ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA …
Transcript of ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA …
ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM
KARYA FARAHDIBA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Veronika Mentari Sih Putranti
174114027
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JANUARI 2021
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku,
Irnawan Dwi Riyanto dan Lucyana Dwi Tutik Kusmandari,
semua yang saya kasih, dan segenap pembaca karya ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
MOTO
“Tak ada satu ilmu pun yang lebih penting dari ilmu lainnya. Kecerdasan punya
seribu muka.”
(Andrea Hirata)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRAK
Putranti, Veronika Mentari Sih. 2021. Aspek Sosial dalam Novel Maria dan
Mariam Karya Farahdiba: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi Strata
Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis serta
mendeskripsikan struktur novel dan aspek sosial dalam novel Maria dan Mariam
karya Farahdiba.
Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra untuk menganalisis
aspek sosial dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Jenis penelitian
yang digunakan adalah analisis kualitatif. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode studi pustaka. Teknik yang digunakan adalah teknik
baca dan catat.
Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis stuktural dan aspek
sosial. Analisis struktural mengkaji tokoh dan penokohan, latar, dan alur dalam
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Tokoh utama dalam novel ini Maria
dan tokoh tambahannya adalah Mariam, Guru Dharmo, Fallah, Ira, Nilzam, dan
Jivan. Latar dalam novel ini terbagi menjadi tiga, yaitu latar waktu, tempat, dan
sosial-budaya. Latar tempat dalam novel ini meliputi Kota Yogyakarta, Solo, dan
Jakarta. Latar waktu dalam novel ini, yaitu tahun 1996. Latar sosial-budaya dalam
novel ini meliputi latar sosial-budaya pondok pesantren konservatif yang masih
memegang tradisi serta peraturan kolot serta latar sosial-budaya masyarakat
Indonesia secara umum yang egois, materialistis, dan tidak dapat menghargai
budaya maupun penggiat budaya. Alur dalam novel ini dibagi menjadi lima, yaitu
1) Tahap penyituasian, 2) Tahap pemunculan konflik, 3) Tahap peningkatan
konflik, 4) Tahap klimaks, dan 5) Tahap penyelesaian. Aspek sosial yang terdapat
dalam novel ini dibagi menjadi tiga, yaitu aspek budaya, lingkungan sosial, dan
ekonomi. Aspek budaya meliputi kepercayaan/agama, politik, seni, simbol, dan
tradisi. Aspek kepercayaan/agama tampak dalam ajaran agama Islam, lembaga,
dan kelompok radikal yang mengatasnamakan agama Islam. Aspek politik tampak
dalam konflik kepentingan penguasa. Aspek seni tampak melalui kebiasaan hidup
masyarakat Indonesia sehari-hari. Aspek simbol tergambar melalui simbol-simbol
kepercayaan dan budaya. Aspek tradisi tergambar melalui tradisi yang terdapat di
pondok pesantren dan tradisi komunitas bissu di Sulawesi. Aspek lingkungan
sosial dibagi menjadi dua, yaitu hubungan sosial dan kriminalitas. Hubungan
sosial ada yang bersifat positif dan negatif. Aspek kriminalitas dalam novel ini
tergambar melalui tindakan yang melanggar hukum pidana. Aspek ekonomi
dalam novel ini dibagi menjadi kemiskinan dan gaya hidup. Aspek kemiskinan
tergambar melalui kesulitan akibat rendahnya pendapatan. Aspek gaya hidup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
tergambar melalui perilaku sehari-hari yang dipengaruhi oleh kemampuan daya
beli, teknologi, dan keadaan lingkungan sosial.
Kata kunci: Struktur novel, sosiologi sastra, aspek sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRACT
Putranti, Veronika Mentari Sih. 2021. Social Aspects in Maria and Mariam
Novel by Farahdiba: Sociology of Literature Study. Undergraduate
Thesis (S1). Indonesian Literature Study Program, Faculty of
Letters, Sanata Dharma University.
This research analyses the social aspects that contained in Maria and
Mariam novel by Farahdiba. The aims of this research are to analyze and describe
the structures of the novel and the social aspects in Maria and Mariam novel by
Farahdiba.
This research used sociological of literature theory to analyze the social
aspects of Maria and Mariam novel by Farahdiba. The research was a qualitative
analysis. The data collection method used was literature review method. The
techniques used were reading and taking notes technique.
Based on the results, there were two aspects, namely structural analysis
and social aspects. The structural analysis analysed the characters and
characterizations, settings, and plots in Maria and Mariam novel by Farahdiba.
The main character in this novel was Maria and the additional characters were
Mariam, Guru Dharmo, Fallah, Ira, Nilzam, and Jivan. The setting in this novel is
divided into three settings, there were time, place, and socio-cultural settings. The
settings of place in this novel were Yogyakarta, Solo and Jakarta cities. The
setting of time in this novel was 1996. The backgrounds of socio-cultural in this
novel were conservative Islamic boarding schools’ socio-cultural backgrounds
which still adhered to old-fangled traditions and rules as well as Indonesian
people’ socio-cultural background in general which were selfish, materialistic,
and disrespect to the culture or cultural activists. The plots in this novel were
divided into five stages, those were 1) exposition stage, 2) emergence of conflict
stage, 3) rising action stage, 4) climax stage, and 5) conflict resolution stage. The
social aspects in this novel were divided into three, namely aspect of culture,
aspect of socio-cultural, and aspect of economy. The aspects of cultural were
belief / religion, politics, art, symbols and traditions. The belief / religion aspects
could be seen in the teaching of Islam, institutions, and radical groups on behalf of
Islam. The political aspects appeared in the conflict of the authorities’ interests.
The art aspects were seen through the Indonesian people’s daily habits of life. The
symbolic aspects were known through the symbols of belief and culture. The
tradition aspects were reflected in the traditions found in Islamic boarding schools
and the bissu community’s traditions in Sulawesi. The socio-cultural aspects were
divided into two categories, namely socialization and crime. There was
socialization that positive and negative. The crime aspect in this novel was
illustrated through acts that break criminal law. The economic aspects in this
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
novel were divided into namely poverty and lifestyle. The poverty aspect was
reflected in the difficulties that caused by low income. The lifestyle aspects were
illustrated through the behaviours which were influenced by purchasing power,
technology, and social conditions.
Keywords: novel structure, sociology of literature, social aspect.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v
MOTO .............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR. ..................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ............................................................................ 5
1.4.1 Manfaat Teoretis ............................................................................ 5
1.4.2 Manfaat Praktis .............................................................................. 5
1.5 Kajian Pustaka ............................................................................................ 5
1.6 Pendekatan ................................................................................................. 9
1.7 Landasan Teori ........................................................................................... 12
1.7.1 Teori Strukturalisme ...................................................................... 12
1.7.2 Sosiologi Sastra ............................................................................. 16
1.7.3 Aspek Sosial .................................................................................. 19
1.8 Metode Penelitian ....................................................................................... 20
1.9 Sistematika Penyajian ................................................................................. 22
BAB II STRUKTUR NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA
FARAHDIBA ................................................................................... 24
2.1 Pengantar .................................................................................................... 24
2.2 Tokoh dan Penokohan ................................................................................ 24
2.2.1 Tokoh Utama ................................................................................. 25
2.2.2 Tokoh Tambahan............................................................................ 39
2.2.3 Tabel 1: Rangkuman Tokoh dan Penokohan ................................ 46
2.3 Latar atau Setting ........................................................................................ 46
2.3.1 Latar Tempat .................................................................................. 46
2.3.2 Latar Waktu ................................................................................... 51
2.3.3 Latar Sosial-Budaya ....................................................................... 52
2.3.4 Tabel 2: Rangkuman Latar ............................................................ 58
2.4 Alur atau Plot .............................................................................................. 59
2.4.1 Tahap Penyituasian ........................................................................ 59
2.4.2 Tahap Pemunculan Konflik ........................................................... 60
2.4.3 Tahap Peningkatan Konflik ........................................................... 61
2.4.4 Tahap Klimaks ............................................................................... 64
2.4.5 Tahap Penyelesaian Konflik .......................................................... 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2.4.6 Tabel 3: Rangkuman Alur ............................................................. 67
2.5 Rangkuman ................................................................................................. 68
BAB III ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA
FARAHDIBA ................................................................................. 69
3.1 Pengantar .................................................................................................... 69
3.2 Budaya ........................................................................................................ 69
3.2.1 Kepercayaan/Agama ..................................................................... 70
3.2.2 Politik ............................................................................................ 75
3.2.3 Seni ................................................................................................ 77
3.2.4 Simbol ............................................................................................ 79
3.2.5 Tradisi ............................................................................................ 81
3.2.6 Tabel 4: Rangkuman Budaya ........................................................ 83
3.3 Lingkungan Sosial ...................................................................................... 83
3.3.1 Hubungan Sosial ............................................................................ 83
3.3.1.1 Hubungan Sosial Individu dengan Individu .................. 84
3.3.1.2 Hubungan Sosial Individu dengan Kelompok .............. 85
3.3.1.3 Hubungan Sosial Kelompok dengan Kelompok ........... 88
3.3.2 Kriminalitas ................................................................................... 89
3.3.3 Tabel 5: Rangkuman Lingkungan Sosial ....................................... 92
3.4 Ekonomi ...................................................................................................... 92
3.4.1 Kemiskinan .................................................................................... 93
3.4.2 Gaya Hidup .................................................................................... 96
3.4.3 Tabel 6: Rangkuman Ekonomi ...................................................... 99
3.5 Rangkuman ................................................................................................. 99
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 102
4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 102
4.2 Saran ........................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra yang tercipta dari proses kreatif seolah tidak dapat lepas dari
kehidupan manusia, hal tersebut terjadi karena sebuah karya sastra sebenarnya
berisi tentang segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Di
dalam sebuah karya sastra, terlebih novel, kehidupan manusia digambarkan secara
paling lengkap dan menyeluruh, sebab pengarang menampilkan waktu dan
rangkaian cerita yang panjang (Safari, 2018: 183).
Proses kreatif dalam melahirkan sebuah karya sastra dialami dengan cara yang
berbeda-beda dari pengarang yang satu dengan pengarang yang lain. Di dalam
novel, seorang pengarang seolah menciptakan suatu dunia sendiri sebagai refleksi
dari realita keadaan yang terjadi di dunia nyata. Maka dari itu, dalam sastra ada
kehidupan masyarakat yang sifatnya imajiner, tetapi imajiner yang dimaksud
bukan berarti terlepas dari kenyataan yang ada. Adanya kehidupan yang berupa
aktivitas masyarakat imajiner dalam karya sastra membuat karya sastra dapat
dinilai, diinterpretasikan, dan dianalisis dengan seperangkat konsep dan teori
sosiologis (Kurniawan, 2012: 7).
Melalui novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, pembaca seolah dapat
membayangkan situasi sosial yang dialami oleh pengarangnya pada masa itu.
Novel Maria dan Mariam juga seakan digunakan oleh pengarangnya untuk
menjadi media dalam menyampaikan kritik dan keprihatinannya terhadap situasi
sosial yang terjadi di masyarakat. Novel Maria dan Mariam sendiri mengisahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
tentang dua perempuan bernama Maria dan Mariam yang memiliki karakter yang
bertolak belakang. Meski sama-sama besar di lingkungan yang unsur agamisnya
sangat kental, tetapi mereka berdua memiliki pandangan dan pemahaman yang
berbeda mengenai sebuah agama itu sendiri. Mariam besar di pesantren yang
sangat ketat dalam menjaga warisan agama Islam dan dikelilingi oleh orang-orang
yang konservatif. Hal itu menjadikan pertemuannya dengan Maria, seorang
perempuan dengan pandangan yang terbuka dan membenci sikap kolot
masyarakat dalam mempertahankan budaya, menjadi sangat bermakna.
Pertemuan Maria dan Mariam terjadi ketika Maria mengikuti kegiatan
pesantren kilat di sebuah pesantren tempat Mariam tinggal. Maria merasa tidak
betah tinggal di pesantren karena aturan-aturan dan suasana di pesantren tidak
cocok dengannya. Maria akhirnya terpaksa dikeluarkan dari pesantren karena
kesalahpahaman. Setelah keluar dari pesantren, Maria bertemu seorang guru
spiritual bernama Guru Dharmo yang mengajarinya banyak pelajaran hidup yang
berharga.
Sosok Maria digambarkan memiliki karakter yang unik oleh pengarangnya.
Maria adalah tokoh yang memiliki watak selalu ingin tahu dan tidak mudah puas,
serta digambarkan sebagai perempuan yang sangat menjunjung tinggi harkat dan
martabat kaumnya. Di dalam novel ini diceritakan tentang perjalanan Maria dalam
menghadapi polemik melawan pandangan masyarakat yang konservatif dan
terikat kuat oleh budaya Timur yang lekat dengan unsur agama.
Latar sosial yang digambarkan di dalam novel ini adalah keadaan ketika
masyarakat pada waktu itu diikat oleh budaya patriarki sebagai akibat dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kesewenang-wenangan dalam menafsirkan ayat-ayat di dalam Kitab Suci Alquran,
sehingga terciptalah pandangan bahwa perempuan memiliki derajat yang lebih
rendah dibanding laki-laki (Viustana, 2009: 4). Novel Maria dan Mariam akan
dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra untuk mengetahui serta
mendeskripsikan aspek-aspek sosial yang terkandung di dalam novel ini. Menurut
Ratna (2004: 1), sosiologi sastra bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat dan menjelaskan bahwa
rekaan tidak berlainan dengan kenyataan.
Farahdiba atau yang biasa dipanggil Fay dibesarkan di keluarga nahdiyin dan
sempat menjadi salah satu pengurus organisasi yang berada dalam naungan
Nahdlatul Ulama (NU). Farahdiba juga pernah menjadi aktivis dan aktif dalam
organisasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Selain itu, Farahdiba juga
pernah aktif di National Integration Movement (NIM), sebuah organisasi lintas-
agama yang mengangkat isu-isu kebangsaan. Novel Maria dan Mariam ditulis
oleh Farahdiba karena ia menaruh perhatian besar kepada kebangkitan budaya
lokal.
Alasan peneliti tertarik untuk meneliti novel Maria dan Mariam karena cerita
yang disuguhkan dalam novel ini memuat kompleksitas mengenai kehidupan yang
menarik untuk dianalisis. Bentuk kompleksitas kehidupan yang tercermin dalam
novel ini seperti permasalahan agama, kebudayaan, dan interaksi sosial
antartokohnya.
Sebuah karya sastra dapat diposisikan untuk menjadi pusat bahasan yang
difokuskan pada kajian intrinsik teks yang kemudian dihubungkan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
fenomena yang sedang terjadi ketika karya tersebut diciptakan oleh pengarang
(Putra, 2018: 13). Oleh karena itu, teori sosiologi sastra dipilih peneliti untuk
menganalisis novel ini karena terdapat unsur-unsur sosial. Unsur-unsur sosial
dalam novel ini meliputi kelompok sosial, kebudayaan, kekuasaan, serta interaksi
sosial yang dapat dihubungkan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat
ketika novel diciptakan. Aspek sosial sendiri dapat dimaknai sebagai cara
memandang aksi, interaksi, dan fenomena sosial (Setianingsih, 2016: 3).
Novel Maria dan Mariam dipercaya oleh peneliti tidak lahir begitu saja dari
kekosongan budaya. Melalui novel ini, pengarang dengan lugas menyampaikan
permasalahan sosial yang dialami oleh masyarakat. Budaya patriarki dan peran
sebuah agama dalam membentuk struktur sosial dalam masyarakat menjadi latar
keadaan di dalam novel ini. Sesuai dengan rekam jejak sosial yang pernah terjadi,
novel Maria dan Mariam tidak hanya hadir untuk menjadi media kritik sosial bagi
masyarakat, tetapi juga dipercaya sebagai cerminan realitas keadaan sosial yang
tengah terjadi ketika novel tersebut diciptakan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba?
1.2.2 Bagaimanakah aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai
berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.3.1 Mendeskripsikan struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.
1.3.2 Mendeskripsikan aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini diharapkan akan
mendapatkan manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan kajian sosiologi sastra
untuk memahami aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai karya
sastra dan pemahaman tentang novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi dalam
penelitian sastra Indonesia, khususnya mengenai analisis novel dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
1.5 Kajian Pustaka
Viustana (2009), dalam skripsinya meneliti novel Maria dan Mariam karya
Farahdiba dengan pendekatan kritik sastra feminis. Latar belakang dalam analisis
yang dilakukannya berupa adanya ketertindasan perempuan secara psikis karena
kesewenang-wenangan para laki-laki dalam menafsirkan ayat-ayat di Kitab Suci,
hal tersebut tidak hanya terlihat di dalam pesantren saja, tetapi juga terjadi dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Viustana menemukan dua hasil penelitian, sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
berikut. (1) Tokoh dan penokohan yang meliputi dua tokoh utama, yaitu Maria
dan Mariam yang memiliki karakter bertolak belakang. (2) Adanya modernisasi
perempuan. Bentuk modernisasi yang terlihat adalah modernisasi dalam berpikir
dan bertindak. Contoh modernisasi berpikir adalah perempuan memiliki
kebebasan berpikir atau menyampaikan pendapat. Mandiri dalam menjalankan
kehidupan serta memiliki kebebasan dalam berpenampilan adalah contoh bentuk
modernisasi bertindak pada perempuan. Dua bentuk modernisasi tersebut telah
terjadi pada dua tokoh utama novel ini, yaitu Maria dan Mariam.
Sipayung (2016), dalam skripsinya yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh
Maryam dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Kajian Sosiologi Sastra”
meneliti mengenai konflik sosial yang terdapat dalam novel Maryam karya Okky
Madasari. Dalam penelitian ini, hasil kajiannya dibagi menjadi dua, yaitu analisis
struktur novel dan sosiologi sastra. Struktur novel berisi tokoh dan penokohan,
alur, dan latar. Hasil dari penelitiannya tersebut ditemukan 1) konflik karena
perbedaan orang-perorangan dalam novel Maryam meliputi perbedaan antara
individu dengan individu, perbedaan antara individu dengan kelompok, dan
perbedaan antara kelompok dengan kelompok. 2) Konflik karena perbedaan
kebudayaan dalam novel Maryam meliputi kebudayaan khusus atas dasar
kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus atar
dasar kelas sosial.
Hastuti (2018), dalam artikel yang berjudul “Novel Bumi Manusia Karya
Pramoedya Ananta Toer Kajian Sosiologi Sastra” membahas mengenai dominasi
dan pertentangan antara kelas atas Eropa (Bourjuis) dan kelas bawah pribumi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
(Proletar) dan perlawanan kaum proletar kepada kaum bourjuis. Dominasi dan
pertentangan kelas tersebut ditunjukkan dengan pandangan bahwa orang-orang
Eropa lebih pintar dan memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding pribumi.
Melalui analisis sosiologis sastra terhadap novel ini, dapat disimpulkan bahwa
novel Bumi Manusia mengungkapkan cerminan kehidupan masyarakat peralihan
di abad ke-21 di Jawa Timur. Gambaran hubungan sosial antara orang Eropa dan
pribumi terlihat dari perlakuan dan sikap orang-orang pada masa itu yang merasa
jika orang Eropa memiliki derajat yang lebih tinggi sehingga mereka harus
dipatuhi dan bebas mendominasi kaum pribumi yang dianggap memiliki derajat
yang lebih rendah. Namun, meski begitu masih ada orang-orang yang
menganggap bahwa perbedaan kelas tersebut bukan halangan atau hambatan
untuk membangun relasi dengan orang yang memiliki derajat yang berbeda.
Safari (2018) pernah melakukan penelitian terhadap novel Belantik karya
Ahmad Tohari menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Dalam artikelnya yang
berjudul “Novel Belantik Karya Ahmad Tohari Pendekatan Sosiologi Sastra”,
Safari membahas mengenai korelasi antara penceritaan novel Belantik dengan
realitas masyarakat sewaktu novel Belantik ditulis. Dalam penelitiannya tersebut
dapat diperoleh kesimpulan, yaitu (1) konteks sosial pengarang dalam novel
Belantik, yaitu mengungkapkan bahwa latar belakang pengarang sebagai santri,
redaktur media masa, maupun domisili Ahmad Tohari mempengaruhi penceritaan
dalam novel Belantik. (2) Gambaran masyarakat yang tercermin dalam novel
Belantik mengungkapkan adanya korelasi antara gambaran masyarakat dalam
novel Belantik dengan realita masyarakat pada waktu novel ini diciptakan, dan (3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
fungsi sosial dalam novel Belantik adalah sebagai penghibur dan perombak
masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai religiositasitas dan moral yang baik,
seperti sifat tolong menolong kepada sesama dan cinta kasih antara keluarga perlu
dijadikan panutan, adapun nilai moral yang tidak baik tidak pantas untuk ditiru.
Ibed (2018) dalam tesisnya meneliti mengenai permasalahan sosial dalam
novel Salah Pilih karya Nur St. Iskandar menggunakan perspektif sosiologi sastra
Alan Swingewood. Salah satu dasar pemikirannya adalah menganggap karya
sastra sebagai dokumen sosiobudaya yang mencerminkan keadaan sosial budaya
pada suatu zaman. Dalam hal ini struktur karya sastra secara keseluruhan tidak
penting, yang penting adalah unsur-unsur sosiobudaya sebagai proses refleksi
keadaan zaman. Dalam penelitiannya, Ibed membicarakan tentang kehidupan
masyarakat dan segala macam permasalahan sosial di dalam novel yang berkaitan
erat dengan latar belakang adat dan kebudayaan masyarakat Minangkabau. Dari
penelitiannya tersebut dapat ditarik kesimpulan, yaitu dalam novel Salah Pilih ada
beberapa hubungan antartokoh yang menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa-
peristiwa dengan masalah sosial. Bentuk-bentuk permasalahan sosial dalam novel
Salah Pilih meliputi kemiskinan, kurangnya pendidikan, kesenjangan sosial,
kejahatan, disorganisasi keluarga, pelanggaran terhadap adat, anti sosial,
perdebatan tentang adat, penderitaan perempuan terhadap poligami, dan
kolonialisme yang mementingkan kekuasaan.
Hasbullah (2018), dalam skripsinya yang berjudul “Gambaran Kemiskinan
dalam Novel Ma Yan Karya Sanie B. Kuncoro: Tinjauan Sosiologi Sastra Ian
Watt” membahas mengenai keterkaitan antara latar sosial pengarang dengan latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
sosial dalam novel yang diciptakannya. Penelitiannya tersebut membahas
mengenai novel Ma Yan sebagai cerminan sosial masyarakat dan fungsi sosial
sastra. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan
menganalisis konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan
fungsi sosial sastra dalam novel Ma Yan dengan pendekatan sosiologi sastra Ian
Watt.
Penelitian mengenai analisis sosiologi sastra untuk novel Saman karya Ayu
Utami pernah dilakukan oleh Aisyah (2019). Dalam artikelnya yang berjudul
“Analisis Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan Sosiologi Sastra”, Aisyah
membahas mengenai hubungan karya sastra dengan pengarangnya, dengan
masyarakat, dan fungsi sosial sastra yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu
Utami. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa kompleksitas persoalan yang
diceritakan dalam novel Saman akurat dengan data-data tentang peristiwa sosial
yang terjadi di Indonesia. Dalam novelnya, Ayu mengutarakan pemikirannya
mengenai agama, seks, pernikahan, ras, ekonomi, dan politik. Penulisan novel
Saman tidak lepas dari latar belakang Ayu Utami sebagai penulisnya yang pernah
berprofesi sebagai wartawan, aktivis, dan seorang perempuan yang tinggal di
tengah masyarakat yang masih meyakini nilai-nilai kebudayaan timur yang
konservatif. Novel Saman menceritakan tentang proses pengambilan lahan,
nepotisme, penculikan, dan kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat.
1.6 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan intrinsik seturut paradigma Rene
Wellek dan Austin Warren. Paradigma Rene Wellek dan Austin Warren
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
melahirkan dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik
(Rohman, 2020: 59).
Pendekatan intrinsik karya sastra meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut
pandang, gaya bahasa, dan amanat. Pendekatan ekstrinsik meliputi sastra dan
biografi, sastra dan psikologi, sastra dan masyarakat, sastra dan seni (Rohman,
2020: 59).
1.6.1 Sastra dan Biografi
Pencipta karya sastra menjadi penyebab utama dari lahirnya sebuah karya
sastra, karena hal itulah penjelasan mengenai kepribadian dan kehidupan
pengarang menjadi metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Jika
biografi pengarang menjadi bernilai jika dapat memberi masukan tentang
penciptaan terhadap karya sastra. Selain itu, biografi juga dapat dinikmati karena
mempelajari hidup pengarang, menelusuri perkembangan moral, mental, dan
intelektualnya. Biografi juga dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang
psikologi pengarang dan proses kreatif (Wellek, 2014: 74).
Terdapat tiga sudut pandang mengenai biografi pengarang. Pertama, sudut
pandang yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjelaskan proses
penciptaan sebuah karya sastra yang sebenarnya. Kedua, sudut pandang yang
mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi pengarang. Ketiga, sudut
pandang yang memperlakukan biografi sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan
maupun psikologi penciptaan artistik. Dari ketiga sudut pandang tersebut, yang
relevan dengan studi sastra adalah sudut pandang pertama (Wellek, 2014: 74).
1.6.2 Sastra dan Psikologi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Menurut Renne Wellek dan Austin Warren, terdapat empat kemungkinan
pengertian dari istilah “psikologi sastra”. Pertama, dapat memiliki arti sebagai
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, dapat
diartikan sebagai studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, untuk mempelajari
dampak atau efek karya sastra terhadap pembaca (psikologi pembaca). Dari
keempat pengertian tersebut, yang paling berkaitan dengan bidang sastra adalah
pengertian ketiga (Wellek, 2014: 81).
Psikologi dapat digunakan untuk mengklasifikasikan seorang pengarang
berdasarkan tipe psikologi dan fisiologinya. Menurut Renne Wellek dan Austin
Warren, psikologi mampu menguraikan kelainan jiwa atau meneliti alam bawah
sadar seorang pengarang. Dalam meneliti hal tersebut, bukti-bukti dapat diambil
dan dikumpulkan dari dokumen di luar sastra atau dari karya sastra sendiri. Dalam
melakukan penelitian dan menginterpretasikan sebuah karya sastra sebagai bukti
dari psikologi pengarang, psikolog perlu untuk mencocokkannya dengan
dokumen di luar sastra (Wellek, 2014: 94).
1.6.3 Sastra dan Masyarakat
Sastra merupakan institusi sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar
terdiri atas kenyataan sosial dan sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif
manusia (Wellek, 2014: 98).
Penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya mengaitkan
sastra dengan situasi, sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
tersebut dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan
kedudukannya dalam masyarakat (Wellek, 2014: 98-99).
1.6.4 Sastra dan Pemikiran
Sastra kerap dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai sebuah
pemikiran yang terbungkus oleh bentuk khusus sehingga sastra dianalisis untuk
mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat (Wellek, 2014: 121).
Sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran
dan filsafat karena sejarah sastra sejajar serta mencerminkan sejarah pemikiran.
Baik secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, pengarang
terkadang menyatakan bahwa dirinya merupakan penganut aliran filsafat tertentu,
mempunyai hubungan dengan paham-paham yang dominan pada zamannya, atau
mengetahui garis besar ajaran dari paham-paham tersebut (Wellek, 2014: 122).
1.6.5 Sastra dan Seni
Sastra memiliki hubungan yang rumit dengan seni rupa maupun seni
musik. Karya seni, seperti misalnya benda dan manusia, kerap menjadi objek dari
karya sastra. Begitu pun dengan seni musik juga banyak digunakan dalam sastra,
seperti dalam lirik atau drama (Wellek, 2014: 140).
1.7 Landasan Teori
1.7.1.Teori Strukturalisme
Strukturalisme memberi perhatian terhadap kajian unsur-unsur teks
kesastraan. Analisis struktural karya sastra fokus pada unsur-unsur intrinsik yang
membangunnya, yaitu plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-
lain. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
memaparkan fungsi dan keterkaitan berbagai unsur karya sastra. (Nurgiyantoro,
2015: 60).
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis adalah tokoh dan penokohan,
latar, dan alur. Ketiga analisis tersebut penting dan untuk mendukung penelitian
terkait aspek sosial di dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.
1.7.1.1 Tokoh dan Penokohan
Pengertian tokoh merujuk kepada orang atau pelaku dalam cerita,
sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
atau pelaku dalam cerita (Nurgiyantoro, 2015: 247). Tokoh dapat dikategorikan
dalam beberapa jenis berdasarkan sudut pandang dan tinjauan tertentu, misalnya
tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh berkembang, dan tokoh tipikal. Namun,
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tokoh utama dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang penceritaannya diutamakan dan menjadi
peranan penting dalam novel sehingga paling banyak diceritakan. Tokoh utama
menjadi penentu perkembangan plot karena diceritakan paling banyak dan selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh utama selalu hadir sebagai
pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik sehingga memengaruhi
perkembangan plot. Tokoh utama bisa saja tidak selalu muncul dalam setiap
kejadian, namun kejadian tersebut tetap dapat dikaitkan dengan tokoh utama
(Nurgiyantoro, 2015: 259). Tokoh tambahan tidak muncul dalam setiap cerita atau
hanya muncul sesekali saja sehingga sedikit sekali memegang peranan dalam
cerita (Satinem, 2019: 58).
1.7.1.2 Latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Dalam cerita fiksi, latar digunakan sebagai landas tumpu, tempat, waktu,
dan aturan kehidupan bermasyarakat sebagaimana kehidupan manusia di dunia
nyata. Latar memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan
suasana tertentu sehingga cerita tersebut sunguh-sungguh ada dan terjadi
(Nurgiyantoro, 2015: 302-303).
Terdapat unsur-unsur latar yang dibagi berdasarkan tiga unsur pokok,
yaitu unsur waktu, tempat, dan sosial-budaya (Nurgiyantoro, 2015: 314).
1.7.1.2.1 Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya suatu peristiwa di dalam
karya fiksi yang biasanya menggunakan nama lokasi tertentu dan inisial tertentu.
Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertetntu setidaknya harus
mencerminkan dan tidak bertentangan dengan keadaan geografis tempat yang
bersangkutan. Agar dapat mendeskripsikan keadaan suatu tempat tertentu,
pengarang harus menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan. Latar
tempat dalam novel biasanya berpindah-pindah meliputi beberapa lokasi
(Nurgiyantoro, 2015: 314-317).
1.7.1.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam karya fiksi dan biasanya dihubungkan dengan waktu faktual dan ada
kaitannya dengan peristiwa sejarah. Novel yang ditetapkan sesuai dengan waktu
sejarah tertentu harus disesuaikan juga aspek fisik yang lain agar cerita koheren
dan masuk akal. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan sosial
karena penceritaan di dalam karya fiksi harus mengacu pada waktu tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
sehingga tidak menyebabkan ketidaksesuaian deskripsi dalam cerita dengan
kenyataan yang sebenarnya terjadi (Nurgiyantoro, 2015: 318-321).
1.7.1.2.3 Latar Sosial-Budaya
Latar sosial-budaya menunjuk pada segala sesuatu yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial suatu masyarakat di tepat tertentu yang
diceritakan dalam karya fiksi. Perilaku kehidupan sosial masyarakat mencakup
kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara
berpikir serta bersikap. Latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial
tokoh di dalam cerita (Nurgiyantoro, 2015: 322).
1.7.1.3 Alur atau Plot
Alur atau yang biasa disebut plot merupakan rangkaian urutan peristiwa
yang membangun cerita. Alur membawa cerita untuk memecahkan konflik yang
ada di dalamnya (Rohman, 2020: 61).
Agar dapat disebut sebagai plot, hubungan antarperistiwa dalam karya
fiksi harus memiliki hubungan sebab-akibat (Nurgiyantoro, 2015: 167). Terdapat
lima tahapan plot dalam karya fiksi, yaitu 1) Tahap penyituasian, 2) Tahap
pemunculan konflik, 3) Tahap peningkatan konflik, 4) Tahap klimaks, dan 5)
Tahap penyelesaian Nurgiyantoro, 2015: 209-210).
1.7.1.3.1 Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian atau situastion merupakan tahap pembukaan dalam
cerita yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita
(Nurgiyantoro, 2015: 209).
1.7.1.3.2 Tahap Pemunculan Konflik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Tahap pemunculan konflik atau generating circumstances adalah tahap
ketika mulai muncul masalah-masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik. Tahap ini menjadi tahap awal munculnya konflik dan konflik tersebut
akan terus berkembang pada tahap selanjutnya (Nurgiyantoro, 2015: 209).
1.7.1.3.3 Tahap Peningkatan Konflik
Tahap peningkatan konflik atau rising action adalah tahap ketika konflik
yang telah terjadi mulai berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
Dalam tahap ini, pertentangan dan benturan antarkepentingan masalah dan tokoh
mengarah ke klimaks (Nurgiyantoro, 2015: 209).
1.7.1.3.4 Tahap Klimaks
Tahap klimaks atau climax merupakan tahap ketika konflik maupun
pertentangan yang terjadi mencapai titik intensitas puncak. Klimaks dalam sebuah
cerita dialami oleh tokoh-tokoh utama yang menjadi pelaku dan penderita
terjadinya konflik utama (Nurgiyantoro, 2015: 209).
1.7.1.3.5 Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian atau denouement adalah tahap terakhir ketika konflik
telah mencapai klimaks dan diberi jalan keluar lalu cerita diakhiri (Nurgiyantoro,
2015: 210). Dalam tahap penyelesaian, satu per satu konflik atau masalah yang
terjadi menemukan solusi sehingga ketegangan antartokoh menurun dan cerita
berakhir (Lianawati, 2019: 106).
1.7.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal
dari akar kata sosio dalam bahasa Yunani, yaitu socius yang artinya bersama-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
sama, bersatu, kawan, teman dan dari kata logi atau logos yang berarti sabda,
perkataan, perumpamaan. Pada perkembangan berikutnya, kata sosio atau socius
berarti masyarakat dan logi atau logis berarti ilmu. Sosiologi berarti ilmu
mengenai asal-usul dan pertumbuhan atau evolusi masyarakat dan makna sastra
bersifat lebih spesifik setelah menjadi kata jadian menjadi kesusastraan yang
artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2004: 1-2).
Tujuan sosiologi sastra adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap
sastra dalam kaitannya terhadap masyarakat dan menjelaskan bahwa sebuah
rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra dikonstruksi secara
imajinatif, tetapi kerangka imajinatif tersebut tidak dapat dipahami di luar
kerangka empirisnya. Sebuah karya sastra bukan semata-mata gejala individual,
tetapi merupakan gejala sosial (Ratna, 2004: 11).
Sosiologi merupakan ilmu objektif kategoris yang membatasi diri pada apa
yang terjadi dewasa ini (das sollen), sementara itu sastra memiliki sifat evaluatif,
subjektif, dan imajinatif. Definisi sosiologi sastra yang merepresentasikan
hubungan interdisipliner yang masuk ke dalam ranah sastra mencakup (1)
pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatan di dalamnya; (2) pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang
disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan di dalamnya; (3) pemahaman
terhadap sebuah karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang
melatarbelakanginya; (4) hubungan dialektika antara sastra dan juga masyarakat
(Kurniawan, 2012: 5).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Relasi sosiologi dan sastra yang dimediasi oleh sastra melahirkan buah
analisis sosiologis yang sifatnya objektif menggunakan seperangkat teori, hukum,
dan konsep ilmu sosiologis untuk menganalisis karya sastra. Hal tersebut
bertujuan untuk mendeskripsikan relasi antara karya sastra dengan kenyataan yang
terjadi di masyarakat yang direpresentasikannya (Kurniawan, 2012: 7).
Sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat. Sosiologi mencoba untuk mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, berlangsung, dan tetap ada. Seperti halnya sosiologi, sastra juga
berurusan dengan manusia dalam masyarakat, bagaimana manusia berusaha untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu (Damono, 1978:
6-7).
Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa
sebuah karya sastra merupakan ekspresi dan bagian dari masyarakat. Dengan
demikian, maka memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem
dan nilai dalam masyarakat tersebut (Taum, 1997: 47).
Kajian sosiologi sastra menurut Rene Wellek dan Austin Warren yang
disebut sebagai teori ekstrinsik menitikberatkan model kajian karya sastra pada
persoalan seperti sosiologi pengarang, sosiologi sastra, dan pengaruh sastra pada
pembaca. Pada sosiologi pengarang, yang dikaji adalah biografi, status sosial,
ideologi pengarang dari suatu karya sastra dan segala hal yang berhubungan
dengan kapasitas pengarang sebagai penghasil sastra. Pada sosiologi sastra, yang
dikaji adalah masalah-masalah sosial yang tercermin atau mungkin tersirat dalam
suatu karya sastra maupun yang menjadi tujuan penulisan karya sastra itu sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Sementara pengaruh sastra pada pembaca mengkaji persoalan yang dialami
pembaca dan pengaruh suatu karya sastra terhadap pembacanya atau pada
masyarakat umum (Sujarwa, 2019: 40).
1.7.2 Aspek Sosial
Pengertian aspek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi
kelima adalah sudut pandang tertentu dan sosial diartikan sebagai segala sesuatu
yang berkenaan dengan masyarakat. Fenomena yang terjadi di masyarakat
dijelaskan melalui sudut pandang tindakan sosial yang terjadi karena pihak yang
berinteraksi melakukan interpretasi terhadap tindakan orang lain dan saling
memahami maknanya (Suharjito, 2019: 160-161)
Aspek sosial dimaknai sebagai cara memandang aksi, interaksi, dan fenomena
sosial dalam kehidupan sosial (Setianingsih, 2016: 3). Menurut Soelaeman (2009:
173), aspek sosial dibagi berdasarkan bidang sosialnya, yaitu (1) budaya yang
meliputi kepercayaan, seni, nilai, simbol, norma, moral, politik, dan pandangan
hidup umum yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat, (2) lingkungan sosial,
meliputi hubungan sosial, kelas sosial, profesi, kependudukan, kriminalitas,
pelacuran, dan sebagainya, (3) ekonomi, meliputi produksi, distribusi, konsumsi,
pendapatan, kemiskinan, gaya hidup, dan lain sebagainya.
Istilah kebudayaan dalam arti luas adalah produk-produk tindakan, interaksi
manusia, dan karya cipta manusia yang berupa materi dan nonmateri. Kebudayaan
nonmateri meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan
tata cara hidup masyarakat (Soelaeman, 2015: 67).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Dalam lingkungan sosial, terdapat satuan-satuan yang melingkari individu,
yaitu lembaga, komunitas, dan masyarakat. Satuan lingkungan sosial memiliki
karakteristik yang setiap kali berbeda fungsi, struktur, peranan, dan proses yang
berlangsung di dalamnya. Posisi, peranan, dan tingkah laku diharapkan sesuai
dengan tuntutan satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu (Soelaeman, 2015:
124).
Dalam ekonomi, terdapat pola relasi yang meliputi pola relasi antara manusia
sebagai subjek dengan sumber kemakmuran, seperti alat produksi, fasilitas negara,
dan kekayaan sosial. Pola relasi antara subjek dengan hasil produksi menyangkut
masalah distibusi hasil dan pola relasi peranan subjek sebagai komponen sosial-
ekonomi yang berkaitan dengan mekanisme pasar (Soelaeman, 2015: 230).
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan struktural (objektif) dan pendekatan mimetik. Pendekatan objektif
merupakan pendekatan yang pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.
Maka dengan demikian, pendekatan objektif memusatkan perhatian pada unsur-
unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik (Ratna, 2004: 73).
Akar sejarah pendekatan mimetik adalah pandangan Plato yang berpendapat
bahwa karya sastra tidak dapat mewakili kenyataan yang sesungguhnya karena
merupakan tiruan (Ratna, 2004: 70). Sosiologi sastra merupakan perkembangan
dari pendekatan mimetik sebab pendekatan mimetik memahami karya sastra
dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan (Wiyatmi,
2006: 97)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
studi pustaka. Metode studi pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah
bahan penelitian (Zed, 2008: 3). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data
yang relevan terkait novel Maria dan Mariam. Sumber referensi berupa buku-
buku, artikel, maupun tulisan yang terkait dengan objek penelitian yang diteliti.
Teknik yang digunakan dalam metode pengumpulan data adalah dengan
teknik baca dan teknik catat. Teknik baca dilakukan dengan membaca novel
Maria dan Mariam secara berulang-ulang agar mendapat pemahaman tentang
cerita sehingga menemukan data yang diperlukan. Untuk memahami karya sastra,
diperlukan kemampuan membaca agar dapat memaknai isi dalam bacaan karya
sastra tersebut (Gasong, 2019: 14). Teknik catat dilakukan setelah teknik pertama
selesai dilakukan dengan mencatat data dan dilanjutkan dengan
mengklasifikasikannya (Sudaryanto, 1993: 135).
1.8.2 Metode Analisis Isi
Data yang telah terkumpul akan dianalisis menggunakan metode analisis
isi yang berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal dalam bentuk
bahasa, atau dalam nonverbal. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksud berupa
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan termasuk propaganda. Jadi, yang
termasuk keseluruhan isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia (Ratna,
2004: 48).
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Metode penyajian analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif. Dalam metode deskriptif kualitatif, hasil data
penelitian berupa pemaknaan karya sastra yang disajikan secara deskriptif
(Sengke, 2018: 17).
1.8.4 Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Maria dan Mariam
karya Farahdiba.
Judul Novel : Maria dan Mariam
Pengarang : Farahdiba
Tahun Terbit : 2006
Penerbit : PT. One Earth Media
Jumlah : xxii+281 halaman
Cetakan : Pertama
ISBN : 9792620001
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab, sistematikanya adalah
sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang dibagi lagi menjadi delapan sub
bab, yaitu (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4)
manfaat hasil penelitian, (5) pendekatan, (6) tinjauan pustaka, (7) pendekatan, (8)
landasan teori, (9) metode penelitian, dan (10) sistematika penyajian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Bab II berisi penjelasan dan deskripsi hasil analisis struktur novel Maria
dan Mariam yang meliputi tokoh dan penokohan, latar, dan alur dalam cerita. Bab
III berisi deskripsi aspek sosial yang meliputi aspek budaya, lingkungsan sosial,
dan ekonomi yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Bab
IV berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran bagi penelitian yang
akan dilakukan selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
BAB II
STRUKTUR NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA
2.1 Pengantar
Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis struktur novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba. Struktur novel yang akan dianalisis meliputi tokoh dan
penokohan, latar, dan alur. Mengenai struktur karya sastra, Nurgiyantoro (2015:
57) berpendapat sebagai berikut. “Struktur karya sastra juga menunjuk pada
pengertian adanya hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik,
saling menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu
kesatuan yang utuh.”
Analisis struktur novel Maria dan Mariam bertujuan untuk memaparkan
keterkaitan antarunsur dan hubungan tiap unsur tersebut dalam membangun cerita
di dalam novel.
2.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku dalam cerita dan penokohan adalah watak atau karakter
tokoh tersebut. Istilah “penokohan” memiliki pengertian yang lebih luas karena
mencakup tokoh dalam cerita dan pelukisan perwatakannya dalam cerita sehingga
memberi gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2015: 248).
Tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, tokoh utamanya adalah Maria. Tokoh-
tokoh tambahannya adalah Mariam, Guru Dharmo, Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan.
Berikut analisis tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam karya
Farahdiba.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
2.2.1 Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang penceritaannya diutamakan dan paling
banyak diceritakan dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama selalu hadir
dalam setiap kejadian dan menentukan perkembangan plot cerita secara
keseluruhan (Nurgiyantoro, 2015: 259). Berikut analisis tokoh utama dan
penokohannya.
2.2.1.1 Tokoh dan Penokohan Maria
Maria merupakan perempuan yang memiliki tidak terlalu memperhatikan
penampilan. Ia tidak seperti perempuan masa kini yang akan berdandan cantik
atau memakai pakaian yang rapi. Maria senang berpenampilan sederhana dan
biasa saja. Selain gaya berpakaiannya yang bebas, Maria adalah perempuan yang
cerdas, kritis, dan tidak takut berbicara secara terus terang. Hal itu tampak dari
kutipan berikut.
(1) Saat itu di depan sekretariat, tempat pendaftaran pesantren kilat, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh suara lantang, “Spada! Assalammu’alaikum!” Lalu
terlihat seorang gadis manis namun dengan dandanan layaknya seorang
aktivis yang baru habis berdemonstrasi di depan Markas Kodam.
Bercelana jins lusuh, menggantungkan ransel di bahu kanannya dan
berkaos hitam dengan tulisan: “Kaum Demokrat Mencibir Ketika
Perempuan Bersikap Kritis”.
(Farahdiba, 2006: 10)
(2) “Loh, aku juga Islam, Mbak. Bagiku, Nabi Isa, Yesus Kristus, adalah
orang yang sama, seperti halnya Maria, Mariam, Yusuf atau Joseph. Setiap
nama toh bisa ditulis dengan cara yang berbeda-beda. Yang penting
artinya sama.” kembali Maria terdiam. Baru kali ini ia bertemu seseorang
yang demikian ajaib. Keterusterangannya membuat gerah, sekaligus
penasaran.
(Farahdiba, 2006: 13)
(3) “Jadilah diri kalian apa adanya, sepenuhnya. Jangan seperti yang lainnya.
Lagipula, kita ini siapa bisa menentukan keyakinan seseorang itu salah
atau benar? Memangnya kita sudah ketemu sendiri sama Tuhan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Bertanya: ‘Han, han ... agama yang paling bener yang mana ya ‘Han?” Ira
menjadi geli sendiri. Inilah bagian yang paling disukainya dari sepupu
sintingnya. Bebas bicara apa saja, dan tidak ada yang bisa membantahnya.
(Farahdiba, 2006: 42)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bagaimana kesan pertama Mariam
ketika bertemu Maria. Mereka bertemu ketika Maria mendaftarkan diri menjadi
peserta kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh Pondok Pesantren Al-Aziz.
Perempuan yang datang ke pesantren biasanya berpenampilan rapi, sopan dan
sudah mengenakan busana muslim. Namun, penampilan Maria sungguh berbeda
dari perempuan lain yang akan mengikuti kegiatan pesantren kilat. Maria
digambarkan sebagai perempuan muslim dengan pemikiran yang terbuka, ia tidak
takut menyampaikan pendapatnya secara terus terang. Maria juga membenci
aturan-aturan yang dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
(4) Dalam tiga minggu saja, Mariam yang berusaha keras untuk
“menaklukkan” Maria, sesungguhnya malah mendapatkan segunung
inspirasi dari sahabatnya. Pertanyaan-pertanyaannya sungguh tak terduga.
Begitu bebas. Namun, memiliki ketulusan. Mariam dapat merasakannya.
Maria punya pandangan yang aneh sekali tentang bagaimana menjadi
perempuan Islam sejati. “Bagiku, keislaman tidak harus ditonjolkan
dengan pakaian atau simbol-simbol yang lain, Mbak. Yang penting, ia
membawa kebaikan buat semua. Ia juga harus bisa menerima kemajuan,
termasuk dalam bidang fashion, ilmu pengetahuan, film, musik, dan
sebagainya. Tidak kaku, dan... agak gaul gitu lho, Mbak,” ujarnya suatu
kali, meniru-niru gaya remaja ibukota.
(Farahdiba. 2006: 34)
Dalam kutipan (4) diperlihatkan bahwa Maria adalah perempuan muslim
yang dapat menerima keterbukaan pemikiran terhadap kemajuan. Ia juga
membenci aturan-aturan kolot yang dapat menyebabkan ketidakadilan bagi
sebagian orang. Menurut Maria, aturan-aturan yang ada di pondok pesantren
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
butuh diperbaharui seturut perkembangan zaman. Hal itu tampak dalam kutipan
berikut.
(5) Ia gelisah memikirkan aturan-aturan tidak adil yang berlaku di pondok
pesantren, di jaman modern seperti sekarang ini. Kenapa tidak ada aturan
yang lebih terbuka, yang lebih maju? Intervensi terlalu besar terhadap hak-
hak setiap orang. Ia tak habis mengerti mengapa orang tidak boleh saling
jatuh cinta. Menurutnya, dunia ini hanya bisa menjadi semakin baik, kalau
semakin banyak orang yang jatuh cinta. Jangan-jangan orang yang
membuat segala macam peraturan itu adalah orang-orang yang sudah mati
rasa—atau terlalu munafik?
(Farahdiba, 2006: 20)
(6) “Ya, sepakat. Tapi, aturan dalam pondok itu sangat menyesatkan para
santri. Mereka kelak hanya akan seperti itu saja pola pikirnya. Bagaimana
bisa mengharapkan kemajuan? Gus Falah harus ikut bertanggung jawab
dengan pola pikir santri itu, bila kelak mereka menjadi pemimpin dalam
bidangnya masing-masing,” Maria masih sengit.
“Terlalu jauh kamu berpikr Maria,” giliran Gus Falah yang memanas. “
Gus bisa lihat sendiri... Apa kata orang-orang di luar sana, nanti. Pantas
saja kalau kita dibilang kampungan. Dalam hal-hal yang sangat umum pun
kita masih belum bisa bersikap terbuka. Kita masih terus-terusan
dikungkung. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tidak ada kebebasan untuk
bersikap dan berpendapat. Katanya percaya demokrasi, tapi keputusan
akhir selalu dari...”
(Farahdiba, 2006: 54)
Dalam kutipan (5) dan (6) diperlihatkan saat Maria mengkritik peraturan
di pondok pesantren yang menurutnya sudah ketinggalan zaman. Maria
menginginkan perubahan pola pikir dan aturan yang menurutnya akan membawa
kemajuan bagi pondok pesantren. Maria juga kerap dicap berbeda karena
pemikiran dan cara pandangnya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(7) “Ha ha ha ha... sepertinya selalu begitu. Aku sendiri bingung. Di hampir
setiap lingkungan yang aku kunjungi atau di manapun aku beraktifitas,
selalu saja aku dicap aneh dan berbeda,” ujar Maria lebih santai.
(Farahdiba, 2006: 56)
(8) “Iya. Seperti sekarang ini. Banyak orang yang tidak bisa menerima cara
pandangku. Kemudia mereka mengucilkanku. Ada pula yang mengatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
bahwa aku sudah gila, sudah melanggar disiplin moral segala. Aku sendiri
tidak mengerti, disiplin moral itu seperti apa.”
(Farahdiba, 2006: 56)
Dalam kutipan (7) dan (8) diperlihatkan bahwa Maria sering tidak diterima
oleh lingkungannya karena cara berpikirnya dan sikapnya yang suka mengkritisi
sesuatu. Selain itu, Maria adalah orang yang memiliki rasa penasaran yang tinggi
terhadap banyak hal. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(9) Maria merasa terhibur mendengarkan penjelasan papanya. Namun rasa
penasaran akan Tuhan dan akan kehidupan setelah mati, terus terbawa
dalam hidupnya. Maria tidak puas dan tidak akan pernah puas sebelum ia
menemukan sendiri jawabannya.
(Farahdiba, 2006: 86)
(10) Akhirnya Maria terus terang, “Martha, ada keinginan yang sangat dalam
hatiki, untuk mengenali sesuatu yang mungkin masih misterius buatku..
Aku sendiri tidak tahu persis apa... Kamu tahu latar belakang keluargaku.
Kadang-kadang aku masih bingung dan tidak terima bila ada yang
bertanya, ‘Agamamu apa, Maria’ Biasanya, aku tak peduli dengan
pertanyaan itu... Biasanya aku akan balik bertanya, ‘Memangnya Tuhan
beragama apa’ Tapi, sekarang, aku benar-benar pusing. Apa sebenarnya
makna agama buat manusia? Mengapa semua oang mempersoalkannya?
Apa itu Tuhan? Kita semua membicarakanNya, kadang-kadang
mengatasnamakanNya, tapi berapa banyak yang sudah mengenalNya?
Aku ingin, Martha. Aku ingin mencari, meskipun aku tidak tahu harus
mulai dari mana....”
(Farahdiba, 2006: 96-97)
Kutipan (9) dan (10) menunjukkan bahwa Maria memiliki rasa penasaran
yang tinggi dan memiliki ambisi untuk mencari jawaban atas banyaknya
pertanyaan dalam hidupnya. Maria merasa gelisah ketika rasa penasarannya
belum terjawab. Selain itu, Maria adalah sahabat yang setia. Maria meanganggap
Mariam sebagai sahabat sekaligus mentornya di pondok pesantren. Ia rela
dikeluarkan dari pondok pesantren untuk melindungi nama baik Mariam. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
(11) Maria, akhirnya memang harus pergi. Aturan untuk menjaga kewibawaan
pondok harus dipertahankan. Dalam setiap hubungan yang melibatkan
santri laki-laki dan perempuan, biasanya, keduanya yang harus pergi
meninggalkan pesantren. Namun, kali ini, hanya Maria yang pergi. Ada
1001 alasan yang dapat digunakan untuk mempertahankan Falah. Intinya,
Falah hanyalah korban. Titik.
