BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/16049/7/BAB I.pdf · penjara. Mereka...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/16049/7/BAB I.pdf · penjara. Mereka...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menyandang predikat sebagai seorang mantan narapidana merupakan
sebuah beban yang berat, stigma-stigma negatif kerap muncul dari sosok seorang
mantan narapidana. Narapidana oleh masyarakat dianggap sebagai trouble maker
atau pembuat masalah yang selalu saja meresahkan masyarakat. Hal ini terjadi
karena masyarakat yang telah membentuk opini “Sekali lancung ke ujian, maka
seumur hidup tak akan dipercaya”. (Rahmawati dalam Shofia 2009:2)
Proses sosialisasi mantan narapidana kepada masyarakat akan terasa sangat
sulit dikarenakan adanya stereotype tersebut, sehingga ada sebuah ketakutan di
benak masyarakat yang sedang bersosialisasi dengan seorang mantan narapidana.
Seperti ketakutan akan terulangnya kembali kesalahan yang dilakukan, atau tidak
sanggupnya seorang mantan narapidana untuk diberikan amanat atau kepercayaan,
hanya karena pengalaman masa lalunya. Banyak narapidana yang telah bebas
kehilangan jati diri, hal ini ditandai dengan sikap tertutup, acuh tak acuh, sinis dan
anti sosial.
Namun tidaklah seluruhnya mantan narapidana akan mengalami hal yang
sama, tercatat beberapa mantan narapidana yang berhasil bertahan di masyarakat,
membantu masyarakat lainnya, bahkan mencetak prestasi. Salah satu contoh
mantan narapidana yang berhasil kembali ke masyarakat dan sukses adalah
Hardadi, seorang mantan narapidana kasus narkoba yang telah keluar dari penjara
pada tahun 2009 setelah menjalani hukuman 6 bulan penjara.
2
Hardadi (48), kini telah menjadi seorang pemilik perusahaan makanan
dengan nama “Singkong Keju D-9” yang ada di Kota Salatiga. Tepatnya pada
tanggal 22 Agustus 2009, Hardadi terbebas dari Lapas Kelas I Surakarta dan
kemudian pulang menuju kampung halamannya di Kota Salatiga. Demi
menghidupi keluarganya yang terdiri dari satu orang istri dan tiga orang anak,
Hardadi harus berjuang, dan mengawalinya dengan berjualan singkong
menggunakan gerobak dan menjadi pedagang kaki lima di Alun-Alun Pancasila,
Kota Salatiga. Hingga kini berhasil membuat outlet yang besar dan bisa
menghabiskan singkong sebanyak 1,8 ton setiap harinya. Selain itu, saat ini Hardadi
juga memepekerjakan beberapa orang mantan narapidana di bisnisnya. (Sumber:
https://serat.id/2018/09/14/singkong-keju-d9-usaha-hardadi-hilangkan-stigma-
mantan-narapidana/, diakses pada 13 Mei 2019 pukul 14:30 WIB)
Contoh kasus lainnya adalah Yusuf Adirima alias Machmudi Haryono (43)
pernah merasakan dinginya sel penjara tahun 2003 lalu. Yusuf bersama dengan tiga
temannya ditangkap Densus 88 di sebuah rumah kontrakan di Jalan Taman Sri
Rejeki Selatan, Semarang. Kemudian divonis menjalani hukuman selama 10 tahun
penjara. Mereka kedapatan menyimpan amunisi dan 26 bom rakitan yang
diperkirakan daya ledaknya dua kali lipat dari Bom Bali. Bahan peledak itu adalah
titipan dari tersangka Bom JW Marriot 2003, Musthofa alias Abu Tholut yang
sudah lebih dulu ditangkap di Bekasi dan divonis 7 tahun penjara.
