Aufklarung mei 2016

41

description

Buah Pikiran Kawan-kawan LPPMD Unpad

Transcript of Aufklarung mei 2016

Page 1: Aufklarung mei 2016
Page 2: Aufklarung mei 2016
Page 3: Aufklarung mei 2016
Page 4: Aufklarung mei 2016
Page 5: Aufklarung mei 2016
Page 6: Aufklarung mei 2016
Page 7: Aufklarung mei 2016

Gerakan Sosial di Media Sosial Sebagai

Bentuk Partisipasi Publik Alternatif

Oleh: Aldo Fernando

Ketua Umum LPPMD UNPAD Periode 2015-2016

Pendahuluan

Di dalam suatu negara yang

demokratis partisipasi publik (public

participation) penting dijaga dan

dikembangkan terus-menerus, karena

partisipasi publik merupakan fondasi

demokrasi partisipatoris (Aykroyd, 2012).

Hal ini berkaitan dengan kedudukan rakyat

(demos) sebagai kedaulatan tertinggi yang

menjadi fondasi, tujuan dan pengontrol

demokrasi itu sendiri. Partisipasi publik

sebagai proses—keterlibatan masyarakat

warga (civil society) dalam pengambilan

keputusan publik—yang hadir dalam gerak

demokratisasi merupakan salah satu hak

warga negara (right to public participation).

Dalam hal ini masyarakat warga berperan

sebagai aktor komunikasi dalam ruang

publik (public sphere) (Hardiman, dalam

Hardiman [ed.], 2010: 9). Keterlibatan

masyarakat warga dalam bentuk partisipasi

publik, salah satunya, dapat meningkatkan

legitimasi kebijakan yang akan ditetapkan

pemerintah. Selain itu, partisipasi publik

dapat menjadi tindakan pengawasan (check

and balance) atas berjalannya sistem

pemerintahan negara.

Di dalam partisipasi publik kita dapat

menemukan dimensi keterlibatan komunitas

(community engagement) (Jones L. and Wells

K., 2007). Keterlibatan komunitas tersebut

dalam tulisan ini akan dijelaskan dalam terang

gerakan sosial di media sosial.

Kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi yang semakin meningkat,

terutama di akhir abad ke-20 dan di awal abad

ke-21 ini, memunculkan kenyataan baru:

internet dan media sosial. Internet

mempermudah jangkauan manusia atas

informasi saat ini (namun, internet juga dapat

menyebabkan pendangkalan pemahaman).

Ditambah lagi, kemunculan media sosial yang

semakin beranekaragam (Line, Instagram,

Path, Facebook, Twitter, BBM) seolah

menghapus batas-batas spasio-temporal

tradisional.1 Kita bisa berkomunikasi dengan

1 さJuマlah peミgguミa iミterミet di Iミdoミesia sepaミjaミg tahun 2014 naik sebesar enam persen dibandingkan

tahun sebelumnya. Menurut data yang dirilis oleh

APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia), jumlah pengguna internet pada tahun

2014 sebesar 88,1 juta. Angka tersebut naik dari 71,2

juta di tahuミ sebeluマミya.ざLih. Nistanto, Reska K.

2015. Pengguna Internet indonesia Tembus 88 Juta

[Online], tersedia di

http://tekno.kompas.com/read/2015/03/26/140535

Page 8: Aufklarung mei 2016

orang lain di tempat yang jauh dari kita. Inilah

yang sering kita sebut dunia maya

(cyberspace2). Saat ini, kita dapat

berkomunikasi satu sama lain di dalam ruang

yang tidak ada dalam peta geografis—kita

hadir di dalam ruang yang lain (the other

spaces), meminjam istilah milik Michel

Foucault dalam sebuah essainya.

Kehadiran dunia maya telah

membongkar sekaligus memperluas pola

komunikasi publik konvensional secara global.

Dunia maya saat ini berfungsi perluasan ruang

publik, yang tentunya berbeda dengan ruang

publik yang riil, tempat masyarakat warga

berkomunikasi satu sama lain dan terlibat

dalam proses sosial-politik secara umum, atau

proses pengambilan keputusan publik secara

khusus (Hardiman, dalam Hardiman [ed.],

2010: 18).

Dewasa ini, fenomena dan kejadian

sosial-politik dapat dengan mudah dan cepat

dikomentari, disebarkan, dikritisi, dan pada

akhirnya akan terjadi gerakan sosial dalam

bentuk aktivisme dunia maya

(clickactivism). Hal inilah yang sering

mewarnai kehidupan sehari-hari kita akhir

ini. Kejadian revolusi Arab Spring dan

97/Pengguna.Internet.Indonesia.Tembus.88.Juta

(diakses pada 26/03/2016 pukul 13:43 WIB) 2 Menurut Karlina Supelli (dalam Hardiman [ed.],

2010: 337. Lihat catatan kaki no. 8), terma

cyberspace merupakan gabungan dari cybernetics +

space. Istilah ini dipopulerkan oleh William Ginson

dalam novel berjudul Neuromancer (1984).