Hanya karena kesamaan nama, “De’ Mar”, Maria telah berkorban demi
sahabat barunya. Semua orang percaya bahwa Maria yang mempunya
hubungan dengan Gus Falah. Maria sendiri tidak tega melihat Mariam
terusir dari lingkungan yang telah membesarkannya. Di atas semua itu, ia
merasa harus terus mendorong hubungan antara Mbak Mar dengan Gus
Falah.
(Farahdiba, 2006: 33-34)
Maria rela dijadikan kambing hitam untuk menutupi hubungan Mariam
dan Gus Falah agar Mariam tidak diusir dari pondok pesantren. Tindakan itu
dilakukannya karena sudah tidak betah berada di pondok pesantren. Maria
berharap akan menemukan kebebasannya lagi setelah keluar dari pondok
pesantren.
2.2.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang kejadiannya lebih sedikit diceritakan
dalam novel dibandingkan tokoh utama dan kejadiannya hanya ada jika berkaitan
dengan tokoh utama (Wicaksono, 2017: 186). Tokoh-tokoh tambahan dalam
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba adalah tokoh Mariam, Guru Dharmo,
Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan. Berikut dipaparkan analisis tokoh dan
penokohannya.
2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan Mariam
Siti Mariam adalah santriwati yang tinggal di Pondok Pesantren Al-Aziz. Ia
menjadi santriwati kebanggaan pesantren karena cerdas dan parasnya yang cantik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Kecantikan dan kepintarannya membuat dua orang lelaki, yaitu Kiai Shiddieq dan
anaknya, Gus Falah, jatuh hati kepadanya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(12) Siti Mariam lebih dikenal dengan panggilan “Mbak Mar”. Selain cantik
dan pintar, ia seorang hafidzah—hapal di luar kepala semua ayat Al-
Qur’an. Predikat yang sungguh membanggakan seluruh pondok pesantren,
khususnya Ibu Nyai Fatimah, istri Almarhum Kiai Haji Faqih, tokoh yang
dulu mengasuh Pondok Pesantren Al-Aziz.
(Farahdiba, 2006: 6)
(13) “Ibu tidak pernah bertanya lebih dulu padaku, apakah aku suka atau
menerima lamaran Kiai Shiddieq,” ujar Mariam lirih.
“Bilang saja sama Ibu, kalau kamu keberatan... ‘Aku ndak cinta sama Kiai
bangkotan itu’. Selesai perkara.”
“Astagfirullah ‘De, jangan begitu. Bagaimana kalau didengar orang-
orang... Beliau itu Kiai besar, tidak baik menghujat seperti itu.”
(Farahdiba, 2006: 9)
(14) “Mbak Mar, aku tidak bisa membayangkan kalau Gus Falah sampai tahu.
Ia harus bersaing dengan ayahnya sendiri. Sorry, Mbak, tapi Gus Falah
harus tahu kalau bapaknya juga mengincar calon mantunya.”
(Farahdiba, 2006: 15)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa Mariam diam-diam menjalin
hubungan dengan Gus Falah, anak Kiai Shiddieq. Sementara itu, Kiai Shiddieq
juga berniat menjadikan Mariam istrinya. Mariam ingin menolak lamaran Kiai
Shiddieq, tetapi ia tidak tega melihat ibu asuhnya sedih jika ia menolak lamaran
itu.
Mariam adalah perempuan yang kritis. Namun, ia tidak dapat
mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Ia iri dengan keberanian Maria yang
tidak takut mengungkapkan pendapatnya secara gamblang. Hal itu tampak dalam
kutipan berikut.
(15) Mariam tersenyum kecut, ia sebetulnya mengetahui hal itu. Namun, di
lingkungan ini, ia tak selalu bisa mengekspresikan jalan pikiannya. Ibu
Nyai yang sering mendengarkan keluh-kesahnya, seringkali cuma bisa
tersenyum kala mendengar ide-idenya yang tidak biasa. Ibu Nyai sendiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
sudah mengajarinya untuk tidak terjebak dalam simbol dan lebih
mengutamakan substansi.
(Farahdiba, 2006: 12)
(16) “Aduh De’, kamu ini ada-ada saja,” kali ini Mariam harus menahan geli
sekuat tenaga. Ucapan Maria seperti mewakili salah satu lintasan
pikirannya sendiri yang tak pernah berani ia ungkapkan. Entah mengapa ia
menyukai kawannya yang kurang ajar ini. Sejenak ia mengingat kembali
pertemuan pertamanya dengan Maria.
(Farahdiba, 2006: 10)
Dalam kutipan (15) dan (16) dipelihatkan bahwa Mariam sebenarnya kritis
dan terbuka terhadap hal-hal baru.. Namun, lingkungan pesantren yang kental
dengan budaya patriarki membuatnya tidak bisa menyuarakan pikiran dengan
bebas.
Mariam yang tidak sanggup menolak lamaran Kiai Shiddieq memilih
untuk kabur dari pondok pesantren. Ia sudah tidak tahan tinggal di lingkungan
pondok pesantren yang malah membuatnya terkungkung dan tidak bebas untuk
mengekspresikan diri. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(17) “Ibu Nyai tetap menikahkanku dengan Kiai Shiddieq, hari ini. Dan
sekarang saatnya aku menentukan sikap. Aku kabur meninggalkan
mereka. Aku sudah tak tahan...,” meledaklah tangis Mbak Mr. Tidak ada
lagi kesan anggun, keibuan yang selama ini ia tunjukkan pada para santri,
termasuk pada Maria.
Aku sudah capek, Maria. Kali ini, aku ingin menjadi diriku sendiri.
Perkawinan ini tidak boleh terjadi. Satu-satunya jalan, aku harus pergi
meninggalkan lingkungan yang mengungkungku. Aku harus, aku harus...”
Maria tidak berbicara apa-apa. Ia hanya memeluk sahabatnya yang sedang
terguncang itu.
(Farahdiba, 2006: 66)
Mariam mendatangi Maria untuk meminta pertolongan agar dapat pergi
sejauh mungkin dari Kota Yogyakarta. Mariam tidak ingin kembali lagi ke
pondok pesantren dan ingin mencari kebebasan. Maria menyuruh Mariam pergi
ke Jakarta bersama Ira, saudara sepupunya. Keputusan Mariam untuk kabur dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
pondok pesantren membuat Maria terkejut dan senang. Selama ini, Mariam tidak
pernah berani mengambil keputusan karena lingkungan pondok yang menjadikan
perempuan sebagai subordinat. Selepas keluar dari pondok pesantren, kehidupan
Mariam justru berubah drastis.
(18) “Setahun lebih aku bekerja di Cafe itu. Saat itulah, aku benar-benar
menjadi orang yang mandiri. Bebas menentukan langkahku sendiri. Tidak
munafik,” kata-kata yang terakhir diucapkannya dengan sedikit keras.
Mariam sempat terlibat hubungan asmara dengan salah seorang
pengunjung setia Cafe, anak seorang pejabat tinggi, yang akhirnya putus
karena pacarnya sangat pencemburu. Sejak saat itu, Mariam tidak pernah
mau lagi membina hubungan asmara dengan pria lokal yang disebutnya
“anak mami” itu. Dari sana pula ia kemudian bertemu dengan Andrew,
kekasihnya saat ini.
(Farahdiba, 2006: 269)
(19) Maria sedih mendengar cerita Mbak Mar. Meski tidak diekspresikan,
Maria merasa ada kegetiran yang terpendam di balik penampilan Mbak
Mar. Perubahan yang terlalu drastis semacam itu, baginya sangat tidak
wajar. Ia telah cukup banyak mengamati berbagai jenis karakter orang.
Mereka yang mudah berubah secara ekstrem, biasanya memiliki tingkat
ketidakstabilan mental yang tinggi. Ia kasihan terhadap sahabatnya ini.
Dulu “kearab-araban”, kini “kebarat-baratan”.
(Farahdiba, 2006: 270)
Mariam mengekspresikan diri sebebas-bebasnya setelah tidak lagi tinggal
di pondok pesantren. Namun, kepribadian Mariam yang berubah drastis justru
membuat Maria sedih dan prihatin karena Mariam telah menjadi ‘gadis
metropolis’.
2.2.2.2 Tokoh dan Penokohan Guru Dharmo
Guru Dharmo atau Dharmo Budi adalah pemilik padepokan spiritual
sekaligus guru spiritual Maria. Ia memiliki perawakan tinggi besar dengan sorot
mata tajam. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
(20) Maria menoleh. Tampak seorang laki-laki tinggi besar dengan kulit agak
gelap. Sorot matanya tajam, namun teduh. Sosok yang sulit ditebak. Sesaat
Maria termangu, ia tak tahu harus bagaimana sekarang.
(Farahdiba, 2006: 78)
(21) Senin sore. Maria sudah mendatangi padepokan Guru Dharmo. Ia sengaja
datang lebih awal, berharap bisa berbincang-bincang dengan Guru
Dharmo. Namun, sebelum memasuki lantai dua rumah itu, ia berpapasan
dengan Armapali.
(Farahdiba, 2006: 105)
Dalam kutipan (20) dan (21) diperlihatkan perawakan Guru Dharmo. Ia
memiliki toko kain dan padepokan spiritual, tempat Maria mendaftarkan diri
sebagai muridnya. Sebagai seorang guru spiritual, Guru Dharmo adalah orang
yang bijaksana. Pemikirannya yang tidak biasa kadang membuat Maria tidak
memahami ajaran Guru Dharmo dengan mudah. Meski begitu, Maria
menganggap bahwa ajaran dari Guru Dharmo dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaannya selama ini dan mengobati kegelisahannya. Hal tersebut tampak
dalam kutipan berikut.
(22) Tiba-tiba Guru Dharmo berbicara pula tentang materalisme yang
berkembang di zaman edan ini, “kita tanpa terkecuali, telah menjadi sangat
materialistik. Apapun yang kita lakukan, selalu kita nilai dengan uang.
Melihat harga barang yang mahal, kita menuduh si penjual barang terlalu
materialistik—padahal, sikap kita yang terlalu berhitung ‘untung-rugi’-pun
tak lain adalah cerminan dari betapa materialistiknya diri kita. Oleh karena
itu, di zaman ini, kita harus menyadar-nyadarkan diri, setiap saat. Setiap
detik.” Di bagian belakang, Maria terisak dengan perlahan. Pelajaran
pertama tentang kesadaran sudah ia dapatkan. Ia hanya tak menyangka
bahwa untuk melangkah maju, selalu akan ada rasa sakit dan air mata.
(Farahdiba, 2006: 108)
(23) Tak mudah baginya menerima perkataan Gurunya, Padahal, yang
dibicarakan adalah soal-soal keseharian. Guru Dharmo tidak pernah
berbicara tentang Tuhan yang abstrak. Ia bicara tentang Tuhan yang dapat
ditemui oleh setiap orang—dan justru itu, ia tidak dimengerti oleh orang
kebanyakan.
(Farahdiba, 2006: 110)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
(24) Di bawah bimbingan Guru Dharmo, Maria menyadari bahwa mencintai
lingkungan dan memperhatikan hal-hal kecil di sekitar kita, sesungguhnya
adalah tindakan-tindakan besar. Dengan menggunakan bahasa sains
modern yang populer, Guru Dharmo menjelaskan bahwa setiap benda atau
bentuk, sesungguhnya adalah bentuk lain dari energi. Segala sesuatunya
adalah energi! Tidak ada yang namanya benda mati. Energi itu saling
berinteraksi dengan pikiran dan emosi kita, manusia—yang juga
merupakan bentuk energi yang lebih tinggi.
(Farahdiba, 2006: 111-112)
Dalam kutipan (22), (23), dan (24) diperlihatkan ajaran-ajaran yang
diberikan Guru Dharmo kepada para pengikutnya di padepokan. Ajaran-ajaran
Guru Dharmo memberikan banyak pengaruh terhadap cara berpikir Maria. Maria
menganggap Guru Dharmo mampu menjawab segala pertanyaan dan rasa
penasarannya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(25) “Jadi, beragama perlu atau tidak...?” tanya Maria masih penasaran.
“Ha ha ha ha... Kau harus menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaanmu.
Sekarang tergantung padamu. Tak ada jawaban yang berlaku sama untuk
setiap orang. Kau tak bisa meminta orang lain terus menyuapimu, Kau
harus mencapai kesadaranku, Maria. Jangan terus-menerus menjadi
pengikutku.”
(Farahdiba, 2006: 120)
(26) Sejak pertemuannya dengan Guru Dharmo, rasa gelisah itu sempat hilang
entah ke mana. Dulu, ia gelisah karena setiap tempat maupun lingkungan
yang ia singgahi selalu saja memiliki cara pandang yang berbeda
dengannya—mulai dari keluarga besar Papanya yang tidak menyukai
perkawinan kedua orangtuanya hingga ke lingkungan pesantren yang
sempat dimasukinya. Semua itu, dalam pikirannya, sudah dapat diatasi
ketika “mondok” di padepokan Guru Dharmo selama sebulan penuh.
(Farahdiba, 2006: 129)
Dalam kutipan (26) dan (27) diperlihatkan bahwa Maria sangat
tergantung pada Guru Dharmo. Maria seolah menemukan orang yang dapat
menjawab semua pertanyaannya terkait banyak hal, seperti agama dan kehidupan.
Namun, Guru Dharmo berharap agar Maria dapat menemukan jawaban-jawaban
dari pertanyaannya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.2.2.3 Tokoh dan Penokohan Falah
Falah adalah anak dari Kiai Shiddieq, seorang Kiai besar di Pondok
Pesantren Al-Aziz. Falah adalah kekasih Mariam dan mereka menjalin hubungan
diam-diam karena para santri dilarang berpacaran di dalam pondok. Falah adalah
lelaki tampan yang membuat banyak santriwati jatuh cinta dan saling berebut
untuk mendapat perhatiannya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(27) Mendengar nama Gus Falah, yang tak lain adalah kekasihnya, Mariam
tertunduk lesu sambil menghela napas panjang. Setelah beberapa saat,
akhirnya ia mengungkapkan, “Kamu tahu siapa Kiai Shiddieq? Dia
ayahnya Mas Falah...”
(Farahdiba, 2006: 14)
(28) “Hmmmm, apa maksudnya ini?” Maria membatin. Dipandangnya laki-
laki yang masih berdiri di sampingnya “Lumayan juga, gagah. Dan
senyumnya memang mengesankan. Pantas saja Mbak Mar sampai
bertekuk lutut. Pantas pula kalau para santri perempuan saling bersaing
untuk menarik perhatiannya.”
(Farahdiba, 2006: 24)
Falah menjalin hubungan dengan Mariam secara diam-diam karena
peraturan di dalam pondok pesantren melarang para santri untuk berpacaran agar
dapat fokus belajar. Jika ada yang ketahuan berpacaran, maka keduanya akan
dikeluarkan dari pondok pesantren. Meski begitu, Falah yang jatuh cinta pada
Mariam tetap nekat mendekati perempuan itu. Hal itu tampak dalam kutipan
berikut.
(29) Dengan bergulirnya hari, kerinduan sering berubah menjadi tuntutan—
keinginan untuk menguasai. Bagai candu Apalagi ketika Falah mulai rutin
mengirimkan syair-syairnya—dan sesekali, membacakannya secara
berbisik dari balik tembok pemisah. Sedikit saja terlambat mmperoleh
surat, Mariam akan menjadi tak stabil emosinya. Ia bisa marah, lalu
mengucurkan air mata—untuk kemudian tersenyum bahagia.
(Farahdiba, 2006: 33)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Dalam kutipan (29) diperlihatkan cara Falah dan Mariam berkomunikasi
secara diam-diam di dalam pondok pesantren melalui surat rahasia. Falah dan
Mariam sangat berhati-hati agar hubungan keduanya tidak diketahui oleh siapa
pun. Setiap mengirimkan surat-surat untuk Mariam, Falah selalu menuliskan
nama “De’ Mar”, panggilan Falah untuk Mariam. Ketika surat cinta dari Falah
diketahui oleh petinggi pondok pesantren, mereka mengira surat itu untuk Maria
karena kesamaan nama panggilan. Maria juga sering dipanggil “De Mar” selama
berada di pondok pesantren. Akibat kesalahpahaman itu, Maria dituduh
berpacaran dengan Falah dan dikeluarkan dari pondok pesantren. Hal itu tampak
dalam kutipan berikut.
(30) “Sudahlah Maria. Kamu masih bisa bercanda, padahal apa yang terjadi
malam ini pasti sangat menyakitkan buat kamu. Aku malu... sebagai orang
yang terlibat di dalamnya, tidak bisa berbuat apa-apa.” Falah merasa
kikuk. Maria memandangnya cukup lama, sebelum membuang
pandangannya ke gerbang losmen. Ia sesungguhnya kasihan pada orang
ini.
“Semestinya Dik Maria bisa berkata jujur. Katakan yang sebenarnya,
dengan begitu Dik Maria tidak perlu terusir dari pondok.”
Jeda
“Sebetulnya aku yang harus keluar dari pondok itu. Aku betul-betul malu
dengan kejadian ini...”
Maria berusaha keras menguasai emosinya, namun ia terlanjur membuka
suaranya, “Makanya, kalau tulis surat, gunakan nama yang lengkap.
Teruntuk: Siti Mariam. Jangan cuma De’ Mar. Aku juga sering dipanggil
De’ Mar sama orang-orang di pondok. Jadinya, mereka pikir memang aku
yang pacaran dengan Gus Falah.” Maria bicara blak-blakan. “Dan maaf
Gus Falah, kalau mau terus menyalahkan diri sendiri, bukan di sini
tempatnya...”
(Farahdiba, 2006: 52)
Dalam kutipan (30) diperlihatkan bahwa kecerobohan Falah ketika
menulis surat cinta untuk Mariam membuat orang-orang salah paham mengira
surat itu untuk Maria. Maria yang terkena imbasnya harus dikeluarkan dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
pondok pesantren dengan tidak terhormat. Dalam perbincangannya dengan Falah
setelah dikeluarkan dari pondok pesantren, Maria mengkritik aturan di pondok
pesantren yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Falah tidak terima
terhadap pendapat Maria menilai Maria tidak cocok dengan lingkungan pondok.
Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(31) “Maria,” Falah memotongnya. “Kamu terlalu emosional. Sudah berapa
lama kamu mengenal pondok pesantren, hah? Setahun? Dua tahun? Atau
baru kemarin?”
“Tidak usah lama-lama... Cukup sekarang ini saja. Sekali dalam hidupku,”
kali ini Maria yang tersudut.
“Tidak semua pondok pesantren mempunyai aturan yang sama. Semua
kembali pada orang-orangnya, pada figur sentral di sana. Maria, aku lahir
dan besar dalam pondok pesantren, tapi apakah pemikiranku sama dengan
mereka? Lupakah kamu bahwa ada begitu banyak tokoh-tokoh bangsa
yang berpikiran terbuka dan luas, yang lahir dan dibesarkan dalam
lingkungan pesantren?”
Jeda
“Aku juga tidak menyalahkan kamu untuk menilai aturan pondok.
Masalahnya, kamu salah masuk. Orang yang berjiwa terbuka sepertimu,
tidak akan pernah cocok di lingkungan pondok di manapun. Tidak semua
orang bisa seperti kamu. Bagi mereka, kedisiplinan itu sangat penting,
agar para santri bisa belajar dengan serius. Tradisi harus dihormati. Orang
sepertimu butuh lembaga yang berbeda...,” nada bicara Falah merendah.
(Farahdiba, 2006: 54-55)
Dalam kutipan (31) diperlihatkan bahwa Falah dan Maria berdebat soal tradisi di
pondok pesantren. Menurut Falah, tradisi di dalam pondok pesantren harus
dihormati dan tidak bisa dikritisi begitu saja sebab memang ada nilai-nilai yang
dipertahankan. Namun, menurut Maria, tradisi di dalam pondok pesantren harus
diubah seturut perkembangan zaman. Akibat perbedaan pendapat mengenai tradisi
di pondok pesantren, terjadi pertentangan pendapat di antara Falah dan Maria.
2.2.2.4 Tokoh dan Penokohan Ira
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Ira adalah saudara sepupu Maria. Ia adalah perempuan muda yang penuh
dengan semangat, tetapi pemikirannya masih belum stabil dan sering berubah
tergantung suasana hatinya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(32) Ini kisah tentang Ira, seorang gadis muda, Ira adalah saudara sepupu
Maria. Ia menganggap dirinya gadis modern, “generasi MTV.”. Segala
perkembangan dunia pop, dari musik, fashion hingga film selalu menarik
perhatiannya. Sayang sekali, semangat kemodernannya tidak disertai
pondasi pemikiran dan nilai-nilai yang cukup kokoh. Ira Cuma memiliki
semangat muda yang membara, dan dengan itu ia ingin mengubah dunia.
Sesungguhnya, tak ada salahnya juga. Untuk “bermain-main” dengan
dunia, toh semua harus terjun dan memiliki modal pengalaman. Betul...
pengalaman memang merupakan guru yang amat berharga.
Ira baru memutuskan bahwa ia “sudah” jatuh cinta. Tapi, ia begitu keras
kepala dan emosional, tanpa mau berpikir panjang.
(Farahdiba, 2006: 39-40)
Dalam kutipan (32) diperlihatkan bahwa Ira adalah gadis muda yang
bersemangat dan selalu mengikuti tren perkembangan zaman. Sayangnya, Ira
sering tergesa-gesa dalam mengambil keputusan tanpa dipikir panjang terlebih
dahulu. Ira juga merasa keluarganya terlalu mengekang hidupnya, padahal ia tidak
mau keluarganya terlalu mencampuri hidupnya karena ia sudah dewasa. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
(33) “Bagaimana dengan keluargamu? Aku dengar mamamu sampai sakit,
karena tidak menyetujui hubunganmu dengan Bernard. Bukankah kamu
anak emas mamamu, Ra?”
“Ibu yang mencari penyakit sendiri, Maria. Aku sudah cukup besar dan
berhal menentulan hidupku sendiri. Aku tidak bisa terus-menerus jadi Ira
si bungsu yang manis yang setiap saat harus laporan: ‘Mau ke sini ‘Ma,
mau ke sana ‘Ma...’”
(Farahdiba, 2006: 40)
(34) Maria berusah menurunkan nada suaranya, lalu melanjutkan, “Ira, baru
kemarin kamu mengatakan bahwa prioritas utama dalam hidupmu adalah
kemandirian, dan aku percaya kamu bisa seperti itu. Tapi, sekarang kamu
malah menggantungkan hidupmu pada seseorang, yang kamu anggap bisa
melepaskan kamu dari kelurgamu, dari mamamu. Kamu ingin bebas, tapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
bagimu, menikah adalah jalan pintas untuk mendapatkan kebebasan itu
kan?”
“Kok kamu jadi menceramahiku, Maria,” Ira protes, namun dengan nada
tak berdaya.
“Sorry. Aku tidak bermaksud menceramahimu. Cuma tolong pikirkan
sekali lagi, apakah itu betul-betul pilihanmu yang final.”
“Pokoknya aku ingin bebas. Capek aku, Maria”
(Farahdiba, 2006: 43)
Dalam kutipan (33) dan (34) diperlihatkan bahwa Ira memiliki jiwa muda
yang penuh semangat dan menginginkan kebebasan. Ira ingin menikah dengan
seseorang benama Bernard agar bisa terlepas dari keluarganya, sayangnya
keputusan itu ditolak keluarganya. Keluarga Ira takut jika Bernard membawa
dampak buruk untuk Ira, apalagi Ira masih belum stabil pemikirannya. Keluarga
Ira malah menikahkannya dengan Nilzam, sahabat Maria, agar Ira tidak lagi
merasa terkekang oleh keluarganya sendiri. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(35) “Mengapa harus menikahkan Ira dengan Nilzam, Om” tanya Maria hati-
hati.
“Tidak ada jalan lain, Maria. Keputusan itu diambil secara mendadak pada
hari Kamis malam. Seluruh keluarga menganggap itulah yang terbaik...
Dengan mengawinkan Ira dengan Nilza, Om sekeluarga tidak lagi punya
tanggung jawab terhadap Ira. Ia menjadi tanggung jawab suaminya... Tapi,
sekarang... Ira pasti semakin marah pada Om...” Nada suara Om Ardi
menunjukkan penyesalan.
Sudah terlambat semuanya. Ada penyesalan juga dalam diri Maria, karena
tidak langsung mendatangi Ira ketika mendapatkan telepon darinya tiga
hari yang lalu. Prosesnya terjadi begitu cepat. Pernikahan kilat. Hari
Kamis dinikahkan, hari Sabtu Ira sudah lenyap. Kabur dari rumah. Maria
berandai-andai, adakah yang dapat ia lakukan untuk menjernihkan
persoalan yang dihadapi Ira dan Om Ardi. “Rasanya memang tidak ada,”
Maria mengambil kesimpulan. Perang sudah terjadi. Semua dalam
keadaan emosi.
(Farahdiba, 2006: 219)
Dalam kutipan (35) diperlihatkan bahwa konflik antara Ira dengan
keluarganya semakin meningkat dan belum mencapai titik damai. Ira kabur dari
rumah setelah dinikahkan dengan Nilzam, orang yang tidak ia cintai. Konflik Ira
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
dengan keluarganya turut menyeret Maria untuk ikut campur dalam mendamaikan
mereka.
2.2.2.5 Tokoh dan Penokohan Nilzam
Nilzam adalah sahabat Maria yang jatuh cinta pada Ira meski cintanya
tidak terbalas. Nilzam sangat menggilai Ira dan merasa frustrasi ketika Ira kabur
dengan Bernard. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(36) Maria memahami apa yang dirasakan Nilzam. Ia merasa kasihan pada
sahabatnya yang jatuh cinta pada sepupunya itu, namun ia tahu persis
bahwa rasa kasihan takkan pernah bisa menghasilkan kebaikan. Ia mudah
bersimpati pada orang yang menderita. Namun, bukan begini caranya
menjadi laki-laki, menjadi manusia. Ia harus membiarkan Nilzam
mengalami sendiri dan melampaui pengalaman itu—tidak dengan sakit
hati dan marah, tapi secara dewasa dan bijaksana. Ia tahu Nilzam hanya
ingin teman bicara, dan belum siap mendengar apa yang hendak
disampaikannya. Karena itu, Maria Cuma bisa mendengar dan berbicara
dalam hati: ‘Sabarlah, sabarlah sahabat... Aku tidak bisa menjanjikan
kemenangan. Yang kamu perlukan adalah kekuatan. Kekuatan yang hanya
akan tumbuh dalam kesabaran.”
(Farahdiba, 2006: 46)
(37) “Bukan begitu... Kamu bilang mencintai Ira, Tapi, kamu begitu berharap
padanya untuk menajdi milikmu?”
“Apa yang salah, Maria? Aku tidak mengerti maksudmu. Belakangan ini,
kamu sudah seperti para filosof...”