Setelah menjalani hukuman, Yusuf bebas bersyarat pada 2009 karena
berkali-kali mendapat remisi. Hingga kemudian Yusuf mencari kerja dan diterima
sebagai karyawan warung makan di Semarang. Namun kegiatan itu tidak
3
berlangsung lama, Yusuf dipecat karena bosnya tahu bahwa dia seorang mantan
Narapidana terorisme yang masih dikenakan wajib lapor ke polisi sehingga harus
sering absen dari kerjaannya. Dibantu YPP Noor Huda akhirnya pada tahun 2011,
Yusuf bersama teman-temannya membuka sebuah usaha Rumah Makan bernama
Dapoer Bistik, dan kini beralih bisnis ke rental mobil. (Sumber:
https://kumparan.com/@kumparannews/kisah-yusuf-mantan-teroris-semarang-
yang-pilih-jadi-pebisnis, diakses pada 13 Mei 2019 pukul 14:42 WIB). Kedua
contoh kasus diatas membuktikan bahwa beberapa dari para mantan narapidana
tidak mendapatkan stigma-stigma yang negatif sehingga mereka harus kehilangan
jati diri mereka.
Sayangnya, di negara kita ini masih banyak saja yang melakukan
perundungan (bully) terhadap para mantan narapidana, masih banyak juga
masyarakat yang merasa tidak aman jika bertemu dengan seorang mantan
narapidana dan terus melabeli mereka sebagai mantan narapidana selama hidupnya.
Maka dari itu, seorang mantan narapidana harus berusaha sangat keras untuk
meyakinkan bahwa mereka telah berubah dan ingin menjadi warganegara yang
baik. Bukannya diterima di masyarakat, beberapa diantara mereka masih sering
mendapat perlakuan yang diskriminatif bahkan keluarganya yang tidak ikut
menjadi penjahat juga merasakannya.
Labelling yang diberikan pemerintah dan masyarakat terhadap mantan
narapidana atau pelaku kejahatan membuat banyak dari mereka yang pada awalnya
ingin berubah lebih baik lagi menjadi kesulitan untuk beradaptasi dan tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Kesulitan ini juga berdampak pada bidang ekonomi
4
dimana mantan narapidana akan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Tidak hanya
itu, pemenuhan kebutuhan mereka juga tidak bisa dilakukan karena banyak dari
masyarakat yang enggan untuk memberikan bantuannya. Hal itu dialami oleh
mantan napi di makam rangkah surabaya, keinginnan untuk tidak lagi melakukan
kejahatan dan mencari pekerjaan yang layak tidak bisa mereka lakukan karena
terlanjurnya masyarakat mencap mereka sebagai penjahat. Label ini sangat kuat
melekat hingga mereka sulit mendapat kesempatan untuk menjadi warganegara
yang baik. Jika hal ini terus berlangsung dimana mereka merasa tidak mendapat
dukungan dari masyarakat untuk berhenti dari melakukan kejahatan ada
kemungkinan besar mereka akan kembali melakukan kejahatan bahkan yang lebih
serius lagi. (Handoyo, 2014)
Provinsi Jawa Tengah bukanlah wilayah yang memiliki jumalah tahanan
serta narapidana yang sedikit. Dilansir dari situs ditjenpas.go.id pada bulan Mei
2019, jumlah narapidana dan tahanan di Jawa Tengah berjumlah 13.590 orang
dengan kapasitas tempat yang seharusnya hanya digunakan oleh 8.197 orang saja,
jumlah ini berada pada posisi ketujuh di Indonesia, setelah Wilayah DKI Jakarta.
Sedangkan wilayah dengan jumlah narapidana dan tahanan terbanyak berada di
Wilayah Sumatera Utara.
Setelah melihat dampak yang sangat memprihatinkan dari para mantan
narapidana yang tidak diterima dengan baik oleh masyarakat, muncullah
permasalahan tentang bagaimana seorang narapidana yang baru saja selesai
5
menjalani masa hukuman bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Apa sajakah
hal-hal yang tidak dan harus mereka lakukan agar tidak muncul dampak yang
diinginkan seperti kasus yang sudah-sudah.
Dengan adanya permasalahan ini penulis tertarik untuk berkontribusi dalam
melakukan penelitian terhadap para mantan narapidana yang berhasil diterima oleh
masyarakat tentang “Strategi adaptasi mantan narapidana dalam negosiasi identitas
kehidupan bermasyarakat” penelitian ini akan dilakukan di area Jawa Tengah yang
mana diperlukan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh para mantan
narapidana pasca keluar dari hukuman, agar bisa berbaur dengan masyarakat
kembali tanpa adanya label menjadi penjahat, atau bahkan bisa berkontribusi dalam
memajukan kehidupan bermasyarakat setelah keinsyafannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan
adalah tentang bagaimanakah proses adaptasi seorang mantan narapidana dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat?