Occupy Wall Street adalah contoh kecil dari

gerakan yang berawal dari “pemakaian

media sosial dalam momen-momen episodik

perubahan politik” (Hamid, dalam Yatmaka,

dkk., 2016: LVI). Ditambah lagi, dengan

kejadian Sopir Taksi Terlibat Tawuran

dengan Gojek di Sudirman baru-baru ini

yang memancing para pengguna media

sosial (yang di dalamnya termasuk pula para

kaum intelektual, agamawan, pejabat, orang

awam) untuk berkomentar, mengutuk,

mengkritik peristiwa tersebut. Bahkan,

sampai ada penulis yang mengaitkan

kejadian tragis tersebut dengan kehadiran

logika pasar (neoliberalisme), yang menjadi

dasar (substrat) atas terjadinya peristiwa

tersebut: bahwa pemilik modal

mengorbankan buruh demi profit

perusahaan, misalnya. Dan juga, peristiwa

pembubaran acara Belok Kiri Fest di Taman

Ismail Marzuki (TIM) beberapa waktu lalu

sempat mengundang protes dan dukungan

para pengguna media sosial. Ini

menunjukkan potensi dan manifestasi

tindakan kritis di media sosial. Di bawah ini

kita akan mencoba memahami lebih jauh

gerakan sosial di media sosial dalam proses

partisipasi publik, terutama di Indonesia.

Page 9: Aufklarung mei 2016

Partisipasi Publik

Partisipasi publik (public

participation) merupakan sebuah proses

keterlibatan masyarakat warga (masyarakat

sipil, civil society) dalam pembuatan

kebijakan publik. Partisipasi ini merupakan

sejenis tindakan aktif individu atau

sekelompok individu dalam kapasitasnya

sebagai warga negara dalam usaha

memengaruhi proses pembuatan keputusan

publik sehingga keputusan tersebut dapat

bermanfaat bagi seluruh rakyat. Dalam hal

ini, partisipasi publik dapat dikatakan

sebagai model komunikasi dan pemecahan

masalah dwiarah dengan maksud untuk

mencapai hasil putusan yang lebih baik,

legitim, dan dapat diterima (IAP2, 2007;

Aykroyd, 2012).

Konsep partisipasi publik

mengandaikan adanya keterbukaan

pemerintahan (Philiphus M. Hardjon, 1997,

sebagaimana dikutip oleh Griadhi dan Anak

Agung Sri Utari, 2008: 2). Dengan adanya

keterbukaan pemerintahan, masyarakat

warga dapat ikut terlibat dalam pengusulan

dan proses pembuatan keputusan publik

bersama dengan stakeholder atau pejabat

pemerintahan terkait.

Ruang Publik Maya dan Gerakan Sosial

dalam Media Sosial sebagai Sebuah

Partisipasi Publik Alternatif

Partisipasi publik mengandaikan pula

adanya ruang publik (public sphere) dimana

di dalamnya aktivitas komunikasi-

emansipatif antarelemen masyarakat warga

dan pejabat pemerintahan berlangsung.

Menurut Hardiman (dalam Hardiman [ed.],

2010: 10-11), konsep ruang publik (modern)

merujuk kepada dua arti. Pertama, ruang

publik memiliki arti deskriptif, yakni

sebagai ruang (riil) yang dapat diakses oleh

semua orang. Dalam arti yang pertama ini,

ruang publik, sebagai locus

kewarganegaraan dan keadaban publik,

berbatasan dengan ruang privat, sebagai

locus intimitas (keluarga dan rumah).

Kedua, dalam arti normatif, ruang

publik—dapat juga disebut sebagai “ruang

publik politis”—adalah “suatu ruang

komunikasi para warganegara untuk ikut

mengawasi jalannya pemerintahan”. Ruang

publik (politis) ini menjadi tempat-inti bagi

gerakan-gerakan para anggota masyarakat

warga (yang merupakan aktor gerakan)

dalam hal partisipasi politik di dalam negara

hukum demokratis.

Sebelum adanya internet dan diikuti

oleh menjamurnya media sosial di

kehidupan sehari-hari (everyday life),

Page 10: Aufklarung mei 2016

berabad-abad lampau ruang publik hanya

dikaitkan dengan bentuk komunikasi riil di

tempat fisik saja (polis, café, auditorium,

dst). Saat ini, ruang publik diperluas ke

dunia maya (cyber space), yang melampaui

spasio-temporal konvensional (jarak dan

waktu serta batas-batas negara), yang dapat

kita sebut ruang publik maya (Hardiman,

dalam Hardiman [ed.], 2010: 18). Di dalam

ruang maya (cyberspace)—atau

“kerangkeng tak berhingga” kata Gibson—

itulah warga melangsungkan komunikasi

secara elektronik (Supelli, dalam Hardiman

[ed.], 2010: 337).

Di dalam ruang maya (dunia maya),

ruang eletronik yang memungkinkan kita

menghadirkan dunia aktual sekaligus dunia

yang kita kehendaki, hadirlah apa yang kita

sebut dewasa ini media sosial (social

media). Ketika sedang berada di suatu café

bersama teman atau kekasih, misalnya, kita

seringkali langsung meng-update status di

Path. Atau ketika sedang berlibur di Bali,

kita berfoto-ria dan mengunggah foto kita di

Instagram. Path dan Instragram adalah dua

contoh media sosial yang digemari di

Indonesia, selain Line, Facebook, Twitter

dan BBM. Kita tenggelam dalam keseharian

di dalam kenyataan maya (virtual reality)3

(Supelli, dalam Hardiman [ed.], 2010: 337).

