AYAT DAN HADIS HUKUM TENTANG HISAB DAN RUKYAT Oleh ...
Transcript of AYAT DAN HADIS HUKUM TENTANG HISAB DAN RUKYAT Oleh ...
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
60
AYAT DAN HADIS HUKUM TENTANG HISAB DAN RUKYAT
Oleh: Firdaus
Dosen Prodi Al Ahwal Al Shakhsyiyyah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB)
ABSTRAK
Sesungguhnya yang lebih menyentak dipemikiran masyarakat adalah kenapa
penetapan tanggal satu Muharram sebagai tahun baru Hijriyah, tanggal 12 Rabiul Awal
tanggal kelahiran Nabi Muhammad saw., dan tanggal 27 Rajab peringatan Israk Mikrajnya
Nabi Muhammad saw., yang semunya ini menjadi hari libur Nasional di Indonesia tidak
ada perbedaan. Ada lagi yang lebih sulit dalam mengetahui terjadinya gerhana Matahari
dan gerhana Bulan bisa diketahui dengan detil. Logika umum melihat hal ini bisa sama,
karena bulannya satu, mataharinya satu dan buminya juga satu. Sudut pandang kita adalah
kenapa bisa berbeda dalam menetapkan awal Ramadan dan awal Syawal padahal
Matahari, bulan dan buminya sama. Sejatinya tentu sama pula dalam berpuasa dan
beridulftri.
A. PENDAHULUAN
Materi ini diangkat berdasarkan kasus yang paling dekat tat kala menetapkan hari
raya Idul Adha 1436 H/2015 di Sumatera Barat ada empat hari; hari Selasa tgl 22-9-2015
Tharikat Naksabandi, hari Rabu tgl 23-9-2015 Muhammadiyah, hari Kamis
pemerintah/Kemenag, dan hari Jumat beberapa daerah seperti di Pariaman. Dari yang
empat itu merasa benar menurut pendapat masing-masing. Timbul pertanyaan, kenapa tiba
penetapan tgl satu Muharram 1437 H sama yaitu hari Rabu tgl 14 September 2015.
Kejadian ini sering berulang. Akal jadi bertanya kenapa bisa berbeda padahal yang
dihitung (hisab) dan dilihat (rukyah) hanya satu yakni bulan. Kiranya masalah ini perlu
telaahan yang serius karena kepentingan ibadah.
Penentuan awal waktu ibadah didalam Islam selalu dikaitkan dengan fenomena
alam khususnya peredaran matahari, bulan dan bumi . Semua awal waktu salat mulai dari
fajar hingga isya semuanya tidak luput dari posisi Matahari yang secara sederhana
digambarkan dengan bayang-bayang benda tegak lurus dan munculnya syafaq serta fajar.
Salat gerhana juga dikaitkan dengan peristiwa terjadinya dimana posisi Matahari, Bumi
dan Bulan berada pada posisi yang sejajar secara vertikal sehingga sinar Matahari ada
yang terhalangi oleh bumi atau bulan . Hal yang sama juga berlaku bagi ibadah puasa dan
haji. Kewajiban ibadah puasa dalam pelaksanaannya dikaitkan dengan masuknya awal
Ramadan. Syawal serta ibadah haji dengan awal masuknyabulan Zulhijah.
Perbedaan itu muncul akibat dari dalil yang memang memberikan peluang untuk
dipahami berbeda. Alquran tidak memberikan secara operasional teknis menentukannya,
sementara hadis-hadis yang membicarakan masalah ini juga tidak satu, tetapi terdiri dari
berbagai versi dan redaksi. Di sampingitu, juga ada hadis lain yang menyatakan kondisi
sosiologis masyarakat Islam ketika awal perkembangan pembinaan hukum Islam belum
memiliki kemampuan dan penguasaan ilmu astronomi secara baik. Pengakuan Nabi saw
itu, dipahami sebagai illat adanya perintah rukyatul hilal. Pada ranah yang lebih teknis
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Alquran dan Sunah tersebut diapresiasi dan
diamalkan dengan cara yang beraneka ragam dengan berbagai variasinya. Persoalannya
semakin rumit ketika masalah ini tidak lagi murni masalah konsep tetapi sudah dimasuki
oleh kepentingan politik, ekonomi dan sosial.
Secara garis besar polemik yang dimaksud berakar dari berbedanya dalam
memahami nas yang sama dan berbeda dalam mendudukkan apakah model yang
digunakan masuk pada wilayah ta'abudi atau ta'aquli. Oleh karena berbeda dalamranah
pemahaman terhadap dalil tentu berimplikasi pada metode yang digunakan. Hasilnya bisa
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
61
sama dan berbeda, dalam artian tanggal sama hari berbeda.
Persoalan ini adalah masalah yang sudah lama yang terus sepanjang tahun selalu
aktual. Dikatakan lama karena wacana ini sudah muncul sejak awal pembinaan hukum
Islam-zaman Nabi saw masih hidup sampai pada masa sahabat-sesuaidengan kondisi dan
perkembangan umat ketika itu. Pada masa ini penentuan awal bulan satu-satunya cara
yang digunakan untuk menentukan awal bulan hanyalah rukyat dengan mata terbuka.
Secara sosiologis kondisi itu sangat dimaklumi karena beragam keterbatasan baik letak
geografis Madinah yang merupakan wilayah agraris maupun karena faktor sumber daya
manusia yang belum menguasai bidang eksak danastronomi.
Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mengalami perkembangan dan
kemajuan. Hal ini juga berpengaruh kepada model yang digunakan, caranya mengalami
percepatan yang lebih jauh. Perhitungan waktu detik, menit dan jam dapat dihitung secara
akurat. Jadi, kalaupun hilal karena pengaruh dari awan dan cuaca seperti yang dijelaskan
dalam hadis "ketika dalam keadaan mendung" tidak memungkinkan untuk melihatnya
dapat dihitung secara akurat keberadaan hilal apakah sudah ada ataupun belum. Kemajuan
ini mengambil bentuk dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu ilmu hisab atau ilmu falak. Di
dalamnya tidak hanya mengkaji masalah penentuan awal bulan semata tetapi juga prediksi
gerhana, awal waktu salat, dan penentuan arah kiblat, yang kesemuanya terkait dengan
masalah ibadah praktis, tetapi juga untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Output ilmu
terapan ini diterima hampir semua kelompok Islam tanpa resistensi kecuali penentuan awal
bulan. Sebagian di antara umat Islam masih belum bisa menerimanya dengan alasan
tertentu. Perbedaan yang terjadi hampir setiap tahun itu baik mengawali puasa Ramadhan,
Idul Fitri maupun Idul Adha adalah konsekuensi logis dari itu semua.
Secara umum perdebatan tersebut dapat dipetakan kepada dua arus besar, yaitu
rukyat dan hisab. Dalam ranah praktis perbedaan tersebut tidak hanya berlaku pada dua
arus yang disebutkan itu, tetapi keadaannya semakin ramai terjadinya perbedaan di internal
rukyat dan hisab. Sehubungan dengan hal itu, makalah ini tidak dimaksudkan untuk
memperkuat salah satu dari yang berbeda tersebut, tetapi Adalah elaborasi dari dasar-dasar
kedua metode yang secara teoritis-teknis tidak dijelaskan secara tegas dalam nas. Artinya,
nas dalam hal ini hanyalah memberikan isyarat-isyarat saja. Oleh sebab itu, dalam hal ini
ada peluang untuk berbeda dalam memahaminya.
B. Kriteria Hisab Awal Bulan
Perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah terutama Ramadan, Syawal dan
Zulhijah secara garis besar terbagi kepada dua arus besar, yaitu rukyat dan hisab. Pertama,
aliran rukyat. Menurut mazhab ini penentuan awal dan akhir bulan Ramadan ditetapkan
berdasarkan rukyat atau melihat bulan yang dilakukan setiap tanggal 29. Apabila rukyat
tidak berhasil, baik karena posisi hilal memang masih berada di bawah ufuk (negative)
atau posisi hilal sudah wujud namun karena terlalu rendah ataupun terhalang oleh awan,
maka penetapan awal bulan harus berdasarkan istikmal. Jadi dalam mazhab ini hanya ada
dua model, yaitu rukyat atau istikmal. Term rukyat dalam hadis-hadis hisab-rukyat pada
ranah ini juga dipahami sebagai ta'abudi11. Artinya, perintah untuk melakukan rukyat tidak
dapat dirasionalkan pengertiannya sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat pula
dikembangkan. Oleh sebab itu, rukyat hanya diartikan sebatas melihat dengan mata kepala.
