(attachment) REMAJA AKHIR
Transcript of (attachment) REMAJA AKHIR
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS PSIKOLOGI
GAMBARAN KELEKATAN (attachment) REMAJA AKHIR PUTRI
DENGAN IBU
(STUDI KASUS)
Disusun Oleh
Nama : Astrid Wiwik Liliana
NPM : 10502034
Jurusan : Psikologi
Pembimbing : Siti Mufattahah, Psi.
Diajukan Guna Melengkapi Sebagaian Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana
Strata Satu (S1)
DEPOK
2009
ABSTRAKSI Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Agustus 2008 Astrid Wiwik Liliana 10502034 Gambaran Kelekatan (attachment) Remaja Akhir Putri Dengan Ibu Vii + 88 halaman + lampiran; 5 bab
Adanya fenomena yang terjadi di masyarakat, dimana seorang remaja akhir putri yang memiliki kelekatan (attachment) dengan ibunya. Kebutuhan akan kelekatan pada ibu menjadi hal yang penting dalam kehidupan seorang individu,demikian pula pada remaja. Selain itu, kelekatan pada ibu merupakan suatulangkah awal dalam proses perkembangan dan sosialisasi. Hal ini berarti bahwakelekatan anak pada ibu selanjutnya akan dialihkan pada lingkungan sosialnya,karena keluarga merupakan tempat pertama bagi anak belajar bersosialisasi.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kelekatan (attachment) antara remaja akhir putri dengan ibunya, faktor-faktor yang mempengaruhi kelekatan (attachment) remaja akhir putri terhadap ibunya,dan apa manfaat dan fungsi kelekatan (attachment) antara remaja putri denganibunya. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahpendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus dengan subjek penelitianseorang remaja akhir putri yang memiliki kelekatan (attachment) dengan ibunya.Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancarabebas terpimpin yang didukung oleh metode observasi langsung.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwasecara umum kelekatan (attachment) pada subjek dengan ibu cenderung cukup baik. Dapat dilihat dari ciri-ciri subjek yang memiliki secure attachment,dimana subjek percaya bahwa orang lain menilai positif tentang dirinya, subjekpercaya bahwa orang masih akan masih mencintai dan menghargainya. Subjekmenilai figur attachment yang adalah ibunya, merupakan sesosok figur yang yang dapat dipercaya, selalu memperhatikan dan menyayangi subjek dimanapun, dankapanpun subjek membutuhkan ibunya. Selain itu di dalam keluarga subjek lebihmudah menjalin hubungan dengan ibunya. Hasil penelitian ini menunjukkanbahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi kelekatan antara subjek dengan ibu
adalah bahwa subjek memiliki kepuasan terhadap ibunya dalam kasih sayang,perhatian yang ditunjukkan ibu kepada subjek. Adanya reaksi atau meresponsetiap tingkah laku yang menunjukkan perhatian disaat subjek sedang membutuhkan dekapan hangat dari ibu, membutuhkan perhatian yang lebih dariibu, maka ibu merespon positif setiap tingkah laku yang ditunjukkan subjekkepada ibunya. Seringnya bertemu dengan subjek, maka subjek akan memberikankelekatannya. Dalam penelitian ini terdapat fungsi kelekatan antara subjekdengan ibunya adalah subjek merasakan kehangatan dan kenyamanan bersamakedua orang tua subjek, terutama dengan ibunya. Disaat subjek sedang dalamkeadaan tertekan atau sedang dalam menghadapi masalah, subjek selalu datang
kepada ibunya untuk meminta perlindungan dan pertolongan yang dibutuhkan subjek.
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang diajukan peneliti kepada subjek dapat membina hubungan didalam keluarga menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, meskipun subjek sangat lekat dengan ibu tetapi ayah sebagai kepala rumah tangga jangan sampai diabaikan, tetap menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan ayah. Hubungan emosional yang terbentuk antara remaja akhir putri dengan ibu nampaknya dipengaruhi oleh komunikasi dan keterbukaan masing-masing dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran. Dengan demikian, diharapkan remaja akhir putri dapat kebih terbuka kepada orang tua, sehingga awal dari hubungan yang lebih baik diantara keduanya Kepada para ibu disarankan untuk menjalin hubungan dengan remaja akhir putri dengan baik, anggaplah mereka seperti seorang sahabat, sehingga seorang anak tidak sungkan-sungkan untuk berbagi cerita dan kasih dengan ibunya Kata kunci : Kelekatan (attachment), Remaja
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan dan syukur-ku sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus yang
senantiasa memberikan izin, berkat, kekuatan, surprise dan penghiburan kepada penulis
selama menyelesaikan skripsi ini. Meskipun penuh perjuangan, banyak rintangan,
halangan, gangguan, air mata tetapi berkatNya ku bisa menyelesaikan skripsi ini.
Adapun maksud dan tujuan penulisan ini untuk memenuhi, melengkapi syarat-
syarat untuk mencapai gelar sarjana strata satu (S1) fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.
Penulisan ini berjudul “Gambaran Kelekatan (attachment) Remaja Akhir
Putri Dengan Ibu”.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik dalam proses penulisan maupun penyelesaian Skripsi ini, antara lain :
1. Ibu Prof. Dr. E. S. Margianti, SE., MM., selaku Rektor Universitas Gunadarma.
2. Bapak Prof. Dr. A. M. Heru Basuki, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma.
3. Ibu Dona Eka Putri, M.Psi., selaku Ketua Jurusan Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.
4. Ibu Siti Mufattahah, Psi., selaku Dosen Pembimbing.
5. Kedua orang tua tercinta, Bapak dan Mama yang telah memberikan kasih sayang,
serta semangat yang tak henti-hentinya baik yang bersifat materi maupun non
materi & doa-doa. Selain itu, terima kasih juga kepada adik penulis yang telah
meluangkan waktu untuk membantu (sedikit mengetik) dan menyemangati penulis
& udah jadi TUKANG OJEK kalo g minta anterin fotokopi...Cepetan lo juga harus
cepet SELESAI...
6. Kepada teman-teman kuliah seperjuangan konsul Selly, Indah, Hadian, Novita
(AYO CEPAT KALIAN JUGA PASTI BISA, JANGAN PATAH SEMANGAT).
Andre (BT), kak Yuli, Lili, Alin hei...akhirnya kita Wisuda bareng juga Welcome
To The JCC, Betty (Bet..Bet..akhirnya wisuda juga, penantian panjang nih...& Thx
buat tumpangan motornya si Honda Express, detik-detik terakhir nganterin g ke
rumah Bu Retna..(darurat bos) hehehe...buat saling menyemangatinya thx bro..Bos
bagi kerjaan donk...). Atid ndut, Ririn (Ayo cuy cepet...), Indri (thx udah buat
tenang batin g, dan dorongannya...), Irma, Lulu (Thx untuk spiritnya), dan teman-
teman yang lain yang tidak bisa dituliskan namanya satu persatu terima kasih buat
persahabatannya selama ini (selama 6 tahun di Gundar,,,,,wah males bgt yah bow
kelamaan di Gundar). Akhir kata, penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. GBU.
Depok, Mei 2009
(Penulis)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kelekatan (attachment) adalah ikatan kasih sayang dari seseorang terhadap
pribadi lain yang khusus (Allish, 1998). Pada usia yang sangat dini, ikatan ini adalah
antara bayi dan orang tuanya, dan sebagian besar adalah antara bayi dengan ibunya.
Ikatan antara bayi dan orang tuanya ini merupakan ikatan yang primer, dan ikatan dengan
pribadi yang lain adalah bersifat sekunder. Ikatan ini juga merupakan keterikatan yang
bersifat emosi, dengan kata lain adalah ikatan kasih. Riset menunjukkan bahwa dari usia
yang sangat dini sampai usia dua tahun, perkembangan anak yang normal sangat
dipengaruhi oleh faktor kelekatan ini. Ditemukan juga bahwa hubungan kasih dan
ketergantungan ini merupakan suatu awal kehidupan yang baik. Hal ini akan sangat
mempengaruhi kehidupan seorang anak baik dalam perkembangan kepribadiannya,
maupun perkembangan hubungan sosialnya. Freud juga berpandangan bahwa kelekatan
ini sebagai suatu hal yang penting bagi perkembangan anak
(http//www.geocities.kebutuhan anak.com).
Anak yang mendapatkan kelekatan (attachment) yang cukup, akan merasa aman
(secure) dan lebih positif terhadap kelompoknya, menunjukkan interes yang lebih besar
di dalam mengajak bermain. Anak-anak ini juga lebih bersifat sosial tidak hanya dengan
kelompoknya, tetapi juga dengan kelompok usia lain/intergenerasi. Studi terhadap anak-
anak prasekolah menunjukkan dengan jelas bahwa anak yang mendapatkan "secure
attachment" lebih mampu menjalin relasi dengan anak lain daripada yang mengalami
"insecure atttachment" (Matas dalam Hetherington & Parke, 1999).
