BAB 1 Pendahuluan

17
1 Penyusunan Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010 BAB 1 MENAKAR KONDISI SOSIAL-EKONOMI KOTA SURABAYA: URAIAN PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Secara makro perkembangan ekonomi nasional memang menunjukkan tanda-tanda membaik, tetapi bagaimana pun harus tetap diakui bahwa imbas situasi krisis belum sepenuhnya teratasi. Sekali pun pertumbuhan ekonomi dilaporkan tidak lagi negatif —sudah naik di kisaran 3,5-4,5%—, inflasi bisa dikendalikan di bawah 8%, tingkat bunga rata-rata atas dana pihak ketiga perbankan sudah di bawah 8% dan rupiah juga makin perkasa karena menguat sekitar 6% terhadap dollar. Tetapi, berbagai kemajuan yang berhasil dicapai tampaknya masih rapuh dan mengidap berbagai kelemahan (Kompas, 28 Juni 2003). Upaya pemerintah —termasuk di Pemerintah Kota Surabaya— untuk melakukan pemulihan ekonomi masih tertatih- tatih, ekspor masih naik-turun tak menentu, kesempatan kerja relatif stagnan, pengangguran justru meningkat, dan harga kebutuhan pokok tetap tinggi, sehingga ujung-ujungnya bukan saja menimbulkan biaya sosial-politik yang besar, tetapi, yang mencemaskan adalah kecenderungan terjebak pada program- PEMERINTAH KOTA SURABAYA Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya

description

ya pendahuluan

Transcript of BAB 1 Pendahuluan

BAB 1

1Penyusunan Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010

BAB 1

MENAKAR KONDISI SOSIAL-EKONOMI KOTA SURABAYA: URAIAN PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Secara makro perkembangan ekonomi nasional memang menunjukkan tanda-tanda membaik, tetapi bagaimana pun harus tetap diakui bahwa imbas situasi krisis belum sepenuhnya teratasi. Sekali pun pertumbuhan ekonomi dilaporkan tidak lagi negatif sudah naik di kisaran 3,5-4,5%, inflasi bisa dikendalikan di bawah 8%, tingkat bunga rata-rata atas dana pihak ketiga perbankan sudah di bawah 8% dan rupiah juga makin perkasa karena menguat sekitar 6% terhadap dollar. Tetapi, berbagai kemajuan yang berhasil dicapai tampaknya masih rapuh dan mengidap berbagai kelemahan (Kompas, 28 Juni 2003). Upaya pemerintah termasuk di Pemerintah Kota Surabaya untuk melakukan pemulihan ekonomi masih tertatih-tatih, ekspor masih naik-turun tak menentu, kesempatan kerja relatif stagnan, pengangguran justru meningkat, dan harga kebutuhan pokok tetap tinggi, sehingga ujung-ujungnya bukan saja menimbulkan biaya sosial-politik yang besar, tetapi, yang mencemaskan adalah kecenderungan terjebak pada program-program darurat (emergency programme) yang sifatnya temporer dan tidak efektif.

Sepanjang tahun 2002 lalu, optimisme sebetulnya sedikit mulai bangkit dan harapan masyarakat untuk keluar dari belitan situasi krisis pelan-pelan timbul ketika stabilitas politik mulai memperlihatkan kemajuan, fluktuasi nilai rupiah tak lagi binal, dan angka pertumbuhan ekonomi tak lagi negatif atau stagnan. Tetapi, di awal Januari tahun 2003, harapan itu seolah sirna dalam sekejap ketika pemerintah mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tarif jasa telepon, dan harga bahan bakar minyak (BBM). Bukan rahasia lagi, setiap kali pemerintah menetapkan kenaikkan tarif baru, niscaya hal itu akan segera diikuti dengan meroketnya harga-harga kebutuhan pokok yang nyaris tak terkendali (Jawa Pos, 5 Januari 2003). Bagi masyarakat luas, apalah artinya pertumbuhan ekonomi membaik, jika dalam kenyataan sektor riil tetap tidak bergerak, dan kebutuhan terhadap barang-barang sehari-hari tetap tidak terjangkau?

