BAB 1 Pendahuluan

30
[RENCANA] 1.1 Latar Belakang Pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta usaha Pemerintah Kota Bandung dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, menuntut adanya pengembangan dan pembangunan kota yang lebih optimal terutama dalam hal pengaturan pemanfaatan ruang. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami pertumbuhan yang cepat di bidang ekonomi, sosial, dan juga pemanfaatan ruang kota. Pertumbuhan tersebut menyebabkan pengendalian perkembangan kota menjadi semakin sulit sehingga banyak terjadi ketidak sesuaian pemanfaatan ruang. Dalam konteks pengendalian dan pemanfaatan ruang kota di SWK Cibeunying, Pemerintah Kota Bandung saat ini masih mengacu pada Peraturan Walikota Bandung Nomor 981 Tahun 2006 tentang Rencana Detail Tata Ruang WP Cibeunying yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung tahun 2004 – 2013 sebagaimana diubah dalam Perda No. 03 Tahun 2006, yang disusun dengan berpedoman kepada UU Penataan Ruang No. 24 Tahun 1992 dan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor: 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. Sejalan dengan ditetapkannya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, telah diberlakukannya Perda Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2011 tentang Revisi RTRW Provinsi Jabar dan Draft RTRW Kota Bandung 2011 – 2030, adanya perubahan terhadap pedoman penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota/Kabupaten (RDTRK) serta mempertimbangkan perkembangan aktivitas kota, maka Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota tersebut juga harus mengikuti penyesuaian sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan-peraturan yang menjadi acuannya. 1.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran 1.2.1. Maksud Maksud dari penyusunan RDTRK SWK Cibeunying adalah mewujudkan rencana detail tata ruang yang mendukung terciptanya kawasan strategis maupun kawasan fungsional secara aman, produktif dan berkelanjutan. 1.2.2. Tujuan Tujuan Kegiatan ini adalah untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK) SWK Cibeunying sebagai tindak lanjut dan penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sehingga RDTRK akan menjadi salah satu perangkat peraturan penataan ruang yang menjadi pedoman dalam proses perencanaan, pemanfataan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan kota.. 1.2.3. Sasaran Adapun sasaran yang ingin dicapai dengan tersusunnya RDTRK SWK Cibeunying ini adalah: a. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang pada prinsipnya merupakan upaya dalam menciptakan keserasian dan keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaan ruang bagian-wilayah pengembangan atau dalam satu wilayah pengembangan. b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya. Hal ini tercermin dari pola intenstitas penggunaan ruang kota pada umumnya dan wilayah pengembangan pada khususnya. I-1 BAB 1 PENDAHULUAN

description

RDTR

Transcript of BAB 1 Pendahuluan

Page 1: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

1.1 Latar Belakang

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta

usaha Pemerintah Kota Bandung dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, menuntut

adanya pengembangan dan pembangunan kota yang lebih optimal terutama dalam hal pengaturan

pemanfaatan ruang.

Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami pertumbuhan yang cepat di bidang

ekonomi, sosial, dan juga pemanfaatan ruang kota. Pertumbuhan tersebut menyebabkan pengendalian

perkembangan kota menjadi semakin sulit sehingga banyak terjadi ketidak sesuaian pemanfaatan

ruang.

Dalam konteks pengendalian dan pemanfaatan ruang kota di SWK Cibeunying, Pemerintah

Kota Bandung saat ini masih mengacu pada Peraturan Walikota Bandung Nomor 981 Tahun 2006

tentang Rencana Detail Tata Ruang WP Cibeunying yang mengacu pada Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Bandung tahun 2004 – 2013 sebagaimana diubah dalam Perda No. 03 Tahun 2006, yang

disusun dengan berpedoman kepada UU Penataan Ruang No. 24 Tahun 1992 dan Keputusan Menteri

Kimpraswil Nomor: 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang

Kawasan Perkotaan. Sejalan dengan ditetapkannya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, telah

diberlakukannya Perda Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2011 tentang Revisi RTRW Provinsi Jabar

dan Draft RTRW Kota Bandung 2011 – 2030, adanya perubahan terhadap pedoman penyusunan

Rencana Detail Tata Ruang Kota/Kabupaten (RDTRK) serta mempertimbangkan perkembangan

aktivitas kota, maka Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota tersebut juga harus

mengikuti penyesuaian sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan-peraturan yang

menjadi acuannya.

1.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran

1.2.1.Maksud

Maksud dari penyusunan RDTRK SWK Cibeunying adalah mewujudkan rencana detail tata

ruang yang mendukung terciptanya kawasan strategis maupun kawasan fungsional secara aman,

produktif dan berkelanjutan.

1.2.2. Tujuan

Tujuan Kegiatan ini adalah untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK)

SWK Cibeunying sebagai tindak lanjut dan penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kota Bandung sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang, sehingga RDTRK akan menjadi salah satu perangkat peraturan penataan ruang yang menjadi

pedoman dalam proses perencanaan, pemanfataan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan

kota..

1.2.3. Sasaran

Adapun sasaran yang ingin dicapai dengan tersusunnya RDTRK SWK Cibeunying ini adalah:

a. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang pada prinsipnya merupakan upaya

dalam menciptakan keserasian dan keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaan ruang bagian-

wilayah pengembangan atau dalam satu wilayah pengembangan.

b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha

menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya. Hal ini tercermin dari pola

intenstitas penggunaan ruang kota pada umumnya dan wilayah pengembangan pada khususnya.

c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan yang merupakan upaya pemanfaatan ruang

secara optimal, yang tercermin dalam penentuan jenjang fungsi pelayanan kegiatan-kegiatan kota

dan sistem jaringan jalan kota.

d. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian pengawasan

pelaksanaan pembangunan fisik untuk masing-masing wilayah pengembangan secara terukur baik

kualitas maupun kuantitasnya.

e. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan penyusunan zoning

regulation melalui zoning map dan zoning text di seluruh wilayah kota untuk dijadikan pedoman bagi

tertib pengaturan ruang secara terinci.

f. Sesuai dengan prioritas pengendalian pengembangan kota dan program pembangunan kota, maka

pada kawasan-kawasan tertentu disusun pula Rencana Teknik Ruang Kota yang mampu dijadikan

pedoman bagi tertib pembangunan dan tertib pengaturan ruang

1.3 Kedudukan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi

Dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Peraturan Zonasi merupakan pengaturan lebih lanjut

untuk pemanfaatan ruang suatu wilayah. Peraturan zonasi merupakan penjabaran dari RTRW Kota

I-1

BAB 1

PENDAHULUAN

Page 2: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

dapat dapat menjadi rujukan untuk menyusun RDTRK, dan sangat bermanfaat untuk melengkapi

aturan pembangunan pada penetapan penggunaan lahan yang ditetapkan oleh RDTRK. Peraturan

zonasi juga merupakan rujukan untuk penyusunan rencana yang lebih rinci dari RDTRK, seperti

Rencana Teknik Ruang Kawasan (RTRK), atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Gambar 1. 1 Kaitan RDTRK dan peraturan Zonasi

1.4 Ruang Lingkup Pekerjaan

1.4.1 Ruang Lingkup Materi RDTR dan Peraturan Zonasi

A. Rencana Pola Ruang

Rencana pola ruang merupakan rencana distribusi peruntukan ruang di wilayah perencanaan yang

meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya.

1) Rencana pola ruang berfungsi:

sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat, serta

kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah perencanaan;

sebagai pendetailan pola ruang dalam RTRW kota dengan memperhatikan keseimbangan

dan keserasian peruntukan ruang;

sebagai dasar penyusunan program jangka menengah lima tahunan untuk 20 (dua puluh)

tahun; dan

sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang.

2) Rencana pola ruang di wilayah perencanaan dirumuskan berdasarkan:

daya dukung prasarana dan utilitas dalam blok dan daya tampung lingkungan hidup wilayah

perencanaan dimaksud;

kebutuhan ruang untuk pengembangan distribusi kegiatan sosial, ekonomi, dan lingkungan,

yang mengatur jumlah dan kepadatan aktivitas yang dirinci ke dalam sub-zona (fungsi) dan

blok (fisik), sampai akhir tahun perencanaan; dan

Dasar hukum yang berlaku.

3) Rencana pola ruang di wilayah perencanaan dirumuskan dengan kriteria:

merujuk rencana pola ruang yang ditetapkan dalam RTRW kota;

memperhatikan rencana pola ruang bagian wilayah yang berbatasan;

memperhatikan mitigasi bencana pada wilayah perencanaan;

memperhatikan kepentingan pertahanan dan keamanan dalam wilayah perencanaan;

menyediakan RTH minimal 30% (20% RTH publik dan 10% RTH privat) dari luas wilayah

perencanaan;

menyediakan RTNH untuk menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat

kota;

menyediakan ruang untuk kegiatan sektor informal;

menyediakan ruang untuk evakuasi bencana berupa tempat evakuasi awal (melting point)

dan tempat evakuasi akhir baik dalam skala kota, sub bagian wilayah kota, maupun

lingkungan untuk segala jenis bencana yang mungkin terjadi; dan

dapat diwujudkan dalam jangka waktu perencanaan sesuai kondisi wilayah perencanaan.

4) Rencana pola ruang di wilayah perencanaan memuat:

a) Penetapan klasifikasi dan kode jenis pola ruang (dalam peraturan zonasi disebut sebagai

kode zona) untuk kawasan lindung dan budidaya sebagai dasar penyusunan peraturan

zonasi. Pembagian zona terdiri dari perumahan, komersial, industri, fasilitas pelayanan,

kawasan khusus, pertanian, pariwisata, transportasi (pelabuhan, bandara), RTH-RTNH, dan

kawasan lindung.

b) Rencana pola ruang wilayah perencanaan berdasarkan peruntukan blok.

Rencana pola ruang yang dihasilkan merupakan rencana alokasi setiap jenis guna lahan

atau zona. Peta rencana pola ruang ini adalah zoning map yang merupakan kelengkapan

dari peraturan zonasi yang disusun dengan tingkat kedalaman materi yang sama dengan

RDTR. Zoning map ini dilengkapi pula dengan zoning text yang dimasukkan dalam substansi

pengendalian pemanfaatan ruang.

Rencana pola ruang tersebut di atas dapat dilengkapi dengan penyediaan fasilitas sosial dan

fasilitas umum wilayah perencanaan, antara lain: pendidikan, kesehatan, ibadah, ruang

evakuasi bencana, dan ruang untuk kegiatan sektor informal, berdasarkan lokasi, jenis dan

skala pelayanan, kebutuhan, dan pemanfaatan lain dari fasilitas tersebut.

c) Pendelineasian Berdasarkan Hirarki Ruang meliputi:

1. pendelineasian untuk skala kawasan dalam wilayah perencanaan, dilakukan dengan

mempertimbangkan :

Morfologi kawasan terdelineasi;

keserasian dan keterpaduan fungsi kawasan lainnya; dan/atau

jangkauan dan batasan pelayanan untuk keseluruhan bagian dari

wilayah kota atau kawasan yang terdelineasi.

I-2

Page 3: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

2. pendelineasian untuk skala lingkungan, dilakukan dengan mempertimbangkan:

karakteristik lingkungan terdelineasi; dan/atau

pengaruh kontekstual dari kawasan dan lingkungan sekitar.

3. pembagian blok dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah persil lahan maksimal

untuk setiap blok.

Ketentuan penggambaran peta rencana pola ruang adalah sebagai berikut:

1) rencana pola ruang bagian dari wilayah kota digambarkan dengan tingkat ketelitian peta

skala minimum 1:5.000 dan mengikuti ketentuan sistem informasi geografis yang

dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang;

2) rencana pola ruang bagian wilayah kota dapat digambarkan dalam beberapa lembar

peta yang tersusun secara beraturan mengikuti indeks peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)

atau mengikuti ketentuan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

(Bakosurtanal);

3) penggambaran rencana pola ruang bagian wilayah kota harus mengikuti peraturan

perundangan-undangan terkait pemetaan rencana tata ruang, antara lain memuat sistem

jaringan prasarana utama dan sungai;

4) penggambaran rencana pola ruang wilayah perencanaan harus mengikuti peraturan

perundang-undangan terkait pemetaan rencana tata ruang;

5) Peta rencana pola ruang juga berfungsi sebagai Zoning Map bagi peraturan zonasi.

d) Arahan Tata Massa Bangunan

Arahan tata massa bangunan merupakan ilustrasi massa bangunan dalam wilayah

perencanaan yang digambarkan dengan kedalaman sampai dengan skala blok. Arahan tata

massa bangunan berfungsi sebagai arahan atau alat kendali untuk mengatur ketinggian

bangunan, bentuk massa bangunan, dan ketentuan intensitas pemanfaatan ruang.