Yang harus diperhatikan oleh orang tua adalah anak juga membutuhkan
keleluasaan untuk bereksplorasi. Padahal kelekatan (attachment) ini menjadikan anak
dekat dengan ibunya. Karena itu, anak juga harus diberikan keseimbangan antara
kelekatan (attachment) dengan eksplorasi. Kelekatan berbeda dengan perlindungan yang
berlebihan terhadap anak. Anak-anak membutuhkan waktu-waktu dimana anak dapat
bermain sendiri. Namun demikian, jikalau pada masa awalnya anak telah mendapatkan
kelekatan yang aman, lebih menunjukkan keseimbangan yang baik antara kelekatan
dengan eksplorasi dari pada anak yang tidak mendapatkan atau yang ambivalen (Elsa,
2000 dalam http//www.kompas-online.kedekatan-anak.com).
Kelekatan (attachment) yang mula-mula juga mempengaruhi perkembangan
kognitif anak. Hal ini sangat berhubungan dengan kebutuhan anak, bahkan sebelum
kebiasaan kelekatan itu dimulai. Walaupun secara sosialisasi kelompok pengaruh
kelekatan ini tidak terlalu jelas secara ilmiah, tetapi anak yang mengalami kelekatan yang
aman (secure attahment) lebih mampu berinteraksi dengan kelompoknya. Dan secara
kepribadian, akan lebih berkembang baik dalam hal-hal yang berpengaruh positif,
kemandirian, empati, dan kemampuan-kemampuan dalam situasi sosial. Dengan
demikian hubungan kelekatan (attachment) ini merupakan dasar penting bagi tingkah
laku selanjutnya (Matas, dalam Hetherington & Parke, 1999).
Sebaliknya anak-anak yang kurang terpenuhi kebutuhan kelekatannya, baik yang
ambivalen atau yang tidak aman, akan cenderung pasif, membutuhkan waktu yang lebih
lama di dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau kelompoknya, dan kurang
nyaman di dalam interaksi sosialnya (Matas, dalam Hetherington & Parke, 1999).
Meneliti mengenai remaja merupakan hal yang menyenangkan dan penelitian
mengenai remaja pun semakin waktu semakin banyak dilakukan. Kehidupan remaja
memang menarik karena dalam masa remaja ada beberapa hal perubahan yang terjadi
yang menuntut perhatian remaja, antara lain terjadinya perubahan fisik, proses pencarian
jati diri, persahabatan di dalam peer group, interaksi dengan keluarga, dan sebagainya.
Dalam pandangan orang dewasa, remaja seringkali menjadi sasaran dari rasa cemas dan
frustasi, bahkan hingga saat ini masa remaja sering di pandang sebagai masa yang
menegangkan dan menyulitkan. (Hurlock, 1991)
Masa remaja merupakan periode dari perubahan yang dramatis terhadap
perubahan relasi kelekatan (attachment). Masa remaja merupakan masa yang menentukan
bagi proses perkembangan dimana interaksi dengan orang tua sudah terbentuk di pikiran
dan tingkah laku sejak masih anak-anak, dimana untuk mempersiapkan mereka
berinteraksi dengan orang lain diluar keluarganya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa para
remaja yang memiliki keluarga yang berfungsi dengan baik tetap menggunakan orang
tuanya sebagai dasar yang aman dimana mereka dapat meneruskan penguasaan mereka
dibidang pendidikan, pekerjaan, dan sosial serta kesempatan-kesempatan lainnya
(Hurlock, 1991).
Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak memperoleh dasar dalam
membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat. Dapat
diketahui bahwa keluarga menjadi tempat yang paling penting bagi remaja untuk
pembentukkan sosial dan emosional remaja khususnya kondisi remaja yang sedang
memasuki masa perubahan atau transisi (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
Remaja dalam keluarga tentu tidak akan lepas dari masalah, karena remaja pasti
akan berhubungan dengan anggota lain dalam keluarga yang tentunya berbeda-beda
kebutuhannya. Ada masalah akibat hubungan anak-orang tua, masalah karena hubungan
ayah-ibu, masalah dengan saudara, masalah dengan sanak keluarga lain dan masalah-
masalah sosiokultural seperti masalah keuangan. Masalah dalam keluarga juga
dipengaruhi faktor lain seperti masalah seksual, penyalahgunaan obat dan alkohol serta
kenakalan remaja (Sarwono, 2006). Secara umum kebutuhan yang diperlukan remaja
adalah ingin berbagi masalah yang mereka hadapi terutama dengan keluarga (orang tua
dan saudara), ingin lebih dekat dengan keluarga, ingin diperlakukan seperti orang dewasa
dan ingin agar orang-orang dewasa disekelilingnya mengerti apa yang mereka butuhkan
(http://www.depdiknas/kebudayaan.go.id).
Menurut Bowlby (dalam Monks, dkk, 2002) tokoh ibu menjadi sosok yang cukup
sentral dalam relasi antara remaja dan orang tua. Bowlby juga memaparkan bahwa dalam
sebuah keluarga seringkali yang dipersepsikan sebagai keluarga oleh anak-anak adalah
tokoh ibu. Kebanyakan orang mengasosiasikan ibu memiliki kualitas seperti hangat, tidak
mementingkan diri sendiri, menjalankan kewajibannya dengan setia, dan toleran.
Ibu adalah tokoh yang mendidik anak-anaknya, seorang tokoh yang dapat
melakukan apa saja untuk anaknya, yang dapat mengurus serta memenuhi kebutuhan
fisiknya dengan penuh pengertian. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan
dalam mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan
bersama anak-anaknya. Ia juga merupakan ibu yang selalu datang bilamana anak
menemui kesulitan, hal ini dapat terlaksana bila ibu memainkan peranannya yang hangat
dan akrab, melaui hubungan yang berkesinambungan dengan anaknya (Gunarsa &
Gunarsa, 2006). Ibu juga memiliki peran dan tanggung jawab penuh meyakinkan bahwa
anak tetap “berada pada jalan yang benar”, sehingga ibu memiliki penekanan pada
pentingnya membawa anak dalam lingkungan yang tepat dan bila remaja gagal hidup di
lingkungan sosial dengan baik atau memiliki masalah perkembangan, maka sumber dari
masalah tersebut adalah terletak pada ibu. Lebih lanjut Santrock (2003) menyatakan
bahwa pada remaja akhir juga mengasosiasikan ibu dengan kualitas yang positif seperti
hangat, tidak mementingkan diri sendiri, memenuhi kewajiban dan toleran, sehingga
remaja akhir memiliki kelekatan (attachment) terhadap ibunya (Santrock, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Madnawidjaya (2001) terhadap 3 remaja putri
berusia 11-21 tahun mengenai “Gambaran Penghayatan Remaja Putri Atas Hubungan
Dengan Orangtua dan Teman Sebaya Terhadap Pembentukkan Identitas Diri”. Dari
penelitian kualitatif tersebut diperoleh hasil, hubungan ibu yang dekat membuat remaja
putri mampu membentuk pertemanan yang cukup akrab dan seimbang dalam arti ibu
dapat dijadikan teman berbagi. Dukungan ibu membuat eksplorasi lebih nyaman dan
bebas. Hubungan orangtua yang dekat khususnya dengan ibu membuat remaja putri lebih
santai menjalani pertemanan dan tidak tertekan bila tidak dengan segera dapat
menyesuaikan diri dalam situasi yang baru.
Kebutuhan akan kelekatan (attachment) pada ibu menjadi hal yang penting dalam
kehidupan seorang individu, demikian pula pada remaja akhir. Kelekatan (attachment)
pada ibu merupakan suatu langkah awal dalam proses perkembangan dan sosialisasi. Hal
ini berarti bahwa kelekatan (attachment) anak pada ibu selanjutnya akan dialihkan pada
lingkungan sosialnya, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi anak belajar
bersosialisasi. Sekarang remaja sudah semakin tumbuh dewasa, maka ia akan
memerlukan orang lain bukan hanya keluarganya saja. Ini semua terjadi karena remaja
ingin menunjukkan eksistensinya di masyarakat (http://www.e-psikologi/keluarga.com).
Peneliti menentukan topik tersebut selain berdasarkan penjabaran teori dan
beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas juga karena asumsi pribadi yang
menyatakan bahwa kelekatan (attachment) dengan ibu merupakan hal yang sangat
penting khususnya ketika nanti remaja akan menghadapi kehidupan yang lebih luas,
sehingga pada saat ini peneliti juga memiliki keinginan untuk meneliti mengenai
gambaran kelekatan (attachment) remaja akhir putri dengan ibu, peneliti mengambil
subjek remaja putri karena biasanya remaja putri lebih dekat dengan ibu.
B. Pertanyaan Penelitian
Peneliti ingin mengetahui gambaran pertanyaan penelitian antara lain : 1. Bagaimana gambaran kelekatan (attachment) antara remaja putri dengan ibunya ?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kelekatan (attachment) antara remaja
putri dengan ibunya ?
3. Apa saja fungsi dari kelekatan (attachment) antara remaja putri dengan ibunya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kelekatan
(attachment) antara remaja akhir putri dengan ibunya, faktor-faktor yang mempengaruhi
kelekatan (attachment) remaja akhir putri terhadap ibunya, dan apa fungsi kelekatan
(attachment) antara remaja putri dengan ibunya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini berguna untuk menambah wawasan pengetahuan
psikologi, seperti psikologi perkembangan khususnya perkembangan remaja
dan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kelekatan (attachment) remaja
akhir putri dengan ibu.
