kerja semata, akan tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum

    antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajian tidak hanya

    mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja (during employment), tetapi

    setelah hubungan kerja (post employment). 1Mohd.Syaufii Syamsuddin, SH,MH.,Norma Perlindungan dalam hubungan industrial,( Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 2. 2Pasal 1 Butir 1 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

  • Peran serta pekerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat

    dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapinya. Haruslah ada

    hak-hak pekerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

    sekaligus mengatur tentang perlindungan mengenai hak-hak pekerja tersebut.3

    Adalah menjadi kewajiban Pengusaha dalam hubungan kerja untuk

    memanusiakan manusia yaitu pekerjanya, dengan menghormati harkatdan

    martabat mereka. Antara pekerja dan pengusaha terdapat kepentingan yang

    selaras yaitu kemajuan perusahaan. Hanya dengan kemajuan perusahaan

    kesejahteraan dapat ditingkatkan. Inilah yang merupakan ciri dari hubungan

    industrial di Indonesia dibanding dengan hubungan industrial di negara lain.4

    Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja antara lain dimaksudkan untuk

    menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta

    perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan

    keluarganya, dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

    Selain itu, perlindungan dimaksud ditujukan pula untuk meningkatkan harkat,

    martabat, dan harga diri tenaga kerja, guna mewujudkan masyarakat sejahtera

    lahir dan batin. Dengan terpenuhinya hak-hak dan perlindungan dasar bagi

    semua tenaga kerja, pada saat bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang

    kondusif bagi pembangunan dunia usaha.5

    Bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi pekerja adalah

    melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja, karena dengan adanya

    3Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta:Pradnya Paramitha, 1987), hlm. 1. 4Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial, (Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 11. 5Ibid;hlm 1

  • perjanjian kerja diharapkan para pengusaha tidak lagi bisa memperlakukan para

    pekerja dengan sewenang-wenang memutus hubungan kerja secara sepihak

    tanpa memperhatikan kebutuhan para pekerja serta ketentuan perundang-

    undangan yang berlaku. dalam Pasal 1 Nomor 14 Undang-Undang Nomor 13

    Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disahkan 25, April 2003, pengertian

    PERJANJIAN KERJA adalah: Perjanjian antara pekerja/ buruh dengan

    pengusaha/ pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban

    para pihak6. Hubungan kerja merupakan sesuatu yang abstrak, ia merupakan

    hubungan hukum antara seorang pengusaha dengan seorang pekerja atau buruh.

    Hubungan hukum yang terjadi adalah orang perorangan/privat, perjanjian

    melahirkan perikatan, perikatan yang lahir akibat perjanjian kerja inilah yang

    merupakan hubungan kerja. Hubungan kerja hanya ada jika salah satu pihak

    dalam perjanjian yang dinamakan pengusaha dan pihak lainnya dinamakan

    pekerja atau buruh. Digunakan hubungan perikatan sebagai hubungan kerja

    untuk menunjukan bahwa terjadi hubungan hukum antara pengusaha dengan

    pekerja/buruh mengenai kerja.7

    Adapun Ciri-ciri dari perjanjian kerja sebagai berikut:

    a. Adanya atas (yang memimpin) dan bawah (yang dipimpin)

    b. Adanya upah (imbalan)8 yang diterima oleh pihak yang dipimpin dari pihak

    yang memimpin.

    6Pasal 1 nomor 14 Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan 7Jumiarti,Hukum ketenagakerjaan;(Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacacana;2011);hlm.5. 8Definisi upah Ps 1 (30) UU No.13/2003: “Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/ pemberi kerja kepada P/B yang dittpkn dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan per-

  • Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya

    perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ buruh.9 Hal ini berarti bahwa

    hanya perjanjian kerja yang dapat melahirkan hubungan kerja.

    Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam

    suatu hubungan kerja diawali dengan suatu perjanjian yang dalam hal ini adalah

    suatu perjanjian kerja terlebih dahulu. Sebagai bagian dari perjanjian pada

    umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana

    diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya persetujuan-persetujuan

    diperlukan empat syarat :

    a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

    b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

    c. Suatu hal tertentu; dan

    d. Suatu sebab yang halal.