Pada tingkat operasional, aliran ini juga terbagi ke dalam berbagai varian. Meskipun
demikian di internal rukyat sendiri terdapat berbagai varian yang berimplikasi berbeda
dalam memulai puasa dan berhari raya. Kemudian rukyat bil fi‟li dengan menggunakan
alat. Pada ranah ini juga muncul beberapa varian pendapat. Ibn Hajar al-Haitami misalnya,
berpendapat bahwa tidak sah penggunaan cara pemantulan melalui permukaan kaca atau
11
Bakhtiar , penentuan Awal Bulan Qamariah, dalam Iqtishaduna Jurnal Hukum Ekonomi
Islam IAIN Imam Bonjol Padang , volume 1, no 2 Oktober 2009, h.228
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
62
air (nahwamir'atin) 12 . Sedangkan al-Syarwani berpendapat penggunaan alat yang
mendekatkan atau membesarkan seperti Teleskop, air, Ballur (benda yang berwarna putih
seperti kaca) masih dapat dianggap sebagai rukyat13
. Hampir senada dengan al-Syarwani,
al-Muthi'i mengemukakan bahwa penggunaan alatoptik (nazharah) sebagai penolong
(dapat) diizinkan karena melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyat
sendiri.14
Kedua, aliran hisab. Menurut mazhab ini rukyat hanyalah sebagai salah satu media
penunjuk apakah hilal sudah ada atau belum. Memang pada masa Rasulullah SAW untuk
menentukan awal bulan kamariah hanyalah satu-satunya rukyat. Hal itu sesuaidengan
kondisi umat Islam ketika itu yang sama sekali masih sangat terbatas dalam sumber daya
manusia terutama yang mampu dalam ilmu eksakta dan astronomi. Oleh sebab itu, hadis-
hadis yang memerintahkan untuk melakukan rukyat pada konteks ini bersifat temporer.
Dalam hal ini, juga dipahami bahwa ketika bulan Ramadan telah masuk umat
Islam diwajibkan untuk berpuasa. Hanya saja untuk mengetahui apakah awal bulan
Ramadan sudah masuk atau belum, rukyat yang dijelaskan. Di dalam banyak hadis,
hanyalah salah satu cara sesuai dengan kondisi umat Islam ketika hadis itu muncul. Akan
tetapi, jika sudah ada cara yang lebih akurat dan kepastian hukum lebih cepat didapatkan
selain rukyat. Dalam konteks inilah ilmu hisab mengambil peran strategis karena secara
keilmuan bidang inilah yang sesungguhnya memiliki otoritas untuk itu.15
Jadi, praktek
rukyat bukanlah wilayahnya ta'abudimelainkan ta'aquli. Dalam wilayah yang disebutkan
terakhir bisa lebih dikembangkan sesuai dengan perkembangan sains dan ilmu
pengetahuan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang terdapat di dalam nas.
Dalam kaitannya dengan pertanda yang menunjukkan awal atau akhir bulan secara
umum, hisab hanya menghitung posisi bulan terhadap matahari dan bulan terhadap bumi
pada tempat-tempat tertentu. Sedangkan untuk menentukan awal bulan (tanggal satu bulan
Kamariyah) dikenal beberapa kriteria. Pertama, kriteria ijtima` qabla al-gurub. Menurut
kriteria ini awal bulan dihitung sejak terjadinya ijtima `(conjunction). 16Jika ijtima` terjadi
sebelum matahari terbenam, maka malam hari dan keesokan harinya dapat ditetapkan
sebagai tanggal satu bulan baru. Akan tetapi jika Ijtima` terjadi setelah matahari terbenam,
maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang
sedang berlangsung.17 Kedua, kriteria imkan al-ru‟yat. Sistemyang dibangun di dalam
kriteria ini awal bulan dihitung berdasarkan pada ketinggian hilal pada saat terbenam
matahari setelah terjadinya ijtima‟: 18Jika hilal menurut hisab sudah mencapai pada
ketinggian yang memungkinkan dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dapat
ditetapkan sebagai tanggal satu bulan baru. Akan tetapi jika belum mencapai pada
12
Syihabudin Ahmad hajar al-Haitami , tuhfah al Muhtaj, ( Beirut : tt), jilid III, h.382 13
Abdul Hamid Al Syarwani, Hasyiyah al Syarwani , Beirut :tt) Jilid III h.332 14
Al-Muthi‟i, Mizan al I‟tidal, (Beirut : tt) h.35 15
Bakhtiar ,op.cit, h.229 16
Saat bulan dan matahari "bertemu" pada bujur ekliptik yang sama. Jika lintangnya jugasama,
maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang lalu para astronom sudah dapat
menghitung Ijtima‟ribuan tabun ke depan dengan kesalahan kurang dan 1 (satu) menit. Ijtima' terjadi
serentak dan hanya sekali dalam setiap bulannya. Berbeda dengan gerhana, Peristiwa ijtima` ini tidak
bisa dilihat oleh mata kepala karna sinar matahari yang berada di belakang bulan sangat menyilaukan.
Lihat Fahmi Anhar, "Pengantar Memahami Astronomi Rukyat: Mencari Solusi Keseragaman waktu-
waktu ibadah", h. 1. Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal
Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pascasarjana Magister
Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, di Yogyakarta tanggal 19-20 Oktober 2002 17
Dalam perkembangannya, penetapan berdasarkan Ijtima' ini menjadi Ijtima' sebelum tengah
malam dan Ijtima' sebelum fajar menyingsing 18
Berdasarkan fikih, rukyat harus dilakukan pada tanggal 29 syakban tanpa memperhitungkan
sudah ijtima‟ atau belum
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
63
ketinggian yang memungkinkan dapat dilihat, maka senja itu dan keesokan harinya
ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.
Namun dalam penentuan kriteria imkan al-ru‟yat inibelum ada kesepakatan,19
sehingga bagaimanapun juga akan senantiasa terjadi keragaman dan ketidakpastian, baik
antara ahli hisab dengan rukyat maupun dengan sesama ahli hisab. Ketiga, kriteria wujud
al-hilal, kriteria ini menganggap hilal sudah wujud bila matahari terbenam (sun set) lebih
dahulu daripada bulan terbenam (moon set) pada akhir bulan kamariyah tanpa ada batasan
minimal ketinggian hilal.20
Jika hilal sudah wujud sekalipun sejarak satu menit atau
kurang, maka senja dan keesokan harinya sudah dimulai bulan baru.21
Akan tetapi bila
bulan terbenam lebih dahulu daripada matahari, berarti hilal belum wujud (negatif berada
di bawah ufuk) maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari
bulan yang sedang berlangsung.
Secara teknis hisab juga sama halnya dengan rukyat, hisab dalam internal muncul
berbagai varian, di antaranya; hisab haqiqitaqribi. Aliran ini dalamoperasionalnya
menggunakan data bulan dan matahari didasarkan pada data yang terdapat dalam tabel
Ulugh Bek22
dengan perhitungan yang sederhana tanpamenggunakan ilmu ukur segitiga
bola (spherical trigonometry). Secara teoritis model ini lebih banyak dipengaruhi oleh
teori Ptolomeus yang menyatakan bahwa bumi ini datar.Selanjutnya metode hisab
haqiqitahqiqi. Secara teoritis model ini menggunakan dasar-dasar astronomi modern yang
dipengaruhi oleh para astronom muslim masa laluyang dikembangkan oleh astronom
modern. Dalam operasionalnya model ini menggunakan penghitungan dengan menentukan
posisi matahari, bulan dan titiksimpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem
koordinat ekliptika danmenggunakan ilmu ukur segitiga bola, tetapi menggunakan
penghitungan yang agak rumit.Dalam operasionalnya, metode ini jauh lebih akurat dari
yang kedua karena sudah dilakukan koreksian dengan menggunakan data-data baru.
