B08gar

download B08gar

of 92

Transcript of B08gar

  • 8/9/2019 B08gar

    1/92

    AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG

    AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES

    PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

    GUGI ARGAMULA

    DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2008

  • 8/9/2019 B08gar

    2/92

    ABSTRAK

    GUGI ARGAMULA. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon PisangAmbon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka

    pada Mencit (mus musculus albinus). Dibawah Bimbingan BAMBANG PONTJOPRIOSOERYANTO dan BAYU FEBRAM PRASETYO.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas pemberianekstrak batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalambentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka pada kulit mencit (Musmusculus albinus) melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi.Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit dari strain DDYumur4-6 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompokkontrol negatif (salep placebo), kontrol positif (salep Betadine) dan salep ekstrakbatang pohon pisang Ambon. Semua mencit dilukai di daerah punggung anteriorsepanjang 1-1,5 cm menggunakan skalpel. Setiap hari luka diolesi dua kali

    dengan salep yang diuji. Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari danpengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pascaperlukaan. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah warna luka,pembekuan darah, terbentuknya keropeng dan ukuran luka. Parameter yangdiamati pada sediaan histopatologi adalah infiltrasi sel-sel radang (neutrofil,limfosit, makrofag), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan ketebalanfibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan AnalisaSidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan,sedangkan data kualitatif disajikan secara deskriptif. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa kelompok salep ekstrak lebih cepat membentuk keropengdan menutup luka tanpa bekas, jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasiluji statistik infiltrasi sel-sel radang kelompok salep ekstrak berbeda nyata

    (P

  • 8/9/2019 B08gar

    3/92

    ABSTRACT

    GUGI ARGAMULA. Activity of Ambon Banana (Musa paradisiaca var.

    sapientum) Stem Extract in Ointment Solution on the Wound Healing Process ofMice Skin (Mus musculus albinus). Under the direction of BAMBANG PONTJOPRIOSOERYANTO and BAYU FEBRAM PRASETYO.

    The objective of the present research is to study the activity of banana stemextract in ointment solutions in the acceleration of wound healing process onmice skins. Totally of 45 mice strain DDY 4-6 weeks old were devided in negativecontrol group (placebo ointment), positive control group (Betadineointment) andAmbon banana stem extract ointment.All mice were aseptically wounded 1-1,5cm in the anterior region of back skin using a sterile scalpel. The wound wassmeared with the ointment. The pathology anatomy observations was done inday 3, 5, 7, 14 and 21 post wounded. Parameters of the gross lesions (pathology

    anatomy) observations ware colour of the wound, blood coagulations, scabformations and size of the wound. Parameter for (microscopic lesions)histopathology were infiltrations of inflammatory cells (neutrophils, lymphocytes,macrofages), neo-capillarizations, re-epitelization percentage and the thicknessof fibroblast. All quantitative data were measure using ANOVA and continue withDuncan Test, moreover, the qualitative data were presented descriptively. Theresult shows that gross lesions observations, the extract ointment group wasfaster in scab formations and covers the wound without trace compared to thenegative control group. The statistical test on the infiltrations of inflammatory cellsparameter of the extract ointment group significantly different (P

  • 8/9/2019 B08gar

    4/92

    AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG

    AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES

    PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

    GUGI ARGAMULA

    B04104109

    Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kedokteran Hewan pada

    Fakultas Kedokteran Hewan

    DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2008

  • 8/9/2019 B08gar

    5/92

    Judul Skripsi : Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon PisangAmbon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam ProsesPersembuhan Luka pada Mencit (Mus musculusalbinus).

    Nama : GUGI ARGAMULANrp : B04104109

    Disetujui

    Pembimbing I Pembimbing II

    drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D. Bayu Febram P. SSi,Apt.MSiNIP: 131 578 839 NIP: 132 311 720

    Mengetahui,

    Wakil Dekan FKH IPB

    Dr. Nastiti Kusumorini

    NIP : 131 669 942

    Tanggal Lulus :

  • 8/9/2019 B08gar

    6/92

    PRAKATA

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

    Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan

    yang diharapkan. Skripsi ini berjudul Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang

    Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses

    Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus).

    Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang

    sebesar-besarnya kepada:

    1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing I

    atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan

    selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

    2. Bayu Febram Prasetyo, SSi,Apt.MSi selaku dosen pembimbing II atas segala

    bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian

    dan penulisan skripsi ini.

    3. drh. Muchidin Noordin selaku dosen pembimbing Akademik yang senantiasa

    membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut

    Pertanian Bogor.

    4. Bapak, Ibu, dan seluruh anggota keluarga atas doa, limpahan kasih sayang

    dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.

    5. Seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi dan Farmasi FKH IPB atas segala

    bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.

    6. R. Enen Rosi Manggung atas dorongan, doa, dukungan, dan kesabarannya

    menghadapi penulis selama ini.

    7. Jeff n Bdull sebagai homemate selama penulis hidup di Bogor.

    8. Rekan-rekan FKH41 (Asteroidea) atas persahabatan dan kebersamaannya

    selama ini.

    Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

    semua pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi

    dunia kedokteran hewan Indonesia.

    Bogor, September 2008

    Gugi Argamula

  • 8/9/2019 B08gar

    7/92

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1985 dari pasangan

    Bapak H. Edien Munajat dan Ibu Hj. Maesaroh, penulis merupakan anak pertama

    dari dua bersaudara.

    Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Citarip Barat V Bandung

    pada tahun 1998 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SLTPN 3

    Bandung pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan

    lanjutan menengah atas di SMUN 8 Bandung dan pada tahun yang sama

    diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

    Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).

    Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam berbagai kegiatan,

    diantaranya menjadi ketua Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas

    periode 2006-2007 dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang

    Bogor komisariat Fakultas Kedokteran Hewan.

  • 8/9/2019 B08gar

    8/92

    DAFTAR ISI

    HALAMAN

    DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

    I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

    1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2

    1.3 Hipotesa Penelitian ..................................................................... 3

    1.4 Manfaat Penelitian....................................................................... 3

    II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sejarah Tanaman Pisang ............................................................ 4

    2.2 Taksonomi .................................................................................. 4

    2.3 Manfaat Pohon Pisang ................................................................ 6

    2.4 Biologi Mencit .............................................................................. 8

    2.5 Kulit ............................................................................................. 10

    2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka..... ... ................................. 12

    2.6.1 Jenis-Jenis Luka........................................................... 13

    2.6.2 Proses Persembuhan Luka......................................... 15

    2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka................................ 20

    2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka................................... 21

    2.7 Salep . .................. ....................................................................... 22

    2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat............................................................ 24

    III BAHAN DAN METODE

    3.1 Tempat dan Waktu Penelitian...................................................... 26

    3.2 Identifikasi Tanaman ................................................................... 26

    3.3 Alat dan Bahan ........................................................................... 26

    3.3.1 Hewan Percobaan ....................................................... 26

    3.3.2 Bahan .......................................................................... 27

    3.3.3 Alat .............................................................................. 27

    3.4 Pembuatan Sediaan Salep............................................................. 27

    3.5 Metodelogi Penelitian .................................................................. 28

    3.5.1 Perlakuan pada Mencit ................................................ 28

    3.5.2 Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ............................ 28

  • 8/9/2019 B08gar

    9/92

    3.5.3 Pengambilan Kulit ....................................................... 29

    3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi .............................. 29

    3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP) .................................. 30

    3.5.6 Kriteria Skoring ............................................................ 31

    3.6 Analisa Data ................................................................................ 31

    IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ................................... 32

    4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi (HP) ......................................... 40

    4.2.1 Nutrofil ......................................................................... 40

    4.2.2 Makrofag ..................................................................... 43

    4.2.3 Limfosit ........................................................................ 45

    4.2.4 Neokapiler ................................................................... 48

    4.2.5 Re-epitelisasi .............................................................. 51

    4.2.6 Fibroblas (Jaringan Ikat) .............................................. 57

    V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 61

    VI DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 62

    LAMPIRAN ................................................................................................... 66

  • 8/9/2019 B08gar

    10/92

    xii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    1 Deskripsi skor jaringan ikat (fibroblas). ....................................................... 31

    2 Perbandingan patologi anatomi (PA) .......................................................... 32

    3 Rataan jumlah sel radang neutrofil ............................................................. 40

    4 Rataan jumlah sel radang makrofag ........................................................... 43

    5 Rataan jumlah sel radang limfosit .............................................................. 46

    6 Rataan jumlah neokapiler ........................................................................... 49

    7 Rataan persentase re-epitelisasi ................................................................ 528 Perbandingan ketebalan jaringan ikat ........................................................ 57

  • 8/9/2019 B08gar

    11/92

    xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1 Pohon pisang Ambon ........................................................................... 6

