Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

138
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Audit expectation gap pertama kali diungkapkan oleh Liggio (1974) yang menyatakan bahwa expectation gap muncul karena adanya perbedaan persepsi antara akuntan independen dengan pemakai laporan keuangan mengenai tingkat kinerja yang diharapkan dari profesi akuntan. Pemahaman tentang audit expectation gap dikemukakan oleh Bailey et al.(1983), Epstein dan Geiger (1994), Nair dan Rittenberg (1987), Kelly dan Mohrweis (1989); dan Miller et al. (1990). Mereka menyatakan bahwa pengetahuan dari pengguna dan faktor komunikasi informasi yang diberikan auditor terhadap pengguna dalam bentuk laporan audit berpengaruh terhadap besarnya ukuran expectation gap. Monroe dan Woodliff (1994) mendefinisikan expectation gap sebagai perbedaan antara keyakinan auditor 1

description

akuntansi

Transcript of Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

Page 1: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Audit expectation gap pertama kali diungkapkan oleh Liggio

(1974) yang menyatakan bahwa expectation gap muncul karena adanya

perbedaan persepsi antara akuntan independen dengan pemakai laporan

keuangan mengenai tingkat kinerja yang diharapkan dari profesi akuntan.

Pemahaman tentang audit expectation gap dikemukakan oleh Bailey et al.

(1983), Epstein dan Geiger (1994), Nair dan Rittenberg (1987), Kelly dan

Mohrweis (1989); dan Miller et al. (1990). Mereka menyatakan bahwa

pengetahuan dari pengguna dan faktor komunikasi informasi yang

diberikan auditor terhadap pengguna dalam bentuk laporan audit

berpengaruh terhadap besarnya ukuran expectation gap.

Monroe dan Woodliff (1994) mendefinisikan expectation gap

sebagai perbedaan antara keyakinan auditor dan masyarakat tentang

tugas dan tanggung jawab yang ditanggung oleh auditor, dan pesan yang

disampaikan oleh laporan audit. Salah satu tujuan utama dari laporan

keuangan adalah mendorong alokasi optimal dari investasi modal dengan

menyediakan semua bahan, informasi yang relevan kepada masyarakat

pengguna. Tujuan dari laporan audit adalah untuk mengungkapkan

keberhasilan auditor dalam memverifikasi asersi laporan keuangan. Oleh

1

Page 2: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

2

karena itu, mengkhawatirkan jika terdapat perbedaan antara auditor dan

pengguna. Dengan demikian, expectation gap telah mendorong banyak

pertanyaan tentang kualitas audit pada umumnya dan khususnya,

kemampuan auditor untuk membuat penilaian dalam ketidakpastian going

concern (Aljaadi, 2009). Audit expectation gap juga telah diteliti di negara-

negara seperti Nigeria, Bangladesh, Malaysia, Thailand, Iran, Irak, Egypth,

dan India.

Di Nigeria, Ebimobowei dan Kereotu (2011) melakukan penelitian

expectation gap untuk mengkaji role theory dan audit expectation gap

serta kinerja auditor internal dalam mencegah penyalahgunaan dana

pemerintahan. Hasilnya menunjukkan hubungan yang signifikan antara

audit expectation gap dan auditor internal dalam mencegah

penyalahgunaan keuangan di masyarakat. Oleh karena itu, auditor

internal dianjurkan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

profesional mereka dengan menjadi anggota Institut Akuntan Chartered

Nigeria (ICAN).

Lee et al. (2007) melakukan penelitian di Malaysia. Tujuan

penelitiannya adalah untuk meneliti apakah terdapat audit expectation gap

antara auditor, auditee dan penerima manfaat audit. Hasilnya

menunjukkan bahwa auditee dan penerima manfaat audit memiliki

harapan yang jauh lebih tinggi dibanding auditor itu sendiri.

Di Indonesia, pemakai laporan keuangan menuntut laporan

keuangan auditan yang dapat dipercaya dan menyediakan informasi yang

Page 3: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

3

lebih lengkap dan benar sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil

keputusan. Harapan para pemakai laporan keuangan terhadap laporan

keuangan auditan terkadang melebihi apa yang menjadi peran dan

tanggung jawab auditor. Semakin banyaknya tuntutan masyarakat

mengenai profesionalisme auditor menunjukkan besarnya expectation gap

(Yeni, 2000). Expectation gap terjadi ketika ada perbedaan antara apa

yang masyarakat atau pemakai laporan keuangan harapkan dari auditor

dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh auditor (Yuliati et al., 2007).

Expectation gap terjadi dalam lingkungan audit sektor privat

maupun sektor publik. Hal ini disebabkan karena baik sektor privat

maupun sektor publik sama-sama menyusun laporan keuangan sebagai

wujud pertanggungjawaban keuangan kepada pihak-pihak yang

membutuhkan. Audit sektor privat bertanggung jawab hanya kepada

pemilik perusahaan (pemegang saham) dan kreditur atas dana yang

diberikan. Sedangkan, sektor publik bertanggung jawab kepada

masyarakat karena sumber dana yang digunakan berasal dari

masyarakat. Serikat dagang sektor publik GASB (1999:184) dalam

Mardiasmo (2009:171) mengidentifikasikan pemakai laporan keuangan

pemerintah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: masyarakat yang

kepadanya pemerintah bertanggung jawab, legislatif dan badan

pengawasan yang secara langsung mewakili rakyat, serta investor dan

kreditor yang memberi pinjaman dan/atau berpartisipasi dalam proses

pemberian pinjaman.

Page 4: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

4

Setiap pemakai laporan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang

berbeda-beda terhadap informasi keuangan yang diberikan pemerintah.

Bahkan diantara kelompok pemakai laporan keuangan tersebut dapat

timbul konflik kepentingan. Laporan keuangan pemerintah disediakan

untuk memberikan informasi kepada berbagai kelompok pemakai,

meskipun setiap kelompok pemakai memiliki kebutuhan akan informasi

yang berbeda-beda (Mardiasmo, 2009:171).

Untuk menjamin bahwa pertanggungjawaban publik telah dilakukan

oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka diperlukan fungsi pemeriksaan

yang hanya dilakukan oleh lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan

keahlian profesional, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan

Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau akuntan publik

yang independen. Jika DPR/DPRD menghendaki, dewan dapat meminta

BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan

terhadap kinerja keuangan eksekutif. BPK merupakan lembaga pemeriksa

yang independen. Auditor eksternal sendiri merupakan unit pemeriksa

yang berada di luar organisasi yang diperiksa (Mardiasmo, 2009:190).

Pemberian kepercayaan kepada auditor dengan memberi peran

yang lebih besar untuk memeriksa lembaga-lembaga pemerintahan, telah

menjadi bagian penting dalam proses terciptanya akuntabilitas publik.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan dalam

rangka memberantas praktik kecurangan, kolusi dan nepotisme, maka

masyarakat diharapkan juga berperan aktif dalam proses

Page 5: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

5

penyelenggaraan negara dengan cara memberikan informasi, dan

menyampaikan saran serta pendapatnya secara bertanggung jawab.

Hasil pemeriksaan auditor atas laporan keuangan pemerintah

daerah dijabarkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I

dan II. IHPS semester II (2012), menjelaskan bahwa tujuan pemeriksaan

atas laporan keuangan pemerintah daerah adalah untuk memberikan

pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam

laporan keuangan. Adapun kriteria pemberian opini menurut UU No. 15

tahun 2004 penjelasan pasal 16 ayat 1, opini merupakan pernyataan

profesional pemeriksaan mengenai kewajaran informasi keuangan yang

disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i)

kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan; (ii) kecukupan

pengungkapan; (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;

dan (iv) efektifitas sistem pengendalian internal.

Opini LKPD tahun 2011 atas 540 pemerintah daerah di Indonesia,

dapat dilihat pada tabel 1.1 sedangkan opini LKPD khusus wilayah

Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada tabel 1.2, berikut:

Tabel 1.1Opini LKPD tahun2011

Page 6: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

6

Tabel 1.2Opini atas LKPD Provinsi Sulawesi Selatan

Sumber : IHPS II tahun 2012 Badan Pemeriksa Keuangan

Tabel 1.2 di atas menggambarkan bahwa 3 LKPD memeroleh opini

wajar tanpa pengecualian (WTP), 16 LKPD memeroleh opini wajar

dengan pengecualian (WDP), dan 6 LKPD memeroleh opini tidak

memberikan pendapat (TMP). Hal ini menunjukkan bahwa LKPD yang

memeroleh opini WDP pada umumnya telah memiliki sistem pengendalian

Page 7: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

7

internal (SPI) yang memadai meskipun masih memerlukan peningkatan

dalam hal kualitas laporan keuangan. Adapun LKPD yang memeroleh

opini TMP belum melaksanakan SPI secara maksimal terutama penilaian

risiko baik dari segi identifikasi maupun analisis resiko.

Lemahnya SPI menimbulkan berbagai macam kasus dalam hal

anggaran, pelaporan dan akuntansi. IHPS II (2012) menjabarkan berbagai

macam bentuk penyelewengan atau kecurangan disebabkan lemahnya

SPI pada berbagai daerah di Indonesia.

Berdasarkan data IHPS sebelumnya, pemerintah Indonesia

mencoba memerangi kecurangan yang tampaknya tak banyak

memberikan perubahan berarti. Terbukti Indonesia hanya menunjukkan

sedikit perbaikan dibandingkan tahun lalu. Menurut survei terbaru badan

Transparency International (TI), tahun 2012 Indonesia menempati

peringkat 118 dengan skor 32 dari 174 negara yang disurvei. Peringkat

Indonesia mengalami peningkatan, mengingat pada tahun 2011 berada di

peringkat 105 dengan skor 2,8. Skor 0 merupakan yang paling korup dan

skor 10 merupakan yang paling tidak korup (www.ti.or.id). “Membiarkan

kecurangan akuntansi berlanjut itu tak bisa diterima, terlalu banyak orang

miskin dan lemah yang terus menderita konsekuensi kecurangan

akuntansi di seluruh dunia,” kata presiden TI, Huguette Labelle seperti

dilansir kantor berita AFP, Selasa (26/10/2010). Ada tiga negara yang

sama-sama meraih skor 9,3 yang artinya merupakan negara-negara yang

paling rendah tingkat kecurangan akuntansinya, yakni Denmark, Finland

Page 8: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

8

dan New Zealand. Diikuti kemudian oleh Sweden, Singapore dan

Switzerland.

Indeks persepsi kecurangan akuntansi mencerminkan persepsi

masyarakat, khususnya pebisnis tentang tingkat kecurangan akuntansi

suatu negara yang dilihat dari bagaimana layanan publik yang mereka

rasakan. Survei ini mencerminkan persepsi masyarakat (mayoritas

pebisnis) suatu negara atau orang asing yang melakukan bisnis di negara

tersebut terhadap tingkat kecurangan akuntansi suatu negara. Indeks ini

bukanlah mencerminkan tingkat kecurangan akuntansi yang sebenarnya,

tetapi tingkat kecurangan akuntansi yang dipersepsikan oleh para pelaku

bisnis.

Indeks persepsi kecurangan akuntansi Indonesia adalah instrumen

pengukuran tingkat kecurangan akuntansi di kota-kota Indonesia. Indeks

persepsi kecurangan akuntansi Indonesia dibuat berdasarkan survei yang

metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia, dengan cara mengukur

tingkat kecurangan akuntansi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33

ibukota provinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan secara ekonomi.

Rentang indeks antara 0 sampai 10. 0 berarti dipersepsikan sangat korup,

10 sangat bersih.

Page 9: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

9

Tabel 1.3Indeks Persepsi Kecurangan Akuntansi

Di 50 Kabupaten / Kota Diurutkan dari yang tertinggi

Sumber : International Transparancy (2010)

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya praktek kecurangan

akuntansi adalah pengembangan sistem akuntansi yang baik oleh

pemerintah (Pope, 2003) dan pengawasan terhadap kualitas informasi

keuangan instansi pemerintah (SPKN, 2007). Sistem akuntansi yang

dirancang dan dijalankan dengan baik akan menjamin dilakukannya

prinsip stewardship dan accountability dengan baik pula (Mardiasmo,

2009:143).

Laporan keuangan juga merupakan potret kinerja suatu entitas.

Esensinya menjadi landasan keputusan banyak pihak, investor, kreditur,

agen pemerintah, karyawan dan masyarakat umum secara luas, akibatnya

manajemen mungkin memiliki keinginan ekonomi tertentu untuk

melakukan tindakan rekayasa atau manipulasi laporan keuangan guna

Page 10: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

10

mendapatkan hasil tertentu yang diinginkan. Alasan ini yang

menyebabkan perlunya pemeriksaan auditor (Winarna dan Rahmawati,

2001).

Tindakan rekayasa atau memanipulasi laporan keuangan ini yang

dikenal dengan istilah creative accounting. Menurut Amat et al. (2004:4)

“creative accounting is referred to also as income smoothing, earnings

management, earnings smoothing, financial engineering and cosmetic

accounting”. Creative accounting bukanlah hal baru, ini telah menjadi

godaan dan masalah sejak prinsip akuntansi pertama kali digunakan

untuk melaporkan kinerja perusahaan (Amor dan Warner, 2003:3). Lebih

lanjut, Amor dan Warner mendefinisikan,

creative accounting in a publicly quoted company is about manipulating the financial numbers to arrive at an answer that meets the needs of the company management, rather than providing objective information for the external recipients–primarily shareholders.

Definisi ini menjelaskan bahwa creative accounting dalam

perusahaan merupakan suatu upaya memanipulasi data keuangan untuk

memenuhi kebutuhan pihak manajemen, dibanding memberikan informasi

yang objektif kepada pihak eksternal - khususnya pemegang saham.

Amat et al. (2004) melihat penggunaan creative accounting

cenderung lebih banyak menyulitkan dibandingkan menguntungkan

penggunanya karena mengambil keuntungan pada suatu daerah yang

cenderung tingkat ambiguitas dan diskontinuitasnya tinggi. Selain itu

fleksibilitas regulasi juga mengizinkan berbagai pilihan kebijakan, misalnya

Page 11: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

11

penilaian aset tetap, seperti dalam kasus International Accounting

Standard (IAS) yang memungkinkan jumlah aktiva tidak lancar direvaluasi

atau disusutkan berdasarkan biaya historis. Dapat dikatakan bahwa,

creative accounting merupakan transformasi informasi keuangan dengan

menggunakan pilihan metode, estimasi, dan praktik akuntansi yang

diperbolehkan oleh standar akuntansi

Penelitian creative accounting pada sektor privat telah banyak

dilakukan, antara lain: Grosanu et al. (2012); Amat dan Gowthorpe (2004);

Ghosh (2010); Vladu dan Matis (2010); Salome et al. (2012); Ali Shah et

al. (2011); Amat et al. (1999); dan Gherai dan Balaciu (2011) sedangkan

di sektor publik, antara lain penelitian Benito et al. (2007) serta penelitian

Vinnari dan Nasi (2008).

Benito et al. (2007:964) meneliti “an example of creative

accounting in public sector: the private financing of infrastructures in

Spain”, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk memenuhi kriteria

konvergensi yang ditetapkan oleh Uni Eropa, maka untuk pembiayaan

pada pihak swasta, pemerintah melakukan pembayaran dengan cara

pengakuan anggaran dan penangguhan akuntansi serta

mengungkapkannya sebagai utang atas laporan keuangan proyek. Ini

merupakan salah satu tindakan creative accounting.

