ASPEK2 HK. LNGK
Transcript of ASPEK2 HK. LNGK
ASPEK-ASPEK HUKUM LINGKUNGAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Aspek-aspek Hukum Lingkungan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Koesnadi Hardjosoemantri, bahwa “hukum
lingkungan di Indonesia dapat meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
1. Hukum tata lingkungan.
2. Hukum perlindungan lingkungan.
3. Hukum kesehatan lingkungan.
4. Hukum Pencemaran Lingkungan (dalam kaitannya dengan
misalnya pencemaran oleh industri, dan sebagainya).
5. Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional (dalam kaitannya
dalam hubungan antar negara).
6. Hukum Perselisihan Lingkungan (dalam kaitannya dengan
misalnya penyelesaian masalah ganti kerugian, dan sebagainya.
B. Pengertian Hukum Lingkungan.
St. Moenadjat Danusaputra membagi Hukum Lingkungan dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu :
1. Hukum Lingkungan Modern yang berorientasi kepada lingkungan atau
environment-oriented, yaitu : Hukum lingkungan modern
menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak
perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan
dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin
kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus
digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi
mendatang.
2. Hukum Lingkungan Klasik yang berorientasi kepada penggunaan
lingkungan atau use-oriented law, yaitu : Hukum lingkungan klasik
1
menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama
untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya
lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna
mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu
yang sesingkat-singkatnya.
C. Sejarah Peraturan Perundang Undangan Lingkungan di Indonesia.
Dalam sejarahnya peraturan perundang-undangan lingkungan, telah terdapat
peraturan perundang-undangan jaman Hindia-Belanda. Sebagaimana
tercantum dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undanangan dibidang
Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi
Pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan Hidup dan diterbitkan pada
tanggal 5 Juni 1978. Sedangkan pada jaman kemerdekaan ketentuan
lingkungan hidup mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Namun demikian harus diakui
bahwa peraturan perundang-undangan tersebut kini sudah tidak memadai lagi
dan perlu diadakan peninjauan kembali. Kemudian Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 diganti dan saat ini Undang-undang yang mengatur lingkungan
hidup adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
BAB 2
HUKUM TATA LINGKUNGAN
Hukum Tata Lingkungan, menurut Koesnadi Hardosoemantri disebut juga HTL,
yaitu mengatur penataan lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungan hidup, baik lingkungan hidup fisik maupun
lingkungan hidup sosial budaya. Beliau mengemukakan bahwa, dengan adanya
penataan lingkungan yang dikaitkan dengan hubungan antara manusia dengan
lingkungan soaial budaya, maka jangkauan HTL lebih luas dari Hukum Tata
Ruang, atau Recht van de Ruimtelijke Ordening. Definisi HTL dari Van Driel
2
dan van Vliet, manusia merupakan titik sentral. Yang menjadi titik tolak adalah
bagaimana ruang dapat dimanafaatkan untuk kesejahteraan manusia atau
dengan kata lain, bagaimana mencari keserasian timbal balik yang paling baik
antara ruang dan masyarakat yang ditujukan kepada kepentingan masyarakat.
Definisi Tata Ruang sebagaimana tertera dalam Rancangan Undang-
undang tentang Penataan Ruang (Naskah 1989) berbunyi : Tata ruang adalah
wujud struktural pemanfaataan ruang suatu wilayah perkotaan dan pedesaan
bagi dengan direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan
keterkaitan pemanfaatan ruang serta menyerasikan tata guna tanah, tata guna
air, dan tata guna angkasa serta tata guna sumber daya lainnya dalam kesatuan
wawasan nusantara.
Hasan Purbo menyatakan lebih lanjut bahwa sebagian lingkungan sosial
dan lingkungan fisik dapat diartikan sebagai tata ruang dengan definisi tersebut
diatas.