Apakah di tahun-tahun mendatang, kinerja perekonomian nasional dan perekonomian kota Surabaya pada khususnya bakal membaik ataukah malah memburuk? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu bukan hal yang mudah karena ada banyak faktor yang saling tali-temali, dan semuanya harus diperhitungkan sebelum menyusun proyeksi perkembangan sosial-ekonomi kota Surabaya lima-sepuluh tahun mendatang. Yang jelas, ke depan permasalahan sosial-ekonomi yang mesti dihadapi akan makin kompleks dan membutuhkan program intervensi yang benar-benar efektif dan terfokus. Dalam konteks ini, tak pelak yang dibutuhkan bukan saja data yang akurat, tetapi juga proses perencanaan program pembangunan kota yang benar-benar matang, terarah, efisien, dan efektif.

Bagi kota Surabaya sendiri, upaya untuk memperbaiki kinerja perekonomian pada dasarnya adalah sebuah tantangan sekaligus peluang. Seperti diketahui, sebagai koreksi atas perekonomian nasional yang terpuruk berkepanjangan, maka di awal tahun 2001 lalu pemerintah telah memutuskan untuk menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal yang berimplikasi pada perubahan yang radikal bagi pengelolaan perekonomian lokal termasuk di kota Surabaya. Dalam kerangka kerja yang baru ini otoritas pemerintah kota Surabaya dalam manajemen pembangunan semakin luas, tetapi pada saat yang bersamaan dibatasi oleh sumber dana pembangunan. Kondisi baru ini tentu saja dapat merupakan peluang, tetapi sekaligus juga merupakan tantangan bagi pemerintah kota, terutama bila dikaitkan dengan data-data indikator perekonomian kota yang tidak begitu menggembirakan.

Dengan penduduk sekitar 2,7 juta jiwa (2000) jelas Kota Surabaya menghadapi tantangan berat sebagai kota terbesar kedua di Indonesia dan menerima konsekuensi sebagai kota pilihan bagi urbanisasi penduduk daerah-daerah pinggiran yang faktanya memang lebih miskin dari Surabaya. Di Surabaya, tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 9,7% dengan partisipasi kerja sebesar 62,4%. Sedangkan Data Propinsi Jawa Timur (2002) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Surabaya meliputi 11,4% jiwa dari keseluruhan penduduk kota. Kalau dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi makro Indonesia yang masih di kisaran 3,5-4,5%, apa yang berhasil dicapai Surabaya dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4, 64% barangkali adalah sebuah langkah maju. Tetapi, apa dampak dari kemajuan pembangunan di bidang ekonomi bagi masyarakat?

Secara oyektif harus diakui bahwa kemampuan kota Surabaya untuk menyediakan fasilitas publik yang layak bagi warga kota masih membutuhkan berbagai pembenahan. Walaupun tingkat buta huruf penduduk Surabaya cukup rendah (1,9%), tetapi ada 12,2% penduduk yang belum mempunyai akses yang memadai pada fasilitas kesehatan (UNDP 2002). Sementara itu, anak berumur di bawah 5 tahun yang menderita kekurangan gizi masih sebesar 25,8%. Data tentang status perempuan relatif lebih baik meski pun masih di bawah standard bagi prinsip gender equality.

Di luar persoalan kualitas manusia, bagi kota Surabaya tantangan dari luar juga patut dijadikan konsideran baru dalam merencanakan pembangunan. Realisasi AFTA tinggal di depan mata. Artinya, jika Surabaya tidak mempersiapkan perekonomiannya untuk berkompetisi, maka kita hanya akan menjadi teritori tempat pasar bagi produk-produk dari negara ASEAN lainnya. Yang lebih mengenaskan, sesama ASEAN memiliki kesamaan siklus produk sehingga pertarungan hanya dapat dimenangkan dengan peningkatan efisiensi ekonomi kota. Sementara itu, realisasi kebijakan WTO untuk sektor jasa, GATS akan dimulai Bulan Maret tahun ini. Oleh karenanya tantangan Pemerintah Kota Surabaya dalam mewujudkan impian untuk menjadi Kota Jasa bukan hal yang mudah.

Sementara itu konteks ruang local-global di atas diperumit dengan gejala berikutnya yaitu hubungan dua arah antara faktor ekonomi dan non faktor ekonomi (sosial). Pelajaran penting selama krisis ekonomi menunjukkan bahwa faktor keamanan dan ketidakpastian hukum (kegagalan institusi) merupakan faktor penghambat recovery economy terutama dapat dilihat dari data tidak ada satupun investor baru masuk ke Indonesia selama 2 tahun terakhir karena dua alasan di atas. Berdasar berbagai faktor di atas, bagi Pemerintah Kota Surabaya merencanakan pembangunan seefektif mungkin menjadi hal yang mendesak mengingat kedua tantangan baik internal maupun eksternal serta dinamika antar faktor sosial dan ekonomi di masa desentralisasi fiskal saat ini begitu berat.