Penelitian Vinnari dan Nasi (2008:113) “creative accrual

accounting in public sector: ‘Milking’ water utilities to balance municipal

budgets and accounts”, hasilnya menunjukkan bahwa penerapan

Page 12: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

12

akuntansi berbasis akrual di sektor publik tidak menjamin ekuitas

transparansi dan akuntabilitas, melainkan memberi peluang dilakukannya

creative accounting. Hal ini bertentangan dengan ide dasar akuntansi

sebagai sarana yang memberikan pengungkapan handal, benar dan adil

dari laporan keuangan entitas secara keseluruhan. Dengan demikian,

praktik akuntansi sektor publik harus ditinjau dan dikembangkan lebih

lanjut. Prinsip akuntansi yang berlaku umum diperlukan untuk mengatur

akuntansi akrual di sektor publik, khususnya valuasi nilai wajar aset tetap,

seperti aset infrastruktur.

Penyajian laporan keuangan merupakan salah satu bentuk

dilaksanakannya akuntabilitas dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

Akuntabilitas suatu daerah akan dianggap lemah jika tidak mampu

menunjukkan laporan keuangannya. Hal ini perlu dilakukan karena terkait

dengan transparansi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik (Adam dan

Evans, 2004).

Untuk menjamin bahwa laporan keuangan pemerintah daerah

telah disajikan secara wajar, dibutuhkan keahlian seorang auditor. Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga tinggi negara yang

memegang amanat konstitusi untuk melakukan pemeriksaan atas

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Sebagai auditor

pemerintah, BPK mendapat kepercayaan klien untuk memeriksa laporan

keuangan yang disajikan klien.

Page 13: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

13

Saat ini, masyarakat memandang audit berdasarkan pendekatan

hasil (result). Mereka menuding aparat pengawasan dianggap tidak

mampu mengemban tugas dalam mengawasi pelaksanaan kegiatan

pemerintahan dan pembangunan. Tudingan tersebut ada benarnya,

karena pengawasan yang dilakukan oleh BPK, BPKP, dan Bawasda,

selama ini masih kurang efektif dan efisien (Soelendro, 2000).

Gap antara auditor dan masyarakat perlu dijembatani, jika tidak,

maka yang rugi adalah auditor itu sendiri. Porter et al. (2003;124)

menyatakan, “auditor need to be better informed about their existing under

statute and case law, regulations and professional promulgations,

standard of work and improved quality control procedures”. Menurut

Porter, seorang auditor sebaiknya diingatkan bahwa mereka bertanggung

jawab secara hukum, peraturan dan regulasi profesi akan terus

mengawasi agar mereka meningkatkan kualitas kerjanya. Gap antara

auditor dan masyarakat terjadi akibat perbedaan persepsi antara

keduanya. Pesan yang ingin disampaikan auditor disalahartikan oleh

pengguna sehingga laporan hasil pemeriksaan menjadi tidak bermanfaat

dan menimbulkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Perbedaan

antara apa yang diharapkan oleh masyarakat (pengguna laporan

keuangan) dengan apa yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab

auditor diistilahkan dengan expectation gap (Halim, 2001)

Penelitian-penelitian mengenai audit expectation gap banyak

dilakukan di sektor privat, sehingga terkesan penelitian di sektor publik

Page 14: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

14

kurang mendapat perhatian baik dari kalangan akademisi maupun dari

kalangan profesional. Kondisi tersebut tidak sebanding dengan tanggung

jawab yang diemban auditor dalam membantu legislatif untuk mengawasi

pengelolaan keuangan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau

lembaga-lembaga sektor publik. Tanggung jawab auditor sektor publik

lebih kompleks dibanding sektor privat karena domain sektor publik

memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan

sektor privat. Keluasan wilayah tidak hanya disebabkan luasnya jenis dan

bentuk organisasi yang berada di dalamnya, akan tetapi juga karena

kompleksnya lingkungan yang memengaruhi lembaga-lembaga publik

tersebut (Mardiasmo,2009:1).

Penelitian ini dikembangkan dari penelitian yang dilakukan oleh

Chowdhury dan Kouhi (2005) yang berjudul The Public Sector AEG in

Bangladesh dan disertasi Al-Qarni (2004) yang berjudul The Audit

Expectation Gap in Saudi Arabia: Perceptions of Auditors, Prepares and

Financial Statement Users. Responden penelitian Chowdhury dan Kouhi

(2005) adalah kelompok Controller and Auditor General (CAG) dengan

2(dua) kelompok pengguna yaitu Public Account Committee (PAC) dan

International Finding Agencies (IFA). Auditor CAG memiliki kewajiban

konstitusi untuk melaporkan hasil auditnya kepada PAC, karena PAC

dianggap sebagai parlemen yang bertugas untuk mengamankan

akuntabilitas sektor publik melalui fungsi audit CAG sebagaimana yang

telah ditetapkan oleh konstitusi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

Page 15: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

15

terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi auditor kelompok

CAG dengan kelompok pengguna PAC dan IFA. Chowdhury dan Kouhi

(2005) membenarkan adanya audit expectation gap di bidang pelaporan

CAG, akuntabilitas, auditor independensi, kompetensi auditor, audit bukti

dan audit kinerja, dengan menggunakan bukti statistik. Lebih lanjut,

Chowdhury dan Kouhi menjelaskan bahwa jika para anggota PAC tidak

memiliki program pelatihan wajib, maka mereka hanya akan menjalani

proses belajar sangat informal dan sukarela. Di lain pihak, para wakil IFA

memiliki lebih banyak pelatihan dibanding anggota PAC bahkan memiliki

jaringan pelatihan global. Meskipun auditor CAG menerima banyak

pelatihan teknis, namun yang lebih dibutuhkan adalah pelatihan

bagaimana memenuhi harapan kebutuhan informasi pengguna laporan

mereka. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjembatani

kesenjangan antara harapan auditor CAG dan pengguna adalah melalui

pelatihan yang lebih baik untuk semua pihak yang terlibat dan lebih

membutuhkan pengertian dan kerjasama antara mitra strategis demi

akuntabilitas sektor publik dan tata pemerintahan yang demokratis.

Responden penelitian Al-Qarni (2004) adalah auditor, pembuat dan

pemakai laporan keuangan termasuk anggota Saudi Organization for

Certified Public Accountant's (SOCPA), menunjukkan hasil bahwa

terdapat perbedaan persepsi antar 4 (empat) kelompok baik dalam hal

fungsi audit dan kinerja yang dirasakan auditor. Penelitian Al-Qarni (2004)

menunjukkan bahwa kesenjangan mencakup sejumlah isu, khususnya

Page 16: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

16

isu-isu yang telah diidentifikasi: (a) auditor independen, (b) peran auditor

sehubungan dengan penipuan, (c) menjamin laporan keuangan, (d)

memberikan sinyal peringatan dini tentang kemungkinan kegagalan bisnis,

dan (e) transaksi bisnis yang diperiksa oleh auditor. Lebih lanjut Al-Qarni

menjelaskan bahwa tujuan audit untuk kelompok pengguna tidak sejelas

kelompok auditor dan preparer. Selain itu, perbedaan persepsi juga

berkaitan dengan format laporan audit. Kelompok auditor, misalnya,

senang dengan format laporan audit yang telah ada dan tidak berpikir

untuk melakukan modifikasi. Namun, preparer dan dua kelompok

pengguna lainnya memerkenalkan beberapa pemikiran dan saran untuk

modifikasi. Peneliti ini mengembangkan kerangka kerja Burrel and Morgan

(1979) yang mengklasifikasikan berbagai pemikiran dalam ilmu sosial.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena terdapat

penambahan variabel creative accounting dan laporan hasil pemeriksaan

dalam kaitannya dengan audit expectation gap. Ini disebabkan karena

variabel creative accounting merupakan metode untuk memanfaatkan

teknik dan kebijakan guna mendapatkan hasil yang diinginkan, mengingat

hasil dari beberapa survei akuntansi menunjukkan adanya konflik

kepentingan dan tekanan pimpinan terhadap akuntan internal, auditor,

atau konsultan akuntansi (Sulistiawan et al., 2009). Selama ini creative

accounting telah banyak dilakukan pada sektor privat demikian pula pada

sektor publik. Salah satu penelitian creative accounting dalam bidang

anggaran dilakukan oleh Maiga dan Jacobs (2007), yang berjudul “Budget

Page 17: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

17

Participation’s Influence on Budget Slack: The Role of Fairness

Perceptions, Trust and Goal Commitment”. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa hubungan langsung antara partisipasi anggaran dan

kecenderungan manajer untuk menciptakan slack tidak signifikan, lebih

lanjut dijelaskan bahwa keadilan dan komitmen hanya bertujuan untuk

memediasi hubungan antara partisipasi anggaran dan kecenderungan

manajer untuk menciptakan slack. Penelitian-penelitian yang sama juga

telah dilakukan oleh Su dan Ni (2013), Hobson et al. (2011), Roge dan

Linn (1995), Elmassri dan Harris (2011), dan Rachman (2012).

Namun demikian, penelitian yang menghubungkan antara creative

accounting, konsep audit, opini laporan hasil pemeriksaan dengan audit

expectation gap masih kurang sehingga penelitian ini penting dilakukan.

Berdasarkan fenomena penelitian di atas, maka dirumuskan tema

sentral dari penelitian ini yaitu: Audit Expectation Gap pada Sektor Publik,

studi empiris di Provinsi Sulawesi Selatan .

A. Rumusan Masalah

Penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat audit

expectation gap antara auditor dengan pengguna, berdasarkan

pendekatan akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit.

Sehingga, rumusan masalah yang akan diteliti berdasarkan latar belakang

penelitian di atas adalah untuk mengetahui:

Page 18: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

18

1. Apakah akuntabilitas berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil

pemeriksaan?

2. Apakah creative accounting berpengaruh positif terhadap opini

laporan hasil pemeriksaan?

3. Apakah konsep audit berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil

pemeriksaan?

4. Apakah akuntabilitas berpengaruh positif terhadap audit expectation

gap?

5. Apakah creative accounting berpengaruh positif terhadap audit

expectation gap?

6. Apakah konsep audit berpengaruh positif terhadap audit expectation

gap?

7. Apakah opini laporan hasil pemeriksaan berpengaruh positif terhadap

audit expectation gap?

8. Apakah akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit

berpengaruh positif secara tidak langsung terhadap audit expectation

gap melalui opini laporan hasil pemeriksaan?

B. Maksud dan Tujuan penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini

dilakukan dengan maksud untuk memeroleh gambaran berupa fakta-fakta

empiris yang dapat dijadikan indikator terjadinya audit expectation gap

antara auditor dan pengguna laporan keuangan daerah.

Page 19: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

19

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah

untuk mengetahui :

1. Pengaruh akuntabilitas terhadap opini laporan hasil pemeriksaan.

2. Pengaruh creative accounting terhadap opini laporan hasil

pemeriksaan.

3. Pengaruh konsep audit terhadap opini laporan hasil pemeriksaan.

4. Pengaruh akuntabilitas terhadap audit expectation gap.

5. Pengaruh creative accounting terhadap audit expectation gap.

6. Pengaruh konsep audit terhadap audit expectation gap.

7. Pengaruh opini laporan hasil pemeriksaan terhadap audit expectation

gap.

8. Pengaruh akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit secara

tidak langsung terhadap audit expectation gap melalui opini laporan

hasil pemeriksaan.

D. Kegunaan Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Praktis

a. Bagi profesi akuntan yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),

hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi untuk

merumuskan standar pemeriksaan untuk memudahkan dalam

mendeteksi adanya tindakan creative accounting.

Page 20: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

20

b. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan pertimbangan untuk semakin mengurangi audit

expectation gap dengan menambah pengetahuan-pengetahuan

para pengguna mengenai ilmu auditing.

2. Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu, sebagai berikut.

a. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh akuntabilitas,

creative accounting dan konsep audit terhadap laporan hasil

pemeriksaan.

b. Memberikan bukti empiris mengenai keberadaan audit

expectation gap antara auditor dan pengguna dilihat dari aspek

akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit melalui opini

laporan hasil pemeriksaan.

Page 21: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Teori Keagenan

Jensen dan Meckling (1976) mendefenisikan bahwa hubungan

keagenan sebagai sebuah kontrak di mana satu lebih (principal) menyewa

orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan

mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan

keputusan kepada agen. Teori keagenan (agency theory) merupakan

basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama

ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan,

sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya

hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu

investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer,

dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract”.

Perbedaan kepentingan ini menyebabkan masing-masing pihak

berusaha memerbesar keuntungan bagi diri sendiri. Principal

menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas

investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden

dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya

diakomodir dengan pemberian kompensasi/bonus/insentif/remunerasi

21

Page 22: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

22

yang “memadai” dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Principal menilai

prestasi agen berdasarkan kemampuannya memerbesar laba untuk

dialokasikan pada pembagian deviden. Makin tinggi laba, harga saham

dan makin besar deviden, maka agen dianggap berhasil/berkinerja baik

sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.

Konflik kepentingan akan muncul dari pendelegasian tugas yang

diberikan kepada agen yaitu agen tidak dalam kepentingan untuk

memaksimumkan kesejahteraan pemilik, tetapi mempunyai kecendrungan

untuk mengejar kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan

pemilik. Auditor adalah salah satu pihak yang terkait dengan hubungan

keagenan (antara agen dan prinsipal).

Menurut contracting theory (Watt dan Zimmerman, 1990) yang juga

dikenal dengan teori prinsipal dan agen (the principle-agent theory)

menyatakan bahwa hubungan antara pihak-pihak dalam perusahaan;

pengelola, pemegang saham, kreditur, pemerintah dan masyarakat akan

sulit tercipta karena kepentingan yang saling bertentangan. Konflik antara

manajemen dan pemilik terjadi karena pemilik di satu pihak menginginkan

agar manajemen memiliki peluang untuk memuaskan kepentingannya

tanpa diamati langsung oleh pemilik. Hubungan antara pihak yang

memiliki kepentingan tersebut berhasil diwujudkan dengan optimal melalui

penciptaan beberapa mekanisme yang mampu meredam tindakan

manajemen untuk merugikan pemilik dan mendorong pemilik untuk

memercayakan pengelolaannya kepada manajemen. Mekanisme tersebut

Page 23: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

23

dapat terwujud dalam akuntansi dan auditing. Baik akuntansi dan auditing

memiliki nilai pasar yang strategis dalam membantu terciptanya

hubungan yang optimal dan ekonomis dengan cost yang didapat dan

dipertanggungjawabkan dari segi nilai pasar. Pihak-pihak yang

berkepentingan bersedia membayar harga bagi akuntansi maupun

auditing karena nilai manfaat yang ditimbulkannya (Manao,1996)

Teori keagenan yang telah dibahas di atas, merupakan konsep

keagenan konvensional. Damayanti (2010) menyatakan bahwa jika

berbicara mengenai konsep hubungan keagenan di pemerintahan,

persoalannya tidak sesederhana konsep keagenan konvensional.

Moe (1984) dalam Damayanti (2010), mengemukakan bahwa

hubungan keagenan sektor pemerintahan tidak dapat didekati

sepenuhnya dengan pendekatan keagenan konvensional, karena

beberapa pertimbangan. Pertama, adanya perbedaan ideologi organisasi.

Ideologi dasar organisasi sektor publik (khususnya pemerintahan) adalah

memaksimalkan social welfare dengan mengutamakan kepentingan publik

(public interest) dan pelayanan kepada masyarakat (public service) di atas

kepentingan lainnya. Sementara, ideologi yang terkandung dalam

hubungan keagenan, umumnya, dan menjadi paradigma yang populer

dalam penelitian akuntansi mainstream (aliran utama/positivis) selama

hampir dua dekade adalah ideologi kapitalisme dengan sikap

individualisnya, di mana kedua titik berangkat tersebut telah

menempatkan self-interest sebagai sesuatu yang lebih dominan.