“Kalau cinta, ya cinta. Jangan mengharapkan sesuatu dari cinta itu sendiri.
Kalau kamu terlalu berharap banyak hal dari Ira, orang yang kamu cintai,
kamu hanya akan mendapatkan kekecewaan.”
Nilzam memandang sahabatnya. Sebenarnya, sudah sering ia mendengar
hal itu. Namun, tak pernah ia mau memikirkannya. Baginya, kalimat-
kalimat semacam itu hanyalah penghibur bagi orang-orang kalah. Kali ini
pun, ia nyaris membiarkan kalimat-kalimat Maria terbang begitu saja.
(Farahdiba, 2006: 45-46)
(38) “Saat ini, Ira masih segala-galanya buatku, Maria.”
“Fine. Kenyataannya?”
“Dia juga menyakiti aku...”
“Bukan. Kamu yang menyakiti dirimu sendiri. Ira memang keterlaluan
memanfaatkanmu dan berpura-pura menerimamu sebagai suaminya. Tapi,
harapanmu untuk memilikinya, itu yang menjadi sumber masalah
utamanya.” ujar Maria.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
(Farahdiba, 2006: 233)
Dalam kutipan (36), (37), dan (38) diperlihatkan bahwa Nilzam sangat
mencintai Ira dan ingin Ira menjadi miliknya. Namun, konsep tentang mencintai
yang dipahami oleh Maria berbeda dengan pandangan Nilzam. Bagi Nilzam,
mencintai seseorang berarti harus mendapatkannya. Namun, bagi Maria,
mencintai yang sesungguhnya tidak akan mengharapkan imbalan apa pun. Maria
meminta Nilzam untuk tidak berharap apa pun dari cinta itu sendiri dan mencintai
dengan ikhlas agar tidak merasa sakit hati.
2.2.2.6 Tokoh dan Penokohan Jivan
Jivan adalah mantan kekasih Maria. Jivan pernah menjadi aktivis
mahasiswa dan ia bertemu dengan Maria ketika mereka berdua sama-sama
menjadi aktivis. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(39) Jivan adalah orang berpengetahuan luas yang mudah untuk diajak bicara
apa saja. Ia seorang aktivis mahasiswa yang aktif dalam organisasi
kemahasiswaan non-formal serta pers mahasiswa, dan telah berulangkali
mengorganisir demonstrasi mahasiswa, buruh, dan petani. Meskipun aksi
yang mereka lakukan sering terkesan anarkis, namun pembawaan Jivan
sungguh berbeda dengan kebanyakan aktivis mahasiswa. Ia tidak kumuh
dan bisa mengubah-ubah penampilannya. Hanya segelintir orang yang
tahu ayahnya bekerja di sebuah perusahaan milik negara. Ia memang
selalu menghindari pembicaraan tentang diri dan keluarganya.
Namun, kalau sedang mengorganisir demonstrasi maupun memfasilitasi
sebuah diskusi, tidak tersisa sedikit pun Jivan yang introvert. Ia bisa
membakar semangat teman-temannya, maupun orang-orang yang
mendengarkannya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah memiliki
tenaga, karena diucapkan dengan cara berirama. Ia memang seorang
pengagum Soekarno. Pantas saja ia dijuluki “Comandate” oleh teman-
teman seperjuangannya.
(Farahdiba, 2006: 163)
(40) Perlahan-lahan, segala sesuatu menjadi lebih jelas dalam pandangan batin
Maria. Meski berusaha menyangkal, di dalam hatinya selama ini, Maria
masih ingin memiliki Jivan. Laki-laki yang selama 5 tahun pernah menjadi
kekasihnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Hubungan mereka berakhir karena kemarahan mendalam yang dirasakan
oleh Jivan akibat kematian ayah yang sangat dicintainya. Sugeng Winoto,
ayah Jivan, adalah pejabat tinggi di sebuah maskapai penerbangan
nasional.
(Farahdiba, 2006: 150)
Dalam kutipan (39) diperlihatkan bahwa hubungan Jivan dan Maria
berakhir setelah ayah Jivan meninggal dunia. Ayah Jivan adalah pejabat tinggi di
sebuah maskapai penerbangan. Suatu ketika ada kasus kematian seorang aktivis
yang meninggal secara misterius di dalam pesawat milik maskapai penerbangan
ayah Jivan. Ayah Jivan menjadi kambing hitam kasus tersebut sehingga nama
baiknya tercoreng. Kesehatan ayah Jivan terus menurun karena kasus tersebut dan
akhirnya meninggal dunia. Jivan marah atas kejadian tersebut dan ingin
membalaskan dendamnya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(41) Jivan, anak tunggalnya, begitu terpukul. Berminggu-minggu lamanya ia
mencoba mendekati teman-teman aktifisnya untuk membantu memulihkan
nama baik ayahnya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah jawaban basa-
basi. Jivan merasa ditinggalkan. Ia merasa bahwa teman-temannya pun
menghendaki ayahnya menerima hukuman itu. Jivan marah besar. Ia
sesungguhnya adalah seorang introvert yang amat disukai teman-
temannya. Ia dikenal selalu mendamaikan konflik yang terjadi di
lingkungannya. Tak ada yang menyangka bahwa kemarahan sosok
pendiam itu akan begitu dahsyat mengubah hidupnya.
Ia ingin membalas kematian ayahnya. Dengan cara apa, tak jadi soal
baginya. Ia mencari-cari kelompok radikal yang dapat menampung
kemarahnnya, namun tak berhasil.Tak ada lagi kelompok-kelompok
mahasiswa “berhaluan kiri” yang kini masih bertahan. Karl Marx dan Che
Guevara sudah tidak lagi jadi simbol perlawanan—malah sudah mulai
berubah menjadi icon dalam dunia mode. Ia jijik.
(Farahdiba, 2006: 152-153)
Dalam kutipan (41) diperlihatkan bahwa kemarahan Jivan membuat
hidupnya berubah. Jivan yang awalnya adalah sosok yang tenang dan pendiam
mulai berubah menjadi sosok pemarah yang menyimpan dendam. Jivan berniat
membalas dendam kematian ayahnya dengan bergabung bersama kelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
radikal. Jivan semakin membenci ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah
dan membenci teman-teman yang tidak mau membantunya untuk mengembalikan
nama baik ayahnya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(42) Hingga akhirnya ia tak sengaja bertemu Fauzi, teman lamanya, aktifis
pengajian kampus semasa kuliahnya, yang kemudian membawanya
memasuki sebuah kelompok perngajian bergaris keras di pinggiran kota
Depok. Di sana, ia membiarkan kemarahannya “disuapi” dengan
mendengarkan ceramah-ceramah yang radikal. Ia mulai menerima konsep
Tuhan yang pemarah. Segala sesuatu yang dianggapnya “melemahkan”
hati, satu persatu ditinggalkannya. Mulai dari Kahlil Ghibran hingga
Rumi. “Burung-Burung Manyar” karya Romo Mangun, novel favoritnya,
serta kumpulan puisi-puisinya sendiri, dibuangnya begitu saja.
(Farahdiba, 2006: 153)
Dalam kutipan (42) diperlihatkan bahwa hidup Jivan telah banyak berubah
sejak menjadi anggota sebuah kelompok radikal. Jivan menutup diri dan menjauhi
teman-temannya. Keputusan Jivan untuk bergabung dengan kelompok radikal
membuat hubungannya dengan Maria yang telah terjalin selama lima tahun
berakhir. Maria masih belum mampu menerima keputusan hidup yang telah
diambil Jivan. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(43) Cukup lama ia menyesali dirinya sendiri. Maria berandai-andai... Kalau
Jivan meninggalkannya karena menemukan perempuan lain atau karena
sudah “tidak ada kecocokannya” di antara mereka berduda, tentu lebih
mudah baginya melupakan. Mungkin ia akan marah, tapi setelah itu,
takkan pernah menyesal. Tapi, memilih bergabung dengan kelompok
radikal itu, sungguh tidak sesuai dengan karakter Jivan yang selama ini ia
kenal. Jivanku yang menganggung-agungkan kelembutan hati para
penyair, yang sangat membenci kaum fanatik, kini masuk dalam kelompok
itu... hanya karena ia tak dapat mengendalikan amarahnya yang begitu
besar.
“Ya, Tuhan... Mengapa aku tak mampu menyirami jiwanya, memadamkan
amarahnya Tidakkah ada sedikit cinta yang masih tersisa dalam hatinya?”
keluh Maria ketika sedang merana.
“Ya, ampun, Jivan... Kamu bodoh sekali. Tidakkah kamu sadar sedang
bergaul dengan monster-monster yang tidak punya perasaan. Seenaknya
saja mereka mengatasnamakan Tuhan untuk menyerang orang-orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
tak berdosa. Mana bisa kau mempunyai Tuhan yang penuh dendam seperti
itu?” di waktu lain, Maria penuh dengan amarah.
(Farahdiba, 2006: 164)
Maria sangat menyesal tidak dapat membuat Jivan sadar dan kembali
kepadanya. Jivan telah tersesat karena dibutakan dendamnya dan ambisi untuk
membalaskan dendamnya itu. Jivan yang telah bergabung dengan sebuah
kelompok radikal bersiap menjalankan tugas suci, yaitu melakukan bunuh diri
dengan meledakkan diri menggunakan bom. Jivan juga telah mengganti namanya
menjadi Umar. Dia dan beberapa anggota kelompok itu menunggu perintah dari
pimpinan kelompok mengenai siapa yang terpilih untuk membawa bom dan
menjadi pelaku bom bunuh diri. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(44) Umar menunggu Ali yang tidak kunjung kelihatan ke rumah kontrakan
mereka di Jalan Ketapang, Pasar Minggu sejak semalam. Umar dan Ali
adalah bagian dari sejumlah “pengantin” yang telah dipersiapkan untuk
menjalankan tugas suci.
(Farahdiba, 2006: 238)
(45) Umar memiliki beberapa tugas yang harus dijalankannya sekaligus.
Selain menjadi “kepala keluarga”, ia bertugas untuk menjaga semangat
agar terus yakin dengan perjuangan yang sedang mereka jalani. Para
pentolan kelompok itu, sebetulnya tidak mengharapkan Umar untuk turun
langsung ke lapangan. Ia lebih diharapkan untuk berkonsentrasi pada
upaya untuk melahirkan kader-kader baru. Namun, ia bersikeras untuk
ambil bagian dan memberi contoh pada saudara-saudaranya yang berusia
lebih muda.
(Farahdiba, 2006: 239)
Jivan atau yang sekarang dipanggil Umar menjadi sosok yang berpengaruh
di kelompok radikal itu karena kecerdasannya dalam mengorganisasi dan
menyusun strategi. Kelompok radikal itu berniat melakukan jihad dengan
melakukan pengebomam di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Sahabat Umar,
Ali, terpilih sebagai pembawa bom atau yang disebut “pengantin”. “Pengantin”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
inilah yang nanti akan pergi ke lokasi pengebomam dengan membawa bom yang
akan diledakkan bersama dengan dirinya. Ali bergabung dengan kelompok radikal
karena kelompok itu mau membiayai hidupnya dan keluarganya. Setelah rencana
pengboman selesai disusun, Umar baru mengetahui bahwa lokasi peledakkan bom
merupakan lokasi yang sama dengan tempat diadakannya acara apresiasi seni
yang digagas oleh Maria. Umar mengkhawatirkan keselamatan Maria dan tidak
ingin Maria terluka. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(46) Dengan malas ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka
koran yang ada di depannya. Ia membolak-balik halamannya secara acak...
Lalu, matanya terbelalak melihat sebuah iklan kegiatan seni yang dimuat
oleh koran itu. Kegiatan itu akan dilaksanakan Hari Rabu, persis hari ini,
di Cilandak Super Square. Dan yang membuatnya sangat kaget, adalah
nama contact person penyelenggara kegiatan itu... “Masya Allah. Dia ada
di sana,” gumam Umar gemetar. “Ali bisa membunuhnya...”
Napas Umar serasa berhenti. Bayangan wajah kekasihnya yang telah lama
ditinggalkannya sekarang memenuhi layar pikirannya. Kerinduan yang
lama terpendam perlahan-lahan muncul ke permukaan. Wajah riang dan
senyum manis yang seringkali membuatnya merasa dungu... serta tangis
tanpa suara, ketika ia dengan frustrasi menahan kepergian kekasihnya.
Umar merasa kaki-kakinya tak lagi sanggup menahan beban tubuhnya.
(Farahdiba, 2006: 241)
Dalam kutipan (46) diperlihatkan bahwa Umar khawatir jika Maria akan
terluka karena terkena ledakan bom bunuh diri yang akan dilakukan Ali,
sahabatnya. Umar menyadari bahwa ia masih menyayangi Maria dan belum bisa
melupakannya. Umar berusaha melindungi Maria dengan menggantikan Ali
menjadi pembawa bom. Ia berniat meledakkan diri di tempat yang jauh dari
keramaian agar tidak melukai Maria. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(47) Umar menarik napas yang panjang, lalu bicara dengan nada yang tegas,
“Ali, kamu sudah kehilangan Ibu dan adik-adikmu. Cukup sampai di situ.
Pergilah, biar aku yang menangani semuanya. Kalaupun ini harus
meledak, tak ada yang akan mencariku!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Umar sudah bertekad untuk menjauhkan bom dalam ransel hitam itu dari
keramaian dan dari kekasihnya.
(Farahdiba, 2006: 249)
(48) Maria turun dari mobilnya dan cepat-cepat membuka pintu rumahnya.
Tapi langkahnya tertahan di ruang tamu, melihat tayangan Stop Press di
layar televisi yang memberitakan tentang ledakan bom di Cilandak Super
Square. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Ia tak sadarkan diri.
(Farahdiba, 2006: 251)
Dalam kutipan (47) dan (48) diperlihatkan bahwa Umar memilih
mengorbankan dirinya agar Ali atau Maria tidak perlu menjadi korban dari
ledakan bom. Keputusannya itu diambil karena ia masih mencintai Maria, ia ingin
melindungi Maria dengan membawa bom dan meledakkannya di tempat yang
jauh dari keramaian.
2.2.3 Rangkuman
Tabel 1: Rangkuman Tokoh dan Penokohan
No. Nama Tokoh Penokohan
1. Maria Cerdas, kritis, tidak takut menyuarakan
pendapat
2. Mariam Cantik, cerdas, kritis
3. Guru Dharmo Bijaksana, rendah hati
4. Fallah Tampan, tegas, ceroboh
5. Ira Bersemangat, pemikirannya belum stabil
6. Nilzam Egois, serakah
7. Jivan Cerdas, berjiwa pemimpin, pendendam
2.3 Latar atau Setting
Latar dapat dibagi menjadi tiga unsur, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial-
budaya (Nurgiyantoro, 2015: 314). Unsur latar dalam novel Maria dan Mariam
karya Farahiba akan diuraikan di bawah ini.
2.3.1 Latar Tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Latar tempat adalah lokasi atau tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2015: 314). Dalam novel Maria dan Mariam
karya Farahdiba terdapat beberapa lokasi yang digunakan sebagai latar tempatnya,
yaitu Kota Yogyakarta, Solo, dan Jakarta.
2.3.1.1 Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta menjadi lokasi berdirinya Pondok Pesantren Al-Aziz,
tempat Maria mengikuti pesantren kilat dan bertemu dengan Mariam. Di Kota
Yogyakarta pula Maria menghabiskan sisa waktu sebelum pergi ke Solo dan
bertemu dengan Guru Dharmo. Selain itu, Kota Yogyakarta merupakan lokasi
Maria melakukan penelitian tentang seni tari Cross-Gender. Hal itu tampak dalam
kutipan berikut.
(49) Pondok Pesantren Al-Aziz terletak di pinggiran kota Yogyakarta. Ini
tahun kelimanya membuka kegiatan pesantren kilat selama satu bulan. Siti
Mariam yang menjadi koordinator untuk para santri wanita mulai terlihat
sibuk dengan tugas-tugasnya. Dari mengawasi penerimaan santri,
penempatan tempat tinggal dan mengontrol agar para santri tidak
melanggar aturan-aturan yang diterapkan dalam Pondok Putri.
(Farahdiba, 2006: 5)
(50) Sekeluar dari pondok itu, Maria memanggil becak untuk
mengantarkannya ke losmen langganannya. Ia masih ingin beristirahat
selama dua hari di Yogyakarta sebelum pulang ke Jakarta. Sepanjang
perjalanan, ia terus-menerus memutar kembali pengalaman yang ia lalui
selama berada dalam pesantren.
(Farahdiba, 2006: 49)
(51) “Sudah kontak Mas Didik?” tanya Maria pada Martha sambil mendorong
trolley ke luar ruang kedatangan bandara. Kedatangan Maria dan Martha
ke Yogyakarta dalah untuk melanjutkan penelitian mereka tentang seni tari
Cross-Gender—Maria dan Martha lebih menyukai istilah Beyond Gender.
Mereka akan menemui tokoh seni tari serba bisa Didik Nini Thowok.
(Farahdiba, 2006: 178)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Dalam kutipan (49), (50), dan (51) diperlihatkan bahwa Maria tidak hanya
sekali berada di Kota Yogyakarta. Pondok pesantren Al-Aziz berada di
Yogyakarta. Di pondok pesantren ini, Maria bertemu Mariam dan mereka menjadi
sahabat dekat. Maria dikeluarkan secara tidak hormat dari pondok karena dituduh
memiliki hubungan khusus dengan Gus Falah. Selepas keluar dari pondok
pesantren, Maria menginap di Losmen NITI, losmen langganannya tiap datang ke
Yogyakarta. Ketika datang untuk melakukan penelitian tentang seni tari Cross-
Gender, Maria diceritakan bertemu dengan Didik Nini Thowok yang menjadi
narasumber penelitiannya.
2.3.1.2 Kota Solo
Kota Solo menjadi lokasi berdirinya padepokan milik Guru Dharmo. Di
kota inilah Maria bertemu dengan Guru Dharmo untuk pertama kalinya. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
(52) Selamat datang Maria! Apa kabar Solo? Sudah lama Maria tidak
menginjakkan kakinya di kota ini. Baginya, tidak ada yang berubah di kota
ini.Setelah membiarkan langkah kakinya bergerak cukup lama tak tentu
arah... Maria melongok ke kanan dan ke kiri, mencari tukang becak
terdekat yang akan mengantarnya.
(Farahdiba, 2006: 75)
(53) “Pantes ada gambar Trisula...” ujar Maria dalam hati. Dia teringat
kembali pesan Ira untuk mencarikan kain batik Solo. “Daripada harus ke
Klewer,” pikirnya. “Kenapa tidak di sini saja.” Ia masih penasaran dengan
bangunan yang memiliki gambar Trisula tadi. “Ayo antar saya ke sana,
Pak,” katanya lagi. Becak segera bergerak maju dan mencari tempat untuk
berputar agar bisa masuk ke Jalan Trisula.
Ada perasaan aneh yang disetai degupan jantung cukup keras ketika ia
sampai di depan bangunan yang ia tuju di Jalan Trisula. Bangunan itu
sebenarnya sederhana. Sebuah bangunan lama. Tak ada papan nama,
meskipun semua orang tahu bahwa itu adalah sebuah toko. Maria berjalan
memasukinya dan segera mencium aroma dupa—yang dulu dangat tidak
asing baginya. Aroma yang ia rindukan.
(Farahdiba, 2006: 77-78)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Dalam kutipan (52) dan (53) diperlihatkan bahwa Maria awalnya
mengunjungi Kota Solo untuk membelikan kain batik Solo pesanan Ira,
sepupunya. Ketika dalam perjalanan berkeliling Kota Solo untuk mencari toko
yang menjual kain batik Solo, Maria menjumpai toko kain yang bangunan
tokonya terlihat unik. Ternyata, toko kain itu merangkap sebagai padepokan
spiritual milik Guru Dharmo. Selama berada di Solo, Maria tinggal di penginapan
milik seorang bapak bernama Pak Daniel
2.3.1.3 Kota Jakarta
Kota Jakarta merupakan lokasi rumah ayah Maria. Maria beberapa kali
mengunjungi Jakarta dan menginap di rumah ayahnya. Hal itu tampak dalam
kutipan berikut.
(54) Maria menarik napas panjang. Dia duduk di kursi beranda di rumah
papanya di wilayah Pancoran. Sejak kepulangannya dari Yogyakarta,
Maria tidak lagi menempati tempat kosnya di Cikini. Semenjak papanya,
yang adalah wartawan senior di Kota Bandung, diminta ikut mendirikan
sebuah stasiun televisi baru di Jakarta. Status papanya yang masih aktif
sebagai pimpinan salah satu organisasi Islam terbesar di Bandung,
mengharuskannya bolak-balik Jakarta-Bandung. Maria sering menikmati
kesendiriannya di rumah itu.
(Farahdiba, 2006: 169)
Selain untuk menginap di rumah ayahnya, Maria berada di Jakarta untuk
mengurus acara seni dan budaya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(55) “Nanti aja, ‘Ra. Martha sudah nungguin dari tadi,” kata Maria. Hari itu,
mereka akan menindaklanjuti pembicaraan sehari sebelumnya di Hokben
tentang rencana penyelenggaraan sebuah event seni dan budaya bersama
dengan Martha. Event itu sendiri dimaksudkan untuk mengajak anak-anak
sekolah dan generasi muda secara umum untuk mengapresiasik kesenian
tradisional Indonesia, yang sudah mulai tidak dikenal di sekolah-sekolah.
Acara itu dikemas dalam bentuk lokakarya maupun pagelaran, Yang
memprakarsai kegiatan itu adalah Yayasan Joglosemar, yang dipimpin
Martha, bekerja sama dengan Komunitas Budaya Anak Nusantara. Maria
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
membantu sebagai konsultan event organizer. Secara teknis, kegiatan akan
dijalankan oleh Ira dan teman-temannya.
(Farahdiba, 2006: 210)
Lokasi diselenggarakannya acara seni dan budaya juga menjadi lokasi
yang rencananya akan diledakkan dengan bom oleh kelompok radikal. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
(56) Dengan malas ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka
koran yang ada di depannya. Ia membolak-balik halamannya secara acak...
Lalu, matanya terbelalak melihat sebuah iklan kegiatan seni yang dimuat
oleh koran itu. Kegiatan itu akan dilaksanakan Hari Rabu, persis hari ini,
di Cilandak Super Square. Dan yang membuatnya sangat kaget, adalah
nama contact person penyelenggara kegiatan itu... “Masya Allah. Dia ada
di sana,” gumam Umar gemetar. “Ali bisa membunuhnya...”
(Farahdiba, 2006: 241)
(57) ujarnya penuh penyesalan. Ia yang pertama kali mengusulkan Cilandak
Super Square sebagai sasaran. Tempat itu adalah tempat nongkrong para
anak pejabat, para ekspatriat yang selama ini berkolaborasi dengan
pemerintahan yang dibencinya. Penjagaan tempat ini pun terlalu mudah
untuk ditembus, Sudah hampir sebulan Umar dan kawan-kawannya
mengawasi tempat itu. Pemeriksaan seadanya. Siapa pun yang
menggunakan kendaraan roda dua, bisa masuk seenaknya dari gerbang
depan maupun belakang. Ini sasaran yang empuk.
(Farahdiba, 2006: 242)
Dalam kutipan (56) dan (57) diperlihatkan bahwa Umarlah yang memilih
Cilandak Super Square sebagai lokasi dilakukannya pengeboman. Tempat itu
dipilih Umar karena lokasinya yang selalu ramai dan sering dikunjungi oleh anak-
anak pejabat. Umar ingin membalaskan dendamnya dengan membunuh orang-
orang yang tidak terlibat langsung dalam kasus yang menyeret nama ayahnya.
Namun, Umar menyesal telah memilih pusat perbelanjaan itu untuk dilbom
karena tahu Maria akan berada di lokasi itu juga. Akhirnya, Umar memutuskan
untuk mengorbankan diri dengan menggantikan Ali sebagai pembawa bom dan
meledakkan bom di tempat yang jauh dari pusat keramaian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa dalam karya
fiksi. Masalah waktu yang diceritakan biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual atau yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2015:
318). Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba terdapat latar waktu yang
dihubungkan dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
2.3.2.1 Tahun 1996
Pada tahun ini, Maria berprofesi sebagai pekerja paruh waktu di suatu
organisasi serikat buruh. Pada tahun ini juga Maria bertemu Jivan untuk yang
pertama kalinya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(58) Tahun 1996, setahun sebelum krisis moneter melanda, krisis kepercayaan
terhadap penguasa Orde Baru sudah mulai terasa. Ada kasus penyerangan
terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati
Soekarnoputri. Ada pula penangkapan terhadap sejumlah aktivis
mahasiswa dan LSM. Demonstrasi, meski tak selalu ramai diketahui,
terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Ada demonstrasi
mahasiswa, buruh, petani, dan mereka yang menyebut diri kaum miskin
kota. Maria ada di antara mereka.
Ketika itu, ia sedang bekerja paruh waktu di salah satu organisasi serikat
buruh yang dipimpin seorang tokoh buruh yang sangat populer—sebut
saja Ian Manulang. Si tokoh buruh ini dikenal karena keberaniannya
memperjuangkan hak-hak buruh, yang menyebabkannya harus mendekam
dalam penjara karena tuduhan melakukan tindakan subversif. Meski belum
menyelesaikan kuliahnya, Maria diterima bekerja dalam organisasi buruh
itu karena pengalamannya berorganisasi. Ia sangat antusias bekerja dalam
organisasi itu, yang dianggapnya sebagai panggilan hati—sejak di bangku
sekolah, ia sudah mendambakan bisa terlibat dan berkenalan dengan dunia
aktivis yang dinamis. Di sana pula ia berkenalan dengan Jivan.
(Farahdiba, 2006: 158-159)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa Maria pernah menjadi seorang
aktivis dan aktif dalam kegiatan organisasi. Ia bertemu Jivan yang saat itu juga
berprofesi sebagai aktivis mahasiswa dan mereka saling jatuh cinta. Maria dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Jivan menjalin hubungan selama lima tahun lalu berpisah karena Jivan bergabung
dengan kelompok radikal untuk membalaskan dendamnya.
2.3.3 Latar Sosial-Budaya
Latar sosial-budaya berhubungan dengan tata cara kehidupan masyarakat. Hal
itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap (Nurgiyantoro, 2015: 322). Latar sosial yang
akan dianalisi dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba adalah latar sosial
di pondok pesantren dan latar sosial masyarakat Indonesia secara umum.
2.3.3.1 Latar Sosial-Budaya Pondok Pesantren Konservatif
Orang-orang yang datang ke pesantren diceritakan sudah menyesuaikan
penampilan dengan mengenakan busana muslim yang sopan. Hal itu tampak
dalam kutipan berikut.