    Sedangkan pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan mengatur lebih lanjut mengenai syarat syahnya perjanjian, yaitu:

    a. Perjanjian kerja dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak

    b. Kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum

    c. Adanya perjanjian pekerjaan yang diperjanjikan

    d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

    kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    UU, tmsk tunjangan bagi P/B dan keluarganya atas suatu perjanjian dan/ atau jasa yang telah atau dilakukan” 9Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia(Edisi Revisi), Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003.., hlm. 53.

  • Pentingnya perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan

    hukum, yaitu hubungan kerja, maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian

    kerja.10

    Selain Perjanjian kerja instrumen lain yang mengatur Hak dan Kewajiban

    pekerja dan pengusaha yaitu Peraturan Perusahaan (PP) yaitu peraturan yang

    dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja dan tata

    tertib perusahaan. PP menjadi tanggung jawab dari pengusaha, dengan

    memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja yang dipilih secara

    demokratis umtuk mewakili kepentingan mereka. Bila ada Serikat Pekerja(SP),

    wakil pekerja adalah pengurus SP.11

    Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat tertulis oleh

    perusahaan, yang didalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib

    perusahaan. Sebuah peraturan perusahaan baru dikatan sah apabila telah

    mendapat pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi,

    pengesahan tersebut dilakukan oleh kepala Instansi ytang bertanggung jawab di

    bidang Ketenagakerjaan.

    Peraturan perusahaan bertujuan untuk menjamin keseimbangan antara hak dan

    kewajiban pekerja, serta antara kewenangan dan kewajiban pengusaha,

    memberikan pedoman bagi pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan tugas

    kewajibannya masing-masing, menciptakan hubungan kerja harmonis, aman dan

    dinamis antara pekerja dan pengusaha, dalam usaha bersama memajukan dan

    10Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 45. 11Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial, (Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 208.

  • menjamin kelangsungan perusahaan, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja

    dan keluarganya.

    Menurut Pasal 111 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

    Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat:

    a. Hak dan Kewajiban pengusaha

    b. Hak dan Kewajiban pekerja

    c. Syarat kerja

    d. Tata tertib perusahaan

    e. Jangka waktu berlakunya PP

    Ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak boleh bertentangan, lebih

    rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang

    berlaku.Apabila ternyata bertentangan, yang berlaku adalah ketentuan peraturan

    perundang-undangan (Asas Lex Superior Derogat Lex Inferior) 12

    Merujuk pada Pasal 1 Ayat 20 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan pengertian Peraturan Perusahaan adalah “peraturan

    yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja

    dan tata tertib perusahaan”13.Ketentuan tentang pembuatan dan pengesahan

    Peraturan Perusahaan selanjutnya diatur dalam Peraturan Mentri Tenaga Kerja

    Nomor 28 Tahun 2014.

    Di tengah-tengah masa kerja kerap kali terjadi perselisihan hubungan

    industrial, baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antar

    12Ibid 13pasal 1 ayat 20 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

  • serikat pekerja/buruh maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Oleh karena itu, PHK bisa timbul karena adanya hubungan kerja yang terjadi

    sebelumnya.14

    Di dalam Pasal 1 Ayat 22 Undang-undang No.13 Tahun 2003 mendefinisikan perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:

    “perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.15

    Definisi ini memperluas definisi perselisihan perburuhan di dalam UU

    No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, yaitu:

    “Pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubungan dengan tidak adanya kesesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.”16

    Perlindungan paling banyak dan lengkap yang dilakukan oleh peraturan

    perundang-undangan ketenagakerjaan adalah mengenai Pemutusan Hubungan

    Kerja (PHK). Hal ini dapat dipahami, karena bagi pekerja Pemutusan Hubungan

    Kerja (PHK) adalah sesuatu yang paling memberatkan. Oleh karena itu, pekerja

    sangat dilindungi terhadap terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