    2 Mus musculus...................................................................................... 9

    3 Histologi kulit ........................................................................................ 10

    4 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-3 ............................ 38

    5 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-5 ............................ 38

    6 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-7 ............................ 38

    7 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-14 .......................... 398 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-21 .......................... 39

    9 Grafik jumlah sel radang neutrofil ......................................................... 41

    10 Gambar sel radang neutrofil ................................................................. 42

    11 Grafik jumlah sel radang makrofag ....................................................... 44

    12 Gambar sel radang makrofag ............................................................... 45

    13 Grafik jumlah sel radang limfosit ........................................................... 47

    14 Gambar sel radang limfosit ................................................................... 48

    15 Grafik jumlah neokapiler ....................................................................... 5016 Gambar neokapiler ............................................................................... 51

    17 Grafik persentase re-epitelisasi ............................................................ 54

    18 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-3 ......................... 55

    19 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-5 ......................... 55

    20 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-7 ......................... 55

    21 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-14 ....................... 56

    22 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-21 ....................... 56

    23 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-3 ........................... 59

    24 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-5 ........................... 59

    25 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-7 ........................... 59

    26 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-14 ......................... 60

    27 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-21 ......................... 60

  • 8/9/2019 B08gar

    12/92

    I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Bahan obat tradisional baik yang berasal dari hewan maupun dari

    tumbuhan banyak digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan

    sejak zaman nenek moyang kita dulu. Pengobatan dengan obat tradisional

    tersebut merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar

    masyarakat di bidang kesehatan.

    Konsumsi beraneka jenis obat tertentu menurut Mursito (2002)

    mempunyai tujuan, mulai dari upaya pencegahan (preventif), mempertahankan

    atau meningkatkan kesehatan tubuh (promotif), dan melakukan pengobatan guna

    penyembuhan suatu penyakit (kuratif), untuk keperluan tersebut masyarakat

    memiliki berbagai pilihan cara pengobatan. Bahan obat tradisional biasanya

    digunakan berdasarkan pengalaman empiris. Salah satu bahan tradisional yang

    digunakan untuk pengobatan adalah pohon pisang yang memiliki berbagai

    manfaat, bahkan setiap bagiannya memiliki manfaat yang berbeda, salah

    satunya adalah getah batang pohon pisang yang dapat digunakan sebagai obat

    persembuhan luka (Versteegh 1988).

    Pisang umumnya merupakan tanaman pekarangan, walaupun diberbagai

    daerah sudah dibudidayakan untuk diambil buahnya. Pisang merupakan

    tanaman yang berbuah hanya sekali, kemudian mati. Pohon pisang selalu

    beregenerasi sebelum berbuah melauli tunas-tunas yang tumbuh pada

    bonggolnya. Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang banyak mengandung

    humus memungkinkan pisang tersebar luas di Indonesia. Pisang tidak mengenal

    musim panen. Pohon ini dapat berbuah kapan saja (Dalimartha 2005).

    Ketersediaan pohon pisang yang melimpah pasca panen di Indonesia

    tidak didukung dengan pengembangan obat luka dari tanaman untuk

    kepentingan komersial. Permasalahan-permasalahan diatas menjadi

    pertimbangan untuk mengembangkan obat persembuhan luka dari getah batang

    pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) karena memiliki

    prospek yang sangat baik dalam pemanfaatannya dan pengembangnya menjadi

    produk yang praktis siap pakai, dalam upaya meningkatkan kesehatan

    masyarakat Indonesia.

    Beberapa pengujian secara ilmiah mengenai khasiat dari pohon pisang

    untuk persembuhan luka pernah dilaporkan. Salah satunya yaitu penelitian yang

  • 8/9/2019 B08gar

    13/92

    2

    dilakukan oleh Listyanti (2006), bahwa getah batang pohon pisang ambon

    (Musa paradisiaca var. sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam

    bentuk sediaan segar, pada proses persembuhan luka menggunakan hewan

    coba mencit memperlihatkan hasil yang memuaskan. Selain mempercepat

    persembuhan luka, secara histologik juga memberikan efek kosmetik dengan

    memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka

    atau jaringan parut. Getahnya sekaligus mempercepat proses re-epitelisasi

    jaringan epidermis, pembentukan buluh darah baru (neokapilarisasi),

    pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah

    luka.

    Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka penggunaan getah batang

    pohon pisang sebagai obat persembuhan luka memiliki prospek yang sangat baik

    untuk dikembangkan menjadi sediaan farmasi. Salah satunya adalah dalam

    bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang Ambon yang

    diaplikasikan secara topikal, kemudian diuji kembali aktifitasnya terhadap

    persembuhan luka pada mencit. Penggunaan ekstrak batang pohon pisang

    ambon dalam sediaan salep belum pernah diujicobakan sebelumnya.

    Sediaan salep ekstrak didalam penelitian ini diuji dengan kontrol positif

    sebagai pembanding yaitu obat luka komersial yang juga berbentuk salep. Salep

    dipilih sebagai bentuk sediaan karena stabilitasnya baik, berupa sediaan halus,

    mudah digunakan, mampu menjaga kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit dan

    mempunyai tampilan yang lebih menarik (Ansel 1989).

    I.2 Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sediaan topikal dalam

    bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang ambon terhadap proses

    persembuhan luka pada kulit mencit melalui pengamatan patologi anatomi dan

    histopatologi dan membandingkannya dengan sediaan salep komersil yang

    beredar di masyarakat.

  • 8/9/2019 B08gar

    14/92

    3

    1.3 Hipotesis

    Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

    H0 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon tidak mempercepat

    proses persembuhan luka.

    H1 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses

    persembuhan luka.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan

    ekstrak getah batang pohon pisang ambon dalam bentuk sediaan salep yang

    lebih praktis digunakan dalam proses persembuhan luka. Bentuk sediaan salep

    dari ekstrak getah batang pohon pisang ambon ini diharapkan mampu bersaing

    dengan obat-obatan komersil yang telah beredar tetapi harganya lebih murah

    sehingga masih terjangkau oleh masyarakat umum.

  • 8/9/2019 B08gar

    15/92

    4

    II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sejarah Tanaman Pisang

    Kata pisang dalam bahasa arab yaitu maus, yang oleh Linneus

    dimasukkan ke dalam keluarga musaceae. Dalam bahasa latin pisang disebut

    Musa paradisiacal. Menurut catatan sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara.

    Penyebar agama Islam lalu menyebarkan buah ini ke Afrika Barat, Amerika

    Selatan, dan Amerika Tengah. Selanjutnya, pisang tersebar ke seluruh dunia

    meliputi daerah tropis dan subtropis (Anonimus 2008).

    Menurut Munadjim (1983) nama latin dari tanaman pisang adalah Musa

    paradisiaca. Nama Musa diambil dari nama seorang dokter asal Romawi yang

    bernama Antonius Musa. Pada masa tersebut, Antonius Musa selalu

    menganjurkan pada kaisar untuk selalu makan pisang agar tetap kuat dan sehat.

    Nama ini telah didapat sejak sebelum Masehi.

    Pisang merupakan tanaman asli dari daerah Asia Tenggara. Pisang

    disebarkan oleh para penyebar agama Islam di daerah Laut Tengah, dari Afrika

    Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebarannya

    hampir ke seluruh dunia dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Pasifik

    sampai ke Hawaii. Sampai di Barat melalui Samudra Atlantik, oleh karenanya

    sekarang pisang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia (Satuhu dan Supriyadi

    1999). Tumbuhan pisang menyukai daerah alam terbuka yang cukup sinar

    matahari, cocok tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 meter

    lebih diatas permukaan laut. Tanaman pisang merupakan tumbuhan yang tidak

    memiliki batang sejati. Batang pohonnya terbentuk dari perkembangan dan

    pertumbuhan pelepah pelepah yang mengelilingi poros lunak panjang. Batang

    pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang tersembunyi di dalam

    tanah (Cox 1994).

    Pisang dikenal dengan nama lokal Cau, Gedang (Jawa), Galuh, Gaol,

    Puntik, Pusi (Sumatera), Harias, Peti (Kalimantan), Tagin, See, Pepe, Uti

    (Sulawesi), Nando, Pipi, Mayu (Irian), dalam bahasa Inggris pisang dikenal

    dengan nama banana (Dalimartha 2005).

    2.2 Taksonomi

    Menurut Satuhu dan Supriyadi (1999), secara garis besar jenis-jenis

    pisang dikelompokan menjadi tiga jenis yakni pertama, pisang serat (Noe. Musa

  • 8/9/2019 B08gar

    16/92

    5

    texstiles) yaitu pisang yang tidak diambil buahnya tetapi hanya diambil seratnya

    saja. Kedua, pisang hias (Heliconia indicaLamk), pisang ini sama dengan pisang

    serat yakni tidak diambil buahnya, tetapi pisang ini hanya dijadikan hiasan di

    muka rumah. Biasanya pisang ini diperbanyak dengan menggunakan

    anakannya. Jenis yang ketiga adalah pisang buah (Musa paradisiaca), pisang

    jenis ini banyak ditemukan.

    Buah pisang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pisang buah meja

    adalah Musa sapientum (banana), karena lebih enak dimakan segar, misalnya

    pisang ambon, ambon lumut, raja, raja sereh, mas, susu, dan barangan.

    Kelompok berikutnya pisang yang enak dimakan setelah diolah terlebih dahulu

    adalah Musa paradisiaca (plantain), misalnya pisang tanduk, oli, nangka, kapas,

    batu, dan kepok (Dalimartha 2005).

    Sistem klasifikasi pisang ambon menurut menurut Tjitrosoepomo (1994)

    sebagai berikut :

    Kingdom : Plant

    Phylum : Angiospermae

    Kelas : Monocotyledoneae

    Ordo : Zingiberales

    Genus : Musa

    Spesies : Musa paradisiaca

    Varietas : Sapientum

    Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem

    perakaran di bawah tanah. Batangnya pun berada di dalam tanah sedangkan

    batang di atas permukaan tanah merupakan batang semu yang terdiri dari

    kumpulan seludang daun yang saling membungkus rapat. Daun berkembang

    dari bagian tengah batang semu dalam keadaan tergulung rapat sewaktu muncul

    dan akan berkembang sampai ukuran yang maksimum. Akar dan tunas-tunas

    samping keluar dari bonggol, sehingga tunas-tunas inilah yang akan tumbuh ke

    atas membentuk batang semu. Tunas-tunas inilah yang sering disebut anakan.

    Perbanyakan tanaman dilakukan dengan anakan (Ernawati et al 1994).

    Menurut Dalimartha (2005) satu pohon pisang bisa menghasilkan 1

    sampai dengan 17 sisir setiap tandan atau 4 sampai dengan 40kg per tandan.

    Jumlah dan berat pisang tergantung pada jenisnya. Selanjutnya gambar pohon

    pisang disajikan pada Gambar 1.

  • 8/9/2019 B08gar

    17/92

    6

    Gambar 1 Pohon pisang ambon.

    Pisang tumbuh dan berkembang subur pada daerah tropis (300 LU 300 LS)

    dengan suhu 270 300 C. Curah hujan antara 1400 2450 mm per tahun

    dengan penyebaran yang merata. Sedangkan pada daerah dengan musim

    kering yang panjang tanaman pisang memerlukan pengairan (Purwanto dan

    Sujiprihati 1985).

    2.3 Manfaat Pohon Pisang

    Pisang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan buah-

    buahan yang lainnya. Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap buah pisang

    matang adalah kalori 99 kal, protein 1.2 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 25.8 mg,

    serat 0.7 g, kalsium 8 mg, fosfor 28 mg, besi 0.5 g, Vitamin A 44 RE, Vitamin B

    0.08 mg, Vitamin C 3 mg, dan air 72 g. Buah pisang mengandung tiga jenis gula

    alami, yaitu sukrosa, fruktosa, dan glukosa, yang dikombinasikan dengan serat,

    akan menghasilkan energi yang cukup banyak (Departemen Kesehatan 1989).Manfaat lain dari buah pisang, adalah untuk kesehatan, antara lain untuk

    menyembuhkan penyakit usus. Pisang juga bermanfaat bagi penderita diabetes.

    Pisang juga bisa menyembuhkan anemia, menurunkan tekanan darah, memacu

    tenaga untuk berfikir, kaya serat, membantu sistem syaraf, membantu perokok

    menghilangkan pengaruh nikotin, mengatasi stres, mencegah stroke, mengontrol

    temperatur badan, dan menetralkan asam lambung. Kulit pisang dapat

    digunakan sebagai krim antinyamuk ( Sangat et al 2000).

  • 8/9/2019 B08gar

    18/92

    7

    Menurut Listyanti (2006) getah batang pohon pisang ambon (Musa

    paradisiaca var sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam bentuk

    sediaan segar, bermanfaat dalam mempercepat proses persembuhan luka dan

    memberikan efek estetika dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa

    meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getahnya sekaligus

    mempercepat re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan pembuluh darah

    baru (neokapilerisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel

    radang pada daerah luka.

    Khususnya dalam proses persembuhan luka, getah batang pohon pisang

    dapat dijadikan penghilang rasa sakit dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru

    pada kulit. Getah batang pohon pisang mengandung saponin, antrakuinon dan

    kuinon sebagai antimikrobial. Sedangkan lignin, membantu peresapan senyawa

    pada kulit sehingga dapat digunakan untuk mengobati luka memar, luka bakar,

    bekas gigitan serangga dan sebagai anti radang (Djulkarnain 1998).

    Menurut Priosoeryanto et al (2006), ekstrak batang pohon pisang ambon

    mengandung tanin, saponin dan flavonoid yang dapat berguna sebagai

    antimikrobial dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka. Ekstrak

    batang pohon pisang ambon mampu untuk mengobati luka pada kulit karena

    kandungan bahan aktifnya mampu meningkatkan aliran darah ke daerah luka

    dan juga dapat menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk persembuhan luka.

    Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang merupakan satu golongan

    fenol alam yang terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut

    polar seperti air, etanol, metanol, butanol, aseton,dan sebagainya. Flavonoid

    umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida yang larut air, sehingga pelarut air

    sangat baik untuk glikosida. Flavonoid mempunyai respon biologi secara alami

    karena mempunyai kemampuan bereaksi dengan komponen lainnya seperti

    allergen, virus dan karsinogen sehingga flavonioid dapat berfungsi sebagai anti

    alergi, antikanker dan anti inflamasi (Markham 1988). Senyawa flavonoid

    mempunyai efek biologis yang sangat kuat sebagai antioksidan, merangsang

    produksi oksidasi nitrit yang dapat melebarkan pembuluh darah. Flavonoid juga

    dapat meningkatkan aliran darah ke otak sehingga berperan dalam memperbaiki

    kerusakan pembuluh darah dan bermanfaat bagi kesehatan jantung. Flavonoid

    umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

    (Harborne 1987).

  • 8/9/2019 B08gar

    19/92

    8

    Efek utama dari tanin yaitu sebagai adstringensia yang banyak digunakan

    sebagai pengencang kulit dalam segi kosmetik. Kandungan zat aktif tanin

    menurut batasannya dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer

    mantap yang tak larut air. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein

    dan enzim sitoplasma sehingga berada diantaranya, tetapi bila pada jaringan

    rusak, misalnya dalam kondisi termakan oleh hewan, maka reaksi penyamakan

    dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan

    pencernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak memiliki tanin

    dihindari oleh hewan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).

    Senyawa yang juga terkandung dalam Ekstrak batang pohon pisang Ambon

    adalah saponin. Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas

    membentuk busa. Saponin terdiri atas agligen polisiklik yang disebut sapogenin

    dan gula sebagai glikon. Sapogenin dapat diuraikan kembali dari struktur kimia

    ikatan hidrogennya menjadi dua bentuk, yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya

    saponin dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit. Bila saponin

    dicampur dengan air akan membentuk busa stabil (Cheek 2005).

    2.4 Biologi Mencit

    Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan percobaan

    yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit laboratorium yang digunakan

    dalam penelitian ini adalah strain DDY, dimana telah dikembangkan secara

    inbred dengan gen-gen yang homozigot (Penn dalamHandayani 2006). Hewan

    ini dinilai cukup efisien ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan

    tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memilki anak per

    kelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat produksi dan reproduksi yang mirip

    dengan mamalia besar serta memiliki siklus estrus yang pendek (Malole dan

    Pramono 1989).

    Sistem taksonomi mencit menurut Maloledan Pramono (1989) adalah :

    Kingdom : Animalia

    Filum : Chordata

    Subfilum : Vertebrata

    Kelas : Mamalia

    Ordo : Rodentia

    Famili : Muridae

  • 8/9/2019 B08gar

    20/92

    9

    Subfamili : Murinae

    Genus : Mus

    Spesies : Mus musculus

    Sub Spesies : Mus musculus albinus

    Menurut Smith dan Mankoewidjojo (1988) pemberian makanan pada mencit

    yaitu dalam bentuk pelet komersial tanpa batas (ad libitum) yang diletakkan di

    bagian penutup dari kotak kandang yang telah disiapkan dimana penutup ini

    melekuk miring cukup dalam ke dalam kotak sehingga mencit yang baru disapih

    dengan mudah dapat mencapai pakan. Gambar hewan percobaan mencit

    disajikan pada Gambar 2.

    Gambar 2 Mus musculus albinus di laboratorium sebagai hewan

    percobaan.

    Pemberian pakan pada mencit dibutuhkan protein berkadar di atas 14%.

    Setiap harinya mencit membutuhkan 15 gram makanan dan 15 ml air per 100

    gram berat badan. Tingkat konsumsi makan dan minum mencit bervariasi,

    ditentukan berdasarkan keadaan kandang, kelembaban, kualitas pakan,

    kesehatan dan kadar air dalam pakan tersebut (Malole dan Pramono1989).

    Menurut Suhana (1994) sifat biologis mencit cukup mendukung sebagaihewan percobaan dengan lama hidup 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun. Mencit

    mencapai umur dewasa sekitar 35 hari dengan berat 20-40 gram jantan, 18-35

    gram betina. Suhu tubuh normal mencit 35-39 oC dengan rata-rata 37,4 oC

    frekuensi napas 140-180/menit dan frekuensi denyut jantung 600-650/menit.

    Volume darah mencit 75-80 ml/kg dengan jumlah sel darah merah 7,7-12,5 x

    106/mm3sedangkan jumlah sel darah putih adalah 6,0-12, x 106/mm3 dengan

    rincian neutrofil 12-30%, limfosit 55-85%, monosit 1-12%, eosinofil 0,2-4%,

    basofil 0.03%.

  • 8/9/2019 B08gar

    21/92

    10

    Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 20-25C.

    Mencit dapat dipelihara dengan baik pada temperatur 70- 80F. Kelembaban

    ruang tersebut berkisar 45-55% (Robinson 1972).

    2.5 Kulit

    Kulit merupakan bagian terluas dari bagian tubuh, berfungsi sebagai

    pelindung tubuh: terhadap bahaya fisik dan bahan kimia. Kulit dapat bertindak

    sebagai thermoregulator, mampu melakukan proses persembuhan dengan

    cepat, menggambarkan kondisi kesehatan tubuh yang bersangkutan, memiliki

    kemampuan antimikrobial dan menyimpan cadangan elektrolit (Smith dan Jones

    1962).Kulit berfungsi sebagai pelindung jaringan, pencegah terjadinya pengeringan

    berlebihan, bertindak sebagai pengatur panas tubuh, ekskresi dan bertindak

    sebagai alat pengindera dengan reseptor tekan, suhu dan nyeri

    (Mutschler 1991).

    Menurut Smith dan Jones (1962), kulit terdiri dari lapisan-lapisan yang

    berbeda bentuk dan fungsi. Lapisan utama kulit ada 3 bagian, yaitu lapisan

    epidermis, lapisan dermis dan hipodermis. Selanjutnya gambar kulit disajikan

    pada Gambar 3.

    Gambar 3 Histologi kulit manusia (Somantri 2007)

  • 8/9/2019 B08gar

    22/92

    11

    Epidermis merupakan lapisan epitel dari kulit. Lapisan epidermis yang terluar

    adalah stratum korneum atau lapisan tanduk yang terdiri dari sel-sel pipih banyak

    lapis dan mengandung banyak keratin. Kemudian dibawahnya terdapat stratum

    lusidum lapisan ini terdiri dari dua atau tiga lapis dari sel, mengandung eleidin

    yang berasal dari butir keratohyalin yang tidak terpecah yang berada di bagian

    bawah lapisan penghubung. Lapisan ini menutup lapisan lainnya yaitu stratum

    granulosum atau lapisan granula yang terbentuk dari dua sampai lima baris sel

    epitel yang berbentuk rhomboid dan mempunyai sitoplasma yang berwarna gelap

    karena mengandung granula basofilik keratohyalin. Lapis selanjutnya adalah

    stratum spinosum/stratum germinativum atau lapisan malphigi, terbentuk dari sel

    silindris banyak baris. Pada bagian terbawah stratum ini terdapat lapisan basal

    yang terdiri dari sel kubus dan terdapat pigmen melanin dimana bagian basal dari

    sel ini terikat pada membran basal oleh hemidesmosom (Smith dan Jones 1962).

    Lapisan dermis terletak dibawah epidermis, lapisan ini terbentuk dari jaringan

    yang kaya akan kolagen dan sel elastis yang membuat kulit menjadi kuat dan

    elastis. Dermis terdiri dari lapisan papilari dan lapisan retikuler. Lapisan paling

    atas dari dermis terbentuk dari jaringan ikat dengan diantaranya terdapat jaringan

    elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik sedangkan di bagian terbawah

    terdiri dari lapisan retikuler yang membuat menjadi tebal dan terutama

    mengandung jaringan kolagen yang membantu penyebaran serabut elastis,

    pembuluh darah dan pembuluh limfatik dan adnexa dari epidermis. Adnexa

    mengandung struktur khusus yang berasal dari epidermis, ini merupakan bagian

    penting dari dermis tapi dalam situasi tertentu dapat meluas ke bagian subkutis.

    Pada adnexa dapat ditemukan kelenjar keringat, kelenjar apokrin, kelenjar

    minyak, folikel rambut dan kelenjar khusus seperti kelenjar air mata. Hampir 90

    % dari serabut dermis adalah serabut kolagen. Serabut ini memiliki kekuatan

    yang luar biasa terhadap tekanan. Serabut elastik terdiri dari serabut tunggal dan

    memiliki daya elastisitas yang hebat (Muller 1976).

    Sel-sel yang menyusun lapisan dermis terdiri dari sel fibroblast, sel mast,

    dan histiosit. Fibroblast merupakan tipe sel tetap jaringan ikat longgar yang

    paling banyak jumlahnya (Dellmann dan Brown 1988). Fibroblast aktif terdapat

    pada hewan muda dan pada jaringan ikat yang beregenerasi akibat luka. Sel ini

    memproduksi tropokolagen fibril yang merupakan prekursor dari serabut kolagen

    dan banyak ditemukan di dekat bagian permukaan serabut kolagen

  • 8/9/2019 B08gar

    23/92

    12

    (Muller 1976). Sel mast berperan dalam respon terhadap perlukaan pada kulit

    dan terdapat di hampir seluruh bagian jaringan ikat, terutama dekat pembuluh

    darah. Sel ini memiliki butir sekreta yang mengandung heparin, histamin, serta

    pada tikus dan mencit menghasilkan serotonin. Heparin merupakan suatu

    antikoagulan, histamine bertindak sebagai mediator inflamasi, dan serotonin

    menyebabkan vasokonstriksi vena (Dellmann dan Brown 1988). Histiosit adalah

    sel tipe limfoid yang sudah dewasa dan mempunyai fungsi untuk membentuk

    serabut retikuler serta memiliki kemampuan memfagosit bakteri maupun partikel

    asing. Sel ini juga dapat bermigrasi menuju target yang akan difagositnya.

    Histiosit yang mengandung material yang terfagosit disebut sebagai makrofag

    (Muller 1976).

    Lapisan ketiga setelah epidermis dan dermis adalah hipodermis.

    Hipodermis biasanya tidak selalu disebut bagian dari kulit. Lapisan ini berada di

    bawah kulit dan mengandung banyak jaringan ikat, syaraf dan pembuluh darah

    yang menuju dermis. Karakteristik dari lapisan hipodermis adalah banyaknya

    jaringan lemak yang disebut sebagai panniculus adipose.

    2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka

    Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara

    spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang, baik kerusakan

    kontinyuitas kulit, mukosa membrane, dan tulang atau organ tubuh lain

    (Somantri 2007).

    Menurut Kaplan dan Hentz (1992), ketika luka timbul, beberapa efek

    akan muncul, yaitu: hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres

    simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian

    sel. Mekanisme terjadinya luka :

    1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang

    tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik)

    biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka

    diikat.

    2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan

    dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan

    bengkak.

    3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda

    lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

  • 8/9/2019 B08gar

    24/92

    13

    4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru

    atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

    5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti

    oleh kaca atau oleh kawat.

    6. Luka tembus (Penetrating Wound),yaitu luka yang menembus organ tubuh

    biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada

    bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

    7. Luka Bakar (Combustio)

    2.6.1 Jenis-Jenis Luka

    Menurut Zachary (1990), luka sering digambarkan berdasarkan

    bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka. Jenis-jenis

    luka dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu:

    1. Berdasarkan tingkat Kontaminasi terhadap luka :

    a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tidak terinfeksi sehingga

    tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem

    pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih

    biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan

    drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi

    luka sekitar 1% - 5%.

    b. Clean-contamined Wounds(Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka

    pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau

    perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,

    kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.

    c. Contamined Wounds(Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,

    luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan

    teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga

    termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka

    10% - 17%.

    d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya

    mikroorganisme pada luka.

  • 8/9/2019 B08gar

    25/92

    14

    2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :

    a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang

    terjadi pada lapisan epidermis kulit.

    b. Stadium II : Luka Partial Thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada

    lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka

    superfisial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang

    dangkal.

    c. Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit keseluruhan

    meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

    sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.

    Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak

    mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang

    dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

    d. Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,

    tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

    3. Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :

    a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep

    penyembuhan jadi meskipun tanpa pengobatan proses persembuhan

    luka akan tetap terjadi sampai kondisi normal kembali.

    b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses

    penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

    Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan

    memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,

    membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari

    proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa

    bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk

    mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, upaya untuk melindungi area

    luka terbebas dari kotoran dengan selalu menjaga kebersihan sangat membantu

    untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Somantri 2007).

    Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka yaitu: (1) Kemampuan tubuh

    untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan

    keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh pada luka lebih efektif

    jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara sistemik pada

    trauma, (4) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5) Keutuhan kulit dan

  • 8/9/2019 B08gar

    26/92

    15

    mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri

    dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka

    bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.

    2.6.2 Proses Persembuhan Luka

    Persembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dengan

    melibatkan banyak sel. Fase persembuhan luka digambarkan seperti yang terjadi

    pada luka pembedahan. Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase

    persembuhan luka yaitu: fase peradangan (Inflamasi), fase perbanyakan sel

    (proliferasi) dan fase maturasi (Somantri 2007).

    a. Fase Inflamasi

    Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi

    akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Fase ini terjadi segera setelah

    luka dan berakhir 3 7 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu

    hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase

    konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah,

    endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di

    daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin

    yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Platelet akan menutupi vaskuler

    yang terbuka dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang

    mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi

    penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini

    berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat

    stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan

    adanya substansi vasodilatator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin).

    Histamin tersimpan dalam granul pada sel mast, basofil, dan platelet.

    Pelepasan senyawa ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti

    trauma atau dingin, reaksi imunologik, suatu fraksi dari komplemen yang disebut

    sebagai anaphilatoxins,dan adanya histamin-releasing factor yang dikeluarkan

    oleh neutrofil (Vegad 1995). Histamin juga menyebabkan peningkatan

    permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah

    dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan

    keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.

    Scab(keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan

    mati membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh

  • 8/9/2019 B08gar

    27/92

    16

    mikroorganisme. Dibawah scab sel epitel berpindah dari luka ke tepi. Se epitel

    membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah

    masuknya mikroorganisme. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh darah

    dan respon seluler yang berfungsi untuk mengeliminasi benda-benda asing dan

    jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan nutrisi

    yang diperlukan pada proses persembuhan. Sehingga pada daerah luka tampak

    merah dan sedikit bengkak.

    Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh

    darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya

    adalah neutrofil, makrofag dan limfosit.

    1. Neutrofil

    Neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi

    mikroba pada peradangan. Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear

    (PMN), berdiameter 14-20 m. Mempunyai bentuk sel bulat atau oval, sitoplasma

    berwarna merah muda, warna merah muda ini berasal dari granul sitoplasma

    yang bersifat neutrofilik dan sedikit azorofil. Neutrofil diproduksi di dalam sumsum

    tulang belakang. Pelepasan neutrofil dipengaruhi oleh Neutrophil Releasing

    Factor(NRF).

    Neutrofil memiliki masa hidup yang relatif singkat. Di dalam sirkulasi

    neutrofil dapat bertahan selama 4-6 hari. Neutrofil segera akan mati setelah

    melakukan fagosit terhadap benda asing yang masuk dan akan dicerna oleh

    enzim lisosom, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepas

    zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan

    merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan

    merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan

    infeksi (Dellman dan Brown 1992).

    Fungsi utama dari neutrofil adalah fagositosis dan mikrobisidal. Neutrofil

    merupakan sel leukosit yang pertama berespon terhadap adanya benda asing

    yang ada pada luka, cara kerja neutrofil dalam memberikan respon imun adalah

    dengan menggunakan enzim lisosom yang dapat mencerna beberapa dinding sel

    bakteri, enzim proteolitik, ribonuklease, dan fosfolipase secara bersama yang

    dapat menghancurkan beberapa bakteri (Tizard 1982). Proses fagositosis ini

    kemudian dibantu oleh monosit yang mengalami tranformasi ketika sel ini

    memasuki jaringan ikat dan menjadi sel-sel fagositik yang besar yang disebut

  • 8/9/2019 B08gar

    28/92

    17

    sebagai makrofag jaringan. Semua proses ini merupakan metode pertahanan

    tubuh yang bersifat non-spesifik.

    2. Makrofag

    Monosit yang ada di dalam jaringan dinamakan makrofag. Makrofag

    merupakan sel yang sangat aktif pada saat terjadinya perlukaan. Makrofag dapat

    bersatu dan membentuk sel raksasa yang dinamakan giant cell dengan tujuan

    dapat memfagositosis antigen yang berukuran lebih besar (Martini et al1992).

    Makrofag mempunyai kemapuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil yang

    lain, bahkan mampu memfagosit 100 bakteri (Guyton 1996).

    Menurut Vegad (1995), selain memfagosit, makrofag juga aktif

    melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan

    proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaskan makrofag yaitu :

    Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan

    protein pengkoagulasi

    Platelet activating factor (PAF)

    Faktor-faktor kemotaktik

    Sitokin

    Faktor-faktor pertumbuhan, seperti platelet-derived growth factor (PDGF)

    fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan

    transforming growth factor- (TGF-). Faktor-faktor ini mempengaruhi

    proliferasi fibroblast dan pembuluh darah.

    Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang

    merangsang pembentukan ujung endotel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan

    AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini

    sangat penting bagi proses penyembuhan. Secara klinis fase inflamasi ini

    ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang

    berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.3. Limfosit

    Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah

    dominan. Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti Peyers patches, limpa,

    tonsil, timus dan bursa Fabricius (Melvin dan William 1993).

    Fungsi utama limfosit di dalam tubuh adalah berperan dalam sistim

    kekebalan tubuh. Limfosit akan memproduksi antibodi sebagai respon terhadap

    antigen yang masuk di bawa oleh makrofag (Tizard 1982). Di dalam darah,

    limfosit terbagi atas 3 tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel non T, non B yang disebut

  • 8/9/2019 B08gar

    29/92

    18

    sel null. Sel tipe B terdapat 10-12% dari keseluruhan limfosit. Sel B berperan

    dalam humoral imun respon. Sel T mempunyai jumlah yang lebih dominan yaitu

    70-75% dari jumlah limfosit dan berperan dalam immunitas seluler

    (Ganong 1997). Menurut Dellman dan Brown (1987), limfosit T terbagi atas 3

    jenis, yaitu limfosit T-killer(cytotoxic/CTLs), limfosit T-helper(Th cell), limfosit T-

    supresor(Ts cells).

    Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan

    hanya memiliki kemampuan untuk melakukan kemampuan kemotaksis yang

    terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin

    yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya. Beberapa limfokin

    yang dilepaskan limfosit berpengaruh terhadap agregasi makrofag dalam proses

    persembuhan luka (Banks dalam Handayani 2006).

    b. Fase Proliferasi

    Menurut Somantri (2007), proses kegiatan seluler yang penting pada fase

    ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi

    sel. Secara garis besar proses yang terjadi pada fase ini meliputi, re-epitelisasi,

    fibroplasia, kontraksi luka, dan neovaskularisasi.

    Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung

    jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan

    digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Fase kedua ini berlangsung dari

    hari ke 4 hingga hari ke-21 pasca perlukaan.

    Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah

    luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang

    normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya

    bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan

    aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan

    berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen,

    elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam

    membangun (rekontruksi) jaringan baru (Shukla et al 1998).

    Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan C, dan asam amino

    pada jaringan kollagen. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi

    dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen

    adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka.

    Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga

  • 8/9/2019 B08gar

    30/92

    19

    kecil kemungkinan luka terbuka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah

    membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan

    dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag,

    pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki

    kawasan luka.

    Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan

    baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi ditandai dengan adanya

    pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah. Pada saat itu lapisan

    persembuhan tampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi

    luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang

    diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka

    membawa fibrin. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan

    kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh

    berbagai faktor pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.

    c. Fase Maturasi

    Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir hingga

    kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah : menyempurnakan

    terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan

    bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna

    kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi

    dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan

    parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-

    10 setelah perlukaan. Kolagen yang ditimbun dalam luka diubah, membuat

    penyembuhan luka lebih kuat dan lebih mirip jaringan. Kolagen baru menyatu,

    menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas luka

    menjadi rata, tipis dan garis putih.

    Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan

    antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang

    berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,

    sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut

    dan luka akan selalu terbuka.

    Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan

    jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal.

    Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun

  • 8/9/2019 B08gar

    31/92

    20

    outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis

    masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat

    akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai

    penyakit sistemik (diabetes melitus).

    2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka

    Menurut Somantri (2007), ada beberapa faktor yang dapat

    mempengaruhi persembuhan luka, baik secara endogen ataupun eksogen.

    Faktor-faktor tersebut antara lain :

    1. Usia

    Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang

    tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat

    mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.

    2. Nutrisi

    Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien

    memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan

    mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk

    memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien

    yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama

    karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.

    3. Infeksi

    Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.

    4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi

    Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya

    sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit

    pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat

    karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama

    untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada

    orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau

    diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita

    anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume

    darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan

    oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.

    5. Hematoma

  • 8/9/2019 B08gar

    32/92

    21

    Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara

    bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat

    bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi

    tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.

    6. Benda asing

    Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan

    terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul

    dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang

    membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah.

    7. Iskemia

    Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah

    pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi

    akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor

    internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.

    8. Diabetes

    Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula

    darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan

    terjadi penurunan protein-kalori tubuh.

    9. Keadaan Luka

    Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas

    penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.

    10. Obat

    Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik

    mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat

    membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.

    a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh

    terhadap cedera

    b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan

    c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri

    penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka

    pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.

    2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka

    Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan dan keloid.

  • 8/9/2019 B08gar

    33/92

    22

    1. Infeksi

    Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan

    atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 7 hari

    setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,

    peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,

    peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.

    2. Perdarahan

    Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku

    pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing

    (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga

    balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama

    48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika

    perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril

    mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin

    diperlukan.

    3. Keloid

    Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya

    muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.

    2.7 SALEP

    Salep adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Pemakaian

    salep adalah untuk daerah topikal yang diperuntukan sebagai protektan,

    antiseptik, emolien, antipruritik, keratolitik, dan astringensia. Pemilihan dasar

    salep yang tepat sangat penting untuk efektivitas fungsi yang diinginkan. Untuk

    salep yang berfungsi sebagai protektan, maka dasar salep harus bersifat

    melindungi kulit dari kelembaban, udara, sinar matahari, dan faktor eksternal

    lainnya. Salep antiseptik digunakan untuk membunuh atau menghambat

    pertumbuhan bakteri. Seringkali infeksi oleh bakteri terjadi jauh di dalam lapisan

    kulit, sehingga dasar salep untuk pembuatan salep antiseptik harus memiliki

    kemampuan untuk meresap ke dalam kulit dan melepaskan bahan aktif yang

    berfungsi sebagai obat (Hezmela 2006).

    Salep adalah gel dengan perubahan bentuk plastis yang ditentukan untuk

    penerapan pada kulit sehat, sakit atau terluka, atau pada selaput lendir (hidung,

    mata). Voigt (1994) menyatakan, salep pada pokoknya berlaku untuk terapi lokal,

    salep biasanya mengandung obat-obatan yang dipakai di luar tubuh dan memiliki

  • 8/9/2019 B08gar

    34/92

    23

    konsistensi yang kuat, yang apabila dioleskan pada kulit akan melunak dan

    membentuk lapisan di atas kulit. Proporsi bahan dalam sediaan salep dapat

    berubah-ubah untuk mempertahankan konsistensi, sedangkan proporsi bahan

    aktif di dalamnya tidak berubah.

    Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang

    sesuai. Pemerian salep tidak boleh berbau tengik. Salep yang mengandung obat

    keras atau obat narkotika, kadar bahan obatnya adalah 10%. Respon klinik yang

    akan timbul ketika kita memakai suatu sediaan salep pada kulit yang sakit terdiri

    dari tiga proses, yaitu: (1) pelepasan obat dari pembawa, diikuti oleh (2)

    penetrasinya melalui barier kulit dan (3) pengaktifan respon Farmakologis yang

    diinginkan (Departemen Pertanian 2001).

    Menurut Ansel (1989), salep dapat mengandung obat baik dalam keadaan

    tersuspensi, terlarut atau teremulsi,. Salep juga bisa tidak mengandung obat.

    Salep yang tidak mengandung obat disebut sebagai salep dasar (basis ointment)

    dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung

    obat. Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar, yaitu: (1) dasar salep

    hidrokarbon, (2) dasar salep absorbsi, (3) dasar salep yang dapat dicuci dengan

    air, dan (4) dasar salep larut dalam air.

    Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung

    pada beberapa faktor penting, antara lain:

    a. laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep,

    b. keinginan peningkatan oleh dasar salep absorpsi perkutan dari obat,

    c. kelayakan melindungi lembap dari kulit oleh dasar salep,

    d. jangka lama atau pendeknya obat stabil dalam dasar salep, dan

    e. pengaruh obat bila ada terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar

    salep.

    Semua faktor-faktor ini dan lain-lainnya harus ditimbang satu terhadap

    lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik (Ansel 1989).

    Berdasarkan distribusi bahan obat dalam medium penyangganya, maka

    salep dibedakan atas salep larutan, salep suspensi, dan salep emulsi. Salep

    larutan dan salep suspensi berbeda, tergantung pada sifat kelarutan dari bahan

    obat terlarut atau tersuspensi dalam dasar salep. Salep mengandung air dengan

    penambahan emulgator secara umum dinyatakan sebagai salep emulsi

    (Voight1994).

  • 8/9/2019 B08gar

    35/92

    24

    Salep emulsi terdiri atas dua jenis, yaitu jenis minyak dalam air (o/w) dan

    jenis air dalam minyak (w/o). Dasar salep o/w memiliki keuntungan, yaitu dapat

    dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan kesan lengket yang tidak disukai.

    Lebih dapat diterima sebagai dasar sediaan kosmetika, dan umumnya cocok

    untuk sediaan salep obat. Dasar salep w/o memiliki keuntungan, yaitu stabilitas

    emulsinya yang tinggi (Voigt 1994).

    Menurut Ansel (1989), salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu

    pencampuran dan peleburan. Dalam metode pencampuran, komponen dari

    salep dicampur bersama-sama sampai sediaan yang homogen tercapai.

    Pencampuran dilakukan dalam sebuah lumpang dengan sebuah alu untuk

    menggerus bahan bersama-sama. Dalam metode peleburan, semua atau

    beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan melebur bersama, dan

    didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponen-

    komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang

    sedang mengental setelah didinginkan dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah

    menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup

    rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen. Dalam

    skala kecil, peleburan dapat dilakukan pada cawan porselen atau gelas piala.

    2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat

    Menurut Ansel (1989), obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah

    pemakaian topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

    lemak, atau antara sel-sel tanduk. Cara penetrasi obat pada kulit yang utuh

    umumnya melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut

    atau kelenjar keringat, karena luas permukaan yang terakhir ini lebih kecil

    dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini.

    Selaput yang menutupi lapisan tanduk umumnya tidak terus-menerus

    melapisinya dan sebenarnya tidak mempunyai daya tahan terhadap penetrasi.

    Hal ini dikarenakan susunan dari bermacam-macam lapisan dengan proporsi

    lemak dan keringat yang diproduksi dan juga derajat daya lepasnya melalui

    pencucian serta penguapan keringat.

    Absorbsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi

    langsung obat melalui stratum corneum10 sampai dengan 15 m, tebal lapisan

    datar mengeringkan sebagian demi sebagian jaringan mati yang membentuk

    permukaan kulit paling luar. Sratum corneum terdiri dari kurang lebih 40% protein

  • 8/9/2019 B08gar

    36/92

    25

    (pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa perimbangannya

    terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak.

    Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara langsung

    bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum.

    Apabila molekul obat dapat malalui stratum corneum, maka dapat melalui

    jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis. Apabila obat dapat

    mencapai lapisan pembuluh darah kulit, maka obat tersebut siap untuk

    diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum (Ansel 1989).

    Menurut Ansel (1989), stratum corneum sebagai jaringan keratin akan

    berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat

    mempenetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif ini tergantung pada

    konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisiensi partisi minyak atau

    airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan

    air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti

    juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit. Penetrasi lapisan ini dapat

    terjadi dengan cara difusi melalui :

    penetrasi transeluler (menyebrangi sel);

    penetrasi intraseluler (didalam sel);

    penetrasi transappendageal (melalui folikel rambut, keringat, kelenjar

    lemak, dan perlengkapan pilo sebaceaus).

  • 8/9/2019 B08gar

    37/92

  • 8/9/2019 B08gar

    38/92

    27

    3.3.2 Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%,

    sediaan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon, sediaan salep komersial,

    sediaan salep placebo, eter untuk euthanasia, larutan neutral buffer formalin 10%

    untuk fiksasi, kapas dan bahan-bahan untuk sediaan histopatologi yaitu larutan

    Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi yang

    bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%), larutan Lithium Carbonat, akuades,

    asam asetat 1%, Schiff Reagent, air sulfit, larutan Mordant, larutan Carrazis

    Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%, larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, larutan

    Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin Blue dan parafin.

    3.3.3 Alat

    Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kotak plastik (beralaskan

    sekam) dan kawat untuk kandang mencit, anaerobic jar untuk anasthesi,

    peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, skalpel), plastik. Peralatan

    untuk membuat sediaan salep seperti timbangan, kaca arloji, sendok kecil, kertas

    perkamen, cawan porselin, penangas air dan mortar. Peralatan untuk membuat

    sedian histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas penutup. Untuk

    pengamatan histopatologi digunakan mikroskop dan videomikrometer.

    3.4 Pembuatan Sediaan Salep

    Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang dibuat oleh

    Wintarsih et al (2007) menggunakan parafin solid, cera alba, oleum coccos,

    vaseline album, dengan penambahan ekstrak batang pohon pisang. Dosis

    ekstrak berdasarkan kepada hasil pengujian penentuan dosis efektif yang

    memiliki hasil persembuhan terbaik, yaitu dosis C %. Besarnya konsentrasi yang

    diuji tidak disampaikan dalam skripsi ini karena mengingat memiliki keperluan

    untuk pengajuan paten.

    Pembuatan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon yaitu dengan teknik

    peleburan. Hal yang pertama dilakukan adalah seluruh bahan yang dibutuhkan

    ditimbang, ekstrak getah batang pohon pisang dimasukkan ke dalam mortar lalu

    tambah sebagian vaseline, lakukan homogenisasi kemudian disisihkan sebagai

    bahan aktif. Ke dalam cawan porselin yang berisi oleum cocos, masukkan parafin

    solid, cera alba, dan sisa vaseline. Cawan diletakkan di atas penangas air

    sampai lumer, diaduk homogen, lalu diangkat dan diaduk kembali sampai dingin

  • 8/9/2019 B08gar

    39/92

    28

    hingga terbentuk basis salep. Basis salep dicampur dengan bahan aktif diaduk

    perlahan sampai homogen, kemudian dimasukkan ke dalam pot plastik sebagai

    sediaan salep ekstrak.

    Pembuatan sediaan salep placebo menggunakan parafin solid, cera alba,

    oleum coccos dan vaseline album, hanya sampai tahap basis salep. Salep

    Betadine mengandung bahan aktif Povidone Iodine sebagai zat anti mikrobial.

    Semua perlakuan dilakukan secara aseptis.

    3.5 Metodologi Penelitian

    3.5.1 Perlakuan pada Mencit

    Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 ekor yang dibagi

    menjadi 3 kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok berjumlah 15

    ekor, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok salep ekstrak.

    Ketiga kelompok tersebut masing-masing dibagi lagi menjadi 5 kelompok kecil

    yang satu kelompoknya berjumlah 3 ekor. Pembagian kelompok kecil ditentukan

    berdasarkan waktu pengamatan histopatologi dan pengambilan sempel kulit yaitu

    pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21.

    Sebelum perlukaan seluruh mencit diadaptasikan di kandang yang telah

    disiapkan. Seluruh mencit yang digunakan, disayat sepanjang 1-1,5 cm pada

    bagian punggungnya sejajar os. Vertebrae menggunakan skalpel yang steril.

    Sebelum penyayatan mencit dibius menggunakan eter dan rambut di sekitar

    daerah sayatan dicukur sampai licin dan kemudian dibersihkan dengan kapas

    beralkohol 70%.

    Mencit yang dilukai diberi salep sesuai dengan kelompoknya masing-

    masing. Pemberian salep dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya

    di bagian luka pada mencit perlakuan menggunakan kapas steril setiap hari, dari

    hari ke-1 hingga hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari pada waktu

    pagi dan sore hari.

    Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 mencit dieuthanasia dan dilakukan

    pengambilan sampel untuk pembuatan preparat histopatologi.

    3.5.2 Pengamatan Patologi Anatomi (PA)

    Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari

    ke-1 hingga hari ke-21 setelah perlukaan pada semua mencit perlakuan dan

    mencit kontrol dan pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pengambilan sampel

  • 8/9/2019 B08gar

    40/92

    29

    kulit. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat langsung pada bagian luka.

    Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pemotretan pada luka dengan

    menggunakan kamera digital.

    Parameter yang diamati adalah adanya pembekuan darah, terbentuknya

    keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka.

    3.5.3 Pengambilan Kulit

    Pengambilan kulit dilakukan setelah mencit sebelumnya dieuthanasi

    dengan menggunakan larutan eter dosis berlebih secara perinhalasi di dalam

    anaerobic jar. Daerah punggung yang akan diambil kulitnya dibersihkan dari

    bulu, kulit digunting dengan ketebalan 3 mm sampai dengan sub cutan dan

    sepanjang 1-1,5 cm2. Kulit yang diperoleh kemudian di fiksasi dengan larutan

    neutral buffer formalin 10% dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam.

    3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi

    Sediaan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan neutral buffer

    formalin 10% lalu dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette

    tissue dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol

    menggunakan konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%,

    90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan

    menggunakan xylol I dan xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan

    menggunakan parafin I dan parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat

    pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sedian diletakkan ke arah

    vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin.

    Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak

    penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras.

    Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan

    menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut

    dibentngkan di atas air hangat yang bersuhu 460C dan langsung diangkat yang

    berguna untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan

    lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan

    diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam inkubator

    bersuhu 600 C sehingga dapat dilakukan pewarnaan umum Hematoxyllin Eosin

    (HE) dan pewarnaan khusus Masson Trichrome (MT) untuk melihat jaringan

    fibroblas. Pewarnaan HE dan MT lebih jelas disajikan pada Lampiran 1.

  • 8/9/2019 B08gar

    41/92

    30

    3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP)

    Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil

    pada hari ke 3, 5, 7, 14, dan 21. Parameter yang diamati pada pemeriksaan

    histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (neutrofil makrofag,dan limfosit),

    jumlah neokapiler, persentase re-epitelisasi dengan preparat yang digunakan

    adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Untuk mengamati

    ketebalan jaringan ikat (fibroblas) digunakan pewarnaan MT karena jaringan ikat

    yang berwarna biru akan terlihat kontras dengan jaringan lain sekitarnya.

    Pengamatan terhadap jumlah dan deferensiasi sel-sel radang serta

    jumlah neokapilerisasi menggunakan mikroskop Olympus BX51TF Japan,

    dengan pembesaran objektif 40X. Pemotretan dilakukan dengan video photo

    dalam 15 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450 m2

    dengan tiga kali pengulangan. Pengukuran panjang luka menggunakan video

    mikrometer FDR-A IV-560 dengan pembesaran empat kali. Untuk melihat

    ketebalan dan luasan jaringan ikat digunakan preparat yang menggunakan

    pewarnaan Masson Trichome. Presentasi reepitelisasi dan luas jaringan ikat

    diukur menggunakan video mikrometer JVC Japan, dengan pembesaran empat

    kali.

    Persentase re-epitelisasi menurut Low et al ( 2001) menggunakan rumus,

    yaitu:

    Panjang luka dengan epitel baru

    % Re-epitelisasi : x 100 %

    Panjang luka keseluruhan

    Kepadatan jaringan ikat dilihat dari intensitas jaringan ikat (fibroblas) pada

    pewarnaan Masson Trichrome (MT)dan dilakukan skoring.

  • 8/9/2019 B08gar

    42/92

    31

    3.5.6 Kriteria Skoring Jaringan Ikat Histopatologi

    Skoring dilakukan dengan acuan yang disajikan pada Tabel 1 sebagai

    berikut :

    Tabel 1 Deskripsi skor jaringan ikat atau fibroblas

    Skor Keterangan

    1 Jaringan ikat sedikit, jarang atau tidak kompak dan tersebar tidak

    merata. Luka masih dalam keadaan terbuka.

    2 Jaringan ikat sedikit tetapi sudah mengumpul dibeberapa tempat.

    Luka terbuka atau tertutup.

    3 Jaringan ikat sudah padat dan kompak. Luka sudah tertutup tetapi

    masih terdapat rongga.

    4 Jaringan ikat padat dan kompak. Luka sudah menutup dan tidak

    terdapat rongga.

    3.5 Analisis data

    Semua data kuantitatif diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam

    ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada

    tidaknya perbedaan yang nyata (P< 0.05). Sedangkan hasil pengamatan patologi

    anatomi dan kepadatan jaringan ikat dianalisis secara deskriptif.

  • 8/9/2019 B08gar

    43/92

    32

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA)

    Hasil pengamatan patologi anatomi terhadap proses persembuhan luka

    pada hewan coba mencit untuk kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol

    positif, serta kelompok perlakuan dengan salep ekstrak batang pohon pisang

    ambon disajikan dalam tabel2. Tabel disajikan berdasarkan parameter tertentu,

    yaitu: adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan

    ukuran luka.

    Tabel 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit antara mencitperlakuan salep placebo, salep komersil , dan salep ekstrak batang pohonpisang ambon

    Harike-

    Kontrol negatif Kontrol Positif Salep Ekstrak

    1

    Luka terbuka, tepinyaterpisah dan melebar,tampak merah dan basah,terdapat gumpalan darah,panjang luka 1,5 cm

    Luka terbuka, tepinyaterpisah dan melebar,tampak merah danbasah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,5 cm

    Luka terbuka, tepinyaterpisah dan melebar,tampak merah danbasah, terdapatgumpalan darah,panjang luka 1,5 cm

    2

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah

    dan basah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,5 cm

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah

    dan basah, terdapatsedikit gumpalan darah,panjang luka 1,5 cm

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah

    dan basah, terdapatgumpalan darah,panjang luka 1,5 cm

    3

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merahdan basah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,5 cm

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulaimengering dan berwarnamerah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,3 cm

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merahdan lembab, terdapatgumpalan darahberwarna hitam,panjang luka 1,3 cm

    4

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah

    dan lembab, tepi lukamulai mengering, panjangluka 1,3 cm

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulai

    mengering dan berwarnamerah pucat, tepi lukamulai mengering,panjang luka 1,2 cm

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah

    pucat dan lembab, tepiluka mulai mengering,panjang luka 1,2 cm

    5

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka lembab danberwarna merah pucat,tepi luka mulai mengering,panjang luka 1,2 cm

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulaimengering dan berwarnamerah pucat, tepi lukamulai mengering,panjang luka 1,1 cm

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merahpucat dan mulaimengering namunterlihat lembab, tepiluka mulai mengeringdan luka mulaimenyempit, panjang

    luka 1 cm

  • 8/9/2019 B08gar

    44/92

    33

    6

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulaimengering dan berwarnamerah pucat, tepi luka

    mulai mengering, panjangluka 1,1 cm

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka sudahmengering, tepi lukamulai mengering, dan

    mulai terbentukkeropeng, luka mulaimenyempit, panjang luka0,9 cm

    Luka terbuka, tepinyamasih terpisah dantampak kekuningandan mulai mengeringnamun terlihat lembab,

    tepi luka mulaimengering dan lukamulai menyempit,panjang luka 0,9 cm

    7

    Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka sudahmengering, tepi luka mulaimengering, belumterbentuk keropeng, lukamulai menyempit, panjangluka 0,9 cm

    Luka sudah mengering,dan terbentuk keropengtepinya mengeras,tampak kekuningan danluka mulai menyempit,panjang luka 0,8 cm

    Luka sudah mengering,dan terbentukkeropeng, tepinyakering mengerastampak pucat, dan lukamulai menyempit,panjang luka 0,8 cm

    8

    Luka sudah mengering

    dan pucat, mulai terbentukkeropeng tepinyamengering dan masihterbuka namun luka mulaimenyempit, pan jang luka0,8 cm

    Luka sudah mengering,

    terbentuk keropengtepinya mengeras,tampak kekuningandan luka mulaimenyempit, pan jang luka0,7 cm

    Luka sudah mengering,

    terbentuk keropeng,tepinya keringmengeras tampakpucat, dan luka mulaimenyempit, panjangluka 0,7 cm

    9

    Luka sudah mengeringdan pucat. Sudah terdapatkeropeng. Lukamenyempit. Panjang luka0,7 cm

    Luka seluruhnya tertutupkeropeng. Sebagiankeropeng sudah adayang terlepas, panjangluka 0,5 cm

    Luka sebagian tertutupkeropeng. Tepi lukasemakin menyempit,panjang luka 0,5 cm

    10

    Luka sudah mengering.Sudah terdapat keropeng.Luka mulai menyempit,panjang luka 0,6 cm

    Luka seluruhnya sudahtertutup keropeng.Sebagian keropengsudah ada yang terlepas,luka menyempit, panjangluka 0,3 cm

    Luka sebagian tertutupkeropeng, sebagiankeropeng sudah adayang terlepas, Tepiluka semakinmenyempit, panjangluka 0,2 cm

    11

    Luka sudah mengeringdan menyempit. Seluruhluka ditutupi keropeng,panjang luka 0,5 cm

    Luka sudah tertutup.Sebagian keropengsudah mulai lepas.Panjang luka 0,2 cm

    Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepaskeseluruhan. Namunbekas luka masihterlihat

    12

    Luka sebagian tertutup.Sebagian keropeng mulai

    terkelupas, panjang luka0,5 cm

    Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepas

    keseluruhan, panjangluka 0,1 cm

    Luka sudah tertutup,keropeng sudah lepas

    keseluruhan, bekasluka masih terlihat

    13

    Luka sebagian tertutup.Sebagian keropeng sudahlepas. Panjang luka 0,3 cm

    Luka sudah tertutup,mulai ditumbuhi rambut.Bekas luka masih terlihat

    Luka sudah tertutup,mulai di tumbuhirambut. Bekas lukamasih terlihat

    14

    Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepassebagian, panjang luka 0,1cm

    Luka sudah tertutup.Mulai ditumbuhi rambut.Bekas luka masihterlihat

    Luka sudah tertutup.Mulai ditumbuhirambut. Bekas lukamasih terlihat

    15

    Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepas

    keseluruhan, namun bekasluka masih terlihat

    Luka sudah tertutupMulai ditumbuhi rambut.

    Bekas luka mulai tidakterlihat

    Luka sudah tertutup,mulai ditumbuhi

    rambut. Bekas lukamasih terlihat

  • 8/9/2019 B08gar

    45/92

    34

    16

    Luka sudah tertutup. Mulaiditumbuhi rambut. Bekasluka masih terlihat

    Luka sudah tertutup.Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat

    Luka sudah tertutup.Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat

    17-21

    Luka sudah tertutup.

    Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat

    Luka sudah tertutup.

    Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat

    Luka sudah tertutup.

    Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat

    Hasil pengamatan patologi anatomi pada penelitian ini selaras dengan

    hasil pada penelitian terdahulu, dimana getah batang pohon pisang secara

    umum memberikan efek percepatan persembuhan luka akut pada mencit. Hasil

    pengamatan patologi anatomi pada ketiga kelompok perlakuan pada hari

    pertama hingga hari ke-3 tidak menunjukkan perbedaan, dimana luka dari ketiga

    kelompok masih sama-sama terbuka dan basah (Gambar 4).

    Luka yang diamati pada mencit menurut mekanisme terjadinya luka adalah

    luka insisi. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka termasuk kelompok luka

    stadium III, yaitu hilangnya kulit secara keseluruhan meliputi kerusakan atau

    nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak

    melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,

    dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai

    suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

    Menurut waktu penyembuhannya luka yang diamati termasuk luka akut.

    Warna merah pada luka merupakan hasil dari suatu peradangan terhadap

    luka. Reaksi ini berupa vasokonstriksi dari pembuluh darah yang segera diikuti

    oleh vasodilatasi. Adanya gumpalan darah merupakan reaksi platelet yang

    teraktivasi dan protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan oleh pembuluh darah.

    Platelet akan teraktivasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang akan

    menghentikan hemoraghi dan akan terlihat berupa gumpalan darah.

    Gambaran makroskopis sampai hari ke-5 dari luka kelompok perlakuan

    dengan sediaan salep ekstrak batang pohon pisang terlihat lebih sempit jika

    dibandingkan dengan kontrol negatif (Gambar 5). Namun permukaan luka pada

    ketiga kelompok masih terlihat lembab, hal ini dipengaruhi oleh faktor pembawa

    dari sediaan salep, yaitu vaseline, parafin solid dan oleum coccos yang termasuk

    dalam kelompok dasar salep hidrokarbon. Dasar salep hidrokarbon adalah dasar

    bersifat lemak, bebas air, preparat yang berair mungkin dapat dicampur hanya

    dalam jumlah sedikit saja. Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek

    emolien. Dasar salep tersebut tertahan pada kulit dan tidak memungkinkan

  • 8/9/2019 B08gar

    46/92

    35

    kelembaban kulit terlepas ke udara (Ansel 1989). Menurut Somantri (2007),

    perkembangan perawa