(59) “Maaf ya De’. Adik ini seperti seorang aktivis yang suka berdemo dan
berteriak-teriak di jalanan, atau mungkin seorang pendaki gunung. Nah,
mereka yang datang ke pesantren ini, biasanya sudah menyesuaikan diri.
Sudah menggunakan busana muslim, ya pakai kerudung dan...”
“Oo, maksud Mbak, pakai jilbab?” potong Maria. “Trus pakai gamis atau
baju terusan yang menutupi lekukan tubuhnya...”
(Farahdiba, 2006: 11)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa orang-orang melaksanakan
peraturan tidak tertulis dengan menyesuaikan diri menggunakan busana muslim
ketika datang ke pondok. Hal itu dilakukan karena masyarakat menganggap
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan seperti sekolah umum yang
memiliki aturan-aturan khusus yang harus dipatuhi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Salah satu peraturan yang ada di pondok pesantren melarang para santri
untuk berpacaran dan memberlakukan sanksi tegas jika ada santri yang melanggar
aturan tersebut. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(60) “Di pesantren, para santri tidak diperbolehkan berpacaran, karena akan
menganggu proses pembelajaran santri.”
“Loh, kok bisa begitu. Ini kan hak semua orang, untuk saling mencintai.
Kok dilarang?” protes Maria.
“Biar para santri tidak terganggu konsentrasinya untuk belajar... apalagi
untuk mereka yang sedang menghafal Al-Quran,” Mariam menjawab, tak
tahu siapa yang sedang ia bela.
(Farahdiba, 2006: 17)
(61) “Sudah peraturan De’. Tiga tahun yang lalu, ada santri yang terusir dari
pondok ini. Dan jika kita sudah pernah mendapatkan catatan buruk di
sebuah pondok, ke manapun kita mondok, catatan buruk itu akan terus
terbawa.”
“Maksudnya?”
“Akan tersiar kabar di berbagai jaringan pondok pesantren, bahwa santri
ini bla... bla... bla...”
“My God, bisa sebegitunya? Norak! Ini keterlaluan! Character
assassination!”
(Farahdiba, 2006: 18)
Menurut aturan di pondok pesantren, santri yang ketahuan berpacaran
akan diusir dari pondok. Selain diusir dari pondok pesantren, nama baik santri
tersebut akan tercoreng. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan di pondok
pesantren sebenarnya keras. Para santri harus dapat menjaga sikap agar nama baik
mereka tidak tercoreng dan tidak perlu ada kabar buruk yang beredar dari pondok
ke pondok yang lain.
Di dalam pondok pesantren pun terdapat persaingan-persaingan, seperti
persaingan antarperempuan untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki dan
perundungan sesama santri. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
(62) “Maria, apa yang kamu cari di sini? Kalau cuma mencari pacar, nggak
usah pakai acara mondok, ngerusak citra pondok ini saja!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Bagai disambar geledek di siang bolong, Maria segera mendatangi orang
yang menegurnya, yang tak lain adalah mentornya sendiri, Mbak Hulasoh.
Sejak awal, Maria memang tidak nyaman dengan perempuan yang satu ini.
Namun, karena ia adalah mentornya, ia tak terlalu ambil pusing. Meski
demikian, ia seringkali tak tahan juga melihat gaya “sok alim” dan “sok
pintar” dibandingkan dengan mentor-mentor yang lain. Maria sering
membandingkannya dengan Mbak Mar, yang memang jauh sekali
pembawaannya.
“Maaf, tadi anda bicara pada saya?” Maria menghampiri Hulasoh dengan
sorot mata yang tajam.
“Iya, jangan pura-pura, Maria. Tadi kami melihatmu mencoba-coba
menarik perhatian Gus Falah!” Kali ini, salah seoran supporter Hulasoh
yang angkat bicara.
(Farahdiba, 2006: 22)
(63) “Hmmmm, apa maksudnya ini?” Maria membatin. Dipandangnya laki-
laki yang masih berdiri di sampingnya “Lumayan juga, gagah. Dan
senyumnya memang mengesankan. Pantas saja Mbak Mar sampai
bertekuk lutut. Pantas pula kalau para santri perempuan saling bersaing
untuk menarik perhatiannya.”
(Farahdiba, 2006: 24)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa para santri perempuan di
pondok pesantren pun dapat saling bersaing mendapatkan perhatian dari laki-laki.
Bahkan perundungan pun dapat terjadi jika ada kelompok santri yang tidak
menyukai santri yang lain. Lingkungan pondok pesantren yang dikenal damai
karena isinya orang-orang yang memperdalam ilmu agama tidak lepas dari kasus
perundungan. Konflik antarsantri bukan hal yang asing karena persaingan dan
perbedaan pendapat dapat terjadi di mana-mana. Lingkungan pondok pesantren
juga bukan tempat perempuan dapat bebas menyuarakan pendapatnya dan sangat
terikat oleh tradisi. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
(64) Mariam tersenyum kecut, ia sebetulnya mengetahui hal itu. Namun, di
lingkungan ini, ia tak selalu bisa mengekspresikan jalan pikiannya. Ibu
Nyai yang sering mendengarkan keluh-kesahnya, seringkali cuma bisa
tersenyum kala mendengar ide-idenya yang tidak biasa. Ibu Nyai sendiri
sudah mengajarinya untuk tidak terjebak dalam simbol dan lebih
mengutamakan substansi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
(Farahdiba, 2006: 12)
(65) “Aku juga tidak menyalahkan kamu untuk menilai aturan pondok.
Masalahnya, kamu salah masuk. Orang yang berjiwa terbuka sepertimu,
tidak akan pernah cocok di lingkungan pondok di manapun. Tidak semua
orang bisa seperti kamu. Bagi mereka, kedisiplinan itu sangat penting,
agar para santri bisa belajar dengan serius. Tradisi harus dihormati. Orang
sepertimu butuh lembaga yang berbeda...,” nada bicara Falah merendah.
(Farahdiba, 2006: 55)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa lingkungan di pondok
pesantren masih sangat terikat oleh tradisi dan memiliki aturan-aturan yang
mengikat. Perempuan tidak dapat dengan bebas menyuarakan pendapatnya karena
lingkungan di pondok pesantren masih terikat budaya patriarki. Hal ini tentu tidak
adil bagi perempuan karena kebebasan untuk berpendapat dan mengekspresikan
diri dibatasi.
2.3.3.2 Latar Sosial-Budaya Masyarakat Indonesia
Selain latar sosial di dalam pondok pesantren, dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba juga diperlihatkan latar sosial masyarakat di zaman ini
yang egois dan suka mementingkan diri sendiri. Hal itu tampak dalam kutipan
berikut.
(66) Tiba-tiba Guru Dharmo berbicara pula tentang materalisme yang
berkembang di zaman edan ini, “kita tanpa terkecuali, telah menjadi sangat
materialistik. Apapun yang kita lakukan, selalu kita nilai dengan uang.
Melihat harga barang yang mahal, kita menuduh si penjual barang terlalu
materialistik—padahal, sikap kita yang terlalu berhitung ‘untung-rugi’-pun
tak lain adalah cerminan dari betapa materialistiknya diri kita. Oleh karena
itu, di zaman ini, kita harus menyadar-nyadarkan diri, setiap saat. Setiap
detik.”
(Farahdiba, 2006: 108)
(67) “Andaikan setiap orang bisa bersyukur, tentu kerakusan yang telah
menghancurkan moral bangsa ini bisa lenyap,” kata Maria menceritakan
hasil perenungannya, suatu kali. Kerusakan hutan, banjir, korupsi,
menghalalkan segala cara... semua dilakukan oleh orang-orang yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
pernah bersyukur. Dari sebuah organisasi lingkungan, ia mengetahui
bahwa hampir setiap menit, Indonesia sedang kehilangan hutan setara
dengan 6 kali lapangan bola. “Inilah buah keserakahan, orang-orang yang
tak tahu bersyukur,” ungkap Maria.
(Farahdiba, 2006: 111)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa masyarakat masih
mementingkan keegoisan untuk mendapatkan kepuasan diri sendiri. Akibat
keserakahan manusia, banyak hal harus dikorbankan, seperti moral dan
lingkungan. Manusia membabat habis hutan untuk membuka lahan perkebunan
dan mengeksploitasi isinya. Keserakahan itu menciptakan ketidakseimbangan
antara alam dan manusia. Sifat materialistik juga terlihat dari sikap pemerintah
yang digambarkan mengeksploitasi budaya Indonesia. Hal itu tampak dalam
kutipan berikut.
(68) “Aneh sekali. Mengapa pemerintah mensejajarkan Budaya dan
Pariwisata dalam sebuah departemen yang sama. Seolah-olah budaya itu
adalah objek estetika yang bisa ‘dijual’ seperti pariwisata. Padahal, budaya
justru lebih dekat dengan pendidikan. Budaya kan menaungi semua, ya
politik, ekonomi, sosial... Kok sekarang cuma jadi bagian dari industri?”
ungkap Maria dalam percakapannya dengan Martha.
“Kamu baru sadar ya, Maria? Sejak dulu kami sudah bicara mengenai
masalah ini. Pemerintah kita dan kebanyakan teman-teman kita sendiri,
punya cara berpikir yang sangat materialistik. Seolah-olah, segala
persoalan bangsa ini hanyalah soal perut belaka. Jadi, yang dipikirkan
adalah bagaiman mendorong datangnya modal dan materi saja. Bangsa
kita, nggak punya jati diri, nggak punya budaya sendiri, nggak punya apa-
apa,” ujar Martha dengan emosional.
“Betul juga. Kita jadi tak sadar bahwa materialisme sudah kita adopsi
sebagai budaya kita,” kata Maria membenarkan.
(Farahdiba, 2006: 177)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa pemerintah sendiri
menjadikan budaya sebagai industri untuk mendatangkan untung. Pemerintah
tidak memberi perhatian secara penuh untuk melestarikan budaya yang ada.
Akibatnya, generasi muda akan kehilangan minat untuk mempelajari dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
melestarikan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang dulu. Tidak hanya
menjadikan budaya sebagai sebuah industri, pemerintah dan masyarakat yang
tergambar dalam novel ini juga kurang memberi apresiasi kepada pahlawan-
pahlawan budaya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(69) Sialnya, penghargaan terhadapa pahlawan-pahlawan budaya kita
memang sangat minim. Terlebih lagi bagi kaum pria yang feminin seperti
Mas Didik—tak sedikit yang memandang kehidupan mereka dengan
sebelah mata. Padahal, pernah di masa lalu, di wilayah peradaban
Nusantara, orang-orang seperti Mas Didik mendapatkan kedudukan yang
sangat terhormat di tengah-tengah masyarakat. Mereka dipercaya sebagai
bentuk keseimbangan energi. Yin dan Yang. Shakti dan Shiva. Yang
disimbolkan dalam wujud Ardhanarishwara, patung perpaduan antara
setengah badan laki-laki atau Shiva dan setengah badan perempuan atau
Shakti.
(Farahdiba, 2006: 180-181
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa budaya yang sudah ada sejak
dulu di Nusantara mulai dilupakan. Pegiat seni laki-laki dengan sifat yang feminin
sekarang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Padahal di Sulawesi Selatan
terdapat komunitas bissu yang terdiri dari pria yang memiliki sifat yang feminin.
Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(70) Sisa-sisa keagungan kaum ini juga masih dapat dilihat di daerah Sulawesi
Selatan, yaitu pada komunitas Bissu. Kaum Bissu adalah semacam pendeta
agama bugis kuno, sejak masa Pra-Islam. Mereka dalah pria yang
memiliki sifat kewanitaan, sehingga disebut sebagai Calabai atau waria.
Dulu mereka memiliki peran yang sangat tinggi dalam masyarakat,
sebagai penasehat raja dan dewan adat untuk menciptakan kesejahteraan
dan perdamaian bagi masyarakat. Namun, perubahan nilai-nilai dalam
masyarakat menempatkan mereka dalam posisi yang kurang
menguntungkan. Baru belakangan ini ada upaya untuk mengembalikan
peran mereka pada posisi yang terhormat dalam masyarakat.
Berbeda dengan para waria biasa yang suka menggunakan pakaian seksi,
para Bissu lebih banyak menggunakan pakaian biasa dalam kesehariannya.
Mereka harus menjaga sifatnya yang kalem dan anggun, yang dalam
bahasa Bugis disebut Malebbi atau mulia. Namun, ketika
menyelenggarakan ritual maupun tari-tarian, mereka menggunakan
pakaian adat yang menonjolkan kebesarannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
(Farahdiba, 2006: 181)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa di Nusantara pernah ada
budaya yang menempatkan kaum pria yang feminin sebagai bagian penting dari
kehidupan masyarakat. Kedudukan pendeta agama Bugis kuno yang biasa
dipanggil bissu ini dianggap lebih tinggi daripada raja adat kerena mereka
dipercaya sebagai penghubung antara dunia nyata dengan dunia para dewa.
Sekarang, bissu hanya memimpin ritual-ritual, seperti perkawinan dan kelahiran
bayi. Kehadiran bissu seharusnya dilestarikan karena mereka adalah penerus
tradisi. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(71) Padahal, mereka adalah penerus utama tradisi lisan dan penulisan I La
Galigo, sebuah epos sejarah masyarakat Bugis yang sangat panjang dan
dapat disejajarkan dengan Mahabharata.
(Farahdiba, 2006: 182)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa komunitas bissu menjadi
warisan budaya yang wajib dilestarikan keberadaannya untuk menjaga
keberagaman budaya di Indonesia. Nilai-nilai yang bergeser di masyarakat mulai
menggusur keberadaan budaya yang telah ada sejak dulu dan membuat budaya-
budaya tersebut dilupakan.
2.3.4 Rangkuman
Tabel 2: Rangkuman Latar
No. Latar Tempat Latar Waktu Latar Sosial-Budaya
1. Kota Yogyakarta
Tempat berdirinya
pesantren Al-Aziz
Tahun 1996
Maria dan Jivan
pertama kali bertemu
ketika masih
Latar sosial-budaya
pondok pesantren
konservatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
menjadi aktivis
buruh dan
mahasiswa
2. Kota Solo
Tempat berdirinya
padepokan spiritual
Guru Dharmo
Latar sosial-budaya
masyarakat Indonesia
secara umum
3. Kota Jakarta
Lokasi yang
direncanakan akan
menjadi sasaran
pengeboman oleh
kelompok radikal
2.4 Alur atau Plot
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Tahapan
dalam plot dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu (1) tahap penyituasian atau
tahap situation, (2) tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstance,
(3) tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, (4) tahap klimaks atau
tahap climax, (5) tahap penyelesaian konflik atau tahap denouement
(Nurgiyantoro, 2015: 209-210). Dalam penelitian ini, analisis plot akan dibagi
menjadi lima tahap, yaitu tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap
peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian konflik.
2.4.1 Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian berisi informasi awal mengenai situasi latar, siapa saja
tokoh dalam cerita serta menjadi tahap pembuka cerita (Nurgiyantoro, 2015: 209).
Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, tahap penyituasian
menceritakan tentang peristiwa pertemuan Maria dan Mariam di pondok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
pesantren. Maria dan Mariam memiliki karakter yang berbeda, tetapi mereka
dapat bersahabat karena sifat keduanya justru saling melengkapi. Hal itu tampak
dalam kutipan berikut.
(72) Maria sengaja memilih Pondok Pesantren Al-Aziz, sebagai tempat untuk
mengikuti pesantren kilat, karena rekomendasi yang diberikan oleh
teman-temannya di Jakarta. Sudah banyak teman semasa mahasiswa
maupun pada saat ia berorganisasi yang pernah mondok di pesantren itu.
Konon, sudah banyak “anak durhaka” yang berbalik “insaf” setelah
kembali dari pondok pesantren tersebut. Maria sendiri datang ke sana
karena kegelisahan hatinya. Ia berniat mendalami agama langsung dari
sumber-sumber yang dianggapnya otoritatif, juga karena penasaran
dengan “ramuan ajaib” yang bisa mengubah tabiat teman-temannya.
(Farahdiba, 2006: 16)
2.4.2 Tahap Pemunculan Konflik
Pada tahap ini mulai muncul peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik dan merupakan tahap awal munculnya konflik dalam cerita (Nurgiyantoro,
2015: 209). Pada novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, konflik mulai
muncul ketika Maria sadar bahwa aturan-aturan yang ada di pondok pesantren
tidak cocok dengannya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(73) Ia gelisah memikirkan aturan-aturan tidak adil yang berlaku di pondok
pesantren, di jaman modern seperti sekarang ini. Kenapa tidak ada aturan
yang lebih terbuka, yang lebih maju? Intervensi terlalu besar terhadap hak-
hak setiap orang. Ia tak habis mengerti mengapa orang tidak boleh saling
jatuh cinta. Menurutnya, dunia ini hanya bisa menjadi semakin baik, kalau
semakin banyak orang yang jatuh cinta. Jangan-jangan orang yang
membuat segala macam peraturan itu adalah orang-orang yang sudah mati
rasa—atau terlalu munafik?
Ia mulai marah dengan keadaan itu. “Gila,” sesekali ia bergumam sendiri.
Ada semacam penolakan dalam dirinya jika harus berdiam saja. “Aku
harus melakukan sesuatu, tapi apa? Bagaimana?” Ia sadar bahwa dirinya
hanyalah “santri sementara” dari program pesantren kilat, yang seminggu
lagi akan selesai.
(Farahdiba, 2006: 20)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Maria yang menyadari bahwa aturan-aturan di dalam pondok tidak adil
untuk sebagian orang, apalagi aturan yang melarang santri untuk berpacaran.
Menurut Maria, larangan untuk berpacaran justru merenggut kebebasan manusia
untuk mengekspresikan diri dan perasaan. Ia yang pernah menjadi aktivis tidak
tahan jika harus berdiam diri melihat situasi yang dianggapnya tidak adil. Namun,
Maria tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki situasi itu, lagi pula
dirinya hanyalah peserta pesantren kilat dan bukan merupakan warga tetap di
pondok pesantren itu. Ketidakberdayaan itu membuat Maria gelisah karena dalam
hatinya muncul dorongan untuk mengubah sesuatu yang tidak sesuai dengan hati
nuraninya.
2.4.3 Tahap Peningkatan Konflik
Konflik yang telah muncul semakin berkembang di tahap ini dan
intensitasnya semakin meningkat (Nurgiyantoro, 2015: 209). Pada novel Maria
dan Mariam karya Farahdiba, konflik yang ada semakin meningkat ketika Maria
dituduh memiliki hubungan khusus dengan Gus Falah, putra Kiai Shiddieq, Kiai
besar di pondok itu. Terdapat aturan yang melarang para santri untuk berpacaran
agar mereka dapat fokus belajar. Oleh karena itu, jika ada santri yang ketahuan
melanggar aturan tersebut akan dikeluarkan dari pondok dengan tidak terhormat.
Maria terpaksa harus keluar dari pondok karena sebuah surat dari Gus Falah yang
dicurigai ditujukan untuknya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(74) Semenjak pertemuan itu, hubungan Maria dan Falah menjadi sangat
akrab. Banyak hal yang mereka diskusikan, di luar nasihat-nasihat asmara.
Bagi Maria, kesempatan itu digunakannya juga untuk belajar lebih banyak
tentang Islam—agama yang diyakininya, namun belum banyak digalinya.
Hanya saja, kedekatan mereka banyak disalahartikan oleh orang-orang
yang cemburu pada Maria. Hingga suatu malam, tepatnya pada hari Sabtu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
jam delapan malam, Maria dikejutkan dengan kabar yang takkan pernah ia
lupakan seumur hidupnya. Ia menerima pesan tertulis di kamarnya, yang
isinya memintanya untuk menghadap jajaran tokoh penting di Pondok
Pesantren Al-Aziz.
(Farahdiba, 2006: 28)
(75) Maria, akhirnya memang harus pergi. Aturan untuk menjaga kewibawaan
pondok harus dipertahankan. Dalam setiap hubungan yang melibatkan
santri laki-laki dan perempuan, biasanya, keduanya yang harus pergi
meninggalkan pesantren. Namun, kali ini, hanya Maria yang pergi. Ada
1001 alasan yang dapat digunakan untuk mempertahankan Falah. Intinya,
Falah hanyalah korban. Titik.
Hanya karena kesamaan nama, “De’ Mar”, Maria telah berkorban demi
sahabat barunya. Semua orang percaya bahwa Maria yang mempunya
hubungan dengan Gus Falah. Maria sendiri tidak tega melihat Mariam
terusir dari lingkungan yang telah membesarkannya. Di atas semua itu, ia
merasa harus terus mendorong hubungan antara Mbak Mar dengan Gus
Falah.
(Farahdiba, 2006: 33-34)
Dalam kutipan di atas tampak bahwa Mariam mendapat surat peringatan
dari pondok pesantren karena dianggap telah melanggar aturan untuk tidak
berpacaran dengan santri yang lain. Kedekatan antara Maria dan Falah memicu
spekulasi dari orang-orang di pondok dan keduanya dikira memiliki hubungan
khusus. Maria disidang oleh para petinggi pondok pesantren dan dikeluarkan demi
melindungi nama baik pondok pesantren. Dalam kasus ini, hanya Maria yang
terusir dari pondok karena Falah merupakan anak Kiai besar dan Falah dianggap
sebagai korban. Bagi Maria, lembaga yang dianggapnya mewakili nila-nilai moral
yang ideal itu telah melakukan ketidakadilan.
Setelah keluar dari pondok pesantren, Maria bertemu dengan Guru
Dharmo, seorang guru spiritual. Maria menjadi murid Guru Dharmo dan belajar
banyak hal dari gurunya itu. Pada suatu hari Maria bermimpi bertemu dengan
Khadijah, istri Muhammad. Dalam mimpinya itu, Maria melakukan percakapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
dengan Khadijah mengenai esensi agama dan ajaran agama yang disalahtafsirkan
saat ini. Di akhir percakapan mereka, Khadijah meminta Maria untuk
membebaskan diri dari keterikatan perasaannya terhadap Jivan. Hal itu tampak
dalam kutipan berikut.
(76) “Bebaskan dirimu dari nafsumu, dari keterikatan duniamu, Maria!
Setelah itu baru kau dapat memikirkan hal-hal yang lebih besar,” akhirnya,
Ibu Khadijah mau bicara.
(Farahdiba, 2006: 148)
(77) “Kenapa kamu masih belum bisa melepaskan Jivan? Mengapa kamu
masih ingin memilikinya?”
Maria terhenyak. Ia tak siap dengan pertanyaan itu. Sejak lama ia berusaha
untuk menutup rapat-rapat topik pembicaraan tentang Jivan—meskipun ia
sendiri masih terus saja menggumamkan namanya. Yang keluar dari
mulutnya, adalah kata-kata basi yang sama, “Maksud Ibu? Saya sudah
melupakannya...”
“Namun, kamu terus mengikatnya dalam pikiranmu, Maria. Masih ada
keinginan dalam hatimu untuk ‘menjadi pahlawan’, menyelamatkan Jivan
dan membawanya kembali menjadi ‘milikmu’.”
Mata Maria mulai terasa berat. Napasnya terasa sesak.
“Sesungguhnya, kamu hanya ingin ‘memilikinya’. Sekarang, kamu merasa
menderita karena tidak bisa memilikinya...”
(Farahdiba, 2006: 148: 149)
Dalam percakapan dengan Khadijah, Maria disadarkan bahwa ia
sesungguhnya masih dihantui perasaan menyesal karena tidak bisa membuat Jivan
sadar. Keputusan Jivan untuk bergabung dengan kelompok radikal masih tidak
dapat dimaafkan oleh Maria. Perasaan menyesal dan keinginan untuk memiliki
Jivan lagi membuat Maria tidak tenang. Maria menggantungkan kebahagiannya
kepada Jivan dan rasa cintanya justru membuat ia lemah karena nafsu ingin
memiliki. Khadijah ingin Maria membebaskan diri dari nafsu ingin memiliki dan
mulai mencintai dirinya sendiri. Namun, hal itu tidak mudah karena Maria telah
memendam perasaan itu bertahun-tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
2.4.4 Tahap Klimaks
Pada tahap ini, konflik-konflik yang telah berkembang akan mencapai
puncaknya. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama dalam cerita
(Nurgiyantoro, 2015: 209). Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba,
klimaks dari konflik terjadi ketika Jivan atau Umar berkorban untuk meledakkan
bom yang dibawanya di tempat yang jauh dari keramaian. Ia melakukan hal itu
demi menyelamatkan Maria yang dikiranya berada di lokasi peledakan bom. Hal
itu tampak dalam kutipan berikut.
(78) Umar menarik napas yang panjang, lalu bicara dengan nada yang tegas,
“Ali, kamu sudah kehilangan Ibu dan adik-adikmu. Cukup sampai di situ.
Pergilah, biar aku yang menangani semuanya. Kalaupun ini harus
meledak, tak ada yang akan mencariku!”
Umar sudah bertekad untuk menjauhkan bom dalam ransel hitam itu dari
keramaian dan dari kekasihnya.
(Farahdiba, 2006: 249)
Umar mengorbankan dirinya dan mengagalkan rencananya sendiri untuk
mengebom pusat perbelanjaan di Jakarta. Umar awalnya ingin membalaskan
dendam kematian ayahnya dengan mengebom lokasi berkumpulnya anak pejabat
dan ekspatriat yang bekerjasama dengan pemerintah. Namun, mengetahui bahwa
Maria juga akan berada di tempat untuk mengurus acara seni membuat
rencananya berubah. Umar atau Jivan yang sebenarnya masih mencintai Maria
tidak rela jika Maria terluka. Pengorbanan Umar untuk meledakkan bom di tempat
yang jauh dari keramaian tidak hanya menyelamatkan Maria saja, tetapi
menyelamatkan banyak orang yang berada di pusat perbelanjaan itu.
2.4.5 Tahap Penyelesaian Konflik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Konflik yang telah mencapai puncaknya diakhiri dan diselesaikan di tahap
ini (Nurgiyantoro, 2015: 210). Dalam novel Maria dan Mariam, konflik
terselesaikan dengan damai. Maria yang pingsan setelah berita ledakan bom
tayang di televisi lalu bertemu dengan Guru Dharmo dan Khadijah dalam
mimpinya. Dalam mimpinya, Guru Dharmo dan Khadijah menenangkan Maria
yang terkejut mengetahui bahwa Jivan meninggal dunia karena ledakan bom yang
dibawanya. Khadijah bercerita bahwa Jivan mengorbankan dirinya agar Maria
dapat selamat. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(79) “Jivan melakukan itudemi cintanya padamu, Maria. Ia pikir kamu di
sana... Di detik-detik akhir kehidupanya, ia berhasil melepaskan amarah
yang selama ini menghancurkan hidupnya,” sambung Ibu Khadijah.