1.3 Tujuan
Dengan bertumpu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini secara
operasional adalah untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana proses
adaptasi seorang mantan narapidana dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat.
6
1.4 Signifikasi Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada bagi
siapa saja yang membaca baik secara akademis ataupun secara praktis.
1.4.1 Signifikasi Akademis
1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk
pengembangan teori adaptasi sosial, dan negosiasi identitas.
2. Untuk menambah bahan referensi di perpustakaan Fakultas Bahasa &
Ilmu Komunikasi (FBIK) Unissula, khususnya tentang strategi adaptasi
mantan narapidana di masyarakat.
1.4.2 Signfikasi Praktis
1. Memberikan gambaran untuk menciptakan hubungan yang baik antara
mantan narapidana dengan masyarakat pasca hukuman.
2. Memberikan pemahaman kepada para narapidana yang baru saja
keluar dari hukuman, mengenai apa saja strategi adaptasi yang harus
dilakukan.
1.4.3 Signifikasi Sosial
1. Penelitian ini dapat memberikan pandangan dan menjadi rekomendasi
untuk masyarakat agar melakukan hubungan dan komunikasi yang baik
dengan mantan narapidana pasca masa penahanan.
2. Menghapus stigma masyarakat tentang mantan narapidana yang tidak
selamanya akan terus berkelakuan tidak baik.
7
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kontruktivis. Paradigma kontruktivis ialah paradigma yang sebagian merupakan
anitesis dari paham yang meletakkan pengamanan dan objektivitas dalam
menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu
sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui
pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan
menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial.
Secara epistimologi berpendapat bahwa semesta merupakan hasil
konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari
proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman
manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan repoduksi
kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara
terorganisasi dan bermakna.
1.5.2 State of the Art
No Peneliti Judul Tujuan Hasil
1 Vitriana Mei
Puspitasari
Strategi Adaptasi
Mantan
Narapidana Di
Masyarakat
(Studi Deskriptif
Tentang Konsep
Diri Dan Strategi
Mendeskripsikan
pemaknaan
(konsep) diri
pada mantan
narapidana
dengan
Strategi adaptasi
mantan
narapidana di
masyarakat
terbentuk karena
adanya respon
dari masyarakat.
8
Adaptasi Mantan
Narapidana
Terhadap Stigma
Yang Ada di
Masyarakat)
stigma yang
muncul di
masyarakat.
Berangkat dari
respon tersebut
mantan
narapidana
melakukan
strategi adaptasi
agar bisa diterima
kembali di
lingkungan
masyarakat.
Strategi adaptasi
yang dilakukan
oleh mantan
narapidana
dengan cara
membentuk
konsep diri yang
baru setelah
mereka bebas dari
lembaga
pemasyarakatan.
Pembentukan
konsep diri
mantan
narapidana
terbentuk karena
adanya proses
interaksi.
2 Wahyu Dwi
Lestari,
Dasim
Pola Adaptasi
Mantan
Narapidana
Untuk
mengetahui
bagaimana pola
Interaksi sosial
mantan
narapidana
9
Budimansyah,
Wilodati
Dalam
Kehidupan
Bermasyarakat
adaptasi mantan
narapidana
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
sebagai upaya
mengubah stigma
negatif ialah
dengan cara
berinteraksi
dengan
masyarakat. Hal
tersebut ditujukan
dengan sikap yang
ramah dan tegur
sapa, membantu
tetangga yang
sedang kesulitan,
menjalin
komunikasi yang
baik dengan
keluarga dan
tetangga,
berpartisipasi
aktif dalam
kegiatan yang ada
di dalam
masyarakat,
menanggapi
stigma negatif
dengan bersikap
biasa saja dan
percaya diri serta
menunjukkan
perubahan sikap
10
kepada
masyarakat.
3 Pambudi
Handoyo,
Muyassaroh
Dampak
Labelling Pada
Mantan Napi:
Pengangguran
Atau Pencuri
Untuk
mengetahui
dampak dari
melakukan
perilaku
labelling
terhadap mantan
narapidana.