2. Manfaat Praktis
Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang keunikan pada masa remaja
dan manfaat kedekatan orang tua khususnya ibu kepada remaja dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan remaja dan acuan konseling untuk
ibu dalam menyelesaikan permasalahan remaja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelekatan (attachment)
Pengertian Kelekatan (attachment)
Kelekatan (attachment) pertama kali dikembangkan oleh Bowlby pada tahun
1958 yang mengatakan bahwa bayi mendemonstrasikan kedekatan mereka kepada
ibunya melalui beberapa tipe perilaku seperti menghisap, mengikuti, menangis, dan
tersenyum (Santrock, 2003).
Ainsworth (dalam Collin, 1996) mengatakan kelekatan (attachment)
merupakan ikatan emosional yang terus menerus ditandai dengan kecenderungan
untuk mencari dan memantapkan kedekatan terhadap tokoh tertentu, khususnya
ketika sedang berada dalam kondisi yang menekan.
Herbert (dalam Mar’at 2006) mengatakan kelekatan (attachment) mengacu
pada ikatan antara dua orang individu atau lebih, sifatnya adalah hubungan psikologis
yang diskriminatif dan spesifik, serta mengikat seseorang dengan orang lain dalam
rentang waktu dan ruang tertentu.
Myers (dalam Mar’at 2006) mengatakan tidak ada tingkah laku sosial yang
lebih mencolok dibanding dengan kekuatan ini, dan perasaan saling cinta antara bayi
dan ibu ini disebut dengan kelekatan (attachment).
Jadi, dari penjelasan para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kelekatan (attachment) merupakan suatu ikatan afeksi yang kuat dan bertahan dalam
waktu yang lama terhadap figur tertentu yang ditandai oleh adanya keinginan untuk
mencari dan memelihara kedekatan dengan figur tersebut terutama pada saat-saat
yang menekan untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman.
Model Kelekatan (attachment)
Menurut Bowlby dan Ainsworth (dalam Santrock, 2003), menyebutkan
attachment style terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu secure attachment dan
insecure attachment, individu yang mendapatkan secure attachment adalah percaya
diri, optimis, serta mampu membina hubungan dekat dengan orang lain, sedangkan
individu yang mendapatkan insecure attachment adalah menarik diri, tidak nyaman
dalam sebuah kedekatan, memiliki emosi yang berlebihan, dan sebisa mungkin
mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.
Apabila figur attachment seperti orang tua atau pun pelatih mampu memberikan
secure attachment kepada individu maka untuk seterusnya individu tersebut
cenderung akan mencari mereka setiap kali dirinya mendapat masalah atau berada
dalam situasi tertekan. Hal itu terjadi karena figur attachment-nya tersebut telah
menjadi secure base bagi dirinya (Aisworth, dalam Santrock, 2002).
Perasaan secure dan insecure yang dimiliki seseorang tergantung dari internal
working models of attachment yang dimilikinya (Bowlby dalam Collins & Feeney,
2004). Working models of attachment adalah representasi umum tentang bagaimana
orang terdekatnya akan berespon dan memberikan dukungan setiap kali ia
membutuhkan mereka dan bahwa dirinya sangat mendapat perhatian dan dukungan.
Working models of attachment ini memainkan peran dalam membentuk kognisi,
afeksi, dan perilaku seseorang dalam konteks yang berhubungan dengan attachment
(Collins & Feeney, 2004). Working model dibentuk dari pengalaman masa lalu
individu dengan figur attachment-nya, apakah figur tersebut adalah orang yang
sensitif, selalu ada, konsisten, dapat dipercaya dan sebagainya. Individu yang
mendapat secure attachment akan mengembangkan sebuah working model tentang
dirinya sebagi orang yang dicintai dan memandang orang lain dekat, perhatian, dan
responsif terhadap kebutuhan mereka. Di sisi lain, individu yang mendapat insecure
attachment akan mengembangkan working model tentang dirinya sebagai orang yang
tidak berharga atau tidak kompeten, dan memandang orang lain sebagai menolak atau
tidak responsif terhadap kebutuhan mereka (Collins & Feeney, 2004).
Variasi Kelekatan atau Kualitas Kelekatan (Attachment)
Berdasarkan hasil penelitian esperimen dan observasional, Ainsworth (Davies,
1999) tentang Strange Situation, membagi kualitas attachment menjagi dua bagian
utama yaitu secure dan insecure attachment. Selanjutnya insecure attachment dibagi
lagi menjadi empat tipe, yaitu insecure attached avoidant attachment, securely
attached infant, insecurely attached resinstant infant dan disorganized / disoriented
attached.
a) Insecure Attached Avoidant Attachment (Type A )
Anak menolak kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang memiliki
resiliensi ego dan kurang mampu mengekspresikan emosi negatif (Cicchetti dan
Toth,1995). Selain itu anak juga tampak mengacuhkan dan kurang tertarik dengan
kehadiran ibu (Dishion, French dan Patterson,1995).
b) Securely Attached Infant (Type B)
Ibu digunakan sebagai dasar eksplorasi. Anak berada dekat ibu untuk beberapa
saat kemudian melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing,
tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan Toth,1995)
Anak merasa terganggu ketika ibu pergi dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu
kembali.
c) Insecurely Attached Resinstant Infant (Type C)
Menunjukkan keengganan untuk mengeksplorasi lingkungan. Tampak impulsive,
helpless dan kurang kontrol (Cicchetti dan Toth,1995). Beberapa tampak selalu
menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing. Anak tampak sedih ketika
ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali meskipun ibu telah kembali. Mampu
mengekspresikan emosi negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.
d) Disorganized/ Disoriented Attached (Type D)
Ini merupakan tipe kempat yang dihasilkan dari pengembangan eksperimen yang
dilakukan oleh Main, Hesse dan Solomon (dalam Dishion, Frech dan Patterson, 1995;
Cummings, 2003). Ditemukan pada anak-anak yang mengalami salah pengasuhan
(maltreated) dimana kekacauan emosi terlihat saat episode pertemuan kembali
dengan ibu. Perilaku mereka tampak sangat tidak terorganisasi, mengalami konflik
dalam dirinya serta menunjukkan kedekatan sekaligus penolakan. Adakalanya secara
langsung menunjukkan kekhawatiran dan penolakan yang lebih besar pada ibu
dibandingkan dengan orang asing.
Berdasarkan variasi kelekatan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi
kelompok kelekatan yang aman (secure attachment) yaitu Tipe B dan kelompok
kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) yaitu Tipe A, Tipe C dan Tipe D.
Ainsworth (dalam Belsky,1988) menemukan bahwa anak yang memiliki
kelekatan yang tidak aman mengalami masalah dalam hubungan dengan pengasuh
atau figur lekat sebaliknya anak yang memiliki kelekatan aman memiliki pola
hubungan dengan kualitas yang sangat baik. Anak dengan kelekatan insecure
avoidant memiliki ibu yang tidak sensitif terhadap sinyal yang diberikan bayi dalam
berbagai situasi pengasuhan dan situasi bermain. Sedangkan anak dengan kelekatan
insecure resistant memiliki ibu yang tidak menyukai kontak fisik dengan anak dan
memiliki ekspresi emosional yang kurang memadai atau kurang ekspresif, ibu juga
menunjukan sikap yang tidak konsisten. Berbeda dengan anak yang memiliki pola
kelekatan tidak aman, anak yang memiliki kelekatan aman (secure attached)
memiliki ibu yang responsif pada kebutuhan dan sinyal-sinyal yang diberikan bayi
dan mempunyai sikap yang konsisten. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak
yang memiliki kualitas kelekatan yang paling baik adalah anak dengan kelekatan
aman (Tipe B).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa attachment dibedakan dua
bagian utama yaitu secure dan insecure attachment. Selanjutnya insecure attachment
dibagi lagi menjadi empat tipe, yaitu insecure attached avoidant attachment, securely
attached infant, insecurely attached resinstant infant dan disorganized / disoriented
attache.
Ciri-ciri individu yang memiliki secure attachment
Menurut Collins & Feeney (2004) ciri-ciri individu yang memiliki secure
attachment adalah sebagai berikut :
a. Individu yang secure adalah individu yang selalu percaya bahwa dirinya dicintai
dan dihargai oleh orang lain dan mendapat perhatian penuh.
b. Menilai figur attachment sebagai responsif, penuh perhatian dan dapat
dipercaya.
c. Individu merasa nyaman jika dalam sebuah kedekatan atau keintiman.
d. Individu selalu bersikap optimis dan percya diri.
e. Mampu membina hubungan dekat dengan orang lain.