Di dalam media sosial kita

bercengkrama, berdiskusi, dan berbagi kata,

berbagai informasi dengan orang lain. Di

samping itu, media sosial menyimpan

potensi untuk menjadi alat kontrol atas

pemerintahan. Lewat diskusi dan arus

informasi yang melimpah di antara para

penggunanya, media sosial dewasa ini

menjadi ruang publik maya yang mampu

berperan penting dalam membangun

solidaritas dan gerakan sosial, mulai dari

gerakan mencintai lingkungan, peduli

bencana alam, sampai gerakan mengawasi

jalannya pemerintahan (demokrasi) (Supelli,

dalam Hardiman [ed.], 2010: 344). Contoh

di Indonesia, misal, ketika terjadi

kriminalisasi pimpinan KPK beberapa waktu

lalu, para pengguna media sosial langsung

(Twitter dan Facebook) bergerak menggugat

kriminalisasi tersebut. Selain itu, pilpres

2014 lalu menjadi saksi meningkatnya

aktivisme dunia maya dalam upaya

menyemarakkan gerak sekaligus konflik

yang mewarnai di dalamnya.

Belum lagi, ketidakadilan dalam

bentuk konflik lahan, tambang dan pabrik

3 Tentu saja, menurut Karlina Supelli, istilah

kenyataan maya ini aneh dan hampir-hampir

contradictio in terminis, namun menarik apabila kita

mengkaitkannya dengan gagasan Baudrillard perihal

simulakra.

Page 11: Aufklarung mei 2016

semen antara rakyat jelata dan pemilik

modal di Rembang dan Kendeng, mendapat

tentangan dan dukungan lewat petisi

Change.org dan Facebook. Contoh lain,

dukungan para pengguna Facebook terhadap

Prita Mulyasari ata kasusnya beberapa tahun

lalu dan #SaveJkt movement di Twitter ala

Faisal-Biem menjadi bentuk keterlibatan

masyarakat warga dalam dunia maya atas

kenyataan sosial-politik di Indonesia. Yang

terbaru adalah sikap simpatik publik di

media sosial atas kekerasan seksual YY

akhir-akhir ini. Tak bisa dipungkiri,

penggunaan media sosial telah mengubah

wajah perpolitikan Indonesia, yang di

dalamnya para warga negara mampu

menyuarakan pendapat dalam hal urusan

politik (Nugroho and Sofie Shinta Syarief,

2012: 10).

Gerakan sosial (social movements)

saat ini tidak hanya berlangsung di ruang

fisik, melainkan juga di ruang maya. Hal ini

mampu menciptakan kemungkinan jenis

baru partisipasi publik (Clark, 2012: 4).

Secara historis, kita sudah sering disuguhi

data perihal terjadinya gerakan sosial di

dunia. Revolusi Prancis, yang terjadi di

akhir abad ke-18, merupakan salah satu

bentuk terbaik gerakan sosial dalam sejarah

(Clark, 2012: 12). Herbert Blumer di akhir

1930an (1939, p. 199, seperti dikutip oleh

Clark, ibid.) mendefinisikan gerakan sosial

sebagai usaha kolektif dalam membangun

tatanan kehidupan baru yang dianggap lebih

baik.

Paska Perang Dunia Kedua, gerakan

sosial semakin banyak terjadi dalam

masyarakat barat. Dalam hal ini, tidak hanya

melulu soal perjuangan hak dan kelas,

seperti dalam gerakan sosial klasik,

melainkan juga gerakan sosial yang

mencakup gerakan anti-nuklir, gerakan

lingkungan, gerakan feminisme, gerakan

LGBT, dlsb. Inilah yang disebut para ahli

dengan gerakan sosial baru ( Clark, 2012:

12).

Gerakan sosial baru ini juga

mengambil tempat dalam aktivitas di ruang

publik maya, yakni di dalam dunia maya.

Kita dapat menyebutnya dengan istilah

aktivisme klik (clickactivism). Aktivisme

klik ini, meminjam salah satu judul berita

The Jakarta Post, merupakan usaha

minimum yang membuat perbedaan

(walaupun, perlu dikritisi lebih lanjut).

Contoh-contohnya sudah penulis sebutkan di

atas.

Page 12: Aufklarung mei 2016

Penutup

Ada beberapa hal yang menarik untuk

disoroti terkait dengan bentuk partisipasi

publik dalam gerakan sosial di media sosial.

Pertama, media sosial memang memiliki

potensi besar dalam memberdayakan ruang

publik (maya), yang di dalamnya banyak

elemen masyarakat warga berkumpul,

beradu pendapat, membangun diskusi dan

bersikap kritis akan tatanan dan keadaan

politik-pemerintahan yang ada, khususnya di

Indonesia. Namun, hal ini sejauh

penggunanya tidak terjebak dalam sejenis

pemberdayaan semu—tidak melihat

kenyataan di luar dunia maya (Supelli,

dalam Hardiman [ed.], 2010: 344).

Kedua, yang menjadi poin penting

dalam aktivisme masyarakat warga (civil

society) bukanlah internet atau media sosial

per se, melainkan bagaimana masyarakat

warga menggunakan media sosial tersebut

secara politis dan strategis untuk menunjang

aktivisme atau partisipasi publik mereka.

Ketiga, kita perlu melihat titik analisis pada

faktor manusia yang bermain sebagai peran

kunci dalam teknologi informasi dan

komunikasi media sosial. Karena, naiflah

kita apabila kita hanya berhenti menganalisis

aspek teknis dari internet dan media sosial

sebagai perantara atas gerakan sosial

masyarakat (Nugroho and Sofie Shinta

Syarief, 2012: 95). Singkatnya, gerakan

sosial di media sosial harus selalu terpaut

dengan tindakan dan konfrontasi di dalam

realitas nyata yang dinamis, agar partisipasi

publik masyarakat warga dapat menemukan

titik tusuknya dengan tepat. Tujuannya tidak

lain adalah demi kehidupan bernegara yang

lebih baik (well-being).

