avm fix print(1)

36
REFRAT RADIOLOGI ARTERI VENA MALFORMASI Oleh: Maya Diyaswari G99112094 Endika Rachmawati G99112063 Cholifatur Ravita G99112037 Dea Alberta Setiawati G99112041 Pembimbing: dr. Sulistyani Kusumaningrum, M.Sc, Sp.Rad KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI

Transcript of avm fix print(1)

Page 1: avm fix print(1)

REFRAT RADIOLOGI

ARTERI VENA MALFORMASI

Oleh:

Maya Diyaswari G99112094

Endika Rachmawati G99112063

Cholifatur Ravita G99112037

Dea Alberta Setiawati G99112041

Pembimbing:

dr. Sulistyani Kusumaningrum, M.Sc, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2013

Page 2: avm fix print(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif

jarang tetapi lesi ini semakin sering ditemukan. Umumnya, lesi yang terjadi akibat

kelainan kongenital ini muncul dan dikenali setelah terdapat perdarahan. Akan

tetapi, seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi malformasi

arterio- vena (AVM) semakin sering ditemukan(Krapf et al, 2001).

Arterio-Venous Malformation (AVM) atau malformasi pada pembuluh

darah arteri dan vena dengan banyak pirau yang saling berhubungan tanpa

pembuluh darah kapiler sehingga rentan terjadi penyumbatan di otak. AVM

merupakan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi namun

berpotensial memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada

vaskularisasi otak dan bahkan berisiko menimbulkan kematian (Nekooei et al,

2006).

Penyakit AVM umumnya adalah penyakit yang tidak menunjukkan gejala

apapun dan baru diketahui setelah terjadi perdarahan intrakranial atau

subarahnoid. Penyakit ini biasanya memberikan gejala berupa sakit kepala dan

kejang tanpa sebab(Jung et al, 2007).

AVM dapat dideteksi dengan pemeriksaan penunjang yang canggih seperti

angiografi. Angiografi adalah teknik pemeriksaan pencitraan pembuluh darah.

Angiografi dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu dengan kateterisasi dengan

x- ray, CT scan dan yang terakhir adalah dengan Magnetic Resonance Imaging

(MRI). Semakin canggih teknologi yang dipakai semakin aman dan tidak invasive

dan lebih sensitif. Teknik angiografi dengan alat MRI dikenal dengan MRA yaitu

magnetic Resonance Angiography. Teknik ini menggunakan medan magnet untuk

menggambarkan pembuluh darah dan dapat dilakukan tanpa menggunakan

kontras(Geibprasert et al, 2010).

Page 3: avm fix print(1)

BAB II

ARTERIOVENOUS MALFORMATION

A. Definisi

Arteriovenous Malformation adalah kelainan kongenital dimana

arteri dan vena pada permukaan otak atau di parenkim saling berhubungan

secara langsung tanpa melalui pembuluh kapiler. Lesi terdiri atas tiga

komponen, feeding arteries, nidus dan draining vein. Nidus menggantikan

arteriole dan kapiler normal dengan pembuluh darah yang resistensinya

rendah tapi alirannya tinggi. Malformasi arterivena biasanya terjadi di otak,

tetapi kadang dapat terjadi di medulla spinalis dan lapisan dura. Tekanan

dari darah yang melalui arteri menjadi terlalu tinggi untuk diterima oleh

vena dan ini menyebabkan vena mengembang . Pengembangan ini mampu

menyebabkan vena itu pecah dan berdarah (Rutherford, 2001).

B. Insiden

Insidensi dan prevalensi malformasi vaskular tidak diketahui secara

pasti, berdasarkan studi antara tahun 1980 dan 1990, insidens malformasi

vaskular pertahunnya sekitar 1.1 hingga 2.1 kasus dalam 100 000 populasi.

Jumlah malformasi arterio-vena (AVM) hampir 90% lebih jarang

dibandingkan dengan insidens aneurisma intrakranial. Malformasi arterivena

merupakan 11 % malformasi serebrovaskuler, angioma adalah jenis

malformasi yang lebih sering terjadi (Krapf et al, 2001).