Ada beberapa karakteristik figur attachment yang memiliki secure attachment
dan insecure attachment dengan anak, menurut Ainsworth (dalam Collin, 1996),
menyebutkan bahwa orangtua yang memiliki secure attachment dengan anak
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Hangat (warm), orangtua menunjukkan antusiasme terhadap anak, hangat, dan
ramah (friendly feelings). Kehangatan yang ditunjukkan oleh orangtua akan
memberikan perasaan nyaman dan santai (relax).
b. Sensitif (sensitive), orangtua mampu menunjukkan pengertian simpatik terhadap
anak, mengerti kebutuhan anak dari sudut pandang anak.
c. Responsif (responsive), orangtua mampu menyikapi kebutuhan anak akan rasa
nyaman, rasa ingin dilindungi, dan selalu memberikan respon terhadap
keinginan anak.
d. Dapat diandalkan (dependable), tempat anak menggantungkan harapan dan
kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman, orangtua dapat diandalkan oleh
anak terutama ketika anak membutuhkan dukungan atau dalam keadaan
tertekan.
Sedangkan menurut Cassidy dan Berlin (dalam Hetherington & Parke, 1999),
menyebutkan bahwa figur attachment yang mengembangkan insecure attachment
dengan anak memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Unavailable dan rejecting, orangtua tidak responsif terhadap kebutuhan anak.
b. Jarang melakukan kontak fisik yang hangat kepada anak.
c. Sering marah, membentak-bentak, dan mudah tersinggung dalam menjalin
komunikasi dengan anak.
d. Tidak konsisten dalam menerapkan perilaku terhadap anak
Kualitas kelekatan (attachment) orang tua yang secure menurut Chiccheti dan
Rizley (dalam Karen, 1994), juga diasosiasikan dengan :
a. Komitmen orangtua, orangtua memiliki komitmen untuk senantiasa beradadi
dekat anak, senantiasa membantu, dan memberikan pertolongan jika
dibutuhkan.
b. Empati, orangtua memiliki kemampuan untuk dapat merasakan apa yang
dirasakan oleh anak terutama jika anak berada dalam situasi tertekan.
c. Kemampuan bekerjasama, orangtua memiliki kemampuan untuk menjalin
kerjasama yang baik dengan anak, dalam kaitannya membantu anak untuk dapat
mengeksplorasi dunianya.
d. Terbuka dalam komunikasi, orangtua terbuka dalam komunikasi, menerima
masukan dari anak, dan dapat memberikan masukan yang positif bagi anak.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelekatan (attachment) pada Remaja
dengan Ibu.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kelekatan (attachment)
antara seorang anak dan remaja dengan ibu, menurut Baradja (2005) adalah :
a. Adanya kepuasan anak dan remaja terhadap pemberian objek lekat, misalnya
setiap kali seorang anak membutuhkan sesuatu maka objek lekat mampu dan
siap untuk memenuhinya. Dan objek lekat disini adalah ibu mereka.
b. Terjadi reaksi atau merespon setiap tingkah laku yang menunjukkan perhatian.
Misalnya, saat seorang anak dan remaja bertingkah laku dengan mencari
perhatian pada ibu, maka ibu mereaksi atau meresponnya. Maka anak
memberikan kelekatannya.
c. Seringnya bertemu dengan anak, maka anak akan memberikan kelekatannya.
Misalnya seorang ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah
memudahkan anak untuk berkomunikasi dengan ibu.
Teori kelekatan (attachment) digunakan untuk menjabarkan ikatan afeksi antara
seorang bayi dengan pengasuhannya (caregiver), tetapi konsep kelekatan
(attachment) sekarang telah digunakan untuk meneliti relasi interpersonal yang lebih
luas lagi termasuk di dalamnya relasi hubungan yang intim selama masa remaja dan
dewasa muda (Walker, dalam Santrock, 2003). Interaksi antara remaja dengan ibunya
dapat menghasilkan persepsi remaja terhadap orangtuanya. Ibu menjadi sosok yang
cukup sentral dalam relasi antara remaja dan orang tua (Gunarsa dan Gunarsa, 2004).
Dalam sebuah keluarga seringkali yang di persepsikan sebagai keluarga oleh
anak-anak adalah ibu. Ibu memiliki kualitas yang hangat, toleran, mau berbagi.
Dalam kehidupan remaja putri peran ibu dikatakan dapat mempengaruhi keterampilan
pemecahan masalah sosial anak (social problem-solving skills). Hubungan orang tua
yang dekat khususnya ibu membuat remaja putri memiliki kelekatan (attachment)
dengan ibu (Gunarsa dan Gunarsa, 2004).
Manfaat dan Fungsi Kelekatan (attachment)
Kelekatan (attachment) mamberikan banyak manfaat bagi individu, seperti
menumbuhkan perasaan trust dalam interksi sosial di masa depan dan menumbuhkan
perasaan mampu (Blatt, 1996). Secara umum kelekatan (attachment) memiliki empat
fungsi utama (Davies, 1999), yaitu :
a. Memberikan rasa aman.
Saat individu berada dalam suasana penuh tekanan, kehadiran figur kelekatan
(attachment) dapat memulihkan perasaan individu kembali kepada perasaan
aman.
b. Mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal).
Arousal adalah perubahan keadaan subjektif seseorang yang disertai reaksi
fisiologis tertentu. Apabila peningkatan arousal tidak diikuti dengan relief
(pengurangan rasa takut, cemas, atau sakit) maka individu rentan untuk
mengalami stres. Kemampuan figur kelekatan (attachment) untuk membaca
perubahan keadaan individu dapat membantu mengatur arousal dari individu
yang bersangkutan
c. Sebagai saluran ekspresi dan komunikasi.
Kelekatan (attachment) yang terjalin antara individu dengan figur kelekatan
(attachment-nya) dapat berfungsi sebagai wahana untuk berekspresi, berbagai
pengalaman, dan menceritakan perasaan.
d. Sebagai dasar untuk melakukan eksplorasi kepada lingkungan sekitar.
Kelekatan (attachment) dan perilaku eksploratif bekerja secara bersamaan.
Individu yang mendapatkan secure attachment akan memiliki kepercayaan diri
yang tinggi untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya atau pun suasana yang
baru karena individu percaya bahwa figur kelekatannya (attachment) sungguh-
sungguh bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu atas diriya.
Simpson (Langer, 2004) menyebutkan manfaat lain dari kelekatan
(attachment), yaitu dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam membina
hubungan dengan orang lain, seperti aspek kepuasan, kedekatan, dan kemampuan
mencintai pasangan. Kelekatan (attachment) sangat membantu individu dalam
menginterpretasi, memahami, dan mengatasi perasaan emosi yang negatif selama
ia berada dalam situasi yang menekan
B. Remaja
Pengertian remaja
Menurut Mar’at (2006) di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan
“adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere” (kata
bendanya adolescentia, yang artinya remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa
atau dalam perkembangan menjadi dewasa.
Mar’at (2006) dan Monks, dkk (2002) menyimpulkan bahwa remaja akhir berusia
antara 18-21 tahun.
Gunarsa & Gunarsa (2006) mengatakan remaja merupakan masa peralihan
antara masa anak dan masa dewasa, masa remaja akhir berusia sekitar 17 tahun 6
bulan-22 tahun.
Santrock (2003) mengungkapkan masa remaja akhir (Late adolescence)
menunjuk pada kira-kira setelah usia 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan
eksplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir ketimbang dalam
masa remaja awal.
Menurut Hurlock (1991) remaja artinya tumbuh atau tumbuh mencapai
kematangan, remaja akhir menurut Hurlock pada wanita 17-21 tahun dan pria 17
tahun 6 bulan-21 tahun.
Remaja menurut Mappiare (1982) merupakan masa peralihan dari masa anak-
anak menuju arah kedewasaan. Kalau digolongkan sebagai anak-anak sudah tidak
sesuai lagi, tetapi bila digolongkan dengan orang dewasa juga belum sesuai. Masa
remaja akhir menurut Mappiare berusia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun.
Batasan masa remaja dari berbagai ahli memang sangat bervariasi, masa remaja
adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami
perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Kurun waktu
masa remaja menurut Witherington (dalam Rumini dan Sundari, 2004) late
adolesence berusia antara 15-18 tahun.
Sedangkan, menurut Sarwono (2006) istilah remaja untuk masyarakat Indonesia
sama sulitnya dengan menetapkan definisi remaja secara umum. Walaupun
demikian, sebagai pedoman umum dapat digunakan batasan usia remaja antara 11-24
tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia.
Dari penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan
masa transisi (secara biologis, sosial, dan ekonomi) dari anak-anak menjadi orang
dewasa.
Ciri-ciri Remaja Akhir
Mapiare (1982) menggambarkan tingkah laku yang menurut pendapatnya akan
selalu terdapat pada remaja :
a. Mulai stabil
Dalam aspek-aspek fisik dan psikis, laki-laki muda dan wanita muda
menunjukkan peningkatan kestabilan emosi. Kesempurnaan pertumbuhan
bentuk jasmani membedakannya dengan awal masa remaja. Pada masa ini
terjadi keseimbangan tubuh dan anggotanya. Begitu pula kestabilan dalam
minat-minatnya, menentukan jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama
ataupun lain jenis. Kestabilannya juga terjadi dalam sikap dan pandangan,
artinya mereka relatif tetap atau mantap dan tidak mudah berubah pendirian
hanya karena di bujuk atau dihasut. Gejala ini mengandung sisi positif.