Pengaturan massa bangunan dilakukan dengan memperhatikan:

kualitas visual dalam mewujudkan estetika ruang;

pentingnya elemen pembentuk karakter dan citra ruang;

keseimbangan wilayah perencanaan dengan lingkungan sekitarnya;

keseimbangan terhadap daya dukung lingkungan;

kelestarian ekologis.

Arahan tata massa bangunan diwujudkan melalui pengaturan amplop bangunan dalam skala

blok. Komponen pembentuk amplop bangunan terdiri atas:

1) Rencana GSB.

Rencana GSB pada setiap peruntukan dan setiap penggal jalan meliputi sempadan muka

bangunan, sempadan pagar, sempadan samping dan sempadan belakang.Sempadan

bangunan ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek keselamatan, kenyamanan

(perlindungan atas kebisingan, ancaman kesehatan dan keselamatan), dan penyediaan RTH

minimal untuk masing-masing blok.

2) Tinggi bangunan, dengan memperhatikan ketentuan tinggi bangunan maksimal dan koefisien

lantai bangunan (KLB); dan

3) Sky exposure, dengan memperhatikan kebutuhan pencahayaan langsung dari sinar matahari

terhadap bangunan yang ada disekitarnya dan ruang terbuka. Rencana amplop bangunan

dalam RDTR harus mampu memberikan ilustrasi amplop bangunan pada setiap blok

peruntukan.

Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, terdiri atas:

1) Ketentuan KDB

Penetapan besar KDB maksimum didasarkan pada pertimbangan, antara lain:

tingkat pengisian/peresapan air (water recharge) = KDH minimum;

besar pengaliran air (kapasitas drainase);

jenis penggunaan lahan;

harga lahan.

2) Ketentuan KLB

Penetapan besar KLB maksimum didasarkan pada pertimbangan, antara lain:

harga lahan;

ketersediaan dan tingkat pelayanan prasarana (jalan);

dampak atau kebutuhan terhadap prasarana tambahan;

ekonomi dan pembiayaan.

3) Ketentuan KDH

Penetapan besar KDH minimum didasarkan pada pertimbangan, antara lain:

tingkat pengisian/peresapan air (water recharge);

besar pengaliran air (kapasitas drainase);

rencana tata ruang (RTH, tipe zonasi, dan lain-lain).

4) Ketentuan Tinggi Bangunan.

Penetapan kepadatan bangunan, KDB, KLB dan KDH serta tinggi bangunan terutama

didasarkan pada daya dukung fisik lahan dan daya dukung prasarana (terutama kapasitas

jalan) dan utilitas wilayah perencanaan.

e) Rencana Jaringan Prasarana

Rencana jaringan prasarana dalam RDTR kota merupakan rencana pengembangan hierarki

sistem jaringan prasarana yang disusun berdasarkan daya tampung ruang yang diperoleh dari

pola ruang RDTR.

1) Rencana jaringan prasarana wilayah perencanaan berfungsi sebagai:

a. Pembentuk sistem pelayanan dan pergerakan di dalam wilayah perencanaan;

I-3

Page 4: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

b. Dasar perletakan jaringan dan rencana pembangunan prasarana, dan utilitas dalam wilayah

perencanaan sesuai dengan fungsi pelayanannya; dan

c. Dasar rencana sistem pergerakan dan aksesibilitas lingkungan dalam RTBL dan

sejenisnya.

2) Rencana jaringan prasarana wilayah perencanaan dirumuskan berdasarkan:

a. Rencana struktur ruang wilayah kota dalam RTRW kota;

b. Kebutuhan pelayanan dan pengembangan bagi wilayah perencanaan;

c. Analisis daya dukung prasarana dan utilitas serta daya tampung lingkungan hidup;

d. Analisis sistem pelayanan dan pergerakan sesuai fungsi dan peran kawasan di wilayah

perencanaan; dan

e. Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

3) Rencana jaringan prasarana wilayah perencanaan dirumuskan dengan kriteria:

a. Memperhatikan rencana struktur ruang bagian dari wilayah kabupaten/kota lainnya atau

wilayah administrasi kabupaten/kota sekitarnya yang berbatasan;

b. Menjamin keterpaduan dan prioritas pelaksanaan pembangunan prasarana, utilitas dalam

jangka waktu perencanaan pada wilayah perencanaan;

c. Mengakomodasi kebutuhan pelayanan prasarana dan utilitas wilayah perencanaan; dan

d. Mengakomodasi kebutuhan fungsi dan peran pelayanan kawasan di dalam struktur ruang

wilayah perencanaan

4) Rencana jaringan prasarana wilayah perencanaan diwujudkan dalam :

a. Rencana Jaringan Pergerakan

Materi yang diatur dalam rencana jaringan pergerakan dalam RDTR meliputi rencana yang

mengatur jaringan jalan, dan jaringan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda.

Pengelompokan materi yang diatur dalam rencana jaringan pergerakan adalah sebagai berikut:

i. Jaringan sekunder meliputi: kolektor, lokal, dan lingkungan yang terdiri atas:

Jaringan jalan kolektor primer dan kolektor sekunder;

Jaringan jalan lokal primer dan lokal sekunder;

Jaringan jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder;

ketentuan jumlah lajur dan bagian-bagian jalan (ruang manfaat jalan, ruang milik

jalan, dan ruang pengawasan jalan);

Jaringan jalan masuk dan keluar terminal barang dan terminal orang/penumpang

sesuai ketentuan yang berlaku (terminal tipe A, B dan C hingga pangkalan angkutan

umum);

Jaringan jalan moda transportasi umum (jalan masuk dan keluarnya terminal

barang/orang hingga pangkalan angkutan umum, dan halte)

Jaringan jalan masuk dan keluar parkir

ii. Sistem jaringan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, meliputi: pola sirkulasi pejalan kaki dan

jenis ruang pejalan kaki; dan pola sirkulasi sepeda.

b. Rencana Pengembangan Jaringan Energi (gas), meliputi : migas, panas bumi, dan tenaga

surya, termasuk pabrik gas dan seluruh jaringan gas.

c. Rencana Pengembangan Jaringan Kelistrikan, meliputi:

i. Pembangkit listrik (skala besar maupun mikro) di wilayah perencanaan;

ii. Penjabaran jaringan pipa minyak dan gas bumi, di wilayah perencanaan (jika

ada);

iii. Penjabaran jaringan transmisi tenaga listrik SUTUT, SUTET, dan SUTT di

wilayah perencanaan (jika ada);

iv. Kebutuhan penyediaan listrik (tegangan menengah hingga gardu distribusi),

termasuk penyediaan:

Bangunan pembangkit;

Gardu induk tegangan ekstra tinggi;

Gardu induk; dan

Gardu distribusi.

v. Jalur-jalur distribusi energi kelistrikan, gardu induk distribusi, dan sistem distribusi

d. Rencana Jaringan Telekomunikasi, meliputi:

i. Rencana pengembangan infrastruktur dasar telekomunikasi berupa jaringan

telepon fixed line dan lokasi pusat automatisasi sambungan telepon;

ii. Kebutuhan penyediaan telekomunikasi (hingga jaringan kabel sekunder),

termasuk penyediaan:

iii. Stasiun telepon otomatis;

Rumah kabel dan kotak pembagi;

Jaringan kabel sekunder;

Jaringan telepon seluler; dan

Stasiun transmisi tv-kabel.

iv. Rencana sistem saluran telepon seperti sistem saluran telepon otomat, rumah

kabel dan kotak pembagi, jaringan kabel sekunder;

v. Rencana sistem televisi kabel seperti stasiun transmisi dan jaringan kabel

distribusi;

vi. Infrastruktur telepon nirkabel berupa lokasi menara telekomunikasi termasuk

menara Base Transceiver Station (BTS); dan

vii. Rencana peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi.

I-4

Page 5: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

e. Rencana Jaringan Air Bersih, meliputi:

i. Jaringan air baku untuk air bersih dan mata air, terdiri atas:

Bangunan pengambil air baku;

Seluruh pipa transmisi air baku instalasi produksi;

Seluruh pipa transmisi air bersih;

Bak penampung; dan

Pipa distribusi sekunder/distribusi hingga blok peruntukan.

ii. Distribusi air bersih

iii. Rencana kebutuhan dan sistem penyediaan air minum, yang terdiri atas:

Volume air minum yang dibutuhkan;

Sistem penyediaan air minum bagian dari wilayah kota mencakup sistem

jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan perpipaan;

Bangunan pengambil air baku;

Seluruh pipa transmisi air baku instalasi produksi;

Seluruh pipa transmisi air minum;

Bak penampung; dan

Pipa distribusi sekunder/distribusi hingga blok peruntukan.

f. Rencana Jaringan Drainase, meliputi :

i. Rencana kebutuhan dan sistem drainase, terdiri atas:

Kebutuhan penyediaan sistem drainase;

Rencana jaringan primer, sekunder, dan tersier yang berfungsi untuk

mengalirkan limpasan air hujan (storm water) dan air permukaan lainnya

untuk menghindari genangan air di wilayah perencanaan; dan

Waduk atau kolam penampungan (jika ada) serta kriteria teknisnya.

ii. Sistem pengendalian banjir

g. Rencana Jaringan Air Limbah, meliputi :

i. Sistem air pembuangan yang terdiri atas sistem pembuangan air limbah (sewage)

termasuk sistem pengolahan berupa instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan

sistem pembuangan air buangan rumah tangga (sewerage) baik individual

maupun komunal;

ii. Seluruh saluran pembuangan;

iii. Bangunan pengolahan;

iv. Waduk/bak penampungan; dan

v. Instalasi tambahan untuk air limbah yang mengandung Bahan Berbahaya dan

Beracun (B3). Instalasi ini digunakan untuk membersihkan air limbah tersebut

sebelum masuk ke jaringan air buangan di wilayah perencanaan.

h. Penyediaan prasarana lainnya.

Prasarana dapat direncanakan melalui penyediaan dan pemanfaatannya disesuaikan dengan

kebutuhan pengembangan wilayah perencanaan, contoh rencana jalur evakuasi bencana yang

terdiri atas :

(1) Jalur evakuasi bencana (escape way) untuk skala kota, kawasan, maupun lingkungan dan

direncanakan untuk segala jenis bencana yang mungkin terjadi;

(2) Jalur evakuasi bencana dapat dengan memanfaatkan jaringan jalan yang sudah ada

dengan memperhatikan kapasitas jalan.

Rencana jaringan prasarana di wilayah perencanaan digambarkan dengan ketentuan

sebagai berikut:

I. Peta rencana jaringan prasarana memuat:

Jaringan jalan yang berada dalam wilayah perencanaan yang menjadi kewenangan kota

dan jalan sekunder yang melalui wilayah perencanaan;

Sistem prasarana wilayah lainnya digambarkan pada satu lembar peta wilayah

perencanaan secara utuh dan dapat digambarkan masing-masing pada peta tersendiri;

dan

Sistem jaringan prasarana jalan harus digambarkan mengikuti terase jalan yang

sebenarnya.