C. Klasifikasi

Berdasarkan alirannya, MV digolongkan menjadi dua kelompok

(Rutherford, 2005) :

High flow malformation: apabila MV terjadi pada arteri dan arteri-

vena

Low flow malformation: apabila MV terjadi pada vena, kapiler, atau

limfe

Page 4: avm fix print(1)

Selain itu MV juga dikelompokkan berdasarkan lokasi pembuluh yang

mengalami kelainan seperti dalam Hamburg Classification of Vascular

Anomalies and Malformations.

Tabel 1. Hamburg Classification of Vascular Anomalies and Malformations

MAIN CLASS SUBCLASS SUBGROUP

Arterial Truncular ObstructiveDilating

Extratruncular DiffuseLimited (localized)

Venous Truncular ObstructiveDilating

Extratruncular DiffuseLimited/localized

Arteriovenous Truncular DeepSuperficial

Extratruncular Diffuse/infiltratingLimited/localized

Combined, mixed Truncular Venous and arterialHemolymphatic

Extratruncular DiffuseLimited/localized

Tabel 2. Klasifikasi AVM berdasarkan kriteria Schobinger

I (quiescence) Lesi berwarna pink, hangat, dan terdapat shunt arteriovaskular

II (expansion) Sama dengan stadium I, ditambah pembesaran, pulsasi, thrill, bruit, dan vena yang berkelok-kelok

III (destruction) Sama dengan stadium II, ditambah perubahan distrofik pada kulit, ulserasi, perdarahan, nyeri persisten, atau nekrosis jaringan

IV (decompensation) Sama dengan stadium III, ditambah gagal jantung

Page 5: avm fix print(1)

D. Patofisiologi

AVM umumnya terbentuk akibat malfungsi diferensiasi pembuluh

darah primitive pada embrio berusia 3 minggu, dapat terbentuk di bagian

otak manapun dan melibatkan regio permukaan otak dengan substansia alba.

Pada gestasi minggu ke-3, mulai tampak sistem vaskuler yang terdiri dari

jaringan yang menjalin ruang-ruang darah pada mesenkim primitif. Saat ini

darah belum bersirkulasi dan pembuluh arteri dan vena belum dapat

diidentifikasi.(Rutherford et al, 2005) Selanjutnya sistem vaskuler

berkembang secara bertahap dengan proses penggabungan dan diferensiasi

seluler dan sebagai klimaks terjadi pemisahan arteri-vena. Menurut Wallard

(1922) proses ini terjadi melalui tiga tahapan:

1. Undifferentiated Stage (Stage I)

Ruang-ruang darah yang ada pada mesenkim primitif bergabung menjadi

jaringan kapiler yang lebih terorganisir. Arteri dan vena belum bisa

dikenali.

2. Retiform Stage (Stage II)

Jaringan kapiler yang terbentuk pada Undifferentiated Stage bergabung

menjadi struktur jalinan atau pleksus yang lebih besar yang menjadi

progenitor dari arteri dan vena.

3. Maturation Stage (Stage III)

Struktur vaskuler tampak matur secara histologis, dan batang utama arteri

telah tampak. Jaringan kaplier yang ada bertahan hingga saat dewasa

diperkirakan berasal dari sisa-sisa ruang darah pada Undifferentiated

Stage.

Berdasarkan teori Wallard, dapat disimpulkan pada Stage I terjadi

malformasi kapiler dan vena perifer, sedangkan Stage II terjadi mikrofistula

malformasi arteri vena (AVM) dan vena embrional, dan Stage III terjadi

makrofistula AVM beserta cabang-cabangnya, aneurisma v. poplitea, dan

kelainan persisten sciatic artery ( Rutherford, 2005).

Page 6: avm fix print(1)

Gambar 1. Malformasi kapiler, mikrofistul malformasi arteri vena, dan

makrofistul arteri vena

AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arterti, nidus dan draining

vein. Nidus disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang

berbelit – belit. Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan

draining vein cenderung mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah

yang melaluinya. Beberapa orang lahir dengan nidus yang seiring dengan

waktu cenderung melebar karena tekanan yang besar pada pembuluh arteri

tidak dapat dikendalikan oleh vena yang mengalirkannya. Mengakibatkan

kumpulan pembuluh darah besar yang tampak seperti cacing dapat

mengalami perdarahan di masa yang akan dating (Menon et al, 2005).