Secara lebih rinci mengenai salah satu bagian penting dari Hukum Tata
lingkungan adalah Hukum Tata Ruang tersebut, dimana dasar hukumnya adalah
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, yaitu :
1. Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dpergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
2. Sumberdaya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diatur
penggunaannya oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Hak menguasai dan mengatur oleh negara sebagaimana tersebut dalam
ayat (1) dan ayar (2)
Peraturan perundang-undangan ini dibidang tata ruang ini mulai berlaku pada
tanggal 23 Juli 1948. Kemudian karena didesak oleh kepentingan
dibutuhkannya pedoman untuk perencanaan kota guna memberikan arah guna
kepada pesatnya perkembangan kota-kota di Indonesia, telah ditetapkan
Peraturan Menteri Dalam negeri tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota,
yang menghapus Surat Edaan Menteri Dalam Negeri Nomor Perda 18/2/6
tanggal 14 mei 1973 tentang Rencana Pembangunan Kota bagi tiap Ibukota
Kabupaten. Peraturan Dalam Negeri ini menyatakan, bahwa tindakan
3
perencanaan yang dimaksud merupakan rumusan kebijaksanaan serta pedoman
pengarahan bagi pelaksanaan pembangunan. Sifat tindakan perencanaan pada
dasarnya adalah sesuai dengan sifat pembangunan yakni sebagai proses yang
berkelanjutan.
Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam negeri No. 2 Tahun 1987 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Pasal ini memuat pengertiaa-pengertian,
yaitu :
a) Kota
b) Perkotaan
c) Perencanaan Kota
d) Rencana Kota
e) Rencana Umum Tata Ruang
f) Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP)
g) Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
h) Rencana Detail Ruang Kota(RDTRK).
i) Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK)
j) Wilayah Perencanaan.
k) Bagian Wilayah Kota.
l) Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.
m) Daerah adalah Daerah Tk. I dan Derah Tk. II.
Contoh yang menarik mengenai tata ruang ini adalah penataan ruang kawasan
Puncak, Bogor. Penanganan khusus penataan ruang dan pengendalian
pembangunan wilayah tersebut diatur dalam Keppres No. 48 Tahun 1983
tentang Penataan Ruang Kawasan Puncak. Pasal 4 Keppres tersebut mengatur
penataan ruang yang meliputi :
a. Perumusan penataan ruang, yang merupakan kegiatan penyusunan
Rencana Umum Tata Ruang berjangka panjang, Penyusunan Rencana
Umum Tata Ruang Bagian dari Penyusunan Program Pemanfaatan
Ruang beserta penyusunan Rencana teknik ruang dan penyiapan ruang.
4
b. Perwujudan pemanfaatan ruang, yang merupakan kegiatan penyusunan
rencana teknik ruang dan penyiapan ruang.
c. Pengendalian tata ruang yang merupakan usaha pengawasan dan
tindakan turun tangan dalam pemanfaatan ruang guna menjamin
pencapaian tujuan penataan ruang.
Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak sebagaimana tersebut dalam
pasal 7 Keppres 48 Tahun 1983 ditetapkan dengan Keppres 48 Tahun 1983
ditetapkan dengan Keppres no. 79 Tahun 1985. Pasal 5 Keppres ini
menyatakan sebagai berikut :
(1) Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 meliputi rencaca alokasi peruntukan ruang berdasarkan
fungsinya sebagai berikut :
a. Kawasan lindung yang terdiri dari hutan lindung, hutan suaka alam,
dan areal lindung lainnya diluar hutan.
b. Kawasan penyangga yang terdiri dari peruntukan ruang untuk
perkebunan teh, tanaman tahunan dan hutan produksi terbatas.
c. Kawasan budi daya pertanian yang terdiri dari peruntukan ruang
untuk tanaman tahunan, tanaman pangan lahan kering dan
tanaman tanaman lahan basah.
d. Kawasan budi daya non pertanian yang terdiri dari peruntukan
ruang untuk pemukiman perkotaan, pemukiman pedesaan, industri,
dan pariwisata.
(2) Rencana alokasi peruntukan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) merupakan arahan dominasi peruntukan ruang secara optimal, serasi,
seimbang, dan lestari untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan
dengan Keputusan Presiden dapat ditinjau kembali setiap 5(lima) tahun.