Page 13: Aufklarung mei 2016

Daftar Pustaka

Clark, Eric. 2012. Social Movement & Social Media: A Qualitative Study of Occupy Wall

Street. Huddinge: Södertörn University.

Creighton & Creighton, Inc. 2008. What is Public Participation? [On-line], Available:

http://www.creightonandcreighton.com (diakses pada 26/03/2016 pukul 17: 46 WIB)

Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini dan Anak Agung Sri Utari. 2008. Partisipasi Masyarakat dalam

Pembentukan Peraturan Daerah. J. Kertha Patrika, Vol. 33, No. 1: 1-5.

Hamid, Usman, “Kiri 2.0 Mungkinkah?”, dalam Yatmaka, Yayak, dkk., Sejarah Gerakan Kiri

Indonesia untuk Pemula, 2016, hlm. LVI-LIX.

Hardiman, F. Budi, “Pendahuluan”, dalam Hardiman, F. Budi [ed.], Ruang Publik, Yogyakarta:

Kanisius, 2010, hlm. 1-19.

International Association for Public Participation. 2007. IAP2 Core Values. [On-line], Available:

http://www.iap2.org/ (diakses pada 26/03/2016 pukul 17: 34 WIB)

Jones L. and Wells K. 2007. Strategies for academic and clinician engagement in community-

participatory partnered research. JAMA; 297: 407–410. p. 408.

Nugroho and Sofie Shinta Syarief. 2012. Beyond Click-Activism? New Media and Political

Processes in Contemporary Indonesia. Berlin: fesmedia Asia.

Supelli, Karlina, “Ruang Publik Dunia Maya”, dalam Hardiman, F. Budi [ed.], Ruang Publik,

Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 329-346.

Situs:

Http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/02/click-activism-small-effort-makes-a-

difference.html (diakses pada 26/03/2016 pukul 10:10 WIB)

Https://www.epa.gov/international-cooperation/public-participation-guide-introduction-public-

participation (diakses pada 26/03/2016 pukul 09:56 WIB)

Page 14: Aufklarung mei 2016

Dinamika Calon Independen dan Partai Politik di Indonesia

Oleh: Raynard Pardede

Kader LPPMD UNPAD

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2013

Sudah beberapa bulan ini, media di

Indonesia dibanjiri berita tentang aksi a la

rambo Basuki Tjahja Purnama dalam

menata Provinsi Jakarta. Mulai dari

masalah Kampung Pulo, Kali Jodo dan

terbaru Reklamasi Pantai Utara. Semua

dilakukan dengan atas dasar

pertimbangannya masing-masing.

Peristiwa tersebut tidak bisa

ditinjau dari segi psikologis perilaku saja,

tetapi butuh pandangan politis juga, karena

setiap aksi para pejabat negara tak akan

pernah lepas dari motif politik. Dilihat dari

perspektif politis, ada dua alasan mengapa

hal-hal diatas bisa terjadi, dan dua alasan

tersebut akan saling terkait. Pertama,

sebagai seorang politisi yang terlanjur

mengumbar berbagai janji saat kampanye,

Ahok jelas berkeinginan untuk mengakhiri

periode pertamanya sebagai Gubernur

dengan catatan tinta emas pembangunan

Jakarta. Kedua, Ahok digadang akan maju

dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Bila

pada percobaan pertama, Ahok maju

sebagai Calon Wakil Gubernur, di pilkada

2017, Ahok akan bertarung sebagai Calon

Gubernur. Ahok pun mulai mencari

strategi politik untuk memenangkan hati

warga Jakarta. Titel incumbent sebagai

salah satu strategi politik. Keberhasilan

pembangunan akan memberikan

keuntungan ganda, karena mampu

memberikan image positif pada warga

Jakarta. Figur pemimpin yang tegas adalah

image yang ingin dikirim Ahok ke benak

masyarakat DKI. Ditambah lagi, antusias

masyarakat akan Pilkada DKI 2017

kembali tersengat dengan strategi Ahok

yang ingin memenangkan Pilkada nanti,

yaitu melalui jalur independen.

Selain itu, pencalonan Ahmad

Dhani oleh PKB (walaupun dengan

kemungkinan hanya digunakan sebagai

pelecut antusias warga), Yusril Ihza

Mahendra, dari Partai Bulan Bintang dan

pengusaha muda, Sandiaga Uno oleh

Gerindra, dan dengan segala kontroversi

yang menaunginya terkait Panama Papers,

akan menambah semarak pesta demokrasi

di ibukota Indonesia 2017 nanti.

Maju sebagai calon independen

sama sekali tidak melanggar aturan

kepartaian dan pemilu di Indonesia. Bila

memenuhi syarat yang sudah ditetapkan,

siapapun bisa menjadi pemimpin di

Indonesia. Tetapi yang menjadi perhatian

khusus dari trend calon independen adalah

Page 15: Aufklarung mei 2016

”Quo Vadis Partai Politik?”. Tamparan

keras ini harus diterima partai politik,

karena para calon independen ini sukses

membuat kader partai politik kalang kabut.

Partai Politik diibaratkan seseorang yang

melintasi jembatan reot dengan membawa

beban yang berat. Orang tersebut dipaksa

membuang semua yang dibawanya agar

bisa selamat menyeberangi jembatan itu.