Capillary malformation

Microfistulous AV malformation

Macrofistulous AV malformation

Page 7: avm fix print(1)

Gambar 2. Perbedaan antara aliran darah pada AVM dan yang normal

Gambar 3. Nidus, draining vein, feeding arteries

AVM mengakibatkan disfungsi neurologis melalui 3 mekanisme

utama. Yang pertama, perdarahan terjadi di ruang subarahnoid, ruang

intraventrikular atau yang paling sering pada parenkim otak. Jika ruptur atau

pendarahan terjadi, darah mungkin berpenetrasi ke jaringan otak (cerebral

hemorrhage) atau ruang subarachnoid (subarachnoid hemorrhage) yang

terletak di antara meninges yang menyelaputi otak. Sekali pendarahan AVM

terjadi, kemungkinan terjadinya pendarahan berulang menjadi lebih besar.

Perdarahan umumnya muncul pada usia 55 tahun. Kira-kira 40% kasus

dengan AVM cerebral diketahui melalui gejala pendarahan yang mengarah

ke kerapuhan struktur pembuluh darah yang abnormal di dalam otak.

Kedua, pada pasien yang tidak mengalami perdarahan mungkin akan

mengalami kejang. Sekitar 15-40 % pasien mengalami kejang. AVM yang

tidak mengalami pendarahan menyebabkan gejala langsung dengan

Page 8: avm fix print(1)

menekan jaringan otak atau menurunkan aliran darah ke jaringan sekitar

(iskemia). Faktor mekanik maupun iskemik dapat menyebabkan kerusakan

sel saraf (neuron) secara permanen(Geibprasert et al, 2010).

Kejang pada AVM mungkin terbagi atas 3 mekanisme, yaitu :

1. Iskemia jaringan korteks.

2. Astroglia berlebihan pada jaringan otak yang rusak di sekeliling daerah

AVM karena perdarahan subklinis sebelumnya atau karena deposit

hemosiderin, mungkin terjadi karena hilangnya bentuk karakteristik

secara progresif (apeidosis) melalui kapiler yang terdilatasi.

3. Kemungkinan peranan epileptogenesis sekunder, yang letaknya agak jauh

dari daerah AVM primer( Krapf et al, 2001)

Namun, beberapa penderita juga ada yang asimtomatik atau hanya

merasakan keluhan minor akibat kekusutan pembuluh darah lokal. Defisit

neurologis progresif dapat muncul pada 6-12 %. Defisit neurologis yang

lambat ini dikaitkan dengan tersedotnya aliran darah menjauh dari jaringan

otak (the "steal phenomenon"). Defisit ini juga terjadi dikarenakan efek

masa dari AVM yang membesar dan hipertensi vena pada draining veins

(Rutherford, 2001).

E. Manifestasi Klinik

AVM bisa saja tidak menimbulkan gejala sama sekali. Namun

masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala

dan serangan kejang mendadak. Defisit neurologis dapat berupa lemah, mati

rasa, gangguan penglihatan dan bicara. Masalah yang paling banyak

dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala dan serangan kejang

mendadak.. Secara umum, nyeri kepala yang hebat yang bersamaan dengan

kejang atau hilang kesadaran, merupakan indikasi pertama adanya AVM

pada daerah cerebral(Geibprasert et al, 2010).

AVM dapat terjadi di banyak area di otak dan mungkin berukuran

kecil ataupun besar. Ketika terjadi perdarahan, umumnya mengeluarkan

darah dalam jumlah terbatas. Defisit neurologis tergantung dari lokasi dan

Page 9: avm fix print(1)

jumlah perdarahan. Kebanyakan pasien memiliki perdarahan kecil dan

multiple.

Pendarahan intrakranial tersebut dapat menyebabkan hilang

kesadaran, nyeri kepala hebat yang mendadak, mual, muntah, ekskresi yang

tidak dapat dikendalikan misalnya defekasi atau urinasi, dan penglihatan

kabur. Kaku leher dapat terjadi dikarenakan peningkatan tekanan antara

tengkorak dengan selaput otak (meninges) yang menyebabkan iritasi. Dan

mirip dengan gejala kerusakan serebrovaskuler yang lain seperti stroke

perbaikan pada jaringan otak lokal yang pendarahan mungkin saja terjadi,

termasuk kejang, kelemahan otot yang mengenai satu sisi tubuh

(hemiparesis), kehilangan sensasi sentuh pada satu sisi tubuh, maupun

defisit kemampuan dalam menproses bahasa (aphasia) ( Al-Shahi, 2001).