Page 24: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

24

Kedua, teori keagenan konvensional hasil karya Jensen dan

Meckling (1976) tidak dapat diaplikasikan dalam sektor pemerintahan,

karena salah satu alat yang digunakan prinsipal untuk mengontrol agen

adalah pemberian insentif. Insentif ini, umumnya, diukur berdasarkan

pencapaian laba, sementara organisasi pemerintahan tidak memiliki laba

sebagai alat ukur kinerja. Bentuk lain insentif adalah kepemilikan saham

perusahaan oleh agen, sementara pemerintahan bukan terdiri dari saham

yang dapat diperjualbelikan, dan atau diserahkan kepemilikannya pada

segelintir orang.

Lebih lanjut, Damayanti (2010) menyatakan bahwa hubungan

keagenan pada organisasi pemerintahan menjadi suatu konsep yang

penting. Hal ini disebabkan karena keseharian aktivitas organisasi

tersebut selalu berhubungan dengan pendelegasian wewenang, seperti

pada skala lokal, penyediaan pelayanan kesehatan, pendidikan dan

beragam pelayanan lainnya yang berhubungan dengan masyarakat,

semua didelegasikan kepada level bawah. Masalahnya, sejauh ini belum

tersedia sebuah konsep nyata (teori) yang mewadahi model hubungan

keagenan di sektor pemerintahan.

Pada organisasi pemerintahan, model prinsipal-agen sangat mudah

diamati, di mana keseluruhan hierarki dalam pemerintahan merupakan

hubungan keagenan, mulai dari rakyat kepada legislatif, dan legislative

kepada eksekutif yang memberikan pelayanan secara langsung kepada

masyarakat. Namun, menurut Damayanti (2010) interaksi antara prinsipal

Page 25: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

25

dan agen membentuk suatu fenomena hubungan keagenan yang

mengarah pada kepentingan sama, yaitu penumpukkan kekayaan

(wealth) untuk diri pribadi.

Maraknya skandal keuangan yang terjadi di lingkup

pemerintahan telah memberikan dampak besar kepercayaan

publik terhadap profesi auditor. Oleh karena itu, menjadi

pertanyaan besar dalam masyarakat adalah mengapa semua

kasus tersebut melibatkan profesi auditor, seharusnya mereka

sebagai pihak ketiga yang independen dapat memberikan

jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan.

Hal inilah yang menimbulkan terjadinya expectation gap antara

masyarakat dengan auditor.

2. Teori Ekspektasi

Teori ekspektasi/teori harapan mengasumsikan bahwa individu

berniat memilih tindakan, tingkat usaha, dan pekerjaan yang

memaksimalkan kesenangan yang mereka harapkan dan meminimalkan

harapan yang dapat menyakitkan mereka (Donovan, 2001; Kanfer, 1990);

Pinder, 1998) dalam Binberg et al., 2007:120). Model teori harapan

individu merupakan kekuatan motivasi sebagai fungsi dari harapan

mereka (probabilitas subjektif bahwa usaha mereka akan memberikan

hasil tingkat pertama seperti kinerja), perantaranya (subjektif probabilitas

bahwa kinerja akan menghasilkan tingkatan kedua hasil seperti uang),

Page 26: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

26

dan valensi (yang afektif orientasi terhadap hasil tingkat kedua). Individu

diasumsikan menggabungkan harapan, sarana, dan konsisten dengan

yang diharapkan valensi perhitungan nilai untuk menentukan motivasi

mereka terhadap setiap alternatif dan kemudian memilih alternatif dengan

kekuatan motivasi tertinggi (Binberg et al., 2007:120).

Teori Vroom (1964) dalam Binberg et al. (2007) tentang cognitive

theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan

melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun

hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi

rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:

• Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas

• Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika

berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk

mendapatkan outcome tertentu).

• Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif,

netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu

yang melebihi harapan. Motivasi rendah jika usahanya menghasilkan

kurang dari yang diharapkan

Berdasarkan pendapat Vrom di atas, dapat disimpulkan jika seorang

auditor dalam melaksanakan tugasnya memiliki harapan bahwa tugas

telah dilaksanakan sesuai standar pemeriksaan, dengan mempertahankan

sikap independen. Oleh karena itu, auditor mengharapkan respon yang

positif dari pengguna/pembaca laporan.

Page 27: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

27

Menurut Christiawan (2002), seorang akuntan publik yang

independen adalah akuntan publik yang tidak mudah dipengaruhi, tidak

memihak siapapun, dan berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada

manajemen/pemerintah, tetapi juga pihak lain pemakai laporan keuangan

yang mempercayai hasil pekerjaannya. Guy dan Sullivan (1988)

menyebutkan adanya perbedaan harapan publik dengan auditor dalam

hal:

1. deteksi kecurangan dan tindakan ilegal,

2. perbaikan keefektifan audit, dan

3. komunikasi yang lebih intensif dengan publik dan komite audit.

Dalam hal ini, publik beranggapan bahwa auditor harus dapat memberikan

jaminan (absolut assurance) terhadap laporan keuangan yang diaudit dan

kemungkinan adanya kecurangan dan tindakan illegal harus dapat

ditangkis dengan jaminan tersebut. Di lain pihak, secara logika auditor

tidak dapat memberikan absolut assurance tersebut, auditor hanya dapat

memberikan reasonable assurance saja, dan hal ini belum dimengerti oleh

publik, apalagi mengenai kecurangan dan tindakan ilegal, karena laporan

keuangan dibuat oleh manajemen maka jaminan bahwa laporan

keuangan bersih dari fraud belum dapat diberikan oleh auditor

sepenuhnya. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya expectation gap

antara auditor dan pengguna.

Page 28: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

28

3. Akuntabilitas

Di Indonesia, undang-undang (UU) No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah memberikan kewenangan lebih

luas kepada pemerintah daerah dalam menata sistem pengelolaan

keuangan daerah. Kewenangan yang dimaksud diantaranya adalah

keleluasaan dalam memobilisasi sumber dana, menentukan arah, tujuan

dan target penggunaan anggaran, serta pengelolaan keuangan. Namun

dalam melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah daerah harus

patuh pada sistem pengelolaan keuangan negara.

Peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah disusun dalam

peraturan pemerintah (PP) No. 58 tahun 2005 yang mengatur tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Peraturan

pemerintah ini menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah perlu

dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang

berlaku, transparan dan bertanggung jawab dengan memerhatikan asas

keadilan dan kepatutan sehingga dapat mewujudkan efisiensi dan

efektivitas sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan

kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Guna memenuhi harapan yang diamanatkan dalam PP No. 58

tahun 2005, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Menteri dalam

Negeri (Permendagri) No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah serta Tata cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata

Page 29: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

29

Usaha Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD. Bahkan

saat ini pengelolaan keuangan negara baik di pusat maupun di daerah

harus mengikuti UU RI No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang

menganjurkan bahwa setiap pemerintah daerah wajib menyusun laporan

keuangan sebagai wujud tanggung jawab penggunaan anggaran yang

dipercayakan rakyat kepadanya.

Pemerintah daerah memunyai kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan keuangan daerahnya dengan menyusun

laporan keuangan sesuai dengan pernyataan dalam UU No.17 tahun 2003

tentang Keuangan Negara dan Pasal 23 UUD 1945. Laporan keuangan

merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor

publik. Adanya tuntutan yang semakin besar terhadap pelaksanaan

akuntabilitas menimbulkan implikasi bagi pihak manajemen sektor publik

untuk memberikan informasi akuntansi kepada masyarakat berupa

laporan keuangan. Laporan keuangan pemerintah merupakan hak

masyarakat yang harus diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun

daerah. Hak atas informasi keuangan muncul sebagai konsekuensi

konsep pertanggungjawaban publik. Berdasarkan paragraph 28 Kerangka

Konseptual Akuntansi Pemerintahan SAP Berbasis Akrual dalam PP No.

71 tahun 2010, laporan keuangan yang wajib disusun oleh pemerintah

daerah antara lain: laporan realisasi anggaran (LRA), laporan perubahan

saldo anggaran lebih, neraca, laporan operasional, laporan perubahan

ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.

Page 30: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

30

Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007),

“Pengertian pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

mencakup akuntabilitas yang harus diterapkan semua entitas oleh pihak

yang melakukan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara”.

Akuntabilitas diperlukan untuk dapat mengetahui pelaksanaan program

yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk

mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program

tersebut. Dengan semakin kompleks dan pentingnya program pemerintah

dalam rangka pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK

dapat diminta oleh lembaga perwakilan dan penyelenggara negara untuk

memerluas pemeriksaan kinerja.

Perluasan tersebut dapat berbentuk penilaian terhadap berbagai

alternatif kebijakan, identifikasi dan usaha-usaha untuk mengurangi risiko,

serta analisis terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Akuntabilitas adalah

evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk

dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan

organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa

yang akan datang.

Akuntabilitas merupakan konsep yang komplek, lebih sulit

mewujudkannya dari pada memberantas korupsi. Akuntabilitas adalah

keharusan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekan pada

Page 31: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

31

pertanggungjawaban horizontal (masyarakat) bukan hanya

pertanggungjawaban vertikal (otoritas yang lebih tinggi) (Turner dan

Hulme, 1997 dalam UNDP, 2004).

Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau

sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu

kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara

horizontal. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan

menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai

lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan

sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances

sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif

(presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem

peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Akuntabilitas publik adalah

prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku

kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Akuntabilitas dan transparansi keuangan negara merupakan tujuan

penting dari reformasi sektor publik mengingat secara definitif kualitas

kepemerintahan yang baik (good governance) ditentukan oleh kedua hal

tersebut ditambah dengan peran serta masyarakat dan reformasi hukum.

Yang dimaksud dengan akuntabilitas publik keuangan negara adalah

pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan

kinerja keuangan negara kepada semua pihak yang berkepentingan

Page 32: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

32

(stakeholder). Dengan demikian hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu (right

to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept informed), dan hak

untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to), dapat

dipenuhi (Artjana dipaparkan dalam FGD SSR Propatria, tanggal 27

Februari 2004).

Oleh karena itu, transparansi atas aktivitas pengelolaan keuangan

negara kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi sangat

diperlukan. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan

transparansi, kegiatan audit sangat esensial. Hasil audit akan

memberikan umpan balik bagi semua pihak yang terkait dengan

organisasi. Untuk itulah keseluruhan proses audit harus dilakukan secara

berhati-hati dan konsisten dengan kaidah-kaidah profesi. Proses audit

melalui prosedur yang berjenjang, dan setiap tahapan akan melibatkan

judgment auditor atas suatu kejadian atau fakta.

4. Creative Accounting

Menurut Balaciu et.al (2009:170), sebenarnya istilah creative

accounting telah ada sejak akuntansi pertama kali ditemukan oleh Luca

Pasiolo dalam bukunya De Arithmetica, yang berambisi untuk membuat

suatu angka menjadi menarik atau dapat digunakan untuk menghasilkan

informasi. Dengan demikian, Luca Paciolo telah membentuk akuntansi

manual terlebih dahulu yaitu praktik akuntansi kreatif. Hubungan antara

pedagang pada perdagangan luar negeri Venetian dicatat dalam

Page 33: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

33

pembukuan double-entry dengan tinta dan pena ke dalam buku utama

dan buku anak perusahaan. Ketika terjadi perbedaan, maka kadang-

kadang secara tidak sengaja tempat tinta akan mengenai buku-buku ini

sehingga entri tidak terbaca. Inilah asal mula munculnya istilah “menutup-

nutupi”.

Saat ini, seorang akuntan dalam menyusun laporan keuangan

perusahaan, harus mengikuti aturan yang ada dalam pembuatan laporan

keuangan, yaitu sesuai dengan aturan PSAK. Akan tetapi kenyataan di

lapangan, banyak perusahaan yang secara kreatif melakukan manipulasi

data keuangan untuk mendapatkan respon yang baik dari beberapa

kalangan. Hal ini disebut dengan istilah akuntansi kreatif (creative

accounting). Akuntansi kreatif bukanlah hal yang baru dalam dunia

akuntansi, karena banyak perusahaan yang telah melakukan hal tersebut.

Istilah creative accounting jika diterjemahkan secara harfiah ke

dalam bahasa Indonesia, berarti ”akuntansi kreatif”. Kalimat creative

accounting yang terdiri dari 2 kata yaitu ‘creative’ artinya kebolehan

seseorang menciptakan ide baru yang efektif, dan kata ‘akuntansi’ itu

artinya pembukuan tentang financial events yang senantiasa berusaha

untuk setia kepada kondisi keuangan yang sebenarnya (faithful

representation of financial events). Kreatif merupakan ide atau pemikiran

yang berbeda atau tidak terpikirkan oleh orang lain. Dengan kata lain,

kreatif adalah ”berpikir di luar otak”. Atau praktik akuntansi yang berbeda

dengan yang biasa digunakan (Sulistiawan et al., 2011:18).

Page 34: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

34

Istilah creative accounting sendiri bukan merupakan istilah tunggal

yang menggambarkan kemungkinan alternatif penyajian laporan

keuangan yang berbeda jika dikerjakan dengan cara yang berbeda.

Creative accounting biasa juga dikenal dengan earnings management.

Bahkan referensi lain memberikan istilah dalam konteks yang negatif,

seperti magic accounting, cosmetic accounting dan financial shenanigan.

Tetapi pada dasarnya memiliki maksud yang sama yaitu kreatifitas dalam

akuntansi. Oleh karena itu, istilah yang umum digunakan adalah creative

accounting.

Akuntansi kreatif oleh beberapa kalangan dianggap hal yang tidak

etis karena memanipulasi data. Akan tetapi, akuntansi kreatif dalam

pandangan teori akuntansi positif, sepanjang tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang

harus dipersoalkan. Tujuan seorang akuntan melakukan creative

accounting bermacam-macam, di antaranya adalah untuk pelarian pajak,

menipu bank demi mendapatkan pinjaman baru, atau memertahankan

pinjaman yang sudah diberikan oleh bank dengan syarat-syarat tertentu,

mencapai target yang ditentukan oleh analis pasar, atau mengecoh

pemegang saham untuk menciptakan kesan bahwa manajemen berhasil

mencapai hasil yang cemerlang.

Banyak faktor yang menyebabkan perusahaan menggunakan

akuntansi kreatif untuk memertahankan eksistensi perusahaan di tengah

persaingan yang sangat ketat sekarang ini. Motivasi materialisme

Page 35: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

35

merupakan suatu dorongan besar manajemen dan akuntan-akuntan

melakukan creative accounting. Banyak perusahaan yang terjebak

masalah creative accounting mempunyai sistem ‘executive stock option

plan’ bagi eksekutif-eksekutif yang mencapai target yang ditetapkan.

Secara umum, para eksekutif biasanya lebih mengenal perusahaan

tempat mereka bekerja dibandingkan karyawan-karyawan di bawah

mereka, sehingga para eksekutif ini dapat dengan mudah memanipulasi

data-data dalam laporan keuangan (financial statement) dengan motivasi

memerkaya diri mereka sendiri. Oleh karena itu diperlukan cara-cara yang

kreatif dalam penghitungan keuangan dalam dunia bisnis, walaupun itu

sering dianggap hal yang kurang etis.

Creative accounting menurut Amat, Blake dan Dowd (1999) adalah

“sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan

pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar,

teknik dan sebagainya) dan menggunakannya untuk memanipulasi

pelaporan keuangan. Creative accounting merupakan bagian dari

‘accounting manipulation’ yang terdiri dari ‘earning management’, ‘income

smoothing’ dan ‘creative accounting’ itu sendiri.

Asumsinya adalah bagaimana manusia mengimplementasikan

creative accounting sebagai bagian dari perilaku manusia untuk mencapai

tujuannya. Myddelton (2009) dalam Sulistiawan (2011:18) menyatakan,

”akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang menginterpretasikan area abu-abu untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari hasil interpretasi tersebut. Jadi dengan harapan mendapatkan tujuan tertentu, mereka menginterpretasikan kebijakan akuntansi dengan cara yang tertentu juga”.