Agar “menang” di pemilihan nanti, Partai

politik mau tidak mau harus mulai

membuka ruang diskusi dengan calon

perseorangan. Peristiwa tersebut pun

diperkuat melalui fakta Hanura-NasDem

yang mulai mendukung Ahok. Ya, Partai

Politik “dipaksa” untuk tunduk dan

mendukung seorang calon independen

demi nama elektabilitas. Ironis sekali.

Tren ini bagaikan koin dengan dua

sisi yang berbeda. Di sisi yang satu,

apapun alasannya, hal ini adalah bentuk

pelecehan terhadap program kaderisasi

partai yang sudah melekat dan menjadi

nafas keberlangsungan partai itu sendiri.

Di bagian lainnya, calon Independen juga

berkonflik dengan dirinya sendiri. Mereka

juga belum mampu membuktikan

independensinya. Maka dalam hal ini,

tidak serta merta menempatkan partai

politik sebagai pihak yang dipersalahkan.

Calon Independen seperti Ahok

contohnya, ia perlu menggalang suara

melalui basis masa politik yang besar di

Jakarta dan membuat Ahok

berkemungkinan besar masih akan

melakukan lobi politik ke tokoh-tokoh,

dan kemungkinan juga ke partai politik di

DKI Jakarta. Jargon-jargon yang

mengedepankan independensi atas partai

akan nyaring bunyinya. Transaksai politik

akan menjadi lingkaran setan yang tak

pernah menemukan ujung: antara partai

politik dan calon independen. Dalam alam

pemilu, “mahar” memang menjadi mata

uang resmi dalam transaksi kepentingan.

Maka dengan itu, menjadi hal yang

mustahil, bila dukungan NasDem-Hanura

tadi diberikan tanpa berbagai persetujuan

yang telah disepakati. Mahar tidak melulu

berbicara uang, dan kedudukan, tapi juga

pengaruh. Partai membutuhkan biaya

operasional dan kedudukan strategis agar

partainya tetap eksis.

Bagaimana Partai Politik harus

merespon?

Di tulisan ini, penulis

mendefinisikan partai sebagai sebuah

organisasi aksi massa yang bekerja sesuai

kerangka ideologinya masing-masing

laiknya organisasi intra maupun ekstra

yang ada di lingkungan kampus. Bukan

sebagai kumpulan politisi busuk nan egois

yang ingin berkuasa dengan melegitimasi

suara rakyat melalui kendaraan partai

politik. Penafsiran yang salah tentang

partai politik hanya akan mencederai

sendi-sendi demokrasi lainnya.

Page 16: Aufklarung mei 2016

Pemahaman secara holistik, meliputi aspek

sejarah, sosiologi, politik, diperlukan agar

masyarakat tak salah pengertian mengenai

partai politik.

Mengenai tren calon perseorangan,

ini adalah tugas dari pemimpin dan

organisatoris/kader partai (yaitu, para figur

partai serta kepala dari organisasi-

organisasi underbow partai) untuk secara

efektif mengarahkan partai mereka melalui

kompleksitas dan ketidakpastian yang

melekat dalam lingkungan politik di

Indonesia. Tumbuhnya tren-tren seperti

calon independen dan “politik ketokohan”

harus disiasati dengan cerdik oleh partai

politik. Dengan fungsi yang melekat pada

partai politik itu sendiri, harusnya parpol

mampu untuk mengirimkan calonnya

tanpa ragu, dengan tidak mendukung calon

perseorangan.

Ada beberapa pola pemahaman dan

strategi yang baru untuk mencegah

deparpolisasi terjadi. Pertama,

mempertajam visi, misi, implementasi dari

ideologi partai. Masyarakat Indonesia

masih melihat partai politik sebagai suatu

kesatuan yang bercorak sama. Irisan

ideologi partai politik di Indonesia

sangatlah besar. Membuat ideologi partai-

partai semakin bias. PDI-P dan Demokrat

dipandang sama, padahal azas-azas

partainya sudah jelas berbeda. Bila benar

dilakukan, partai akan memberikan ciri

yang jelas kepada masyarakat, tidak seperti

calon independen yang memiliki

kegamangan dalam konsepsi ideologi

kepemimpinannya bila terpilih nanti.

Kedua, pola pemikiran “pimpinan

partai yang harus nyapres” perlu diubah.

Pola pemikiran ini erat kaitannya dengan

proses kaderisasi partai. Kekalahan dari

beberapa pemimpin partai politik di

pemilu 2004 dan 2009 bisa menjadi

contohnya. Pada kala itu, partai politik

berlomba-lomba mencalonkan para

petingginya untuk maju dalam pemilihan

tanpa ada pertimbangan bahwa

sebenarnya, ada kader yang layak dan

mumpuni untuk menggantikannya.

Kemenangan Joko Widodo mungkin bisa

menjadi sinyalemen bagi partai politik di

pemilihan-pemilihan selanjutnya, untuk

meraih elektabilitas melalui strategi

“ketokohan”. Faktor Jokowi mampu

menggeser faktor “Mega” di Pemilu 2014

lalu.

Seringkali juga, partai politik

hanya “merekrut” kader bukan “mencetak”

kader. Hal ini dibuktikan dengan banyak

partai yang melakukan perekrutan “kader”

hanya karena ia pengusaha kaya atau

purnawirawan perwira tinggi TNI-Polri

atau artis papan atas untuk menjadi

pengurus di posisi strategis partainya.