    Perlindungan tersebut dimulai dari upaya mencegah terjadinya Pemutusan

    Hubungan Kerja (PHK),larangan,pembinaan, dan sampai dengan macam-macam

    14Hartono Widodo, S.H. dan Judiantoro,S.H; segi hukum penyelesaian perselisihan perburuhan;(Jakarta utara,CV.Rajawali,1989),hlm 23. 15Pasal 1 ayat 22 UU No.23 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 16UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan

  • Pemutusan Hubungan Kerjaserta kompensasi terhadap terjadinya Pemutusan

    Hubungan Kerja17.

    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 – pasal 170

    Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemutusan

    hubungan Kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-undang Nomor 13

    Tahun 2003 menyebutkan bahwa:

    “Pemutusan hubungan kerja yang terjadi di Badan Usaha yang berbadan Hukum atau tidak, milik orang perseorangan,milik persekutuan atau milik badan hukum. Baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengusrus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”18

    Akhir dari hubungan kerja dapat terjadi karena dikehendaki oleh buruh dan

    pengusaha atau salah satu pihak atau berbagai alasan lainnya. Jika pengakhiran

    hubungan kerja ini terjadi maka hal tersebut akan mengakibatkan berakhirnya

    hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha. Tidak menutup kemungkinan

    dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja akan terjadi perselisihan antara

    buruh dengan pengusaha. Karena menurut mekanisme dalam melakukan

    pemutusan hubungan kerja, maksud dari PHK harus dirundingkan antara buruh

    dan pengusaha. Kemudian apabila tidak mencapai kesepakatan dalam

    perundingan tersebut, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja

    dengan buruh setelah memperoleh penetapan. Jika perundingan dalam

    pemutusan hubungan kerja tidak mencapai kesepakatan antara pengusaha dan

    buruh, maka pemutusan hubungan kerja harus menunggu setelah memperoleh

    penetapan dari Pengadilan. Dalam hal masa menunggu proses penetapan dari

    17Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial, (Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm.304 18Pasal 150 UU No.13 Th 2003 tentang Ketenagakerjaan

  • Pengadilan maka Undang-Undang mengatur: Pasal 155 ayat (2) UU No. 13

    Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, "selama putusan lembaga penyelesaian

    perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun

    pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya." Pasal ini

    mengandung pengertian bahwa sebelum adanya putusan pengadilan yang

    memperoleh kekuatan hukum tetap tentang penetapan Pemutusan Hubungan

    Kerja, maka buruh tetap menyelesaikan kewajibannya seperti biasa yakni

    bekerja dan menerima gaji, begitu juga pengusaha wajib menyelesaikan

    kewajibannya seperti biasa pula yakni memberi gaji pada buruh dan

    menjalankan roda usahanya seperti biasa. Terkait dengan masalah upah proses

    (upah dalam tenggang waktu menunggu putusan pengadilan) dalam prakteknya

    di Pengadilan terdapat tiga macam putusan Pengadilan Hubungan Industrial

    (PHI) yakni: 1. Putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses

    selama enam bulan. Putusan ini berkiblat pada Kepmenaker Nomor 150 tahun

    2000. 2. Putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih

    dari enam bulan tetapi tidak sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan

    ini lebih didasarkan pada rasa keadilan menurut hakim. 3. Putusan hakim

    menghukum pengusaha membayar upah proses hingga perkara memperoleh

    kekuatan hukum tetap. 4.Putusan Hakim yang menghukum pengusaha

    membayar upah proses sampai dengan eksekusi putusan dilaksanakan. Putusan

    ini murni didasarkan pada Pasal 155 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003. Dari uraian

    diatas, maka akan timbul masalah terhadap jangka waktu proses penyelesaian

    penetapan pengadilan yang akan dijadikan acuan dalam memberi upah proses.

    karena yang terjadi dalam praktek memperlihatkan adanya ketidakserasian

  • antara tiap putusan hakim dan dasar hukumnya karena dalam PHI terdapat 4

    aliran tentang upah proses.

    Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 ini meluruskan 2

    perbedaan putusan antara Hakim PHI dan Hakim Kasasi,Putusan Mahkamah

    Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 didasarkan pada realitas praktik peradilan.

    Pemohon memiliki pendirian bahwa hukum positif tidak mengatur batas waktu

    pembayaran upah proses PHK. Pemohon menguraikan, PHI memutus upah proses

    PHK tidak sesuai hukum positif yaituPasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003.

    pemohon keberatan dengan kenyataan PHI memutus upah proses PHK tidak

    sampai pada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

    Mahkamah Konstitusi menganggap permohonan mana terbukti dan

    beralasan menurut hukum. Karena itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan

    permohonan judicial review tersebut dengan amar sebagai berikut :

    a. Mengabulkan permohonan para pemohon.

    b. Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor

    13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 4279), adalah bertentangan dengan Undang-Undangam

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai belum

    berkekuatan hukum tetap.

    c. Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor

    13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik

  • Indonesia Nomor 4279), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

    sepanjang dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.

    d. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negera Republik

    Indonesia sebagaimana mestinya.

    Secara faktual, putusan MK di atas memastikan bahwa Kepmenaker No 150

    Tahun 2000 bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU

    No 13 Tahun 2003. Dengan demikian, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi

    sebagai hukum positif sehingga putusan MK itu memberi kepastian bahwa

    Kepmenaker No 150 Tahun 2000 bukan landasan Yuridis yang benar untuk

    menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan.

    Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum tetap apabila memenuhi salah

    satu dari dua syarat berikut ini. Pertama, salah satu pihak tidak mengajukan kasasi

    atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua, hakim kasasi pada Mahkamah Agung

    telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan dua syarat tersebut maka, PHI

    tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada

    putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim

    kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan.

    Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah

    proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak

    berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap.

    Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan batas

    waktu membayar upah proses dan upah skorsing sampai pada putusan PHI tingkat

    pertama adalah pendapat yang bertentangan dengan pengertian dari ‘berkekuatan

  • hukum tetap’ itu sendiri. Sebab, bila salah satu pihak atau para pihak mengajukan

    kasasi terhadap putusan PHI tingkat pertama maka berkekuatan hukum tetap itu

    melekat pada putusan kasasi.

    Di dalam kasus/putusan Nomor12/G/2013/PHI.Smg Dan Nomor

    40K/PDT.SUS-PHI/2014 yang akan penulis teliti ini, merupakan kasus PHK yang

    dialami oleh seorang karyawan perusahaan Swasta di bagian marketing yang

    bernama Didik Teguh Waksito, dia di PHK oleh perusahaannya yaitu PT.Sinar

    Mas Multi Finance yang berkedudukan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Didik

    Teguh Waksito menggugat PT Sinar Mas Multifinance atas PHK yang

    dialaminya. Penggugat di PHK dengan alasan tidak memenuhi target pemasaran

    dan Tergugat melakukan PHK secara sepihak tanpa melalui musyawarah dengan

    Penggugat. Sementara itu Pasal 151 ayat 2 UU No.13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan mengatur:

    “Dalam hal segala upaya telah dilakukan , tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka

    maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/Sb atau dengan pekerja/buruh 19 dan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian terhadap PHK”

    Bahwa Penggugat telah berusaha untuk merundingkan perkara PHK yang

    dilakukan oleh Tergugat secara lisan melalui perundingan bipartit dengan pihak

    Tergugat (PT. Sinar Mas Multifinance) agar dapat dipekerjakan kembali dan

    atau kalau di PHK agar diberi pesangon sesuai dengan ketentuan Undang-

    Undang No. 13 Tahun 2003, akan tetapi pihak Tergugat (PT.Sinar Mas

    Multifinance) tidak mau memberikan pesangon sesuai aturan, dan selama bekerja

    Penggugat tidak pernah ditegur ataupun diberi surat peringatan dari Tergugat,

    maka PHK secara lisan yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah 19UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,pasal 151 ayat 2