(3) Perincian lebih lanjut mengenai penjabaran fungsi kawasan kedalam jenis
peruntukan ruang dan lokasi adalah sebagaimana terlampir pada Keppres
ini, dan merupakan peruntukan dominasi untuk tingkat Rencana Umum
5
Tata Ruang. Keppres No. 79 Tahun 1985 tersebut dilampiri peta dengan
penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak sampai
dengan tahun 2004. Untuk peta kerja digunakan peta sekala ketelitian 1 :
50.000. Penertiban tata Ruang Kawasan Puncak ini dapat digunakan
sebagai pola penertiban tata ruang di daerah-daerah lain.
Dengan adanya Keppres No. 79 Tahun 1985 tersebut, kemudian muncul istilah
yang sangat popular dalam penataan tata ruang dengan penertiban wilayah,
Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur (Jabopunjur). Ada juga istilah yang sangat
popoler program kerjasama antar kota yaitu : Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi
(Jabotabek). Juga ada istilah lain program kerjasama antarkota yaitu : Gresik,
Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan lamongan (Gerbangkertasusila).
Selain itu setelah sukses dengan program tersebut diatas, saat ini pemerintah
akan membuat program 4 kota kembar (sister city) yaitu : Ngawi, Cepu, Nganjuk
dan Boyolali (Ngaceng-bo).
BAB 3
HUKUM PERLINDUNGAN LINGKUNGAN
Undang-Undang yang mengatur Hukum Perlindungan Lingkungan UU No. 4
Tahun 1982. Dari UU tersebut, maka jelas perhatian Pemerintah untuk
mengatur mengenai hukum perlindungan demikian besarnya, sehingga
ketentuan yang lebih rinci berkaitan dengan perlindungan lingkungan harus
diatur dengan undang-undang, diantaranya adalah perlindungan atas tanah, air
dan lain sebagainya.
A. Hukum Perlindungan Atas Sumberdaya Alam Nonhayati.
Peraturan mengenai UU Lingkungan HIdup (pengaturan sumberdaya non hayati)
adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria.
6
1. Hukum Perlindungan Atas Tanah.
Peraturan yang mengatur masalah Lingkungan Hidup adalah UU Lingkungan
Hidup (pengaturan perlindungan sumber daya alam nonhayati) adalah UU No. 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
2. Hukum Perlindungan Atas Air.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, pada tanggal 26
Deserber 1974. UU ini bersifat nasional dan disesuaikan dengan perkembangan
keadaan di Indonesia, ditinjau dari segi ekonomi, sisial dan teknologi, dan
memberi landasan bagi penyusunan peraturan perundang-undangan
selanjutnya.
B. Hukum Perlindingan Atas Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Perlindungan hukum atas sumberdaya hayati dapat terlihat pada pasal 12 UU
No. 4 Tahun 1982 yang menyatakan , “Ketentuan tentang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam penjelasannya dikatakan : Pengertian konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya mengandung tiga aspek, yaitu :
a. Perlindungan system penyangga kehidupan.
b. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara.
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
C. Hukum Perlindungan Atas Sumber Daya Buatan.
Perlindungan Hukum atas sumber daya buatan terlihat dalam pasal 13 UU no. 4
Tahun 1982 yang berbunyi : sumber daya buatan ditetapkan dengan undang-
undang. Perlindungan sumber daya buatan yang penting ditujukan kepada
konservasi fungsi sumber daya tersebut bagi kesinambungan pembangunan.
7
D. Hukum Perlindungan Atas Cagar Budaya.
Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1982 berbunyi : ketentuan tentang
perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan Undang-Undang Dalam
penjelasannya dikatakan, perlindungan cagar budaya ditujukan kepada
konservasi peninggalan budaya yang mengnadung nilai-nilai luhur.
Peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan peninggalan-
peninggalan sejarah dan kepurbakalaan sudah ada sejak zaman sebelum
kemerdekaan. Yaitu dengan dikeluarkannya Momentum Ordonantie 1931(stbl.