Sebagai alat bantunya sudah menggunakankalkulator dan computer
C. Hisab Rukyat dalam Alquran dan Sunah
Pada dasarnya, dalil yang dijadikan pijakan baik oleh yang memegang hisab maupun
rukyat secara umum dapat dikatakan tidak berbeda karena keduanya samasama berpatokan
19
Secara astronomis, menurut Danjon setelah berulang kali melakukan penelitian/ pengamatan,
hilal tidak mungkin dapat dilihat, jika selisih sudutnya dari matahari kurang dari 70 dengan beda azimut
harus 00
. (Schafer,1991:265). Ketetapan ini kemudian diperkuat oleh hasil penelitian Mamer Diezer di
Cindily Observatory, bahwa hilal baru dapat jika selisih sudut dari matahari (angular distance) 80 dengan
ketinggian (irtifa;) minimum 50 diatas ufuk. Ketentuan Diezer ini kemudian disepakati dalam konferensi
penyatuan kalender hijriyah international di Istanbul Turki pada tanggal 26-27 April 1978. Lihat
M.Ilyas, A Modern Guide to Astronomical Calculations of Islamic Calen-dar, Times and Qibla,(Kuala
Lumpur: berita publishing SDN.BHD.1984),h.107 sementara di Indonesia telah ditetapkan Irfa‟ 20
dengan umur bulan (tenggang waktu antara Ijtima‟ dengan terbenam matahari ) 8 jam. Akan tetapi
dalam kenyataanya, teori ini tidak konsisten dalam mengimlementasikannya karena sering menyatakan
hilal berhasil dirukyat, padahal ketinggiannya berdasarkan hasil hisab kurang dari 2°. 20
Setelah terjadinya Ijtima` bulan bergerak makin tinggi dan lambat laun akan menyentuh
horizon bagi tempat di bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Jika bulan tepat di horizon,
maka dikatakan irtifa'nyanol, semenjak inilah hilal dapat dinyatakan wujud atau positif di atas ufuk.
Semakin lama semakin tinggi, dan dalam tempo 24 jam (satu hari), hilal akan bergerak sekitar 12°.
Fahmi Anhar, "Pengantar Memahami", h. 2. 21
Wardan, Hisab Urfi, hlm. 42-43 22
Ia adalah ahli falak yang mempelopori berdirinya observatorium di Samarkand. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Taragai Ulugh Beg, di Barat dikenal dengan Tamerlane. Lahir di
Soltamiya 1394M dan meninggal dunia pada 27 Oktober 1449M di Samarkand, Uzbekistan. Hasil
penelitiannya terhimpun dalam zijJadidiSulthani. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 160
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
64
pada nas yang sama. Perbedaannya terletak pada pemahaman dan penafsiran terhadap
sumber atau dalil hukum. Meskipun demikian terdapat sedikit perbedaan yang cukup
menarik untuk didalami. Rukyat disebut secara eksplisit dalam Sunah, tetapi tidak disebut
dalam Alquran. Sebaliknya hisab secara eksplisit disebut dalam Alquran tetapi tidak dalam
Sunah.
Adapun ayat-ayat Alquran yang menyebutkan hisab dalam kaitannya dengan
keberadaan posisi bulan dan matahari adalah;
23
"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda(kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui."
24
"Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam
dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan
supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan."
25
"Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan
(menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan."
Kemungkinan posisi bulan dan matahari dapat dihitung, mengingat kedua benda
tersebut, sebagai disebut dalam Alquran masing-masing memiliki orbit (falak) dan
periode peredaran tertentu dan teratur, apalagi bulan memiliki fase-fase penampakan
(manzilah) yang secara jelas terlihat dari bumi
26
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan."
Dari semangat ayat ini penulis kira bahwa perhitungan penanggalan tahun
masehi, bumi menglilingi matahari dalam waktu 365,25 dari sinilah hitungan satu
Januari sampai 31 Desember. Sementara itu bulan mengelilingi bumi sebanyak 12
kali dalam setahun, selesai dalam waktu 354 hari inilah hitungan tahun Hijriyah atau
hitunngan Kamariah. Kata “husban” jamak dari “hisab” artinya
perhitungan,bihusban maksudnya perhitungan yang sangat teliti. Di Kementrian
Agama RI dahulunya Departemen Agama (DEPAG) sudah diterbitkan buku
Ephemeris Hisab Rukyat yang memuat data matahari dan bulan, maka semua
23
Q.S. Yunus:5 24
Q.S. al-Isra‟ :12 25
Q.S. al-An‟am [6] :96 26
Q.S. al-Rahman [55] : 5
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
65
waktu; awal bulan dan arah kiblat, gerhana matahari dan bulan bisa dihitung.
27
"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit ituadalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji".
28
“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,
sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk
tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun
tidak dapat mendahului siang dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
29
"Dan Dia menundukkan matahari dan bulan masing-masing beredar`hingga waktuyang
ditentukan."
30
"Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke
dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan dia tundukkan matahari dan
bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan."
31
"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malamdan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu ' Yang
ditentukan."
32
"Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia menutupkan malam
atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan,
masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan."
Sementara rukyat didasarkan pada hasil penafsiran dari ayat, seperti dalam surat al-
27
Q.S. al-Baqarah [2] :189 28
Q.S. Yasiin [36] : 38-40 29
Q.S. al-Ra‟d [13]:13 30
Q.S. Luqman [31] :29 31
Q.S. al-Fathir [35] : 13 32
Q.S. al-Zumar [39] : 5
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
66
Baqarah berikut ini:
33
Kata "syahida" dalam ayat ini ditafsirkan oleh sejumlah ulama, sebagai rukyat dan
"al-syahra" sebagai hilal, sehingga syuhud al-syuhur dipahaminya sebagai "ru‟yat alhilal
" dan hisab tidak bisa dikategorikan ke dalam pengertian syuhud al-syuhur.34Kelanjutan
ayat itu, berbicara tentang orang yang sakit atau orang yang sedang bepergian, sehingga,
“faman syahida minkum al-syahr" dapat juga ditafsirkan sebagai "orang yang berada di
tempat (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat". Lain halnya Salman Harun anggota
Tarih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ayat ini mestinya didahulukan sebagai dasar
untuk menetapkna awal bulan Ramadan tapi kenyataannya mendahulukan hadis.
Alasannya bila menilik Tafsir Ibn Katsir ini mutlak wajib hukumnya bagi siapa yang
menyaksikan hilal bulan itu, yakni bagi orang yang menetap di negeri itu ketika bulan
Ramadan itu masuk. Makna syahadahitu ilmu yang diperoleh melaluibashirah atau
bashar. Bashirah dan bashar adalah potensi hati untuk mengindera atau kekuatan hati.
Kekuatan hati disebut juga kekuatan akal. Makna shahadah mengetahui melalui akal. Jadi
syahadah di atas maksudnya menyaksikan hilal dengan ilmu pengetahuan. Astronomi
sekarang sudah begitu maju, para ahli sudah dapat menhitung jarak, posisi, kecepatan
benda angkasa bahkan lebih jauh dan besar jika dibanding jarak bulan dengan matahari35
.
Kajian ini mengisyaratkan betapa pentingnya perkembanagan ilmu pengetahuan
teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu bagian dari isi
kandungan Alqran yang tidak kurang pentingnya bagi kehidupan manusia. Betapa
banyaknya ayat merangsang dan mendorong para ilmuwan supaya memperhatikan alam
semesta, dan menggali ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyaknya di antaranya
menyelidiki ruang angkasa36
.
Syamsul Anwar ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah empat priode sampai
sekarang, dari beberapa bukunya menulis tetang hisab di antaranya Diskusi dan
Korespodensi Kalender Hijriah Global Yogyakarta, Suara Muhammadiyah 2014 setebal
300 halaman, intinya adalah kalau tahun masehi berdasarkan edar matahari bisa disatukan
kalendernya kenapa kalender hijriah yang bulan mengelilingi bumi juga satu, mestinya
bisa bersatu pula. Selanjutnya dalam buku tersebut37
. Ada tiga pakar yang
dikedepankannya; Muhammad Rasyid Rida: Tujuan Pembuat Syariah…bukan untuk
menjadikan rukyat hilal sebagai ibadah itu sendiri. Pengaitan penetapan bilanagan 30 hari
apabila tidak terlihat, „ilatnya adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih
ummi38
Mustafa Ahmad az-Zarqa: Saya yakin benar bahwa para ulama salaf kita itu, yang
menolak penggunaan hisab, seandainya mereka hidup di zaman sekarang dan
menyaksikan kemajuan mengagumkan yang dicapai astronomi (ilmu falak) pastilah
mereka akan mengubah pendapatnya39
. Yusuf Qardawi: Apabila terdapat sarana lain yang
lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari kemungkinan keliru,
33
Q.S. al-Baqarah [2] : 185 34
Lihat Ahmad Musytafa al-Maragi,Tafsir al-Maragi,Juz II, hlm 72; Sayyid Sabid, Fiqih al-
Sunnah, Juz I, hlm.435, Wahbah al-Zuhayli, Al-tafsir al Munir fi al-„Aqidah wa al-Syariah wal al-
Manhaj,Juz II, hlm.142 35
Artikel dengan judul “Metode Syahadah” Untuk Penentuan Penanggalan Kalender Hijriyah
dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi no. 17 th ke 100 September 2015 36
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 2014 h.109 37
Hisab Bulan Kamariyah tinjauan Syar‟i tentang Awal Bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah
Yogyakarta, Suara Muhammadiyah 2008 38
Op.cit. h 22 39
Loc.cit. h 31
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
67
kesalahan, dan kebohongan mengenai masuknya bulan baru,…yakni setelah di kalangan
mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli-ahli astronomi, … maka mengapa kita masih
tetap jumud dalam soal saran yang tidak menjadi tujuan pada dirinya40
Akhirnya Syamsul
juga berpendapat Satu hal perlu dicamkan betul bahwa umat Islam tidak akan pernah
mungkin bisa membuat suatu sistem kalender Kamariah internasional terpadu tanpa
memegangi hisab.
Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya
penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakanhisab.
يةف لف أ افي أ لا يأىل لا ي أ لاسف ي لش تأ حفي ف لا ي ف ل أ لا أ لا
Artinya : Pada asasnya penetapan bulan kamariah itu adalah dengan hisab41
.
Setelah mengemukan aya-ayat tentang hisab dan rukyat, perlu pula ditampilkan
hadis-hadis tentang hisab dan rukyat. Dalam sunah, bukan "hisab" yang disebutkan secara
eksplisit tetapi “rukyat” seperti yang terdapat dalam hadis dari `Abdullah ibn 'Umar dan
`Abdullah ibn `Abbas yang diri-wayatkan Malik ibn Anas (93-179) dalam kitab-nya
Muwatha'.42
ع ةعس سس صى عسروسزض فم لادص حذىذس لا دفطس حذىذسفإغعىف لدز
: ،ع
سس صى عسم لسد عجعلسفلادص حذىذس لا دفطس حذىذسفإغعىف لدز
.
ع ةعت سأسس صى عسروسزض فم لادص حذىذس لا دفطس حذىذسفإغعىفأو
عدد عدث لا
Hadis yang sama baik sanad maupun matannya ataupun yang sedikit berbeda
sanad dan matannya namun memiliki kesamaan makna dan substansinya.
„Abd al-Razâq(126-211 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah dan Ibn Umar:
عي ةيسسثي ي تي ىياللهيعيسيل يي يلاييزض يإذ يز ذي ص ي يإذ يز ذي
أ طس ي إيغيعىي أد ي لا ي ىييدصي طسوييدفطسيش دي ةيجسجي ير ي
ل ييزسيياللهي ىياللهيعيسيإذ يز ذي لايي ص يإذ ي : لدثي ضل وييدضل،يع
.ز ذي أ طس ي إيغيعىي ص ي لا
عي ةيعسيل ييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسيإياللهيجعي لأجي لخي ضي ص يسؤذي
ي تي ىياللهيعيسيل ييلاييشسي : طس يسؤذي إيغيعىي عد يي لا ي ،يع
زض يإذ يز ذي ص ي يإذ يز ذي أ طس ي إيغيعىي لدز يي لا ي 43
Ibn al-Ja„d al-Bagdâdî(134-230 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah:
مييل يي ةي م سي ىياللهيعيسي يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي لسيعي ةيسسثي
عد ي لا 44
Muòammad ibn Idrîs al-Šâfi„î (150-204 H) meriwayatkan dari Abu Hurayrah:
عي ةيسسثيزضياللهيعي يزسيياللهي ىياللهيعيسيل يي ي يدمد ي لسيةي ييإ ي
ي كيذهي يو يصي حدوي يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي عد ي لا 45
40
Loc.cit. h 33 41
Syaraf Al-Qudah, "Subut asy-Syahr al-Qamari baina al-hadis an-Nabawi wa al-'Ilm al-Hadis,"
<http://www.icoproject.org/pdf/sharaf_1999.pdf>, h. 8, akses 13-12-2007 ; pernyataan yang sama
ditegaskan juga oleh Absim dan al-khanjari,"waqt al-fajr ka Bidayah li al-Yaum wa asy-Syahr al-
Qamari ,"<http://www.amastro.ma/articles/art-bmk1.pdf>, h. 6, akses 25-02-2008 ; dan al-Hasysyani
dan Asyqifah, " Tariqat Hisab asy-syuhur al Qamariyyah fi al-
jamahiriyyah,"<http://www.amastro.ma/articles/art-lb2.pdf> , h. 3 , akses 25002-2008 42
Malik ibn Anas , Muwatha‟ al-Imam Malik . ( Mesir : Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi,t.th).(2
Juz) Tahqiq : Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi. Juz I . hlm. 286-287 43
Abû Bakr „Abd al-Razâq ibn Hamam al-Èan„ânî. Al-Muèannaf, (Bayrût: al-Maktab al-Islâmi,
1403), Taòqîq Òabîb al-Raòmân al-A„ìami. Cetakan Kedua (11 Juz). Juz IV. hlm. 156. 44
„Ali ibn al-Ja„d ibn „Ubayd, Abu al-Hasan al-Bagdâdî. Musnad Ibn al-Ja„d. (Bayrût:
Muasasaú Nadir. 1990). Cetakan Pertama (1 Juz). Taòqîq: Amir Aòmad Haydar. hlm. 174.
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
68
Abu Dâwud al-Ùayâlisî (204 H) meriwayatkannya dari Abu Bakrah, Ibn Umar dan Abu
Hurayrah:
عي ةيةىسثيل ييل يي تي ىياللهيعيسي يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي أو ي عدثي
. لا ي 46
عي ةيعسيل ييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسي يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي ألدز ي
.47
عي ةيسسثيل ييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسي يسؤذي طس يسؤذي يغيعىي عدي
. لا 48
Abû Bakr ibn AbîŠaybah (159-235 H) meriwayatkannya dari Ibn `Abas:
عي ةيعت ضيل ييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسي يدص يلتيزض ي يسؤذي طس ي
سؤذي يح خيديغ جي ى ي لا 49
Ahmad ibn Hanbal (164-267) meriwayatkannya dari Ibn `Abbas dan Abu
Hurayrah,:
عي ةيعت ضيمييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسي يسؤذي طس يسؤذي إيح ييةىيةي
سل اي ى ي عدثي لا ي يد ذمت ي لسي سذمت يل ييح ديعىيعدثيشعت 50
يسؤذي :،ع
طس يسؤذي إيح ييديغ ةي أو ي عدثي لسيد عيعلسيعىي ي لص51
عي ةيسسثيل ييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسي يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي لسي
أو ي عدثي لا 52
يغيعىي أو ي عدثي لا :،يع53
يدمد ي لسيةي يي :،يع
ي ي كي حدوي يو يصي يسؤذي طس يسؤذي يغيعىي أد ي لا ي ي ي
طس 54
يغيعىي عد ي لا :يع55
يدص يحذىيدس ي لايي يدفطس يحذىيدس ي :،يع
لاييل يي يسؤذي طس يسؤذي يغىيعىي عد ي لا 56
يدمد ي لسيعي :،يع
زض يةي يةي ي ي كيذهي يو يصي حدوي يسؤذي طس يسؤذي إي
غيعىي عد ي لا ي ي طس 57
Al-Harîå ibn „Uåamah (186-282 H) meriwayatkannya dari Ibn `Abbas:
عي ةيعت ضيعي تي ىياللهيعيسي يل يي يسؤذي طس يسؤذي إي غيعىي عد ي
لا 58
Al-Buóârî (194-256 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah:
زضياللهيعيمييل يي تي ىياللهيعيسي يل ييل يي ةي م سي ىياللهيعيسيعي ةيسسثي
يسؤذي طس يسؤذي إيغتيعىي أو يعدثيشعت ي لا 59
45
Muhammad ibn Idrîs, Abû „Abdullâh al-Šâfi„î. Musnad al-Šâfi„î. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyah. t.th.) (1 Juz). hlm. 187. 46
Sulaymân ibn Dâwud, Abu Dâwud al-Farisî, al-Baèri al-Ùayâlisî. Musnad al-Ùayâlisî,
(Bayrût: Dâr al-Ma„rifaú. t.th.), (1 juz). hlm. 118. 47
Ibid. hlm. 249. 48
Ibid. hlm. 304. dan 325. 49
Abû Bakr „Abdullâh ibn Muòammad ibn Abi Syaybah al-Kûfî. Al-Kitâb al-Muèannaf fi al-
Aòâdiå wa al-Aåar, (al-Riyâæ: Maktabaú al-Rušd. 1409). Taòqîq: Kamal Yusuf al-Huù, (7 Juz). Juz II.
hlm. 284. 50
Aòmad ibn Òanbal Abu „Abdullâh al-Šaybânî. Musnad al-Imâm Aòmad ibn Òanbal, (Mièr:
Dâr al-Qurùubaú, t.th.) (6 Juz). Juz I. hlm. 226. 51
Ibid. Juz I. hlm. 258. 52
Ibid. Juz II. hlm. 422. 53
Ibid. Juz II. hlm. 430. 54
Ibid. Juz II. hlm. 438. 55
Ibid. Juz II. hlm. 454. 56
Ibid. Juz II. hlm. 456. 57
Ibid. Juz II. hlm. 497. 58
Al-Òâriå ibn Abî Usamah. Bugyaú al-Baòiå „an Zawâ‟id Musnad al-Òâriå. (al-Madinaú al-
Munawaraú: Markaz Óidmaú al-Sunnaú wa al-Siraú al-Nabawiyaú). 1992. Cetakan Pertama. (2 juz).