Labelling yang
diberikan
pemerintah dan
masyarakat
terhadap mantan
napi atau pelaku
kejahatan
membuat banyak
dari mereka yang
pada awalnya
ingin berubah
menjadi kesulitan
untuk beradaptasi
dan tidak dapat
diterima oleh
masyarakat. Label
ini sangat kuat
melekat hingga
mereka sulit
mendapat
kesempatan untuk
menjadi
warganegara yang
baik. jika hal ini
terus berlangsung
dimana mereka
merasa tidak
mendapat
dukungan dari
11
masyarakat untuk
berhenti dari
melakukan
kejahatan ada
kemungkinan
besar mereka akan
kembali
melakukan
kejahatan bahkan
yang lebih serius
lagi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada tujuan
penelitian serta objek penelitian yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya,
peneliti menggunakan objek penelitian para mantan narapidana yang berdomisili di
Kota Surabaya, yang tentunya memiliki budaya serta persepsi sosial yang berbeda
dengan masyarakat yang ada di Jawa Tengah. Perbedaan demografis, kultur dan
juga lingkungan tentunya akan memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian yang
akan dilakukan selanjutnya. Selain itu, perbedaan juga terletak pada tujuan
penelitian. Dalam penelitian sebelumnya, peneliti hanya ingin mengetahui
bagaimana proses adaptasi terjadi, namun dalam penelitian ini, peneliti ingin
mengetahui tentang langkah negosiasi identitas yang harus seorang mantan
narapidana lakukan, agar bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat kembali.
Penelitian kedua yang berjudul Pola Adaptasi Mantan Narapidana dalam
Kehidupan Bermasyarakat, menjelaskan tentang pola yang sudah diterapkan oleh
12
para mantan narapidana untuk kembali kepada kehidupan bermasyarakat,
sedangkan penelitian ini akan memberikan gambaran strategi bagaimana mantan
narapidana beradaptasi hingga kemudian berhasil kembali kepada kehidupan
bermasyarakat tanpa adanya diskriminasi.
Penelitian ini berfokus tentang bagaimana strategi yang seharusnya
diterapkan oleh para mantan narapidana yang ingin diterima kembali oleh
masyarakat, serta menjelaskan peran-peran yang patut dilakukan.
1.6 Kerangka Teori
1.6.1 Teori Adaptasi Sosial
Adaptasi sosial merupakan kesanggupan individu untuk dapat bereaksi
secara efektif dan harmonis terhadap realitas dan situasi sosial, serta bisa menjalin
hubungan sosial yang sehat (Andriani & Jatiningsih, 2015).
Piaget dalam bukunya juga menyatakan bahwa “Adaptasi akan terjadi
ketika organisme ditransformasikan kedalam lingkungan dan variasi itu akan
menghasilkan peningkatan pertukaran antara lingkungan dan dirinya sendiri yang
menguntungkan bagi pelestarian.” Segala sesuatu tidak akan pernah beradaptasi
ketika ada kesimpang susulan yang akan mengganggu normalnya fungsi
transformasi.
Keseimbangan adalah proses menuju sebuah adapatasi. Keseimbangan
diperandaikan seperti seorang kapten yang membawa kendali sebuah kapal semakin
seimbang seorang kapten bisa membawa kapal maka semakin cepat pula adaptasi
13
bisa dilakukan. Keseimbangan ditentukan juga dari lingkungan tempat seseorang
yang ingin beradaptasi itu juga berada. (Kahle dan Argyl; 2013, 38-40)
John William Bennett pada tahun 1976 menjelaskan dalam bukunya yang
berjudul The Ecological Transition: Cultural Antrophology and Human Adaptation
bahwa asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat
evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, baik secara biologis atau genetik maupun secara sosial
dan budaya. Sehingga proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan
varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan
permasalahan lingkungan.
Adaptasi sosial dalam penelitian ini merupakan upaya-upaya sosial yang
dilakukan oleh seseorang maupun kelompok masyarakat pendatang untuk
meyesuaikan diri dengan lingkungan sosial masyarakat yang didatangi.