II.Rencana jaringan prasarana digambarkan dengan ketelitian peta skala minimum1:5.000 dan

untuk wilayah perencanaan yang memiliki wilayah pesisir dan laut dapat dilengkapi dengan peta

batimetri yang menggambarkan kontur laut; dan

III.Penggambaran peta rencana jaringan prasarana bagian dari wilayah kota harus mengikuti

peraturan perundangan-undangan terkait pemetaan rencana tata ruang sesuai dengan

ketentuan sistem informasi geografis yang ditentukan oleh instansi yang berwenang dan

mengikuti peraturan perundangan-undangan terkait lainnya.

f) Penetapan Bagian Dari RDTR yang Diprioritaskan Penanganannya

Dalam RDTR kota, perlu ditetapkan bagian dari wilayah perencanaan yang diprioritaskan

untuk disusun ke dalam rencana yang lebih teknis seperti RTBL, rencana

revitalisasi/peremajaan, maupun rencana pembangunan yang lebih rinci lainnya. Untuk

penetapan bagian RDTR yang diprioritaskan penanganannya, hanya mencantumkan :

o Kriteria (tema)

o Peta lokasinya.

g) Arahan Pemanfaatan Ruang (RDTR memiliki fungsi perencanaan)

Arahan pemanfaatan ruang dalam RDTR kota merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam

bentuk program penataan ruang/pengembangan untuk wilayah perencanaan dalam jangka

I-5

Page 6: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan sebagaimana

diatur dalam pedoman ini.

1. Arahan pemanfaatan ruang berfungsi sebagai:

Dasar pemerintah dan masyarakat dalam pemrograman penataan ruang/pengembangan

kota;

Arahan untuk sektor dalam penyusunan program;

Sebagai dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan

maupun penyusunan program tahunan untuk setiap jangka 5 (lima) tahun; dan

Sebagai acuan bagi masyarakat dalam melakukan investasi.

2. Arahan pemanfaatan ruang disusun berdasarkan:

Rencana rencana pola ruang, arahan tata massa bangunan, rencana jaringan prasarana,

dan penetapan bagian dari RDTR yang diprioritaskan penanganannya;

Ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan;

Kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan; dan

Prioritas pengembangan dalam wilayah perencanaan dan pentahapan rencana

Pelaksanaan program sesuai dengan RPJP Daerah maupun RPJM Daerah.

3. Arahan pemanfaatan ruang disusun dengan kriteria:

Mendukung perwujudan rencana pola ruang, arahan tata massa bangunan, rencana

jaringan prasarana, dan penetapan bagian dari RDTR yang diprioritaskan penanganannya

di wilayah perencanaan;

Mendukung program penataan ruang wilayah kota;

Realistis, objektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu perencanaan;

Konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun, baik dalam jangka

waktu tahunan maupun antarlima tahunan;

dan terjaganya sinkronisasi antarprogram dalam satu kerangka program terpadu

pengembangan wilayah kota.

h) Indikasi program utama dalam arahan pemanfaatan ruang dalam dokumen RDTR kota

minimum harus memuat:

a. Indikasi Program Pemanfaatan Ruang, merupakan program-program pengembangan

wilayah perencanaan yang diindikasikan memiliki bobot tingkat kepentingan atau

diprioritaskan untuk mewujudkan rencana pola ruang, arahan tata massa bangunan,

rencana jaringan prasarana, dan penetapan bagian dari RDTR yang diprioritaskan

penanganannya di wilayah perencanaan sesuai tujuan penataan ruang wilayah

perencanaan.

Program pemanfaatan ruang ini sekurang-kurangnya memuat kelompok program sebagai

berikut:

i. Program perwujudan rencana jaringan prasarana di wilayah perencanaan, meliputi:

a) Perwujudan sistem jaringan prasarana untuk wilayah perencanaan, yang mencakup pula

sistem prasarana nasional dan wilayah/regionaldi dalam wilayah perencanaan:

Perwujudan sistem jaringan transportasi di wilayah perencanaan, yang meliputi

sistem prasarana transportasi darat, udara, dan air;

Perwujudan sistem jaringan sumber daya air;

Perwujudan sistem jaringan energi dan kelistrikan;

Perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;

Perwujudan sistem persampahan, sanitasi dan drainase; dan

Perwujudan sistem jaringan lainnya sesuai kebutuhan wilayah perencanaan.

b) Program perwujudan rencana jaringan prasarana di wilayah perencanaan, perwujudan

rencana pola ruang di wilayah perencanaan, meliputi:

Perwujudan kawasan lindung atau zona lindung pada wilayah perencanaan; dan

Perwujudan kawasan budi daya atau zona budi daya pada wilayah perencanaan,

meliputi:

i. Perwujudan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum di wilayah perencanaan;

ii. Perwujudan ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap jenis pola ruang (zona) jika

peraturan zonasi terpisah dari dokumen RDTR;

iii. Perwujudan intensitas pemanfaatan ruang blok peruntukan (jika peraturan zonasi

terpisah dari dokumen RDTR); dan

iv. Perwujudan tata massa bangunan (jika peraturan zonasi terpisah dari dokumen

RDTR).

c) Program perwujudan rencana jaringan prasarana di wilayah perencanaan, perwujudan

rencana bagian dari RDTR yang diprioritaskan penanganannya, meliputi:

Perwujudan penyediaan ruang untuk sektor informal dan ketentuan kegiatan sektor

informal;

Perwujudan penyediaan RTH publik (20%) dan RTH privat (10%);

Perwujudan penyediaan RTNH; dan

Perwujudan penanganan kawasan dan bangunan.

1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah dari proses penyusunan RDTRK ini yaitu SWK Cibeunying yang terdiri dari 6

(enam) Kecamatan, yaitu: Kecamatan Cibeunying Kidul, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kecamatan

I-6

Page 7: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Coblong, Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sumur Bandung, dan Kecamatan Bandung Wetan. dengan

batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kabupaten Bandung

Sebelah Barat : Jalan Setiabuti, Jalan Cipaganti dan Jalan Otto Iskandardinata

Sebelah Selatan : Jalan Asia Afrika dan JalanJenderal Ahmad Yani

Sebelah Timur : SWK Ujungberung (Jalan Jatihandap)

1.5 Metode Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi

1.5.1 Metoda Penyusunan RDTR

A. Metoda Analisis Superimpose dan Buffering

1. Superimpose/Pertampalan Peta

Model analisis ini dilakukan dengan menampalkan dua atau lebih peta yang ada dalam sistem

database spasial. Hal Ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik suatu obyek dengan banyak

variabel. Sebagai contoh kita ingin membangun peta kesesuaian lahan berdasarkan kondisi fisik

dasarnya serta tingkat aksesibilitasnya, maka kita dapat melakukan proses pertampalan dari peta-peta

tematik tersebut.

2. Buffering/Distance

Proses buffering/distance digunakan untuk membangun jarak radius dari suatu obyek. Proses ini

berguna untuk menentukan besar wilayah pengaruh dari suatu kegiatan. Misalnya untuk menetapkan

kawasan lindung di sepanjang garis sempadan sungai, kita dapat melakukan dengan menetapkan jarak

tertentu di sepanjang jalan (misalnya 100 m dari pinggir sungai).

B. Metoda Analisis Proyeksi Penduduk

Metoda analisis ini digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan penduduk pada masa yang

akan dating berdasarkan trend perkembangan tahun-tahun sebelumnya. Analisis proyeksi penduduk ini

akan menjadi dasar dalam menghitung kebutuhan sarana dan prasarana di wilayah perencanaan.

1. Metoda Bunga Berganda

Metoda ini menganggap bahwa pertumbuhan penduduk pada masa lampau akan berlaku untuk

masa datang dan jumlahnya berganda. Dengan menganggap perkembangan jumlah penduduk

akan berganda dengan sendirinya, maka metoda ini tidak mempertimbangkan kenyataan empiris

bahwa sesudah waktu tertentu derajat pertambahan relatif menurun, seperti adanya kesadaran

ber-KB, atau makin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan penduduk.

Perumusan metoda ini yaitu sebagai berikut :

Pt+ = Pt (1 + r)

Keterangan:

Pt+ = Penduduk pada tahun t+

Pt = Penduduk pada tahun dasar t

R = Rata-rata pertambahan jumlah penduduk

= Selisih dari tahun dasar t ke tahun +t

2. Metoda Regresi Linier

Metoda ini dapat dikatakan merupakan penghalusan (smoothing) dari metoda Bunga Berganda.

Cara ini merupakan metoda selisih kuadrat minimum, yang dapat memberikan penyimpangan

minimum atas data penduduk masa lampau dibandingkan metoda Bunga Berganda. Perumusan

metoda Regresi Linier adalah sebagai berikut:

Pt+x = a + b (X)

Keterangan:

Pt+x = Penduduk pada tahun t+

X = tambahan tahun terhitung dari tahun dasar

a, b = tetapan yang diperoleh dari rumus berikut;

P X2 - X PX a = N X2 - ( X)2

N PX - X P b = N X2 - ( X)2

C. Model dan Analisis Intensitas Penggunaan Lahan

Model ini digunakan menilai tingkat intensitas penggunaan lahan dari setiap kegiatan

permukiman pada seluruh kawasan perencanaan. Model yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan:

IPL = Intensitas Penggunaan Lahan

KLB = Koefisien Lantai Bangunan

D. Metoda Analisis Perkiraan Kebutuhan Sarana

Beberapa model standar yang dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan sarana

mengacu kepada Pedoman standar lingkungan permukiman kota (DPMB, DPU) dan Pedoman standar

pembangunan perumahan sederhana (DPMB, DPU). Berikut akan dijelaskan tentang standar-standar

dalam perencanaan sarana dan prasarana suatu perkotaan yatu standar Departemen Pekerjaan

Umum.

1. Sarana Pendidikan

I-7

Page 8: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Standar sarana pendidikan Departemen PU dari mulai Taman Kanak-Kanak hingga pada tingkat

SLTA, lihat Tabel 1.1.

Tabel 1. 1Standar Perencanaan Untuk Sarana Pendidikan

Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Jenis

Sarana

Luas Tiap Unit

(M2)

1.000

1.600

4.800

4.800

Taman Kanak-Kanak

Sekolah Dasar

SLTP

SLTA

1.200

3.600

2.700

2.700

Catatan :

Angka-angka standar dikalikan dengan suatu koefesien sesuai dengan

kepadatan yang direncanakan sebagai berikut :

> 500 jiwa/ha dikalikan dengan 0,75

250 – 500 jiwa/ha dikalikan dengan 1,00

100 – 250 jiwa/ha dikalikan dengan 1,50

< 100 jiwa/ha dikalikan dengan 2,00

2. Sarana Kesehatan

Standar fasilitas kesehatan Departemen PU meliputi balai pengobatan, praktek dokter, apotik,

BKIA dan RS bersalin, puskesmas, dan RS Wilayah. Jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.2

Tabel 1. 2 Standar Perencanaan Untuk Sarana Kesehatan

Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa)

Jenis

Sarana

Luas Tiap Unit

(M2)

3.000

5.000

10.000

10.000

30.000

120.000

240.000

Balai Pengobatan

Praktek Dokter

Apotek

BKIA & RS Bersalin

Puskesmas & BP

Puskesmas & BP

RS Wilayah

300

-

350

1.600

1.200

2.400

86.400

3. Sarana Peribadatan

Kebutuhan sarana peribadatan yang diukur oleh Dept. PU yang terdiri dari langgar mesjid

lingkungan, mesjid, dan mesjid kota. Jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.3

Tabel 1. 3 Standar Perencanaan Untuk Sarana Peribadatan

Jumlah Penduduk

Pendukung

(Jiwa)

Jenis

Sarana

Luas Tiap Unit

(M2)

2.500

30.000

120000

1.000.000

Langgar

Mesjid Lingkungan

Mesjid

Mesjid Kota

300

1.750

4.000

Catatan :

Angka-angka standar dikalikan dengan suatu koefesien sesuai dengan kepadatan

yang direncanakan sebagai berikut :

> 500 jiwa/ha dikalikan dengan 0,75

250 – 500 jiwa/ha dikalikan dengan 1,00

100 – 250 jiwa/ha dikalikan dengan 1,50

< 100 jiwa/ha dikalikan dengan 2,00

4. Sarana Olahraga / Rekreasi

Sarana olahraga standar Dept. PU meliputi balai pertemuan, gedung bioskop, gedung serbaguna,

gedung kesenian, perpustakaan, tempat bermain, dan lapangan olahraga. Jelasnya dapat dilihat

pada Tabel 1.4

Tabel 1. 4 Standar Perencanaan Untuk Sarana Olahraga / Rekreasi

Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa)Jenis Sarana Kota

Luas Tiap

Unit (M2)

2.500

30.000

30.000

120.000

480.000

480.000

480.000

1.000.000

1.000.000

1.000.000

1.000.000

250

2.500

30.000

120.000

490.000

Balai Pertemuan

Gedung Bioskop

Gedung Serbaguna

Gedung Serbaguna

Gedung Sebaguna

Gedung Kesenian

Perpustakaan

Gedung Bioskop

Gedung Kesenian

GSG / Gel. Remaja

Taman Bermain

Tempat Bermain

Tempat Bermain/Lap. OR

Lapangan Olahraga

Tempat Bermain

Tempat Rekreasi

300

2.000

1.000

3.000

3.000

2.000

2.000

1.000

3.000

3.000

3.000

250

1.250

9.000

24.000

124.000

Catatan :

Angka-angka standar dikalikan dengan suatu koefesien sesuai dengan kepadatan yang

direncanakan sebagai berikut :

> 500 jiwa/ha dikalikan dengan 0,75

250 – 500 jiwa/ha dikalikan dengan 1,00

100 – 250 jiwa/ha dikalikan dengan 1,50

< 100 jiwa/ha dikalikan dengan 2,00

5. Sarana Lainnya

Sarana lainnya terdiri dari sarana perdagangan, pelayanan umum, perumahan, pemakaman, dan

sarana transportasi (terminal). Sarana perdagangan menurut standar Dept. PU untuk sarana

perdagangan terdiri dari warung, pertokoan, pusat belanja lingkungan, pusat perbelanjaan, pusat

belanja dan niaga. Jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.6.