Taòqîq: Husayn Ahmad Shalih. Juz I. hlm. 409.
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
69
Muslim (206-261 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah:
عي ةيسسثيزضياللهيعيل ييل ييزسيياللهي ىياللهيعيسي يإذ يز ذي لايي ص يإذ ي
يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي :ز ذي أ طس ي إيغيعىي ص ي لا ي ،يع
لايي : يسؤذي طس يسؤذي إيغيعىي لسي عد ي لا ،يع : أو ي عدد،يع
م ييإذ يز ذي ص يإذ يز ذي أ طس ي إي غيعىي عد ي لا 60
Berdasarkan hadis-hadis di atas, juga didukung oleh penafsir-an šuhûd al-šuhur
sebelumnya, Jumhur ulama menetapkan bahwa sekalipun awal bulan itu dapat diketahui
melalui proses perhi-tungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentu-kan
waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat saja. huruf lam
dalam matn hadis “sûmû li ru‟yatih" adalah “li al-ta„lîl” sehingga dipahami menjadi
berpuasalah kalian “karena” melihat hilal. Keterlihatan hilal menjadi „illat (sabab al-
hukmi) adanya keharusan berpuasa dan berbuka („îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan
oleh al-Mubarakfuri61
لي يسؤذي ييلأجيزؤجي لايي لايذعي ضسيلاييعىيحديدز حية لج اي وذف ءي
ةمسجي ق
Memang diakui, yang pernah dipakai dasar penetapan awal bulan oleh Rasulullah
hanyalah rukyat atau istikmâl, bukan hisab. Akan tetapi tidak berarti harus dengan rukyat
atau istikmâl saja, hisab tidak boleh. Hisab tidak atau belum digunakan pada saat itu,
bukan karena hisab tidak boleh digunakan. Pada saat itu, kemampuan atau keterampilan
hisabnya yang belum dimiliki. Hal ini sebagai yang diakui oleh Rasulullah saw. sendiri62
:
إ ي جي جي يىذبي يل بي لسيىر يىر يىر يعمدي لإة ي ي ث ثجي لسيىر يىر يىر ي
عيد ي لا
Lain lagi persoalannya, jika pada masa itu ilmu hisab (ilmu falak) sudah dikuasai
oleh Rasulullah bersama para sahabat, maka tidak digunakannya ilmu hisab untuk
penentuan waktu-waktu peribadatan menjadi satu ketetapan; penggunaan ilmu hisab
menjadi bid„ah karenanya menjadi terlarang digunakan dalam penentuan waktu-waktu
peribadatan. Hadis menunjukan menjadi illat menggunakan rukyah, ada kaedah
دأ عأ أ د ي لا جل ل ي ف تأتف سأ أ ي ف أذف عأيعف أ ي زل لا يأدل ل ىلا لالل
Artinya : Hukum itu berlaku menurut adanya illat dan sebabnya. 63
Atas perihal yang sama, kasus pengkodifikasian Alquran dalam bentuk mushaf
atau buku yang dicetak, bahkan dewasa ini dalam bentuk digital. Padahal di zaman
Rasulullah saw. Alquran tidak di-kodifikasikan dan beliau pun tidak juga
memerintahkannya. Apakah kodifikasi Alquran dalam bentuk mushaf menjadi terlarang?
Kodifikasi Alquran belum ada, tetapi para sahabat sudah dipeintahkan untuk
membaca Alquran. Memang, kegiatan membaca Alquran pada saat itu, bukan melihat
huruf-huruf yang tertulis dalam lembaran mushaf. Akan tetapi melafalkan ayat-ayat
Alquran yang sebelumnya sudah dihafal terlebih dahulu. Haruskah saat ini, ayat demi ayat
dan surat demi surat dihafal terlebih dahulu, baru kemudian dibaca? Apakah sekarang tidak
boleh cukup dengan membuka lembaran-lembaran mushaf lalu membacanya, tanpa hafal
terlebih dahulu?
Kodifikasi Alquran belum dilakukan di zaman Rasulullah saw, bukan karena
Alquran tidak boleh dikodifikasikan, tetapi belum begitu diperlukan dan tidak mungkin
59
Muhammad ibn Ismâ‟il Abû „Abdullâh al-Buóârî al-Ja„fi, al-Jâmi„ al-Èaòîò al-Muótaèar,
(Bayrût: Dâr Ibn Kaåir, al-Yamamah. 1407), Taòqîq Muèùafa Dib al-Bigha, cet. III, Juz II. hlm. 674. 60
Muslim ibn al-Òajaj Abû al-Òasan al-Qušayri al-Naysâbûrî. Èaòîò Muslim (Bayrût: Dâr al-
Iòyâ al-Turâå al-„Arabi. t.th.) Taòqîq: Fuad „Abd al-Bâqi. (5 Juz). Juz II. hlm. 762. 61
Muhammad „Abd al-Raòmân ibn „Abd al-Raòîm al-Mubarakfuri. Tuòfaú al-Aòwaíi bi Šarò
Jâmi„ al-Turmuíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah. t.th.) (10 Juz). 62
Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî, Èaòîò Muslim, Juz II, hlm. 761. 63
Ibn al-Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟in „al-Rabb al-„Alamin (Bairut: Dar al-
Fikr li at-Tibaah wa an-Nasyr wa-Tauzi, 1424/2003),II:394
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
70
untuk dilakukan. Untuk terpeliharanya kemurnian Alquran sekaligus ajaran Islam pada
saat itu, pengkodifikasian Alquran belum diperlukan. Karena pada masa itu: 1) Rasulullah
saw masih hidup yang, atas jaminan Allah apa yang telah diwahyukan kepadanya, ia tidak
akan lupa64
; 2) Proses pewahyuan masih berjalan dan Malaikat Jibril senantiasa memeriksa
bacaan Rasulullah saw65
; 3) Para sahabat banyak yang hafal Alquran, konon orang Arab
dikenal sangat kuat hapalannya; dan 4) Kemampuan, media dan perlengkapan untuk
kodifikasi belum cukup memadai.
Sepeningal Rasulullah lebih-lebih saat ini, kondisi sudah berubah sedemikian
rupa, ketiga hal di atas sudah tidak ada lagi dan kemampuan, media dan perlengkapan
kodifikasi sudah ter-sedia lebih dari cukup. Kodifikasi Alquran hampir-hampir menjadi
satu keniscayaan untuk terpeliharanya kemurnian Quran dan se-kaligus ajaran Islam.
Lalu apa dasar hukumnya Alquran itu dikodifikasikan, sebagai-mana pula apa
dasar hukumnya hisab dalam penentuan waktu-waktu peribadatan khususnya 1 Ramadan,
1 Syawal dan 10 Zulhijah Alasan-alasan sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam ilmu
ushulfiqh disebut dengan istiilah atau mulasalah al-mursalah yang banyak dikembangkan
terutama di mazhab Maliki.66
D. Kriteria Wujud al-Hilal; Dasar dan Argumen Hukumnya
Berdasarkan redaksi matannya, hadis-hadis yang sering dijadikan dasar ru`yat al-
hilal dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matan.