Dibanding masa-masa sebelumnya, remaja akhir lebih dapat menyesuaikan diri
dalam banyak aspek kehidupannya.
b. Lebih matang menghadapi masalah
Masalah yang dihadapi remaja akhir relatif sama dengan masalah yang dihadapi
remaja awal. Cara menghadapi masalah itulah yang membedakannya. Bila masa
remaja awal menghadapinya dengan sikap bingung, remaja akhir
menghadapinya dengan lebih matang. Kematangan itu ditunjukkan dengan
usaha pemecahan masalah-masalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri
maupun diskusi dengan teman sebaya mereka. Langkah-langkah pemecahan
masalah itu mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang lebih dapat
menyesuaikan diri dalam situasi perasaan dan lingkungan sekitar.
c. Perasaan menjadi lebih tenang
Remaja akhir lebih tenang dalam menghadapi masalah-masalahnya dibanding
pada awal remaja. Kalau pada masa remaja awal mereka sering memperlihatkan
kemarahan-kemarahannya, sering sangat sedih dan kecewa, maka pada masa
remaja akhir hal yang demikian tidak lagi sering nampak. Akibat dari keadaan
positip ini, menambah rasa bahagia bagi remaja akhir. Kebahagiaan akan
semakin kuat jika mereka mendapat respek dari orang-orang dewasa, orang tua,
guru, terhadap diri dan usaha-usaha mereka.
Dinamika Gambaran Kelekatan (attachment) Remaja Akhir Putri Dengan
Ibu
Kelekatan (attachment) merupakan suatu ikatan emosi, bukan hanya suatu
tingkah laku, kelekatan (attachment) merupakan hubungan yang berlangsung
dalam jangka waktu yang lama bukan kenikmatan sementara dari pertemanan atau
mencari pendamping atau kenyamanan dari orang lain. Tokoh kelekatan
(attached) biasanya tokoh tersebut merupakan orang yang khusus (Collin, 1996),
lebih lanjut Collin menjelaskan bahwa keberadaan dan nature dari kelekatan
(attachment) diindikasikan dengan tingkah laku kelekatan (attachment). Hal itu
juga termasuk tingkah laku yang dihasilkan dari kedekatan seseorang atau
hubungan dengan individu tertentu atau yang disukai. Anak-anak melakukan
tingkah laku kelekatan (attachment) dengan menangis, tersenyum, memanggil,
menggapai, mendekati, mengikuti dan protes keras ketika ditinggalkan sendirian
atau bersama orang asing. Individu mencari kedekatan atau kontak dengan tokoh
kelekatan (attachment) dan melakukan hal tersebut khususnya ketika berada
dalam tekanan (stres) dan membutuhkan perhatian serta perlindungan (Collin,
1996).
Begitu juga dengan remaja akhir dalam menjalani kehidupan mereka
memperoleh dorongan dan perlindungan dari tokoh kelekatan (attachment) pada
masa kanak-kanaknya, biasanya ibu dan hubungan dengan peer menjadi bagian
yang sangat penting, tetapi kelekatan dengan orang tua tetap menjadi sumber
utama dari rasa aman. Remaja dalam keluarga yang berfungsi dengan baik akan
terus menggunakan orangtuanya terutama ibu sebagai dasar keamanan untuk
mereka mengeksplorasi dunia yang lebih luas seperti pendidikan, pekerjaan, dan
sosial serta kesempatan yang ada. Hubungan yang aman dengan ibu selama masa
remaja memberikan tujuan yaitu membuat remaja merasa nyaman akan dukungan
keluarga untuk mengeksplorasi di luar keluarga, termasuk membentuk relasi baru
dengan peer atau orang dewasa lainnya (Meins, 1997).
Setelah membaca uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ibu sebagai
pengasuh utama seorang remaja memegang peranan penting dalam penentuan
status kelekatan remaja, apakah anak akan membentuk kelekatan aman atau
sebaliknya. Status kelekatan ini berhubungan dengan gangguan kelekatan dan
perkembangan remaja di masa selanjutnya.
Penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran kelekatan yang terjadi
pada masa remaja akhir, khususnya dihubungkan dengan kelekatannya terhadap
figur ibu, dengan gambaran yang tepat diharapkan mampu memahami dan
memberikan perlakuan yang tepat terhadap remaja.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
1. Pengertian Studi Kasus
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
menggunakan studi kasus. Menurut Stake (dalam Basuki, 2006) studi kasus adalah
suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki
sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif
maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok,
bahkan masyarakat luas.
Sukmadinata (2005) mengatakan bahwa studi kasus merupakan metode untuk
menghimpun dan menganalisa data berkenaan dengan studi kasus meskipun tidak
ada masalah, malahan dijadikan kasus karena keunggulan atau keberhasilannya.
Menurut Poerwandari (2001) studi kasus adalah fenomena khusus yang hadir
dalam suatu konteks yang terbatas meski batas-batas antara fenomena dan konteks
tidak sepenuhnya jelas.
2. Ciri-ciri Studi Kasus
Menurut Basuki (2006) adalah sebagai berikut :
a. Studi kasus bukan suatu metodologi penelitian, tetapi suatu bentuk studi
(penelitian) tentang masalah yang khusus (particular).
b. Sasaran studi kasus dapat bersifat tunggal (ditujukan perorangan/individual)
atau suatu keolompok, misalnya suatu kelas, kelompok profesional, dan lain-
lain.
c. Masalah yang dipelajari atau diteliti dapat bersifat sederhana atau kompleks.
d. Tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam tentang suatu
kasus, atau dapat dikatakan untuk mendapatkan verstehen bukan sekedar
erklaren (deskripsi suatu fenomena).
e. Studi kasus tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi, walaupun studi dapat
dilakukan terhadap beberapa kasus. Studi yang dilakukan terhadap beberapa
kasus bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, sehingga
pemahaman yang dihasilkan terhadap satu kasus yang dipelajari lebih
mendalam.
3. Terdapat tiga macam tipe studi kasus menurut Basuki (2006), yaitu :
a. Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari kasus
itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic interest).
b. Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang dipelajari
secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyususn teori baru. Hal ini
dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di
luar kasusnya atau minat eksternal (external interest).
c. Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun masing-masing
kasus individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk
mendapatkan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri tersendiri
yang bervariasi.
4. Kelebihan dan Kelemahan Studi kasus
Kelebihan dan kelemahan studi kasus menurut Heru Basuki (2006), yaitu:
a. Kelebihan studi kasus
1) Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik, dan hal-hal
yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi
kasus mampu mngungkap makna di balik fenomena dalam kondisi apa
adanya atau natural.
2) Studi kasus tidak sekedar mamberi laporan faktual, tetapi juga memberi
nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam
kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian
kuantitatif yang sangat ketat.
b. Kelemahan studi kasus
Dari penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas,
reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik tidak
dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif,
yang bertujuan mencari generalisasi.
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, pemberian batasan pada partisipan merupakan suatu
hal penting yang perlu dilakukan berkenaan dengan pengontrolan keakuratan
penelitian (Banister dkk dalam Poerwandari, 2001).
Peneliti menetapkan karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah seorang
seorang remaja akhir putri berusia 22 tahun yang memiliki kelekatan (attachment)
dengan ibunya.
2. Jumlah Subjek Penelitian
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), tidak ada aturan pasti dalam jumlah
subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat
tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, tujuan penelitian, konteks
saat itu, apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan
sumber daya yang tersedia.
Poerwandari (2001) juga mengatakan bahwa dengan fokus penelitian kaulitatif
pada kedalamaan dan proses, maka penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan
jumlah kasus sedikit. Berdasarkan pendapat diatas, maka dalam penelitian ini jumlah
subjek sebanyak satu orang.
C. Tahap-tahap Penelitian
Tahap persiapan dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan, yaitu :
1. Tahap Persiapan Penelitian
a. Memilih subjek yang representatif dengan populasi penelitian
b. Mempersiapkan instrumen penelitian beserta keabsahan dan keajegannya
c. Membuat rancangan prosedur pengumpulan data
Rancangan prosedur pengumpulan data berisi tentang daftar pertanyaan yang
akan ditanyakan langsung dalam wawancara. Pertanyaan-pertanyaan dalam prosedur
pengumpulan data merupakan hal-hal yang relevan dengan masalah penelitian. Selain
daftar pertanyaan, rancangan prosedur pengumpulan data yang dibuat juga berisi
tentang observasi dari perilaku subjek maupun significant order (perilaku yang akan
di observasi meliputi fisik, penampilan, ekspresi, gesture). Hal-hal lainnya yang juga
mencangkup dalam rancangan prosedur pengumpulan data adalah identitas subjek,
waktu, tempat, dsb.
2. Pelaksanaan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berencana mengumpulkan data-data maupun
fakta-fakta yang relevan dengan cara mengadakan wawancara, baik secara langsung
dengan subjek penelitian, maupun wawancara dengan significant order. Selain
wawancara, prosedur lainnya yang akan digunakan oleh peneliti dalam proses
pengambilan data adalah observasi. Pengambilan data akan dilakukan langsung di
rumah subjek.