Pada anak – anak yang diketahui mengalami AVM yang besar

ditemukan juga gagal jantung karena beban kerja jantung yang meningkat

akibat malformasi. Jika AVM terjadi pada lokasi kritis maka AVM dapat

menyebabkan sirkulasi cairan otak terhambat, yang dapat menyebabkan

akumulasi cairan di dalam tengkorak yang beresiko hidrosefalus(Krapf et al,

2001).

F. Penegakan Diagnosis

Insidens diagnosis unruptured AVM meningkat seiring dengan

perkembangan teknologi kedokteran sebagai alat penunjang diagnostik.

Sebelumnya, diagnosis AVM umumnya ditegakkan setelah adanya

perdarahan intraserebral akibat ruptur AVM atau aneurisma terkait-AVM.

Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat diagnostik unruptured

AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun, pemeriksaan CT

scan tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah.  Pemeriksaan ini

memberikan gambaran lesi, perkiraan jenis lesi, dan lokasi

anatomisnya(Rutherford, 2005).

Page 10: avm fix print(1)

Pemeriksaan yang dapat membantu diagnosis AVM adalah

pemeriksaan radiologis berupa angiogram, CT scan dan MRI (Geibprasert et

al, 2010).

1. Angiogram

Angiogram (arteriogram) adalah baku emas untuk diagnosis

kelainan pada pembuluh darah karena paling komprehensif, spesifik dan

sensistif. Akan tetapi pemeriksaan ini mahal dan invasive. Pemeriksaan

ini membutuhkan waktu selama kurang lebih 2 jam. pada pemeriksaan

angiografi dibutuhkan kontras yang dimasukin melaui arteri femoralis

atau secara langsung pada daerah arteri karotis komunis. Kontras yang

digunakan adalah renografin, conray 60, urografin, angiografin (Krapf et

al, 2001).

Arteriografi merupakan standar penting untuk menggambarkan

anatomi arteri dan vena, sebagai tambahan, angiografi yang sangat

selektif dapat memberi data penting mengenai fungsi dan fisiologi untuk

analisis klinis tindakan. CT scan dengan kontras dan didapatkan

gambaran malformasi arteri vena pada daerah parietal kiri, kemudian

untuk mengetahui anatominya dilakukan angiografi. Angiografi kateter

masih menjadi criteria standar untuk menggambarkan AVM pada otak

dan medulla spinalis. Angiografi adalah penilaian real time yang tidak

hanya menunjukan keberadaan AVM, tetapi juga menunjukan vascular

transit time. Angiografi juga dapat menentukan asal dari AVM apakah

dari pial, dural ataupun keduanya. Angiografi dapat digunakan untuk

menentukan ukuran AVM dan menilai kepadatan nidus. Angiografi juga

dapat menggambarak faktor resiko untuk peradarahan seperti aneurisma

dan stenosis vena (Krapf et al, 2001).

Page 11: avm fix print(1)

Gambar 4. Angiogram pada AVM, (a) tampak bagian – bagian dari AVM,

(b) penampang lateral

Kekurangan dari Angiografi

Angiografi adalah prosedur yang invasif dan memiliki resiko saat

penempatan kateter, pemberian kontras dan injeksinya. Resiko

neurangiografi seperti stroke, diseksi arteri, reaksi terhadap bahan

kontras, dan gagal ginjal.

Resiko yang mungkin terjadi

Resiko yang timbul akibat angiogram sangat kecil untuk terjadi.

Pada kebanyakan kasus, maslah muncul 2 jam setelah tes dilakukan

saat berada di ruanag pemulihan dan jika terjadi masalah selama

angiogram maka pemeriksaan dihentikan dan mungkin dibutuhkan

pengobatan segera bahakan pembedahan.

Ada kemungkinan kecil bahwa kateter merusak pembuluh darah

atau melepaskan darah yang membeku atau lemak dari dinding

pembuluh darah. Bekuan darah (clot) atau lemak dapat memblokir

aliran darah.

Perdarahan dapat terjadi karena jarum. Bahkan bekuan darah dapat

terbentuk di tempat kateter dimasukkan sehingga dapat menggangu

aliran darah ke kaki atau lengan.