No. 238 Tahun 1931), lazimnya disingkat MO.
Apabila didalam negeri kita sendiri usaha-usaha terhadap perlindungan
peninggalan sejarah dan purbakala termasuk cagar budaya perlu mendapat
perhatian, maka usaha-usaha dunia internasional disalurkan melalui UNESCO,
baik yang sudah berupa konvensi maupun rekomendasi, yang isinya :
1) Konvensi Perlindungan Benda Budaya dalam Konflik Bersenjata
(Konferensi Antar Pemerintah tentang Perlindungan Benda Budaya dalam
Konflik Bensenjata, Belanda 1954).
2) Rekomendasi atas Penerapan Prinsip-prinsip Internasional atas
Penggalian benda Purbakala, diambil dari Konferensi Umum UNESCO
pada 1956).
3) Rekomendasi tentang cara paling Efektif Mendapatkan Akses ke Museum
(diambil dari Kenferensi Umum UNESCO pada 1960).
4) Rekomendasi tentang Arti Larangan dan Pencegahan Eksport, Import,
Transfer kepemilikan Benda Budaya yang Membahayakan Pekerjaan
Umum dan Pribadi (diambil dari Konferensi Umum UNESCO pada 1964).
5) Rekomendasi tentang Pemeliharaan Benda Budaya yang Membahayakan
Pekerjaaan Umum dan Pribadi (diambil dari Konferensi Umum UNESCO
pada 1968).
6) Konvensi tentang Perlindungan Monumen, Kelompok Bangunan dan Situs
Bernilai Universal (1972).
7) Konvensi tentang Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam (1972).
8
8) Rekomendasi tentang Perlindungan pada Tingkat Nasional Warisan Alam
dan Budaya (1972).
9) Tahun 1975 sudah dibuat Konsep Rekomendasi tentang Pemeliharaan
Ukuran Sejarah, Perkotaan dan Situs dan Penggabungan hal itu kedalam
Lingkungan Modern.
BAB 4
HUKUM KESEHATAN LINGKUNGAN
Undang-Undang yang mengatur Hukum Kesehatan Lingkungan adalah UU No.
23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yaitu :
A. Azas, Tujuan dan sasaran.
Pasal 3 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
berbunyi : “Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas
tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa.
B. Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat.
Pasal 5 UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan : “
(1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
9
Dalam kaitan dengan peran serta masyarakat ini, adalah tidak terlepas
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berperan sebagai
penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup. Lembaga Swadaya masyarakat
adalah organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan
sendiri, di tengah masyarakat, dan berminat serta bergerak dalam bidang
lingkungan hidup (pasal 1 butir 12 UU No. 4 Tahun 1982). Lembaga Swadaya
masyarakat mencakup antara lain :
a. Kelompok profesi, yang berdasarkan profesinya tergerak
menangani masalah lingkungan.
b. Kelompok hobi, yang mencintai kehidupan alam dan terdorong
untuk melestarikannya.
c. Kelompok minat, yang berminat untuk berbuat sesuatu bagi
pengembangan lingkungan hidup. (penjelasan pasal 19 UU No. 4
Tahun 1982).
1. Hak dan Kewajiban Pengusaha dibidang Perindustiran.
Hal yang juga perlu dikemukakan adalah pasal 7 UU No. 4 Tahun 1982 yang
menyatakan :
(1) Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib
memelihara kelestarian maupun lingkungan hidup yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan.
(2) Kewajiban sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini
dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang.
(3) Ketentuan tentang kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) pasal ini ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
10
2. Hak dan Kewajiban Pengusaha dibidang Perdagangan.
Peraturan yang mengatur tentang Hak dan kewajiban Pengusaha dibidang
Perdagangan diantaranya adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi
tentang “Ketentuan Perizinan dibidang Usaha Perdagangan.
3. Hak dan Kewajiban Pengusaha dibidang Pertambangan.
Undang-Undang yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Pengusaha di
Bidang Pertambangan, yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan.
4. Hak dan Kewajiban Pengusaha di Bidang Pertanian.
Peraturan yang mengatur Hak dan Kewajiban Pengusaha dibidang Pertanian
adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1973.