  • PHK tanpa kesalahan, oleh karenanya Penggugat menuntut mendapat uang

    pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa

    kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), uang penggantian hak sesuai

    ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003;

    Bahwa gaji Penggugat terakhir adalah sebesar Rp 2.850.000,00 maka

    Penggugat berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan

    uang penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat dengan

    masa kerja hampir 9 tahun adalah sebagai berikut;

    Uang pesangon 2 x 9 x Rp2.850.000,00 = Rp 51.300.000,00

    Uang penghargaan mass kerja 3 x Rp2.850.000,00 = Rp 8.550.000,00

    Uang penggantian hak 15% x Rp59.850.000,00 = Rp 8.977.500,00

    Jadi jumlah pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang

    penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat adalah Rp

    68.827.500,00 ( enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu lima

    ratus rupiah).

    Namun dari bukti-bukti yang diperoleh Majelis Hakim, Majelis Hakim

    berpendapat sebagai berikut:

    1 PHK yang dilakukan Tergugat adalah PHK yang berdasarkan pada Pasal 161

    UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu PHK karena adanya

    Pelanggaran dari Penggugat yang tidak memenuhi target dan tidak disiplin

    dalam waktu bekerja.

  • 2 Majelis Hakim tidak sependapat dengan permohonan Penggugat yang

    menuntut uang pesaangon 2x (Pasal 156 ayat 2), uang penghargaan masa

    kerja 1x (Pasal 15 ayat 3), uang penggantian hak sesuai (Pasal 156 ayat 4)

    UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    3 Sehingga dalam hal pembayaran uang pesangon Penggugat berhak mendapat

    uang pesangon sebesar 1x (Pasal 156 ayat 2), uang penghargaan masa kerja

    sebesar 1x (Pasal 156 ayat 3) dan uang penggantian hak sesuai dengan (Pasal

    156 ayat 4) UU no.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    Berdasarkan Pasal 161 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

    maka hak-hak pesangon Penggugat dalam perkara ini, adalah berdasarkan Pasal

    161 UU No.13 Tahun 2003, yaitu :

    1. Uang Pesangon

    1 x 9 x Rp. 2.850.000 =Rp. 25.650.000,-

    2. Uang Penghargaan Masa Kerja

    3 x Rp. 2.850.000 =Rp. 8.550.000,-

    3. Uang Penggantian Hak

    15% x (Rp. 25.650.000 + Rp. 8.550.000) =RP. 5.130.000,- +

    =Rp. 39.330.000,

    (Tiga Puluh Sembilan Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Ribu Rupiah)

    Dalam Putusan NOMOR 12/G/2013/PHI Majelis Hakim mengabulkan

    sebagian gugatan penggugat ( Didik Teguh Waksito) antara lain menghukum

    Tergugat untuk membayar hak-hak pesangon Penggugat,Total Rp39.330.000,00

    (tiga puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh ribu rupiah) yang harus dibayar oleh

  • tergugat (PT Sinar Mas Multifinance) dan Menghukum Tergugat untuk membayar

    upah proses perkara ini dengan perhitungan gaji terakhir sebesar Rp.2.850.000 ,-

    terhitung sejak bulan Januari 2013 sampai dengan putusan ini berkekuatan

    hukum tetap Penggugat sampai dengan Putusan ini diucapkan.

    Dan dalam putusan Kasasi Putusan Nomor40K/PDT.SUS-PHI/2014,

    pemohon kasasi mengajukan keberatan dalam memori kasasinya, antara lain:

