Aspek Perpajakan BUT Dan Branch Profit Tax

19
Accounting International * Aspek Perpajakan BUT dan Branch Profit Tax June 8 201 5 Disusun oleh : Novilianti Sukarna Thiobuana (127132018), Martina (127132017) , Iudith Oktaviani Batti (127132005) , Melissa Elisabeth (127132007) Magister Akuntansi – Universitas Tarumanagara Dosen : Dr. Waluyo

description

Aspek Perpajakan BUT Dan Branch Profit Tax

Transcript of Aspek Perpajakan BUT Dan Branch Profit Tax

MANAGAMENT CONTROL SYSTEM Kerangka kerja untuk penelitian pengendalian manajemen

Aspek Perpajakan BUT dan Branch Profit TaxAccounting International* Aspek Perpajakan BUT dan Branch Profit TaxJune 82015Disusun oleh : Novilianti Sukarna Thiobuana (127132018), Martina (127132017), Iudith Oktaviani Batti (127132005), Melissa Elisabeth (127132007) Magister Akuntansi Universitas TarumanagaraDosen : Dr. Waluyo

PendahuluanAkuntansi Internasional didefinisikan sebagai akuntansi untuk transaksi internasional, perbanding dan prinsip di negara-negara yang berbeda dan harmonisasi berbagai Standar akuntansi. Peningkatan perdagangan internasional bisa memfasilitasi perluasan pergerakan barang dan jasa serta meningkatkan efisien penggunaan sumber-sumber ekonomi. Beberapa karakteristik era ekonomi global : Bisnis internasional Hilangnya batasan-batasan antarnegara Ketergantungan pada perdagangan internasionalDi era globalisasi yang sangat cepat dengan kemajuan teknologi, aktivitas pasar modal pun dituntut untuk setara dalam memberi kemampuan menghasilkan informasi. Akuntansi adalah hal yang dilihat dalam memainkan peran untuk menghasilkan informasi, yang berguna bagi pihak internal maupun pihak eksternal. Tujuan dari akuntansi adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam mengambil keputusan ekonomi. Akuntansi internasional mempunyai peran yang sangat kompleks, dimana ruang lingkup pelaporannya ialah perusahaan yang multinasional dengan operasi dan transaksi lintas negara dengan kewajiban pelaporannya terhadap pengguna pelaporan lain.Standar akuntansi adalah regulasi atau aturan (termasuk pula hukum dan anggaran dasar) yang mengatur penyusunan laporan keuangan. Penetapan standar adalah proses perumusan atau formulasi standar akuntansi. Standar akuntansi merupakan hasil penetapan standar. Ada empat alasan yang menjelaskan hal tersebut, antara lain :1. Dikebanyakan Negara, hukuman atas ketidak patuhan dengan ketentuan akuntansi cenderung lemah dan tidak efektif.2. Secara suka rela perusahaan boleh melaporkan informasi lebih banyak daripada yang diharuskan.3. Beberapa negara memperbolehkan perusahaan untuk mengabaikan standar akuntansi jika dengan melakukannya operasi dan posisi keuangan perusahaan akan tersajikan secara lebih baik hasilnya.4. Di beberapa negara standar akuntansi hanya berlaku untuk laporan keuangan secara tersendiri, dan bukan untuk laporan konsolidasi.Penetapan standar akuntansi umumnya melibatkan gabungan kelompok sector swasta dan public. Hubungan antara standar akuntansi dan proses akuntansi sangat rumit dan tidak selalu bergerak dalam satu arah yang sama. Akuntansi penyajian wajar biasanya berhubungan dengan negara-negara hukum umum, sedangkan akuntansi kepatuhan hukum umumnya ditemukan di negara-negara hukum kode (sipil). Perbedaan ini terlihat dalam proses penetapan standar, dimana sector swastwa lebih berpengaruh di negara-negara hukum dengan penyajian yang wajar, sedangkan sector public lebih berpengaruh di negara hukum kode (sipil) dengan kepatuhan hukum.Dengan berkembangnya bisnis dan pasar keuangan yang telah banyak menuju internasionalisasi, begitu juga dengan perbedaan dalam akuntansi internasional yang menjadi lebih penting dari sudut pandang analisis pernyataan keuangan internasional. Perbedaan akuntansi internasional membawa sejumlah permasalahan dari sudut pandang analisis keuangan.1. Pertama, sebagai usaha untuk menilai perusahaan asing, ada kecenderungan untuk melihat pendapatan dan data finansial yang lain dari sudut pandang negara asalnya, dan karena adanya bahaya dari mengabaikan efek dari perbedaan akuntansi. Kecuali perbedaan signifikan yang diambil ke dalam akun, mungkin dengan beberapa keterlibatan pernyataan ulang, ini mungkin mempunyai konsekuensi yang sangat serius.2. Kedua, kesadaran dari perbedaan internasional menyarankan perlunya untuk menjadi familiar dengan prinsip akuntansi negara asing sebagai tujuan untuk mengenal lebih baik data pendapatan dalam konteks pengukuran.3. Ketiga, persoalan dari sifat yang bisa dibandingkan dan harmonisasi akuntansi yang diulas dalam konteks dari kesempatan investasi alternatif.Perbedaan yang timbul disebabkan oleh :1. Pertumbuhan ekonomi,2. Inflasi,3. Sistem politik,4. Pendidikan,5. Profesi akuntan,6. Peraturan perpajakan,7. Pasar uang, dan8. Modal.Dalam melakukan investasi langsung di Indonesia, investor asing memiliki banyak pilihan atas bentuk usaha, investor dapat melakukannya dalam bentuk joint venture dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan lokal. Umumnya, perusahaan ini berbentuk penanaman modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga perusahaan penanaman modal asing adalah wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer).Selain itu, perusahaan asing dapat menjalankan usahanya melalui bentuk usaha di Indonesia. Ini yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disingkat BUT). Apabila investor asing menjalankan bisnisnya di Indonesia melalui BUT (a permanent establishment) berarti, perusahaan tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri.