Tabel 1. 5 Standar-Standar Perencanaan Untuk Sarana Lainnya

I-8

Page 9: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Jumlah Penduduk

Pendukung

(Jiwa)

Jenis Sarana Luas Tiap Unit

(M2)

250

2.500

30.000

120.000

480.000

-

-

30.000

30.000

120.000

120.000

120.000

120.000

Asumsi 1 KK = 5 jiwa / rumah

30.000

A. Perdagangan

Warung

Pertokoan

Pusat Belanja

Lingkungan

Pusat Perbelanjaan

Pusat Belanja /

Niaga

B. Pelayanan Umum

Kantor Kelurahan

Kantor Kecamatan

Pos Polisi

Kantor Pos

Pembantu

Kantor Pos Cabang

Kantor Polisi

Kantor Telepon

Pamadam

Kebakaran

C. Perumahan

D. Pemakaman

E. Terminal

100

1.200

13.500

36.000

96.000

500

1.000

200

100

500

300

300

300

90

3,75 / penduduk

2.000 m2

Sumber : Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota, Ditjen Cipta Karya

E. Metoda Analisis Perkiraan Kebutuhan Prasarana

1. Air Bersih

Kebutuhan air bersih dianalisis berdasarkan pertimbanga:

Kependudukan. Dalam hal ini tidak hanya Jumlah yang ada saat ini tetapi Juga

memperhitungkan jumlah penduduk pada akhir perencanaan. Namun demikian, tidak hanya

Jumlah penduduknya saja, tetapi juga kepadatan dan sebaran. Kepadatan akan memberi

indikasi apakah diperlukan sistem perpipaan atau tidak. Sementara sebaran menentukan

sistem jaringan maupun sistem distribusinya.

Target pelayanan yaitu perbandingan antara pelayanan air bersih yang diperhitungkan

berdasarkan penduduk yang akan mendapatkan layanan terhadap Jumlah penduduk

keseluruhan. Target pelayanan dalam hal ini tergantung kemampuan masing-masing kola

dari sisi sumber dayanya (pada tahun 2000 pemerintah menganjurkan 80% penduduk

terlayani untuk daerah perkotaan). Dalam hal target pelayanan air bersih ini tidak hanya

untuk memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga untuk fasilitas perkotaan lainnya.

Jenis pelayanan dan satuan kebutuhan air untuk : domestik, fasilitas sosial, dan kebuluhan

khusus.

Karakteristik kebutuhan air yang menggambarkan variasi kebutuhan harian yaitu kebutuhan

rata-rata dan kebutuhan puncak.

Jumlah air yang hilang dalam sistem.

Tabel 1. 6 Kriteria Pemakaian Air Bersih (Sistem Perpipaan)

No ParameterKota

Metro Besar Sedang Kecil

1. Kebutuhan Domestik (lt/hari/orang)

A. Sambungan Rumah (SR) 190 170 150 130

B. Kran umum (KU) 30 30 30 30

2. Kebutuhan Non Domestik

A. Industri (lt/hari/org)

a. Berat 43.200 - 86400 = 0,50 - 1,00 (lt/detik/ha)

b. Sedang 21.600 - 43.200 = 0,25 -0,50 (lt/detik/ha)

c. Ringan 12.960 - 21.600 = 0,15 - 0,25 (lt/detik/ha)

B. Komersial (lt/hari/org)

a. Pasar 8.640 - 86.400 = 0,1 - 1,00 (lt/detik/ha)

C. Hotel (lt/hari/org)

a. Lokal 400

b. Internasional 1.000

D. Sosial dan Instansi

a. Universitas (lt/hari/siswa) 20

b. Sekolah (lt/hari/siswa) 15

c. Mesjid (lt/hari/unit) 1.000-2.000

d. Rumah Sakit (lt/hari/kamar) 400

e. Puskesmas (lt/hari/unit) 1.000 - 2.000

f. Kantor (lt/hari/unit) 864 = 0,01 (lt/detik/unit)

g. Militer (lt/hari/ha) 10.000 = 10 (lm/hari/ha))

3. Kebutuhan hari maksimum (lt/hari) Kebutuhan rata-rata x 1,15 - 1,20 (faktor jam

maks)4. Kebutuhan jam puncak (lt/hari) Kebutuhan rata-rata x faktor jam puncak (165%

- 200%)5. Kebutuhan hari rata-rata Kebutuhan Domestik + Non Domestik

6. Kehilangan air (lt/hari)

A. Kota Metro dan Besar 25 % dari kebutuhan hari rata-rata

B. Kota Sedang dan Kecil 30 % dari kebutuhan hari rata-rata

7. Total Kebutuhan Air Bersih (liter/hari) Kebutuhan rata-rata + kehilangan air

Sumber : Pedoman Perencanaan Air Bersih, Dept. Cipta Karya

Keterangan :

Kota Besar & Metro : > 1 juta jiwa penduduk

Kota Sedang : 100.000 - 1 juta jiwa

Kota Kecil :25.000 - 100.000 jiwa

Desa :< 25.000 jiwa

2. Drainase

Kebutuhan sistem penanganan genangan air hujan ('drainase') suatu daerah kawasan/kota

dianalisis berdasarkan pertimbangan:

Curah hujan rencana yang akan digunakan sebagai dasar dalam penentuan rencana

kapasitas sistem drainase.

Keadaan penggunaan lahan yang ikut menentukan besamya koefisien limpasan permukaan

yaitu porsi air yang melimpas lewat permukaan tanah yang akan ditampung di dalam

rencana saluran drainase.

I-9

Page 10: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Luas area pembebanan yang akan menentukan volume curah hujan yang ditampung pada

daerah pembebanan bersangkutan dan untuk selanjutnya akan dialirkan menuju ke saluran

drainase yang direncanakan.

Jenis-Jenis kegiatan dan lipologi kota. Semakin sibuk dan tinggi ukuran kawasan/kota maka

tingkat resiko terjadinya genangan juga semakin tinggi.

Kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk ini berkait dengan kepadatan bangunan dan

fasilitas yang akan mengubah keadaan aliran permukaan. Data penduduk yang diperlukan

meliputi jumlah penduduk. kepadatan, laju pertambahan dan sebaran.

Penyediaan prasarana drainase mempertimbangkan beberapa faktor sebagai penentu jenis

prasarana yang diperlukan sebagai berikut :

Keadaan topografi. Pada daerah dengan topografi dataran akan berbeda penanganan

drainasenya dengan perbukitan dalam hal sistem jaringan dan fasilltas pendukung seperti

perlu tidaknya pintu air reservoir banjir atau pompanya.

Keadaan fisik ruang kawasan/kota dan tata air.

Sistem yang digunakan.

Gambar 1. 2 Analisis dan Penanganan Drainase

3. Air Kotor/Sanitasi

Kebutuhan atau perkiraan kebutuhan prasarana pembuangan air kotor berkaitan dengan

beberapa komponen yakni :

Jenis pembuangan air kotor. Di perkotaan jenis ini dibagi atas limbah domestik dan limbah

industri.

Jenis layanan yang lerdiri dari layanan komersial dan layanan sosial. Layanan komersial

dibutuhkan unluk melayani daerah yang mencakup: permukiman, perkantoran, pendidikan,

perdagangan, dan industri. Layanan komersial ini diperhitungkan dengan restribusi untuk

pembuangan limbahnya. Sementara layanan sosial tidak memperhitungkan profit yang pada

umumnya sebagai bagian layanan kota bagi masyarakat miskin kota dan fasilitas-fasilitas

sosial seperti pendidikan dan perkantoran pemerintah. Debit yang dihasilkan sesuai dengan

volume limbah sesuai dengan fungsi kegiatan, walaupun volume tersebut masih berupa

perkiraan.

Indikator debit. Indikator perhitungan layanan jaringan ini adalah debit yang dihasilkan dan

kualitas limbahnya. Indikator debit berkait erat dengan pemeliharaan (usaha

penggelontoran). Sedangkan indikator kualitas limbah berkait dengan pengenceran air kotor

untuk dapat langsung dibuang atau diproses dulu.

Sistem yang digunakan yakni dengan jaringan riool kota atau setempat. Penggunaan sistem

jaringan riool kota memperhatikan kondisi: kepadatan bangunan tinggi, kemiringan tanah

cukup baik untuk aliran air, tersedia badan air bagi buangan akhir misal sungai,

memungkinkan penggunaan pengenceran limbah dengan saluran penggelontor dengan

debit yang cukup.

Pengadaan pelayanan pembuangan air kotor meliputi komponen:

Sistem jaringan yang perlu disediakan. Sistem ini bisa berupa terpusat (sistem jaringan riool

kota) dan jaringan tersebar (sistem peresapan terpusat). Komponen jaringan terpusat

memiliki komponen: house sewer, jaringan tersier, jaringan sekunder, dan jaringan primer.

Sementara komponen tersebar memiliki komponen; tangki septik, sumur peresapan atau

saringan pasir pada daerah dengan muka air dangkal.

Lingkup layanan jaringan dengan memperhatikan kondisi kota baik fisik (mis. kemiringan,

guna lahannya, jenis tanah) dan non fisik (mis. income perkapita, budaya).

Kapasitas layanan jaringan

I-10

HUJAN

TOPOGRAFI

TATA AIR

PENUTUPAN AIR LAHAN

UTILITAS KOTA/KAWASAN Perumahan Pusat Kegiatan Fasilitas

GENANGAN Lama Tinggi Luas

AKIBAT Kegiatan terganggu Kesehatan

masyarakat terganggu Fasilitas rusak

ANALISIS FREKUENSI

KURVA INTENSITAS - DURASI FREKUENSI

KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN

LUAS AREAL

SEBARAN HUJAN

TATA LETAK

DEBIT RENCANA

JARINGAN DRAINASE kuarter tersier sekunder primer

Permeabilitas baik

SUMUR/SALURAN RESAPAN

Tidak

Analisis Masalah Penanganan Masalah

Page 11: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Gambar 1. 3 Analisis Penentuan Pembuangan Air Kotor

Utilitas air limbah menurut analisa perkiraan limbah Dept. Cipta Karya terdiri dari :

Perhitungan timbulan air limbah

Jumlah air limbah domestik (Q a.1 dom) = (70%-80%) x air bersih domestik dan jumlah air

limbah non domestik (Q a.1 nondom) = (70%-80%) x air bersih non domestik.