3. Tahap Analasis Data
Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan pertama-tama terhadap masing-masing
kasus. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-
hal yang diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokkan tersebut oleh
peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta
kata kuncinya, sehingga peneliti dapat mengangkat pengalaman, permasalahan dan
dinamika yang terjadi pada subjek.
4. Tahap Penulisan Laporan
Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah presentasi data yang didapat
yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan
observasi dengan subjek. Prosesnya dimulai dari data-data yang diperoleh dari subjek
dipahami kembali dengan membacanya berulang-ulang hingga akhirnya penulis
benar-benar mengerti permasalahannya dan kemudian dianalisis, sehingga didapatkan
gambaran mengenai permasalahan dan pengalaman subjek. Selanjutnya dilakukan
interpretasi secara keseluruhan dimana didalamnya tercangkup keseluruhan
kesimpulan dari hasil penelitian ini.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
a. Pengertian Wawancara
Menurut Kartono (dalam Basuki, 2006) wawancara adalah
percakapan yang diarahkan pada suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu; ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau
lebih berhadap-hadapan secara fisik.
Menurut Kerlinger (dalam Basuki 2006), wawancara (interview)
adalah situasi peran antar pribadi melalui tatap muka (face to face), ketika
seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian
kepada seseorang yang diwawancara atau responden.
Sedangkan menurut Stewart & Cash, Jr (2000), mengatakan
wawancara adalah proses interaksi komunikasi antara dua bagian, yang
setidaknya salah satunya telah menetapkan dan memiliki tujuan yang sungguh-
sungguh, dan biasanya meliputi menanyakan dan menjawab pertanyaan.
Pelaksanaan wawancara harus dilakukan secara teliti. Artinya,
melaksanakan wawancara secara efektif bukanlah hal yang mudah, baik yang
mewawancarai maupun yang diwawancarai. Agar mencapai sasaranya,
pewawancara perlu melakukan persiapan-persiapan yang matang dengan sedapat
mungkin mempunyai catatan-catatan pertanyaan yang akan diajukan dalam
wawancara (Siagian, 1995).
Dalam wawancara sebagai metode penelitian, terdapat adanya beberapa
tahap (Walgito, 2003), yaitu :
1) Pengantar wawancara
Dalam tahap ini selain untuk tahap perkenalan, juga disampaikan maksud dan
tujuan dari wawancara agar tidak menimbulkan kecurigaan yang diwawancara.
2) Inti wawancara
Tahapan ini merupakan tahapan untuk memperoleh data yang sebenarnya yang
dibutuhkan dalam penelitian.
3) Penutup wawancara
Pada tahap ini umumnya digunakan untuk merangkum dan untuk melihat kembali
hal-hal yang mungkin terlewat untuk ditanyakan kembali.
Proses wawancara menjadi lebih dari sekedar percakapan atau
sebagaimana disarankan oleh Channel & Khan (dalam Prabowo, 1998) melibatkan
setidaknya lima langkah yang berbeda yaitu :
1) Menciptakan atau menyeleksi skedul wawancara (seperangkat pertanyaan,
pernyataan, gambar-gambar, atau stimulus lainnya yang dapat menimbulkan
respon) dan seperangkat aturan main atau prosedur dalam menggunakan skedul
tersebut.
2) Memimpin jalannya wawancara (yang perlu diingat adalah pengklasifikasian dari
respon dan peristiwa)
3) Merekam respon
4) Kode angka (suatu skala atau cara lain yang dapat digunakan untuk merekam
respon yang sudah diterjemahkan kedalam suatu perangkat dan aturan tertentu)
5) Mengkoding semua respon wawancara
b. Keuntungan dan kerugian Wawancara
Keuntungan dan kerugian wawancara menurut Soehartono (2004), yaitu:
1. Keuntungan wawancara
a) Wawancara dapat mengecek kebenaran jawaban responden dengan
mengajukan pertanyaan pembanding, atau dengan melihat wajah atau
gerak-gerik responden. Yang terakhir ini tidak dapat dilakukan apabila
wawancara dilakukan melalui telepon.
b) Wawancara bisa digunakan pada responden yang tidak biasa membaca
dan menulis.
c) Jika ada pertanyaan yang belum dipahami, pewawancara dapat segera
menjelaskannya.
2. Kerugian wawancara
a) Wawancara memerlukan biaya yang sangat besar untuk perjalanan dan
uang harian pengumpul data.
b) Wawancara hanya dapat menjangkau jumlah responden yang lebih
kecil
c) Kehadiran pewawancara mungkin mengganggu responden.
c. Jenis-jenis Wawancara
Menurut Walgito (2003) ada beberapa macam wawancara, yaitu :
1) Wawancara Bebas
Bentuk wawancara yang dimana interviewee diberi kebebasan dalam
mengemukakan pendapat. Situasi wawancara situasi yang bebas.
2) Wawancara Terarah
Wawancara yang dituntun atau diarahkan oleh interviewer. Interviewer
membacakan pertanyaan-pertanyaan yang pada umumnya sudah disiapkan
dalam bentuk tertulis. Situasinya kurang bebas, kurang alami dan
wawancara berjalan agak kaku.
3) Wawancara Bebas Terpimpin
Wawancara jenis ini merupakan kombinasi dari wawancara bebas dan
terarah. Dalam wawancara ini, interviewee dapat memberikan jawaban
dalam situasi bebas, tetapi peneliti juga mengendalikan dan memberikan
arah dari wawancara.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara menurut
prosedurnya yaitu wawancara bebas terpimpin. Adapun peneliti menggunakan bentuk
wawancara tersebut untuk memperoleh banyak data dari subjek yang tidak secara sengaja
mengarah tanya jawab pada pokok persoalan.
2. Observasi
a. Pengertian Observasi
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti
“melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi tersebut diarahkan pada
kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut
(Poerwandari, 2001).
Menurut Prabowo (1997) observasi dapat dikatakan sebagai kegiatan
melihat sesuatu diluar dirinya, sehingga sesuatu yang diperoleh melalui observasi
merupakan data overt behavior atau perilaku yang tampak.
Sedangkan menurut Young (dalam Walgito, 2003) observasi merupakan
suatu metode penelitian yang dijalankan secara sistematis dan dengan sengaja
dilakakukan dengan menggunakan alat indera (terutama indera penglihatan, yaitu
mata) sebagai alat untuk menangkap secara langsung kejadian-kejadian sekarang
maupun yang sedang terjadi. Hal ini berarti bahwa observasi tidak dapat
digunakan terhadap kejadian-kejadian pada masa lalu.
Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks
alamiah (Banister, dkk dalam Poerwandari, 2001). Ditambahkan pula oleh Patton
(dalam Poerwandari, 2001) menegaskan observasi merupakan metode
pengumpulan data esensial dalam penelitian, terutama dalam penelitian kualitatif,
untuk memberikan data yang akurat dan bermanfaat.
Menurut Heru Basuki (2006) observasi bertujuan untuk mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari
perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi
harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak
relevan.
b. Keuntungan dan Kerugian Observasi
Keuntungan dan kerugian observasi dari metode penelitian observasi
(Soehartono, 2004) adalah sebagai berikut :
1) Keuntungan observasi
a) Data yang diperoleh adalah data segar, dalam arti data yang dikumpulkan
dan diperoleh dari subjek pada saat terjadinya tingkah laku.
b) Keabsahan alat ukur dapat diketahui secara langsung. Tingkah laku yang
diharapkan mungkin akan muncul. Karena tingkah laku dapat dilihat,
maka kita dapat segera mengatakan bahwa yang diukur memang sesuatu
yang dimaksudkan untuk diukur.
2) Kerugian observasi.
a) Untuk memperoleh data yang diharapkan, maka pengamat harus
menunggu dan mengamati sampai tingkah laku yang diharapkan terjadi.
Jika dana yang tersedia cukup besar, pengamat dapat menggunakan video
perekam (video tape). Ini pun harus menggunakan untuk merekam
sejumlah tingkah laku lain sampai muncul tingkah laku yang relevan.
b) Beberapa tingkah laku, seperti tingkah laku kriminal atau yang bersifat
pribadi, sukar atau tidak mungkin diamati bahkan bisa membahayakan jika
diamati. Untuk tingkah laku seperti ini, masih mungkin diperoleh data
melalui wawancara (Atherton & Klemmack dalam Soehartono, 2004).
c. Jenis-jenis Observasi
Menurut Yin (dalam Poerwandari, 2001) jenis-jenis observasi
dibagi 2 yaitu:
1) Observasi Langsung
Observasi biasa dikatakan sebagai pengamatan. Yang dimaksud dengan
observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung
dengan mengunjungi secara langsung tempat subjek berada sehingga
perilaku subjek dan situasi lingkungan tempat subjek berada dapat diamati
secara langsung (Yin dalam Poerwandari, 2001). Pengumpulan data melalui
observasi langsung dapat dilakukan secara formal maupun non formal.
Observasi formal seperti ini biasanya dilakukan antara lain dalam
pertemuan-pertemuan, pekerjaan dalam pabrik, dan situasi kelas.
Sedangkan observasi non formal adalah observasi secara langsung ke tempat
subjek berada dalam kesempatan-kesempatan tertentu saja, seperti
kunjungan bersama dengan cara pengumpulan data yang lain misalnya
wawancara.