Page 36: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

36

Kalimat ini menunjukkan bahwa seorang akuntan akan menggunakan

pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya guna mendapatkan tujuannya

masing-masing. Teknik dan kebijakan akuntansi hanyalah alat untuk

mencapai tujuan tersebut.

Menurut Wolk et al. (2006) dalam Sulistiawan et al. (2011:43),

secara umum, teknik yang biasa dijumpai dalam praktik akuntansi kreatif

dapat dikelompokkan ke dalam lima teknik, yaitu mengubah metode

akuntansi, membuat estimasi akuntansi, mengubah periode pengakuan

pendapatan dan biaya, mereklasifikasi akun current dan noncurrent, serta

mereklasifikasi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner.

Creative accounting bukanlah pengetahuan baru, melainkan

hanyalah kumpulan teknik dan kebijakan akuntansi yang telah ada, baik

teknik akuntansi yang sederhana maupun teknik akuntansi yang

kompleks. Namun, creative accounting lebih banyak dikendalikan oleh

keinginan manusia untuk mencapai tujuannya.

5. Audit Sektor Publik

The American Accountant Association Committe on Basic Auditing

Concepts (Louwers, 2005:07) mendefenisikan auditing yaitu:

auditing as a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the results to interested users

Defenisi auditing, menurut Mautz dan Sharaf dalam Boynton et al.

(2006:9) dikatakan bahwa:

Page 37: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

37

The origin of auditing goes back to times scarcely less remote than of accounting...Whenever the advance of civilization brought about the necessity of one man being entrusted to some extent with the properlty of another the advisability of some kind of check upon the fidelity of the former would become apparent

Pernyataan tentang asal usul auditing di atas, menyebutkan bahwa

auditing lebih dahulu dari akuntansi, auditing dibutuhkan karena perlunya

orang yang dapat membantu mengelola harta milik orang lain, sehingga

pemilik patut meminta pihak tertentu (auditor) untuk pengecekan atas

kesetiaan orang yang mengelola tersebut, sehingga semuanya akan lebih

transparan (jelas).

Menurut Arens et al. (2008:04) auditing adalah:

auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person

Pengertian ini dapat diartikan bahwa auditing adalah suatu proses

pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti tentang informasi yang

dapat diukur, mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh

seseorang yang kompeten dan independen untuk menentukan dan

melaporkan kesesuaian informasi, dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan.

Pelaksanaan audit dalam bidang pemerintahan dikenal dengan

sebutan audit sektor publik. Tujuan pelaksanaan audit sektor publik

adalah untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh

pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Audit

terhadap sektor publik  menjadi fokus perhatian, karena dinilai instansi

pemerintah tidak terbuka terhadap masyarakat mengenai kondisi

Page 38: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

38

keuangan sebenarnya dan instansi sektor publik rawan akan

penyalahgunaan dana, sehingga dibutuhkan aturan yang ketat dan audit

yang  independen terhadap pemeriksaan laporan keuangan instansi

pemerintahan.

Audit terhadap sektor publik sangat penting dilakukan. Hal ini

merupakan bentuk tanggung jawab sektor publik (pemerintah pusat dan

daerah) untuk mempertanggungjawabkan dana yang telah digunakan oleh

instansi, sehingga pemanfaatan dana tersebut dapat diketahui apakah

telah dilaksanakan sesuai prosedur dan standar atau tidak.

Secara teknis, audit pada sektor publik sama dengan audit pada

sektor privat. Menurut Jones dan Bates (1990) ”yang membedakan

pelaksanaan audit dua sektor tersebut adalah pada kebutuhan yang

mendasari untuk melaporkan pengaruh politik negara yang bersangkutan

dan kebijaksanaan pemerintahan”. Audit sektor publik memiliki cakupan

tugas dan tanggung jawab yang lebih luas dari pada audit pada sektor

privat. Selain itu perbedaan yang paling mendasar antara audit sektor

publik dan privat adalah pertimbangan kebijakan politik. Dalam akhir

proses audit, khususnya dalam audit keuangan, auditor akan

menggunakan objektivitas terbaiknya dan rekomendasi secara

menyeluruh. Pengertian audit sektor publik menurut Indra

Bastian (2007:255)  adalah sebagai berikut: “audit sektor publik adalah

jasa penyelidikan bagi masyarakat atas organisasi publik dan politikus

yang sudah mereka danai.”

Page 39: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

39

Sedangkan, pengertian audit sektor publik menurut I Gusti Agung Rai

(2008:29) adalah sebagai berikut:

 “Audit sektor publik adalah kegiatan yang ditujukan terhadap entitas yang menyediakan pelayanan dan penyediaan barang yang pembiayaannya berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan negara lainnya dengan tujuan untuk membandingkan antara kondisi yang ditemukan dengan kriteria yang ditetapkan.”

 

Audit sektor publik di Indonesia dikenal sebagai audit keuangan

negara. Audit keuangan negara ini diatur dalam UU No. 15 Tahun

2004  tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan

Negara. Undang-undang ini merupakan pengganti ketentuan warisan

Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet  (ICW) dan Instructie en

verdere bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR), yang mengatur

prosedur audit atas akuntabilitas pengelolaan keuangan oleh pemerintah.

Audit sektor publik dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang

memadai bahwa laporan keuangan yang diperiksa telah mematuhi prinsip

akuntansi berterima umum, peraturan perundang-undangan dan

pengendalian intern serta kegiatan operasi entitas sektor publik

dilaksanakan secara efisien, ekonomis, dan efektif. Dalam keterbatasan

yang ada, audit tetap perlu dilakukan agar tercipta akuntabilitas publik

yang lebih transparan dan akuntabel.

Murwanto et al. (2012:12) menyatakan, “auditor yang kurang

berpengalaman dalam sektor publik biasanya memberikan rekomendasi

yang kontroversial seperti meningkatkan harga untuk mengimbangi

kenaikan beban”. Hal penting untuk membedakan audit sektor publik dan

Page 40: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

40

privat adalah perbedaan kepentingan antara kebijakan politik dan rasional

ekonomi, kebijakan politik biasanya diprioritaskan dalam sektor publik

setidaknya dalam jangka pendek.

Audit sektor publik juga sangat dipengaruhi oleh peraturan

perundang-undangan. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut

terutama mengatur hal-hal yang harus diaudit dan yang harus dilaporkan

dalam laporan audit. Oleh karena itu, audit sektor publik sangat

menekankan aspek ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Laporan audit sektor publik juga menyediakan informasi

lebih banyak daripada laporan audit pada sektor privat. Hal ini pada

gilirannya akan menyebabkan lebih luasnya tanggung jawab auditor

sektor publik dibandingkan dengan rekan mereka pada sektor privat.

6. Konsep-konsep Audit

Auditing perlu memiliki konsep-konsep tersendiri apabila ingin

memeroleh suatu pengakuan sebagai disiplin ilmu yang mandiri.

Defenisi konsep menurut Mautz dan Sharaf (1980:53) sebagai berikut:

Concept ... in phylosofy, a term applied to a general idea derived from and

considered a part from the particulars observed by the sense...

Selanjutnya, dalam phylosofi auditing disebutkan bahwa pada

mulanya konsep-konsep utama auditing terdiri dari bukti, due audit care

(kehati-hatian), penyajian yang wajar, independensi dan kode etik.

Konsep-konsep ini dapat dikembangkan dan ditambah untuk melengkapi

Page 41: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

41

konsep utama di atas apabila ada konsep lain yang signifikan.(Mautz dan

Sharaf,1980:67).

Penelitian ini merupakan penerapan rerangka akuntabilitas di

sektor publik. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diawasi atau

dikendalikan dengan mengunakan enam konsep audit, yaitu independensi

auditor, kompetensi auditor, materialitas audit, bukti audit, pendapat wajar

dan audit kinerja seperti pada penelitian yang dilakukan Chowdhury dan

Kouhi (2005) di Bangladesh. Konsep audit ini diadaptasi dari audit

Comptroller Auditor General’s (CAG) pada sektor publik. Namun, pada

kenyataannya lima konsep audit telah diterapkan di sektor privat,

terkecuali audit kinerja.

Independensi auditor dalam sektor publik berhubungan dengan

luasnya area sektor publik. Integritas auditor harus dilindungi dari

pengaruh kelompok pemerintah pusat/daerah, status sebagai pegawai

negeri sipil dan politisi. Sedangkan, kompetensi auditor baik di sektor

publik maupun di sektor privat adalah sama, yang berbeda hanya pada

audit kinerja (performance audit).

Menurut Jones dan Bates (1990), materialitas audit berhubungan

dengan kebutuhan audit untuk memertimbangkan tingkat jaminan yang

disyaratkan oleh kelompok pengguna yang diaudit dan reaksi yang

diharapkan dari pembaca laporan audit. Sedangkan, bukti audit

berhubungan dengan waktu dan biaya dalam proses audit, lingkup audit

Page 42: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

42

dan kebutuhan informasi yang dirasakan pengguna memengaruhi proses

pengumpulan bukti.

Pendapat wajar dalam audit sektor publik memunyai makna yang

sama dalam audit sektor privat (Chowdhury et al., 2005). Pendapat wajar

dalam laporan audit di Indonesia mengimplikasi bahwa laporan keuangan

yang disajikan telah sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum

(PABU). Sedangkan audit kinerja, hanya berlaku pada sektor publik

dimana menekankan pada efisiensi dan efektivitas dari operasi dan

keefektifan hasil yang dicapai.

7. Opini Laporan Hasil Pemeriksaan

Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang

relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan

oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan

keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi

pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan dengan anggaran yang

telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan

efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya

terhadap peraturan perundang-undangan.

Laporan keuangan setiap pemerintah daerah harus diaudit oleh

BPK dengan dikeluarkannya undang-undang No 15 tahun 2006 mengenai

BPK maka semua pihak dapat mengetahui fungsi dan tugas auditor BPK.

Menurut UU No 15 tahun 2006 salah satu tugas BPK adalah memeriksa

Page 43: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

43

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya yang

dilakukan berdasarkan undang-undang. Pemeriksaan ini mencakup

pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan

tujuan tertentu.

Laporan hasil pemeriksaan auditor BPK juga diberikan kepada

eksekutif, yaitu Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan tindak pidana

maka hal tersebut dapat dilaporkan ke instansi yang berwenang.

Laporan keuangan dapat dikatakan wajar, jika telah diperiksa oleh

auditor (BPK). BPK akan melakukan pemeriksaan berdasarkan Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). BPK melaksanakan

pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Menurut Murwanto et al. (2012: 24-25) pemeriksaan tersebut meliputi

seluruh unsur keuangan negara yaitu:

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. penerimaan negara;

d. pengeluaran negara;

e. penerimaan daerah;

f. pengeluaran daerah;

Page 44: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

44

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-

hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;

9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Auditor menuangkan hasil pemeriksaan dalam bentuk laporan hasil

pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan merupakan salah satu tahap

paling penting dan akhir dari suatu pekerjaan audit. Dalam setiap tahap

audit akan selalu terdapat dampak psikologis bagi auditor maupun

auditee. Dampak psikologis dalam tahapan persiapan audit dan

pelaksanaan audit dapat ditanggulangi pada waktu berlangsungnya audit.

Tetapi dampak psikologis dari laporan hasil audit, penanggulangannya

akan lebih sulit karena:

a. Waktu audit sudah selesai

b. Laporan merupakan salah satu bentuk komunikasi tertulis, formal,

sehingga auditor tidak dapat mengetahui reaksi auditee secara

langsung,

c. Laporan telah didistribusikan kepada berbagai pihak sehingga

semakin banyak pihak yang terlibat.

Page 45: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

45

Karena laporan hasil pemeriksaan akan mempunyai dampak luas,

maka diperlukan pengetahuan khusus tentang penyusunan laporan hasil

pemeriksaan. Pelaporan hasil pemeriksaan merupakan tahap akhir

kegiatan audit. Selain harus sesuai dengan norma pemeriksaan,

penyusunan laporan hasil pemeriksaan juga harus mempertimbangkan

dampak psikologis, terutama yang bersifat dampak negatif bagi auditee,

pihak ketiga dan pihak lain yang menerima laporan tersebut.

SPKN (2007:45) menetapkan bahwa untuk pemeriksaan

keuangan, Standar Pemeriksaan memberlakukan empat standar

pelaporan SPAP yang ditetapkan IAI berikut ini:

a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau prinsip akuntansi yang lain yang berlaku secara komprehensif.

b. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.

d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor.

SPKN (2007:46) juga telah menetapkan standar pelaporan

tambahan, yaitu :

a. Laporan hasil pemeriksaan harus menyatakan bahwa pemeriksaan dilakukan sesuai dengan Standar Pemeriksaan,

b. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan harus mengungkapkan bahwa pemeriksa telah melakukan pengujian atas

Page 46: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

46

kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan,

c. Laporan atas pengendalian intern harus mengungkapkan kelemahan dalam pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang dianggap sebagai kondisi yang dapat dilaporkan,

d. Laporan hasil pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab pada entitas yang diperiksa mengenai temuan dan rekomendasi serta tindakan koreksi yang direncanakan,

e. Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak dilaporkannya informasi tersebut,

f. Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keempat standar pelaporan beserta standar tambahan harus

dipenuhi dengan menerbitkan laporan hasil pemeriksaan dalam bentuk

yang sesuai. Laporan hasil pemeriksaan yang standar mempunyai judul

yang mencakup kata-kata “independen” dan berisi suatu pendapat wajar

tanpa pengecualian (unqualified opinion). Terjadinya penyimpangan dari

laporan hasil pemeriksaan yang standar mengakibatkan munculnya opini

auditor yang lain, yaitu: pendapat wajar dengan pengecualian (qualified

opinion), pendapat tidak wajar (adverse opinion) dan penolakan

memberikan pendapat (disclaimer opinion) Boynton et al. (2003:362-363).

Page 47: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

47

Apabila suatu pemeriksaan dihentikan sebelum berakhir, namun

pemeriksa tidak mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan, maka

pemeriksa harus membuat catatan yang mengikhtisarkan hasil

pekerjaannya sampai tanggal penghentian dan menjelaskan alasan

penghentian pemeriksaan. Pemeriksa juga harus mengkomunikasikan

secara tertulis alasan penghentian pemeriksaan tersebut kepada

manajemen entitas yang diperiksa, entitas yang meminta pemeriksaan

tersebut, atau pejabat lain yang berwenang.

8. Audit Expectation Gap

Beberapa definisi audit expectation gap dari para ahli yang paling

relevan (Salehi, 2011:8380) antara lain :

a. Liggio (1974a) defines it as the difference between the levels of expected performance as envisioned by the independent accountant and by the user of financial statements. The Cohen Commission (1978) on auditors’ responsibility extended this definition by considering whether a gap may exist between what the public expects or needs and what auditors can and should reasonably expect to accomplish.

b. According to Guy and Sullivan (1988), there is a difference between what the public and financial statement users believe accountants and auditors are responsible for and what the accountants and auditors themselves believe they are responsible for.

c. Godsell (1992) described the expectation gap as “which is said to exist, when auditors and the public hold different beliefs about the auditors’ duties and responsibilities and the messages conveyed by audit reports.”

d. Jennings et al. (1993), in their study on the use of audit decision aids to improve auditor adherence to a ‘standard’, are of the opinion that the audit expectations gap is the difference between what the public expects from the auditing profession and what the profession actually provides. Monroe and Woodliff (1993) defined audit expectation gap as “the difference in beliefs between auditors and public about the duties and responsibilities assumed by auditors and the messages conveyed by audit reports.”