Perhitungan kapasitas desain

- Onsite system (Septic Tank dan bidang resapan)

- Offsite system

Q rata-rata = Q domestik + Q non domestik

Q infiltrasi = 10% dari Q rata-rata = (0,1 lt/detik/ha)

Q puncak = Q rata-rata x faktor puncak (fp =2)

Q design = Q puncak + Q infiltrasi

Transportasi Lumpur Tinja

- Jumlah penduduk yang menggunakan septic tank

- Jumlah timbulan lumpur tinja = 40-50 lt/orang/tahun

- Kapasitas truk tinja yang digunakan = 2 m3, 4 m2, 6 m2

- Waktu operasi : 8 jam perhari dan 4 jam perhari

- Jarak jangkauan = 15 km

Proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan air limbah

- Penentuan daerah pelayanan

Tingkat kepadatan rendah : < 50 jiwa/ha

Tingkat kepadatan sedang : 50-300 jiwa/ha

Tingkat kepadatan tinggi : > 300 jiwa/ha

- Penentuan sarana yang dibutuhkan

Di daerah kawasan yang menghasilkan beban pencemaran lebih kecil dari daya dukung

lahan maka digunakan Onsite sistem, misal MCK untuk penghasilan rendah dan septic

tank + sumur resapan untuk tempat umum serta instalasi pengolahan lumpur tinja.

- Di daerah atau kawasan yang menghasilkan beban pencemaran lebih

besar dari daya dukung lahan maka digunakan offsite sistem dan instalasi air limbah

(IPAL).

Lebih jelasnya mengenai standar pelayanan air limbah dapat dilihat pada tabel 1.8.

Tabel 1. 7 Standar Pelayanan Air Limbah

NoKategori

Wilayah

Jumlah Penduduk

(jiwa)

Target Pelayanan (%)

Onsite

sistem

Offsite sistem

Sewer Interseptor Total

1. Kota besar

dan Metro

> 1 juta 50 10 15 25

2. Kota sedang 100.000 - 1 juta 60 5 10 15

3. Kota kecil 25.000 - 100.000 70 - - -

4. Desa < 25.000 80 - - -

Sumber : Pedoman Perencanaan Air Bersih, Dept. Cipta Karya

4. Listrik

Pada dasamya pelayanan atau pengadaan prasarana listrik masih dipengaruhi oleh kebutuhan

konsumen. Kebutuhan konsumen tidak hanya pada pemenuhan sambungan tetapi juga

penambahan daya.

Dalam analisis kapasitas dalam arti supply listrik khususnya dari PLN masih berdasarkan pada

kecenderungan permintaan perkiraan besar dan distribusi konsumen. Supply ini tergantung

pada sumber tenaga listrik yang ada. Dari berbagai sumber bisa dibuat sistem tertutup dan

terpadu. Artinya banyaknya alternatif sumber dan bisa dikoneksikan. Masalah akan timbul bila

kebutuhan daya listrik tidak bisa diimbangi dengan supply daya listrik.

I-11

AIR LIMBAH

Kepadatan

Penduduk <100

Jiwa/Ha

Permeabilita

s Tanah Baik ?

Kedalaman Air

Tanah > 4m

Kepadatan

Penduduk <300

Jiwa/Ha

Septic tankdan an

aerobik up flow

Septic tank

dan saluran resapan

Septic tankdan small

bore sewer & treatment

plan

Sewer &

Treatment Plan

Septic tankdan sumur

saluran resapan

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Page 12: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Utilitas listrik menurut kebutuhan berdasarkan Dept. Cipta Karya terdiri dari :

Perencanaan listrik :

- Perencanaan di perkotaan (20 tahun)

- Perkembangan pemakaian listrik < 8 % / tahun

- Kepadatan daerah pelayanan (1km) : < 100 KVA = 100.000 watt

Karakteristik konsumen berdasarkan :

- Pola permukiman

- Kelompok konsumen

Pemakaian produktif

Untuk menaikkan konsumsi sebesar 6 % pertahun maka daya tambahan disiapkan pada

tahun ke-3 dengan kehilangan daya maksimal 15 %.

5. Telepon

Kebutuhan prasarana telepon dapal dilihat dari: (a) arah perkembangan kota, (b) jenis dan

volume kegiatan yang dilayani, dan (c) distribusi spasialnya. Sedangkan supply jaringan telepon

masih terlihat monopolistic yakni dari telkom walaupun sekarang dengan adanya sarana-

prasarana telepon non jaringan (mobile-phone atau dikenal dengan handphone) tidak

merupakan masalah yang amat dirisaukan (mobile-phone akan bermasalah bila area

layanannya tidak lerpenuhi). Sehingga mekanisme pasar (supply and demand mechanism) tidak

lagi mempengaruhi manajemen kota secara langsung.

Utilitas telepon menurut kebutuhan berdasarkan Dept. Cipta Karya adalah diasumsikan bahwa

30 % dari jumlah rumah yang ada pada tahun perencanaan membutuhkan telepon.

6. Persampahan

Kebutuhan prasarana pengelolaan persampahan yang perlu diperhitungkan adatah: (a) sumber

sampah, (b) jenis dan volume sampan. Sumber sampan dalam lingkup area perkotaan dapat

dikategorikan menjadi sepuluh sumber yakni: permukiman, perdagangan atau area komersial,

pasar (khususnya pasar tradisional), industri, kesehatan (khususnya yang berskala besar

seperti rumah sakit), pendidikan (termasuk kampus), perkantoran (khususnya perkantoran skala

besar - misal kompiek pemda), fasilitas umum (area parkir, lapangan), jalan dan selokan, dan

taman kota.

Jenis sampah berdasar sumber dapat disebutkan di bawah ini.

Jenis sampah permukiman: biasanya dari sampah domestik dan pekarangan terdiri dari sisa-

sisa makanan, sayuran, buah-buahan, daun bekas bungkus, daun kering yang jatuh dari

pohon, kertas dan plastik bekas bungkus.

Jenis sampah perdagangan atau area komersial: terdiri dari bungkus-bungkus barang

(kardus), kertas-kertas, plastik, buah-buahan busuk, kaleng, kulit dan biji buah-buahan

(khususnya supermarket).

Jenis sampah pasar: terdiri dari sisa-sisa sayuran, buahan-buahan, daun, kertas

pembungkus, koran, tulang-tulang, kotoran hewan, bulu hewan, kulit dan biji buahan, sampah

organik.

Jenis sampah industri; terdiri dari sisa-sisa proses pabrik, ampas dipengolahan bahan baku.

Biasanya menonjol jumlahnya dan hanya salah satu jenis saja. Macam dan jenisnya

tergantung pada Jenis dan proses industrinya.

Jenis sampah kesehatan: lerdiri dari bahan-bahan bekas pakai alat-alat medik, jarum suntik,

botol-botol plastik, kapas, pembalut, botol-botol kaca, kertas, plastik.

Jenis sampah perkantoran dan pendidikan; terdiri dari kertas-kertas bekas, plastik,

pembungkus/kardus, botol-botol tinta.

Jenis sampah dari fasilitas umum/parkir, jalan, dan selokan; terdiri dari kertas-kertas

pembungkus makanan, kaleng-kaleng bekas, koran bekas, plastik.

Jenis sampah taman kota: biasanya adalah hasil dari penebangan pohon, daun-daun dan

dahan kering, plastik, kertas.

Pengadaan prasarana pengelolaan sampah dapat dilihai secara umum dengan: (a) cara

komunal yang dikelola dengan sistem armada sampah; dan (b) cara setempat. Cara komunal

pada umumnya melalui enam tahap pola pembersihan yaitu: pewadahan, pengumpulan,

pemindahan, pengangkutan, pengelotaan, dan pembuangan akhir. Sedangkan cara setempat

hanya ada dua pola pewadahan dan pengelolaan.

Saat ini pengelolaan sampah direkomendasikan menggunakan konsep Pendekatan 3R

(Reduce, Reuse, Recycle). Konsep pendekatan ini sudah merupakan konsensus internasional.

Program pengolahan sampah dengan mengurangi atau minimasi sampah dapat dilakukan pada

setiap tahapan sistem pengelolaan sampah yaitu pengumpulan, pengangkutan dan sistem

pembuangan sampah. Walaupun begitu idealnya program pengurangan sampah sebaiknya

dimulai sejak awal dari sumbernya, yaitu sejak pewadahan, yang berarti berhubungan langsung

dengan peran serta masyarakat sebagai penghasil sampah.

Tabel 1. 8 Standar Volume Sampah Berdasarkan Sumbernya

No Sumber Sampah Standar Yang Digunakan

1. Perumahan 2-4 lt/orang/hari

2. Perdagangan modern (skala menengah - besar)0,5-2 lt/m2/hr atau 2,5-3

lt/org/hr

3. Industri dan rumah sakit 0,5 - 2 lt/org/hr

4. Pendidikan (TK, SD, SLTP, SLTA, PT) 0,5 - 2 lt/org/hr

5. Peribadatan 0,2 - 2 lt/org/hr

6. Perkantoran (Kompleks perkantoran) 0,5 - 2 lt/pegawai/hr

7. Fasilitas umum lainnya 0,5 - 1 lt/org/hr

8. Sapuan jalan dan selokan 0,2 - 0,5/m/hr

9. Taman kota 0,2 - 0,5/m2/hr

10. Pasar tradisional/rakyat 0,2 - 0,6 lt/org/hr

I-12

Page 13: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

1.5.2 Metoda Penyusunan Peraturan Zonasi

A. Tahap kegiatan penyusunan peraturan zonasi :

1. Review studi/peraturan yang sudah ada dan terkait dengan Zoning

Regulation, terutama keefektifan atau dampak dari peraturan-peraturan Pemerintah Kota mengenai

pemanfaatan lahan, bangunan, dan prasarana lingkungan/infrastruktur. Di dalam kegiatan ini juga

ditinjau peraturan yang tumpang tindih atau bertentangan. Peraturan-peraturan yang efektif akan

diakomodasikan ke dalam Aturan Pola Pemanfaatan Ruang sebaliknya peraturan yang berdampak

negatif sebaiknya diubah.

2. Pengklasifikasikan kembali kawasan, zona, serta penggunaan lahan

dan bangunan sesuai dengan Aturan Pola Pemanfaatan Ruang yang akan disusun. Di sini juga

dianalisis perlunya tambahan klasifikasi kawasan, dan kawasan lainnya yang memerlukan

penanganan khusus, misalnya untuk bangunan bersejarah.

3. Identifikasi penggunaan lahan dan bangunan yang akan muncul secara

signifikan pada suatu zona atau pada suatu jalan dengan klasifikasi tertentu, mengingat bahwa

kota dan masyarakat di dalamnya tumbuh dan berkembang. Hal ini dapat diidentifikasi

nerdasarkan trend pengalihan penggunaan bangunan pada suatu zona atau jalan tertentu, serta

berdasarkan referensi Zoning Regulation.

4. Identifikasi peraturan yang diperlukan bagi masing-masing kawasan

dan zona, meliputi pengaturan penggunaan lahan/bangunan yang diperkenankan dan pengaturan

teknis, yang merupakan draft dari Aturan Pola Pemanfaatan Ruang

B. Komponen Pengendalian

a. Zonasi

Pengertian

Klasifikasi zonasi adalah jenis dan hirarki zona yang disusun berdasarkan kajian teoritis,

kajian perbandingan, maupun kajian empirik untuk digunakan di daerah yang disusun

Peraturan Zonasinya.

Tujuan

Tujuan penyusunan klasifikasi zonasi adalah untuk :

Menetapkan zonasi yang akan dikembangkan pada suatu bagian wilayah/kawasan;

Menyusun hirarki zonasi berdasarkan tingkat gangguannya.

Ketentuan Peruntukan Ruang

Rencana pengembangan blok dan sub blok kawasan perencanaan akan ditentukan oleh

klasifikasi kegiatannya, yang dapat dipisahkan dalam 3 (tiga) kawasan yaitu :

Peruntukan lahan dasar

Peruntukan lahan spesifik

Peruntukan lahan teknis

Peruntukan lahan dasar merupakan pokok kegiatan permukiman yang melandasi aturan

pemanfaatan lahan. Sedangkan peruntukan lahan spesifik adalah kegiatan yang

menunjukan penggunaan ruang yang diperbolehkan dalam pemanfaatan lahannya.