5. Hak dan Kewajiban dibidang Kehutanan.
Peraturan yang mengatur Hak dan Kewajiban Pengusaha dibidang kehutanan,
yaitu : dikenal dengan istilah Agreement (Perjanjian Pengusaha Hutan).
Dengan berkembangnya investasi asing dan investasi dalam negeri
perkembangan pengusaha hutan maju pesat. Para Pengusaha yang bergerak
dibidang kehutanan yaitu Para hak Pengusaha Hutan (HPH) ini diikat oleh
Forestry Agreement.
Forestry Agreement merupakan dokumen yang melandasi cara kerja
pemegang HPH, disamping berbagai peraturan perundang-undangan lainnya
serta pedoman, petunjuk dan instruksi yang dikeluarkan pemerintah. Dokumen
tersebut pada intinya mewajibkan pengusaha untuk :
a. Melaksanakan logging operasi yang modern.
b. Menjamin kelestarian produk hutan dengan cara dan alat yang
ditetapkan Pemerintah.
c. Mengusahakan pemanfaatan tentang kerja secara maksimal
dengan cara mendirikan industri dan menghindarkan pemborosan.
11
d. Menciptakan kesempatan kerja yang maksimal bagi rakyat
Indonesia.
C. Insentif dan Disinsentif.
Pasal 8 UU No. 4 Tahun 1982 menyatakan :
(1) Pemerintah menggariskan dan melakukan tindakan yang mendorong
ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
(2) Kebijakan dan tindakan pemerintah sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
pasal ini diatur dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal
ini menyatakan, ketentuan pasal ini memberi wewenang kepada
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tertentu misalnya dalam
bidang perpajakan, sebagai insentif guna lebih meningkatkan
pemeliharaan lingkungan, dan \disinsentif untuk mencegah dan
menangghalangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kebijakan dan
tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal ini dapat pula diarahkan
kepada pemberian penghargaan kepada setiap orang yang amat berjasa
dalam pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan.
D. Baku Mutu Lingkungan.
Pasal 15 UU Lingkungan Hidup berbunyi, perlindungan lingkungan hidup
dilaksanakan berdasarkan baku mutu lingkungan yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan. Penjelasan pasal menyatakan, agar dapat ditentukan
telah terjadinya kerusakan lingkungan hidup perlu ditetapkan baku mutu
lingkungan, baik penetapan kriteria kualitas lingkungan hidup maupun kualitas
buangan atau limbah.
E. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Pasal 16 UU Lingkungan Hidup menerangkan, “setiap rencana yang diperkirakan
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan
12
analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan
pemerintah”. Dampak yang penting ditentukan antara lain oleh :
(a) Besar jumlah manusia yang terkena.
(b) Luas wilayah penyebaran penduduk
(c) Lamanya dampak berlangsung.
(d) Intensitas dampak.
(e) Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena.
(f) Sifat kumulatif dampak tersebut.
(g) Berbalik (reversible) atau tidak terbaliknya (irreversible) dampak.
BAB 5
HUKUM PENCEMARAN LINGKUNGAN
Hukum Pencemaran Lingkungan atau Hukum Perusakan Lingkungan berkaitan
dengan pencegahan dan penanggulangan lingkungan, secara jelas sudah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup . “Ketentuan-Ketentuan Pencegahan dan
penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta
pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh daan atau secara sektoral
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan”.
A. Hukum Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan
di Bidang Pertambangan.
Dengan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 04/P/M/Pertm/1977
telah ditetapkan pencegahan dan Penanggulangan terhadap Gangguan dan
Pencemaran Sebagai Akibat Usaha Pertambangan Umum.
B. Hukum Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan
di Bidang Perindustrian.
Hukum Pencemaran Lingkungan dibidang Perindustrian terlihat dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Selain itu terdapat SK
13
Menteri Perindustrian No. 134/M/SK/I/1986 tertanggal 26 januari 1986 telah
ditetapkan lingkup Tugas Departemen Perindustrian dalak pengendalian
pencemaran industri terhadp lingkungan hidup, beserta pembagian tugas pokok
bagi unit-unitnya.