    a. Bahwa dalam persidangan telah terungkap fakta melalui bukti tertulis yang

    diajukan Pemohon Kasasi semula Tergugat berupa: bukti T-2 (absen yang

    tidak tertib) dan keterangan dari 2 orang saksi yang bernama, Amal

    Kurniawan dan Ignatius Gunawan yang melihat langsung tindakan-tindakan

    selama Termohon Kasasi semula Penggugat bekerja di perusahaanPT. Sinar

    Mas Multifinance cabang Semarang, sehingga apabila dikaitkan dengan

    Peraturan Perusahaan, maka tindakan Pemohon Kasasi semula Tergugat

    dalam melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon

    adalah sudah tepat, karena didasarkan atas ketentuan-ketentuan dalam

    Peraturan Perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang

    untuk itu, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial

    dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

    b. Bahwa Termohon Kasasi semula Penggugat juga pernah berurusan dengan pihak yang berwajib (dalam hal ini Polrestabes Semarang) dalam kaitannya

    dengan dugaan ikut serta dalam tindak pidana penggelapan yang dilakukan

    oleh seseorang yang bernama Fajar Priyono, sehingga akibat adanya

    persoalan hukum tersebut pihak perusahaan dirugikan dari segi nama baik.

  • Dari pengajuan memori keberatan tersebut Majelis Hakim menolak

    permohonan kasasi yang dilakukan PT. Sinar Mas Multifinance dengan

    alasan tidak cukup bukti dan pemecatan/PHK yang dilakukan PT.Sinar Mas

    Multifinance adalah PHK dengan kesalahan. Pihak PT.Sinar Nas

    Multifinance harus memberikan pesangon yang telah ditentukan. Dan

    menghukum Tergugat untuk membayar upah proses kepada Penggugat

    sebesar 6 x Rp2.850.000,00 = Rp17.100.000,00 (tujuh belas juta seratus ribu

    rupiah);

    Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti persoalan upah

    proses, dengan studi kasus pada putusan PHI Tingkat 1 No.12/G/2013/PHI

    dan putusan PHI tingkat Kasasi No.40K/PDT.SUS-PHI/2014

    B. Permasalahan

    Rumusan masalah berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yaitu:

    Apa dasar pertimbangan Majelis hakim pada Putusan Tingkat I dan Tingkat

    Kasasi memutuskan tentang upah proses sudah sesuai dengan Undang-

    Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?

    C. Tujuan Penelitian.

    Adapun tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah:

    Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim di Tingkat Pertama dan

    Kasasi memutuskan Upah proses.

  • D. Manfaat Penelitian

    Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif baik

    secara teoritis maupun praktis, yaitu:

    1. Manfaat Teoritis

    Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi

    pengembangan ilmu pengetahuan bidang hukum keperdataan khususnya

    dalam hukum ketenagakerjaan mengenai kualifikasi hubungan kerja.

    2. Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat dipahami secara baik oleh pekerja,

    pengusaha, hakim Pengadilan Hubungan Industrial dan dapat memberikan

    masukan kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja agar dapat

    menjamin hubungan kerja yang seimbang dalam pengaturan hak dan

    kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga pada akhirnya

    pekerja/buruh serta pengusaha dapat saling merasakan ketentraman.

    E. Metode Penelitian

    1. Pendekatan yang digunakan

    Pada penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu :

    pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal

    yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum,

    pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum dengan

    menggunakan data sekunder, diantaranya asas, kaidah, norma dan aturan

    hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan

  • lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan

    dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.20

    2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

    a. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang

    terdiri dari :

    i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

    ii. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    iii. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

    Perselisihan Hubungan Industrial.

    iv. Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011

    v. Putusan PHI Tingkat I Nomor 12/G/2013/PHI

    vi. Putusan Tingkat Kasasi Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014

    b. Teknik pengumpulan data pada skripsi ini melalui studi pustaka

    3. Unit Amatan dan Unit Analisis

    a. Unit Amatan dari penelitian ini yaitu :

    i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

    ii. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    iii. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

    Perselisihan Hubungan Industrial

    iv. Putusan Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Kasasi pada perkara

    Nomor12/G/2013/PHI dan Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014.

    b. Sedangkan Unit analisisnya yaitu Upah Proses dalam PHK.

    20Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006, hlm.24.

  • i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)v. Putusan PHI Tingkat I Nomor 12/G/2013/PHIvi. Putusan Tingkat Kasasi Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014b. Teknik pengumpulan data pada skripsi ini melalui studi pustaka