Page 48: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

48

e. According to AICPA (1993), the ‘audit expectation gap’ refers to the difference between what the public and financial statement users believe the responsibilities of auditors to be; and what auditors believe their responsibilities are.

f. Epstein and Geiger (1994) defined audit expectation gap as: “differences in perceptions especially regarding assurances provided between users, preparers and auditors”.

g. The ASCPA and ICAA (1994) observe that the term ‘expectation gap’ should be used to describe “…the difference between expectations of the users of financial reports and the perceived quality of reporting and auditing services delivered by the accounting profession.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa audit

expectation gap adalah ;(1) perbedaan persepsi antara kinerja aktual

dengan kinerja yang diharapkan dari auditor; (2) adanya perbedaan-

perbedaan persepsi antara auditor, akuntan dan pengguna laporan

keuangan.

Porter (1993) mengklaim bahwa definisi audit expectation gap yang

disediakan oleh Liggio (1974) dan Cohen Commission (1978) terlalu

sempit karena mereka gagal untuk mengenali bahwa auditor tidak dapat

mencapai ‘kinerja yang diharapkan’ (Liggio 1974) atau apa yang mereka

harus ‘dapat dan cukup’ (Cohen Commission 1978). Definisi ini tidak

memungkinkan untuk sub-standar kinerja.

Kesenjangan antara apa yang publik harapkan atau inginkan

dengan apa yang auditor dapat dan harapkan layak diperoleh. Pendapat

Cohen Commission tidak berbeda dengan pendapat Porter (1993) yang

menyatakan bahwa audit expectation gap adalah kesenjangan antara

harapan masyarakat pada auditor dan kinerja auditor yang dirasakan oleh

masyarakat. Sedangkan Monroe dan Woodliff (1993) menyatakan bahwa

Page 49: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

49

pengertian audit expectation gap adalah : “perbedaan tingkat keyakinan

antara auditor dan masyarakat tentang tugas dan tanggung jawab auditor

dan gambaran yang disampaikan dalam bentuk laporan hasil

pemeriksaan”.

Meskipun terdapat beberapa perbedaan tentang pengertian audit

expectation gap tetapi banyak peneliti telah mengadopsi gagasan bahwa

kesenjangan harapan mengacu pada perbedaan antara apa yang

masyarakat dan auditor pandang sebagai sesuatu hal yang berkaitan

dengan tanggung jawab audit (Gramling et al., 1996; McEnroe dan

Martens, 2001; Sikka et al., 1998;. Monroe dan Woodliff, 1994; Koh dan

Woo, 1998; Dixon et al., 2006; Chowdhury et al., 2005; Epstein dan

Geiger, 1994; Gloeck dan De Jager, 1993; Humphrey et al., 1993; Leung

dan Chau, 2001; Lin Chin dan 2004).

Saha dan Baruah (2008:67) menyatakan bahwa “kepercayaan

pengguna biasanya tergantung pada dua faktor yaitu, pemahaman yang

tepat tentang kebutuhan pengguna dan yang paling penting adalah

kemampuan profesi akuntansi untuk mengadopsi teknik audit yang

memuaskan untuk memenuhi kebutuhan tersebut”. Dalam lingkungan

yang berubah, bagaimanapun, harapan para pengguna tidak bisa menjadi

statis. Mereka sangat dinamis dan terus berubah. Dengan perubahan

ekspektasi, respon dari profesi akuntansi juga berubah tetapi tidak pada

kecepatan yang sama. Jadi, selalu ada kesenjangan antara harapan

perubahan dari pengguna dan respon oleh profesi dan dinyatakan sebagai

Page 50: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

50

kesenjangan harapan atau audit expectation gap. Konsep audit

expectation gap ini menunjukkan bahwa non-auditor akan mengharapkan

auditor bertindak dengan cara yang berbeda dari apa yang auditor sendiri

lakukan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa pengertian audit expectation gap adalah perbedaan persepsi

antara auditor dan pemakai laporan keuangan.

B. Tinjauan Empiris

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menyelidiki adanya audit

expectation gap dalam berbagai konteks di Inggris, Amerika Serikat,

Australia, Selandia Baru, Singapura dan negara lainnya. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa bukti keberadaan audit expectation gap sangat

substansial. Baron et al. (1977), misalnya, menemukan perbedaan yang

signifikan di Amerika Serikat antara auditor dan pengguna laporan

keuangan yang berkaitan dengan tanggung jawab auditor

untuk mengungkap tindakan ilegal. Lowe (1994) membandingkan antara

auditor dan sikap terhadap profesi audit di Amerika Serikat. Ditemukan

bahwa terdapat expectation gap antara auditor dan hakim. Epstein dan

Geiger (1994) melakukan penelitian pada para investor Amerika Serikat

dan menemukan bahwa mereka percaya auditor pada tingkat keyakinan

yang lebih tinggi (mutlak), dan menganggap, bahwa salah saji material

merupakan jaminan tidak masuk akal. Mereka menunjukkan bahwa

Page 51: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

51

sebagian gap dapat dipersempit dengan mendidik masyarakat tentang

peran dan keterbatasan dari audit. Frank et al. (2001) menemukan besar

perbedaan dalam persepsi auditor AS dan juri yang berkaitan dengan

harapan mereka terhadap profesi akuntansi. Koh dan Woo (1998)

menyarankan bahwa penelitian sebelumnya didukung adanya

kesenjangan harapan substansial dalam audit. Penelitian mereka

ini menarik, mengingat fakta jika mereka mengakui bahwa kesenjangan

harus ditangani melalui penurunan harapan publik dengan meningkatkan

kinerja auditor. McEnroe dan Martens (2001) juga menemukan

kesenjangan harapan antara auditor dan investor pada item seperti

tanggung jawab untuk deteksi penipuan dan pelaporan. Mereka

berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci untuk mempersempit

kesenjangan. Humphrey et al. (1993) menetapkan adanya kesenjangan

harapan di Inggris. Kesenjangan ada di beberapa daerah termasuk peran

auditor dalam kaitannya dengan penipuan deteksi dan sejauh mana

tanggung jawab auditor kepada pihak ketiga. Lowest (1980) juga

mengungkapkan adanya kesenjangan harapan di Australia. Ditemukan

bahwa auditor dan non-auditor berbeda secara signifikan dalam persepsi

mereka mengenai hal-hal seperti deteksi penipuan. Penelitian Chowdhury

et al. (2005) mencoba untuk menemukan bukti adanya audit expectation

gap di Bangladesh. Responden yang dituju adalah auditor yang disebut

Comptroller Auditor General’s (CAG) dan anggota parlemen yang disebut

Comptroll Public Account Committee (PAC) dan lembaga internal yang

Page 52: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

52

mengelola uang publik yang disebut International Funding Agencies

(IFA’s). Penelitian ini menemukan bahwa ada expectation gap antara CAG

dan PAC serta CAG dan IFA’s.

Di Indonesia, penelitian mengenai expectation gap di sektor publik

masih sangat kurang. Nugroho (2004) menemukan bukti terdapat

perbedaan persepsi antara auditor pemerintah dengan pemakai laporan

keuangan auditan pemerintah, antara pemakai laporan keuangan auditan

sektor privat dengan pemakai laporan keuangan pemerintah, tetapi tidak

ada perbedaan persepsi antara pemakai laporan keuangan pemerintah di

sektor pemerintahan daerah satu dengan pemakai laporan keuangan

pemerintah daerah lain, hal ini di karenakan tingkat pendidikan anggota

DPRD satu daerah dengan daerah lain relatif sama. Penelitian yang sama

juga dilakukan oleh Yuliati et al. (2007) dengan menggunakan responden

auditor pemerintah dan pengguna laporan keuangan daerah yaitu

pemerintah daerah dan anggota dewan.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai audit expectation gap

dapat disimpulkan di bawah ini:

Tabel 2.1 Penelitian-penelitian terdahulu mengenai audit expectation gap

Peneliti Hasil

Bailey et al., 1983; Epstein&Geiger,1994; Nair & Rittenberg, 1987;Kelly& Mohrweis,1989; Miller

pengetahuan dari pengguna berpengaruh terhadap besarnya ukuran expectation gap & faktor komunikasi informasi yang diberikan oleh auditor dalam bentuk laporan audit terhadap pengguna juga mempunyai pengaruh terhadap

Page 53: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

53

et al., 1990) expectation gap

Humprey et al., (1993) Survei mengungkapkan suatu perbedaan yang signifikan antara auditor dan responden dalam persepsi mereka atas sifat alami auditing

Gramling, Schatberg & Wallace (1996)

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi sehubungan dengan pernyatan tentang proses audit serta peran dan tanggungjawab auditor berubah setelah mahasiswa menyelesaikan studi auditingnya, tetapi persepsi yang berbeda masih tetap ada antara auditor dengan mahasiswa yang telah menyelesaikan studi auditing tersebut.

Koh & Woo (1998) & Best et al., (2001)

menemukan adanya audit expectation gap di Singapura.

Leif Hojskov (1998) dengan menggunakan responden antara auditor dan pengguna laporan keuangan menemukan adanya expectation gap di Denmark

Best et al., (2001) terdapat audit expectation gap di Singapura

Winarna dan Rahmawati (2003)

terdapat expectation gap di Indonesia, hal ini dapat dikurangi melalui pengajaran mata kuliah auditing secara efektif

Fadzly & Ahmad (2004)

mengembangkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan luasnya expectation gap melalui pemberian bukti atas expectation gap di Malaysia. Penelitian dilakukan terhadap para auditor dan pengguna utama laporan keuangan

Lin & Chen (2004) menemukan bukti empiris adanya audit expectation gap di China. Mereka menggunakan sektor bisnis dan lingkungan audit

Krisnanto Adi Nugroho (2004)

menemukan bahwa ada expectation gap diprofesi pengauditan pemerintahan yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan

Page 54: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

54

expectation gap sektor privat

Chowdhury et al., (2005)

bahwa ada expectation gap antara CAG dan PAC serta CAG dan IFA’s.

Al-Tawaijri (2006) menemukan audit expectation gap di negara berkembang yaitu Saudi Arabia. Dengan menggunakan wawancara terhadap beberapa perusahaan

Dixon et al., (2006) Penelitian ini mengungkap bahwa di Mesir juga ditemukan expectation gap antara auditor dan investor. Antara auditor dan pengguna laporan keuangan mempunyai pandangan yang berbeda mengenai tanggungjawab dari perusahaan akuntansi yang independen dalam menyajikan laporan keuangan

Yusuf Munir Sidani (2007)

menemukan adanya expectation gap di Lebanon

Yuliati et al., (2007) terdapat expectation gap antara pemakai laporan keuangan pemerintah dan auditor pemerintah mengenai peran dan tanggung jawab auditor pemerintah

Rusliyawati dan Abdul Halim (2007)

ada expectation gap antara auditor BPK dengan pengguna laporan keuangan daerah dari sisi pelaporan, akuntabilitas dan konsep audit di Kalimantan Barat.

Lee, Gloeck dan Palaniappan (2007); Fadzly dan Ahmad (2004)

terdapat expectation gap di Malaysia

Mahadevaswamy dan Salehi (2008)

terdapat audit expectation gap di India dan Iran

Saha dan Debananda (2008)

menunjukkan bahwa audit expectation gap di India bukan merupakan hasil dari aspek tunggal, melainkan dari berbagai aspek

Salehi, Mansoury dan ada expectation gap antara auditor dan

Page 55: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

55

Azary (2009) investor mengenai status independensi di Iran

Siddiqui, Nasreen dan Choudhury (2009)

pengajaran auditing dapat mengurangi expectation gap di Bangladesh

Salehi dan Rostami (2009)

audit expectation gap timbul karena adanya harapan pengguna yang terlalu tinggi mengenai fungsi auditor dan kurangnya pengetahuan tentang peran dan tanggung jawab auditor

Ebimobowei dan Oyadonghan (2011)

terdapat hubungan yang signifikan antara audit expectation gap dan auditor internal dalam pencegahan penyalahgunaan keuangan di Nigeria

Salehi (2011) terdapat expectation gap antara auditor dan berbagai kelompok pengguna mengenai profesi audit secara keseluruhan

Penelitian mengenai laporan keuangan daerah yang mungkin

menimbulkan expectation gap antara lain dilakukan oleh Indriani (2002)

yang membuktikan bahwa pengetahuan anggaran berpengaruh secara

signifikan terhadap pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh

dewan. Sementara Pramono (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor

yang menghambat fungsi pengawasan adalah minimnya kualitas sumber

daya manusia dan kurangnya sarana dan prasarana. Rusliyawati dan

Halim (2007) juga membuktikan bahwa ada expectation gap antara

auditor BPK dengan pengguna laporan keuangan daerah dari sisi

pelaporan, akuntabilitas dan konsep audit di Kalimantan Barat.

Penelitian yang menguji apakah partisipasi masyarakat dan

transparansi kebijakan publik akan meningkatkan fungsi pengawasan

Page 56: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

56

yang dilakukan oleh dewan pernah dilakukan oleh Sopanah (2002),

Coryanata (2007), Simson et al. (2007) serta Jaka dan Winarni (2007).

Penyusunan laporan keuangan daerah oleh pemerintah daerah juga

menjadi salah satu hal yang penting dalam terciptanya pemerintah yang

akuntabel dan transparan. Pemda memegang peranan penting dalam

penyusunan laporan keuangan daerah. Kesiapan sumber daya untuk

penyusunan laporan keuangan sangat dibutuhkan. Penelitian hal ini

dilakukan oleh Ria dan Fidelis (2004) yang menemukan bahwa sumber

daya sub bagian akuntansi masih kurang, pelatihan-pelatihan konsep

akuntansi juga masih sangat kurang sehingga mengakibatkan lack of

knowledge semakin besar.

Page 57: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

57

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konseptual

Berdasarkan uraian sebelumnya, landasan teori yang digunakan

untuk menyusun kerangka pemikiran didasarkan pada grand theory yaitu

theory agency yang mengkaji perilaku-perilaku dari principal dan agen

yang menyelenggarakan aktivitas instansi pemerintah.

Sedangkan teori-teori pendukung yang digunakan dalam penelitian

ini adalah expectancy theory, auditing, dan creative accounting. Teori

ekspektasi yang dikemukakan oleh Binberg et al. (2007) menyatakan

bahwa seorang auditor berusaha untuk memenuhi harapan pengguna

laporan keuangan dengan memaksimalkan kinerjanya.

Mautz dan Sharaf dalam Tuanakota (2011:52) menjelaskan bahwa

auditing berhubungan dengan verification (memeriksa keakuratan atau

ketelitian), pemeriksaan data keuangan untuk menilai kejujurannya dalam

mencerminkan peristiwa dan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa

verification harus menerapkan teknik dan metode pembuktian.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka untuk menguji

pengaruh dari masing-masing variabel, maka dikembangkan kerangka

konseptual yang terdiri dari tiga tahap, sebagai berikut.

57

Page 58: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

58

Gambar 1Kerangka Konseptual

1. Menguji pengaruh langsung variabel akuntabilitas, creative

accounting, dan konsep audit terhadap laporan hasil pemeriksaan.

2. Menguji pengaruh langsung variabel akuntabilitas, creative

accounting, dan konsep audit terhadap audit expectation gap.

3. Menguji pengaruh tidak langsung, yaitu pengaruh akuntabilitas,

creative accounting, dan konsep audit terhadap audit expectation gap

melalui laporan hasil pemeriksaan.

B. Hipotesis

Hipotesis adalah hubungan yang diduga secara logis antara dua

variabel atau lebih dalam rumusan proposisi yang dapat diuji secara

empiris (Indiriantoro dan Supomo, 1999). Sebagai titik tolak dalam

Page 59: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

59

pengembangan hipotesis, perlu dikemukakan penelitian-penelitian yang

mendukung dan mendasari dibentuknya hipotesis.