Pemikiran ini harus ditinggalkan. Kader

yang mumpuni haruslah berasal dari

orang-orang yang memiliki kapabilitas

dalam memimpin. Tugas partai politiklah

Page 17: Aufklarung mei 2016

yang mengajaknya bergabung, melatihnya,

lalu mempromosikannya sebagai kader

profesional partai. Model down-top ini

baik diterapkan karena bisa menciptakan

tokoh politik yang kuat secara ideologi dan

terkesan “from the people-of the people,”

yang mana disukai oleh rakyat-rakyat di

Indonesia.

Ketiga, strategi untuk menentukan,

siapa yang akan maju membela

kepentingan partai di pemilihan. Apresiasi

tinggi penulis berikan kepada Partai

Republik dan Demokrat di Amerika

Serikat yang saat ini sedang dalam titik

panas dalam acara konvensi masing-

masing partai. Diiringi dengan debat

panas, metode konvensi yang dilakukan

partai-partai ini mampu menarik perhatian

masyarakat untuk tetap antusias mengikuti

jalannya perpolitikan di Amerika Serikat.

Indonesia sebenarnya sudah pernah

menerapkan metode ini saat pemilihan

calon presiden Partai Demokrat. Strategi

konvensi ini bisa memberikan sinyal

positif ke masyarakat dari partai bahwa

penjaringan calon pemimpin di partai

dilakukan secara profesional dan sangat

terbuka, menunjukkan keinginan untuk

melibatkan masyarakat dalam politik

secara holistik.

Akhir kata, respon partai politik

dalam menanggapi calon-calon

independen-lah yang akan menentukan

siapa pemenang dalam Pilkada DKI

Jakarta nanti. Partai politik yang secara

sejarah sudah menjadi bagian pergerakan

dari massa di Indonesia harus mengambil

langkah cermat agar tetap bisa eksis di

alam demokrasi. Di atas semua itu, partai

politik akan tetap dibutuhkan, karena suatu

usaha mobilisasi massa sebesar apa pun,

tidak mungkin dapat digerakkan tanpa

diwadahi dalam suatu organisasi yang

mempersatukan, seperti yang dilakukan

PNI, PKI, Masyumi di era perjuangan

kemerdekaan dahulu. Sebagai

rekomendasi, buku karya Max Lane

berjudul Unfinished Nation patut dibaca

untuk memberikan penjelasan yang utuh

terkait partai politik dan aksi massa.

Page 18: Aufklarung mei 2016
Page 19: Aufklarung mei 2016

Opini Bebas

Mei dan Reformasi

Oleh: Ucu Feni

Sekretaris Umum LPPMD UNPAD 2015-2016

Bulan Mei menempati ruang khusus di dalam benak sebagian besar bangsa Indonesia.

Banyak peristiwa yang terjadi di bulan Mei yang semakin terkenang ketika ada aksi-aksi

melawan lupa terhadap tragedi kelam dalam sejarah Indonesia tersebut. Bulan Mei diidentikkan

sebagai salah satu bulan perjuangan melalui upaya reformasi yang menjadi tuntutan rakyat kala

itu. Reformasi merupakan sebuah impian mahal yang ternyata bayarannya adalah nyawa. Seperti

yang telah direkontruksikan dalam sejarah, peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1998 menjadi

catatan hitam yang menyisakan trauma dan tuntutan penyelesaiannya hingga hari ini.

Bulan Mei 1998 menjadi sangat penting ketika setiap teriakan menuntut keadilan

dibalas oleh kokang senjata. Inikah representasi demokrasi? Kalau meminjam istilah salah

seorang teman saya, demokrasi semacam itu hanyalah demokrasi semu. Seperti diberi kebebasan

tapi nyatanya dikekang di sana-sini, tindakan represif sudah menjadi makanan sehari-hari hingga

puncak perlawanan meletus di tahun 1998 paska krisis moneter yang memukul semua industri di

Indonesia.

Tahun 1998 kiranya menjadi salah satu dari tahun-tahun terpanjang bagi bangsa

Indonesia dengan semua krisis dan kerusuhan yang ada. Banyak hal yang dapat dibicarakan

mengenai apa yang terjadi ketika 1998, tapi pada tulisan ini saya ingin sedikit mengemukakan

kegelisahan mengenai reformasi.

Sebuah impian mahal yang diperjuangkan lewat berbagai cara, tidak hanya sekali dua

kali, namun berkelanjutan hingga akhirnya janji itu berhasil diraih. Tapi reformasi yang diimpi-

impikan nampaknya menguap hanya sebagai janji belaka. Penenang agar kerusuhan mereda,

peredam agar amuk massa tak berlarut-larut. Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap

suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Rakyat Indonesia membutuhkan perubahan sistem

setelah selama tiga dekade lebih di bawah pemerintahan yang represif. Satu pemimpin untuk

selang waktu yang sangat lama menurut saya juga tidak mencerminkan dinamika demokrasi

yang sehat.

Page 20: Aufklarung mei 2016

Banyak hal-hal yang memicu lahirnya gerakan menuntut reformasi, di samping yang

dikemukakan di atas. Salah satu faktor yang mendorong adalah terhimpitnya kesejahteraan

rakyat akibat gelombang krisis ekonomi di sepanjang 1997-1998. Rencana pembangunan

nasional yang disusun berkala dan bertahap tak menjamin kesejahteraan rakyat. Berbagai

tekanan di tataran sosial politik membuat rakyat tak kuat lagi dan menggeliat mencoba keluar

dari kungkungan rezim. Telah banyak peristiwa pengantar kerusuhan 1998. Kasus penghilangan

orang secara paksa telah terjadi sepanjang era Suharto. Banyak pelanggaran terhadap

kemanusiaan yang dilanggengkan kala itu. Setiap suara yang keluar dibayar dengan

melayangnya nyawa. Indonesia di tengah kondisi yang mencekik dan kian mencekam di 1998.