Aturan teknis yang menunjukkan dimensi serta pola dari kegiatan spesifik diatur dalam

pedoman teknis pemanfaatan antar ruang.

Selanjutnya pengaturan blok dan sub blok perencanaan dengan memberlakuan aturan

dasar yang meliputi aturan wajib, aturan anjuran utama dan aturan anjuran, dalam konsep

penataan kawasan, serta mempermudah dalam pengontrolan implementasi atas aturan

dasar tersebut.

Aturan wajib

Merupakan aturan yang disusun atas peraturan peruntukan ruang, penataan

bangunan serta lingkungan dalam blok perencanaan secara mengikat sesuai dengan

fungsi dan peran ruang yang telah ditetapkan. Aturan ini bersifat mengikat dan wajib

ditaati/diikuti.

Aturan wajib meliputi :

Peruntukan ruang

Intensitas ruang

Kepadatan penduduk

Pemecahan blok dan sub blok

Kebutuhan sarana dan prasarana kawasan

Kualitas lingkungan

Aturan Anjuran

Merupakan aturan yang disusun untuk melengkapi aturan wajib yang telah disepakati

bersama pemegang hak atas tanah, dan pihak regulasi sehingga dapat ditaati atau

diikuti. Aturan ini meliputi :

Kualitas lingkungan

Arahan bentuk, dimensi, gubahan dan perletakan dari suatu bangunan atau

komposisi bangunan

Sirkulasi kendaraan

Sirkulasi pejalan kaki

Pedestrian dan Pedagang Kaki Lima

Ruang terbuka hijau dengan fasilitas dan tidak berfasilitas

Utilitas bangunan dan lingkungan

Wajah Arsitektur

Aturan Khusus

I-13

Page 14: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Aturan khusus diberlakukan sebagai aturan tambahan pada kawasan yang

memerlukan penanganan khusus.

Kode Zonasi

Ketentuan penamaan kode zonasi adalah sebagai berikut :

Setiap zonasi diberi kode yang mencerminkan fungsi zonasi yang dimaksud.

Nama kode zonasi dapat disesuaikan dengan RTRW yang berlaku di daerah

masing-masing.

Nama kode zonasi diupayakan bersifat umum, yaitu mewakili karakter/sifat dari

zona yang bersangkutan.

Nomor Blok

Untuk memberikan kemudahan referensi (georeference), maka blok peruntukan

perlu diberi nomor blok. Untuk memudahkan penomoran blok dan

mengintegrasikannya dengan daerah administrasi, maka nomor blok peruntukan

dapat didasarkan pada kode pos (berdasarkan kelurahan/desa) atau kode batas

wilayah administrasi yang telah ada diikuti dengan 2 atau 3 digit nomor blok.

Nomor blok dapat ditambahkan huruf bila blok tersebut dipecah menjadi beberapa

subblok.

Aturan Kegiatan dan Penggunaan Lahan

Definisi

Aturan kegiatan dan penggunaan lahan adalah aturan yang berisi kegiatan yang

diperbolehkan, diperbolehkan bersyarat, diperbolehkan terbatas atau dilarang pada

suatu zona.

Klasifikasi Kegiatan

Aturan kegiatan dan penggunaan lahan pada suatu zonasi penggunaan lahan

dinyatakan dengan klasifikasi sebagai berikut:

“I” = Pemanfaatan diizinkan (P, permitted)

"T" = Pemanfaatan diizinkan secara terbatas (R, restricted)

"B" = Pemanfaatan memerlukan izin penggunaan bersyarat (C,conditional)

"-" = Pemanfaatan yang tidak diijinkan (not permitted)

Penjelasan klasifikasi:

" |" = Pemanfaatan diizinkan

Karena sifatnya sesuai dengan peruntukan tanah yang direncanakan. Hal ini

berarti tidak akan ada peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain dari

pemerintah kabupaten terhadap pemanfaatan tersebut.

“ T " = Pemanfaatan diizinkan secara terbatas

Pembatasan dilakukan melalui penentuan standar pembangunan minimum,

pembatasan pengoperasian, atau peraturan tambahan lainnya yang berlaku di

wilayah kabupaten/ yang bersangkutan.

"B" = Pemanfaatan memerlukan izin penggunaan bersyarat

Izin ini sehubungan dengan usaha menanggulangi dampak pembangunan di

sekitarnya (menginternalisasi dampak); dapat berupa AMDAL, RKL dan RPL.

“-" = Pemanfaatan yang tidak diijinkan

Karena sifatnya tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang direncanakan dan

dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya.

Penyusunan Peta Zonasi

Definisi

Peta zonasi adalah peta yang berisi kode zonasi di atas blok dan subblok yang

telah didelineasikan sebelumnya dengan skala 1:5000 dan atau yang setara

dengan RDTRK.

Subblok peruntukan adalah pembagian peruntukan dalam satu blok peruntukan

berdasarkan perbedaan fungsi yang akan dikenakan.

Pertimbangan

Pertimbangan penetapan kode zonasi di atas peta batas blok/subblok yang dibuat

berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat didasarkan pada :

Kesamaan karakter blok peruntukan, berdasarkan pilihan:

Mempertahankan dominasi penggunaan lahan yang ada (eksisting);

Menetapkan fungsi baru sesuai dengan arahan fungsi pada RTRW;

Menetapkan karakter khusus kawasan yang diinginkan;

Menetapkan tipologi lingkungan/kawasan yang diinginkan;

Menetapkan jenis pemanfaatan ruang/lahan tertentu;

Menetapkan batas ukuran tapak/persil maksimum/minimum;

Menetapkan batas intensitas bangunan / bangun- bangunan

maksimum/minimum;

Mengembangkan jenis kegiatan tertentu;

Menetapkan batas kepadatan penduduk/bangunan yang diinginkan;

Menetapkan penggunaan dan batas intensitas sesuai dengan daya dukung

prasarana (misalnya: jalan) yang tersedia;

Kesesuaian dengan ketentuan khusus yang sudah ada (KKOP, pelabuhan,

terminal, dll);

Karakteristik lingkungan (batasan fisik) dan administrasi.

Subblok Peruntukan

I-14

Page 15: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Bila suatu blok peruntukan akan ditetapkan menjadi beberapa kode zonasi, maka

blok peruntukan tersebut dapat dipecah menjadi beberapa subblok peruntukan.

Pembagian subblok peruntukan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan :

Kesamaan (homogenitas) karakteristik pemanfaatan ruang/lahan.

Batasan fisik seperti jalan, gang, sungai, brandgang atau batas persil.

Orientasi Bangunan.

Lapis bangunan.

Penomoran Sub Blok

Subblok peruntukan diberi nomor blok dengan memberikan tambahan huruf (a,b,

dan seterusnya) pada kode blok.

b. Aturan Insentif dan Disinsentif

Dasar pertimbangan

Pergeseran tatanan ruang yang terjadi tidak menyebabkan dampak yang merugikan

bagi pembangunan;

Pada hakekatnya tidak boleh mengurangi hak masyarakat sebagai warga negara,

dimana masyarakat mempunyai hak dan dan martabat yang sama untuk memperoleh

dan mempertahankan hidupnya;

Tetap memperhatikan partisipasi masyarakat di dalam proses pemanfaatan ruang

untuk pembangunan oleh masyarakat.

Kriteria Pengenaan

Insentif:

Mendorong/merangsang pembangunan yang sejalan dengan rencana tata ruang;

Mendorong pembangunan yang memberikan manfaat yang besar kepada

masyarakat;

Mendorong partisipasi masyarakat dan pengembang dalam pelaksanaan

pembangunan;

Disinsentif:

Menghambat/membatasi pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang;

Menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat di sekitarnya.

Jenis dan Kategori Pengenaan

Pengenaan insentif dan disinsentif dapat dikelompokkan berdasarkan :

Perangkat/mekanismenya, misalnya regulasi, keuangan dan kepemilikan;

Obyek pengenaannya, misalnya guna lahan, pelayanan umum dan prasarana.

Contoh bentuk-bentuk Insentif

Alternatif bentuk insentif yang dapat diberikan antara lain:

Kemudahan izin;

Penghargaan;

Keringanan pajak

kompensasi

imbalan

pola pengelolaan

subsidi prasarana

bonus / insentif

TDR (transfer of development right / pengalihan hak membangun)

ketentuan teknis lainnya.

Contoh bentuk-bentuk disinsentif

Alternatif bentuk disinsentif yang dapat diberikan antara lain:

Perpanjang prosedur;

Perketat/tambah syarat;

Pajak tinggi;

Retribusi tinggi;

Denda / charge

Pembatasan prasarana dan lain –lain

2) Perijinan dalam Pemanfaatan Ruang

Prinsip penerapan ijin:

a. Kegiatan yang berpeluang menimbulkan gangguan pada dasarnya dilarang kecuali dengan

ijin.

b. Setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon ijin dari pemerintah setempat yang akan

memeriksa kesesuaiannya dengan rencana, serta standar administrasi legal.

c. Kegiatan yang berpeluang menimbulkan gangguan pada dasarnya dilarang kecuali dengan

ijin.

d. Setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon ijin dari pemerintah setempat yang akan

memeriksa kesesuaiannya dengan rencana, serta standar administrasi legal.

Tujuan penerapan ijin:

a. Melindungi kepentingan umum (public interest);

b. Menghindari eksternalitas negatif, dan;

c. Menjamin pembangunan sesuai dengan rencana, serta standar dan kualitas minimum yang

ditetapkan.

Kewenangan:

a. Sebagian besar ijin menjadi kewenangan daerah;

b. Pelaksanaan kegiatan dan pembangunan wajib memiliki ijin;

I-15

Page 16: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

c. Pemberi ijin wajib mengawasi dan menertibkan penyimpangan pelaksanaannya;

d. Penerima ijin wajib melaksanakan ketentuan dalam perijinan.

Jenis-jenis Perijinan dan Mekanisme

a. Ijin kegiatan (sektoral)

Persetujuan pengembangan aktivitas/sarana/prasarana yang menyatakan bahwa aktivitas

budidaya yang akan mendominasi kawasan memang sesuai atau masih dibutuhkan atau

merupakan bidang yang terbuka di wilayah tempat kawasan itu terletak. Ijin ini diterbitkan

instansi pembina/pengelola sektor terkait dengan kegiatan dominan tadi. Tingkatan instansi

ditetapkan sesuai aturan di departemen/lembaga terkait.

b. Ijin Prinsip

Persetujuan pendahuluan yang dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis

permohonan ijin Lokasi. Bagi perusahaan PMDN/PMA, surat persetujuan penanaman modal

(SPPM) untuk PMDN dari Meninves/Ketua BKPM atau surat pemberitahuan persetujuan

Presiden untuk PMA, digunakan sebagai Ijin Prinsip.

c. Ijin Tetap

Persetujuan akhir setelah Ijin Lokasi diperoleh. Ijin lokasi menjadi persyaratan, mengingat

sebelum memberikan persetujuan final tentang pengembangan kegiatan budidaya, lokasi

kawasan yang dimohon bagi pengembangan aktivitas tersebut juga telah sesuai dan malah

tingkat perolehan tanahnya telah memperoleh kemajuan berarti (misalnya untuk kawasan

industri 60 %, sebelum PAKTO 1993). Selain itu kelayakan pengembangan kegiatan dari

segi lingkungan hidup harus telah diketahui melalui hasil studi AMDAL. Dengan diperoleh ijin

Tetap bagi kawasan budidaya, selanjutnya tiap jenis usaha rinci yang akan mengisi

kawasan secara individual perlu memperoleh Ijin Usaha sesuai karakteristik tiap kegiatan

usaha rinci. SIPD (Surat Ijin Penambangan Daerah) dan SIPA (Surat Ijin Pengambilan Air)

dapat dikelompokkan dalam kategori Ijin Usaha selain yang sudah dikenal (SIUP, SIUPP,

dll).

d. Ijin Pertanahan

Ijin Lokasi

Persetujuan lokasi bagi pengembangan aktivitas/sarana/ prasarana yang

menyatakan kawasan yang dimohon pihak pelaksana pembangunan atau pemohon

sesuai untuk dimanfaatkan bagi aktivitas dominan yang telah memperoleh Ijin Prinsip. Ijin

Lokasi akan dipakai sebagai dasar dalam melaksanakan perolehan tanah melalui

pengadaan tertentu dan dasar bagi pengurusan hak atas tanah. Acuan dari Ijin Lokasi ini

antara lain adalah:

Sesuaian lokasi bagi pembukaan/pengembangan aktivitas dilihat dari:

Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang;

Keadaaan pemanfaatan ruang eksisting.