1. Pengaruh langsung akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit, terhadap laporan hasil pemeriksaan.

Menurut Waterman dan Meier (1998) dalam Damayanti (2010),

teori agency dari perspektif politik ekonomi mengkritisi asumsi yang

menjadi permasalahan model hubungan keagenan konvensional, yaitu

konflik kepentingan dan asimetri informasi. Mereka mengembangkan

asumsi permasalahan dalam kerangka kerja teoritis yang lebih luas, yaitu

dari sudut pandang politik, birokrasi dan anggaran. Untuk itu, tujuan dari

pelaporan keuangan sektor publik seharusnya adalah untuk menyediakan

informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan dan untuk

menunjukkan akuntabilitas suatu entitas dalam menangani sumber daya

yang dibebankan kepadanya (IFAC, 2000; Henley et al., 1990; Freeman,

2004). Akuntabilitas adalah instrumen yang menunjukkan apakah

prinsip-prinsip pemerintahan, hukum, keterbukaan, transparansi,

keberpihakkan dan kesamaan di hadapan hukum telah dihargai atau

tidak. Suatu akuntabilitas tidak abstrak tapi kongkret dan harus ditentukan

oleh hukum melalui seperangkat prosedur yang sangat spesifik mengenai

masalah apa saja yang harus dipertanggungjawabkan (Wulandari, 2010).

Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi

sektor publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-

lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban

Page 60: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

60

horizontal maupun vertikal (Mardiasmo, 2009:21). Penelitian yang menguji

hubungan antara akuntabilitas dengan laporan hasil pemeriksaan

dilakukan oleh: Adam dan Evans (2004), Gold (2009), Chowdhury et al.

(2005), CUI-ITB (2005), Rusliyawati dan Halim (2007), Fadzly dan Ahmad

(2004), Coryanata (2007), dan Al-Qarni (2004).

Penelitian Adam dan Evans (2004) berfokus pada standar

akuntabilitas (AA1000) dan standar jaminan (AA1000S), mereka menguji

akuntabilitas, kelengkapan dan kredibilitas laporan. Hasilnya menunjukkan

bahwa dalam menjamin akuntabilitas laporan keuangan, sebaiknya

laporan keuangan memenuhi prinsip-prinsip penjaminan kualitas, antara

lain: harus lengkap, ruang lingkupnya menggambarkan semua kegiatan,

inklusif, responsif, serta keandalan bukti dan informasi. Penelitian

Chowdhury et al. (2005) menunjukkan bahwa laporan CAG merupakan

mekanisme yang efektif untuk menjamin akuntabilitas sektor publik.

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

H1: Akuntabilitas berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil

pemeriksaan.

Tahun 2014 standar akuntansi pemerintahan mulai mengacu pada

SAP berbasis akrual dalam PP Nomor 71 tahun 2010. Laporan keuangan

pemerintah (termasuk pemerintah daerah) terdiri atas :

1. Laporan Realisasi Anggaran,

2. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih,

3. Neraca,

Page 61: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

61

4. Laporan Operasional,

5. Laporan Perubahan Ekuitas,

6. Laporan Arus Kas dan,

7. Catatan Atas Laporan Keuangan

Adapun karakteristik kualitatif laporan keuangan merupakan atribut

yang menjadikan informasi dalam laporan keuangan bermanfaat bagi para

penggunanya. Empat karakteristik utama adalah relevan, dapat dipahami,

keterandalan dan dapat diperbandingkan (IAI, 2004; IFAC, 2000; Komite

Standar Akuntansi Pemerintahan, 2005).

Penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah yang

berdasarkan pada SAP berbasis akrual membutuhkan kemampuan untuk

mengimplementasikan berbagai teknik dan kebijakan akuntansi untuk

kepentingan penyajian laporan keuangan. Kemampuan inilah yang biasa

disebut creative accounting” (Sulistiawan, 2011:23). Lebih lanjut

Sulistiawan menyatakan bahwa, creative accounting bukanlah

pengetahuan baru, melainkan hanyalah kumpulan teknik dan kebijakan

akuntansi yang telah ada.

Penelitian-penelitian tentang creative accounting dalam

hubungannya dengan opini laporan hasil pemeriksaan telah banyak

dilakukan, khususnya pada sektor privat, yaitu penelitian yang dilakukan

oleh Amat dan Gowthorpe (2004), Ghost (2010), Vladu dan Matis (2010),

Okoye dan Alao (2008), Hagen dan Wolff (2004), dan Ali Shah et al.

Page 62: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

62

(2011), sedangkan penelitian pada sektor publik yaitu penelitian Benito et

al. (2011)

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan dan dukungan

dari peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam

penelitian ini, yaitu :

H2: Creative accounting berpengaruh positif terhadap opini laporan

hasil pemeriksaan

Mautz dan Sharaf dalam Tuanakota (2011:54) menyatakan bahwa

konsep-konsep utama dalam auditing, yakni evidence, due audit care, fair

presentation, independence dan ethical conduct. Lebih lanjut, Mautz dan

Sharaf menjelaskan bahwa secara umum ada 3 (tiga) jenis bukti, yakni:

natural evidence (bukti alamiah), created evidence (bukti yang diciptakan),

dan rational argumentation (gagasan/ide yang logis). Ketiga kelompok

bukti tidak memiliki kekuatan yang sama dalam alam pikiran manusia. Due

audit care atau kehati-hatian dalam melaksanakan audit diukur dengan

menggunakan kode etik dan standar audit.

Penelitian Chowdhury et al. (2005) di Bangladesh menggunakan 6

(enam) konsep audit, yaitu: independensi, kompetensi, materialitas, bukti

audit, pendapat wajar dan audit kinerja. Konsep ini diadopsi dari

Comptroller Auditor General’s (CAG) pada sektor publik di Bangladesh.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan dalam persepsi antara auditor CAG dengan masing-masing dari

Page 63: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

63

dua kelompok pengguna, yaitu anggota PAC dan perwakilan IFA.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Rusliyawati dan Halim (2007),

Coryanata (2007), Dixon dan Woodhead (2006), Fadzly dan Ahmad

(2005), Mahadevaswamy dan Salehi (2008) dan Al-Qarni (2004).

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam

penelitian ini, yaitu:

H3: Konsep audit berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil

pemeriksaan

2. Pengaruh langsung akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit, terhadap audit expectation gap.

Menurut Adam dan Evans (2004), akuntabilitas bertujuan

menetapkan standar hanya untuk pelaporan kinerja. Niatnya yang lebih

luas adalah membantu perusahaan dan stakeholder yang terkait,

memberikan lebih besar tanggung jawab sosial, ekonomi dan lingkungan

dalam melakukan bisnis. Harapan para penyusun laporan akan berbeda

dengan para pengguna laporan sehingga menimbulkan audit expectation

gap.

Chowdhury et al. (2005), menyatakan bahwa terdapat audit

expectation gap, antara auditor CAG dengan kelompok pengguna IFA

dengan PAC dalam hal akuntabilitas pelaporan keuangan. Hal ini

disebabkan karena auditor CAG setuju bahwa laporan mereka menjamin

akuntabilitas sektor publik dibandingkan anggota PAC. Perbedaan

persepsi yang signifikan antara kedua kelompok ditemukan dalam

Page 64: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

64

kaitannya dengan apakah kebutuhan informasi pengguna turut

diperhitungkan. Auditor CAG sepakat jika mereka merespon kebutuhan

informasi dari anggota PAC. Sebaliknya anggota PAC tidak yakin hal ini

terjadi. Mengingat fakta, adanya tatap muka langsung antara auditor CAG

dan anggota PAC pada rapat PAC, hal ini dapat

dipandang sebagai temuan yang mengejutkan. Ini yang diharapkan

anggota PAC dan memastikan bahwa auditor CAG sepenuhnya

menyadari kebutuhan informasi mereka.

Penelitian yang menguji hubungan antara akuntabilitas dengan

audit expectation gap juga dilakukan oleh Rusliyawati dan Halim (2007),

Fadzly dan Ahmad (2004), Coryanata (2007), dan Al-Qarni (2004).

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam

penelitian ini, yaitu:

H4: Akuntabilitas berpengaruh positif terhadap audit expectation gap

Di Indonesia, Menteri Keuangan membentuk Komite Standar

Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah yang bertugas menyusun

konsep standar akuntansi pemerintah pusat dan daerah yang tertuang

dalam KMK No.308/KMK.012/2002. Undang-Undang Nomor 17 tahun

2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan agar laporan

pertanggungjawaban APBN/APBD harus disusun dan disajikan sesuai

dengan standar akuntansi pemerintahan, dan standar tersebut disusun

oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan

peraturan pemerintah.

Page 65: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

65

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara kembali mengamanatkan penyusunan laporan

pertanggungjawaban pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan

standar akuntansi pemerintahan, bahkan mengamanatkan pembentukan

komite yang bertugas menyusun standar akuntansi pemerintahan dengan

keputusan presiden. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai

salah satu elemen penting reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia

akhirnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005

pada tanggal 13 Juni 2005, yang kemudian direvisi kembali hingga

diterbitkannya Standar Akuntansi Berbasis Akrual dalam Peraturan

Pemerintah No 71 tahun 2010. Standar akuntansi pemerintahan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 yang telah

disusun merupakan pedoman bagi pemerintah untuk penyusunan laporan

keuangannya. Namun setelah beberapa tahun ditetapkan, masih ada

pemerintah daerah yang belum mampu menerapkannya dengan baik. Hal

ini dapat diketahui dari masih adanya pemerintahan daerah yang belum

mampu menyusun laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi

berterima umum (PABU) dan diberikan opini audit wajar dengan

pengecualian atau tidak wajar, maupun tidak memberikan opini oleh BPK

(Fitriani dan Yuliana, 2010).

Akibatnya, terdapat audit expectation gap antara auditor dan

pengguna laporan keuangan (Koh dan Woo,1998; Best et al., 2001; Leif

Hojskov 1998; Lin dan Chen, 2004; Al-Tawaijri, 2006, Dixon et al., 2006;

Page 66: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

66

Sidani, 2007; Chowdhury et al., 2005). Hal ini disebabkan karena antara

auditor dan pengguna laporan keuangan memunyai pandangan yang

berbeda mengenai tanggung jawab dari akuntan yang independen dalam

menyajikan laporan keuangan (Dixon et al., 2006; Chowdhury et al.,

2005).

Pengetahuan dari pengguna berpengaruh terhadap besarnya

ukuran expectation gap dan faktor komunikasi informasi yang diberikan

oleh auditor dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan (Bailey et al., 1983;

Epstein dan Geiger,1994; Nair dan Rittenberg, 1987; Kelly dan Mohrweis,

1989; Miller et al., 1990). Perbedaan pengetahuan dan pendidikan yang

dimiliki pengguna laporan keuangan akan menyebabkan adanya

perbedaan yang signifikan antara auditor dan responden dalam persepsi

mereka atas sifat alami auditing (Humprey et al., 1993; Chowdhury et al.,

2005; Koh dan Woo,1998; Best et al., 2001; Leif Hojskov 1998; Lin dan

Chen, 2004; Al-Tawaijri, 2006, Dixon et al., 2006; Sidani, 2007;

Chowdhury et al., 2005).

Hal ini juga diperkuat oleh penelitian (Nugroho, 2004; Chowdhury et

al., 2005) bahwa expectation gap diprofesi pengauditan pemerintahan

memiliki karakteristik yang berbeda dengan expectation gap sektor privat.

Hal ini disebabkan karena antara auditor dan pengguna laporan keuangan

memunyai pandangan yang berbeda mengenai tanggung jawab dari

perusahaan akuntansi yang independen dalam menyajikan laporan

keuangan (Dixon et al., 2006; Chowdhury et al., 2005)

Page 67: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

67

Kekurangpahaman dan keengganan masyarakat untuk mengetahui

pentingnya fungsi dari laporan keuangan daerah juga akan menimbulkan

perbedaan persepsi antara masyarakat dengan auditor BPK. Hasil audit

terhadap laporan keuangan daerah oleh auditor BPK tidak akan bisa

dimengerti oleh masyarakat, selama masyarakat masih beranggapan

bahwa laporan keuangan daerah hanya diperuntukkan bagi orang

akuntansi dan keuangan saja. Hal seperti inilah yang bisa menimbulkan

perbedaan persepsi, sehingga menimbulkan expectation gap antara

auditor dan pengguna laporan keuangan daerah (Rusliyawati dan Halim,

2007).

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan dan dukungan

dari peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam

penelitian ini, yaitu :

H5: Konsep audit berpengaruh positif terhadap audit expectation gap.

H6: Creative accounting berpengaruh positif terhadap audit expectation

gap.

H7: Opini laporan hasil pemeriksaan berpengaruh positif terhadap audit

expectation gap

3. Pengaruh tidak langsung variable akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit terhadap audit expectation gap melalui opini laporan hasil pemeriksaan.

Penyampaian pesan oleh auditor melalui laporan hasil pemeriksaan

kepada pengguna laporan keuangan auditan sangat memungkinkan

Page 68: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

68

terjadinya persepsi antara keduanya. Hal ini menunjukkan jika pesan yang

disampaikan oleh auditor telah disalah artikan oleh pengguna, sehingga

laporan hasil pemeriksaan dapat menimbulkan kesalahan pada saat

digunakan sebagai alat dalam pengambilan keputusan.

Menurut Gramling, Schatzberg, dan Wallace (1996) audit

expectation gap adalah perbedaan harapan antara publik atau pengguna

laporan keuangan dan auditor mengenai peran dan tanggung jawab

auditor. Expectation gap adalah isu yang akan selalu ada sampai

kapanpun praktek auditing berlangsung.

Kesadaran akan expectation gap bukanlah sesuatu tanpa alasan

dan hanya sekedar kesadaran tanpa tindak lanjut, karena expectation gap

tidak membawa kerugian yang sedikit bagi banyak pihak. Alternatif

pengurangan expectation gap telah banyak dirumuskan, akan tetapi

efektivitas aplikasinya masih dipertanyakan. Berbagai alternatifnya antara

lain dengan pembenahan standar yang lebih akomodif terhadap harapan

publik, IAI pun telah melaksanakannya dengan perubahan dan

penyempurnaan standar (Yeni, 2000 dalam Winarna et al. 2003)

Expectation gap tentang peran dan tanggung jawab auditor dapat

dilihat dari berbagai sudut atau permasalahan khusus. Guy and Sullivan

(1988) menyebutkan adanya perbedaan harapan masyarakat dengan

auditor dalam hal :

1. Deteksi kecurangan dan tindakan illegal

2. Perbaikan keefektifan audit, dan

Page 69: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

69

3. Komunikasi yang lebih intensif dengan masyarakat dan komite audit.

Humphrey et al. (1993) menyatakan bahwa audit expectation gap

konsisten berpusat pada sejumlah isu abadi dalam auditing, yakni: peran

dan tanggung jawab auditor, sifat dan arti pesan dari laporan hasil

pemeriksaan, kualitas fungsi audit dan struktur dan regulasi profesi.

Monroe dan Woodliff (1993) memisahkan masalah yang terkait dengan

audit expectation gap menjadi 3 (tiga) hal, yaitu: tanggung jawab auditor,

keandalan laporan keuangan yang diaudit, dan prospek dari entitas yang

diaudit. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Best

et al. (2001) dan Schelluch (1996), hanya saja mereka

mengelompokkannya menjadi tanggung jawab, kehandalan dan kegunaan

laporan hasil pemeriksaan.