1.6.2 Teori Negosiasi Identitas
Cikal bakal dari teori negosiasi identitas oleh Stella Ting-Toomey muncul
pada tahun 1986 sebagai bab dalam buku yang diedit oleh William B. Gudykunst
di mana fokus konstruksi menekankan pentingnya menegaskan kedua keanggotaan
kelompok sosial budaya dan masalah identitas pribadi dalam mengembangkan
hubungan antarkelompok-interpersonal yang berkualitas. Kunci Argumen dalam
bab yang menekankan pentingnya memvalidasi kedua kelompok identitas,
keanggotaan, dan isu-isu identitas arti-penting pribadi untuk mengembangkan
hubungan kualitas dan menekankan isu-isu identitas berbasis personal-sendiri.
14
Kedua penafsiran dari teori muncul pada tahun 1993 di volume revisi oleh Richard
Wiseman dan Jolene Koester dan menekankan pentingnya memahami dialektika
identitas, kerentanan keamanan identitas dan isu-isu identitas inklusi-diferensiasi
imigran dan adaptasi pengungsi serta proses dalam hubungannya dengan lainnya
terkait persepsi diri, motivasi dan faktor lainnya. (Bennet,2015:419)
Asumsi utama teori negosiasi identitas berpendapat bahwa manusia dalam
semua kebudayaan berkeinginan untuk menegaskan identitas positif dalam
berbagai situasi komunikasi. Namun, apa yang merupakan cara yang tepat untuk
menunjukkan identitas penegasan dan pertimbangan bervariasi dari satu konteks
budaya satu ke budaya yang berikutnya. Teori negosiasi dentitas menekankan
domain identitas tertentu dalam mempengaruhi interaksi sehari-hari individu. Ini
adalah middle range theory karena bagaimana imigran atau pengungsi berevolusi
mereka budaya-etnis dan identitas pribadi di lingkungan yang asing didasarkan
pada penerimaan penduduk mayoritas dan faktor dukungan struktural-institusional,
dan juga desakan situasional dan faktor individu dari proses adaptasi perubahan
identitas. (Ting-Toomey dalam Bennet,2015:420-421)
Lebih lanjut, Ting-Toomey menjelaskan dalam Bannet (2015:421-422)
Teori negosiasi identitas memiliki 10 asumsi teoritis dalam negosiasi identitas.
Asumsi – asumsi tersebut adalah:
1. Dinamika utama dari identitas keanggotaan seseorang dalam suatu
kelompok dan identitas personal terbentuk melalui komunikasi
simbolik dengan yang lain.
15
2. Orang-orang dalam semua budaya atau kelompok etnis memiliki
kebutuhan dasar akan motivasi untuk memperoleh kenyamanan
identitas, kepercayaan, keterlibatan, koneksi dan stabilitas baik level
identitas berdasarkan individu maupun kelompok.
3. Setiap orang akan cenderung mengalami kenyamanan identitas dalam
suatu lingkungan budaya yang familiar baginya dan sebaliknya akan
mengalami identitas yang rentan dalam suatu lingkungan yang baru.
4. Setiap orang cenderung merasakan kepercayaan identitas ketika
berkomunikasi dengan orang lain yang budayanya sama atau hampir
sama dan sebaliknya kegoyahan identitas manakala berkomunikasi
mengenai tema-tema yang terikat oleh regulasi budaya yang berbeda
darinya.
5. Seseorang akan cenderung merasa menjadi bagian dari kelompok bila
identitas keanggotaan dari kelompok yang diharapkan memberi respon
yang positif. Sebaliknya akan merasa berbeda/asing saat identitas
keanggotaan kelompok yang diinginkan memberi respon yang negatif.
6. Individu cenderung mengalami interaksi yang sama ketika sedang
berkomunikasi dengan budaya yang dapat diprediksi. Namun berbeda
ketika berkomunikasi dengan budaya lainnya yang asing. Sehingga
Identitas yang dapat diprediksi mudah untuk dipercaya, dan identitas
yang tidak diprediksi mengarah ke ketidak percayaan. Memunculkan
bias atribut antar kelompok
16
7. Orang akan memperoleh kestabilan identitas dalam situasi budaya
yang familiar dan akan menemukan perubahan identitas atau goncang
dalam situasi-situasi budaya yang tidak familiar sebelumnya.
8. Dimensi budaya, personal dan keragaman situasi mempengaruhi
makna, interpretasi, dan penilaian terhadap tema-tema atau isu-isu
identitas tersebut.