C. Hukum Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan
di Bidang Pengairan.
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 1974, yaitu : Undang-Undang
tentang Pengairan menyatakan, bahwa upaya-upaya sebagaimana tertera dalam
ayat (1) pasal tersebut, pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut kini telah diundangkan sebagai PP
No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
D. Sampah atau Limbah Sebagai Sumber Pencemaran Lingkungan.
Sampah sejak lama sudah menjadi persoalan lingkungan hidup. Sampah
merupakan salah satu pencemar lingkungan hidup terutama di kota-kota besar.
Tidak hanya di Ibukota Jakarta yang berpenduduk padat, kota-kota besar lainnya
seperti Surabaya, Bandung, Padang, Medan, Semarang dan Malang juga tidak
luput dari persoalan ini. Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya
pembangunan tempat pembuangan sampah, pembuangan mesin pembakar
sampah, pembuatan pabrik kompos, hingga mendatangkan cacing tanah untuk
menghancurkan sampah pun sudah pernah dilakukan tiap kota. Berbagai
gerakan “perang” terhadap sampah pernah dikeluarkan, seperti gerakan kerja
bakti membuang sampah dan kewajiban memberi kantong plastik pembuangan
sampah. Bagi pembuang sampah sembarangan pun pernah dikenakan
tindakan hukum. Namun hingga kini persoalan sampah tidak juga mereda,
bahkan selalu menimbulkan persoalan.
1. Klasifikasi Sampah.
Terdapat berbagai penggolongan sampah yang terdapat dalam masyarakat
diantaranya adalah :
14
a. Sampah atau limbah padat dan limbah cair.
b. Sampah atau limbah organic.
c. Limbah atau sampah kimia.
d. Limbah atau sampah berbahaya.
e. Limbah atau sampah rasioaktif.
2. Kasus Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah bantar Gebang.
Jika kita bicara mengenai sampah khususnya di Ibukota Jakarta, maka tidak
akan terlepas kaitannya dengan Tempat pembuangan Akhir (TPA) sampah
Bantar Gebang. Tempat ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Wiyogo
Atmodarminto pada 29 Agustus 1989. Pemda DKI saat itu menjamin tidak akan
terjadi pencemaran disekitar TPA, sebab system pembuangan sampahnya
dalam bentuk yang dipadatkan. Namun kenyataannya sampai saat ini masih
menimbulkan masalah.
3. Pemanfaatan Tempat pembuangan Akhir (TPA) Sampah dengan
Sistem Sanitary Landfill.
Sanitary landfill adalah system pengelolaan sampah yang mengembangkan
lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah.
Dasar cekungan pada system ini dilapisi geotekstil. Lapisan yang menyerupai
plastik ini menahan peresapan lindi ke tanah. Diatas lapisan ini, dibuat jaringan
pipa yang akan mengalirkan lindi ke kolam penampungan. Lindi yang telah
melalui instalasi pengolahan baru dapat dibuang ke sungai. Sistem ini juga
mensyaratkan sampah diuruk dengan tanah setebal 15 cm tiap kali timbunan
mencapai ketinggian 2 meter.
4. Dampak negatif Akibat Sampah atau Limbah.
Polusi udara, perubahan aliran dan volume air tanah, perubahan struktur lapisan
tanah, perubahan struktur flora dan fauna dan timbulnya penyakit akibat sampah
dan atau limbah.
15
5. Dampak Positif Akibat Sampah atau Limbah.
Menciptakan lapangan kerja, Bernilai ekonomi kerakyatan dan penyelamatan
lingkungan.
BAB 6
HUKUIM LINGKUNGAN INTERNASIONAL/
HUKUM LINGKUNGAN TRANSNASIONAL.