Bobroknya pemerintahan yang ada tentunya membuat rakyat gerah dan sangat tidak puas

terhadap kepemimpinan Suharto. Suara-suara yang lama terpenjarakan itu akhirnya dikeluarkan

sekeras-kerasnya melalui sebuah aksi massa terhebat sepanjang sejarah pergerakan paska

kemerdekaan Indonesia. Reformasi lahir dari gerakan massif tahun 1998.

Setidaknya terdapat enam poin tuntutan reformasi dalam gerakan 1998, yaitu:

1. Penegakan Supremasi hukum;

2. Pemberantasan KKN;

3. Mengadili Suharto dan kroninya;

4. Amandemen Konstitusi;

5. Pencabutan Dwifungsi ABRI/POLRI;

6. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Salah satu hal yang menimbulkan mosi tidak percaya terhadap tampuk kepemimpinan

Suharto adalah langgengnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Praktik tersebut

membuat kekayaan Negara tercurah begitu saja pada kelompok pejabat sedangkan kesejahteraan

rakyat tertinggal jauh di balik program-program pembangunan. Praktik KKN yang menjadi

penyakit pemerintahan Suharto menjadi salah satu penambah bobroknya pengelolaan Negara,

sehingga ketika reformasi digaungkan, perlawanan dan penghapusan praktik KKN menjadi

bagian yang paling kencang diteriakkan. Tetapi lihatlah kondisi sosial politik hari ini, setelah 18

tahun tuntutan reformasi, praktik KKN justru semakin menggila. Apakah perjuangan setiap

nyawa yang gugur pada kerusuhan 1998 hanya mampu berujung di batas harapan-harapan yang

sekedar digantungkan para penguasa? Apakah setiap teriakan, isak tangis, dan kesedihan akan

tragedi kemanusiaan 1998 akan dibiarkan sia-sia, karena hingga hari ini belum semua tuntutan

Page 21: Aufklarung mei 2016

reformasi dipenuhi. Karena hari ini kita berada di tengah era reformasi tanpa sedikitpun

merasakan adanya suatu perubahan sistem secara berarti. Mungkin secara konstitusi kita

diberikan kebebasan dan kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat ataupun aktivitas yang

lainnya. Akan tetapi, di sisi lain, langkah kita pun dihalangi oleh setumpuk kebijakan birokratis

yang merepresi pergerakan baik disadari atau tidak.

Akan sangat rumit membahas mengenai reformasi 1998 terlebih dengan semua

kepentingan politik yang mewarnainya. Terlebih lagi sebuah peristiwa sejarah tentunya harus

dilihat dari berbagai perspektif, karena rekonstruksi sejarah berbicara mengenai sudut pandang,

bukan soal lurus atau beloknya suatu pengkisahan. Tulisan singkat ini sebetulnya hanya

bermaksud mencurahkan kegelisahan akan menguapnya tuntutan reformasi yang dulu disuarakan

melalui perjuangan yang tak sedikit. Jangankan menuju tatanan reformasi seperti yang

diharapkan dapat memperbaiki stabilitas nasional di segala bidang, tuntutan menuju tahap

reformasi pun belum semuanya terselesaikan. Tulisan ini belum akan berbicara mengenai

sekelumit permasalahan lainnya di balik tragedi 1998 yang juga turut menguap di udara seperti

pertanggungjawaban atas peristiwa penghilangan nyawa, pemerkosaan, serta berbagai kerusuhan

lainnya yang membuat jatuhnya korban dalam jumlah besar. Tulisan ini hanya bermaksud

mengingatkan kembali bahwa salah satu faktor yang mendorong rakyat pada kemiskinan adalah

langgengnya praktik KKN yang kian mengganas hari ini. Pemberantasan KKN sebagai salah

satu tuntutan reformasi penting untuk terus dikawal perkembangannya, mengingat semakin hari

semakin banyak praktik KKN, utamanya korupsi, di badan pemerintahan.

Kawan-kawanku, mahasiswa, jangan biarkan tuntutan reformasi tenggelam dan

terlupakan. Menginjak usianya yang ke-18, tuntutan reformasi sudah selayaknya diselesaikan

semua, akan tetapi, lain das sollen, lain pula das sein. Keselerasan akan keduanya membutuhkan

aksi nyata dari seluruh elemen untuk senantiasa mewujudkan reformasi. Setidaknya ada sikap

yang kita ambil sebagai penghormatan terhadap saudara-saudara kita yang menjadi korban

kekejaman suatu rezim. Semoga keempat kawan kita yang tertembak pada 12 Mei delapan belas

tahun silam tak menangis, melihat bagaimana kerusuhan yang menakutkan hanya berakhir pada

meja-meja yang terbentur kekuasaan. Tuntutan-tuntutan keadilan menguap begitu saja

tergantikan tuntutan-tuntutan baru yang juga mencekik. Janganlah bersedih, kawan. Kami takkan

lupa. Kami menolak lupa, kami mengecam upaya penghapusan ingatan. Salam perjuangan!