Pengalaman menjalankan pembangunan merupakan modal berharga untuk mempersiapkan dan merencanakan perkembangan di masa mendatang. Bukan sesuatu yang mudah karena pada dasarnya kita menterjemahkan catatan masa lampau untuk ditransformasikan ke dalam bentuk perencanaan masa depan. Dalam konteks globalisasi, banyak faktor ketidakpastian (uncertainties) dan sulit diperhitungkan terutama dikaitkan dengan kompleksitas perubahan di lingkungan bisnis, sehingga untuk meramalkan atau memproyeksikan perkembangan masa depan sebenarnya merupakan upaya mengkombinasikan pengalaman masa lampau dengan ketajaman visi melihat pelbagai faktor kunci masa depan selain ketepatan memilih metodologi proyeksi ataupun perencanaan.

Pada prinsipnya perencanaan dan model poyeksi terdapat persamaan, di mana keduanya menangkap masa yang akan datang, mempunyai sistematika, berlandasan teoritis dan bahkan seringkali menggunakan pendekatan kuantitatif (Iwan J. Azis, 1990). Namun, perencanaan dan proyeksi mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan keduanya terletak pada perlakuan terhadap target/skenario dan kebijakan. Model proyeksi memperlakukan target sebagai variabel endogen (dicari dari dalam sistem persamaan) dan kebijakan diperlakukan sebagai variabel eksogen (ditentukan dari luar sistem persamaan/ given). Sebaliknya, model perencanaan memperlakukan kebijakan sebagai variabel endogen dan target sebagai variabel eksogen.

Model proyeksi sangat berguna untuk menyiapkan perencanan pembangunan kota dalam menentukan antara lain: pertumbuhan ekonomi ataupun kontribusi sektoral, sebagai suatu target/sasaran/skenario. Oleh karena itu, model proyeksi harus dilakukan sebelum menerapkan model perencanaan. Hal ini untuk menghindari pelbagai kemungkinan penetapan target/ sasaran di luar kemampuan daerah.

Kegiatan sebagaimana dilaporkan bermaksud menyusun proyeksi kondisi sosial-ekonomi Kota Surabaya Tahun 2003-2010. Kegiatan ini penting dilakukan untuk mengetahui arah perkembangan kondisi perekonomian dan kondisi sosial yang terkait sebagai dasar acuan untuk mempertajam fokus Renstrada dan kegiatan pembangunan Kota Surabaya setiap tahunnya.

2. PermasalahanSecara rinci, permasalahan yang dicoba dikaji dalam Penyusunan Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010 adalah :

1. Bagaimana gambaran tentang perkembangan kesejahteraan sosial, kesenjangan, PDRB dan kondisi umum perekonomian Kota Surabaya ke depan?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pasang-surut perkembangan kondisi sosial-ekonomi Kota Surabaya?

3. Program-program pembangunan apa sajakah yang mesti dikembangkan Kota Surabaya ke depan untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi secara efektif dan efisien?

3. Tujuan Sasaran Proyek

Maksud dan tujuan disusunnya Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010 ini adalah untuk menyediakan panduan yang dapat digunakan oleh semua pihak yang memiliki tanggungjawab dan komitmen dalam meningkatkan kondisi sosial-ekonomi secara efektif dan efisien agar semua kegiatan berjalan searah, terkoordinir, sinergis dan benar-benar tepat sasaran. Secara garis besar, tujuan dari kegiatan ini adalah:

1. Mendeskripsikan gambaran perkembangan kondisi sosial-ekonomi Kota Surabaya Tahun 2003 - 2010.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi arah perkembangan kondisi sosial-ekonomi Kota Surabaya.

3. Menyediakan bahan masukan untuk mempertajam fokus Renstrada, sekaligus sebagai kontrol pelaksanaan Renstrada Kota Surabaya.

4. Merumuskan program intervensi yang efektif dan strategis untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi Kota Surabaya di tahun-tahun mendatang.