Hukum Lingkungan Internasional atau Hukum Lingkunga Transnasional
berkaitan dengan perhatian dunia terhadap hukum Lingkungan. Hukum ini
melibatkan hubungan antar bangsa-bangsa di dunia dan juga melibatkan
organisasi bangsa-Bangsa di dunia seperti PBB. Berikut ini adalah beberapa
Konferensi Internasional yang secara tegas memperlihatkan bagaimana Hukum
Lingkungan itu dibicarakan secara internasional, serta bagaimana
perkembangan Hukum Lingkungan di Negara-Negara Asean dan Jepang.
A. Deklarasi Stockholm.
Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil
gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1980) guna merumuskan
strategi “Dasawarsa pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980).
B. Deklarasi Montevidio.
Kemajuan lebih lanjut diperoleh dengan diadakannya Ad Hoc Meeting of Senior
Government Officials Expert in Onvironmental Law in Montevideo, Uruguay,
pada tanggal 28 Oktober - 6 Nopember 1981.
C. Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan
(Word Commission on Environment and Development – WCED).
Perkembangan terbaru dalam pengembangan kebijaksanaan lingkungan hidup
didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and Development,
16
disingkat WCED. WCED dibentuk PBB memenuhi Keputusan Sidang Umum
PBB Desember 1983. Keanggotaan WCED mencakup pemuka-pemuka dari
Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Saudi Srabia, Italia,
Mexico, Brazil, Aljazair, Yugoslavia dan Indonesia. Sekjen WCED berkedudukan
di Geneva.
D. Deklarasi Rio de Jeneiro.
Deklarasi Rio de Jenairo merupakan deklarasi yang dibuat dalam Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan di
Rio de Jeneiro Brazil.
E. Hukum Lingkungan di Negara-Negara ASEAN dan Jepang sebagai
bagian dari hukum Lingkungan Internasional.
Negara-negara ASEAN dan Jepang merupakan bagian dari dunia Internasional
juga memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat dalam hal membicarakan
hukum lingkungan. Utamanya pengaturan undang-undang mengenai
lingkungan hidup tumbuh dan berkembang setelah Konferensi Stockholm 1972.
BAB 7
HUKUM PERSELISIHAN LINGKUNGAN
Ada 3 bidang hukum yang selalu terjadi dalam praktik perselisihan mengenai
lingkungan, yaitu : penyelesaian melalui Hukum Perdata, Hukum Administrasi
negara, dan Hukum Pidana.
A. Penyelesaian Perselisihan Lingkungan Berdasarkan Hukum Perdata.
Dalam Hukum Perdata, persoalan lingkungan tidak menutup kemungkinan untuk
mengajukan gugatan perdata. Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti
kerugian, ketentuan yang lazim dipakai ialah sebagaimana tercantum dalam
pasal 1243 dan pasal 1365 serta pasal 1865 Kitab Undang-Undsang Hukum
Perdata.
17
B. Penyelesaian Perselisihan Lingkungan Berdasarkan Hukum
Administrasi Negara.
Hukum Administrasi Negara, maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa
penghentian sementara atau pencabutan izin dari perusahaan yang
bersangkutan. Secara lebih rinci UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.
23 tahun 1997 pasal 25).
C. Penyelesaian Perselisihan Lingkungan Berdasarkan Hukum Pidana.
Prosedur penyelesaian pelanggaran hukum lingkungan hidup terdapat dalam
penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997.
Terdapat banyak sanksi-sanksi pidana dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan diantaranya terdapat
dibawah ini :
1. Sanksi Pidana Lingkungan yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana).
2. Sanksi Pidana Lingkungan di Bidang Pertambangan.
3. Sanksi Pidana Lingkungan di Bidang Perairan.
4. Sanksi Pidana Lingkungan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
5. Sanksi Pidana Lingkungan Dalam Bidang Perindustrian.
6. Sanksi Pidana Lingkungan di Bidang Perikanan.
7. Sanksi Pidana Lingkungan Dalam Bidang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
8. Sanksi Pidana Lingkungan Dalam Bidang Benda Cagar Alam.
9. Sanksi Pidana Dalam Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
10. Sanksi Pidana Lingkungan Dalam Bidang Kehutanan.
(Dah selesai)
18