“Kamu harus bangga Maria. Ia tidak membiarkan bom yang dibawanya
meledak karena amarah... Ia membiarkannya meledak, karena ia telah
ditaklukkan oleh cinta,” ujar Guru Dharmo.
(Farahdiba, 2006: 255)
Rasa cinta Jivan kepada Maria telah mengalahkan dendam untuk
membalaskan kematian ayahnya. Jivan tidak lagi memedulikan dendamnya
kepada pemerintah ketika sadar nyawa Maria akan menjadi korban dari
rencananya sendiri. Maria terkejut mengetahui bahwa Jivan masih mencintainya
dan terpukul karena kematian laki-laki yang dicintainya itu. Namun, Guru
Dharmo dan Khadijah meyakinkan Maria bahwa kematian Jivan menjadi bukti
nyata kekuatan cinta yang dapat menyelamatkan. Hal itu tampak dalam kutipan
berikut.
(80) “Maria, sesungguhnya peristiwa peledakan bom ini telah memberimu
pelajaran berharga. Sebuah modal bagimu untuk melaksanakan tugas-
tugasmu selanjutnya,” tiba-tiba Guru Dharmo berkata dengan serius.
“Pelajaran apa, Guru?” tanya Maria tidak mengerti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
“Bahwa cinta dapat memenangkan amarah. Kamu tidak lagi mengetahui
hal itu sebagai sebuah teori belaka. Kamu telah menyaksikan
kebenarannya.”
(Farahdiba, 2006: 256)
(81) “Kau telah membebaskan dirimu... Sesungguhnya, Jivan telah
membantumu, Maria,” ujar Ibu Khadijah. Maria teringat pertemuan
mereka sebelumnya, ketika Ibu Khadijah mengingatkan Maria untuk
membebaskan cintanya dari nafsu untuk memiliki.
“Cinta tanpa pamrih seperti itu yang dapat menyelamatkan bangsamu,”
Ibu Khadijah seolah mengiyakan pikiran Maria yang sedang reseptif.
“Cinta yang sudah bangkit, adalah kekuatan yang utama. Padukan
kekuatan itu dengan harta berlimpah nila-nilai luhur dalam budaya
bangsamu—itulah jalan kebangkitan manusia-manusia baru... Negerimu
sungguh punya kesempatan untuk menjadi pelopornya. Jangan sampai
negerimu mengalami apa yang dialami oleh negeriku,” Ibu Khadijah
mengakhiri pesannya.
(Farahdiba, 2006: 259)
Pengorbanan Jivan karena cintanya menjadi bukti bahwa kebangkitan
cinta dapat menyelamatkan banyak hal. Tidak hanya perasaan cinta untuk
pasangan, tetapi cinta untuk negeri dapat membangkitkan semangat
pembangunan. Rasa cinta pada negeri sendiri dapat membangkitkan semangat
membangun dan menjadikan negeri ini menjadi lebih baik. Kematian Jivan juga
membantu Maria untuk melepaskan dirinya dari nafsu ingin memiliki dan
perasaan bersalah. Sekarang Maria telah terbebas dari keterikatan itu dan
menerima dengan lapang dada semua hal yang sudah terjadi tanpa menyesalinya
lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
2.4.6 Rangkuman
Tabel 3: Rangkuman Alur
Tahap
Penyituasia
n (Situation)
Cerita
•Berlatar di
pondok
pesantren
Al-Aziz,
Maria
pertama kali
bertemu
Mariam.
Tahap
Munculnya
Konflik
(Generating
Circumstan
ce)
• Konflik
muncul saat
Maria sadar
bahwa
aturan di
pondok
pesantren
tidak cocok
dengannya.
Tahap
Peningkatan
Konflik
(Rising
Action)
• Konflik
meningkat
ketika
Maria
dituduh
memiliki
hubungan
khusus
dengan
Fallah.
• Maria lalu
dikeluarkan
secara tidak
terhormat
dari pondok
pesantren
karena
dianggap
melanggar
aturan di
pondok
yang
melarang
para santri
untuk
berpacaran.
Tahap
Klimaks
(Climax)
• Konflik
menjadi
klimaks saat
Jivan
mengorbank
an diri
menjadi
pembawa
bom dan
meledakkan
bom di
tempat yang
jauh dari
kerumunan.
Tahap
Penyelesaia
n konflik
(denouemen
t)
• Konflik
mulai
mereda saat
Maria mulai
dapat
mengikhlas
kan
kematian
Jivan dan
berdamai
dengan diri
sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
2.5 Rangkuman
Pada bab II dibahas rumusan masalah yang pertama, yaitu mengenai struktur
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Struktur novel Maria dan Mariam
karya Farahdiba yang dibahas meliputi tokoh dan penokohan, latar, dan plot.
Tokoh-tokoh dalam novel ini dibagi berdasarkan tokoh protagonis dan
antagonis. Tokoh protagonis meliputi Maria, Mariam, dan Guru Dharmo. Tokoh
antagonis meliputi Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan.
Unsur latar yang dianalisis dalam novel ini meliputi latar tempat, waktu, dan
sosial-budaya. Lokasi yang menjadi latar tempat dalam cerita ini meliputi Kota
Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Latar waktu yang terdapat dalam novel ini adalah
tahun 1996 yang dihubungkan dengan peristiwa sejarah, yaitu ketika terjadi krisis
kepercayaan terhadap Orde Baru. Latar sosial-budaya yang ditemukan dalam
novel ini meliputi latar sosial-budaya di pondok pesantren konservatif dan di
masyarakat Indonesia.
Alur dalam novel ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu (1) tahap
penyituasian, (2) tahap pemunculan konflik, (3) tahap peningkatan konflik, (4)
tahap tahap klimaks, dan (5) tahap penyelesaian konflik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
BAB III
ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM
KARYA FARAHDIBA
3.1 Pengantar
Setelah menganalisis struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba yang
meliputi tokoh dan penokohan, latar, dan alur, langkah selanjutnya adalah
membahas aspek sosial yang terdapat dalam novel ini. Menurut Soelaeman (2009:
173), aspek sosial dibagi berdasarkan bidang sosialnya, yaitu (1) budaya yang
meliputi kepercayaan, seni, nilai, simbol, norma, moral, politik, dan pandangan
hidup umum yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat, (2) lingkungan sosial,
meliputi hubungan sosial, kelas sosial, profesi, kependudukan, kriminalitas,
pelacuran, dan sebagainya, (3) ekonomi, meliputi produksi, distribusi, konsumsi,
pendapatan, kemiskinan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Pada bab ini akan
diuraikan mengenai aspek sosial berupa kebudayaan, lingkungan sosial, dan
ekonomi yang terdapat di dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.
3.2 Aspek Budaya
Budaya merupakan serapan kata dari bahasa Sanskerta “buddhayah”, bentuk
jaman dari “buddhi” yang artinya budi atau akal sehingga dimaknai sebagai segala
hal yang bersangkutan dengan budi atau akal (Rahayu, 2016: 20). Budaya dalam
arti yang luas adalah keseluruhan produk tindakan manusia yang termasuk karya
cipta manusia (Soelaeman, 2015: 67). Aspek budaya yang terdapat di dalam novel
Maria dan Mariam karya Farahdiba meliputi agama, politik, seni, simbol, dan
tradisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
3.2.1 Kepercayaan/Agama
Agama digunakan untuk menunjuk konsep mengenai keyakinan pada Tuhan
yang di dalamnya diatur perilaku manusia dan konsekuensi dari suatu keyakinan
(Saiddurahman dan Arifinsyah, 2018: 15). Agama mencakup keyakinan terhadap
sifat paham, ritus, upacara, serta kesatuan sosial yang terikat di dalamnya
(Soelaeman, 2015: 278). Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, aspek
agama Islam tampak dalam lembaga, kelompok, dan ajaran-ajaran agama. Hal itu
ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(82) Bagi para orangtua, khususnya yang tak punya cukup waktu dan bahan untuk
mengajari anak-anaknya dengan pelajaran agama, ini adalah kesempatan
terbaik “menebus dosa” mereka. Di tengah zaman serba instan, mungkin ada
pula orangtua yang berharap bahwa karakter putra-putri mereka dapat disulap
secara sekejap. Simsalabim! Abrakadabra!
Tapi, baiklah kita tidak berburuk sangka... Mestinya, ada pula orangtua yang
mengirimkan anak-anaknya ke pesantren kilat sebagai upaya untuk
mematangkan atau mendalami nilai-nilai relijius yang sebelumnya telah
mereka berikan di rumah.
(Farahdiba, 2006: 4)
(83) Bagi para eksekutif muda, pesantren kilat, barangkali adalah sebuah mata air
bening yang dapat memuaskan dahaga mereka dari hiruk-pikuk kesibukan
ibukota. Sebuah pengalaman yang sungguh berbeda, berada di tengah-tengah
kesederhanaan. Sehingga, ketika kelak kembali bekerja, mereka telah
memiliki semangat baru.
(Farahdiba, 2006: 5)
Berdasarkan kutipan di atas, masyarakat menganggap pesantren sebagai
lembaga pendidikan agama Islam yang mampu mendidik dan mengajarkan ilmu
dan nilai dalam agama Islam. Kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh pondok
pesantren ditujukan untuk orang-orang yang ingin memperdalam ajaran agama
Islam di waktu yang singkat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Terdapat pula kelompok radikal yang berdiri dengan mengatasnamakan
agama Islam. Istilah kelompok radikal muncul karena pengikutnya melakukan
aksi-aksi yang tergolong kasar, misalnya menghancurkan hal-hal yang dianggap
tidak sesuai ajaran agama mereka (Turmudi, 2005: 1).
(84) Hingga akhirnya ia tak sengaja bertemu Fauzi, teman lamanya, aktifis
pengajian kampus semasa kuliahnya, yang kemudian membawanya
memasuki sebuah kelompok pengajian bergaris keras di pinggiran Kota
Depok. Di sana, ia biarkan kemarahannya “disuapi” dengan mendengarkan
ceramah-ceramah yang radikal. Ia mulai menerima konsep Tuhan yang
pemarah. Segala sesuatu yang dianggapnya “melemahkan” hati, satu per satu
ditinggalkannya. Mulai dari Kahlil Gibran hingga Rumi. “Burung-Burung
Manyar” karya Romo Mangun, novel favoritnya, serta kumpulan puisi-
puisinya sendiri, dibuangnya begitu saja.
(Farahdiba, 2006: 153)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa kelompok radikal membawa
pengaruh buruk untuk Jivan. Meski agenda kegiatan kelompok tersebut disebut
pengajian, tetapi materi ceramah yang disampaikan dalam pengajian memuat
unsur radikal. Kelompok radikal memahami ajaran agama Islam secara fanatik,
hal tersebut dapat memicu munculnya aksi terorisme yang merugikan masyarakat.
Kehadiran kelompok radikal yang mengatasnamakan agama Islam dapat membuat
citra agama dan penganut agama Islam diberi label buruk. Aksi terorisme yang
muncul berdasarkan ajaran agama Islam yang radikal menyebabkan kerugian bagi
masyarakat, salah satunya adalah terjadinya peristiwa bom bunuh diri. Aksi bunuh
diri dilakukan sebagai bentuk perjuangan membela agama Islam dengan
meledakkan bom di tempat tertentu, seperti di tempat yang dianggap sumber
maksiat atau tempat yang dianggap dapat menyebabkan orang untuk melakukan
perbuatan yang melanggar perintah Tuhan. Kelompok radikal kerap menyebarkan
ajaran agama Islam yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
sebenarnya damai. Keberadaan kelompok radikal menyalahi Pancasila sebagai
dasar negara karena kelompok radikal berusaha menjadikan Islam sebagai agama
negara (Turmudi, 2005: 3).
Dalam ajaran agama Islam, perempuan diwajibkan untuk menutup aurat.
Aurat dimaknai sebagai bagian tubuh manusia yang wajib ditutupi agar tidak
dilihat oleh orang lain (Bagir, 2008: 111). Hal itu ditunjukkan dalam kutipan
berikut.
(85) “Tapi, dari dulu sudah merupakan keharusan bagi perempuan muslim untuk
menutup auratnya. Hanya wajah dan telapak tangan saja yang boleh terlihat,”
ujar Mariam menantang, namun dengan gaya keibuan.
(Farahdiba, 2006: 34)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan Mariam yang mengingatkan Maria bahwa
ajaran Islam mengharuskan perempuan untuk menutup aurat agar tidak dilihat
oleh lawan jenis yang bukan suaminya. Apalagi jika berada di pondok pesantren,
seorang perempuan wajib mengenakan pakaian yang dapat menutupi auratnya
tanpa terkecuali. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dalam agama Islam, seorang perempuan
muslim yang tidak tinggal di pesantren bisa saja tidak mengenakan hijab. Namun,
jika berada di pondok pesantren, baik santriwatu maupun pengajar perempuan di
sana wajib mengenakan hijab sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama
Islam. Sebagai seorang muslim, Maria tidak melupakan tanggung jawabnya untuk
melaksanan salat. Salat merupakan cara orang muslim untuk beribadah. Terdapat
waktu-waktu khusus untuk salat yang telah diatur dalam ajaran agama Islam.
Azan yang berkumandang dari masjid berfungsi untuk memberi isyarat kepada
masyarakat bahwa waktu salat telah tiba (Maksum, 2010: 33). Azan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dikumandangkan dari masjid melalui pengeras suara agar dapat terdengar oleh
warga. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(86) Suara adzan subuh membangunkan Maria dari tidurnya. Ia membuka mata
dan sesaat kemudian bergumam sendiri, “bukan kobong puteri. Baguslah.”
Biasanya, dia langsung bersiap-siap untuk mengambil wudhu dan shalat
berjemaah bersama para santri wanita yang lain. Kali ini, ia hanya termangu
di kamar losmennya. Ada beban luar biasa yang membuatnya enggan
beranjak dari tempat tidurnya. Matanya menerawang ke langit-langit kamar.
“Apa yang kau cari Maria?” tiba-tiba ia bertanya sendiri dalam hati. “Ayo
bangun Maria, shalat dan minta petunjukNya. Kejadian yang menimpamu
bukan tidak ada maknanya,” ia terus saja berbicara dalam hati.
(Farahdiba, 2006: 69-70)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa ketika suara azan terdengar,
maka seorang muslim harus segera menunaikan ibadah salat. Bagi Maria, salat
tidak sekadar ibadah, tetapi waktu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan
meminta petunjuk dari masalah yang dihadapi.
Menurut ajaran agama Islam, ciri-ciri orang yang beriman ditunjukkan
dengan kebiasaan khusus, yaitu harus melaksanakan perintah Tuhan. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(87) “Seperti apa orang yang beriman itu, Pak”
“Yang selalu menjalankan perintah Tuhan, seperti shalat lima waktu, puasa,
mengaji, berzakat, dan...”
Perasaan Maia kecil menjadi tidak keruan mendengar penjelasan guru
agamanya. Soalnya ia tidak pernah tahu apakah mamanya pernah melakukan
apa-apa yang disebutkan oleh gurunya. Ia takut, kalau-kalau mamanya tak
pernah melakukan semua itu.
“Intinya, orang-orang yang bertakwa pada Tuhan, menjalankan perintah
Tuhan, mereka itulah yang akan menjadi para ahli waris surgha, anak-anak...”
Pak Usman mengakhiri ceramahnya.
(Farahdiba, 2006: 84)
Dalam kutipan di atas, guru agama Maria menjelaskan ciri-ciri orang yang
beriman menurut ajaran agama Islam. Seorang muslim wajib menjalankan
perintah agama, seperti salat dan berpuasa. Seorang muslim menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
keimanannya dengan melakukan perintah agama dalam kesehariannya. Orang-
orang yang setia melakasanakan ajaran agama Islam akan masuk surga setelah
meninggal dunia. Orang-orang yang beriman dan menjalankan ajaran agama
Islam dipercaya akan masuk surga setelah meninggal dunia dan yang tidak
melaksanakan ajaran agama, dipercaya akan masuk neraka. Hal tersebut membuat
banyak pemeluk agama Islam untuk berusaha sebaik mungkin taat dan
menjalankan ajaran agama Islam dalam hidup agar mendapatkan ganjaran masuk
surga setelah meninggal dunia.
Dalam ajaran agama Islam, melaksanakan ibadah haji merupakan kewajiban
yang harus dilakukan jika mampu. Perempuan muslim yang sudah menunaikan
ibadah haji akan dipanggil hajah dan bagi laki-laki akan dipanggil haji. Hal
tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(88) “Pagi juga ‘Bu Haji. Apakabar?” Maria sengaja menggoda Ibu Nora dengan
panggilan yang tidak begitu disukai tetangganya itu. Ibu Nora telah lima kali
menunaikan ibadah haji bersama suaminya Pak Hartono namun tak pernah
sekalipun mau menggunakan titel “hajjah” dan “haji” di depan nama mereka.
(Farahdiba, 2006: 171)
Orang-orang yang melaksanakan ibadah haji akan dipanggil hajah atau haji.
Panggilan ini digunakan untuk menandai bahwa orang tersebut telah menunaikan
salah satu kewajiban dalam ajaran agama Islam, yaitu ibadah haji. Bagi mereka
yang mampu secara ekonomi, ibadah haji dapat dilakukan lebih dari sekali. Biaya
untuk naik haji yang tidak murah menyebabkan adanya label khusus di
masyarakat bagi mereka yang mampu untuk menunaikan ibadah haji. Mereka
yang mampu dan telah melakukan ibadah haji dianggap mampu secara ekonomi
dan memiliki status sosial di masyarakat karena gelar haji atau hajah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
dimiliki. Selan itu, mereka yang memiliki gelar haji atau hajah dianggap memiliki
ketakwaan dan iman yang baik oleh masyarakat. Beberapa orang menganggap
penyebutan gelar haji atau hajah penting sebagai penanda identitas maupun status
sosial. Namun, ada orang yang menganggap penyebutan gelar haji atau hajah
tidak penting dan tidak perlu disematkan sebagai nama panggilan.
3.2.2 Politik
Politik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pemerintahan dan dapat dianggap sebagai konflik dalam rangka mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting (Surbakti, 1992: 1-2). Dalam novel Maria
dan Mariam karya Farahdiba, aspek politik diperlihatkan dengan adanya konflik
yang timbul akibat kepentingan politik penguasa. Hal itu tampak dalam kutipan
berikut.
(89) Hal ini mengundang kemarahan di kalangan aktifis LSM. Husni,
bagaimanapun, adalah pejuang hak asasi manusia yang kerap membantu
masyarakat yang sering diperlakukan tidak adil. Ia dikenal sebagai sosok
pemberani di masa Orde Baru, dan karenanya dijadikan panutan bagi
kalangan muda.
Meskipun tak pernah jelas siapa otak di balik pembunuhan Husni. Namun
harus ada yang bertanggung jawab terhadap pertistiwa tragis ini. Harus ada
kambing hitam. Si awak penerbangan dengan segera menjadi terdakwa.
Korban lain adalah Sugeng Winoto, ayah Jivan. Ia dianggap bertanggung
jawab kendati tak ada motif apapun yang bisa mendorongnya melakukan
tindakan yang amat bertentangan dengan hati nuraninya itu. Lembaga
intelejen yang disebut-sebut terkait dengan eksekutor pembunuhan Husni,
sama sekali tak tersentuh.
(Farahdiba, 2006: 151)
Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa Husni dan ayah Jivan menjadi
korban atas politik kotor yang dilakukan oleh pemerintah. Husni dibunuh bukan
sekadar tanpa alasan, tetapi karena dianggap dapat membahayakan pemerintahan.
Para aktivis sering menjadi lawan pemerintah yang mengkritik kinerja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
pemerintah. Pemerintah sering abai melaksanakan tugas untuk memelihara dan
menyejahterakan masyarakat dan hal tersebut menimbulkan protes dari para
aktivis. Aktivis menghimpun kekuatan dari massa dan menggerakkan masyarakat
untuk menggoyangkan kursi pemerintahan yang dianggap tidak dapat
melaksanakan tugas dengan benar. Kematian Husni ada hubungannya dengan
profesinya sebagai aktivis yang membantu rakyat kecil. Husni dianggap sebagai
ancaman oleh pemerintah sehingga ia dibunuh untuk kepentingan politik. Ayah
Jivan juga menjadi korban dan dijadikan kambing hitam atas kematian Husni.
Pejabat pemerintah yang terlibat politik kotor sering menggunakan orang tidak
bersalah sebagai kambing hitam untuk menutupi kesalahan mereka. Para penguasa
sering melakukan politik kotor untuk melanggengkan kekuasaan mereka dan tidak
segan menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap akan merugikan mereka. Politik
kotor yang dilakukan para penguasa sering sekali merugikan masyarakat karena
penguasa justru terfokus untuk memperkaya diri dan melupakan kewajiban
mereka sebagai wakil rakyat yang seharusnya berusaha memakmurkan rakyat.
Ketidakadilan yang dilakukan penguasa sering mendapat perlawanan dari para
aktivis, para aktivis tersebut berusaha membela hak-hak rakyat kecil yang
menjadi korban keserakahan penguasa. Akibatnya, para aktivis sering dianggap
sebagai musuh para penguasa yang menjalankan politik kotor.
Orang-orang yang ingin menjadi pejabat pemerintahan lewat pilihan legislatif
sering menarik perhatian masyarakat dengan janji-janji. Mereka berjanji jika
terpilih sebagai anggota dewan, maka mereka akan menyejahterakan masyarakat.
Namun, banyak anggota dewan yang melupakan janji mereka untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
menyejahterakan masyarakat dengan terlibat politik kotor, seperti korupsi. Hal itu
ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(90) “Tidak juga. Coba lihat tingkah laku teman-teman kita yang sekarang jadi
anggota DPR. Lupa mereka semua dengan komitmennya dulu. Semua pakai
BMW—dari mana duitnya? Baru jadi anggota DPR sudah begitu, bagaimana
kalau jadi menteri atau presiden? Munafik semuanya... Aku sudah muak.”
(Farahdiba, 2006: 154)
Beberapa orang yang lolos dalam pilihan legislatif dan memiliki kedudukan
di pemerintah malah melupakan komitmen yang dijanjikan kepada masyarakat.
Orang-orang seperti itu berpolitik untuk mendapatkan untung sebanyak-
banyaknya hingga mengabaikan kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat.
Kegiatan berpolitik digunakan untuk mencari dan mempertahankan sumber-
sumber yang menguntungkan untuk kedudukan dan ekonomi. Hal tersebut sering
terjadi di dunia nyata yang mana banyak penguasa yang terjerat kasus korupsi.
Uang pemerintah yang seharusnya dialokasikan untuk membangun infrastrukur
maupun memperbaiki pelayanan kepada masyarakat malah dikorupsi untuk
memperkaya diri sendiri dan golongan. Kegiatan berpolitik yang bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan dan menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat
membawa pengaruh buruk bagi citra pemerintah dan menimbulkan kerugian bagi
negara.
3.2.3 Seni
Seni dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan manusia untuk
mengekspresikan pengalaman hidup dan kesadaran artistiknya (Mulyani dan
Gracinia, 207: 30). Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, aspek seni
diperlihatkan melalui kebiasaan hidup sehari-hari seperti kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
(91) Setiap malam, Pak Daniel punya kebiasaan mengajak masyarakat setempat
untuk bermain gamelan. Para penghuni kamar senantiasa terhibur dengan
suara gamelan yang membuai, sebelum mereka beristirahat. Bagi para pecinta
seni dan budaya, pengalaman semacam ini takkan pernah terlupakan. Seni tak
identik dengan hal-hal yang eksklusif dan mahal. Seni adalah bagian dari
keseharian. Murah dan meriah.
(Farahdiba, 2006: 115)
(92) Modal pengetahuannya itu menjadi sangat bermanfaat ketika ia bertemu
dengan Guru Dharmo yang mengajarkan tentang “jiwa” seni-budaya
Nusantara. Ia memahami bahwa sejak dulu kala di Nusantara, seni bukanlah
sekedar “objek pertunjukkan”. Seni adalah ritual, adalah persembahan, adalah
sarana untuk menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya. Berperadapan.
(Farahdiba, 2006: 176)
Dalam kutipan di atas ditunjukkan bahwa seni menjadi bagian dari gaya
hidup masyarakat. Ada bermacam-macam cabang seni, seperti seni musik, seni
tari, dan seni rupa. Masyarakat mengekspresikan diri lewat seni dan sekaligus
sebagai sarana untuk membina hubungan yang rukun dengan sesama.
Selain itu, secara khusus para pegiat seni memaknai seni sebagai bagian dari
kehidupan. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(93) “Sudah kontak Mas Didik?” tanya Maria paa Martha sambil mendorong
trolley ke luar ruang kedatangan bandara. Kedatangan Maria dan Martha ke
Yogyakarta untuk melanjutkan penelitian tentang seni tari Cross-Gender—
Maria dan Martha lebih menyukai istilah Beyond Gender. Mereka akan
menemui tokoh seni tari serba bisa Didik Nini Thowok.
(Farahdiba, 2006: 178)
(94) Tak lama kemudian Martha dan Mas Didik sudah asyik benostalgia ketika
mereka sama-sama kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia di Yogyakarta.
Sebelumnya, Martha pernah bercerita bahwa Mas Didik memulai karirnya
dari nol. Dari tidak punya apa-apa sampai menjadi artis yang terkenal sampai
ke mancanegara. Ia sering menjadi tamu kehormatan dalam berbagai pentas
seni internasional. Salah satu institusi pendidikan di Jepang bahkan meminta
Mas Didik untuk tinggal di negeri itu, dan menjadi profesor dalam bidang
seni. Mas Didik menolaknya, karena ia rindu untuk tetap bisa “ngamen” di
pinggir-pinggir jalan, di negerinya sendiri. Baginya seni bukan sekedar
profesi. Seni adalah kehidupannya. Persembahannya.
(Farahdiba, 2006: 180)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Sebagai salah satu pegiat seni tari di Indonesia, Mas Didik telah membawa
nama Indonesia ke kancah internasional lewat pertunjukkan seni tari. Seni dapat
menjadi media untuk menyebarluaskan dan mempromosikan budaya dalam
negeri. Pegiat seni dapat berkarya sesuai di bidang seninya masing-masing, seperti
seni musik, seni tari, dan seni visual atau gambar. Para pegiat seni mampu
memaknai dan mengekspresikan seni secara lebih dalam dibanding orang lain.
Secara khusus, mereka mengabadikan hidup untuk seni dan menganggap seni
sebagai bagian penting dari hidup dan tidak hanya sebagai mata pencaharian
semata. Sebagai pegiat seni tari, Didik Nini Thowok tidak menganggap seni
sekadar sebagai mata pencaharian, tetapi sebagai bentuk ekspresi diri.
