ATB 3SK.doc
-
Upload
andreas-surya -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of ATB 3SK.doc
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena penulis
dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Penulis juga berterima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis sangat berharap tugas ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan pembaca mengenai Arsitektur Tradisional Bali,
khususnya mengenai tiga sumbu kosmik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan
usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata–kata yang
kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan. Semoga tugas mengenai tiga sumbu kosmik ini bermanfaat
bagi kita semua.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Denpasar, 18 Oktober 2014
Kelompok 6 Kelas A
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Adanya filosofi hidup masyarakat bali yaitu mengenai kesetaraan bhuwana
agung dan bhuwana alit yang melahirkan berbagai macam konsepsi yang berorientasi
pada Arsitektur Tradisional Bali. Salah satu konsepsi tersebut adalah tiga sumbu
kosmik yaitu orientasi akasa-pertiwi (atas-bawah), kaja-kelod (gunung-laut), dan
kangin-kauh (arah terbit dan terbenamnya matahari).
1.2. Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan ini adalah sebagai salah satu tugas mata
kuliah Arsitektur Tradisional Bali semester ganjil (III). Selain itu, melalui tugas ini
diharapkan mahasiswa dapat memahami lebih dalam mengenai filosofi dan konsepsi
Arsitektur Tradisional Bali khususnya dalam konsep tiga sumbu kosmik.
1.3. Batasan Masalah
Pada tugas ini penulisan dibatasi hanya pada materi mengenai tiga sumbu
kosmik yaitu akasa-pertiwi (atas-bawah), kaja-kelod (gunung-laut), dan kangin-kauh
(arah terbit dan terbenamnya matahari)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Pada mulanya penghayatan orang Bali terhadap ruang, sama dengan
masyarakat dunia yang lain di zaman dulu, yaitu terbatas pada ruang di bumi yang
dipijaknya dan langit jagat raya yang ada di atasnya. Dalam bentuknya yang
tradisional, konsep ruang tradisional di Bali kemudian berkembang dari Orientasi
ruang: langit – bumi pada masa Bali Mula; gunung – laut pada masa Bali Aga; terbit –
terbenamnya matahari pada masa Bali Arya/Majapahit (Gelebet, 1993: 5).
Dalam bahasa Bali, empat kata penunjuk arah yang utama diungkapkan
dengan satuan lingual kaja, kelod, kangin, kauh. Dalam dikotomi budaya Bali, kaja
adalah gunung sebagai pusat kemakmuran dan kesuburan. Kelod adalah tempat yang
menuju laut. Kangin adalah tempat matahari terbit, dan kauh adalah tempat matahari
tenggelam. Selain empat penjuru utama tersebut, terdapat juga yang disebut dengan
akasa (atas) dan pertiwi (bawah).
Konsep tata ruang tradisional Bali, orientasi sangat menentukan penataan
zoning baik lingkungan rumah banjar maupun lingkungan desa. Orientasi tradisional
merupakan orientasi ruang yang dibentuk oleh tiga sumbu yaitu :
1. Kaja-Kelod
Konsep sumbu natural spiritual Kaja-Kelod dikaitkan dengan arah orientasi
kepada gunung dan lautan (Nyegara gunung, Segara-wukir), luan-teben, sekala-
niskala, suci-tidak suci dan sebagainya. Gunung sebagai arah kaja (utara) bagi
masyarakat Bali bagian selatan bernilai Utama dan laut atau arah kelod bernilai Nista
sedangkan bagi masyarakat Bali utara Kelod adalah ke selatan karena pegunungan
ada di tengah-tengah pulau Bali. Arah kelod adalah arah yang menuju ke laut, ke utara
di Bali utara dan ke selatan di Bali selatan. Secara etimologis kata kelod berasal dari
ke laut lewat proses persandian (au>O) dan korespondensi /t/ dan /d/ dan pengubahan
fungsi preposisi ke menjadi suku awal . Hilangnya sifat kontras antara /t/ dan /d/
dalam hal ini disebut dengan netralisasi. Kata lod dalam hal ini agaknya secara
diakronis berkorespondensi dengan kata lor dalam bahasa Jawa yang bermakna utara
hanya saja kemudian terjadi perubahan dalam bahasa Bali menjadi tempat yang
menuju ke laut. Nilai utara ada di arah gunung atau kaja sedangkan nilai nista ada di
daerah laut atau kelod, dengan Madya ada di tengahnya. Gunung bagi
orang Bali (Hindu) merupakan sebuah tempat yang bersifat mistis. Itulah sebabnya
bayak sekali tempat-tempat pemujaan terkenal di Bali berada di ‘gunung’, misalnya
Pura Pulaki, Pura Batukau, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki gunung
Agung. Konsep mistis atau agung dalam dunia Kaja-Kelod juga terefleksi di dalam
penempatan bangunan-bangunan rumah atau desa. Hal-hal yang bersifat keramat dari
harta milik masyarakat biasanya diletakan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang
biasa diletakan di bagian kelod. Pura keluarga biasanya ditempatkan di bagian kaja,
sedangkan rumah tempat tinggal di bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang
bersifat kayangan tiga kita dapat melihat bahwa Pura desa diletakan di arah kaja
sedangkan pada arah laut (kelod) diletakan Pura dalem (pura yang berhubungan
dengan kuburan dan kematian).