Penelitian terdahulu menyangkut audit expectation gap di

Indonesia pada sektor privat sudah banyak dilakukan (Yuliati et al., 2007)

Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yeni (2000)

dalam Yuliati et al., (2007) yang mengembangkan isu yang dikembangkan

oleh Guy dan Sullivan (1998), menyimpulkan jika terdapat perbedaan

persepsi antara pemakai laporan keuangan, auditor dan mahasiswa

akuntansi mengenai peran dan tanggung jawab auditor dalam isu

tanggung jawab auditor terhadap fraud, independensi tanggung jawab

illegal act klien, dan perbaikan keefektifan audit. Sedangkan untuk

komunikasi hasil audit tidak terjadi perbedaan yang cukup signifikan.

Page 70: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

70

Sedangkan penelitian mengenai audit expectation gap pada

sektor publik, dapat dikatakan masih sedikit. Nugroho (2004) dalam Yuliati

et al., (2007) melakukan penelitian tentang keberadaan expectation gap

antara auditor pemerintah dengan pemakai laporan keuangan auditan

pemerintah, antara pemakai laporan keuangan auditan pemerintah di

daerah satu dengan daerah lainnya. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan persepsi antara auditor pemerintah dengan

pemakai laporan keuangan auditan pemerintah, dan tidak terdapat

perbedaan persepsi antara pemakai laporan keuangan auditan

pemerintah di daerah satu dengan daerah lainnya.

Penelitian Yuliati et al., (2007) menyangkut expectation gap antara

pemakai laporan keuangan pemerintah dan auditor pemerintah dalam hal

peran dan tanggung jawab auditor mendeteksi dan melaporkan

kecurangan, memertahankan sikap independensi, mengkomunikasikan

hasil audit dan memerbaiki keefektifan audit. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa tidak terdapat expectation gap antara pemakai dan

auditor mengenai peran dan tanggung jawab auditor mendeteksi dan

melaporkan kecurangan, serat memertahankan sikap independensi.

Tetapi terdapat expectation gap dalam mengkomunikasikan hasil audit

dan memerbaiki keefektifan audit.

Rusliyawati dan Halim (2007), penelitiannya menyangkut

expectation gap antara BPK dan pengguna laporan keuangan daerah

dilihat dari sudut pandang laporan audit dan proses pelaksanaan audit.

Page 71: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

71

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi

antara BPK dan pengguna laporan keuangan daerah dilihat dari sisi

pelaporan, akuntabilitas dan konsep-konsep audit.

Berdasarkan kerangka pemikiran dan peneliti-peneliti sebelumnya,

maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :

H8: Akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit berpengaruh

secara tidak langsung terhadap audit expectation gap melalui opini

laporan hasil pemeriksaan.

Page 72: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

72

BAB IV

METODE PENELITIAN

a. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah semua proses yang dilakukan dalam

perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Menurut Sekaran dan Bowgie

(2009:102) bahwa rancangan penelitian terdiri dari tujuan penelitian, jenis

investigasi, intervensi peneliti, study setting, unit analisis, dan time

horizon. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif, yang

menggunakan metode analisis jalur (path analysis), untuk menganalisis

pengaruh langsung, tidak langsung dan simultan antar variabel awal,

variabel mediasi, dan variabel outcome.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode survey dan bersifat non eksperimental. Sedangkan

jenis penelitian yang dilakukan adalah explanatory research, yang

menjelaskan hubungan kausal dan korelasional antar variabel melalui

pengujian hipotesis. Pada metode survei, data dikumpulkan dari para

responden dengan menggunakan kuesioner. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer, yaitu data diperoleh melalui kuesioner

yang langsung disebarkan kepada auditor BPK, anggota DPRD, pegawai

pemerintah daerah dan masyarakat.

72

Page 73: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

73

b. Objek Penelitian

Menurut Arikunto (1998:15), variabel adalah objek penelitian atau

apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian, sedangkan tempat

dimana variabel melekat merupakan subjek penelitian. Merujuk pada

pendapat tersebut maka yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah

terdapat audit expectation gap antara auditor dan pengguna laporan

keuangan daerah dilihat dari penerapan akuntabilitas, creative accounting

dan konsep audit atas opini laporan hasil pemeriksaan. Penelitian

dilakukan terhadap para responden yang ada di Provinsi Sulawesi

Selatan, meliputi auditor BPK, anggota DPRD, pegawai pemerintah

daerah dan masyarakat.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas:

objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2010:389). Populasi penelitian ini

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Auditor yaitu para auditor yang bekerja pada kantor perwakilan BPK-

RI di Provinsi Sulawesi Selatan

2. Pengguna laporan hasil pemeriksaan meliputi:

a. Para anggota DPRD di Provinsi Sulawesi Selatan yang masuk

dalam komisi C dan Panitia Anggaran. Anggota dewan komisi C dan

Page 74: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

74

panitia anggaran adalah anggota-anggota DPRD yang terlibat

langsung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD).

b. Para pegawai Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan

Aset Daerah (DPPKAD) Provinsi Sulawesi Selatan.

c. Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, yang diwakili oleh para

akademisi (IAPd) dan auditor Kantor Akuntan Publik (KAP).

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah

purposive sampling method, yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010:122).

1. Auditor yang bertugas pada kantor perwakilan BPK-RI di Provinsi

Sulawesi Selatan, minimal telah bertugas selama 1 (dua) tahun.

2. Anggota DPRD di Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh

komisi C bidang keuangan sebanyak 13 orang dan panitia anggaran

sebanyak 27 orang.

3. Pegawai Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset

Daerah (DPPKAD) Provinsi Sulawesi Selatan khususnya bagian

keuangan.

4. Para akademisi Ikatan Akuntan Pendidik (IAPd), dan auditor Kantor

Akuntan Publik (KAP) meliputi manager dan auditor senior.

Page 75: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

75

D. Definisi Operasionalisasi dan Pengukuran Variabel

Operasionalisasi variabel mencakup tahapan-tahapan sebagai

berikut :

1. Pengidentifikasian variabel eksogen dan variabel endogen.

2. Penjabaran variabel independen dan variabel dependen ke dalam

masing-masing sub variabelnya.

3. Penjabaran masing-masing sub variabel ke dalam indikator-

indikatornya.

Setelah dijabarkan menjadi indikator-indikatornya, maka kemudian

indikator-indikator tersebut digunakan sebagai pedoman untuk membuat

pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Setiap indikator dari variabel

penelitian ini dijabarkan ke dalam sebuah pertanyaan tertutup dan

menuangkannya dalam daftar pertanyaan. Teknik pengukuran yang

digunakan untuk mengubah data kualitatif dari kuesioner menjadi suatu

data kuantitatif adalah Summated Rating Method: The Likert Scale, yang

merupakan suatu pengukuran skala ordinal. Sebagian instrumen yang

digunakan adalah instrumen yang telah dipakai Chowdhury et.al., (2005)

dengan skala Likert tujuh poin dengan 1 menunjukkan

"sangat setuju" dan 7 menunjukkan "sangat tidak setuju", namun peneliti

hanya menggunakan skala Likert lima poin dengan 1 menunjukkan ”tidak

setuju” dan angka 5 menunjukkan ”sangat setuju”.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa variabel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Page 76: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

76

1. Akuntabilitas (X1), creative accounting (X2) dan konsep audit (X3)

yang merupakan variabel eksogen.

2. Opini laporan hasil pemeriksaan (Y1) merupakan variable endogen

intervening dan audit expectation gap (Y2) sebagai variabel endogen

dependen.

Berikut ini akan dijelaskan batasan variabel penelitian dan

indikatornya beserta skala pengukuran yang digunakan, seperti dalam

tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1Operasionalisasi Variabel

VARIABEL KONSEP VARIABEL SUB VARIABEL

INDIKATOR SKALA

Akuntabilitas

(X1)

Akuntabilitas publik adalah

kewajiban pihak pemegang

amanah (agent) untuk

memberikan pertanggungjawaban,

menyajikan, melaporkan dan

mengungkapkan segala aktivitas

dan kegiatan yang menjadi

tanggung jawabnya kepada pihak

pemberi amanah (principal) yang

memiliki hak dan kewenangan

untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut

(Mardiasmo, 2009)

1. Tepat waktu dan

jelas

2. Format mudah

dipahami

3. Menjamin

akuntabilitas publik

1.Ordinal

2.Ordinal

3.Ordinal

Creative Accounting

(X2)

Creative accounting menurut Amat,

Blake dan Dowd (1999) adalah

“sebuah proses dimana beberapa

pihak menggunakan kemampuan

pemahaman pengetahuan

akuntansi (termasuk didalamnya

standar, teknik dan sebagainya) dan

menggunakannya untuk

memanipulasi pelaporan keuangan

1. Mengubah metode

akuntansi

2. Membuat estimasi

Akuntansi

3. Mengubah periode

pengakuan

4. Mereklasifikasi akun

5. Mereklasifikasi akrual

1.Ordinal

2.Ordinal

3.Ordinal

4.Ordinal

5.Ordinal

Konsep Audit

(X3)

Konsep audit merupakan suatu

istilah yang digunakan untuk ide

Independensi

(X3a)

1. Tidak memihak

2. Sikap mental yang

1. Ordinal

2. Ordinal

Page 77: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

77

bidang audit yang berasal dari

dan dipertimbangkan sebagai

bagian dari beberapa hal yang

diobservasi dengan pemikiran-

pemikiran (Mautz and Sharaf,

1980)

Kompetensi

(X3b)

Materialitas

(X3c)

Bukti audit

(X3d)

Pendapat

wajar (X3e)

Audit kinerja

(X3f)

objektive

3. Menghindari pertentangan

kepentingan

1. Sertifikat/Ijazah

2. Keikutsertaan dalam

pelatihan

3. Simposium dalam negeri

4. Simposium luar negeri

5. Pelatihan dalam negeri

6. Pelatihan luar negeri

1. Kekeliruan karena

mengunakan estimasi

2. Pengukuran lingkup

audit

3. Jumlah maksimun

kemungkinan terdapat

kekeliruan

1. Waktu dan biaya dalam

proses audit

2. Lingkup audit yang

memengaruhi proses

pengumpulan bukti.

3. Kebutuhan informasi yang

dirasakan pengguna

memengaruhi proses

pengumpulan bukti.

1. Laporan keuangan yang

disajikan telah sesuai

dengan Prinsip Akuntansi

Berterima Umum (PABU).

1. Efisiensi dan efektivitas dari

operasi

2. Keefektifan hasil yang

dicapai.

3. Ordinal

1. Ordinal

2. Ordinal

3.Ordinal

4.Ordinal

5.Ordinal

6.Ordinal

1.Ordinal

2.Ordinal

3.Ordinal

1.Ordinal

2.Ordinal

3.Ordinal

1.Ordinal

1. Ordinal

2. Ordinal

Opini

Laporan

Hasil

Pemeriksaan

Laporan hasil pemeriksaan harus

menyatakan bahwa pemeriksaan

dilakukan sesuai dengan Standar

Pemeriksaan dan berisikan opini

auditor (SPKN, 2007)

Wajar Tanpa

Pengecualian

(Y1a)

Wajar Dengan

1. Bukti pemeriksaan cukup

memadai

2. Seluruh laporan keuangan

disajikan dengan lengkap

sesuai PABU

1. Salah saji yang terjadi

1. Ordinal

2. Ordinal

1. Ordinal

Page 78: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

78

(Y1) Pengecualian

(Y1b)

Tidak Wajar

(Y1c)

Menolak

memberikan

pendapat (Y1d)

adalah material tetapi tidak

perpasive terhadap laporan

keuangan

2. Adanya pembatasan

lingkup (ketidakcukupan

bukti)

1. Salah saji yang terjadi

adalah material tetapi

perpasive terhadap laporan

keuangan

1. Tidak memeroleh bukti yang

cukupmemadai sebagai

dasar opini

2. Dampak salah saji tidak

dapat dideteksi dalam

laporan keuangan

3. Melibatkan banyak

ketidakpastian dalam

kondisi ekstrim

2. Ordinal

1. Ordinal

1. Ordinal

2. Ordinal

3. Ordinal

Audit

Expectation

Gap

(Y2)

Perbedaan persepsi antara

akuntan independen dengan

pemakai laporan keuangan

auditan mengenai tingkat kinerja

yang diharapkan (expected

performance) dari profesi akuntan (Liggio, 1974)

Persepsi auditor (BPK) dan

penguna laporan keuangan

pemerintah, dalam hal

tanggung jawab auditor :

1. Mendeteksi dan melaporkan

kecurangan

2. Memertahankan sikap

independensi

3. Mengkomunikasikan hasil

audit

4. Memerbaiki keefektifan

audit

1. Ordinal

2. Ordinal

3. Ordinal

4. Ordinal

E. Metode Pengumpulan Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini akan diperoleh

melalui :

1) Kuesioner

Diharapkan dapat diperoleh data primer dengan data diperoleh

Page 79: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

79

melalui kuesioner yang langsung disebarkan kepada auditor BPK,

anggota DPRD, pegawai pemerintah daerah dan masyarakat.

2) Wawancara

3) Observasi

4) Kepustakaan

Untuk melengkapi data primer, diperlukan pula data sekunder yang

diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Pengumpulan data

sekunder dilakukan dengan memelajari jurnal-jurnal, buku teks,

majalah-majalah yang menunjang pembahasan dan analisis

penelitian lapangan.

F. Metode Pengujian Data

Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah daftar

pertanyaan (kuisioner). Butir-butir pertanyaan dikembangkan berdasarkan

defenisi operasional seperti pada uraian sub-sub sebelumnya. Skala yang

digunakan adalah Skala Likert dengan 5 skor, yaitu sangat tidak setuju

diberi skor 1, tidak setuju diberi skor 2, netral diberi 3, setuju diberi skor 4

dan sangat setuju diberi skor 5. Setelah instrumen dibuat dan validitas isi

(content validity) terjamin berdasarkan defenisi operasional yang merujuk

pada konsep dan teori, maka instrumen dilakukan uji coba untuk menguji

validitas dan realibilitas.

Uji-coba instrumen dilakukan dengan menggunakan mahasiswa

akuntansi sebanyak 50 sampel sebagai responden. Uji-coba instrument ini

Page 80: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

80

dimaksudkan untuk mengetahui tingkat validitas masing-masing item

pernyataan/pertanyaan, serta untuk mengetahui tingkat reliabilitas

instrument pengumpul data tersebut.

Pengukuran tingkat validitas instrumen dilakukan dengan

menggunakan rumus korelasi product moment, sebagai berikut :

NXY - (X) (Y)

rXY = {NX2 - (X)2} {NY2 - (Y)2}

dimana:

rXY = korelasi product moment antara X dan Y

X = skor butir pernyataan

Y = skor total butir pernyataan (Arikunto, 1996).

Kriteria penilaian, jika rXY > rtabel, maka butir pernyataan yang bersangkutan

valid untuk digunakan dalam pengumpulan data; jika rXY rtabel, maka butir

pernyataan yang bersangkutan tidak valid digunakan sebagai alat

pengumpul data dan harus dikeluarkan dari instrumen. Pengukuran

tingkat reliabilitas instrumen menggunakan Koefisien Alfa Cronbach

dengan rumus, sebagai berikut (Sugiyono, 2010) :

Page 81: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

81

K si2

ri = [---------] [1 - ---------] (k - 1) st

2

dimana:

ri = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pernyataan

si2 = jumlah varians butir

st2 = varians total

Uji validitas dan reliabilitas yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Uji Validitas (Test of Validity)

Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan analisa faktor. Alat

uji yang digunakan untuk mengukur tingkat interkorelasi antar variabel

dan dapat tidaknya dilakukan analisis faktor adalah Kaiser Meyer

Olkin-Measure of Sampling Adequacy (KMO-MSA). Nilai KMO-MSA

bervariasi dari nol (0) sampai dengan satu (1). Nilai yang dikehendaki

harus > 0,50 untuk dapat dilakukan analisis faktor (Hair et al., 2006).

2. Uji Reliabilitas (Test of Reliability)

Kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban responden

terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.