3.2.4 Simbol
Simbol adalah istilah, nama, atau gambar yang mengacu pada sesuatu yang
samar, tidak terpahami, atau tersembunyi (Jung, 2018: 6). Dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba terdapat simbol-simbol kepercayaan dan budaya. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
(95) Apa yang dilihatnya di lantai dua, membuatnya terkesiap. Ruangan itu mirip
sebuah aula yang dindingnya dihiasi dengan berbagai relief yang mewakili
sejumlah agama dan keyakinan. Ada gambar Kabah, Yesus, Buddha, Krishna,
Zarathustra, Syiwa serta sejumlah simbol lain yang tak semuanya ia kenali.
(Farahdiba, 2006: 79)
(96) Maria kini mengerti bahwa nenek moyang orang Indonesia, sebetulnya
bukanlah para penyembah patung. Mereka sengaja menciptakan simbol-
simbol yang dapat mendekatkan diri mereka dengan Tuhan. Simbol-simbol
itu, apapun bentuknya, selalu mengingatkan manusia untuk mewujudkan
keilahian dalam dirinya. Hilangnya simbil-simbol itu, baik dalam bentuk
gambar Ka’bah, Buddha, Krishna, Yesus dan lain-lain, membuat pikiran
manusia tidak lagi terbiasa “mengisi-ulang” mengisi alam bawah sadarnya
dengan nilai-nilai luhur yang diwakili oleh gambar-gambar tersebut.
Pikiran manusia sekarang, kini terisi dengan berbagai iklan atau sinetron atau
gaya hidup impor, yang terus-menerus ditampilkan melalui media—televisi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
koran dan radio serta film. Kita sengaja merendahkan diri kita dengan
menciptakan simbol-simbol yang materialistik.
(Farahdiba, 2006: 110)
Sejak zaman nenek moyang, simbol-simbol sudah digunakan sebagai media
untuk menyembah pencipta. Di masa kini, manusia menciptakan simbol-simbol
untuk mewakili agama tertentu. Simbol-simbol agama berfungsi sebagai media
untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, semakin
berjalannya waktu, simbol-simbol agama seolah tergantikan dengan simbol yang
mencerminkan gaya hidup duniawi, seperti hedonisme dan materialisme. Simbol-
simbol yang mencerminkan gaya hidup duniawi bersifat negatif karena akan
membuat orang melupakan nilai-nilai luhur yang menjadikan manusia dekat
dengan pencipta. Jika manusia serakah dan terus mengejar kebahagiaan duniawi
semata dan melupakan pencipta, maka manusia akan kehilangan hati nurani
sebagai penuntun untuk memilih hal-hal yang baik.
Terdapat simbol dewa dan dewi yang dipercaya oleh masyarakat sebagai
bentuk perwujudan dari suatu sifat tertentu. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(97) Simbol yang paling disukai Maria adalah Dewi Durga—yang terdapat di
Jawa. Durga adalah simbol kekuatan, yang juga dianggap sebagai Bunda
Alam Semesta. Selain memberi kekuatan, simbol Durga juga pertanda bagi
manusia untuk membiarkan egonya dihancurkan oleh Sang Ibu Semesta. Dari
Guru Dharmo, Maria mengetahui semua itu. Saking cintanya pada sosok
Durga, Maria membuatkan tempat khusus di kamarnya menginap untuk
meletakkan simbol Dewi Durga. Ia sering berbicara dengan simbol itu.
(Farahdiba, 2006: 117)
(98) Padahal, pernah di masa lalu, di wilayah peradaban Nusantara, orang-orang
seperti Mas Didik mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat di tengah-
tengah masyarakat. Mereka dipercaya sebagaia bentuk keseimbangan energi.
Yind dan Yang. Shakti dan Shiva. Yang disimbolkan dalam wujud
Ardhanarishwara, patung perpaduan antara setengah badan laki-laki atau
Shiva dan setengah badan perempuan atau Shakti.
(Farahdiba, 2006: 180-181)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Simbol-simbol yang mewakili suatu sifat atau kekuatan sering digambarkan
melalui perwujudan dewa dan dewi. Simbol dewa dan dewi biasanya banyak
ditemukan dalam ajaran agama Hindu dan dianggap memiliki nilai yang suci atau
sakral. Simbol-simbol tersebut juga berfungsi sebagai pengingat dan sarana untuk
selalu mendekatkan diri kepada pencipta.
3.2.5 Tradisi
Tradisi dimaknai sebagai sesuatu yang telah diciptakan, dipraktikkan, atau
diyakini dan ditransmisikan dari masa lampau ke masa sekarang (Hasan, 2018:
40). Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba terdapat aspek tradisi yang
yang terlihat dalam kutipan berikut.
(99) “Aku juga tidak menyalahkan kamu untuk menilai aturan pondok.
Masalahnya, kamu salah masuk. Orang yang berjiwa terbuka sepertimu, tidak
akan pernah cocok di lingkungan pondok di manapun. Tidak semua orang
bisa seperti kamu. Bagi mereka, kedisiplinan itu sangat penting, agar para
santri bisa belajar dengan serius. Tradisi harus dihormati. Orang sepertimu
butuh lembaga yang berbeda...,” nada bicara Falah merendah.
(Farahdiba, 2006: 55)
Dalam kutipan di atas, Fallah sedang berdebat dengan Maria mengenai
tradisi peraturan yang ada di pondok pesantren. Di pondok pesantren terdapat
aturan yang meskipun sifatnya kaku, tetapi tidak dapat diubah dengan mudah
karena sudah menjadi tradisi sejak dulu untuk tetap dilaksanakan. Meski tradisi
tersebut terkesan kaku dan sudah ketinggalan zaman, tetapi tetap harus dihormati
karena yang menciptakannya adalah para leluhur. Tradisi yang tetap dilaksanakan
di pondok pesantren bertujuan untuk membantu para santri agar tetap fokus
belajar dan mendalami ilmu agama Islam dan tidak mudah terpengaruh oleh hal
lain di luar kegiatan belajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Di Sulawesi Selatan, terdapat komunitas bissu yang sampai sekarang
masih menjadi pemimpin ketika sedang diselenggarakan acara atau ritual adat.
Komunitas bissu ini telah ada sejak zaman nenek moyang di Nusantara. Mereka
dulu dianggap sebagai penghubung antara dunia nyata dan dunia para dewa oleh
masyarakat setempat. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
(100) Sekarang ini, peran Bissu dalam masyarakat lebih bersifat domestik.
Mereka masih diminta untuk melaksanakan ritual perayaan kelahiran bayi,
sunatan maupun perkawinan. Padahal, mereka adalah penerus utama
tradisi lisan dan penulisan I La Galigo, sebuah epos sejarah masyarakat
Bugis yang sangat panjang dan dapat disejajarkan dengan Mahabharata.
(Farahdiba, 2006: 182)
Komunitas bissu ini dulunya dianggap penting oleh masyarakat, namun
seiring perkembangan zaman, kehadiran mereka mulai dilupakan oleh
masyarakat. Padahal para bissu ini merupakan penerus tradisi budaya masyarakat
Bugis yang tidak boleh punah karena merupakan salah satu warisan kekayaan
Nusantara yang masih ada sampai sekarang. Tradisi yang ada di Nusantara sangat
banyak, namun makin sedikit orang yang memiliki kesadaran untuk tetap
melestarikannya.
Berdasarkan analisis di atas, aspek agama Islam di dalam novel ini
tergambar melalui ajaran-ajaran agama Islam, lembaga, dan kelompok radikal
yang mengatasnamakan agama Islam. Aspek politik tergambar di novel ini
melalui konflik kepentingan penguasa. Orang-orang yang sedang berkuasa
mempertahankan dan melindungi kepentingan mereka dengan mengorbankan
kepentingan orang lain, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Aspek seni
dalam novel ini tergambar melalui kebiasaan hidup masyarakat Indonesia sehari-
hari dan lewat perilaku para pegiat seni yang aktif menekuni seni sebagai bentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
ekspresi diri. Aspek simbol tergambar melalui simbol-simbol kepercayaan dan
budaya. Simbol kepercayaan yang muncul adalah simbol dewa-dewi yang
menggambarkan suatu sifat atau karakter tertentu. Aspek tradisi tergambar
melalui tradisi yang terdapat di pondok pesantren dan tradisi masyarakat Bugis di
Sulawesi yang masih mempertahankan keberadaan komunitas bissu.
3.2.6 Rangkuman
Tabel 4: Rangkuman Budaya
No. Budaya Keterangan
1. Kepercayaan/Agama Tampak dalam ajaran agama Islam, lembaga,
dan kelompok radikal yang
mengatasnamakan agama Islam.
2. Politik Tampak melalui konflik kepentingan
penguasa yang menyebabkan korban jiwa.
3. Seni Tergambar melalui kebiasaan hidup sehari-
hari dan perilaku pegiat seni.
4. Simbol Tampak dalam simbol kepercayaan dewa-
dewi.
5. Tradisi Tergambar melalui tradisi di pondok
pesantren yang masih mempertahankan
tradisi dan aturan dan tradisi komunitas bissu
di Sulawesi.
3.3 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial dimaknai sebagai interaksi sekelompok orang atau
individu yang menempati kawasan atau tempat tertentu yang relatif permanen
(Purba, 2005: 16). Aspek lingkungan sosial yang terdapat di dalam novel Maria
dan Mariam karya Farahdiba meliputi hubungan sosial dan kriminalitas.
3.3.1 Hubungan Sosial
Dalam hubungan sosial di masyarakat, terjadi kontak sosial yang melibatkan
individu dan kelompok. Terdapat tiga jenis kontak sosial, yaitu 1) antara individu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dengan individu, 2) antara individu dengan kelompok, 3) antara kelompok dengan
kelompok (Nasdian, 2015: 44). Berikut akan diuraikan hubungan sosial yang
menyangkut individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok
dengan kelompok yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba
3.3.1.1 Hubungan Sosial Individu dengan Individu
Hubungan sosial yang terjadi antara individu dengan individu saling memberi
pengaruh dalam bentuk pikiran dan tindakan (Yulianthi, 2015: 66). Dalam novel
Maria dan Mariam karya Farahdiba, hubungan sosial yang terjadi antara individu
dengan individu dapat terjadi dalam bentuk positif dan negatif. Hal tersebut
terlihat dalam kutipan berikut.
(101) “Apa kabar Pak Warto, masih ada kamar?” tanya Maria yang berusaha
menciptakan suasana akrab—buat dirinya sendiri.
Pak Warto yang sejak tadi sudah melihat kedatangan Maria, tersenyum
lebar. “Tentu ada Neng. ‘Gimana kabarnya? Mau berapa malam sekarang
ini?”
Dua malam saja, sebelum saya pulang ke Jakarta.
“Iya, iya ada Neng. Nanti saya bawakan sekalian barang-barangnya ke
kamar?”
(Farahdiba, 2006: 51)
Dalam kutipan di atas terjadi hubungan sosial individu dengan individu yang
sifatnya positif antara Maria dan Pak Warto, penjaga losmen tempat Maria
menginap. Hubungan sosial individu dengan individu yang bersifat positif terjadi
karena hubungan tersebut mengarah pada suatu kerja sama dan tidak
menimbulkan pertentangan atau konflik. Hubungan sosial yang terjadi antara
Maria dan Pak Warto dikategorikan positif karena keduanya saling membutuhkan.
Maria membutuhkan tempat untuk menginap dan Pak Warto membutuhkan
pelanggan untuk menginap di losmennya agar tetap mendapat pemasukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Hubungan antara Maria dan Pak Warto adalah salah satu contoh bentuk hubungan
sosial individu dengan individu yang sifatnya positif karena mendatangkan untung
untuk kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak lain.
Selain hubungan sosial individu dengan individu yang sifatnya positif,
terdapat pula hubungan sosial yang sifatnya negatif.
(102) “Maria, apa yang kamu cari di sini? Kalau cuma mencari pacar, nggak
usah pakai acara mondok. Ngerusak citra pondok saja!”
Bagai disambar geledek di siang bolong, Maria segera mendatangi orang
yang menegurnya, yang tak lain adalah mentornya sendiri, Mbak Hulasoh.
Sejak awal. Maria memang tidak bergitu nyaman dengan perempuan satu
ini. Namun, karena ia adalah mentornya. Ia tak terlalu ambil pusing. Meski
demikian, ia seringkali tak tahan juga melihat gaya “sok alim” dan ”sok
pintar” dibandingkankan dengan Mbak Mar, yang memang jauh sekali
pembawannya.
(Farahdiba, 2006: 21-22)
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa hubungan sosial yang terjadi antara
Maria dan Hulasoh tidak terjalin dengan baik dan mengarah pada hubungan yang
sifatnya negatif. Hubungan sosial yang bersifat negatif ditandai dengan timbulnya
pertentangan dan konflik. Hulasoh mencurigai Maria akan menggoda Gus Fallah,
dari prasangka itu lalu muncul pertentangan yang diakibatkan oleh
kesalahpahaman. Hubunga sosial individu dengan individu yang sifatnya negatif
dapat terjadi di manapun, bahkan di dalam pondok pesantren sekali pun.
Hubungan antarsantri di dalam pondok tidak selalu berjalan dengan damai dan
rukun. Kerap terjadi konflik-konflik yang diakibatkan banyak hal, misalnya
kesalahpahaman dan iri dengki.
3.3.1.2 Hubungan Sosial Individu dengan Kelompok
Hubungan sosial yang terjadi antara individu dengan kelompok saling
memengaruhi satu sama lain karena memiliki tujuan atau kepentingan bersama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
(Yulianthi, 2015: 66-67). Hubungan ini terjadi ketika ada individu yang
melakukan kontak atau berinteraksi dengan suatu kelompok tertentu di
masyarakat. Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba terdapat hubungan
sosial individu dengan kelompok yang terlihat dalam kutipan berikut.
(103) Dari seorang aktivis yang terbiasa mendampingi dan mengorganisir para
buruh, Maria memahami dan mengapresiasi kedalaman makna dari seni
yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia.
(Farahdiba, 2006: 175)
(104) Dua hari kemudian, Maria sudah sibuk menyiapkan barang bawaannya.
Jaket belel dan kamera dimasukkan dalam ranselnya yang penuh dengan
pernak-pernik unik dari berbagai negara. Sabtu pagi itu ia harus menemui
Jivan dan teman wartawannya untuk mendatangi pemukiman buruh di
salah satu kawasan industri di Tangerang
(Farahdiba, 2006: 161)
Dalam kutipan di atas tampak bahwa Maria pernah berinteraksi dengan
kelompok buruh ketika ia masih menjadi aktivis buruh. Hubungan sosial yang
terjadi antara Maria dengan kelompok buruh merupakan hubungan yang positif
karena tujuannya baik, yaitu untuk membantu meningkatkan kesejahteraan kaum
buruh. Sebagai seorang aktivis buruh, Maria ingin menolong para buruh dan
memperjuangkan hak-hak mereka. Ia kerap mendampingi dan membina kelompok
buruh yang pada saat itu haknya sering diabaikan oleh pemerintah. Hubungan
sosial yang terjadi antara Maria dan kaum buruh bersifat positif dan menyebabkan
terbangunnya relasi dan hubungan yang baik bagi kedua belah pihak. Hal tersebut
menjadi salah satu bentuk pengabdian seorang aktivis terhadap lingkungannya
dengan berusaha memperjuangkan hak-hak dan membela kepentingan kaum
tertindas dari ketidakadilan yang dilakukan penguasa. Ada pula hubungan sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
yang terjadi antara individu dengan kelompok yang bentuknya negatif. Hal
tersebut tampak dalam kutipan berikut.
(105) Hingga akhirnya ia tak sengaja bertemu dengan Fauzi, teman lamanya,
aktifis pengajian kampus semasa kuliahnya, yang kemudian membawanya
memasuki sebuah kelompok pengajian bergaris keras di pinggiran Kota
Depok. Di sana, ia biarkan kemarahannya “disuapi” dengan mendengarkan
ceramah-ceramah yang radikal. Ia mulai menerima konsep Tuhan yang
pemarah. Segala sesuatu yang dianggapnya “melemahkan” hati, satu
persatu ditinggalkannya. Mulai dari Kahlil Ghibran hingga Rumi.
“Burung-Burung Manyar” karya Romo Mangun, novel favoritnya, serta
kumpulan puisi-puisinya sendiri, dibuangnya begitu saja.
(Farahdiba, 2006: 153)
Dalam kutipan di atas tampak bahwa hubungan sosial yang terjadi antara
Jivan dengan sebuah kelompok radikal sifatnya negatif. Jivan ingin mencari
kelompok radikal agar dapat menyalurkan kemarahan dan dendamnya atas
kematian ayahnya. Interaksi yang terjadi di antara Jivan dengan kelompok radikal
tersebut membawa pengaruh buruk bagi Jivan. Setelah mengikuti kelompok
radikal itu, Jivan mulai terpengaruh ajaran buruk dari mereka dan sifatnya
berubah menjadi pemarah. Ia tidak lagi menjadi aktivis mahasiswa dan berhenti
memperjuangkan keadilan sosial bagi masyarakat. Jivan dan kelompok radikal
tersebut memiliki pandangan yang sama, yaitu sama-sama membenci pemerintah
dan ingin menciptakan teror untuk mengganggu stabilitas nasional. Hubungan
sosial ini bersifat negatif karena menimbulkan kerugian bagi Jivan dan
masyarakat. Akibat berinteraksi dan menjadi bagian dari kelompok radikal
tersebut, Jivan telah teperdaya paham yang menyesatkan dan justru membuatnya
kehilangan empati dan kasih sayang dan terus berambisi untuk membalaskan
dendamnya kepada pemerintah dengan menciptakan teror dan kerusuhan di
masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
3.3.1.3 Hubungan Sosial Kelompok dengan Kelompok
Hubungan sosial yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok
lainnya di masyarakat saling memberi pengaruh, baik positif atau negatif
(Yulianthi, 2015: 67). Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba,
hubungan ini terjadi ketika ada peristiwa pembunuhan seorang aktivis hak asasi
manusia di dalam penerbangan pesawat. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(106) Sayangnya, baru tiga bulan diangkat menjadi pimpinan, perusahaannya
mengalami peristiwa tragis yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Seorang aktifis hak asasi manusia ternama, meninggal secara misterius
dalam pesawat milik maskapai penerbangan yang dipimpinnya, ketika
hendak bertolak melanjutkan studi di negeri Belanda. Kematian itu,
setelah diselidiki, ternyata adalah hasil rekayasa. Husni, nama aktifis itu,
diracuni makanannya. Pembunuhan ini, diduga dilakukan oleh salah
seorang awak maskapai penerbangan itu. Awak penerbangan itu,
sebetulnya sedang tidak bertugas, namun entah bagaimana caranya, ia bisa
berada dalam pesawat itu bersama-sama Husni. Belakangan diketahui
bahwa si awak penerbangan itu memiliki keterkaitan dengan sebuah badan
intelejen.
Hal ini mengundang kemarahan di kalangan aktifis LSM. Husni,
bagaimanapun, adalah pejuang hak asasi manusia yang kerap membantu
masyarakat kecil yang sering diperlakukan tidak adil. Ia dikenal sebgai
sosok pemberani di masa Orde Baru, dan karenanya dijadikan panutan
bagi kalangan muda.
(Farahdiba, 2006: 151)
Peristiwa pembunuhan Husni, seorang aktivis hak asasi manusia di dalam
pesawat menimbulkan konflik antara kelompok aktivis dengan kelompok badan
intelejen. Husni diduga dibunuh lantaran dianggap sebagai ancaman bagi
kelompok tertentu karena ia merupakan sosok yang berani menentang
pemerintahan Orde Baru. Keberanian Husni dalam memperjuangkan hak asasi
manusia dan menentang pemerintahan Orde Baru tentu akan merugikan pihak-
pihak yang pada saat itu berkuasa. Husni dibunuh demi kepentingan kelompok
tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan menindas masyarakat kecil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Pelaku yang meracuni Husni memiliki keterkaitan dengan instansi atau kelompok
tertentu. Hal tersebut menyebabkan kemarahan dari kelompok aktivis karena
Husni merupakan salah satu anggota mereka dan ia dibunuh demi kepentingan
kelompok penguasa. Bentuk-bentuk perlawanan para aktivis kemanusiaan dalam
memperjuangkan hak-hak rakyat kecil sering menjadi inspirasi bagi orang lain
agar turut memperjuangkan keadilan sosial. Akibatnya, penguasa akan merasa
terancam dengan kehadiran para kelompok aktivis yang berusaha menggagalkan
usaha mereka untuk melanggengkan kekuasaan dan mengabaikan nasib rakyat.
Para penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan lalu berusaha
menyingkirkan dan melenyapkan pihak-pihak yang dirasa mengancam posisi dan
kekuasaan mereka. Hubungan sosial yang terjadi antara kelompok aktivis dan
kelompok penguasa bersifat negatif karena menimbulkan konflik dan
pertentangan yang dapat menimbulkan korban jiwa
3.3.2 Kriminalitas
Kriminalitas dimaknai sebagai segala hal yang bersifat kriminal atau
perbuatan yang melanggar hukum pidana (Syaid, 2019: 14). Dalam novel ini
terdapat aspek kriminalitas seperti terjadinya teror pengemboman dan
pembunuhan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
(107) “Entah kamu ingat atau tidak. Ketika itu dunia dikejutkan dengan
peristiwa pemboman Candi ini oleh orang-orang yang mengaku beragama
dan menganggap tempat ini berhala. Mereka sama sekali tidak menyadari
bahwa esensi agama yang mereka yakini dapat pula dipelajari dari tempat
ini.” ungkap Guru Dharmo.
(Farahdiba, 2006: 125)
(108) Sekarang rasa gelisah Maria terpicu kembali, hanya karena hari itu ia
membaca surat kabar yang memberitakan seputar vonis terhadap otak
seorang pelaku pemboman di sejumlah tempat ibadah di negeri ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
(Farahdiba, 2006: 129-130)
Dalam kutipan tersebut tampak bahwa pernah ada peristiwa pengeboman
candi oleh sekelompok orang yang menganggap candi sebagai berhala. Aksi
pengeboman tersebut merupakan aksi kriminal karena melanggar hukum. Candi
merupakan tempat pemujaan bagi agama Hindu dan Buddha di zaman dulu dan
sekarang menjadi bukti sejarah yang wajib dilindungi. Aksi pengeboman candi
merupakan tindakan ilegal yang melanggar hukum karena termasuk perbuatan
yang merusak bukti sejarah yang dilindungi pemerintah. Selain itu, pengeboman
tempat ibadah juga merupakan aksi kriminal karena pemerintah telah menjamin
kebebasan masyarakat untuk memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaan
masing-masing. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan dibomnya tempat ibadah, maka sama saja dengan melanggar
perlindungan hak atas kebebasan beragama dan beribadah.
Kepemilikan bahan peledak juga telah diatur dalam undang-undang.
Pemerintah mengawasi dan membatasi kepemilikan bahan peledak dan
menetapkan syarat yang cukup berat bagi badan usaha yang akan
mendistribusikan bahan peledak. Para pelaku yang mengebom candi dan tempat
ibadah tersebut dapat dipastikan memiliki bahan peledak tanpa izin atau secara
ilegal dan digunakan untuk tindakan perusakan situs yang dilindungi pemerintah
dan tempat ibadah.
Selain aksi pengeboman, terdapat pula peristiwa pembunuhan terhadap
anggota komunitas bissu dan aktivis yang terjadi ketika masa Orde Baru. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
(109) Seorang aktifis hak asasi manusia ternama, meninggal secara misterius
dalam pesawat milik maskapai penerbangan yang dipimpinnya, ketika
hendak bertolak melanjutkan studi di negeri Belanda. Kematian itu,
setelah diselidiki, ternyata adalah hasil rekayasa. Husni, nama aktifis itu,
diracuni makanannya. Pembunuhan ini, diduga dilakukan oleh salah
seorang awak maskapai penerbangan itu. Awak penerbangan itu,
sebetulnya sedang tidak bertugas, namun entah bagaimana caranya, ia bisa
berada dalam pesawat itu bersama-sama Husni. Belakangan diketahui
bahwa si awak penerbangan itu memiliki keterkaitan dengan sebuah badan
intelejen.
Hal ini mengundang kemarahan di kalangan aktifis LSM. Husni,
bagaimanapun, adalah pejuang hak asasi manusia yang kerap membantu
masyarakat kecil yang sering diperlakukan tidak adil. Ia dikenal sebgai
sosok pemberani di masa Orde Baru, dan karenanya dijadikan panutan
bagi kalangan muda.
(Farahdiba, 2006: 151)
(110) “Mau tidak mau, inisiatif-inisiatif dari masyarakat sendiri, dari kita sendiri
yang akan membantu kelompok-kelompok tertindas semacam ini. Saya
pernah mendengar sendiri cerita dari salah seorang Bissu tentang
perlakuan yang pernah mereka alami selama puluhan tahun. Mereka
diburu dan dibunuh. Nyawa seekor anjing kadang-kadang dianggap lebih
berharga dari nyawa mereka,” papar Maria.
(Farahdiba, 2006: 183)
Dalam kutipan di atas tampak bahwa pernah terjadi aksi pembunuhan
terhadap seorang aktivis dan anggota komunitas bissu. Husni, seorang aktivis hask
asasi manusia, dibunuh demi melindungi kepentingan suatu kelompok. Anggota
komunitas bissu diteror dan dibunuh karena dibenci oleh sekelompok orang yang
tidak menyukai keberadaan komunitas tersebut di masyarakat. Aksi pembunuhan
tersebut merupakan tindak kriminal yang berat karena melanggar undang-undang
tentang hak asasi manusia. Dalam undang-undang telah diatur bahwa pemerintah
menjamin hak untuk hidup dan memperoleh rasa aman. Hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia. Dengan begitu, aksi
pembunuhan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan dianggap
sebagai aksi kriminal yang tidak bermoral.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Berdasarkan analisis di atas, aspek hubungan sosial yang tergambar dalam
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba ada yang bersifat positif dan negatif.
Hubungan sosial yang sifatnya positif terjalin karena adanya kerja sama untuk
mencapai tujuan bersama. Hubungan sosial yang sifatnya negatif terjadi karena
adanya pertentangan dan konflik oleh individu atau kelompok yang menyebabkan
terjadinya perpecahan. Aspek kriminalitas dalam novel ini tergambar melalui
tindakan-tindakan yang melanggar hukum pidana, seperti pembunuhan dan
pengeboman situs warisan nasional dan tempat ibadah.
3.3.3 Rangkuman
Tabel 5: Rangkuman Lingkungan Sosial
No. Lingkungan Sosial Keterangan
1. Hubungan sosial individu
dengan individu
Hubungan positif terjadi antara Maria
dan pemilik penginapan.