Pertama, hadis dari Abu Hurayrah, Ibn `Umar dan Abu Bakrah,
يسؤذي طس يسؤذي
Huruf “lam” pada kata “li ru‟yatih” dalam matan hadis di atas, menurut Al-Ùaybi
“li al-waqti, li al-tawqît”67 dan Ibn Daqîq al-„Id “li al-ta‟qît” yang menunjukkan waktu
secara majaz; bukanlah lam li al-ta„lîl yang menunjukkan sebab. Sehingga perintah dalam
hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat hilal sudah terlihat atau dengan kata
lain berpuasa sesudah hilal terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta„lîl maka perintah tersebut
lanjut Ibn Daqîq al-„Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat68
. Analisis al-Thaybi atau
Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh keberadaan hadis-hadis lain yang menggunakan
redaksi matan yang bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah
disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam perintah salat:
69
Jika hadis-hadis di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung) melihat hilal
untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka ayat tersebut pun merupakan
perintah untuk melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat. Saat ini, hamir
sudah tidak ada lagi – kecuali yang sedang musafir tidak bawa jam dan tidak tahu jadwal
shalat – orang yang mau shalat melihat matahari terlebih dahulu, bahkan untuk berbuka
dan waktu imsyak selama bulan Ramadhan pun cukup melihat jam dan jadwal shalat
magrib dan shubuh yang nota bene merupakan produk hisab. Hanya saja ketika mengawali
64
Baca: Q.S. al-A„lâ [87]: 6-7. 65
Disebutkan dalam sebuah riwayat, pengecekkan bacaan Alquran Nabi dilakukan oleh
Malaikat Jibril setiap bulan Ramadan. 66
Untuk lebih jauh, baca: Abû Isòâq al-Šâùibî (790 H). Al-Muwâfaqaú fî Uèûl al-Fiqh. (Bayrût:
Dâr al-Ma„rifaú. t.th.) (4 Juz). Taòqîq: „Abdullâh Daraz. Juz III. hlm. 74. 67
„Abd al-Rauf al-Manawi. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi„ al-Èagîr. (Mièr: Al-Maktabaú al-
Tijâriyaú al-Kubra. 1356). Cetakan Pertama. (6 Juz). Juz IV. hlm. 214. 68
Lihat Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-„Îd, Iòkâm al-Aòkâm Šarò „Umdaú al-Aòkâm,
(Bayrût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyaú, t.th.) Juz ii, hlm. 205-207; Muhammad ibn „Ali al-Šawkânî, Nayl al-
Awùâr Šarò Muntaqâ al-Aóbar, (Bayrût: Dâr al-Jayl. 1973), Juz IV, hlm. 264, 351. 69
Q.S. al-Isra [17]: 78. uraian dan penjelaannya lihat: Tafsîr al-Bayæawî, Juz III/hlm. 80; Juz
III/hlm. 462; juz V/hlm 348. Tafsîr Abî Su„ûd, Juz V/hlm: 189; Tafsîr Rûò al-Ma„ânî, Juz IIi/hlm 131;
Juz XV/hlm 132.
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
71
dan apalagi mengakhiri shaum Ramadan (Idul Fitri) berubah menjadi meragukan hisab
yang sudah dipakainya selama sebulan, mesti dengan rukyat saja.
Di MalelisTarjih dan Tajdid Muhammadiyah keterlihatan hilal sama sekali tidak
menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu
saja. Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan rukyat
saja. Ru‟yat al-hilal hanyalah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau
bagian integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk
mengetahui waktu-waktu shalat.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm, lalu apa yang sesungguhnya yang
menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan
hukum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm?
Bagi Muhammadiyah dengan memahami hadis-hadis di atas, secara lebih utuh,
yang menjadi sabab al-hukmi bukan keterlihatan hilal, tetapi keberadaan (wujûd al-hilâl)
karena potongan hadis selanjutnya, “fa in gumma atau gubiya” artinya hilaltidak dapat
dilihat (bisa terhalangi atau memang belum wujud), maka jumlah hari dari bulan yang
sedang berjalan (Syakaban atau Ramadan) harus digenapkan menjadi tiga puluh, maka
lusa harinya wajib berpuasa atau berlebaran, sekalipun hilal tidak dapat dilihat, tetapi
karena sudah dapat dipastikan hilal sudah wujud sekalipun tidak bisa dilihat.
Dengan kata lain, pada saat dilakukan istikmâl, hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa
atau berbuka (hari raya) sudah wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat
dipastikan (diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan Ramadhan
ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada tanggal/hari ke-31 pada bulan-
bulan Kamariyah, sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Jadi dengan demikian
yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru‟yat al-hilal. Hal ini sejalan
dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushulfiqh,
ير د يصيييجدي جدييعدي عد70
atau dalam rumusan yang lebih jelas:
ي ذصييجديجدي لىييعديعدي لى
Kedua, hadis dari Abu Hurayrah, dengan redaksi matan:
إذ يز ذي لايي ص يإذ يز ذي أ طس
Keterlihatan hilal sebagai yang disebut dalam matan hadis di atas, bukanlaihsyarth
al-hukm(syarat wajib berpuasa atau berbuka), sekalipun diawali dengan kata “idza”.
Karena kelanjutan dari matan hadis tersebut menjelaskan sekalipun hilal tidak terlihat,
manakala bulan sudah 30 hari menjadi wajib berpuasa atau berbuka. Jika keterlihatan hilal
itu menjadi syarat, niscaya ketika tidak terlihat tidak ada kewajiban berpuasa atau berbuka,
sebagai yang ditegaskan al-Qarafi bahwa yang disebut syarat itu,
ةأي لسطيصييعدي عدي يصييجديجدي يعدير د
Atau sesuai dengan pengertian syarat dalam rumusannya yang sederhana:
ي ذصييجديجدي لىيي ذصييعديعدي له
Ketiga, hadis yang diterima dari Ibn `Umar, Ibn `Abbas, Abu Hurayrah dengan redaksi
matan:
يدص يحذىيدس ي لايي يدفطس يحذىيدسي إيغيعىي أو ي عددي عدثي لا
Matan hadis di atas, tidak dapat dipahami sebaliknya (dalalahmafhum
mukhalafah) karena ada kata “hatta” (mafhum ghayah); manakala hilal belum terlihat
menjadi tidak wajib berpuasa dan berbuka. Karena pemahaman sebaliknya bertentangan
dengan penjelasan dari kelanjutan matan tersebut yang secara langsung dan tegas
menunjukkan (dalalah manthuq) sekalipun tidak terlihat manakala bilangan bulan sudah
tiga puluh (hasil istikmal), tidak bisa tidak kecuali harus berpuasa atau berbuka.
70
Lihat: `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawdhah al-Nadhir. Al-Riyadh:
Jami`ah al-Imam Muhammad ibn Su`ud.1399. Cetakan Kedua. Hlm. 57. C.f. `Ali ibn `Abd al-Kafi al-
Subki. Al-Ibhaj. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.1404. Cet. Pertama. Juz I. Hlm. 206.
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
72
Hadis-hadis di atas, di samping sering disebut sebagai dasar hukum rukyat, juga
sebagai dasar dilakukan istikmal ketika langit berawan atau mendung sehingga mata tidak
dapat melihat hilal. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kalau tidak mendung?
Adakah alasan untuk istikmal?
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan hilal tidak dapat dilihat. Pertama, karena
memang hilal belum wujud, negatif di bawah ufuk, pada keadaan semacam inilah, baik
ahli rukyat maupun hisab sepakat melakukan istikmal bulan yang sedang berlangsung;
Kedua, hilal sudah wujud dan berada pada posisi yang dapat dilihat, tetapi karena
berawan menjadi tidak terlihat. Pada keadaan semacam ini pula, berdasar makna zahir
hadis-hadis tersebut, ahli rukyat melakukan istikmal bulan yang sedang berlangsung,
sedang ahli hisab yang berkriteriaimkan al-ru`yat apalagi yang berkriteriawujud al-hilal,
berkeyakinan sudah terjadi pergantian bulan.
Ketiga, hilal sudah wujud (positif di atas ufuk) tetapi pada ketinggian yang tidak
mungkin dapat dilihat. Pada kondisi semacam ini ahli rukyat dan ahli hisab imkan al-ru`yat
melakukan istikmal, sedangkan ahli hisab wujud al-hilal berkeyakinan sudah terjadi
pergantian bulan baru.
Sebaliknya, perintah untuk menghitung (fa„uddû, faqdurû lah), yang oleh jumhur
ditafsirkan sebagai istikmal71. Akan tetapi, apa yang dilakukan Ibn `Umar sebagai
periwayat pertama hadis “fa in gumma `alaykumfaqduru lah” justru sebaliknya berbeda
dengan jumhur dan juga tidak menggunakan perhitungan seperti yang diberitakan oleh
Nabi`:
و ي ةيعسيإذ يضىيلعت يد عيعلسيظسيي لايي إيزؤيي ر نيإييس ييليدي
ظسيسل اي يلذسي تحيفطس يإيح ييديظسيسل اي يلذسي تحي ئ يل ييو ي ةيعسي
فطسيعي ضي يأخريةر ي ل ا72
Berbeda dengan jumhur dan Ibn `Umar, menurut Muhammad ibn Sirrin, dengan
adanya perintah faqdurû lah tersebut, sebagian tabi`in mengambil pertimbangan (`itibar)
berdasarkan bintang-bintang, fase-fase bulan dan metode hisab. Demikian juga,
fuqahaBashrah, memahaminya dengan memperhatikan fase-fase bulan.73
Sejalan dengan
itu, menurut Muhammadiiyahistikmal sekalipun dapat dipandang hisab dalam bentuknya
yang masih sangat sederhana.
Mengingat keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan
berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan hilal (wujud al-
hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan
menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh
Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl. Sebagai yang telah dikonsepsikan di atas,
kriteria ini mensyaratkan terjadinya ijtimak plus posisi bulan positif di atas ufuk hakiki
pada saat matahari terbenam. Ijtimak dijadikan patokan pertama, sebagai salah satu unsur
mutlak kriteria penentuan awal bulan. Hal ini sejalan dengan yang disebutkan al-Qur‟an
bahwa bilangan bulan itu ada dua belas.
74
71
Ibn `Abd al-Bar, al-Tamhid, juz 14, hlm. 339. Penafsiran ini didukung oleh hadits riwayat
Abd al-Razaq dari Ibn `Umar, Ibn Ja`d, Al-Syafi`i, Abu Dawud al-Thayalisi, Ahmad dan yang lainnya
dari Abu Hurayrah di atas, dengan tegas menyebutkan: fa`udu tsalatsin. Demikian pula hadits riwayat
`Abd al-Razaq (Hanya dalam riwayat `Abd al-Razaq tidak pada periwayatan yang lain) dari Ibn `Umar,
secara tegas menyebutkan: faqduru lahu tsalatsina yawma. 72
Ibn `Abd al-Bar, al-Tamhid, Juz 14, hlm. 349. 73
Ibn `Abd al-Bar, al-Tamhid, Juz 14, hlm. 350. 74
QS. Al-Tawbah [9]: 36.
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
73
Sementara menurut astronomi, diketahui ijtimak itu terjadi sebanyak 12 kali dalam
satu tahun atau sebulan sekali75
. Di sisni penulis menangkap bahwa isyarat ini menunjukan
bahwa setahun itu 12 bulan baik setahun Syamsiah/Masehi atau setahun
Kamariyah/Hijriyah. Dengan demikian, secara astronomi dapat dikatakan satu bulan itu
adalah dari satu ijtimak ke ijtimak berikutnya, yakni lamanya bulan mengelilingi bumi dari
satu fase (manzilah) ke fase berikutnya sampai pada fase yang terakhir sehingga bulan
kembali kepada keadaan saat-saat terjadinya ijtimak. Sebelum terjadi ijtimak dapat disebut
bulan terlihat semakin mengecil, sedangkan setelah ijtimak bulan terlihat semakin
membesar. Keadaan bulan semacam inilah sebagai yang dinyatakan al-Qur‟an.
76
Akan tetapi ijtimak saja, tidak dapat dijadikan patokan penetapan awal bulan baru
– new moon bukan new month -- karena secara astronomis perbandingan ukuran piringan
bulan dan piringan matahari selalu berubah-ubah. Oleh karena itu diperlukan hal lain
sebagai penentu awal bulan baru, sebagai yang diisyaratkan al-Qur‟an
77
Sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam ayat di atas, bahwa matahari tidak
mungkin mengejar bulan, menurut astronomi bahwa gerak semu matahari dalam
perjalanan tahunannya jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan gerak bulan dalam
perjalanan bulanannya yang kedua-duanya sama-sama bergerak dari arah barat ke timur.
Bulan menempuh jarak lebih dari 13, 2º, sedangkan matahari kurang dari 0,1º, karena itu
tidak mungkin bagi matahari dapat mengejar bulan.
Jika dihubungkan dengan ayat yang sebelumnya, maka dapat memberikan
pengertian bulan baru itu dimulai ketika bulan telah mendahului matahari dalam geraknya
masing-masing dari arah barat ke timur. Saat matahari terkejar itulah dalam astronomi
disebut ijtimak. Sekalipun ijtimak dapat dipedomani sebagai perpindahan bulan, tetapi
sangat sulit untuk diterapkan karena bisa terjadi di sembarang waktu (pagi, siang, sore atau
malam hari). Untuk itu diperlukan “pembatas waktu” yang bisa menyatakan bahwa bulan
telah mendahului matahari. Dalam hal ini, sebagai yang diisyaratkan ayat di atas,
Pembatas waktu itu adalah saat-saat pergantian siang dan malam, yakni saat
matahari terbenam. Dengan kata lain apabila pada saat matahari terbenam, bulan telah
berada di atas ufuk – tanpa memperhitungkan ketinggiannya -- maka saat itulah dapat
dinyatakan bulan baru (new month).
E. Penutup
Kajian hisab maupun rukyat sama-sama memiliki dasar dan argumen hukum, sehingga
masing-masing secara berdiri sendiri memiliki kedudukan hukum yang sama. Rukyat al-
hilal adalah satu-satunya metode untuk mengetahui keberadaan hilal (wujud al-hilal)
sebagai pertanda awal bulan di zaman Rasulullah saw. Akan tetapi rukyat bukanlah
kriteria mutlak penentu awal bulan, karena perintah rukyat dilatarbelakangi oleh kondisi
ummat yang belum memiliki pengetahuan dan kemampuan perhitungan astronomi.
Kondisi ummat berubah, perkembangan dan berkemajuann, khususnya astronomi telah
melahirkan metode hisab yang dapat memberikan akurasi perhitungan waktu yang
meyakinkan. Rukyat bil „aini hanyalah sekedar metode, bukan substansi atau bagian dari
ibadah shaum khususnya. Karena itu jika sudah ditemukan metode hisab, aktivitas
merukyat tidak lagi menjadi satu keniscayaan mutlak. Perlu dipahami menghisab
75
Lihat Robert H. Baker, Ibid. hlm. 127. 76
QS. Yâsîn [36]: 39. 77
QS. Yâsîn [36]: 40.
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
74
sesusungguhnya bermakna melihat juga artinya melihat dengan ilmu makna senada di
antaranya adalah; bashirah melihat dengan mata hati/penalaran ilmu, syahidah bi „aqlih
wa bima‟rifatih melihat dengan penalaran ilmiah. Jadi subtansi dari hadis tentang
perintah rukyah dengan sendirinya terpenuhi.
Sejalan dengan itu, keterlihatan hilal bukanlah sebab syarat wajib berpuasa atau berbuka.
Keberadaan hilallah yang menjadi sebab keharusan berpuasa atau berbuka. Karena itu
kriteria hisab yang dipilih pun lebih dipilih adalah kriteria wujud al-hilal. Di zaman
Rasulullah saw di wilayah Arab karena berada di belahan utara 20 derjat lebih ditambah
pula Padang Pasir yang luas, membuat mudahnya merukyah karena alamnya lebih jernih
dan terang, tidak ada gangguan oleh uap, awan atau kabut sehingga hilal yang tipis lagi
rendah mudah dilihat. Berbeda halnya dengan Indonesia di daerah katulistiwa dan
sekitarnya disebut juga daerah tropis. Dampak dari daerah tropis ini terhadap merukyah
adalah sangat sulit untuk merukyah karena hilal terhalang oleh kabut, uap bahkan awan.
Penulis sudah 15 tahun bergabung dengan tiem Hisab Rukyat Provinsi Sumatera Barat ikut
merukyah belum pernah berhasil melihat hilal walaupun hilal sudah wujud dua derjat
lebih. Kalau di Indonesia ini harus melihat hilal juga lihatlah malam kedua baru bisa
tampak karna sudah tinggi dan lebih besar.
Kata kunci dari makalah ini setelah diseminarkan di kelas di bawah bimbingan dosen
pengasuh dan masukan dari peserta aktif, bahwa semua data hisab dari seluruh lembaga
resmi sama dan falid; Hisab dasarnyanya Al-Qur‟an, maka selagi ada dalam rujukan utama
ini tetap didahulukan Al-Qur‟an. Mengikuti hisab dengan sendirinya mengikuti Al-Qur‟an.
Semangat Al-Qur‟an adalah “laaraibafihihudlallillmuttaqiin”Atinya Tidak ada keraguan
apa yang diinformasikan dalam Al-Qur‟an bagi orang yang bertakwa. (Q.S al-Baqarah:2),
kalau demikian sudah termasuk patuh pada Allah dan Rasul. Hisab lebih memberikan
kepastian, kapan puasa dan hari raya beberapa tahun ke depan yang diinginkan sudah bisa
diketahui dengan pasti. Hal ini Allah yang memberi jaminan (Q.S.Yunus:5) Sementara
rukyat banyak masalah dan kesulitan. Logikanya adalah kalau ada yang mudah mengapa
harus besulit sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Abû Bakr „Abdullâh ibn Muhammad ibn Abi Šaybah al-Kûfî. 1409 H. Al-Kitâb al-Muèannaf fi
al-Aòâdiå wa al-Aåar, al-Riyâæ: Maktabaú al-Rušd. Taòqîq: Kamal Yusuf al-Huù.
Abû Bakr „Abd al-Razâq ibn Hamam al-Èan„ânî. Al-Muèannaf, Bayrût: al-Maktab al-Islâmi,
Taòqîq Òabîb al-Raòmân al-A„ìami. Cetakan Kedua (11 Juz). Juz IV.
Ahmad ibn Hanbal Abu „Abdullâh al-Šaybânî. t.th. Musnad al-Imâm Aòmad ibn Òanbal,
Mièr: Dâr al-Qurùubaú.
„Ali ibn al-Ja„d ibn „Ubayd, Abu al-Hasan al-Bagdâdî. 1990. Musnad Ibn al-Ja„d. Bayrût:
Muasasaú Nadir. Cetakan Perta-ma (1 Juz). Taòqîq: Amir Aòmad Haydar.
Anhar, Fahmi. 2002. “Pengantar Memahami Astronomi Rukyat: Mencari Solusi Keseragaman
waktu-waktu ibadah”, Makalah Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan
Qamariyah Model Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program
Pascasarjana Magister Studi Islam UMY, di Yogyakarta tanggal 19-20 Oktober 2002.
Baker, Robert H. 1953. Astronomy, a Textbook for University and college Student, edisi ke-5,
New York: D. Van Nostrand Company.
Buóârî Muhammad ibn Ismâ‟il Abû „Abdullâh al-Ja„fi al-, 1407 H al-Jâmi„ al-Èaòîò al-
Muótaèar, Bayrût: Dâr Ibn Kaåir, al-Yamamah. Taòqîq Muèùafa Dib al-Biga, Cet. III,
Juz II.
Djambek, Saadoe‟din. 1976. Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas.
Hadikusuma, Djarnawi. 1973. “Mengapa Muhammadiyah Me-makai Hisab?” dalam Suara
Muhammadiyah, Nomor IV/ Februari 1973.
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017
ISSN 1693-2617 LPPM UMSB
E-ISSN 2528-7613
75
Òâriå ibn Abî Usamah al-. 1992. Bugyaú al-Baòiå „an Zawâ‟id Musnad al-Òâriå. al-Madinaú
al-Munawaraú: Markaz Óidmaú al-Sunnaú wa al-Siraú al-Nabawiyaú. Cetakan Pertama.
(2 juz). Taòqîq: Husayn Aòmad Èâlih.
bnu Salimi (et.al.), 1998. Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Idiologi dan Organisasi,
Surakarta: LSI UMS.
Mâlik ibn Anas, t.th. Muwaùùa‟ al-Imâm Mâlik. Mesir: Dâr al-Iòyâ‟ al-Turâå al-„Arabi.
Taòqîq: Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi. Juz I.
Manawi, „Abd al-Rauf al-. 1356. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi„ al-Èagîr. Mièr: Al-Maktabaú
al-Tijâriyaú al-Kubra.
Marsito, 1960. Kosmografi Ilmu Bintang, Jakarta: PT. Pemba-ngunan.
Mubarakfuri. Muòammad „Abd al-Raòmân ibn „Abd al-Raòîm al- t.th. Tuòfaú al-Aòwaíi bi
Šarò Jâmi„ al-Turmuíî. Bayrût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah.
Muslim ibn al-Òajaj Abû al-Hasan al-Qušayri al-Naysâbûrî. t.th. Èaòîò Muslim. Bayrût: Dâr
al-Iòyâ al-Turâå al-„Arabi. Taòqîq: Fuad „Abd al-Bâqi. (5 Juz). Juz II.
M. Ilyas, 1984. A Modern Guide to Astronomical Calculations of Islamic Calendar, Times and
Qibla, Kuala Lumpur: Berita Publishing SDN. BHD.
Oman Fathurrahman, S.W., 2002. “Hisab Muhammadiyah: Konsep, Sistem, Metode dan
Aplikasinya”, Makalah Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan
Qamariyah Model Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pascasarjana Magister Studi Islam
UMY, di Yogyakarta tanggal 19-20 Oktober 2002.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1974. Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta, Persatuan.
Šâfi„î. Muhammad ibn Idrîs, Abû „Abdullâh al-. t.th. Musnad al-Šâfi„î. Bayrût: Dâr al-Kutub
al-„Ilmiyah.
Šâùibî. Abû Isòâq al-. t.th. Al-Muwâfaqaú fî Uèûl al-Fiqh. Bayrût: Dâr al-Ma„rifaú. Taòqîq:
„Abdullâh Daz. Juz III.
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnaú, Juz I
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen, Jakarta: LP3ES.
Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-„Îd. t.th. Iòkâm al-Aòkâm Šarò „Umdaú al-Aòkâm,
Bayrût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyaú.
Ùayâlisî. Sulaymân ibn Dâwud, Abu Dâwud al-Farisî, al-Baèri al-. t.th. Musnad al-Ùayâlisî,
Bayrût: Dâr al-Ma„rifaú.
Wahid, Basit. 1994. “Hisab untuk Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan” dalam Zalbawi
Soejoeti dan Farid Ruskanda (Red.) Prosiding Diskusi Panel Teknologi Rukyat Awal
Bulan Ramadhan dan Syawwal, Serpong: ICMI Orsat Kawasan PUSPITEK dan
Sekitarnya, 1994.
-----. 1995. “Penentuan Awal Bulan Hijriyah”, dalam Suara Muhammadiyah, Nomor 17 Tahun
ke-80, September 1995
Wardan, Muhammad. 1957. Urfi dan Hakiki, Jokjakarta: Siaran.
Zuhaylî, Wahbah al-. Al-Tafsîr al-Munîr fi al-„Aqîdaú wa al-Šarî„aú wa al-Manhaj, Juz II.
Artikel dengan judul “Metode Syahadah” Untuk Penentuan Penanggalan Kalender Hijriyah
dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi no. 17 th ke 100 September 2015
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 2014
Hisab Bulan Kamariyah tinjauan Syar‟i tentang Awal Bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah
Yogyakarta, Suara Muhammadiya 2008
Syaraf Al-Qudah, "Subut asy-Syahr al-Qamari baina al-hadis an-Nabawi wa al-'Ilm al-Hadis,"
<http://www.icoproject.org/pdf/sharaf_1999.pdf>, h. 8, akses 13-12-2007 ; pernyataan
yang sama ditegaskan juga oleh Absim dan al-khanjari,"waqt al-fajr ka Bidayah li al-
Yaum wa asy-Syahr al-Qamari ,"<http://www.amastro.ma/articles/art-bmk1.pdf>, h. 6,
akses 25-02-2008 ; dan al-Hasysyani dan Asyqifah, " Tariqat Hisab asy-syuhur al
Vol. XI Jilid 1 No.76 Juli 2017 MENARA Ilmu
LPPM UMSB ISSN 1693-2617
E-ISSN 2528-7613
76
Qamariyyah fi al-jamahiriyyah,"<http://www.amastro.ma/articles/art-lb2.pdf> , h. 3 ,
akses 25002-2008
Bakhtiar , penentuan Awal Bulan Qamariah, dalam Iqtishaduna Jurnal Hukum Ekonomi Islam
IAIN Imam Bonjol Padang , volume 1, no 2 Oktober 2009
Anwar, Syamsul,Diskusi dan Korespodensi Kalender Hijriah Global, Suara Muhammadiyah
Yogyakarta 2014
Ibn al-Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟in „al-Rabb al-„Alamin (Bairut: Dar al-Fikr li at-Tibaah wa
an-Nasyr wa-Tauzi, 1424/2003),