Penggunaan iodine dapat menyebabkan hilangnya air atau bahkan

langsung merusak ginjal, terutama pada pasien dengan gannguan

ginjal, diabetes atau yang dehidrasi.

Page 12: avm fix print(1)

Selalu ada kemungkinan kecil kerusakan sel atau jaringan dari

pajanan radiasi, bahkan pada tingkat rendah seperti pada

pemeriksaan ini (Jusi HD, 2008).

2. CT Scan

CT scan adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi

perdarahan pada otak atau rongga berisi cairan di sekeliling otak.

Pemeriksaan pada otak dapat dilakukan baik menggunakan kontras

ataupun tidak. Dengan CT scan kita bisa melihat malformasi arterivena

di otak, terutama setelah pemberian kontras. Deteksi perdarahan lobar

mengindikasikan adanya masa atau AVM. CT scanning digunakan untuk

mengidentifikasi area perdarahan akut, dan hasilnya dapat member kesan

adanya malformasi vaskuler, lebih jelas jika menggunakan kontras.

Selain itu, CT scanning dapat menggambarkan kalsifikasi vaskuler

yang berhubungan dengan AVM (Geibprasert et al, 2010).

Gambar 5. CT scan kepala menunjukan malformasi arterivena pada

lobus oksipital kiri dengan multiple flebolit yang

terkalsifikasi dan dan banyak hiperatenuasi vaskular

channels.

Page 13: avm fix print(1)

Gambar 6. Arteriovenous malformasi (AVM) dari otak. CT scan fossa

posterior menunjukkan pendarahan pada ventrikel keempat,

dengan ekstensi ke cerebellum kiri.

Gambar 7. CT scan awal menunjukkan lesi berukuran 1,5 cm yang

berlobulasi dan kalsifikasi di sentral yang dikelilingi

substansi hipoatenuasi.

Page 14: avm fix print(1)

Gambar 8. Classic deep type AVM pada wanita 19 tahun dengan nyeri

kepala mendadak yang diikuti dengan kehilangan kesadaran.

Pada pemeriksaan terdapat palsi nervus VI bilateral (a)

potongan axial. Dan (b) CT scan dengan kontras . CT scan

menunjukkan struktur vascular yang meningkat pada

thalamus kiri. Meskipun tidak terbukti adanya perdarahan di

CT Scan, secara klinis dicurigai terdapat ruptur.

Gambar 9. AVM cerebri pada wanita 27 tahun dengan riwayat 6 tahun

kejang dan nyeri kepala. CT scan potongan axial dengan

kontras menunjukkan terdapat lesi vascular lobus frontal

parasagital kiri, dengan area focal internal isoatenuasi yang

menunjukkan parenkim otak yang normal diselingi dengan

nidus.

Page 15: avm fix print(1)

Gambar 10. AVM Cerebri pada anak perempuan 10 tahun riwayat

hemiparesis kanan progresif, kemosis dan proptosis mata

kiri. (a) CT scan kontras potongan axial setinggi orbita dan

(b) cerebri menunjukkan adanya peningkatan lesi vaskuler

ganglia basalis kiri. Masa lesi yang mendesak ventrikel

lateral kiri.

Gambar 11. AVM temporal cerebri pada anak 15 tahun dengan nyeri

kepala mendadak yang diikuti dengan kejang. CT scan

axial menunjukkan lesi hiperatenuasi pada lobus temporal

sesuai dengan hematom intraparenkim (Geibprasert, et al.

2010).

Kekurangan CT

CT Scan hanya dapat mengidentifikasi AVM yang besar,karena AVM

relative isoatenuasi dengan parenkim normal sehingga bisa saja

terabaikan apalagi tanpa penggunaan kontras.

Page 16: avm fix print(1)

Pada CT scan, AVM muncul sebagai masa nonkalsifikasi atau masa

kalsifikasi dan masa fokal yang hiperatenuasi sehingga sulit

dibedakan dengan tuberous sclerosis, kista koloid, neoplasma ,dan

aneurisma.

3. Magnetic Resonance Imaging

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membantu mengidentifikasi

dan menggambarkan AVM pada sistem saraf pusat yaitu pada otak dan

medulla spinalis tanpa radiasi ataupun teknik yang invasif. MRI

biasanya mengikuti CT scan pada pasien neurologi saat terjadi kelainan

pada vaskuler seperti AVM yang dicurigai. MRI dapat menunjukan area

parenkim yang terkena AVM, menunjukan dilatasi pada arteri dan vena.