Peneliti menggunakan metoda internal consistency dengan

menggunakan cronbach’s alpha. Suatu konstruk atau variabel

dikatakan reliabel jika memberikan nilai cronbach’s alpha lebih besar

dari 0,60 (Nunnaly, 1967).

Page 82: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

82

G. Teknik Analisis Data

Metode analisis data di dalam penelitian ini menggunakan teknik

analisis SEM (Struktural Equation Modeling) dengan program bantu

AMOS (Analisis Of Moment Struktural). Ferdinand (2002:33) menyatakan

beberapa langkah pemodelan SEM adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan Model Teoritis.

Langkah ini bertujuan untuk melakukan pengembangan suatu model

teoritis dengan jalan eksplorasi ilmiah melalui telaah pustaka, dalam

usaha memeroleh justifikasi atas model teoritis yang dikembangkan.

Teknik ini digunakan untuk menguji teori, atau suatu teori yang baru

dikembangkan peneliti melalui pembuktian empiris.

Page 83: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

83

2. Pengembangan Diagram Alur.

Model teoritis yang telah dikembangkan atau dibangun pada langkah

pertama dilakukan dengan cara menggambarkan diagram alur.

Konstruk-konstruk yang dibangun pada diagram alur dibedakan dalam

dua kelompok yaitu:

a. Konstruk eksogen (Independen variabel) yaitu konstruk yang tidak

diprediksi oleh variabel lain dalam model. Pada penelitian ini yang

menjadi konstruk eksogen adalah akuntabilitas, creative accounting

dan konsep audit

b. Konstruk endogen yaitu konstruk yang diprediksi oleh satu atau

beberapa konstruk yang ada dalam model. Pada penelitian ini

konstruk endogen adalah laporan hasil pemeriksaan dan audit

expectation gap.

3. Konversi Diagram Alur Dalam Persamaan

Pada langkah ini persamaan struktural dan model pengukuran

diterjemahkan dalam persamaan. Berdasarkan kerangka konseptual

yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka structural equation

modeling yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Y1= (X1, X2, X3) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . (1)

Y2 = (X1, X2, X3, Y1) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2)

Page 84: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

84

Sehingga dari persamaan (2) fungsi audit expetation gap (Y2) dapat

ditulis ulang menjadi:

Y2 = {X1, X2, X3, Y1 (X1, X2, X3)} . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2a)

dimana:

X1 = Akuntabilitas

X2 = Creative Accounting

X3= Konsep Audit

Y1= Laporan Hasil Pemeriksaan

Y2= Audit Expectation Gap

Lebih jelasnya dapat dilihat pada struktur di bawah ini :

1. Struktur Pertama

Struktur pertama adalah untuk menggambarkan jalur pengaruh

langsung variabel akuntabilitas (X1), creative accounting (X2), dan konsep

audit (X3), terhadap laporan hasil pemeriksaan (Y1), dapat dilihat pada

gambar berikut.

rX1Y1 β1Y1 Ɛ1

rX2Y1 rX1x2 β2X1

X1

X2

X3

Y2

Y1

Page 85: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

85

rX3Y1 β3X2

rX1x3 β4X3

rX2x3

Gambar 4.1 Struktur Pertama Pengaruh Variabel X1, X2, X3, Y1, terhadap Variabel Y2.

Persamaan struktural pertama adalah:

Y2 = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4 Y1 + Ɛ1 . . . . . . . . . . . . . . . (3)

Dimana 0, 1, 2, 3, dan 4 adalah parameter

Struktur ini menunjukkan adanya hubungan pengaruh variabel X1,

X2, X3, dan Y1, terhadap variabel Y2. Nilai koefisien jalur β1Y1 menunjukkan

adanya pengaruh langsung variabel Y1 terhadap variabel Y2, Nilai

koefisien jalur β2X1 menunjukkan adanya pengaruh langsung variabel X1

terhadap variabel Y2, nilai koefisien jalur β3X2 menunjukkan adanya

pengaruh langsung variabel X2 terhadap variabel Y2, nilai koefisien jalur

β4X3 menunjukkan adanya pengaruh langsung variabel X3 terhadap

variabel Y2, sedangkan nilai koefisien Ɛ1 menunjukkan adanya pengaruh

langsung variabel lain selain X1, X2, X3, Y1 terhadap variabel Y2.

2. Struktur Kedua

Struktur kedua ini adalah untuk menggambarkan jalur pengaruh

langsung variabel awal (Akuntabilitas = X1, Creative Accounting = X2,

Page 86: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

86

Konsep Audit = X3) terhadap variabel intervening (Laporan Hasil

Pemeriksaan = Y1), yang ditunjukkan pada gambar 3.

Ɛ2

rX1X2 α 1X1

rX1X3 α2X2

rX2X3 α 3X3

Gambar 4.2 Struktur KeduaPengaruh Variabel X1, X2, X3 terhadap Variabel Y1.

Persamaan struktural kedua adalah:

Y1 = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + Ɛ2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . (4)

Dimana 0, 1, 2, dan 3, adalah parameter

3. Struktur ketiga

Struktur ketiga menggambarkan pengaruh langsung dan pengaruh

tidak langsung variabel awal (Akuntabilitas (X1), Creative Accounting (X2),

Konsep Audit (X3)) terhadap Audit Expectation Gap melalui variabel

Laporan Hasil Pemeriksaan (Y1) yang ditunjukkan pada gambar kerangka

penelitian.

1

β1

X1

X2

X3

Y1

X1

Y1

Page 87: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

87

α2

β4

β2

α3

β3

Gambar 4.3 Struktur KetigaPengaruh Variabel X1, X2, X3 terhadap Variabel Y2 melalui Y1

Persamaan 3 dapat ditulis ulang menjadi :

Y2 = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4 Y1 + Ɛ1

= 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4 (0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + Ɛ 2) + Ɛ1 = 0 +

1X1 + 2X2 + 3X3 + 04 + 14X1 + 24X2 + 34X3 + Ɛ 24 + Ɛ1

= (0 + 04) + (1 + 14)X1 + (2 + 24) X2 + (3 + 34) X3 + (Ɛ 24 + Ɛ1)

= δ0 + δ1X1 + δ2 X2 + δ3 X3 + µ …………………………………(4a)

Dimana:

a. Intercept

0 = intercept laporan hasil pemeriksaan (Y1)

δ0 = (0 + 04)=Intercept audit expectation gap (Y2)

b. Pengaruh langsung

X2

X3

Y2

Page 88: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

88

1 = Pengaruh langsung akuntabilitas (X1) terhadap laporan hasil

pemeriksaan (Y1).

2 = Pengaruh langsung creative accounting (X2) terhadap

laporan hasil pemeriksaan (Y1).

3 = Pengaruh langsung konsep audit (X3) terhadap laporan hasil

pemeriksaan (Y1).

1 = Pengaruh langsung akuntabilitas (X1) terhadap audit expectation

gap (Y2).

2 = Pengaruh langsung Creative Accounting (X2) terhadap Audit

Expectation Gap (Y2).

3 = Pengaruh langsung konsep audit (X3) terhadap audit

expectation gap (Y2).

4 = Pengaruh langsung laporan hasil pemeriksaan (Y1) terhadap

audit expectation gap (Y2).

c. Pengaruh tak langsung

(14) = Pengaruh tak langsung akuntabilitas(X1) terhadap audit

expectation gap (Y2) melalui laporan hasil pemeriksaan (Y1).

(24) = Pengaruh tak langsung creative accounting (X2) terhadap audit

expectation gap (Y2) melalui laporan hasil pemeriksaan (Y1)

(34) = Pengaruh tak langsung konsep audit (X3) terhadap audit

expectation gap (Y2) melalui laporan hasil pemeriksaan (Y1)

d. Pengaruh total

Page 89: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

89

δ1 = (1+14) = Pengaruh total akuntabilitas (X1) terhadap audit

expectation gap (Y2).

δ2 = (2+24) = Pengaruh total creative accounting (X2) terhadap audit

expectation gap (Y2).

δ3 = (3+34) = Pengaruh total konsep audit (X3) terhadap audit

expectation gap (Y2).

e. Standard error

1 = Standard error laporan hasil pemeriksaaan (Y1)

µ = (Ɛ24 + Ɛ1) =Standard error audit expectation gap (Y2)

Page 90: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

90

4. Pemilihan Matriks Input

Melakukan pemilihan jenis input yaitu kovarians atau korelasi. Apabila

yang diuji adalah hubungan kualitas, maka matrik yang digunakan

adalah matriks kovarians.

5. Menilai Masalah Identifikasi

Masalah identifikasi adalah masalah mengenai ketidakmampuan

model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik.

6. Evaluasi Model

Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur

atau memenuhi hipotesis mengenai model. Untuk mengukur derajat

kesesuaian antara model yang dihipotesiskan dengan data yang

disajikan, umumnya digunakan beberapa jenis fit-index (Hair et al.,

1998:112). Peneliti diharapkan melakukan pengujian dengan

menggunakan beberapa fit index untuk mengukur ketepatan model

yang dirancang. Evaluasi terhadap ketepatan model pada dasarnya

telah dilakukan pada saat model diestimasi oleh program AMOS.

Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam proses ini, secara umum

adalah sebagai berikut: 1. Ukuran sampel minimum jumlahnya 100, 2.

Memenuhi asumsi normalitas dan linearitas; 3. Tidak ada outlier; 4.

Tidak ada multikolinearitas; dan 5. Fit model terpenuhi. Untuk jelasnya

dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut:

Page 91: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

91

Tabel 4.2Syarat Fit Model

No. Indeks Syarat

1 Chi Square Kecil

2 Probabilitas Chi Square ≥ 5%

3 RMSEA ≤ 0.08

4 GFI ≥ 0.90

5 AGFI ≥ 0.90

6 CMIN/DF ≤ 2.00

7 TLI ≥ 0.95

8 CFI ≥ 0.95

Page 92: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

92

Sumber. Ferdinand (2002); Hair et al., (1998).

Pada tabel ini menunjukkan keseluruhan asumsi-asumsi fit

model yang harus terpenuhi, diantaranya: Chi Square Statistik (X²)

dan Probabilitas Chi Square sebagai alat ukur paling fundamental

untuk mengukur overal fit adalah Likelihood Ratio Chi Square, yang

bersifat sangat sensitif terhadap besarnya sampel yang digunakan.

Model yang diuji dipandang baik atau memuaskan bila Chi Square

(X²) rendah. Semakin rendah X² menunjukkan model semakin baik

pula (X²=0), berarti tidak ada perbedaan Ho diterima dan diterima

berdasarkan probabilitas dengan cut-off value sebesar p>0,05 atau

p>0,10.

The Root Mean Square Error Approximation (RMSEA) adalah

indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi Chi Square

Statistic dalam sampel yang besar. Nilai RMSEA menunjukkan

goodness-of-fit yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam

populasi. Nilai RMSEA ≤ 0,08 merupakan indeks untuk diterimanya

model yang menunjukkan close fit model berdasarkan degrees of

freedom.

Page 93: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

93

Goodness of Fit-Index (GFI) adalah indeks kesesuaian (fit

index) akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam

matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians

populasi yang terestimasi. GFI merupakan sebuah ukuran non-

statistik yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai

dengan 1,0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini

menunjukkan better fit. GFI yang diharapkan adalah sebesar ≥ 0,90.

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) Tanaka and Huba

yang dikutip Ferdinand (2002:42) menyatakan bahwa GFI analog dari

R² dalam analisis regresi berganda. Fit index ini dapat disesuaikan

terhadap degree of freedom yang tersedia untuk menguji diterima

tidaknya model (Arbuckle dan Wotheke, 1999:34) Tingkat penerimaan

yang direkomendasikan adalah sebesar ≥ 0,90. AGFI maupun CFI

adalah kriteria yang memerhitungkan proporsi tertimbang dari varians

dalam sebuah kovarians sampel. Nilai 0,95 diinterpretasikan sebagai

tingkatan yang baik (good overal model fit), sedangkan nilai antara

0,90-0,95 menunjukkan adequate fit.

The Minimum Sample Discrepancy Function (CMIN) dibagi

Degree of Freedom (DF) sebagai salah satu indikator untuk mengukur

tingkat fit sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah Chi

Square Statistic (X²) dibagi DF sehingga disebut X² relatif. X² relatif > 2,0

atau bahkan 3,0 merupakan indikasi dari acceptable fit antara model

dengan data (Arbuckle dan Wotheke, 1999:42).

Page 94: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

94

Tucker Lewis Index (TLI) adalah sebuah alternatif incremental

fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap

sebuah baseline model (Ferdinand, 2002:125). Nilai yang

direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model

adalah penerimaan ≥0,95 dan nilai yang sangat mendekati 1

menunjukkan a very good fit (Arbuckle dan Wotheke, 1999:42).

Comparative fit index (CFI) seperti halnya AGFI merupakan kriteria

yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians sebuah

kovarians sampel. Besaran CFI pada rentang nilai 0-1. Semakin

mendekati nilai 1 mengindikasikan tingkat kesesuaian paling tinggi (a

very good fit). Nilai yang direkomendasikan CFI ≥0,95.

7. Interpretasi dan Modifikasi Model.

Interpretasi dan modifikasi dilakukan terhadap model yang

dikembangkan, bila ternyata estimasi tersebut memiliki tingkat prediksi

tidak seperti yang diharapkan yaitu apabila terdapat resudual yang

besar. Namun demikian, modifikasi hanya dapat dilakukan bila

terdapat justifikasi teoritis yang cukup kuat.

Alasan penggunaan SEM pada penelitian ini adalah:

1. SEM memiliki kemampuan untuk menguji indikator dari suatu konstruk

(measurement model) dalam sekali pengujian (running) yang tidak

dapat dilakukan oleh analisis lain.

Page 95: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

95

2. Untuk serangkaian hubungan yang rumit (banyak konsep) yang diuji

secara simultan maka SEM akan memberikan efisiensi secara

statistik, yaitu penggabungan teknik analisis faktor konfirmatori dan

teknik analisis jalur (Hair et al., 1998:65).

3. Bisa menguji hubungan tidak langsung antara konstruk (unobserved

variabel)

Beberapa uji analisis yang digunakan dalam memeroleh data yang valid

dan reliabel antara lain:

1. Uji validitas yaitu suatu alat ukur yang valid tidak sekedar mampu

mengungkapkan data dengan tepat, tapi harus memberikan gambaran

yang cermat mengenai data tersebut atau validitas secara singkat

merujuk pada kemampuan suatu instrumen pengukur untuk mengukur

apa yang seharusnya diukur. Menurut pendapat Singarimbun

(1995:124) bahwa validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur

itu mengukur apa yang diukur. Menurut Azwar (1997:5), bahwa suatu

tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas

tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau

memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya

pengukuran tersebut.

Page 96: Audit Expectation Gap Pada Sektor Publik

96

2. Uji reliabilitas yaitu pada dasarnya reliabilitas merujuk pada

kemampuan suatu instrumen untuk diuji kembali dengan memberikan

hasil yang relatif konstan. Artinya bahwa jika suatu instrumen

dikatakan reliabel jika instrumen itu memberikan hasil yang relatif

sama jika diuji secara berulang-ulang. Pada penelitian ini, pengujian

akan menggunakan koefisien alpha cronbath. Jika nilainya di atas 0,6

maka dikatakan realibel.

3. Uji normalitas yaitu sebaran dilakukan dengan kurtosis value dari data

yang digunakan biasanya disajikan dalam statistik deskriptif. Nilai

statistik untuk menguji normalitas itu disebut Z-Value. Bila nilai Z lebih

besar dari nilai kritis maka dapat diduga bahwa distribusi data adalah

normal. Nilai kritis dapat ditentukan berdasarkan tingkat signifikan

0,01 (1%).