Bagi lokasi di kawasan tertentu, suatu kajian khusus mengenai dampak

lingkungan pengembangan aktivitas budidaya dominan terhadap kualitas ruang

yang ada, hendaknya menjadi pertimbangan dini. Persyaratan tambahan yang

dibutuhkan, adalah:

Surat Persetujuan Prinsip;

Surat Pernyataan Kesanggupan akan memberi ganti rugi atau penyediaan tempat

penampungan bagi Pemilik yang berhak atas tanah yang dimohon.

Hak atas tanah

Walaupun sebenarnya bukan merupakan perijinan namun dapat dianggap sebagai

persetujuan kepada pihak pelaksana pembangunan untuk mengembangkan kegiatan

budidaya di atas lahan yang telah diperoleh. Macam hak yang diperoleh sesuai dengan

sifat pihak pelaksana dan sifat kegiatan budidaya dominan yang akan dikembangkan.

Pada tingkat kawasan, hak yang diberikan umumnya bersifat kolektif (misalnya dikenal

HGB Induk). Tergantung sifat aktivitas budidayanya, hak kepemilikan individual dapat

dikembangkan dari hak kolektif.

e. Ijin perencanaan dan bangunan

Ijin Peruntukkan Penggunaan Tanah

Ijin Perencanaan dan/atau rekomendasi perencanaan bagi penggunaa tanah yang

didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang

(RDTR) dan/atau Rencana Teknik Ruang Kabupaten (RTRK). Ijin Peruntukkan

Penggunaan Tanah terdiri atas:

Ijin perencanaan

Ijin Penggunaan Tanah untuk keperluan mendirikan bangunan atau bangunbangunan

(tower dan reklame) dan site plan dengan kewenangan pengendalian Rencana Detail

Tata Ruang Kabupaten melalui tindakan korektif/penerapan sanksi. Ijin pemanfaatan

ruang yang sebenarnya karena ijin lokasi menyatakan kesesuaian lokasi bagi

pengembangan aktivitas budidaya dominan. Ijin Perencanaan menyatakan

persetujuan terhadap aktivitas budidaya rinci yang akan dikembangkan dalam

kawasan. Pengenalan aktivitas budidaya rinci dilakukan melalui penelaahan Rencana

Tata Ruang (RTR) Rinci Kawasan internal. Kelengkapan sarana dan prasarana yang

akan mendukung aktivitas budidaya rinci dan ketepatan pola alokasi pemanfaatan

ruangnya dalam internal kawasan atau sub kawasan menjadi perhatian utama.

Rekomendasi Perencanaan

Rekomendasi penggunaan tanah/lahan yang didasarkan pada Rencana Detail Tata

Ruang Kabupaten untuk keperluan pelayanan informasi rencana daerah.

I-16

Page 17: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Ijin Lingkungan

Ijin Lingkungan pada dasarnya merupakan persetujuan yang menyatakan aktivitas

budidaya rinci yang terdapat dalam kawasan yang dimohon ‘layak’ dari segi lingkungan

hidup. Dikenal dua macam Ijin Lingkungan seperti dijelaskan pada bagian berikut:

1. Ijin HO

Ijin HO/Undang-undang Gangguan, terutama untuk kegiatan usaha yang tidak

mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup (bukan obyek AMDAL). Ijin ini

diterbitkan Walikota melalui Sekwilkot.

2. Persetujuan RKL dan RPL

Persetujuan RKL dan RPL, untuk kawasan yang sifat kegiatan budidaya rinci yang

berada di dalamnya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdampak

penting terhadap lingkungan hidup. Acuan yang digunakan dengan demikian adalah

dokumen AMDAL yang pada bagian akhirnya menjelaskan RKL (Rencana

Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemanfaatan Lingkungan), pada

tingkatan kegiatan budidaya rinci (jika dibutuhkan) dan pada tingkat kawasan.

Persetujuan RKL dan RPL diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup (Kawasan

terpadu), dan Menteri terkait atau Walikota tergantung karakteristik kawasan yang

dimohon setelah melalui komisi AMDAL terkait.

3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Pengawasan

a. Pengertian

Pengawasan merupakan upaya-upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang

dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Obyek pengawasannya

adalah perubahan pemanfaatan ruang (kegiatan pembangunan fisik) yang terjadi, baik yang

sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana beserta besaran-besaran perubahannya.

b. Pelaporan

Upaya memberikan informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang

sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Obyek pelaporan adalah

perubahan pemanfaatan ruang dalam persil/kawasaan dan tata ruang wilayah blok

peruntukan. Perubahan pemanfaatan ruang tingkat persil meliputi perubahan fungsi

kegiatan dan perubahan teknis bangunan yang ada di dalam persil. Akumulasi perubahan

persil merupakan perubahan blok peruntukan, sedangkan perubahan peruntukan

merupakan perubahan kawasan dan seterusnya menjadi perubahan wilayah yang lebih

luas. Hasil dari proses pelaporan ini berupa tipologi penyimpangan pemanfaatan ruang,

yaitu:

Besaran penyimpangan (luasan, panjang, lebar).

Bentuk dan jenis penyimpangan (fungsi, intensitas, atau teknis).

Arah penyimpangan atau pergeseran pemanfaatan ruang.

c. Pemantauan

Pemantauan dilakukan dengan cara pemeriksaaan yang melibatkan pelaku pelanggaran

(dengan memeriksa lebih jauh dokumen perijinan yang dimilikinya). Tahapan pelaksanaan

pemantauan adalah sebagai berikut;

Penyidikan lapangan, dilakukan setelah tahap kegiatan pelaporan yang kemudian

diperoleh indikasi penyimpangan pemanfaaatan ruang persil (baik lokasi maupun tipologi

penyimpangannya). Kemudian dibentuk tim penyidik yang terdiri atas beberapa dinas

terkait di daerah dan rencana kerja penyidikan penyimpangan pemanfaatan ruang ke

lapangan. Penyidikan ini dilakukan untuk memperoleh klarifikasi bukti pelanggaran yang

telah ada pada Tim Penyidik dengan yang ada pada penguasa lahan atau bangunan

untuk dilihat dan diketahui penyebab pelanggaran.

Pembahasan dan perumusan terbukti tidaknya secara teknis administrasif penyimpangan

atau pelanggaran yang telah diindikasikan sebelumnya. Tahap berikutnya adalah

mengklasifikasikan bentuk-bentuk pelanggaran, akibat pelanggaran dan

penanggungjawab pelanggaran pemanfaatan ruang.

Laporan dan pemberitahuan. Rumusan penyimpangan dan pelanggaran tersebut

kemudian disusun laporan dan pemberitahuan kepada berbagai pihak yang

berkepentingan.

Laporan hasil pemantauan diserahkan kepada kepala daerah untuk dievaluasi dan

dibahas untuk merumuskan bentuk-bentuk penertiban.

Laporan hasil pemantauan diserahkan kepada instansi terkait untuk mempersiapkan

kegiatan evaluasi terhadap pelanggaran dan penyimpangan pemanfaatan ruang

untuk mendukung penetapan penertiban yang perlu diambil.

Pemberitahuan hasil pemantauan kepada pelaku pelanggaran untuk mempersiapkan

pertanggungjawaban pelanggaran pemanfaaatan ruang yang telah dilakukan.

d. Kelembagaan dan Peran Masyarakat

Dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang dapat mengakomodasi kebutuhan ruang

bagi masyarakat yang sesuai dengan kondisi, karakteristik dan daya dukung kawasan

kabupaten yang terus berkembang, maka proses penyusunan rencana tata ruang kawasan

perkotaan dan kawasan fungsional lain, harus bersifat partisipatif dan dinamis.

a. Kelembagaan

Lembaga formal pemerintah yang terlibat dalam penataan ruang adalah Pemerintah Daerah

dalam rangka pengaturan, pembinaan,pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, serta

koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah dan lintas

pemangku kepentingan. Pelaksanaan penyusunan RDTR Kabupaten dilaksanakan oleh

I-17

Page 18: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

lembaga formal pemerintah kabupaten dibawah koordinasi BAPPEDA Kabupaten dan

didukung oleh dinas/instansi terkait.

Sebagai langkah langkah koordinasi dalam penanganan penataan ruang, pembinaan dan

pengembangan kebijakan tata ruang wilayah dan lintas sektor, sektor, koordinasi

diselenggarakan dalam suatu badan koordinasi daerah skala kabupaten seperti BKPRD

(Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) sebagai lembaga fungsional yang berfungsi:

Mengkoordinasikan pelaksanaan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten secara terpadu

sebagai dasar bagi penentuan perijinan dalam penataan kawasan kabupaten yang

dijabarkan dalam program pembangunan kawasan kabupaten.

Merumuskan pelaksanaan dan mengkoordinasikan masalah masalah yang timbul dalam

penyelenggaraan penataan ruang di kawasan kabupaten, dan memberikan arahan dan

pemecahannya.

Mengkoordinasikan penyusunan peraturan perundang undagan di bidang penataan ruang.

Memaduserasikan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 terntang Penataan Ruang dan

penyusunan peraturan pelaksanaannya dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Memaduserasikan penatagunaan tanah dan penatagunaan sumber daya lam lainnya

dengan Rencana Detail Tata Ruang.

Melakukan pemantauan (monitoring) tersebut untuk penyempurnaan rencana detail tata

ruang kabupaten.

Menyelenggaraan pembinaan penataan ruang kawasan Kabupaten dengan

mensinkronkan Recana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten serta Rencana Detail Tata Ruang

Kabupaten.

Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang.

Membina kelembagaan dan sumber daya manusia penyelenggaraan penataan ruang.

Menyelenggarakan pembinaan dan standarisasi perpetaan tata ruang.

Dalam perencanaan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten BKTRD memiliki peran

penting dalam koordinasi penataan ruang lintas kawasan administrasi, atau lintas

kawasan perencanaan.

Penyusunan RDTR Kabupaten harus dapat menyeimbangkan peran antara pemerintah,

masyarakat atau pelaku kepentingan, atau kelembagaan lain yang merupakan bentuk

perwakilan masyarakat dalam proses penyusunan RDTR Kabupaten.

b. Peran Masyarakat

Manfaat

Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan hak, kewajiban, dan

peranannya dalam proses peruntukan dan pembanguan ruang, sehingga tumbuh rasa

memiliki dan tanggungjawab yang kuat terhadap hasil-hasilnya.

Meningkatkan hasil guna penataan dan pembangunan kawasan serta lingkungan,

karena adanya percayaan publik terhadap perencanaan tata ruang itu sendiri.

Dengan demikian, meningkatkan kepastian hukum dalam berinvestasi pada kawasan

perencanaan.

Prinsip Utama

Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi perencanaan detail tata ruang, mulai dari

proses penyusunan maupun sampai pada pengeluaran produk rencana.

Pemerintah Daerah sebelum melakukan pengesahan produk rencana, terlebih dahulu

melakukan uji materi rencana melalui public hearing (dapat menggunakan media

tertentu), dengan tetap membuka kemungkinan adanya kritisi, perubahan sampai

pada penolakan.

Efisiensi dan efektfitas; keputusan harus diambil secara efisen dan efektif, dengan

mengedepankan kemampuan masyarakat, kepentingan umum, guna tercapainya

kesejahteraan masyarakat secara luas.

Produk rencana merupakan hasil dan kesepakan bersama, hasil dari dialog serta

negosiasi berbagai pihak yang terlibat ataupun yang pihak terkena dampak

perencanaan.

Produk rencana yang telah disepakati bersama tersebut, menjadi konsekuensi

bersama dan isi rencana mengikat melalui pengesahan Peraturan Pemerintah

Daerah.

Jika terjadi peruntukan

Pengaturan teknis yang tidak diatur dalam Perencanaan Detail Tata Ruang, harus

mengikuti kaidah teknis, lingkungan, dan tidak menimbulkan dampak penting yang

luas.

Adanya sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan yang transparan dan terbuka bagi

publik.

Bentuk Peran Masyarakat dalam Pelaksanaan Penataan Ruang

Bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan Penataan

Ruang.

Penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang dan

program pembangunan.

I-18

Page 19: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Bantuan teknik dan pengolahan dalam pemanfaatan ruang dan/atau

Kegiatan menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan

hidup.

Bentuk Peran Masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang skala daerah, kecamatan dan kawasan,

termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang

kawasan dimaksud dan/atau sumberdaya tanah, air, udara dan sumberdaya lainnya.

Memberikan masukan/laporan tentang masalah yang berkaitan

denganperubahan/penyimpanganpemanfaatan ruang dari peraturan yang telah

disepakati

Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan

ruang.

Mengajukan keberatan dan gugatan melalui instansi yang berwenang menangani

gugatan kepada pemilik, pengelola, dan/atau pengguna atas penyelenggaraan

peruntukan ruang, bangunan dalam kawasan dan lingkungannya.

Tata Cara Peran Masyarakat dalam Pelaksanaan Peraturan Zonasi

Disesuaikan dengan jangka waktu pelaksanaan prosesnya sendiri:

Bersifat periodik, jangka menengah, dapat dibuat panitia khusus yang sifatnya ad-hoc

atau tidak permanen. Panitia khusus ini dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota.

Bersifat sepanjang waktu atau sewaktu-waktu karena berbasis pada kasus-kasus

yang terjadi dapat dibentuk komite perencanaan yang mempunyai tugas pokok dan

fungsi khusus di bidang perencanaan dan bersifat independen serta mempunyai

kewenangan legal formal untuk menindaklanjuti persoalan-persoalan penataan ruang.

Pelayanan Minimal dalam Penyampaian Informasi Penataan Ruang

Standar pelayanan minimal bidang Penataan Ruang disusun berdasarkan kewenangan

wajib pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang harus diberikan kepada masyarakat. Disamping itu standar pelayanan

minimal harus memenuhi beberapa kriteria seperti berikut:

Melindungi hak-hak konstitusional perseorangan maupun masyarakat secara umum;

Melindungi kepentingan Nasional yang ditetapkan berdasarkan konsensus Nasional;

Memenuhi komitmen Nasional yang berkaitan dengan perjanjian dan konvensi

Nasional.

1. Penyusunan Klasifikasi Zona

3. Penetapan Batas Blok/Subblok Peruntukan

4. Penyusunan Aturan Teknis Zonasi

4.b. Intensitas Pemanfaatan Ruang

4.c. Tata Massa Bangunan

4.d. Prasarana

4e. Aturan Lain

4.f. Aturan Khusus

Jenis Aturan: - Preskriptif - Kinerja

Pendekatan: - Issue of Concerns - Scope of Isues

Peraturan Teknis Zonasi

9. Penyusunan Aturan Administrasi Zonasi

6. Penyusunan Aturan Pelaksanaan

7. Pilihan Teknik Pengaturan Zonasi

8. Penyusunan Peta Zonasi

10. Penyusunan Aturan Dampak

5. Penyusunan Standar

2. Penyusunan Daftar Kegiatan

4.a. Kegiatan dan Penggunaan Lahan

Gambar 1. 4 Tahapan Penyusunan Peraturan Zonasi

I-19

Page 20: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Tabel 1. 9 Klasifikasi Zona RDTR

Sumber : RTRW Kota Bandung Tahun 2011-2031

I-20

ZONA KODE ZONA Keterangan

Kawasan Lindung[L] Kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan

a. Perlindungan Kawasan Bawahannnya LB Kawasan resapan air di wilayah Bandung Utara (dengan ketinggian diatas 750 mdpl)

b. Perlindungan Setempat LS

Kawasan yang masuk kedalam perlindungan setempat di SWK Cibeunying adalah sempadan sungai, jsempadan alan kereta api dan mata air.

Sempadan Sungai

kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran/irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi fungsi sungai dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai dan mengamankan aliran sungai

kriteria sempadan sungai:

Sekurang-kurangnya 5 m disebelah luar sepanjang kaki tanggul di luar kawasan perkotaan dan 3 m disebelah luar sepanjang kaki tanggul di luar

kawasan perkotaan

Sekurang-kurangnya 100 m dikanan kiri sungai besar dan 50 meter dikanan kiri sungai kecil yang tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan

Sekurang-kurangnya 10 m dari tepi sungai untuk mempunyai kedalaman tidak lebih besar dari 3 m

Sekurang-kurangnya 15 m dari tepi sungai untuk mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 m sampai dengan 20 m

Sekurang-kurangnya 20 m dari tepi sungai untuk sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 mSekurang-kurangnya 100 m dari tepi sungai untuk sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut, dan berfungsi sebagai jalur hijau

Sempadan Jalan Kereta Api

Kawasan di sisi kiri dan kanan rel kereta api dengan jarak sekurang-kurangnya 10 meter

Sekitar Mata Air

Kawasan dengan radius sekurang-kurangnya 200 m di sekitar mata air

c. Cagar Budaya LC

Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya

Kawasan Budidaya Wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

Perumahan (R)

Kepadatan Bangunan Tinggi R4 Kepadatan bangunan rata-rata lebih dari 40 bangunan/ha, kepadatan penduduk rata-rata di atas 200 jiwa/ha(bisa deret, kopel, rumah kampung)

Kepadatan Bangunan Sedang R5 Kepadatan bangunan rata-rata 10-40 bg/ha, kepadatan penduduk rata-rata maksimum 200 jiwa/ha(kopel atau rumah tunggal)

Kepadatan Bangunan Rendah R6 Kepadatan bangunan rata-rata kurang dari 15 bg/ha, kepadatan penduduk rata-rata 75 jiwa/ha(rumah tunggal)

Wilayah Bandung Utara R7 Kepadatan bangunan rata-rata kurang dari 10 bg/ha, kepadatan penduduk rata-rata 50 jiwa/haPertahanan keamanan M Untuk semua jenis bangunan baik perumahan, instalasi pertahanan keamanan.

Perkantoran Luas 5000 m2 P

Pelayanan Umum[F]

Fasilitas umum[F1]

F11 Fasilitas lingkungan yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan umum.

F12 RTH/Taman Publik

F13 RTNH Publik

Fasilitas sosial F2 Fasilitas yg disediakan oleh pemerintah atau swasta untuk masyarakat, seperti sekolah, rumah sakit, klinik, dan tempat ibadah;

Perguruan Tinggi F3 Lembaga Pendidikan yang merupakan bagian dari sebuah institusi pendidikan

Komersial [K]Kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan komersil, termasuk perdagangan, jasa, hiburan, dan perhotelan yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya dan memberikan nilai tambah pada suatu kawasan perkotaan.

a. Perdagangan [KP]

Grosir KP1 Kawasan yang didalamnya memperdagangankan barang dalam jumlah besar

Eceran aglomerasi (pusat belanja/mall) KP2Suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horisontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang.

Eceran aglomerasi (linier) KP3

Pengelompokkan beberapa usaha perdagangan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus . Aglomerasi juga bisa dibagi mencadi dua macam, yaitu aglomerasi primer di mana usaha yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan usahan perdagangan yang lama lama, dan aglomerasi sekunder jika usahan perdagangan yang baru beroperasi adalah usaha perdagangan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada usaha perdagangan yang lama yang lama.

Eceran tunggal/toko KP4 Kegiatan perdagangan dengan fungsi usaha yang digunakan untuk menjual barang dan terdiri dari hanya satu penjual.

Pusat Pelayanan Kota KP5 Pusat pelayanan perdagangan yang melayani willayah Kota

Subpusat Pelayanan Kota KP6Pusat pelayanan perdagangan yang melayani satu sub wilayah kota

Luas > 10.000 m2 KJ1 Kegiatan jasa dengan skala luasan > 10.000 m2

Page 21: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

1.6 Dasar Hukum Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi

Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Detail Tata

Ruang(RDTR), merupakan penjabaran dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam

rencanadistribusi pemanfaatan ruang dan bangunan serta bukan bangunan pada kawasan kota.

Dengan kata lainRencana Detail Tata Ruang Kota mempunyai fungsi untuk mengatur dan menata

kegiatan fungsional yangdirencanakan oleh perencanaan ruang diatasnya, dalam mewujudkan ruang

yang serasi, seimbang, aman,nyaman dan produktif. Muatan yang direncanakan dalam RDTR kegiatan

berskala kawasan atau lokal danlingkungan, dan atau kegiatan khusus yang mendesak dalam

pemenuhan kebutuhannya. Rencana Detail Tata Ruang Kota adalah rencana pemanfaatan ruang

Bagian Wilayah Kota secara terperinciyang disusun untuk penyiapan perwujudan ruang dalam rangka

pengaturan zonasi, perijinan dan pembangunan kawasan. Adapun dasar hukum dari penyusunan

Rencana Detail Tata Ruang Adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun

2007Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan

Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3419).

3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990

Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

(Lembaran NegaraTahun 2011 Nomor 07 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5188).

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun

2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5168).

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Nagara Tahun 2007

Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4722).

7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Lembaran

Negara Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025).

8. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481).

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059).

10. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1999

Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881).

11. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999

Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888).

12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Tahun

2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4169).

13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004

Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377).Pedoman Rencana Detail Tata Ruang

Kota Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 1 - 3.

14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

15. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor

132,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4444).

16. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4489).

17. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air

Minum ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4490 )

18. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4859)

19. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan

Ruang Wilayah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3934).

20. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat

Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 5160)

21. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

(Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5103)

22. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327 Tahun 2002 tentang

Penetapan 6 (enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang.

23. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat tahun

2008 Noor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 38)

I-21

Page 22: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2010 Nomor 22 Seri

E)

25. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Air bawah Tanah

(Lembar Daerah Kota Bandung Tahun 2002 Nomor 09 seri D)

26. Perda RTRW Kota Bandung No. 18 tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandung

BAB 1...................................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN................................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................................................1

1.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran...............................................................................................................1

1.2.1. Maksud.............................................................................................................................................1

1.2.2. Tujuan..............................................................................................................................................1

1.2.3. Sasaran............................................................................................................................................1

1.3 Kedudukan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi......................................................1

1.4 Ruang Lingkup Pekerjaan.....................................................................................................................2

1.4.1 Ruang Lingkup Materi RDTR dan Peraturan Zonasi.................................................................2

1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah.................................................................................................................7

1.5 Metode Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi...........................................................................7

1.5.1 Metoda Penyusunan RDTR..........................................................................................................7

1.5.2 Metoda Penyusunan Peraturan Zonasi.....................................................................................13

1.6 Dasar Hukum Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi..............................................................22

Tabel 1. 1Standar Perencanaan Untuk Sarana Pendidikan.............................................................................8Tabel 1. 2 Standar Perencanaan Untuk Sarana Kesehatan............................................................................8Tabel 1. 3 Standar Perencanaan Untuk Sarana Peribadatan..........................................................................8Tabel 1. 4 Standar Perencanaan Untuk Sarana Olahraga / Rekreasi............................................................8Tabel 1. 5 Standar-Standar Perencanaan Untuk Sarana Lainnya..................................................................9Tabel 1. 6 Kriteria Pemakaian Air Bersih (Sistem Perpipaan)........................................................................9Tabel 1. 7 Standar Pelayanan Air Limbah........................................................................................................11Tabel 1. 8 Standar Volume Sampah Berdasarkan Sumbernya.....................................................................12Tabel 1. 9 Klasifikasi Zona RDTR......................................................................................................................20

Gambar 1. 1 Kaitan RDTRK dan peraturan Zonasi...........................................................................................2Gambar 1. 3 Analisis dan Penanganan Drainase...........................................................................................10

I-22

Page 23: BAB 1 Pendahuluan

[RENCANA]

Gambar 1. 4 Analisis Penentuan Pembuangan Air Kotor...............................................................................11Gambar 1. 5 Tahapan Penyusunan Peraturan Zonasi...................................................................................19

I-23