Page 22: Aufklarung mei 2016
Page 23: Aufklarung mei 2016

Kekalutan intelegensia

Page 24: Aufklarung mei 2016
Page 25: Aufklarung mei 2016
Page 26: Aufklarung mei 2016
Page 27: Aufklarung mei 2016

Sajak Melawan Lupa

Oleh: Ucu Feni

Teriakan melawan lupa bukanlah sebuah slogan semata,

yang mewarnai kekejaman pemerintah terhadap bangsanya sendiri

Dalam kehidupan kami yang sederhana,

Kami pun memelihara teriakan itu di dalam kepala

Semakin menguat ketika senja tiba

Lalu perlahan tapi pasti teriakan itu bersemayam di hati.

Kami tak sedang memendam dendam

Tapi apa daya, kebencian itu tak kunjung padam

Bagaimana bisa kami tak geram,

Dianiaya oleh kawan kami sendiri,

yang terlihat parlente meneriakkan perjuangan rakyat

Omong kosong belaka itu semua, tak ubah tong kosong yang nyaring bunyinya.

Di hadapan publik terlihat empati terhadap penindasan

Tapi tanpa sadar menindas kami dengan laku angkuh dan nyalak liar

Begitu merdeka mengkritik sana sini

Tapi lupa bercermin seperti apa rupa diri

Duh, kami jadi miris melihatnya

Kasihan sekali rakyat di luar sana yang memang membutuhkan pertolongan

Namun dihampiri golongan intelek bau ketek yang cuma ikut merongrong

bagaimana bisa kami tak benci,

Melihat wayang-wayang itu pertantang pertenteng menebar kepedulian penuh ilusi

Sementara di sini, kami yang hanya ingin mencari sesuap nasi, dicaci, dimaki

Dibilang tak paham gunakan otak biar uang datang berarak

Dibilang hina mencari uang berurai keringat

Apapula hak mu merecoki urusan kami di sini

Kami tak sedikitpun mengganggumu

mengapa tak lelahnya campuri urusan kami

Bukankah kita sama; berontak ketika perut berteriak?

Tak setujukah kau, kawan?

Hingga sampai hati mengajari bahwa bekerja pun membutuhkan intelektualitas.

Terima kasih, kawan, kami anggap kau mengingatkan

Mungkin lapar ini telah membuat kami semakin pikun dan bodoh

Tapi kami menolak lupa, kawan.

Kiranya kau memiliki intelektualitas itu, engkau takkan mengerubungi apa yang kami jalani

Karena kami tahu, bukan kepedulian yang ingin kau bawa, hanya hinaan dan cacian

Merasa diri lebih tinggi dan berharga

Inikah kiranya cermin para pejuang untuk rakyat?

Hahaha rasanya kami tak bisa berhenti tertawa

Ah sudahlah kami tak sanggup meneruskannya, kami takut gila

Seperti dirimu.

Kami menolak lupa,

Untuk setiap luka

Di kala kau alpa,

Di kala kau jumawa.

Page 28: Aufklarung mei 2016
Page 29: Aufklarung mei 2016
Page 30: Aufklarung mei 2016
Page 31: Aufklarung mei 2016
Page 32: Aufklarung mei 2016
Page 33: Aufklarung mei 2016
Page 34: Aufklarung mei 2016
Page 35: Aufklarung mei 2016
Page 36: Aufklarung mei 2016

Cukup di Kelas Saja!

Oleh: Annadi M. Alkaf

Kadiv Pendidikan LPPMD Unpad 2015-2016

Kelak, jika aku menjadi seorang guru

Akan kuajari murid-muridku

Tentang wawasan kebangsaan

Tentang sosial dan politik

Tentang negara dan demokrasi

Tapi, cukup dikelas saja

Selebihnya, mereka harus tunduk padaku

Padaku yang menjadi sang guru

Tak boleh ada kritik,

Karena aku adalah sang guru

Juga tak boleh tak sependapat

Karena aku akan mendepaknya

Semua kegiatan-kegiatan sekolah

Harus sejalan dengan pikiranku

Harus sesuai dengan keinginanku

Jika tidak, maka tak perlu berkegiatan

Dan jika ada yang bilang aku otoriter

Bukankah sudah aku katakan,

Demokrasi cukup diajarkan di kelas saja

tak perlulah dipraktikkan segala.

.

.

.

Kelak, jika aku menjadi seorang guru

Akan kuajari murid-muridku

Untuk mencintai ilmu pengetahuan

Akan kuajari murid-muridku

Agar mengabdikan ilmu tanpa pamrih

Tak perlu mengharap pujian,

Apalagi penghargaan

Tapi, cukup dikelas saja

Page 37: Aufklarung mei 2016

Selebihnya,

Akan kutuntut murid-muridku

Untuk bisa berprestasi

berprestasi di satu bidang saja

Cukup di bidang akademik

Dan jika ada diantara murid-muridku

Yang berbakat di bidang lain

Maka cukup kubiarkan saja,

Silakan ia kembangkan bakatnya sendiri

Karena aku takkan begitu peduli

Karena targetku,

Murid-muridku hanya harus berprestasi akademik

Ya, akademik saja

Dan semua ini kulakukan

Demi penghargaan-penghargaan besar

Demi peringkat sekolah

Dan demi nama besar sekolah

Nama besar di mata masyarakat

Pada akhirnya,

murid-muridku harus tahu

Juga harus mengerti akan realita

Dan juga memahami

Bahwa semua yang kuajarkan

Cukup dipelajari di kelas saja.

Page 38: Aufklarung mei 2016
Page 39: Aufklarung mei 2016
Page 40: Aufklarung mei 2016
Page 41: Aufklarung mei 2016