Hubungan negatif terjadi antara Maria
dan Hulasoh.
2. Hubungan sosial individu
dengan kelompok
Hubungan positif terjadi antara Maria
dengan kelompok buruh.
Hubungan negatif terjadi antara Jivan
dan kelompok radikal.
3. Hubungan sosial individu
dengan kelompok
Hubungan negatif terjadi antara
kelompok penguasa dengan kelompok
aktivis kemanusiaan.
4. Kriminalitas Tampak dalam tindakan yang melanggar
hukum pidana, yaitu pembunuhan dan
pengeboman situs warisan nasional dan
tempat ibadah.
3.4 Ekonomi
Terdapat empat masalah pokok dalam ekonomi makro, yaitu masalah inflasi,
pengangguran, keseimbangan neraca pembayaran, dan pertumbuhan ekonomi.
Kemiskinan dapat terjadi karena kondisi pendapatan nasional rendah sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
investasi dan produksi akan menurun dan mengakibatkan pengangguran
meningkat (Curatman, 2010: 2). Kemiskinan ditandai dengan menurunnya daya
beli masyarakat dan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup dengan
sempurna. Dalam teori ekonomi makro, GDP (Gross Domestic Product) tidak
dapat dijadikan cerminan suatu negara dapat dikatakan kaya atau miskin karena
pembagian pendapatan nasional biasanya tidak merata (Curatman, 2010: 5).
Tingkat pendapatan yang diperoleh seseorang dapat memengaruhi gaya hidupnya.
Jika tingkat pendapatan atau pemasukan terhitung tinggi, maka anggaran yang
dikeluaran untuk memenugi gaya hidup akan semakin banyak.
Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, aspek ekonomi yang akan
dibahas adalah aspek kemiskinan dan gaya hidup.
3.4.1 Kemiskinan
Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai tolak ukur sejauh mana seseorang
berada di bawah tingkat standar hidup minimal sesuai masyarakat atau
komunitasnya berada (Maipita, 2013: 9). Dikatakan berada di bawah garis
kemiskinan apabila memiliki ciri-ciri tidak memiliki faktor produksi sendiri, tidak
memiliki kemungkinan memperoleh aset produksei sendiri, tingkat pendidikan
rendah, dan tidak memiliki keterampilan (Soelaeman, 2015: 229). Dalam novel
Maria dan Mariam karya Farahdiba, aspek kemiskinan yang ada di masyarakat
tampak dalam kutipan berikut.
(111) Di bulan Mei 1975, sepasang suami-istri petani datang ke pondok
pesantren Al-Aziz dengan membawa seorang bayi perempuan montok
yang cantik, Siti Mariam. Bagai cerita-cerita dongeng, kedua orangtaua
yang sedang kesulitan keuangan itu menyerahkan anaknya pada Ibu Nyai.
Mereka sudah tak sanggup mengurusnya. Jangankan untuk beli susu,
makan sehari-hari pun mereka harus bersusah payah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Saat itu kemarau panjang, ladang yang mereka tanami kering kerontang.
Padahal, bercocok tanam adalah satu-satunya penghasilan yang mereka
andalkan. Sisa uang yang mereka miliki pun, terpaksa didapatkan dari
rentenir haus darah yang sering bertandang ke dusunnya sambil mencari-
cari daun muda. Satu-satunya yang terpikir adalah menyelamatkan
putrinya, Agar tidak kelaparan dan kurang gizi.
(Farahdiba, 2006: 6-7)
Mariam terlahir dari keluarga yang miskin. Orangtuanya hanyalah seorang
petani yang mengandalkan penghasilan dari bercocok tanam. Ketika ia masih
bayi, terjadi musim kemarau panjang yang membuat ladang orang tuanya tidak
menghasilkan panen apa pun. Akibat gagal panen, orang tua Mariam tidak
memiliki penghasilan apa pun dan meminjam uang ke rentenir untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Orang tua Mariam yang terhimpit masalah ekonomi
dan tidak mampu membiayai hidupnya pun terpaksa menyerahkannya ke pondok
pesantren. Orang tuanya berharap jika Mariam mendapat hidup yang lebih layak
setelah dititipkan untuk diasuh di pondok pesantren. Desakan masalah ekonomi
membuat manusia terpaksa melakukan hal-hal berat dan mengorbankan sesuatu
agar dapat terlepas dari masalah tersebut. Dalam kasus Mariam, kemiskinan
membuat orang tuanya terpaksa merelakan Mariam diasuh oleh orang lain dan
tinggal terpisah dari mereka selaku orang tua kandung. Keputusan itu diambil
orang tua Mariam agar Mariam dapat tetap hidup dan tumbuh dengan layak dan
terpenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pangan dan pendidikan.
Selain Mariam, Ali juga pernah merasakan berada dalam keadaan terhimpit
masalah ekonomi. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
(112) Dalam tekanan waktu, muncul kilasan memori dalam pikiran Umar. Ia
teringan pertemuannya pertama kali dengan Ali dalam kelompok itu. Ali
sedang berada dalam himpitan masalah ekonomi yang telah merampas
kehidupan ibu dan adik-adiknya. Ibunya yang sakit-sakitan harus memberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
makan Ali dan adik-adiknya dengan cara menjahit baju di Tanah Abang.
Ali yang menjadi loper koran hanya bisa memenuhi kebutuhannya sendiri,
supaya tetap bisa bersekolah. Bencana tiba ketika terjadi kebakaran hebat
yang membakar habis pemukiman tempat Ali dan keluarganya tinggal.
Belum lagi mendapatkan tempat tinggal, tak berapa lama sudah
terpampang papan tanda dari sebuah perusahaan pengembang yang
mengklaim tanah itu adalah properti mereka. Sebuah kompleks apartemen
mewah akan segera dibangun di sana. Lalu dalam keadaan seperti itu,
datanglah penyakit Demam Berdarah. Ibu dan adik-adiknya meninggal
dalam kurun waktu dua minggu. Menurut Ali, mereka mati karena sakit
hati. Ia hampir saja menyerahkan mayat keluarganya pada pihak rumah
sakit karena tidak sanggup menguburkannya. Saat itulah, Abi, seorang
pengusaha jasa tenaga kerja datang menolongnya. Memberinya uang dan
mengajaknya mengikuti sebuah organisasi bawah tanah berkedok agama.
Abi pula yang membiayai pernikahannya.
(Farahdiba, 2006: 247-248)
Ali lahir di tengah keluarga miskin. Ibunya hanya bekerja sebagai penjahit
sementara harus menghidupi Ali dan adik-adiknya. Ali terpaksa harus bekerja
sebagai loper koran agar mendapat penghasilan untuk membayar uang sekolah.
Bagi orang miskin, pendidikan seolah-olah barang mahal yang didapatkan dengan
susah payah. Ali bahkan tidak dapat menebus jenazah ibu dan adiknya yang
meninggal karena penyakit demam berdarah di rumah sakit. Pada saat itu, Abi
datang dan memberikan bantuan materi. Ali diajak untuk bergabung dengan
kelompok radikal. Ia bertahan untuk tetap bergabung dengan kelompok radikal
tersebut karena merasa memiliki hutang balas budi. Meski ajaran yang
diterimanya dalam kelompok radikal justru menyesatkan, Ali tetap bergabung
dengan kelompok tersebut karena ingin membalas budi dan agar kebutuhan
hidupnya tetap dapat terpenuhi dengan baik.
Baik orang tua Mariam maupun Ali terpaksa melakukan sesuatu demi keluar
dari himpitan ekonomi. Hal tersebut sering terjadi dalam kehidupan nyata ketika
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena kehilangan sumber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
penghasilan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan baik dan ingin
segera terlepas dari masalah tersebut. Kemandirian secara ekonomi akan
membawa banyak kemudahan, membuka lebih banyak peluang dalam hidup dan
terpenuhinya kebutuhan hidup dengan baik. Namun, himpitan ekonomi akan
membawa kesengsaraan sehingga orang-orang yang berada di bawah kemiskinan
harus bekerja lebih ekstra agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan
melakukan hal-hal yang belum tentu disukai. Hal tersebut dilakukan agar mereka
terlepas dari himpitan ekonomi dan dapat hidup lebih layak.
3.4.2 Gaya Hidup
Gaya hidup diartikan sebagai tingkah laku dan cara hidup seseorang yang
ditunjukkan melalui aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Dalam novel ini, aspek
gaya hidup terlihat dari kebiasaan, hobi, dan perilaku yang dilakukan tokoh-
tokohnya yang dipengaruhi oleh teknologi, lingkungan sosial di sekitarnya, dan
kemampuan daya beli untuk memenuhi gaya hidup tersebut.
(113) Ini kisah tentang Ira, seorang gadis muda, Ira adalah saudara sepupu
Maria. Ia menganggap dirinya gadis modern, “generasi MTV.”. Segala
perkembangan dunia pop, dari musik, fashion hingga film selalu menarik
perhatiannya. Sayang sekali, semangat kemodernannya tidak disertai
pondasi pemikiran dan nilai-nilai yang cukup kokoh.
(Farahdiba, 2006: 39)
(114) “Mengapa kamu...?” ujarnya penuh penyesalan. Ia yang pertama kali
mengusulkan Cilandak Super Square sebagai sasaran. Tempat itu adalah
tempat nongkrong para anak pejabat.
(Farahdiba, 2006: 242)
Ira adalah gadis muda yang memiliki gaya hidup modern. Ia selalu mengikuti
perkembangan tren terkini. Dibantu dengan perkembangan teknologi yang
memudahkan manusia untuk mendapatkan akses komunikasi, informasi mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
tren-tren terkini yang sedang terkenal mudah untuk didapatkan. Gaya hidup
manusia modern dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang membantu
manusia untuk mendapat berbagai macam informasi dalam waktu yang singkat.
Tren-tren yang sedang populer seperti musik, film, dan fesyen pun dapat dengan
mudah menyebar ke seluruh belahan dunia lewat media massa cetak dan daring.
Dengan kemudahan akses komunikasi yang ada, manusia akan berkeinginan
untuk mengetahui perkembangan budaya populer agar dapat beradaptasi di
lingkungan sosialnya.
Kegiatan nongkrong adalah istilah untuk menyebut kegiatan berkumpul
bersama teman di suatu tempat. Kegiatan ini telah menjadi gaya hidup masyarakat
modern di Indonesia. Di kota-kota besar, kegiatan berkumpul bersama teman di
mal, restoran, atau kafe dapat menjadi gaya hidup konsumtif untuk mengisi waktu
luang. Semakin tinggi kelas sosial dan pendapatan yang dimiliki orang tersebut,
maka lokasi yang dipilih untuk berkumpul bersama teman akan semakin mewah.
Selain gaya hidup modern, terdapat pula gaya hidup kebarat-baratan yang
meniru gaya hidup yang dilakukan orang barat. Hal ini tampak dalam kutipan
berikut.
(115) Maria mencari-cari asal suara yang memanggilnya. Ia tak melihat ada
sosok yang dikenalnya. Hanya ada seorang perempuan sebaya dengannya.
Wajahnya cantik, tepatnya eksotik. Maria seperti mengenalnya, tapi lupa
di mana. Maria ragu. Dipandangnya lagi sosok perempuan itu.
Dandanannya gorjes—pelesetan dari georgeous. Celana jeans dipadukan
dengan kaos Mango warna pink yang mempertontonkan perutnya yang
ramping. Orang yang sadar fashion, pikir Maria.
(Farahdiba, 2006: 264)
(116) “Merokok?”
“Mbak Mar, sejak kapan...?” tanya Maria.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Mbak Mar menyulut rokok dengan Zippo mungilnya. Ia tidak menjawab
pertanyaan Maria.
“Mbak Mar, perubahan Mbak luar biasa ya. Dandanannya seperti selebriti.
Merokok dan bersuamikan orang bule pulea,” pancing Maria.
“Andrew? He’s not my husband, My dear,” jawab Mbak Mar cuek sambil
menghembuskan asap rokok Marlboro-nya ke wajah Maria.
Maria sewot, “Tapi, Mbak Mar tadi menciumnya...”
(Farahdiba, 2006: 268)
(117) Maria sedih mendengar cerita Mbak Mar. Meski tidak diekspresikan,
Maria merasa ada kegetiran yang terpendam di balik penampilan Mbak
Mar. Perubahan yang terlalu drastis semacam iti, baginya sangat tidak
wajar. Ia telah cukup banyak mengamati berbagai jenis karakter orang.
Mereka yang mudah berubah secara ekstrem, biasanya memiliki tingkat
ketidakstabilan mental yang tinggi. Ia kasihan terhadap sahabatnya ini.
Dulu “kearab-araban”, kini “kebarat-baratan”.
(Farahdiba, 2006: 270)
Dalam kutipan di atas tampak bahwa selepas pergi dari pondok pesantren,
gaya hidup Mariam berubah drastis. Mariam bekerja di sebuah kafe di Jakarta
setelah keluar dari pondok pesantren, sejak saat itulah Mariam merasakan
kebebasan hidup yang tidak pernah dirasakannya di pondok. Mariam dapat
mengekspresikan dirinya dengan bebas, ia berpenampilan lebih trendi dan
mengikuti gaya fesyen yang sedang berkembang. Selain itu, ia menjalin hubungan
tanpa status dengan Andrew, laki-laki asing. Di barat, hidup bersama tanpa ikatan
pernikahan dianggap hal biasa. Mariam dan Andrew menjalin hubungan seperti
pasangan suami-istri, tetapi tanpa terikat pernikahan. Gaya hidup seperti itu
diadaptasinya dari budaya orang barat. Mariam digambarkan bersikap dan
berpenampilan menyerupai orang barat, padahal gaya hidupnya selama di pondok
pesantren dulu tidak seperti itu. Saat di pondok pesantren, Mariam adalah
perempuan yang santun, berpakaian tertutup, dan tidak merokok. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
membuktikan bahwa gaya hidup dapat berubah tergantung keadaan lingkungan
sosial tempat manusia itu tinggal.
Berdasarkan analisis di atas, aspek kemiskinan dalam novel ini tergambar
melalui kesulitan yang dialami oleh orang tua Mariam dan Ali yang diakibatkan
karena rendahnya pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan yang rendah akan
menyebabkan daya beli menurun sehingga kebutuhan hidup, seperti pangan,
pendidikan, dan kesehatan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Aspek gaya hidup
dalam novel ini tergambar melalui perilaku sehari-hari yang dipengaruhi oleh
kemampuan daya beli, teknologi, dan keadaan lingkungan sosial.
3.4.3 Rangkuman
Tabel 6: Rangkuman Ekonomi
No. Ekonomi Keterangan
1. Kemiskinan Tampak dalam kesulitan hidup yang
dialami keluarga Mariam dan Ali karena
rendahnya pendapatan. Hal ini
menyebabkan kebutuhan hidup, seperti
pangan, pendidikan, dan kesehatan tidak
terpenuhi dengan baik.
2. Gaya Hidup Tampak dalam kebiasaan sehari-hari yang
dipengaruhi oleh kemampuan daya beli,
teknologi, dan keadaan lingkungan.
3.5 Rangkuman
Pada bab III dipaparkan aspek sosial yang terdapat di dalam novel Maria
dan Mariam karya Farahdiba. Aspek sosial dalam novel ini dibagi menjadi tiga
bidang sosial, yaitu budaya, lingkungan sosial, dan ekonomi. Dalam aspek
budaya, aspek agama Islam tergambar melalui ajaran-ajaran agama Islam,
lembaga, dan kelompok radikal yang mengatasnamakan agama Islam. Aspek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
politik tergambar di novel ini melalui konflik kepentingan penguasa. Orang-orang
yang sedang berkuasa mempertahankan dan melindungi kepentingan mereka
dengan mengorbankan kepentingan orang lain, bahkan sampai menimbulkan
korban jiwa. Aspek seni dalam novel ini tergambar melalui kebiasaan hidup
masyarakat Indonesia sehari-hari dan lewat perilaku para pegiat seni yang aktif
menekuni seni sebagai bentuk ekspresi diri. Aspek simbol tergambar melalui
simbol-simbol kepercayaan dan budaya. Simbol kepercayaan yang muncul adalah
simbol dewa-dewi yang menggambarkan suatu sifat atau karakter tertentu. Aspek
tradisi tergambar melalui tradisi yang terdapat di pondok pesantren dan tradisi
masyarakat Bugis di Sulawesi yang masih mempertahankan keberadaan
komunitas bissu.
Dalam aspek lingkungan sosial, aspek hubungan sosial yang tergambar dalam
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba ada yang bersifat positif dan negatif.
Hubungan sosial yang sifatnya positif terjalin karena adanya kerja sama untuk
mencapai tujuan bersama. Hubungan sosial yang sifatnya negatif terjadi karena
adanya pertentangan dan konflik oleh individu atau kelompok yang menyebabkan
terjadinya perpecahan. Aspek kriminalitas dalam novel ini tergambar melalui
tindakan-tindakan yang melanggar hukum pidana, seperti pembunuhan dan
pengeboman situs warisan nasional dan tempat ibadah.
Dalam aspek ekonomi, aspek kemiskinan yang terdapat dalam novel ini
tergambar melalui kesulitan yang dialami oleh orang tua Mariam dan Ali yang
diakibatkan karena rendahnya pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan yang
rendah akan menyebabkan daya beli menurun sehingga kebutuhan hidup, seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
pangan, pendidikan, dan kesehatan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Aspek gaya
hidup dalam novel ini tergambar melalui perilaku sehari-hari yang dipengaruhi
oleh kemampuan daya beli, teknologi, dan keadaan lingkungan sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penelitian ini membahas aspek sosial yang terdapat di dalam novel Maria dan
Mariam karya Farahdiba dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan struktur novel Maria dan Maryam
karya Farahdiba dan aspek sosial yang terdapat dalam novel tersebut.
Pada bab II dipaparkan hasil analisis struktur novel Maria dan Mariam karya
Farahdiba. Struktur novel yang dibahas meliputi analisis tokoh dan penokohan,
latar, dan alur. Dalam novel ini, analisis tokoh dibagi menjadi dua, tokoh
protagonis dan antagonis. Tokoh-tokoh protagonis meliputi Maria, Mariam, dan
Guru Dharmo. Tokoh-tokoh antagonis meliputi Fallah, Ira, Nilzam, dan Jivan.
Latar dalam novel ini dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial-
budaya. Latar tempat meliputi Kota Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Latar waktu
yang terjadi dalam novel ini dihubungkan dengan peristiwa, yaitu ketika masa
Orde Baru di tahun 1996. Latar sosial-budaya yang terdapat dalam novel ini
dibagi menjadi dua, yaitu latar sosial-budaya di pondok pesantren dan di
masyarakat Indonesia secara umum. Latar sosial-budaya di pondok pesantren
kental dengan nuansa agama Islam. Dalam latar sosial-budaya masyarakat
Indonesia secara umum, masyarakat tampak memiliki sikap materialistis, egois,
dan tidak dapat menghargai budaya. Analisis alur dalam novel ini dibagi menjadi
lima tahap, yaitu (1) tahap penyituasian, (2) tahap pemunculan konflik, (3) tahap
peningkatan konflik, (4) tahap tahap klimaks, dan (5) tahap penyelesaian konflik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Pada bab III dibahas mengenai aspek sosial apa saja yang terdapat dalam
novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Aspek sosial yang terdapat dalam
novel ini dibagi menjadi tiga bidang sosial, yaitu 1) budaya, 2) lingkungan sosial,
dan 3) ekonomi. Aspek sosial dalam novel ini dibagi menjadi tiga bidang sosial,
yaitu budaya, lingkungan sosial, dan ekonomi. Dalam aspek budaya, aspek agama
Islam tergambar melalui ajaran-ajaran agama Islam, lembaga, dan kelompok
radikal yang mengatasnamakan agama Islam. Aspek politik tergambar di novel ini
melalui konflik kepentingan penguasa. Orang-orang yang sedang berkuasa
mempertahankan dan melindungi kepentingan mereka dengan mengorbankan
kepentingan orang lain, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Aspek seni
dalam novel ini tergambar melalui kebiasaan hidup masyarakat Indonesia sehari-
hari dan lewat perilaku para pegiat seni yang aktif menekuni seni sebagai bentuk
ekspresi diri. Aspek simbol tergambar melalui simbol-simbol kepercayaan dan
budaya. Simbol kepercayaan yang muncul adalah simbol dewa-dewi yang
menggambarkan suatu sifat atau karakter tertentu. Aspek tradisi tergambar
melalui tradisi yang terdapat di pondok pesantren dan tradisi masyarakat Bugis di
Sulawesi yang masih mempertahankan keberadaan komunitas bissu.
Aspek lingkungan sosial yang terdapat dalam novel ini meliputi hubungan
sosial dan kriminalitas. Aspek hubungan sosial yang tergambar dalam novel
Maria dan Mariam karya Farahdiba ada yang bersifat positif dan negatif.
Hubungan sosial yang sifatnya positif terjalin karena adanya kerja sama untuk
mencapai tujuan bersama. Hubungan sosial yang sifatnya negatif terjadi karena
adanya pertentangan dan konflik oleh individu atau kelompok yang menyebabkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
terjadinya perpecahan. Aspek kriminalitas dalam novel ini tergambar melalui
tindakan-tindakan yang melanggar hukum pidana, seperti pembunuhan dan
pengeboman situs warisan nasional dan tempat ibadah.
Dalam aspek ekonomi yang meliputi kemiskinan dan gaya hidup, aspek
kemiskinan tergambar dalam novel ini melalui kesulitan yang dialami oleh orang
tua Mariam dan Ali yang diakibatkan karena rendahnya pendapatan yang
dihasilkan. Pendapatan yang rendah akan menyebabkan daya beli menurun
sehingga kebutuhan hidup, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan tidak dapat
terpenuhi dengan baik. Aspek gaya hidup dalam novel ini tergambar melalui
perilaku sehari-hari yang dipengaruhi oleh kemampuan daya beli, teknologi, dan
keadaan lingkungan sosial.
4.2 Saran
Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, masih banyak
permasalahan lain yang dapat diteliti selain menggunakan pendekatan sosiologi
sastra. Novel ini dapat dianalisis dengan pendekatan psikologi sastra untuk
menganalisis dan semakin mendalami psikologi tokoh-tokoh yang terdapat di
dalam novel ini dan strukturasi kekuasaan yang mencakup modal, kelas, habitus,
dan arena.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Titin. 2019. “Analisis Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan
Sosiologi Sastra”. Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Parole, Vol. 2, No. 2, Maret 2019, hlm. 291-298.
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis I. Bandung: Penerbit Mizah Media
Utama.
Curatman, Aang. 2010. Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta: Penerbit Swagati
Press
Gasong, Diana. 2019. Apresisasi Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish.
Hasan, Nor. 2018. Persentuhan Islam dan Budaya Lokal. Pamekasan: Penerbit
Duta Media.
Hasbullah, Wiwiek Pratiwi. 2018. “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Ma Yan
Karya Sanie B. Kuncoro: Tinjauan Sosiologi Sastra Ian Watt”. Skripsi
pada Universitas Negeri Makassar.
Hastuti, Nur. (2018). “Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
Kajian Sosiologi Sastra”. Dalam Jurnal Humanika, Vol. 25, No. 1, 2018,
hlm. 64-74.
Ibed, Bedah Sari. (2018). “Permasalahan Sosial dalam Novel Salah Pilih Karya
Nur St. Iskandar Tinjauan Sosiologi Sastra”. Tesis pada Universitas
Andalas, Sumatera Barat.
Jung, Carl Gustav. 2018. Manusia dan Simbol-Simbol. Yogyakarta: Penerbit
Basabasi.
Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lianawati. 2019. Menyelami Keindahan Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit
Bhuana Ilmu Populer.
Maipita, Indra. 2013. Memahami dan Mengukur Kemiskinan. Yogyakarta:
Penerbit Absolute Media
Maksum, Muhammad Syukron. 2010. Dahsyatnya Adzan. Yogyakarta: Penerbit
Galangpress.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Mulyani, Yani dan Juliska Graciani. 2007. Kemampuan Fisik, Seni, dan
Manajemen Diri. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo.
Nasdian, Fredian Tonny (ed). 2015. Sosiologi Umum. Jakarta: Penerbit Yayasan
Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Purba, Jonny (ed). 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Penerbit
Yayasan Obor Indonesia.
Putra, Candra Rahwa Wijaya. 2018. “Cerminan Zaman Dalam Puisi (Tanpa
Judul) Karya Wiji Thukul: Kajian Sosiologi Sastra”. Dalam Jurnal
Kembara, Vol. 4, No. 1, 2018, hlm. 12-20.
Rahayu, Ani Sri. 2016. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar: Perspektif Baru
Membangun Kesadaran Global Melalui Revolusi Mental. Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rohman, Saifur. 2020. Pembelajaran Cerpen. Jakarta: Penerbit: PT Bumi Aksara.
Safari, Dede Muhtar. 2018. “Novel Belantik Karya Ahmad Tohari Pendekatan
Sosiologi Sastra”. Dalam Jurnal Bindo Sastra, Vol. 2, No. 1, 2018, hlm.
183-187.
Saiddurahman dan Arifinsyah. 2018. Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman
Bangsa Mengawal NKRI. Jakarta: Penerbit Prenada Media.
Satinem. 2019. Apresisasi Prosa Fiksi: Teori, Metode, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Sengke, Mentari Mega Puspita. 2018. “Citra Tokoh Kartini Dalam Novel Kartini
Karya Abidah El Khalieqy: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Skripsi pada
Universitas Sanata Dharma.
Setianingsih, Desi. 2016. “Aspek Sosial dalam Novel Orang- Orang Pulau Karya
Giyani: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Relevansinya dalam Pembelajaran
Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Skripsi pada Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Soelaeman, Munandar. 2009. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Penerbit PT Refika
Aditama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
-----.2015. Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Penerbit
PT Refika Aditama.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Penerbit Duta
Wacana University Press.
Suharjito, Didik. 2019. Pengantar Metodologi Penelitian. Bogor: Penerbit IPB
Press.
Sujarwa, 2019. Model dan Paradigma Teori Soiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Syaid, M. Noor. 2019. Penyimpangan Sosial dan Pencegahannya. Semarang:
Penerbit Alpirin.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Nusa Tenggara Timur: Nusa
Indah.
Turmudi, Endang dan Reza Sihbudi (ed). 2005. Islam dan Radikalisme Indonesia.
Jakarta: Penerbit Lipi Press.
Viustana, Maria. 2009. “Modernisasi Pikiran dan Tindakan Perempuan Dalam
Novel Maria dan Mariam Karya Farahdiba Pendekatan Kritik Sastra
Feminis”. Skripsi pada Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Yulianthi. 2015. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Wellek, Rene & Austin, Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Penerbit Yayasan
Obor Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI