B08gar
-
Upload
claudianrj -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
Transcript of B08gar
-
8/9/2019 B08gar
1/92
AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG
AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES
PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)
GUGI ARGAMULA
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
-
8/9/2019 B08gar
2/92
ABSTRAK
GUGI ARGAMULA. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon PisangAmbon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka
pada Mencit (mus musculus albinus). Dibawah Bimbingan BAMBANG PONTJOPRIOSOERYANTO dan BAYU FEBRAM PRASETYO.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas pemberianekstrak batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalambentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka pada kulit mencit (Musmusculus albinus) melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi.Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit dari strain DDYumur4-6 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompokkontrol negatif (salep placebo), kontrol positif (salep Betadine) dan salep ekstrakbatang pohon pisang Ambon. Semua mencit dilukai di daerah punggung anteriorsepanjang 1-1,5 cm menggunakan skalpel. Setiap hari luka diolesi dua kali
dengan salep yang diuji. Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari danpengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pascaperlukaan. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah warna luka,pembekuan darah, terbentuknya keropeng dan ukuran luka. Parameter yangdiamati pada sediaan histopatologi adalah infiltrasi sel-sel radang (neutrofil,limfosit, makrofag), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan ketebalanfibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan AnalisaSidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan,sedangkan data kualitatif disajikan secara deskriptif. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa kelompok salep ekstrak lebih cepat membentuk keropengdan menutup luka tanpa bekas, jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasiluji statistik infiltrasi sel-sel radang kelompok salep ekstrak berbeda nyata
(P
-
8/9/2019 B08gar
3/92
ABSTRACT
GUGI ARGAMULA. Activity of Ambon Banana (Musa paradisiaca var.
sapientum) Stem Extract in Ointment Solution on the Wound Healing Process ofMice Skin (Mus musculus albinus). Under the direction of BAMBANG PONTJOPRIOSOERYANTO and BAYU FEBRAM PRASETYO.
The objective of the present research is to study the activity of banana stemextract in ointment solutions in the acceleration of wound healing process onmice skins. Totally of 45 mice strain DDY 4-6 weeks old were devided in negativecontrol group (placebo ointment), positive control group (Betadineointment) andAmbon banana stem extract ointment.All mice were aseptically wounded 1-1,5cm in the anterior region of back skin using a sterile scalpel. The wound wassmeared with the ointment. The pathology anatomy observations was done inday 3, 5, 7, 14 and 21 post wounded. Parameters of the gross lesions (pathology
anatomy) observations ware colour of the wound, blood coagulations, scabformations and size of the wound. Parameter for (microscopic lesions)histopathology were infiltrations of inflammatory cells (neutrophils, lymphocytes,macrofages), neo-capillarizations, re-epitelization percentage and the thicknessof fibroblast. All quantitative data were measure using ANOVA and continue withDuncan Test, moreover, the qualitative data were presented descriptively. Theresult shows that gross lesions observations, the extract ointment group wasfaster in scab formations and covers the wound without trace compared to thenegative control group. The statistical test on the infiltrations of inflammatory cellsparameter of the extract ointment group significantly different (P
-
8/9/2019 B08gar
4/92
AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG
AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES
PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)
GUGI ARGAMULA
B04104109
Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
-
8/9/2019 B08gar
5/92
Judul Skripsi : Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon PisangAmbon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam ProsesPersembuhan Luka pada Mencit (Mus musculusalbinus).
Nama : GUGI ARGAMULANrp : B04104109
Disetujui
Pembimbing I Pembimbing II
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D. Bayu Febram P. SSi,Apt.MSiNIP: 131 578 839 NIP: 132 311 720
Mengetahui,
Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP : 131 669 942
Tanggal Lulus :
-
8/9/2019 B08gar
6/92
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Skripsi ini berjudul Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang
Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses
Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus).
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing I
atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan
selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Bayu Febram Prasetyo, SSi,Apt.MSi selaku dosen pembimbing II atas segala
bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian
dan penulisan skripsi ini.
3. drh. Muchidin Noordin selaku dosen pembimbing Akademik yang senantiasa
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
4. Bapak, Ibu, dan seluruh anggota keluarga atas doa, limpahan kasih sayang
dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.
5. Seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi dan Farmasi FKH IPB atas segala
bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.
6. R. Enen Rosi Manggung atas dorongan, doa, dukungan, dan kesabarannya
menghadapi penulis selama ini.
7. Jeff n Bdull sebagai homemate selama penulis hidup di Bogor.
8. Rekan-rekan FKH41 (Asteroidea) atas persahabatan dan kebersamaannya
selama ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi
dunia kedokteran hewan Indonesia.
Bogor, September 2008
Gugi Argamula
-
8/9/2019 B08gar
7/92
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1985 dari pasangan
Bapak H. Edien Munajat dan Ibu Hj. Maesaroh, penulis merupakan anak pertama
dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Citarip Barat V Bandung
pada tahun 1998 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SLTPN 3
Bandung pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan
lanjutan menengah atas di SMUN 8 Bandung dan pada tahun yang sama
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam berbagai kegiatan,
diantaranya menjadi ketua Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas
periode 2006-2007 dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Bogor komisariat Fakultas Kedokteran Hewan.
-
8/9/2019 B08gar
8/92
DAFTAR ISI
HALAMAN
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2
1.3 Hipotesa Penelitian ..................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................... 3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Tanaman Pisang ............................................................ 4
2.2 Taksonomi .................................................................................. 4
2.3 Manfaat Pohon Pisang ................................................................ 6
2.4 Biologi Mencit .............................................................................. 8
2.5 Kulit ............................................................................................. 10
2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka..... ... ................................. 12
2.6.1 Jenis-Jenis Luka........................................................... 13
2.6.2 Proses Persembuhan Luka......................................... 15
2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka................................ 20
2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka................................... 21
2.7 Salep . .................. ....................................................................... 22
2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat............................................................ 24
III BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian...................................................... 26
3.2 Identifikasi Tanaman ................................................................... 26
3.3 Alat dan Bahan ........................................................................... 26
3.3.1 Hewan Percobaan ....................................................... 26
3.3.2 Bahan .......................................................................... 27
3.3.3 Alat .............................................................................. 27
3.4 Pembuatan Sediaan Salep............................................................. 27
3.5 Metodelogi Penelitian .................................................................. 28
3.5.1 Perlakuan pada Mencit ................................................ 28
3.5.2 Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ............................ 28
-
8/9/2019 B08gar
9/92
3.5.3 Pengambilan Kulit ....................................................... 29
3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi .............................. 29
3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP) .................................. 30
3.5.6 Kriteria Skoring ............................................................ 31
3.6 Analisa Data ................................................................................ 31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ................................... 32
4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi (HP) ......................................... 40
4.2.1 Nutrofil ......................................................................... 40
4.2.2 Makrofag ..................................................................... 43
4.2.3 Limfosit ........................................................................ 45
4.2.4 Neokapiler ................................................................... 48
4.2.5 Re-epitelisasi .............................................................. 51
4.2.6 Fibroblas (Jaringan Ikat) .............................................. 57
V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 61
VI DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 62
LAMPIRAN ................................................................................................... 66
-
8/9/2019 B08gar
10/92
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Deskripsi skor jaringan ikat (fibroblas). ....................................................... 31
2 Perbandingan patologi anatomi (PA) .......................................................... 32
3 Rataan jumlah sel radang neutrofil ............................................................. 40
4 Rataan jumlah sel radang makrofag ........................................................... 43
5 Rataan jumlah sel radang limfosit .............................................................. 46
6 Rataan jumlah neokapiler ........................................................................... 49
7 Rataan persentase re-epitelisasi ................................................................ 528 Perbandingan ketebalan jaringan ikat ........................................................ 57
-
8/9/2019 B08gar
11/92
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Pohon pisang Ambon ........................................................................... 6
2 Mus musculus...................................................................................... 9
3 Histologi kulit ........................................................................................ 10
4 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-3 ............................ 38
5 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-5 ............................ 38
6 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-7 ............................ 38
7 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-14 .......................... 398 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-21 .......................... 39
9 Grafik jumlah sel radang neutrofil ......................................................... 41
10 Gambar sel radang neutrofil ................................................................. 42
11 Grafik jumlah sel radang makrofag ....................................................... 44
12 Gambar sel radang makrofag ............................................................... 45
13 Grafik jumlah sel radang limfosit ........................................................... 47
14 Gambar sel radang limfosit ................................................................... 48
15 Grafik jumlah neokapiler ....................................................................... 5016 Gambar neokapiler ............................................................................... 51
17 Grafik persentase re-epitelisasi ............................................................ 54
18 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-3 ......................... 55
19 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-5 ......................... 55
20 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-7 ......................... 55
21 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-14 ....................... 56
22 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-21 ....................... 56
23 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-3 ........................... 59
24 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-5 ........................... 59
25 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-7 ........................... 59
26 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-14 ......................... 60
27 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-21 ......................... 60
-
8/9/2019 B08gar
12/92
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan obat tradisional baik yang berasal dari hewan maupun dari
tumbuhan banyak digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan
sejak zaman nenek moyang kita dulu. Pengobatan dengan obat tradisional
tersebut merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat di bidang kesehatan.
Konsumsi beraneka jenis obat tertentu menurut Mursito (2002)
mempunyai tujuan, mulai dari upaya pencegahan (preventif), mempertahankan
atau meningkatkan kesehatan tubuh (promotif), dan melakukan pengobatan guna
penyembuhan suatu penyakit (kuratif), untuk keperluan tersebut masyarakat
memiliki berbagai pilihan cara pengobatan. Bahan obat tradisional biasanya
digunakan berdasarkan pengalaman empiris. Salah satu bahan tradisional yang
digunakan untuk pengobatan adalah pohon pisang yang memiliki berbagai
manfaat, bahkan setiap bagiannya memiliki manfaat yang berbeda, salah
satunya adalah getah batang pohon pisang yang dapat digunakan sebagai obat
persembuhan luka (Versteegh 1988).
Pisang umumnya merupakan tanaman pekarangan, walaupun diberbagai
daerah sudah dibudidayakan untuk diambil buahnya. Pisang merupakan
tanaman yang berbuah hanya sekali, kemudian mati. Pohon pisang selalu
beregenerasi sebelum berbuah melauli tunas-tunas yang tumbuh pada
bonggolnya. Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang banyak mengandung
humus memungkinkan pisang tersebar luas di Indonesia. Pisang tidak mengenal
musim panen. Pohon ini dapat berbuah kapan saja (Dalimartha 2005).
Ketersediaan pohon pisang yang melimpah pasca panen di Indonesia
tidak didukung dengan pengembangan obat luka dari tanaman untuk
kepentingan komersial. Permasalahan-permasalahan diatas menjadi
pertimbangan untuk mengembangkan obat persembuhan luka dari getah batang
pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) karena memiliki
prospek yang sangat baik dalam pemanfaatannya dan pengembangnya menjadi
produk yang praktis siap pakai, dalam upaya meningkatkan kesehatan
masyarakat Indonesia.
Beberapa pengujian secara ilmiah mengenai khasiat dari pohon pisang
untuk persembuhan luka pernah dilaporkan. Salah satunya yaitu penelitian yang
-
8/9/2019 B08gar
13/92
2
dilakukan oleh Listyanti (2006), bahwa getah batang pohon pisang ambon
(Musa paradisiaca var. sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam
bentuk sediaan segar, pada proses persembuhan luka menggunakan hewan
coba mencit memperlihatkan hasil yang memuaskan. Selain mempercepat
persembuhan luka, secara histologik juga memberikan efek kosmetik dengan
memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka
atau jaringan parut. Getahnya sekaligus mempercepat proses re-epitelisasi
jaringan epidermis, pembentukan buluh darah baru (neokapilarisasi),
pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah
luka.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka penggunaan getah batang
pohon pisang sebagai obat persembuhan luka memiliki prospek yang sangat baik
untuk dikembangkan menjadi sediaan farmasi. Salah satunya adalah dalam
bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang Ambon yang
diaplikasikan secara topikal, kemudian diuji kembali aktifitasnya terhadap
persembuhan luka pada mencit. Penggunaan ekstrak batang pohon pisang
ambon dalam sediaan salep belum pernah diujicobakan sebelumnya.
Sediaan salep ekstrak didalam penelitian ini diuji dengan kontrol positif
sebagai pembanding yaitu obat luka komersial yang juga berbentuk salep. Salep
dipilih sebagai bentuk sediaan karena stabilitasnya baik, berupa sediaan halus,
mudah digunakan, mampu menjaga kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit dan
mempunyai tampilan yang lebih menarik (Ansel 1989).
I.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sediaan topikal dalam
bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang ambon terhadap proses
persembuhan luka pada kulit mencit melalui pengamatan patologi anatomi dan
histopatologi dan membandingkannya dengan sediaan salep komersil yang
beredar di masyarakat.
-
8/9/2019 B08gar
14/92
3
1.3 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H0 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon tidak mempercepat
proses persembuhan luka.
H1 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses
persembuhan luka.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan
ekstrak getah batang pohon pisang ambon dalam bentuk sediaan salep yang
lebih praktis digunakan dalam proses persembuhan luka. Bentuk sediaan salep
dari ekstrak getah batang pohon pisang ambon ini diharapkan mampu bersaing
dengan obat-obatan komersil yang telah beredar tetapi harganya lebih murah
sehingga masih terjangkau oleh masyarakat umum.
-
8/9/2019 B08gar
15/92
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Tanaman Pisang
Kata pisang dalam bahasa arab yaitu maus, yang oleh Linneus
dimasukkan ke dalam keluarga musaceae. Dalam bahasa latin pisang disebut
Musa paradisiacal. Menurut catatan sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara.
Penyebar agama Islam lalu menyebarkan buah ini ke Afrika Barat, Amerika
Selatan, dan Amerika Tengah. Selanjutnya, pisang tersebar ke seluruh dunia
meliputi daerah tropis dan subtropis (Anonimus 2008).
Menurut Munadjim (1983) nama latin dari tanaman pisang adalah Musa
paradisiaca. Nama Musa diambil dari nama seorang dokter asal Romawi yang
bernama Antonius Musa. Pada masa tersebut, Antonius Musa selalu
menganjurkan pada kaisar untuk selalu makan pisang agar tetap kuat dan sehat.
Nama ini telah didapat sejak sebelum Masehi.
Pisang merupakan tanaman asli dari daerah Asia Tenggara. Pisang
disebarkan oleh para penyebar agama Islam di daerah Laut Tengah, dari Afrika
Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebarannya
hampir ke seluruh dunia dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Pasifik
sampai ke Hawaii. Sampai di Barat melalui Samudra Atlantik, oleh karenanya
sekarang pisang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia (Satuhu dan Supriyadi
1999). Tumbuhan pisang menyukai daerah alam terbuka yang cukup sinar
matahari, cocok tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 meter
lebih diatas permukaan laut. Tanaman pisang merupakan tumbuhan yang tidak
memiliki batang sejati. Batang pohonnya terbentuk dari perkembangan dan
pertumbuhan pelepah pelepah yang mengelilingi poros lunak panjang. Batang
pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang tersembunyi di dalam
tanah (Cox 1994).
Pisang dikenal dengan nama lokal Cau, Gedang (Jawa), Galuh, Gaol,
Puntik, Pusi (Sumatera), Harias, Peti (Kalimantan), Tagin, See, Pepe, Uti
(Sulawesi), Nando, Pipi, Mayu (Irian), dalam bahasa Inggris pisang dikenal
dengan nama banana (Dalimartha 2005).
2.2 Taksonomi
Menurut Satuhu dan Supriyadi (1999), secara garis besar jenis-jenis
pisang dikelompokan menjadi tiga jenis yakni pertama, pisang serat (Noe. Musa
-
8/9/2019 B08gar
16/92
5
texstiles) yaitu pisang yang tidak diambil buahnya tetapi hanya diambil seratnya
saja. Kedua, pisang hias (Heliconia indicaLamk), pisang ini sama dengan pisang
serat yakni tidak diambil buahnya, tetapi pisang ini hanya dijadikan hiasan di
muka rumah. Biasanya pisang ini diperbanyak dengan menggunakan
anakannya. Jenis yang ketiga adalah pisang buah (Musa paradisiaca), pisang
jenis ini banyak ditemukan.
Buah pisang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pisang buah meja
adalah Musa sapientum (banana), karena lebih enak dimakan segar, misalnya
pisang ambon, ambon lumut, raja, raja sereh, mas, susu, dan barangan.
Kelompok berikutnya pisang yang enak dimakan setelah diolah terlebih dahulu
adalah Musa paradisiaca (plantain), misalnya pisang tanduk, oli, nangka, kapas,
batu, dan kepok (Dalimartha 2005).
Sistem klasifikasi pisang ambon menurut menurut Tjitrosoepomo (1994)
sebagai berikut :
Kingdom : Plant
Phylum : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca
Varietas : Sapientum
Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem
perakaran di bawah tanah. Batangnya pun berada di dalam tanah sedangkan
batang di atas permukaan tanah merupakan batang semu yang terdiri dari
kumpulan seludang daun yang saling membungkus rapat. Daun berkembang
dari bagian tengah batang semu dalam keadaan tergulung rapat sewaktu muncul
dan akan berkembang sampai ukuran yang maksimum. Akar dan tunas-tunas
samping keluar dari bonggol, sehingga tunas-tunas inilah yang akan tumbuh ke
atas membentuk batang semu. Tunas-tunas inilah yang sering disebut anakan.
Perbanyakan tanaman dilakukan dengan anakan (Ernawati et al 1994).
Menurut Dalimartha (2005) satu pohon pisang bisa menghasilkan 1
sampai dengan 17 sisir setiap tandan atau 4 sampai dengan 40kg per tandan.
Jumlah dan berat pisang tergantung pada jenisnya. Selanjutnya gambar pohon
pisang disajikan pada Gambar 1.
-
8/9/2019 B08gar
17/92
6
Gambar 1 Pohon pisang ambon.
Pisang tumbuh dan berkembang subur pada daerah tropis (300 LU 300 LS)
dengan suhu 270 300 C. Curah hujan antara 1400 2450 mm per tahun
dengan penyebaran yang merata. Sedangkan pada daerah dengan musim
kering yang panjang tanaman pisang memerlukan pengairan (Purwanto dan
Sujiprihati 1985).
2.3 Manfaat Pohon Pisang
Pisang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan buah-
buahan yang lainnya. Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap buah pisang
matang adalah kalori 99 kal, protein 1.2 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 25.8 mg,
serat 0.7 g, kalsium 8 mg, fosfor 28 mg, besi 0.5 g, Vitamin A 44 RE, Vitamin B
0.08 mg, Vitamin C 3 mg, dan air 72 g. Buah pisang mengandung tiga jenis gula
alami, yaitu sukrosa, fruktosa, dan glukosa, yang dikombinasikan dengan serat,
akan menghasilkan energi yang cukup banyak (Departemen Kesehatan 1989).Manfaat lain dari buah pisang, adalah untuk kesehatan, antara lain untuk
menyembuhkan penyakit usus. Pisang juga bermanfaat bagi penderita diabetes.
Pisang juga bisa menyembuhkan anemia, menurunkan tekanan darah, memacu
tenaga untuk berfikir, kaya serat, membantu sistem syaraf, membantu perokok
menghilangkan pengaruh nikotin, mengatasi stres, mencegah stroke, mengontrol
temperatur badan, dan menetralkan asam lambung. Kulit pisang dapat
digunakan sebagai krim antinyamuk ( Sangat et al 2000).
-
8/9/2019 B08gar
18/92
7
Menurut Listyanti (2006) getah batang pohon pisang ambon (Musa
paradisiaca var sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam bentuk
sediaan segar, bermanfaat dalam mempercepat proses persembuhan luka dan
memberikan efek estetika dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa
meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getahnya sekaligus
mempercepat re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan pembuluh darah
baru (neokapilerisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel
radang pada daerah luka.
Khususnya dalam proses persembuhan luka, getah batang pohon pisang
dapat dijadikan penghilang rasa sakit dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru
pada kulit. Getah batang pohon pisang mengandung saponin, antrakuinon dan
kuinon sebagai antimikrobial. Sedangkan lignin, membantu peresapan senyawa
pada kulit sehingga dapat digunakan untuk mengobati luka memar, luka bakar,
bekas gigitan serangga dan sebagai anti radang (Djulkarnain 1998).
Menurut Priosoeryanto et al (2006), ekstrak batang pohon pisang ambon
mengandung tanin, saponin dan flavonoid yang dapat berguna sebagai
antimikrobial dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka. Ekstrak
batang pohon pisang ambon mampu untuk mengobati luka pada kulit karena
kandungan bahan aktifnya mampu meningkatkan aliran darah ke daerah luka
dan juga dapat menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk persembuhan luka.
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang merupakan satu golongan
fenol alam yang terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut
polar seperti air, etanol, metanol, butanol, aseton,dan sebagainya. Flavonoid
umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida yang larut air, sehingga pelarut air
sangat baik untuk glikosida. Flavonoid mempunyai respon biologi secara alami
karena mempunyai kemampuan bereaksi dengan komponen lainnya seperti
allergen, virus dan karsinogen sehingga flavonioid dapat berfungsi sebagai anti
alergi, antikanker dan anti inflamasi (Markham 1988). Senyawa flavonoid
mempunyai efek biologis yang sangat kuat sebagai antioksidan, merangsang
produksi oksidasi nitrit yang dapat melebarkan pembuluh darah. Flavonoid juga
dapat meningkatkan aliran darah ke otak sehingga berperan dalam memperbaiki
kerusakan pembuluh darah dan bermanfaat bagi kesehatan jantung. Flavonoid
umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida
(Harborne 1987).
-
8/9/2019 B08gar
19/92
8
Efek utama dari tanin yaitu sebagai adstringensia yang banyak digunakan
sebagai pengencang kulit dalam segi kosmetik. Kandungan zat aktif tanin
menurut batasannya dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
mantap yang tak larut air. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein
dan enzim sitoplasma sehingga berada diantaranya, tetapi bila pada jaringan
rusak, misalnya dalam kondisi termakan oleh hewan, maka reaksi penyamakan
dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan
pencernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak memiliki tanin
dihindari oleh hewan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).
Senyawa yang juga terkandung dalam Ekstrak batang pohon pisang Ambon
adalah saponin. Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas
membentuk busa. Saponin terdiri atas agligen polisiklik yang disebut sapogenin
dan gula sebagai glikon. Sapogenin dapat diuraikan kembali dari struktur kimia
ikatan hidrogennya menjadi dua bentuk, yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya
saponin dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit. Bila saponin
dicampur dengan air akan membentuk busa stabil (Cheek 2005).
2.4 Biologi Mencit
Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan percobaan
yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit laboratorium yang digunakan
dalam penelitian ini adalah strain DDY, dimana telah dikembangkan secara
inbred dengan gen-gen yang homozigot (Penn dalamHandayani 2006). Hewan
ini dinilai cukup efisien ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan
tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memilki anak per
kelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat produksi dan reproduksi yang mirip
dengan mamalia besar serta memiliki siklus estrus yang pendek (Malole dan
Pramono 1989).
Sistem taksonomi mencit menurut Maloledan Pramono (1989) adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
-
8/9/2019 B08gar
20/92
9
Subfamili : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Sub Spesies : Mus musculus albinus
Menurut Smith dan Mankoewidjojo (1988) pemberian makanan pada mencit
yaitu dalam bentuk pelet komersial tanpa batas (ad libitum) yang diletakkan di
bagian penutup dari kotak kandang yang telah disiapkan dimana penutup ini
melekuk miring cukup dalam ke dalam kotak sehingga mencit yang baru disapih
dengan mudah dapat mencapai pakan. Gambar hewan percobaan mencit
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Mus musculus albinus di laboratorium sebagai hewan
percobaan.
Pemberian pakan pada mencit dibutuhkan protein berkadar di atas 14%.
Setiap harinya mencit membutuhkan 15 gram makanan dan 15 ml air per 100
gram berat badan. Tingkat konsumsi makan dan minum mencit bervariasi,
ditentukan berdasarkan keadaan kandang, kelembaban, kualitas pakan,
kesehatan dan kadar air dalam pakan tersebut (Malole dan Pramono1989).
Menurut Suhana (1994) sifat biologis mencit cukup mendukung sebagaihewan percobaan dengan lama hidup 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun. Mencit
mencapai umur dewasa sekitar 35 hari dengan berat 20-40 gram jantan, 18-35
gram betina. Suhu tubuh normal mencit 35-39 oC dengan rata-rata 37,4 oC
frekuensi napas 140-180/menit dan frekuensi denyut jantung 600-650/menit.
Volume darah mencit 75-80 ml/kg dengan jumlah sel darah merah 7,7-12,5 x
106/mm3sedangkan jumlah sel darah putih adalah 6,0-12, x 106/mm3 dengan
rincian neutrofil 12-30%, limfosit 55-85%, monosit 1-12%, eosinofil 0,2-4%,
basofil 0.03%.
-
8/9/2019 B08gar
21/92
10
Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 20-25C.
Mencit dapat dipelihara dengan baik pada temperatur 70- 80F. Kelembaban
ruang tersebut berkisar 45-55% (Robinson 1972).
2.5 Kulit
Kulit merupakan bagian terluas dari bagian tubuh, berfungsi sebagai
pelindung tubuh: terhadap bahaya fisik dan bahan kimia. Kulit dapat bertindak
sebagai thermoregulator, mampu melakukan proses persembuhan dengan
cepat, menggambarkan kondisi kesehatan tubuh yang bersangkutan, memiliki
kemampuan antimikrobial dan menyimpan cadangan elektrolit (Smith dan Jones
1962).Kulit berfungsi sebagai pelindung jaringan, pencegah terjadinya pengeringan
berlebihan, bertindak sebagai pengatur panas tubuh, ekskresi dan bertindak
sebagai alat pengindera dengan reseptor tekan, suhu dan nyeri
(Mutschler 1991).
Menurut Smith dan Jones (1962), kulit terdiri dari lapisan-lapisan yang
berbeda bentuk dan fungsi. Lapisan utama kulit ada 3 bagian, yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis dan hipodermis. Selanjutnya gambar kulit disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3 Histologi kulit manusia (Somantri 2007)
-
8/9/2019 B08gar
22/92
11
Epidermis merupakan lapisan epitel dari kulit. Lapisan epidermis yang terluar
adalah stratum korneum atau lapisan tanduk yang terdiri dari sel-sel pipih banyak
lapis dan mengandung banyak keratin. Kemudian dibawahnya terdapat stratum
lusidum lapisan ini terdiri dari dua atau tiga lapis dari sel, mengandung eleidin
yang berasal dari butir keratohyalin yang tidak terpecah yang berada di bagian
bawah lapisan penghubung. Lapisan ini menutup lapisan lainnya yaitu stratum
granulosum atau lapisan granula yang terbentuk dari dua sampai lima baris sel
epitel yang berbentuk rhomboid dan mempunyai sitoplasma yang berwarna gelap
karena mengandung granula basofilik keratohyalin. Lapis selanjutnya adalah
stratum spinosum/stratum germinativum atau lapisan malphigi, terbentuk dari sel
silindris banyak baris. Pada bagian terbawah stratum ini terdapat lapisan basal
yang terdiri dari sel kubus dan terdapat pigmen melanin dimana bagian basal dari
sel ini terikat pada membran basal oleh hemidesmosom (Smith dan Jones 1962).
Lapisan dermis terletak dibawah epidermis, lapisan ini terbentuk dari jaringan
yang kaya akan kolagen dan sel elastis yang membuat kulit menjadi kuat dan
elastis. Dermis terdiri dari lapisan papilari dan lapisan retikuler. Lapisan paling
atas dari dermis terbentuk dari jaringan ikat dengan diantaranya terdapat jaringan
elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik sedangkan di bagian terbawah
terdiri dari lapisan retikuler yang membuat menjadi tebal dan terutama
mengandung jaringan kolagen yang membantu penyebaran serabut elastis,
pembuluh darah dan pembuluh limfatik dan adnexa dari epidermis. Adnexa
mengandung struktur khusus yang berasal dari epidermis, ini merupakan bagian
penting dari dermis tapi dalam situasi tertentu dapat meluas ke bagian subkutis.
Pada adnexa dapat ditemukan kelenjar keringat, kelenjar apokrin, kelenjar
minyak, folikel rambut dan kelenjar khusus seperti kelenjar air mata. Hampir 90
% dari serabut dermis adalah serabut kolagen. Serabut ini memiliki kekuatan
yang luar biasa terhadap tekanan. Serabut elastik terdiri dari serabut tunggal dan
memiliki daya elastisitas yang hebat (Muller 1976).
Sel-sel yang menyusun lapisan dermis terdiri dari sel fibroblast, sel mast,
dan histiosit. Fibroblast merupakan tipe sel tetap jaringan ikat longgar yang
paling banyak jumlahnya (Dellmann dan Brown 1988). Fibroblast aktif terdapat
pada hewan muda dan pada jaringan ikat yang beregenerasi akibat luka. Sel ini
memproduksi tropokolagen fibril yang merupakan prekursor dari serabut kolagen
dan banyak ditemukan di dekat bagian permukaan serabut kolagen
-
8/9/2019 B08gar
23/92
12
(Muller 1976). Sel mast berperan dalam respon terhadap perlukaan pada kulit
dan terdapat di hampir seluruh bagian jaringan ikat, terutama dekat pembuluh
darah. Sel ini memiliki butir sekreta yang mengandung heparin, histamin, serta
pada tikus dan mencit menghasilkan serotonin. Heparin merupakan suatu
antikoagulan, histamine bertindak sebagai mediator inflamasi, dan serotonin
menyebabkan vasokonstriksi vena (Dellmann dan Brown 1988). Histiosit adalah
sel tipe limfoid yang sudah dewasa dan mempunyai fungsi untuk membentuk
serabut retikuler serta memiliki kemampuan memfagosit bakteri maupun partikel
asing. Sel ini juga dapat bermigrasi menuju target yang akan difagositnya.
Histiosit yang mengandung material yang terfagosit disebut sebagai makrofag
(Muller 1976).
Lapisan ketiga setelah epidermis dan dermis adalah hipodermis.
Hipodermis biasanya tidak selalu disebut bagian dari kulit. Lapisan ini berada di
bawah kulit dan mengandung banyak jaringan ikat, syaraf dan pembuluh darah
yang menuju dermis. Karakteristik dari lapisan hipodermis adalah banyaknya
jaringan lemak yang disebut sebagai panniculus adipose.
2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara
spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang, baik kerusakan
kontinyuitas kulit, mukosa membrane, dan tulang atau organ tubuh lain
(Somantri 2007).
Menurut Kaplan dan Hentz (1992), ketika luka timbul, beberapa efek
akan muncul, yaitu: hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian
sel. Mekanisme terjadinya luka :
1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang
tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik)
biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka
diikat.
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan
dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan
bengkak.
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda
lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
-
8/9/2019 B08gar
24/92
13
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru
atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti
oleh kaca atau oleh kawat.
6. Luka tembus (Penetrating Wound),yaitu luka yang menembus organ tubuh
biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada
bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7. Luka Bakar (Combustio)
2.6.1 Jenis-Jenis Luka
Menurut Zachary (1990), luka sering digambarkan berdasarkan
bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka. Jenis-jenis
luka dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan tingkat Kontaminasi terhadap luka :
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tidak terinfeksi sehingga
tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih
biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan
drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi
luka sekitar 1% - 5%.
b. Clean-contamined Wounds(Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
c. Contamined Wounds(Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,
luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan
teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga
termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka
10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
-
8/9/2019 B08gar
25/92
14
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :
a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka Partial Thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka
superfisial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang
dangkal.
c. Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.
Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak
mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang
dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
3. Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :
a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan jadi meskipun tanpa pengobatan proses persembuhan
luka akan tetap terjadi sampai kondisi normal kembali.
b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari
proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa
bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, upaya untuk melindungi area
luka terbebas dari kotoran dengan selalu menjaga kebersihan sangat membantu
untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Somantri 2007).
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka yaitu: (1) Kemampuan tubuh
untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan
keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh pada luka lebih efektif
jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara sistemik pada
trauma, (4) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5) Keutuhan kulit dan
-
8/9/2019 B08gar
26/92
15
mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri
dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka
bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.
2.6.2 Proses Persembuhan Luka
Persembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dengan
melibatkan banyak sel. Fase persembuhan luka digambarkan seperti yang terjadi
pada luka pembedahan. Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase
persembuhan luka yaitu: fase peradangan (Inflamasi), fase perbanyakan sel
(proliferasi) dan fase maturasi (Somantri 2007).
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi
akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Fase ini terjadi segera setelah
luka dan berakhir 3 7 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu
hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase
konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah,
endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di
daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin
yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Platelet akan menutupi vaskuler
yang terbuka dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang
mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi
penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini
berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat
stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan
adanya substansi vasodilatator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin).
Histamin tersimpan dalam granul pada sel mast, basofil, dan platelet.
Pelepasan senyawa ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti
trauma atau dingin, reaksi imunologik, suatu fraksi dari komplemen yang disebut
sebagai anaphilatoxins,dan adanya histamin-releasing factor yang dikeluarkan
oleh neutrofil (Vegad 1995). Histamin juga menyebabkan peningkatan
permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah
dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan
keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Scab(keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan
mati membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh
-
8/9/2019 B08gar
27/92
16
mikroorganisme. Dibawah scab sel epitel berpindah dari luka ke tepi. Se epitel
membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah
masuknya mikroorganisme. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh darah
dan respon seluler yang berfungsi untuk mengeliminasi benda-benda asing dan
jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan nutrisi
yang diperlukan pada proses persembuhan. Sehingga pada daerah luka tampak
merah dan sedikit bengkak.
Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh
darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya
adalah neutrofil, makrofag dan limfosit.
1. Neutrofil
Neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi
mikroba pada peradangan. Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear
(PMN), berdiameter 14-20 m. Mempunyai bentuk sel bulat atau oval, sitoplasma
berwarna merah muda, warna merah muda ini berasal dari granul sitoplasma
yang bersifat neutrofilik dan sedikit azorofil. Neutrofil diproduksi di dalam sumsum
tulang belakang. Pelepasan neutrofil dipengaruhi oleh Neutrophil Releasing
Factor(NRF).
Neutrofil memiliki masa hidup yang relatif singkat. Di dalam sirkulasi
neutrofil dapat bertahan selama 4-6 hari. Neutrofil segera akan mati setelah
melakukan fagosit terhadap benda asing yang masuk dan akan dicerna oleh
enzim lisosom, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepas
zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan
merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan
merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan
infeksi (Dellman dan Brown 1992).
Fungsi utama dari neutrofil adalah fagositosis dan mikrobisidal. Neutrofil
merupakan sel leukosit yang pertama berespon terhadap adanya benda asing
yang ada pada luka, cara kerja neutrofil dalam memberikan respon imun adalah
dengan menggunakan enzim lisosom yang dapat mencerna beberapa dinding sel
bakteri, enzim proteolitik, ribonuklease, dan fosfolipase secara bersama yang
dapat menghancurkan beberapa bakteri (Tizard 1982). Proses fagositosis ini
kemudian dibantu oleh monosit yang mengalami tranformasi ketika sel ini
memasuki jaringan ikat dan menjadi sel-sel fagositik yang besar yang disebut
-
8/9/2019 B08gar
28/92
17
sebagai makrofag jaringan. Semua proses ini merupakan metode pertahanan
tubuh yang bersifat non-spesifik.
2. Makrofag
Monosit yang ada di dalam jaringan dinamakan makrofag. Makrofag
merupakan sel yang sangat aktif pada saat terjadinya perlukaan. Makrofag dapat
bersatu dan membentuk sel raksasa yang dinamakan giant cell dengan tujuan
dapat memfagositosis antigen yang berukuran lebih besar (Martini et al1992).
Makrofag mempunyai kemapuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil yang
lain, bahkan mampu memfagosit 100 bakteri (Guyton 1996).
Menurut Vegad (1995), selain memfagosit, makrofag juga aktif
melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan
proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaskan makrofag yaitu :
Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan
protein pengkoagulasi
Platelet activating factor (PAF)
Faktor-faktor kemotaktik
Sitokin
Faktor-faktor pertumbuhan, seperti platelet-derived growth factor (PDGF)
fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan
transforming growth factor- (TGF-). Faktor-faktor ini mempengaruhi
proliferasi fibroblast dan pembuluh darah.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang
merangsang pembentukan ujung endotel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan
AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini
sangat penting bagi proses penyembuhan. Secara klinis fase inflamasi ini
ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang
berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.3. Limfosit
Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah
dominan. Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti Peyers patches, limpa,
tonsil, timus dan bursa Fabricius (Melvin dan William 1993).
Fungsi utama limfosit di dalam tubuh adalah berperan dalam sistim
kekebalan tubuh. Limfosit akan memproduksi antibodi sebagai respon terhadap
antigen yang masuk di bawa oleh makrofag (Tizard 1982). Di dalam darah,
limfosit terbagi atas 3 tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel non T, non B yang disebut
-
8/9/2019 B08gar
29/92
18
sel null. Sel tipe B terdapat 10-12% dari keseluruhan limfosit. Sel B berperan
dalam humoral imun respon. Sel T mempunyai jumlah yang lebih dominan yaitu
70-75% dari jumlah limfosit dan berperan dalam immunitas seluler
(Ganong 1997). Menurut Dellman dan Brown (1987), limfosit T terbagi atas 3
jenis, yaitu limfosit T-killer(cytotoxic/CTLs), limfosit T-helper(Th cell), limfosit T-
supresor(Ts cells).
Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan
hanya memiliki kemampuan untuk melakukan kemampuan kemotaksis yang
terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin
yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya. Beberapa limfokin
yang dilepaskan limfosit berpengaruh terhadap agregasi makrofag dalam proses
persembuhan luka (Banks dalam Handayani 2006).
b. Fase Proliferasi
Menurut Somantri (2007), proses kegiatan seluler yang penting pada fase
ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi
sel. Secara garis besar proses yang terjadi pada fase ini meliputi, re-epitelisasi,
fibroplasia, kontraksi luka, dan neovaskularisasi.
Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung
jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan
digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Fase kedua ini berlangsung dari
hari ke 4 hingga hari ke-21 pasca perlukaan.
Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah
luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang
normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya
bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan
aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan
berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen,
elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam
membangun (rekontruksi) jaringan baru (Shukla et al 1998).
Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan C, dan asam amino
pada jaringan kollagen. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi
dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen
adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka.
Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga
-
8/9/2019 B08gar
30/92
19
kecil kemungkinan luka terbuka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan
dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag,
pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka.
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan
baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi ditandai dengan adanya
pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah. Pada saat itu lapisan
persembuhan tampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi
luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang
diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka
membawa fibrin. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan
kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh
berbagai faktor pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
c. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir hingga
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah : menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi
dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan
parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-
10 setelah perlukaan. Kolagen yang ditimbun dalam luka diubah, membuat
penyembuhan luka lebih kuat dan lebih mirip jaringan. Kolagen baru menyatu,
menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas luka
menjadi rata, tipis dan garis putih.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang
berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut
dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
-
8/9/2019 B08gar
31/92
20
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis
masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat
akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai
penyakit sistemik (diabetes melitus).
2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka
Menurut Somantri (2007), ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi persembuhan luka, baik secara endogen ataupun eksogen.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang
tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat
mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien
memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan
mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk
memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien
yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama
karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya
sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit
pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat
karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama
untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada
orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau
diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita
anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume
darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan
oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
-
8/9/2019 B08gar
32/92
21
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat
bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi
tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul
dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang
membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah.
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi
akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor
internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula
darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan
terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
9. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat
membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh
terhadap cedera
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri
penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka
pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka
Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan dan keloid.
-
8/9/2019 B08gar
33/92
22
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan
atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 7 hari
setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,
peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,
peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku
pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing
(seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga
balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama
48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika
perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril
mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin
diperlukan.
3. Keloid
Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya
muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.
2.7 SALEP
Salep adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Pemakaian
salep adalah untuk daerah topikal yang diperuntukan sebagai protektan,
antiseptik, emolien, antipruritik, keratolitik, dan astringensia. Pemilihan dasar
salep yang tepat sangat penting untuk efektivitas fungsi yang diinginkan. Untuk
salep yang berfungsi sebagai protektan, maka dasar salep harus bersifat
melindungi kulit dari kelembaban, udara, sinar matahari, dan faktor eksternal
lainnya. Salep antiseptik digunakan untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Seringkali infeksi oleh bakteri terjadi jauh di dalam lapisan
kulit, sehingga dasar salep untuk pembuatan salep antiseptik harus memiliki
kemampuan untuk meresap ke dalam kulit dan melepaskan bahan aktif yang
berfungsi sebagai obat (Hezmela 2006).
Salep adalah gel dengan perubahan bentuk plastis yang ditentukan untuk
penerapan pada kulit sehat, sakit atau terluka, atau pada selaput lendir (hidung,
mata). Voigt (1994) menyatakan, salep pada pokoknya berlaku untuk terapi lokal,
salep biasanya mengandung obat-obatan yang dipakai di luar tubuh dan memiliki
-
8/9/2019 B08gar
34/92
23
konsistensi yang kuat, yang apabila dioleskan pada kulit akan melunak dan
membentuk lapisan di atas kulit. Proporsi bahan dalam sediaan salep dapat
berubah-ubah untuk mempertahankan konsistensi, sedangkan proporsi bahan
aktif di dalamnya tidak berubah.
Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang
sesuai. Pemerian salep tidak boleh berbau tengik. Salep yang mengandung obat
keras atau obat narkotika, kadar bahan obatnya adalah 10%. Respon klinik yang
akan timbul ketika kita memakai suatu sediaan salep pada kulit yang sakit terdiri
dari tiga proses, yaitu: (1) pelepasan obat dari pembawa, diikuti oleh (2)
penetrasinya melalui barier kulit dan (3) pengaktifan respon Farmakologis yang
diinginkan (Departemen Pertanian 2001).
Menurut Ansel (1989), salep dapat mengandung obat baik dalam keadaan
tersuspensi, terlarut atau teremulsi,. Salep juga bisa tidak mengandung obat.
Salep yang tidak mengandung obat disebut sebagai salep dasar (basis ointment)
dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung
obat. Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar, yaitu: (1) dasar salep
hidrokarbon, (2) dasar salep absorbsi, (3) dasar salep yang dapat dicuci dengan
air, dan (4) dasar salep larut dalam air.
Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung
pada beberapa faktor penting, antara lain:
a. laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep,
b. keinginan peningkatan oleh dasar salep absorpsi perkutan dari obat,
c. kelayakan melindungi lembap dari kulit oleh dasar salep,
d. jangka lama atau pendeknya obat stabil dalam dasar salep, dan
e. pengaruh obat bila ada terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar
salep.
Semua faktor-faktor ini dan lain-lainnya harus ditimbang satu terhadap
lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik (Ansel 1989).
Berdasarkan distribusi bahan obat dalam medium penyangganya, maka
salep dibedakan atas salep larutan, salep suspensi, dan salep emulsi. Salep
larutan dan salep suspensi berbeda, tergantung pada sifat kelarutan dari bahan
obat terlarut atau tersuspensi dalam dasar salep. Salep mengandung air dengan
penambahan emulgator secara umum dinyatakan sebagai salep emulsi
(Voight1994).
-
8/9/2019 B08gar
35/92
24
Salep emulsi terdiri atas dua jenis, yaitu jenis minyak dalam air (o/w) dan
jenis air dalam minyak (w/o). Dasar salep o/w memiliki keuntungan, yaitu dapat
dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan kesan lengket yang tidak disukai.
Lebih dapat diterima sebagai dasar sediaan kosmetika, dan umumnya cocok
untuk sediaan salep obat. Dasar salep w/o memiliki keuntungan, yaitu stabilitas
emulsinya yang tinggi (Voigt 1994).
Menurut Ansel (1989), salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu
pencampuran dan peleburan. Dalam metode pencampuran, komponen dari
salep dicampur bersama-sama sampai sediaan yang homogen tercapai.
Pencampuran dilakukan dalam sebuah lumpang dengan sebuah alu untuk
menggerus bahan bersama-sama. Dalam metode peleburan, semua atau
beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan melebur bersama, dan
didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponen-
komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang
sedang mengental setelah didinginkan dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah
menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup
rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen. Dalam
skala kecil, peleburan dapat dilakukan pada cawan porselen atau gelas piala.
2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat
Menurut Ansel (1989), obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah
pemakaian topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
lemak, atau antara sel-sel tanduk. Cara penetrasi obat pada kulit yang utuh
umumnya melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut
atau kelenjar keringat, karena luas permukaan yang terakhir ini lebih kecil
dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini.
Selaput yang menutupi lapisan tanduk umumnya tidak terus-menerus
melapisinya dan sebenarnya tidak mempunyai daya tahan terhadap penetrasi.
Hal ini dikarenakan susunan dari bermacam-macam lapisan dengan proporsi
lemak dan keringat yang diproduksi dan juga derajat daya lepasnya melalui
pencucian serta penguapan keringat.
Absorbsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi
langsung obat melalui stratum corneum10 sampai dengan 15 m, tebal lapisan
datar mengeringkan sebagian demi sebagian jaringan mati yang membentuk
permukaan kulit paling luar. Sratum corneum terdiri dari kurang lebih 40% protein
-
8/9/2019 B08gar
36/92
25
(pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa perimbangannya
terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak.
Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara langsung
bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum.
Apabila molekul obat dapat malalui stratum corneum, maka dapat melalui
jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis. Apabila obat dapat
mencapai lapisan pembuluh darah kulit, maka obat tersebut siap untuk
diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum (Ansel 1989).
Menurut Ansel (1989), stratum corneum sebagai jaringan keratin akan
berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat
mempenetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif ini tergantung pada
konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisiensi partisi minyak atau
airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan
air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti
juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit. Penetrasi lapisan ini dapat
terjadi dengan cara difusi melalui :
penetrasi transeluler (menyebrangi sel);
penetrasi intraseluler (didalam sel);
penetrasi transappendageal (melalui folikel rambut, keringat, kelenjar
lemak, dan perlengkapan pilo sebaceaus).
-
8/9/2019 B08gar
37/92
-
8/9/2019 B08gar
38/92
27
3.3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%,
sediaan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon, sediaan salep komersial,
sediaan salep placebo, eter untuk euthanasia, larutan neutral buffer formalin 10%
untuk fiksasi, kapas dan bahan-bahan untuk sediaan histopatologi yaitu larutan
Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi yang
bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%), larutan Lithium Carbonat, akuades,
asam asetat 1%, Schiff Reagent, air sulfit, larutan Mordant, larutan Carrazis
Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%, larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, larutan
Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin Blue dan parafin.
3.3.3 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kotak plastik (beralaskan
sekam) dan kawat untuk kandang mencit, anaerobic jar untuk anasthesi,
peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, skalpel), plastik. Peralatan
untuk membuat sediaan salep seperti timbangan, kaca arloji, sendok kecil, kertas
perkamen, cawan porselin, penangas air dan mortar. Peralatan untuk membuat
sedian histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas penutup. Untuk
pengamatan histopatologi digunakan mikroskop dan videomikrometer.
3.4 Pembuatan Sediaan Salep
Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang dibuat oleh
Wintarsih et al (2007) menggunakan parafin solid, cera alba, oleum coccos,
vaseline album, dengan penambahan ekstrak batang pohon pisang. Dosis
ekstrak berdasarkan kepada hasil pengujian penentuan dosis efektif yang
memiliki hasil persembuhan terbaik, yaitu dosis C %. Besarnya konsentrasi yang
diuji tidak disampaikan dalam skripsi ini karena mengingat memiliki keperluan
untuk pengajuan paten.
Pembuatan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon yaitu dengan teknik
peleburan. Hal yang pertama dilakukan adalah seluruh bahan yang dibutuhkan
ditimbang, ekstrak getah batang pohon pisang dimasukkan ke dalam mortar lalu
tambah sebagian vaseline, lakukan homogenisasi kemudian disisihkan sebagai
bahan aktif. Ke dalam cawan porselin yang berisi oleum cocos, masukkan parafin
solid, cera alba, dan sisa vaseline. Cawan diletakkan di atas penangas air
sampai lumer, diaduk homogen, lalu diangkat dan diaduk kembali sampai dingin
-
8/9/2019 B08gar
39/92
28
hingga terbentuk basis salep. Basis salep dicampur dengan bahan aktif diaduk
perlahan sampai homogen, kemudian dimasukkan ke dalam pot plastik sebagai
sediaan salep ekstrak.
Pembuatan sediaan salep placebo menggunakan parafin solid, cera alba,
oleum coccos dan vaseline album, hanya sampai tahap basis salep. Salep
Betadine mengandung bahan aktif Povidone Iodine sebagai zat anti mikrobial.
Semua perlakuan dilakukan secara aseptis.
3.5 Metodologi Penelitian
3.5.1 Perlakuan pada Mencit
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 ekor yang dibagi
menjadi 3 kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok berjumlah 15
ekor, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok salep ekstrak.
Ketiga kelompok tersebut masing-masing dibagi lagi menjadi 5 kelompok kecil
yang satu kelompoknya berjumlah 3 ekor. Pembagian kelompok kecil ditentukan
berdasarkan waktu pengamatan histopatologi dan pengambilan sempel kulit yaitu
pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21.
Sebelum perlukaan seluruh mencit diadaptasikan di kandang yang telah
disiapkan. Seluruh mencit yang digunakan, disayat sepanjang 1-1,5 cm pada
bagian punggungnya sejajar os. Vertebrae menggunakan skalpel yang steril.
Sebelum penyayatan mencit dibius menggunakan eter dan rambut di sekitar
daerah sayatan dicukur sampai licin dan kemudian dibersihkan dengan kapas
beralkohol 70%.
Mencit yang dilukai diberi salep sesuai dengan kelompoknya masing-
masing. Pemberian salep dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya
di bagian luka pada mencit perlakuan menggunakan kapas steril setiap hari, dari
hari ke-1 hingga hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari pada waktu
pagi dan sore hari.
Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 mencit dieuthanasia dan dilakukan
pengambilan sampel untuk pembuatan preparat histopatologi.
3.5.2 Pengamatan Patologi Anatomi (PA)
Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari
ke-1 hingga hari ke-21 setelah perlukaan pada semua mencit perlakuan dan
mencit kontrol dan pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pengambilan sampel
-
8/9/2019 B08gar
40/92
29
kulit. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat langsung pada bagian luka.
Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pemotretan pada luka dengan
menggunakan kamera digital.
Parameter yang diamati adalah adanya pembekuan darah, terbentuknya
keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka.
3.5.3 Pengambilan Kulit
Pengambilan kulit dilakukan setelah mencit sebelumnya dieuthanasi
dengan menggunakan larutan eter dosis berlebih secara perinhalasi di dalam
anaerobic jar. Daerah punggung yang akan diambil kulitnya dibersihkan dari
bulu, kulit digunting dengan ketebalan 3 mm sampai dengan sub cutan dan
sepanjang 1-1,5 cm2. Kulit yang diperoleh kemudian di fiksasi dengan larutan
neutral buffer formalin 10% dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam.
3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi
Sediaan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan neutral buffer
formalin 10% lalu dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette
tissue dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol
menggunakan konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%,
90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan
menggunakan xylol I dan xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan
menggunakan parafin I dan parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat
pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sedian diletakkan ke arah
vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin.
Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak
penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras.
Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan
menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut
dibentngkan di atas air hangat yang bersuhu 460C dan langsung diangkat yang
berguna untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan
lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan
diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam inkubator
bersuhu 600 C sehingga dapat dilakukan pewarnaan umum Hematoxyllin Eosin
(HE) dan pewarnaan khusus Masson Trichrome (MT) untuk melihat jaringan
fibroblas. Pewarnaan HE dan MT lebih jelas disajikan pada Lampiran 1.
-
8/9/2019 B08gar
41/92
30
3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP)
Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil
pada hari ke 3, 5, 7, 14, dan 21. Parameter yang diamati pada pemeriksaan
histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (neutrofil makrofag,dan limfosit),
jumlah neokapiler, persentase re-epitelisasi dengan preparat yang digunakan
adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Untuk mengamati
ketebalan jaringan ikat (fibroblas) digunakan pewarnaan MT karena jaringan ikat
yang berwarna biru akan terlihat kontras dengan jaringan lain sekitarnya.
Pengamatan terhadap jumlah dan deferensiasi sel-sel radang serta
jumlah neokapilerisasi menggunakan mikroskop Olympus BX51TF Japan,
dengan pembesaran objektif 40X. Pemotretan dilakukan dengan video photo
dalam 15 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450 m2
dengan tiga kali pengulangan. Pengukuran panjang luka menggunakan video
mikrometer FDR-A IV-560 dengan pembesaran empat kali. Untuk melihat
ketebalan dan luasan jaringan ikat digunakan preparat yang menggunakan
pewarnaan Masson Trichome. Presentasi reepitelisasi dan luas jaringan ikat
diukur menggunakan video mikrometer JVC Japan, dengan pembesaran empat
kali.
Persentase re-epitelisasi menurut Low et al ( 2001) menggunakan rumus,
yaitu:
Panjang luka dengan epitel baru
% Re-epitelisasi : x 100 %
Panjang luka keseluruhan
Kepadatan jaringan ikat dilihat dari intensitas jaringan ikat (fibroblas) pada
pewarnaan Masson Trichrome (MT)dan dilakukan skoring.
-
8/9/2019 B08gar
42/92
31
3.5.6 Kriteria Skoring Jaringan Ikat Histopatologi
Skoring dilakukan dengan acuan yang disajikan pada Tabel 1 sebagai
berikut :
Tabel 1 Deskripsi skor jaringan ikat atau fibroblas
Skor Keterangan
1 Jaringan ikat sedikit, jarang atau tidak kompak dan tersebar tidak
merata. Luka masih dalam keadaan terbuka.
2 Jaringan ikat sedikit tetapi sudah mengumpul dibeberapa tempat.
Luka terbuka atau tertutup.
3 Jaringan ikat sudah padat dan kompak. Luka sudah tertutup tetapi
masih terdapat rongga.
4 Jaringan ikat padat dan kompak. Luka sudah menutup dan tidak
terdapat rongga.
3.5 Analisis data
Semua data kuantitatif diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam
ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada
tidaknya perbedaan yang nyata (P< 0.05). Sedangkan hasil pengamatan patologi
anatomi dan kepadatan jaringan ikat dianalisis secara deskriptif.
-
8/9/2019 B08gar
43/92
32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA)
Hasil pengamatan patologi anatomi terhadap proses persembuhan luka
pada hewan coba mencit untuk kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol
positif, serta kelompok perlakuan dengan salep ekstrak batang pohon pisang
ambon disajikan dalam tabel2. Tabel disajikan berdasarkan parameter tertentu,
yaitu: adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan
ukuran luka.
Tabel 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit antara mencitperlakuan salep placebo, salep komersil , dan salep ekstrak batang pohonpisang ambon
Harike-
Kontrol negatif Kontrol Positif Salep Ekstrak
1
Luka terbuka, tepinyaterpisah dan melebar,tampak merah dan basah,terdapat gumpalan darah,panjang luka 1,5 cm
Luka terbuka, tepinyaterpisah dan melebar,tampak merah danbasah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,5 cm
Luka terbuka, tepinyaterpisah dan melebar,tampak merah danbasah, terdapatgumpalan darah,panjang luka 1,5 cm
2
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah
dan basah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,5 cm
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah
dan basah, terdapatsedikit gumpalan darah,panjang luka 1,5 cm
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah
dan basah, terdapatgumpalan darah,panjang luka 1,5 cm
3
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merahdan basah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,5 cm
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulaimengering dan berwarnamerah, terdapatgumpalan darah, panjangluka 1,3 cm
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merahdan lembab, terdapatgumpalan darahberwarna hitam,panjang luka 1,3 cm
4
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah
dan lembab, tepi lukamulai mengering, panjangluka 1,3 cm
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulai
mengering dan berwarnamerah pucat, tepi lukamulai mengering,panjang luka 1,2 cm
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merah
pucat dan lembab, tepiluka mulai mengering,panjang luka 1,2 cm
5
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka lembab danberwarna merah pucat,tepi luka mulai mengering,panjang luka 1,2 cm
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulaimengering dan berwarnamerah pucat, tepi lukamulai mengering,panjang luka 1,1 cm
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah danmelebar, tampak merahpucat dan mulaimengering namunterlihat lembab, tepiluka mulai mengeringdan luka mulaimenyempit, panjang
luka 1 cm
-
8/9/2019 B08gar
44/92
33
6
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka mulaimengering dan berwarnamerah pucat, tepi luka
mulai mengering, panjangluka 1,1 cm
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka sudahmengering, tepi lukamulai mengering, dan
mulai terbentukkeropeng, luka mulaimenyempit, panjang luka0,9 cm
Luka terbuka, tepinyamasih terpisah dantampak kekuningandan mulai mengeringnamun terlihat lembab,
tepi luka mulaimengering dan lukamulai menyempit,panjang luka 0,9 cm
7
Luka terbuka dan tepinyamasih terpisah danmelebar, luka sudahmengering, tepi luka mulaimengering, belumterbentuk keropeng, lukamulai menyempit, panjangluka 0,9 cm
Luka sudah mengering,dan terbentuk keropengtepinya mengeras,tampak kekuningan danluka mulai menyempit,panjang luka 0,8 cm
Luka sudah mengering,dan terbentukkeropeng, tepinyakering mengerastampak pucat, dan lukamulai menyempit,panjang luka 0,8 cm
8
Luka sudah mengering
dan pucat, mulai terbentukkeropeng tepinyamengering dan masihterbuka namun luka mulaimenyempit, pan jang luka0,8 cm
Luka sudah mengering,
terbentuk keropengtepinya mengeras,tampak kekuningandan luka mulaimenyempit, pan jang luka0,7 cm
Luka sudah mengering,
terbentuk keropeng,tepinya keringmengeras tampakpucat, dan luka mulaimenyempit, panjangluka 0,7 cm
9
Luka sudah mengeringdan pucat. Sudah terdapatkeropeng. Lukamenyempit. Panjang luka0,7 cm
Luka seluruhnya tertutupkeropeng. Sebagiankeropeng sudah adayang terlepas, panjangluka 0,5 cm
Luka sebagian tertutupkeropeng. Tepi lukasemakin menyempit,panjang luka 0,5 cm
10
Luka sudah mengering.Sudah terdapat keropeng.Luka mulai menyempit,panjang luka 0,6 cm
Luka seluruhnya sudahtertutup keropeng.Sebagian keropengsudah ada yang terlepas,luka menyempit, panjangluka 0,3 cm
Luka sebagian tertutupkeropeng, sebagiankeropeng sudah adayang terlepas, Tepiluka semakinmenyempit, panjangluka 0,2 cm
11
Luka sudah mengeringdan menyempit. Seluruhluka ditutupi keropeng,panjang luka 0,5 cm
Luka sudah tertutup.Sebagian keropengsudah mulai lepas.Panjang luka 0,2 cm
Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepaskeseluruhan. Namunbekas luka masihterlihat
12
Luka sebagian tertutup.Sebagian keropeng mulai
terkelupas, panjang luka0,5 cm
Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepas
keseluruhan, panjangluka 0,1 cm
Luka sudah tertutup,keropeng sudah lepas
keseluruhan, bekasluka masih terlihat
13
Luka sebagian tertutup.Sebagian keropeng sudahlepas. Panjang luka 0,3 cm
Luka sudah tertutup,mulai ditumbuhi rambut.Bekas luka masih terlihat
Luka sudah tertutup,mulai di tumbuhirambut. Bekas lukamasih terlihat
14
Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepassebagian, panjang luka 0,1cm
Luka sudah tertutup.Mulai ditumbuhi rambut.Bekas luka masihterlihat
Luka sudah tertutup.Mulai ditumbuhirambut. Bekas lukamasih terlihat
15
Luka sudah tertutup.Keropeng sudah lepas
keseluruhan, namun bekasluka masih terlihat
Luka sudah tertutupMulai ditumbuhi rambut.
Bekas luka mulai tidakterlihat
Luka sudah tertutup,mulai ditumbuhi
rambut. Bekas lukamasih terlihat
-
8/9/2019 B08gar
45/92
34
16
Luka sudah tertutup. Mulaiditumbuhi rambut. Bekasluka masih terlihat
Luka sudah tertutup.Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat
Luka sudah tertutup.Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat
17-21
Luka sudah tertutup.
Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat
Luka sudah tertutup.
Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat
Luka sudah tertutup.
Sudah tertutup rambut.Bekas luka sudah tidakterlihat
Hasil pengamatan patologi anatomi pada penelitian ini selaras dengan
hasil pada penelitian terdahulu, dimana getah batang pohon pisang secara
umum memberikan efek percepatan persembuhan luka akut pada mencit. Hasil
pengamatan patologi anatomi pada ketiga kelompok perlakuan pada hari
pertama hingga hari ke-3 tidak menunjukkan perbedaan, dimana luka dari ketiga
kelompok masih sama-sama terbuka dan basah (Gambar 4).
Luka yang diamati pada mencit menurut mekanisme terjadinya luka adalah
luka insisi. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka termasuk kelompok luka
stadium III, yaitu hilangnya kulit secara keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak
melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai
suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Menurut waktu penyembuhannya luka yang diamati termasuk luka akut.
Warna merah pada luka merupakan hasil dari suatu peradangan terhadap
luka. Reaksi ini berupa vasokonstriksi dari pembuluh darah yang segera diikuti
oleh vasodilatasi. Adanya gumpalan darah merupakan reaksi platelet yang
teraktivasi dan protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan oleh pembuluh darah.
Platelet akan teraktivasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang akan
menghentikan hemoraghi dan akan terlihat berupa gumpalan darah.
Gambaran makroskopis sampai hari ke-5 dari luka kelompok perlakuan
dengan sediaan salep ekstrak batang pohon pisang terlihat lebih sempit jika
dibandingkan dengan kontrol negatif (Gambar 5). Namun permukaan luka pada
ketiga kelompok masih terlihat lembab, hal ini dipengaruhi oleh faktor pembawa
dari sediaan salep, yaitu vaseline, parafin solid dan oleum coccos yang termasuk
dalam kelompok dasar salep hidrokarbon. Dasar salep hidrokarbon adalah dasar
bersifat lemak, bebas air, preparat yang berair mungkin dapat dicampur hanya
dalam jumlah sedikit saja. Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek
emolien. Dasar salep tersebut tertahan pada kulit dan tidak memungkinkan
-
8/9/2019 B08gar
46/92
35
kelembaban kulit terlepas ke udara (Ansel 1989). Menurut Somantri (2007),
perkembangan perawa