2. Kangin-Kauh
Sumbu ritual timur-barat (surya-sewana) berorientasi ke arah matahari terbit
dan terbenamnya matahari, dimana orientasi timur tempat matahari terbit lebih utama
dari barat. Sama halnya dengan konsep Kaja-Kelod, Konsep orientasi yang berlaku
pada arah horisontal adalah: zone Timur (kangin) sebagai arah terbitnya matahari
dianggap sebagai zone sakral, yaitu tempat ruang ruang yang dianggap utama,
sebaliknya Barat (kauh) sebagai arah terbenamnya matahari diperuntukkan untuk
ruang-ruang yang dianggap nista.
3. Akasa-Pertiwi
Konsep akasa-pertiwi diterapkan dalam pola ruang kosong (open space)
dalam rumah tinggal yang dikenal dengan natah. Natah merupakan simbol tempat
pertemuan antara purusa dan pradana, yaitu pertemuan antara akasa/langit
dan pertiwi/tanah/bumi. Dengan demikian makna natah yang paling utama adalah
memberi peluang suatu kehidupan, yakni berumah tangga selama jiwa bertemu
dengan raga atau sepanjang ayat dikandung badan. Pertemuan purusa dan pradana ini
menghasilkan benih-benih kehidupan (Gomudha, 1999:94).
Keberadaan purusa (kelaki-lakian) yang berlawanan dengan pradana (kewanitaan)
juga merupakan konsep rwa bhineda, dua hal yang bertentangan tetapi tidak saling
memusnahkan dan menghilangkan salah satunya, melainkan keduanya harus berjalan
selaras dan seimbang.
2.2. Dasar Pemikiran
Konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari Parhyangan (Tuhan, yang berkaitan
dengan tempat ibadah/ tempat suci); Pawongan (Manusia, tempat aktivitas
masyarakat) serta Palemahan (Lingkungan) Konsep Rwa Bhineda memberikan
orientasi (Luan-Teben, Kaja-Kelod) dan juga Laxokeromi (Sakral-Profan, Baik-
Buruk) Konsep Tri Bhuwana dan Tri Angga membberikan orientasi vertikal Bhur-
Bhwah-Swah dan Uttama, Madhyama, Kanishta Pola Tri Mandala yang memberikan
orientasi horizontal Uttama-Madhyama-Kanishta Konsep Nawa Sanga dan Padma
Bhuwana memberikan kekuatan dan simbol pada struktur yang menggambarkan
adanya pola struktur dan keterikatan antara komponen struktur. Konsep Dinamika
yaitu struktur dalam kebudayaan Bali yang berkaitan dengan ruang, diartikan selain
memiliki pola dan keteraturan, juga memiliki sifat supel, luwes dan dinamis.
Arah orientasi ruang dalam skala wilayah yang lebih luas dan
berkeseimbangan secara keseluruhan dalam propinsi Bali, dengan konsep arah
orientasi yang berdasarkan mata angin (pengide-ider) yang bersifat universal, dan
yang berdasarkan konsep segara-gunung yang bersifat lokal.
Manifestasi atau kekuatan-kekuatan Tuhan (siwa) dalam mata angin
(pengider-ider) yang mengambil posisi dik widik, mendasari konsep dewata bawa
sanga dan dijabarkan lagi menjadi konsep eka dasa rudra. Konsep ini, disamping
mendasari sumbu yang bersifat universal juga mendasari pola ruang sanga mandala.
Sedangkan posisi gunung-laut, disamping mendasari sumbu linier kaja-kelod, juga
mendasari pola ruang tri mandala.
Dari dasar pola ruang tri mandala, dapat dijabarkan juga menjadi pola ruang
sangga mandala dengan memasukkan faktor terbit matahari sebagai orientasi nilai
utama sebagai pembagi masing-masing mandala dalam tri mandala menjadi tiga
bagian. Pola sanga mandala yang lain didasarkan atas konsep, pengider-ider/ dewata
nawa sanga. Dalam pola sanga mandala jenis ini maka mandala di tengah (madyaning
madya) menjadi paling utama dan menjadi pusat orientasi.