4. Ruang Lingkup

Yang termasuk dalam ruang lingkup data Penyusunan Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010 yang dicoba untuk diproyeksikan dan dianalisis dalam kegiatan ini meliputi:

1. Kependudukan

Jumlah Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk

2. Indeks Pembangunan Manusia

Angka Harapan Hidup

Angka Melek Huruf

Rata-rata Lama Sekolah

Daya Beli Masyarakat

3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Atas Dasar Harga Berlaku

Atas Dasar Harga Konstan

4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita

Atas Dasar Harga Berlaku

Atas Dasar Harga Konstan

5. Laju Pertumbuhan Ekonomi

6. Inflasi

7. Kebutuhan Investasi

Atas Dasar Harga Berlaku

Atas Dasar Harga Konstan

5. Metode dan Prosedur Pengkajian

Kegiatan ini pada dasarnya bermaksud membantu Pemerintah Kota Surabaya dalam mempersiapkan Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010 yang bersifat kontekstual dan aplikatif.

Perlu dicatat di sini bahwa proyeksi ini sangat bergantung pada ketersediaan data. Selain itu, dalam penyusunan proyeksi ini juga diperlukan informasi atau variabel kunci sebagai instrumen dalam upaya mencapai sararan yang hendak dicapai. Dengan kata lain jumlah observasi untuk setiap persamaan model proyeksi tersebut sangat bergantung pada ketersediaan dan kelengkapan data.

Dalam proses pengumpulan data, rincian dan cakupan ekonomi daerah yang dikumpulkan mengacu pada klasifikasi Biro Pusat Statistik (BPS) ataupun kantor statistik tingkat I dan II. Sedangkan sektor pembangunan tersebut mengacu pada Repelita VI. Jadi, makna perencanaan dalam judul studi ini menekankan pada proyeksi, di mana proyeksi merupakan tahap awal yang harus dilakukan dalam menyusun perencanaan dan digunakan sebagai dasar penentuan sasaran/ target sektoral.

Data yang dibutuhkan sebagai bahan Penyusunan Proyeksi Kondisi Sosial Ekonomi Kota Surabaya Sampai Dengan Tahun 2010 ini sebagian besar adalah data sekunder. Data primer diperlukan untuk mempertajam analisis deskriptif perkembangan ekonomi Kota Surabaya, termasuk tentang kebijakan ekonomi daerah. Data sekunder diperoleh dari pelbagai sumber dari dinas-dinas termasuk Bappekot Surabaya, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, dan instansi terkait lainnya. Data Primer diperoleh dengan metode wawancara secara langsung kepada pimpinan dan staf instansi terkait.

Metode Pengolahan dan Teknis Analisis, alat analisis yang digunakan untuk identifikasi, deskripsi, dan memformulasikan model proyeksi terutama yang berkaitan pada aspek ekonomi adalah sebagai berikut:

5.1. Statistik DeskriptifDalam menjelaskan karakteristik data serta mengetahui berbagai macam sifat dapat menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan mengeksplorasi data dalam beberapa bentuk nilai statistik.

Beberapa nilai statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:

- Mean (rata-rata)

ADVANCE \u 13;

Nilai statistik yang menunjukkan keadaan/ kondisi suatu data dalam bentuk yang seragam

- Proporsi (angka relatif)

ADVANCE \u 14Nilai statistik yang digunakan untuk menunjukkan bobot pada masing-masing kategori

- Angka Pertumbuhan (%)

ADVANCE \u 13Nilai statistik yang menunjukkan nilai pola perubahan data dalam selang waktu tertentu

5.2. Analisis Kelompok (Cluster Analysis)Pada sekumpulan data yang terdiri dari beberapa kriteria dapat dibentuk klasifikasi data untuk membedakan karakteristik/komposisi data berdasarkan kriterianya. Untuk memperoleh beberapa kelompok yang relatif homogen (mirip komposisi) pada masing-masing kelompok menggunakan suatu teknik pengolahan data yaitu Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Bila jumlah kelompok data sudah diketahui, proses pengelompokan dapat menggunakan metode K-Means (Non Hierarki). Kelompok-kelompok yang dibentuk tidak menunjukkan sifat ordinal (misal: kelompok 1 lebih tinggi dari 2 atau sebaliknya). Namun dalam deskripsi statistik, data dapat dijelaskan oleh karakteristik masing-masing kelompok (misal: lebih layak, lebih dominan, dan sebagainya).