9. Komunikasi antarbudaya yang mindful menekankan pentingnya
pengintegrasian pengetahuan antarbudaya, motivasi, dan ketrampilan
untuk dapat berkomunikasi dengan memuaskan, tepat, dan efektif.
10. Kepuasan hasil dari negosiasi identitas meliputi rasa dimengerti,
dihargai dan didukung.
1.7 Operasionalisasi Konsep
1.7.1 Strategi
Strategi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1). Ilmu dan seni
menggunakan semua sumber daya bangsa(-bangsa) untuk melaksanakan
kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai; 2). Ilmu dan seni memimpin bala
tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang
menguntungkan; 3). Rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai
sasaran khusus; 4). Tempat yang baik menurut siasat perang.
17
1.7.2 Adaptasi
Berdasarkan kajian terhadap konsep adaptasi yang telah dilakukan oleh para
ahli, baik ekologi, psikologi, sosiologi, dan antropologi, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa konsep atau istilah adaptasi mengandung makna sebagai berikut:
a. Adaptasi adalah sebuah respon yang diberikan oleh organisme, termasuk
manusia terhadap perubahan lingkungan disekitarnya. Sedangkan
adjustment adalah upaya manusia untuk mengubah lingkungan di sekitarnya
agar mereka lebih mudah untuk beradaptasi.
b. Adaptasi dapat terjadi dalam skala indivisu maupun dalam skala komunitas.
c. Kedudukan manusia dalam sebuah ekosistem berpeluang untuk merusak
dan sekaligus memelihara keberlanjutan ekosistem, sebagai habitat mereka
untuk menjalani dan melangsungkan kehidupannya.
d. Evolusi sosiobudaya dapat dicermati dengan melakukan kajian terhadap
daya adaptasi manusia yang beragam, baik beragam kondisi lingkungannya,
maupun beragam kemampuan mengadaptasikan terhadap lingkungannya
maupun kemampuan adjustment-nya.
e. Dasar konsep ekologi masih merupakan penjelas yang lebih baik untuk
menggambarkan sebuah proses adaptasi, tetapi pemikiran-pemikiran
antropologis, psikologis dan sosiologis dapat lebih memberikan makna,
ketika kajian adaptasi manusia dilakukan. (Susilo, Purwanti & Fattah: 2017,
139)
18
1.7.3 Negosiasi Identitas
Teori negosiasi identitas berpendapat bahwa manusia dalam semua
kebudayaan berkeinginan untuk menegaskan identitas positif dalam berbagai
situasi komunikasi. Namun, apa yang merupakan cara yang tepat untuk
menunjukkan identitas penegasan dan pertimbangan bervariasi dari satu konteks
budaya satu ke budaya yang berikutnya. Teori negosiasi identitas menekankan
domain identitas tertentu dalam mempengaruhi interaksi sehari-hari individu. Ini
adalah middle range theory karena bagaimana imigran atau pengungsi berevolusi
mereka budaya-etnis dan identitas pribadi di lingkungan yang asing didasarkan
pada penerimaan penduduk mayoritas dan faktor dukungan struktural-institusional,
dan juga desakan situasional dan faktor individu dari proses adaptasi perubahan
identitas. (Ting-Toomey dalam Bennet,2015:420-421)
1.8 Metodologi Penelitian
1.8.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang
dilakukan untuk membuat deskripsi sistematis, faktual dan akurat tentang fakta dan
sifat populasi atau objek tertentu (Rachmat Kriyantono, 2008)
Maka dengan penelitian deskriptif kualitatif ini, peneliti hanya akan
memaparkan serta menjelaskan mengenai strategi apa saja yang selayaknya
dilakukan oleh mantan narapidana dalam melakukan negosiasi identitas pada
kehidupan bermasyarakat.
19
1.8.2 Jenis Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data primer merupakan data yang didapatkan pada saat turun ke lapangan
b. Data Sekunder merupakan data pendukung untuk sebuah penelitian yang
didapatkan dari referensi atau pustaka untuk dijadikan sumber penelitian.
1.8.3 Sumber Data
a. Data Primer, merupakan data yang didapatkan langsung oleh penulis dari
lapangan yakni data yang didapatkan langsung dari narasumber atau
informan lainnya. Dalam penelitian ini penulis akan mendapatkan data
primer dari mantan narapidana yang telah selesai menjalani masa tahanan
dan berdomisili di Jawa Tengah, serta mantan narapidana yang telah
berhasil berbaur dengan masyarakat.
b. Data Sekunder, merupakan data penunjang yang didapatkan dari referensi
beberapa sumber, seperti arsip dokumen, internet, surat kabar dan sumber
lainnya yang relevan dengan masalah yang diteliti.
1.8.4 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Instrumen dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu:
a. Wawancara Mendalam (Indept Interview)
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung
secara mendalam kepada narasumber atau informan mengenai informasi-
informasi yang dibutuhkan peneliti yang berkaitan dengan tema penelitian.
20
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam wawancara ini adalah
berupa pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam bentuk interview guide,
yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan mengajukan
pertanyaan lengkap dan rinci dalam interview terstruktur (Arikunto,
2010:127).
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah sebuah cara yang dilakukan untuk
menyediakan dokumen-dokumen. Dokumen merupakan cacatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-
karya monumental dari sseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya ctatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi,
peraturan, kebijakan. Studi dokumen merupakan pelengkapan dari
penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.
(Sugiyono, 2009:240)
c. Studi Pustaka
Mencari data yang berupa keterangan mengenai perushaan yang
bersangkutan dengan buku-buku, surat kabar, dan sumber informasi lain
yang relevan.
1.8.5 Analisis Data
Moleong (2015: 2) berpendapat bahwa penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang menfokuskan pada paparan kalimat, sehingga lebih mampu
memahami kondisi psikologi manusia yang komplek (dipengaruhi oleh banyak
fakta) yang tidak cukup apabila hanya diukur dengan menggunakan skala saja. Hal
21
ini terutama didasari oleh asumsi bahwa manusia merupakan animal symbolicum
(mahkluk simbolis) yang mencari makna dalam hidupnya. Sehingga penelitian ini
memerlukan peran kualitatif guna melihat manusia secara total.
Sutopo (2011: 8) menjelaskan bahwa analisis data model interaktif terdiri
dari tiga hal utama yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
(verifikasi), dengan penjelasannya:
1. Reduksi data
Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Selama pengumpulan
data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya (membuat
ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat
partisi, membuat memo).
2. Penyajian Data
Data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian-penyajian yang baik merupakan suatu cara yang utama bagi
analisis kualitatif yang valid meliputi: berbagai jenis matrik, grafik, jaringan
dan bagan.
22
3. Penarikan Kesimpulan
Tahap terakhir yang berisikan proses penganbilan keputusan
yang menjurus pada jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan
dan mengungkap “what” dan “how” dari temuan penelitian tersebut.
Berikut gambar model analisis data:
Sumber: Sutopo (2011)
1.8.6 Kualitas Data
Dalam penelitian ini selalu dilakukan pemeriksaan kualitas data yang
dikumpulkan, sehingga tidak akan terjadi informasi yang salah atau tidak sesuai
dengan konteksnya. Penilaian kesahihan riset biasanya terjadi sewaktu proses
pengumpulan data dan analisis intrepertasi data (Kriyantono, 2014: 70-72). Jenis-
jenisnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Gambar 1.1 Model Analisis Data
23
1. Kompetensi Subjek Riset
Artinya subjek riset yang akan dijadikan narasumber harus kredibel. Uji ini
dilakukan dengan menguji jawaban dan pertanyaan yang terkait dengan subjek.
Bagi pihak yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan mengenai masalah riset,
maka data diri dari subjek tersebut tidak kredibel.
Metode tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk menguji subjek riset
yang telah ditentukan, apakah memiliki pengalaman menjadi seorang mantan
narapidana yang berdomisili di Provinsi Jawa Tengah.
2. Trustworthiness
Trustworthiness adalah menguji kebenaran dan kejujuran subjek dalam
mengungkap realitas menurut apa yang dialami, dirasakan, atau dibayangkannya.
Metode ini digunakan untuk menguji kebenaran subjek riset ketika memberikan
argument atau pendapatnya tentang kegiatan yang dilakukan oleh mantan
narapidana yang sudah menyelesaikan masa hukumannya dan telah kembali ke
dalam kehidupan bermasyarakat.