1.3Penerapan Tiga Sumbu Kosmik
1. Makro (pulau Bali)
Kehidupan dan tatanan budaya masyarakat bali berorientasi pada sumbu religi, natural
atau bumi, dan sumbu kosmos itu sendiri. Gunung sebagai patokan arah kaja dan
kangin sebagai arah darri terbitnya matahari selalu menjadi arah yang bersifat suci
dalam kehidupan masyarakat bali. Sedangkan arah kelod dan kauh menjadi arah yang
bersifat nista yaitu arah yang menuju ke laut.
2. Messo (Linkungan Banjar/Desa)
a. Pola Perempatan Agung, Pola ini terbentuk dari perpotongan sumbu Kaja dan
Kelod (ke gunung dan ke laut) dan sumbu Kangin dan Kauh (arah terbit dan
tenggelam matahari). Berdasarkan konsep sembilan mata angin (Nawa Sanga)
maka daerah timur (kaja-Kangin) yang mengarah ke Gunung Agung
diperuntukkan bagi bagian suci (Pura Desa). Pura yang berkaitan dengan kematian
(Pura Dalem) dan kuburan desa berada di Barat daya yang mengarah ke laut
(kelod-kauh) sedangkan permukiman berada di antara Pura Desa dan Pura Dalem.
b. Pola Linier, pola ini, konsep sembilan pendaerahan (Nawa Sanga) tidak banyak
berperan. Orientasi kosmologi lebih didomonasi oleh arah gunung dan laut (kaja-
Kelod) dan sumbu terbit dan tenggelamnya matahari (kangin-kauh). Bagian ujung
utara (kaja) suatu permukiman, dperuntukkan bagi Pura Desa, dan di ujung selatan
(kelod) diperuntukkan bagi kuburan (Pura Dalem). Di antara batas desa utara dan
selatan tersebut merupakan permukiman penduduk dan fasilitas umum berupa Bale
Banjar dan Pasar. Pada umumnya pola linier ini terdapat di desa-desa pegunungan.
c. Pola Kombinasi, merupakan perpaduan antara pola linier dengan pola
perempatan agung. Pola permukimannya menggunakan Pola Perempatan Agung,
sedangkan sistem peletakkan massa bangunannya mengikuti pola linier. Perumahan
dan fasilitas umum terletak pada ruang terbuka yang berada di tengah-tengah
permukiman, akan tetapi lokasi daerah yang bernilai utama terletak pada ujung utara
(kaja) dan lokasi yang bernilai nista terletak pada ujung selatan (kelod).
3. Mikro (rumah tinggal)
Pada rumah tinggal penerapannya terlihat pada pembangunan tempat suci yang di
bangun di arah kaja kangin. Selain itu juga terlihat pada penempatan atau posisi
tempat tidur dimana arah kepala selalu ke arah kaja kangin. Penenempatan teba dan
bagian bagian yang dianggap nista diletakan dekat dengan arah kelod kauh.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam bahasa Bali, empat kata penunjuk arah yang utama diungkapkan
dengan satuan lingual kaja, kelod, kangin, kauh. Dalam dikotomi budaya Bali, kaja
adalah gunung sebagai pusat kemakmuran dan kesuburan. Kelod adalah tempat yang
menuju laut. Kangin adalah tempat matahari terbit, dan kauh adalah tempat matahari
tenggelam. Selain empat penjuru utama tersebut, terdapat juga yang disebut dengan
akasa (atas) dan pertiwi (bawah). Penerapan Tiga Sumbu Kosmik dibagi menjadi tiga
yakni makro, messo dan mikro. Pada bagian makro penerapannya dapat dilihat pada
penggunaan patokan gunung sebagai kaja dan laut sebagai kelod di pulau Bali. Pada
messo, penerapannya dapat dilihat pada lingkungan desa yaitu pada catus pata atau
perempatan. Sedangkan pada mikro, penerapannya dapat dilihat pada denah rumah
tradisional Bali yang penempatannya mengikuti aturan yang telah berlaku secara
turun trmurun yang mengikuti konsep tiga sumbu kosmik.
Daftar Pustaka
http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/008-I-Dewa-Putu- Wijana-UGM-Perilaku-Empat-Kata-Penunjuk-Arah-dalam-Bahasa-Bali.pdf
www.tarungnews.com http://repo.isi-dps.ac.id/763/1/
Falsafah_dan_Konsep_Ruang_Tradisional_Bali.pdf file:///C:/Users/WIN%207/Documents/arsitektur%20tradisional%20bali
%202/Falsafah_dan_Konsep_Ruang_Tradisional_Bali.pdf http://natahdibali.blogspot.com/ http://repo.isi-dps.ac.id/983/