MRI adalah pemeriksaan pilihan untuk mendeteksi malformasi

pembuluh darah dari medulla spinalis dan otak.

Resonansi magnetik (MRI) sangat sensitif, menunjukkan hilangnya

sinyal pada area korteks, umumnya dengan hemosiderin yang

menujukkan adanya perdarahan sebelumnya. MRI juga dapat

memberikan informasi penting mengenai lokalisasi dan topografi dari

AVM bila intervensi akan dilakukan.

Gambar 12. Gambaran Malformasi arterivena pada otak dengan metode

MRI.

Page 17: avm fix print(1)

Pemeriksaan MRI dapat melihat keadaan pembuluh darah dengan lebih

efektif yaitu menggunakan MR angiografi (MRA). Pemeriksaan MRA

juga dapat dilakukan untuk mengetahui gangguan secara non-invasif,

tetapi tidak memberikan informasi mengenai berbagai faktor secara rinci

seperti adanya aneurisma intranidal atau aneurisma pada feeding artery,

pola drainage vena, atau karakteristik nidus. Gambaran dari MRA

mengenai keadaan AVM sangat baik. Lesi tersembunyi dari angiogram

konvensional dapat diidentifikasi oleh MRI karena kemampuan untuk

menggambarkan hemosiderin atau bukti lain pecahnya darah. Produk –

produk pecahnya darah tampak beberapa waktu setelah perdarahan

intracranial(Krapf et al, 2001).

Kekurangan

MRI adalah pemeriksaan yang sangat sesuai untuk menunjukan nidus dan

aliran darah abnormal akan tetapi pada perdarahan serebral akut AVM

yang terkompresi tidak menunjukan alirannya dan tidak terlihat. Pada

keadaan ini dibutuhkan MRI serial untuk mencari penyebab

perdarahan.MRI dapat menyebabkan beberapa arteri feeding tidak

terdeteksi.MRI memiliki sensistifitas yang rendah untuk mendeteksi

malformasi dural(Jusi HD. 2008).

G. Diagnosis Banding

1. Cerebral Amyloid Angiopathy

Gambar 13. Seorang pria 77 tahun dengan sakit

kepala berat dan kesulitan berjalan

didapatkan axial nonenhanced CT scan

menunjukkan terdapat ICH besar

dengan batas tidak teratur di lokasi

kortikal parietal posterior kanan.

Terdapat perdarahan kecil di sisi kanan

parafalcine subdural posterior (panah).

Page 18: avm fix print(1)

CAA ditegakkan dengan pemeriksaan

histologist (Chao et al, 2006).

2. Cerebral Aneurysm

Gambar 14. Panah kuning menunjukkan

lokasi aneurisma

(Grajkowska et al, 2010).

Gambar 15. Panah kuning menunjukkan

lokasi giant aneurysm yang

ruptur disertai dengan

trombus yang berada di

dalam kantong aneurisma.

Panah hijau menujukkan

perdarahan yang meluas ke

ruang subarachnoid(Inci et

al, 2000).

.

3. Tuberous Sklerosis

Page 19: avm fix print(1)

Gambar 16. Seorang wanita dengan riwayat tuberous sklerosis dan

retardasi mental sedang, datang dengan penurunan

kesadaran dan pneumonia. Dari CT scan, tampak

hamartoma kalsifikasi di lobus frontalis kanan dan

kalsifikasi nodul subependymal multipel (Grajkowska,

2010).

4. Kista Koloid

Gambar 17. Massa

hiperatenuasi

berbatas tegas

di ventrikel

ke-3 anterior.

Hydrocephalu

(Jarquin-Valdivia

et al, 2005)

5. Cerebral Venous Thrombosis

Gambar 18. Noncontrast CT scan

menunjukkan hiperdensitas pada sinus

transversus kanan (Saposnik et al,2011)

Page 20: avm fix print(1)

H. Penatalaksanaan

Berikut ini adalah skema manajemen diagnostik MV secara umum yang

biasanya datang dengan keluhan tanda lahir (birth mark).