5.3. Analisis FaktorUntuk menggambarkan hubungan/korelasi beberapa variabel secara serentak adalah dengan mengelompokkan variabel yang saling terkait. Analisis korelasi bisa saja digunakan, tapi mempunyai kelemahan dalam hal kombinasi yang cukup besar. Akibatnya, akan kesulitan dalam membuat analisa atau penjelasan serta menariku suatu kesimpulan. Dengan demikian diperlukan alat analisis yang dapat menyederhanakan hasil pengolahan data. Oleh karenanya, dalam studi ini akan digunakan alat statistik analisis faktor.

Adapun langkah-langkah dalam analisis faktor adalah sebagai berikut:

- Deskripsi data

Langkah awal adalah melakukan eksplorasi dari data yang tersedia dengan menampilkan beberapa nilai statistik. Nilai statistik tersebut sebagai konfirmasi awal untuk menunjukkan homogenitas, perbedaan rata-rata, dan lain sebagainya.

- Matrik KorelasiMembentuk matrik korelasi pada variabel untuk mengetahui kelompok-kelompok variabel yang saling berkorelasi. Untuk mendeteksi apakah sekumpulan variabel tersebut layak untuk direduksi (dikelompokkan).

- Uji KMO dan Uji BartlettUji Bartlett dilakukan untuk mendeteksi apakah terdapat variabel yang berkorelasi atau tidak (hipotesis nol menyatakan tidak ada variabel yang berkorelasi).

Uji KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) dilakukan untuk mengetahui homogenitas variabel. Kriteria untuk menentukan tingkat homogenitasnya dapat ditunjukkan pada tabel berikut.

Nilai KMOKeterangan

1 - 0,80

0,8 > - 0,70

0,7 > - 0,60

0,6 > - 0,50

< 0,50Sangat Homogen

Homogen

Cukup Homogen

Kurang Homogen

Tidak Homogen

- CommunalityUntuk Membandingkan korelasi variabel awal sebelum dilakukan analisis faktor dan sesudah dilakukan analisis faktor.

- Nilai EigenMenyeleksi beberapa faktor yang tepat. Faktor pertama yang terseleksi memiliki nilai eigen terbesar. Selanjutnya diambil beberapa faktor sedmikian hingga diambil sejumlah nilai eigen proporsi yang dapat menjelaskan proporsi varians variabel awal.

- Matrik faktorFaktor-faktor yang diperoleh dari variabel awal.

- Korelasi variabel awal setelah analisis faktorSebagai cross-check nilai variabel awal dan untuk mencari nilai communality.

- Rotasi matrikDigunakan untuk mengoptimalkan setiap variabel awal terhadap salah satu faktor hasil reduksi. Setelah dirotasikan, maka masing-masing faktor hasil reduksi menunjukkan keterkaitan terhadap beberapa variabbel awal yang berbeda.

Beberapa cara merotasi:

varimax

quartimax

equimax

oblimin

5.4. Time-series dan ForecastingSalah cara yang dapat digunakan membuat estimasi/ proyeksi untuk data series (runtun waktu) adalah menggunakan ARIMA (AutoRegressive Integrated Moving Average). Secara general dapat dinyatakan sebagai berikut:

ADVANCE \u 8Lebih spesifik dibagi dalam 3 bagian yaitu autoregression (p), derajat defferencing (d), dan moving average (q) sehingga dapat ditulis dengan ARIMA (p,d,q)

Autoregression (AR) adalah bentuk model regresi dengan variabel bebas adalah data masa lampau dan variabel tak bebas adalah data masa berikutnya. Jumlah variabel bebas bergantung dari jumlah lag yang paling sesuai (sebanyak p). Apabila pola data series tidak stasioner (biasanya terdapat trend), dilakukan proses transformasi data dengan diferensiasi yaitu membuat nilai yang diperoleh dari selisih data antar waktu. Moving average (MA) adalah model untuk memprediksi data pada masa berikutnya bergantung pada beberapa nilai residual dari prediksi masa lampau.

Penggunaan model ARIMA untuk prediksi data masa akan datang juga akan memperhatikan kondisi yang realistis sehingga perlu dilakukan penghalusan (smoothing) nilai prediksi (*).PEMERINTAH KOTA SURABAYA

Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya

_974258178.unknown

_974258179.unknown

_974258180.unknown

_974258177.unknown