2) Obervasi tidak langsung
Observasi tidak langsung adalah mengamati semua aspek yang ingin diamati
seperti tempat subjek tetapi tidak langsung ketempatnya tetapi hanya
melalui data yang diberikan seseorang yang dekat dengan sbjek yang akan
diteliti. Jadi dalam metode observasi tidak langsung ini, peneliti tidak
mengamati secara langsung. Metode observasi tidak langsung ini, kurang
efisien atau kurang baik digunakan karena peneliti tidak langsung dapat
mengetahui seluruh data dari observasi dan membuat data menjadi tidak
akurat.
Menurut Yin (dalam Poerwandari, 2001) berdasarkan
keterlibatan pengamatan dalam kegiatan-kegiatan orang yang diamati, observasi
dapat dibedakan menjadi :
1) Observasi Partisipan
Dalam observasi ini pengamat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh subjek yang diteliti atau diamati
2) Observasi Non Partisipan
Pengamat berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut didalam
kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan.
Menurut Yin (dalam Poerwandari, 2001) berdasarkan cara pengamatan
yang dilakukan, observasi juga dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Observasi Terstruktur
Observasi ini digunakan apabila peneliti memustkan perhatian pada tingkah
laku tertentu sehingga dapat dibuat pedoman tentang tingkah laku apa saja
yang harus diamati.
2) Observasi Tak Terstruktur
Pengamat tidak membawa catatan tentang tingkah laku apa saja yang secara
khusus akan diamati.
Walgito (2003) juga membedakan observasi berdasarkan situasi yaitu :
1) Free Situation Observation
Observasi ini dijalankan dalam situasi bebas, alami, tidak dibuat-buat atau
ditimbulkan. Observasi ini dilaksanakan dalam situasi yang non-
eksperimental.
2) Manipulated Situation Observation
Observasi ini dilaksanakan dalam situasi eksperimental, dengan sengaja
situasi tersebut dibuat atau ditimbulkan. Observer dengan sengaja
memasukkan variabel-variabel untuk menimbulkan situasi yang
dikehendaki.
3) Partially Controlled Situation Obsevation
Observasi ini merupakan campuran dari observasi dalam situasi alami
dengan observasi dalam situasi yang dibuat atau ditimbulkan.
Berdasarkan jenis-jenis observasi yang disebutkan diatas, maka
peneliti memutuskan untuk menggunakan metode observasi langsung dimana
peneliti melakukan pengamatan secara langsung dengan mengunjungi secara
langsung tempat subjek berada sehingga perilaku subjek dan situasi lingkungan
tempat subjek berada dapat diamati secara langsung.
E. Alat Bantu Penelitian
Alat bantu pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Panduan Wawancara
Dalam melakukan penelitian studi kasus lebih fokus pada instrumen wawancara
berdasarkan tujuan penelitian, dan teori yang ada. Maka dibuat panduan wawancara
yang didasari teori-teori yang sesuai dengan tujuan penelitian. Peneliti menyusun
pertanyaan-pertanyaan berdasarkan teori tentang gambaran mengenai remaja putri
yang memiliki kelekatan (attachment) dengan ibunya.
2. Panduan Observasi
Penelitian menyusun panduan observasi untuk mengamati perilaku kelekatan
(attachment). Panduan observasi disusun berdasarkan ciri-ciri, faktor-faktor, dan
fungsi dari kelekatan (attachment). Selain itu pada saat wawancara penelitian juga
melakukan observasi dengan memperhatikan aspek-aspek fisik, cara menjawab dan
gerakan tubuh subjek.
3. Alat Perekam (Tape Recorder)
Alat bantu elektronik berupa tape recorder digunakan untuk merekam jawaban yang
diberikan subjek, agar tidak ada satu jawaban yang terlewat oleh peneliti.
4. Alat-alat tulis, seperti pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
F. Keakuratan Penelitian
Menurut Yin (1994) keabsahan dan keajegan yang diperlukan untuk penelitian
kualitatif terdapat empat, yaitu keabsahan, konstruk (construct validity), keabsahan
internal (internal validity), keabsahan eksternal (external validity), dan keajegan
(reliability).
1. Keabsahan Konstruk
Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yang terukur
benar-benar merupakan variabel yang ingin diukur. Keabsahan ini juga dicapai
dengan proses pengumpulan data yang tepat, salah satunya adalah dengan proses
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekkan atau
pembanding terhadap data itu. Moleong (2000) membagi teknik triangulasi menjadi
empat macam, yaitu :
a. Triangulasi Data (data triangulation)
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara,
hasil observasi, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang
dianggap memiliki sudut pandang berbeda.
b. Triangulasi Metode (methodological triangulation)
Penggunaan berbagai metode guna membantu dalm pengumpulan data yang
diperlukan dalam penelitian ini, seperti wawancara, observasi.
c. Triangulasi Teori (theory triangulation)
Penggunaan berbagai teori yang berlainan tentang gambaran kelekatan
(attachment) remaja putri dengan ibu, seperti : kelekatan (attachment), remaja.
Semua teori diatas untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah
memenuhi syarat.
d. Triangulasi Pengamat (investigator triangulation)
Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data.
Dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert
judgement) yang memberkan masukkan terhadap hasil pengumpulan data.
2. Keabsahan Internal
Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh kesimpulan
hasil penelitian menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keabsahan ini dapat
dicapai melalui proses analisis dan interpretasi yang tepat. Aktivitas dalam
melakukan penelitian kualitatif akan selalu berubah dan tentunya akan mempengaruhi
hasil dari penelitian tersebut. Sehingga walaupun telah dilakukan uji keabsahan
internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang berbeda.
3. Keabsahan Eksternal
Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat
digeneralisasikan pada kasus lain walaupun dalam penelitian kualititaf tetap dapat
dikatakan memiliki keabsahan ekternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus
tersebut memiliki konteks yang sama.
4. Keajegan
Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya
akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama sekali lagi.
Dalam penelitian kualitatif keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya
memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek
yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain
menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan dan pengolahan
data.
Untuk meningkatkan keajegan, diperlukan protokol penelitian yang jelas,
seperti pedoman wawancara yang memuat pertanyaan yang akan diajukan menjadi jelas
dan terarah. Hal penting lainnya adalah pertanyaan yang diajukan pada subjek harus sama
dengan tujuan bila penelitian ini diulang hasil yang keluar akan sama (Sulistiany, 1999).
Untuk keakuratan penelitian, peneliti menggunakan triangulasi teori yaitu
dengan mengaitkan teori-teori yang telah ada, triangulasi metode, yaitu menggunakan
metode pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan observasi,
dan triangulasi dengan sumber atau data, yaitu hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara dengan subjek.
G. Teknik Analisis Data
Marshall dan Rossman (dalam Nasution, 2003) mengajukan tahapan-tahapan teknik
analisis dan kualitatif yang perlu dilakukan untuk proses analisis data dalam penelitian
ini, yaitu :
1. Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam
(indepth interview), dimana data tersebut direkam dengan tape recorder dibantu alat
tulis lainnya. Lalu dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari
bentuk tulisan secara verbatim setelah selesai menemui subjek. Data yang telah
didapat dibaca berulang-ulang, agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah
didapat.
2. Pengelompokkan berdasarkan Kategori, Tema dan Pola Jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian
yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul diluar apa yang ingin
digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara penbeliti menyusun
sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding.
Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali mambaca transkip wawancara dan
melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok
pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian
dikelompokkan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.
Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti.
Penelitian menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal
yang diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokkan tersebut oleh
peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditentukan tema-tema penting serta
kata kuncinya, sehingga peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan
dinamika yang terjadi pada subjek.
3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data
Setelah kategori dan pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data
tersebut terhadap asumsi yand dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini,
kategori yang telah di dapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan
teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokkan apakah ada
kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini
tidak memiliki hipotesis tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-
asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.
4. Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data
Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti
masuk ke dalam tahap penjelasan. Berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari
kaitan tersebut, penulis perlu mencari alternatif penjelasan tentang kesimpulan yang
telah di dapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternatif
penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdapat hal-hal yang
menyimpang dari asumsi atau tidak terpikirkan sebelumnya. Pada tahap ini akan
dijelaskan dengan alternatif lain melalui referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini
akan sangat berguna pada bagian kesimpulan, diskusi, dan saran.