Gambar 18. Manajemen tatalaksana malformasi vaskuler (Rutherford, 2001)

1. Farmakologis

Pengobatan farmakologis dilakukan untuk mengatasi gejala yang

dialami pasien seperti sakit kepala atau kejang. Terapi ini juga diberikan

pada pasien yang tidak dapat melakukan terapi operatif karena resiko

yang terlalu besar. Fenitoin dapat diberikan untuk mengontrol kejang.

2. Non Farmakologis

2.1. Operasi Reseksi

Page 21: avm fix print(1)

Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada AVM yang ruptur dan

diperkirakan memberikan hasil yang sedikit lebih baik

dibandingkan dengan unruptured AVM. Intervensi bedah

merupakan terapi definitif pada AVM. Ukuran, lokasi, perlekatan

dengan daerah sekitarnya, serta konfigurasi vaskular menentukan

pertimbangan perlunya intervensi bedah. Skala Spetzler Martin

digunakan sebagai pertimbangan risiko dan manfaat operasi. Skala

Spetzler Martin yang terdiri atas tiga parameter yaitu ukuran nidus,

drainase vena dan kelancaran berbicara (eloquence). Derajat

rendah bila grade 1,2. Derajat tinggi grade 4,5 dan inoperable

grade 6 (Benndorf et al, 2001).

Tabel 3. Kalsifikasi AVM berdasarkan Spetzler Martin

Parameter Skor

Ukuran nidus

< 3 cm 1

3-6Cm 2

>6 cm 3

Drainase Vena

Superficial 0

Profunda 1

Kelancaran berbicara

Tidak lancer 0

Lancar 1

2.2. Embolisasi

Untuk menghindari pendarahan, vasodilatasi lokal (aneurisma)

harus dihilangkan. Embolisasi merupakan penyumbatan pembuluh

darah yang AVM. Dengan x-ray, kateter dikendalikan dari arteri

femoralis di daerah paha atas ke daerah AVM yang diobati. Lalu

setelah daerah AVM dicapai, semacam lem atau kadang gulungan

kabel ditempatkan untuk memblok area tersebut. Namun,

Page 22: avm fix print(1)

embolisasi sendiri juga jarang dengan sempurna memblok aliran

darah ke daerah AVM ( Nekooei et al, 2006 )

2.3. Radiosurgery

Radiosurgery dilakukan dengan mengunakan alat yang disebut

dengan gamma-knife, efektif pada AVM yang berukuran < 2 cm,

sedangkan pada lesi yang lebih besar terapi ini kurang responsif.

Paling tidak, malformasi dapat hilang selama dua tahun(Nekooei et

al, 2006).

I. Prognosis

Semua AVM di otak sangat berbahaya

- Resiko terjadinya hemoragi pertama adalah seumur hidup, meningkat

sesuai usia (2-4% per tahun, kumulatif)

- Sebagian besar akan menimbulkan gejala seumur hidup pasien

Sembuh spontan sangat jarang terjadi (< 1% kasus)

- 75 % merupakan lesi kecil (< 3cm) aliran vena tunggal

- 75 % memiliki ‘spontanneous’ ICH (Al-Shahi, 2001).

BAB III

PENUTUP

Page 23: avm fix print(1)

Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif

jarang tetapi lesi ini semakin sering ditemukan.Umumnya, lesi yang terjadi akibat

kelainan kongenital ini muncul dan dikenali setelah terdapat perdarahan. Akan

tetapi, seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi unrupterd AVM

semakin sering ditemukan.

Insidens dan prevalensi malformasi vaskular tidak diketahui secara pasti;

berdasarkan studi antara tahun 1980 dan 1990, insidens malformasi vaskular

pertahunnya sekitar 1.1 hingga 2.1 kasus dalam 100 000 populasi. Jumlah

malformasi arterio-vena (AVM) hampir 90% lebih jarang dibandingkan dengan

insidens aneurisma intrakranial.

Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat diagnostik unruptured

AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun, pemeriksaan CT scan

tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah.  Pemeriksaan ini memberikan

gambaran lesi, perkiraan jenis lesi, dan lokasi anatomisnya.

Pemeriksaan MRA juga dapat dilakukan untuk mengetahui gangguan

secara non-invasif, tetapi tidak memberikan informasi mengenai berbagai faktor

secara rinci seperti adanya aneurisma intranidal atau aneurisma pada feeding

artery, pola drainage vena, atau karakteristik nidus. Pemeriksaan yang memiliki

standar baku untuk menentukan anatomi vaskular, baik arteri maupun vena,

adalah angiografi.

Masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri

kepala dan serangan kejang mendadak. Dan jika AVM terjadi pada lokasi kritis

maka AVM dapat menyebabkan sirkulasi cairan otak terhambat, yang dapat

menyebabkan akumulasi cairan di dalam tengkorak yang beresiko hidrosefalus.

Pilihan terapi untuk pasien harus mempertimbangkan risiko yang akan terjadi

pada setiap pilihan terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 24: avm fix print(1)

Al-Shahi, Rustam. 2001. The Prognosis for Adults with Arteriovenous

Malformations of the Brain. A Systematic Review of the Literature.

Neurointerventionist Vol 3 No 1.Edinburgh. Diunduh pada tanggal

23 Juli 2013

Benndorf G, Campi A, Hell B, et al. 2001. Case report endovascular

management of a bleeding mandibular arteriovenous malformation

by transfemoral venous embolization with nbca. AJNR Am J

Neuroradiol 22:359-62. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2013

Chao, et al. 2006.Cerebral Amyloid Angiopathy: CT and MR Imaging

Findings. Rad. Vol.26 no.5: 1517-1531. Diunduh tanggal 24 Juli

2013

Geibprasert S, Pongpech S, Jiarakongmun P, Shroff MM, Armstrong DC,

Krings T. 2010.Radiologic Assessment of Brain Arteriovenous

Malformations: What Clinicians Need to Know. RadioGraphics 2010;

30; 483-501. Rsna.org. Diunduh pada tanggal 23 Juli 2013

Grajkowska W, Kotulska K, Jurkiewicz E, Matyja E. 2010. Brain lesions

in tuberous sclerosis complex. Review. Folia Neuropathol;48:139-

49.

Inci S, Spetzler RF. 2000. Intracranial aneurysms and arterial

hypertension: a review and hypothesis. Surg Neurol.pp :53(6):530-

40; discussion 540-2. Diunduh tanggal 24 Juli 2013

Jarquin-Valdivia AA, Rich AT, Yarbrough JL, Thompson RC.

2005.Intraventricular colloid cyst, hydrocephalus and neurogenic

stunned myocardium. Clin Neurol Neurosurg;107(5):361-5.

Jung MS, Ryu DM, Kim EJ, et al. 2007.A treatment of arteriovenous

malformation on mandible. J Kor. Oral Maxillofac. Surg. Vol 33

No.1. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2013.

Jusi HD. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler. Edisi keempat.

Jakarta: Balai Penerbit FKUi; hal. 18-20, 25-7

Krapf, H, Siekmann, R, et al. 2001.Spontaneous Occlusion of a Cerebral

Ateriovenous Malformation: Angiography ang MR Imaging Follow

Page 25: avm fix print(1)

up and Review of Literature.Germany.p: 1556-1560. Diunduh pada

tanggal 22 Juli 2013.

Menon S, Chowdhurry R, Mohan C.2005. Arteriovenous malformation in

mandible. MJAFI. pp; 61:295-6. Diunduh pada tanggal 22 Juli

2013.

Nekooei S, Husseini M, Narzemi S, et al. 2006.Case Report Embolisation

of Arteriovenous Malformation of the maxilla. Diunduh dari

http://dmfr.birjournals.org. pada tanggal 22 Juli 2013

Rutherford, RB. 2001. Congenital Vascular Malformation. In Cronenwett

JL, Rutherford RB [eds]: Decision Making in Vascular Surgery.

Philadelphia: WB Saunders. Diunduh pada tanggal 23 Juli 2013.

Rutherford, RB. 2005. Arteriovenous Fistulas, Vascular Malformations,

and Vascular Tumors. In: Rutherford RB: Vascular Surgery 6th

edition. Philadelphia: Elsevier sanders. pp: 1597-1601. Diunduh

pada tanggal 23 Juli 2013.

Saposnik G, Brown RD, Cucchiara B, Ferro J. 2011. Diagnosis and

Management of Cerebral Venous Thrombosis. A Statement for

Healthcare Professionals From the American Heart

Association/American Stroke Association. Stroke. 2011;42:1158-

1192.