5. Menulis Hasil Penelitian
Penulisan analisis data masing-masing subjek yang telah berhasil dikumpulkan,
merupakan suatu hal yang membantu penulis untuk memeriksa kembali apakah ada
kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai
adalah presentasi data yang di dapat yaitu : penulisan data-data hasil penelitian
berdasarkan wawancara mendalam dan observasi subjek. Prosesnya dimulai dari
data-data yang telah diperoleh dari tiap subjek dibaca berulang kali sampai penulis
mengerti benar permasalahannya, lalu kemudian dianalisis. Sehingga didapatkan
gambaran mengenai penghayatan pengamalan subjek. Selanjutnya dilakukan
interpretasi secara keseluruhan dimana didalam mencangkup keseluruhan dari
penelitian ini.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hal,
antara lain :
1. Dari hasil penelitian kelekatan (attachment) pada remaja putri dengan ibu,
subjek cenderung cukup baik. Dapat dilihat dari ciri-ciri subjek yang
memiliki secure attachment, dimana subjek percaya bahwa orang lain menilai
positif tentang dirinya, subjek percaya bahwa orang masih akan masih
mencintai dan menghargainya. Subjek menilai figur attachment yang adalah
ibunya, merupakan sesosok figur yang yang dapat dipercaya, selalu
memperhatikan dan menyayangi subjek dimanapun, dan kapanpun subjek
membutuhkan ibunya. Subjek termasuk bukan orang yang menutup diri dalam
pergaulan, hal ini terbukti bahwa subjek bisa menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain. Selain itu di dalam keluarga subjek lebih mudah menjalin
hubungan dengan ibunya. Subjek adalah orang yang selalu bersikap optimis
dan percaya diri, hal ini terbukti karena subjek selalu berpikiran positif, selalu
berusaha dan tidak mudah menyerah dalam hal apapun, memiliki rasa percaya
diri dan selalu bersikap optimis. Subjek selalu berusaha dalam menjalin
hubungan dengan sebaik mungkin dengan orang lain, selain itu subjek juga
tidak mudah tergantung pada orang lain.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelekatan antara subjek dengan ibu adalah
bahwa subjek memiliki kepuasan terhadap ibunya dalam kasih sayang,
perhatian yang ditunjukkan ibu kepada subjek. Adanya reaksi atau merespon
setiap tingkah laku yang menunjukkan perhatian disaat subjek sedang
membutuhkan dekapan hangat dari ibu, membutuhkan perhatian yang lebih
dari ibu, maka ibu merespon positif setiap tingkah laku yang ditunjukkan
subjek kepada ibunya. Seringnya bertemu dengan subjek, maka subjek akan
memberikan kelekatannya. Subjek lebih sering bertemu dengan ibu dibanding
ayah, dan subjek lebih sering menghabiskan waktu berdua bersama ibunya,
hal ini yang membuat subjek selalu menunjukkan kelekatannya terhadap
ibunya.
3. Dalam penelitian ini terdapat fungsi kelekatan antara subjek dengan ibunya
adalah subjek merasakan kehangatan dan kenyamanan bersama kedua orang
tua subjek, terutama dengan ibunya. Disaat subjek sedang dalam keadaan
tertekan atau sedang dalam menghadapi masalah, subjek selalu datang kepada
ibunya untuk meminta perlindungan dan pertolongan yang dibutuhkan subjek.
Subjek selalu menjalin komunikasi yang baik dengan kedua orang tua subjek,
meskipun terkadang terjadi kesalahpahaman antara subjek dengan ayahnya.
Subjek selalu mendapatkan perhatian-perhatian dari kedua orang tua subjek,
terutama dalam hal pergaulan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang diajukan peneliti adalah :
1. Kepada subjek disarankan untuk dapat membina hubungan didalam keluarga
menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, meskipun subjek sangat lekat dengan
ibu tetapi ayah sebagai kepala rumah tangga jangan sampai diabaikan, tetap
menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan ayah.
2. Hubungan emosional yang terbentuk antara remaja akhir putri dengan ibu
nampaknya dipengaruhi oleh komunikasi dan keterbukaan masing-masing
dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran. Hal yang terpenting bagi orang tua
yaitu menekankan pada anak bahwa mereka menyayanginya dengan tulus dan
menerima mereka apa adanya. Dengan demikian, diharapkan remaja akhir putri
dapat lebih terbuka kepada orang tua, sehingga awal dari hubungan yang lebih
baik diantara keduanya.
3. Kepada para ibu disarankan untuk menjalin hubungan dengan remaja akhir putri
dengan baik, anggaplah mereka seperti seorang sahabat, sehingga seorang anak
tidak sungkan-sungkan untuk berbagi cerita dan kasih dengan ibunya.
4. Kepada peneliti selanjutnya, terutama yang berminat meneliti lebih lanjut
mengenai gambaran kelekatan (attachment) remaja akhir putri dengan ibu
untuk menambahkan teori-teori, faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi
kelekatan (attachment) pada remaja dengan ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyanti. M.G., (1990). Anak dalam keluarga : Perkembangan kelekatan anak. Jakarta :
PT Bumi Aksara. Ainsworth, M. D. S., Blehar, M. C., Waters, E., & Wall, S. (1978). Patterns of
attachments : a psychological study of the strange situation. Hillsdale, N. J, : Erlbaum.
Ali, M., & Asrori, M.. (2006). Psikologi remaja : Perkembangan peserta didik. Jakarta :
PT Bumi Aksara. Baradja, A. (2005). Psikologi perkembangan : Tahapan-tahapan dan aspek-aspeknya.
Jakarta : Studia Press. Basuki, A. M. H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya.
Jakarta: Gunadarma. Belsky, J. (1988). Infancy, childhood and adollescene : Clinical implication of
attachment. Lawrence Erlbaum Associate. Blatt, S. J. (1996). Representational structures in psychopatology, development and
vulnerabilites in close relationships. New Jersey : Erlbaum. Cicchetti, D. & Linch, M. (1995). Failure in expectable environment and their impact on
individual development : The case of child maltreatment psychopatology. Risk disorder and adaptation. Volume 2. Halaman 32-71. John Willey and Sons Inc.
Cicchetti, D & Toth, S.L., (1995). Developmental psychopatology and disorder of affect :
Developmental psychopatology. Risk disorder and adaptation. Volume 2. Halaman 369-420. John Willey and Sons Inc.
Collin, V. L. (1996). Human attachment. USA : McGraw Hill. Collins, N. L. & Feeney, B. C. (2004). Working models of attachment shape perceptions
of social support : Evidence from experimental and observational studies. Journal of Personality and Social Psychology. Volume 87, 363-383.
Crowell, J. A., Treboux, D., & Waters, E. (2002). Stability of attachment representations:
The trasition to marriage. Journal of Development Psychology. Volume 38, 467-479
Davies, D. (1999). Child development : A practitioner’s guide. New York : The
Guildford Press.
Durkin, K. (1995). Developmental Social Psychology. Massachussets : Blackwell
Publisher Inc Gunarsa, S. D, & Gunarsa, Y. S. D. (2004). Psikologi praktis : Anak, remaja dan
keluarga. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia. Gunarsa, S. D, & Gunarsa, Y. S. D. (2006). Psikologi perkembangan anak dan remaja.
Jakarta : PT BPK Gunung Mulia. Hetherington & Parke. (1999). Chid psychology : A cntemporary view point (4th ed).
USA : Mcgraww-Hill College Companies, Inc. Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Alih Bahasa : Tjandrasa, Med. Meitasari. Jakarta : Erlangga. Karen, R. (1994). Becoming attached. New York : Warner books. Langer, M. (2004). Attachment and perfectionism : A structural equation analysis. The
University of North Carolina. Madnawidjaya, P. (2001). Gambaran penghayatan remaja putri atas hubungan dengan
orang tua dan teman sebaya terhadap pembentukkan identitas diri. Skripsi (Tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Mappiare, A. (1982). Psikologi remaja. Surabaya : Usaha Nasional. Mar’at, S. (2006). DESMITA. Psikologi perkembangan. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. Meins, E. (1997). Security of attachment and the social development of cognition.
Psychology Press Ltd, UK. Moleong, L. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Monks, F. J. Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (2002). Psikologi perkembangan :
Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Mulyana, D. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nawawi, H. H. (2005). Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta : Gadja Mada
University Press.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Perkembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Prabowo, H . & Puspitawati, I. (1997). Psikologi pendidikan. Jakarta : Universitas
Gunadarma. Rumini, S & Sundari, S. (2004). Perkembangan anak dan remaja. Jakarta : PT Rineka
Cipta. Santrock, J. W. (2002). Attachment related psychodynamics. attachment and human
development. edisi ke 8. New Jersey : Mcgraw Hill. Santrock, W. J. (2003). Life span development : Perkembangan masa hidup. Jakarta :
Erlangga. Sarwono, W. S. (2006). Psikologi remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Siagian, S. (1995). Teori motivasi kerja dan aplikasinya. Jakarta : Rineka Cipta. Soehartono, I. (2004). Metode penelitian sosial. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Sukmadinata, N. S. (2005). Metode penelitian pendidikan bandung. Bandung:
Rosdakarya. Turner, J. S. & Helms, D. B (1995). Life span development (5th ed). Fort Worth :
Harcourt Brace College Publishers. Yin, R. K . (1994). Case study research : Design and methods (2nd edition). California :
SAGE Publications. (Alish/1998/Kebutuhan Anak (Http//:www.geocities/kebutuhan anak.com). (Pitaloka/2002/Remaja Pada Umumnya (Http://www.e-psikologi/keluarga.com). (Setiono/2002/BeberapaPermasalahanRemaja(Http://www.epsikologi.com/konseling/prof
il.htm). (Zaahara/2001/Ibu dalam Keluarga (Http://www.depdiknas/kebudayaan.go.id).