Pengertian Pajak PenghasilanPajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan memenuhi syarat subjektif dan jika orang atau badan ini memperoleh penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi.Jika subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya berasal dari Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga Negara asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional.Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.

Subjek Dasar Pengenaan Pajak PenghasilanKetentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008). Ada dua jenis subjek pajak yaitu subjek pajak dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.SPLN adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.SPLN yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.Kedua kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bisa disebut SPLN jika mendapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT dan SPLN Non BUT.

Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang pribadi atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Subjek Bentuk Usaha Tetap (BUT)Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Objek Bentuk Usaha Tetap (BUT)Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu :1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada BUT di Inonesia.Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT.

Biaya Bentuk Usaha Tetap (BUT)Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU PPh.Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.Pembebanan Biaya pada BUT :1. Biaya-biaya yang diperkenankan sebagai pengurang atas penghasilan BUT (deductible expenses).a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilanb. biaya administrasi kantor pusat, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (KEP-62/PJ/1995)2. Biaya-biaya yang tidak diperbolehkan sebagai pengurang atas penghasilan BUT (non deductible expenses).a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

Dasar Pengenaan Branch Profit Tax Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/20021. PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang diperoleh BUT yaitu tambahan PPh yang dikenakan atas laba setelah pajak (net income after tax) yang diperoleh BUT sebesar 20% atau sesuai tarif yang berlaku dalam Tax Treaty.2. Tambahan PPh tersebut wajib dilunasi oleh BUT dalam waktu yang bersamaan dengan pelunasan PPh Pasal 29 (setoran akhir PPh tahunan), yaitu paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.3. Tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT tersebut tidak dikenakan apabila laba setelah pajak BUT tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat :a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman modal dilakukan berproduksi secara komersial.4. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final. (KMK Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 1 Mei 2002 sebagai pengganti KMK Nomor 602/KMK.04/1994)5. WP BUT yang melakukan penanaman kembali laba setelah pajak, wajib melaporkan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan ke Kepala KPP tempat WP BUT terdaftar dengan dilampirkan pada SPT PPh tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.6. Yang dimaksud saat berproduksi secara komersial adalah saat perusahaan untuk pertama kalinya menghasilkan produk yang siap untuk dipasarkan, hal ini ditetapkan oleh Kepala KPP berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan perkiraan berdasarkan pemberitahuan secara tertulis.

Pengecualian Dari Branch Profit TaxPengecualian tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT diberikan apabila atas seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk :1. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;2. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau4. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :1. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan2. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, harus memenuhi tambahan persyaratan sebagai berikut :1. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan2. BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, harus memenuhi tambahan persyaratan sebagai berikut :1. Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan2. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk :1. pembelian aktiva tetap; atau2. investasi berupa aktiva tidak berwujudBentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. Apabila persyaratan tidak lagi dipenuhi, penghasilan tersebut ditetapkan sebagai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan atas BUT bersangkutan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan tersebut dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. BUT tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan2. Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.Dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.

Saat Berproduksi KomersialBUT yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat BUT terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah BUT meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial. Penetapan saat berproduksi komersial dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh BUT yang bersangkutan.Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak BUT yang bersangkutan. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final.

Perhitungan Branch Profit TaxContoh KasusAtas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetapdi Indonesia dalam tahun 2013 Rp 20.500.000.000,00

PajakPenghasilan :25% x Rp 20.500.000.000,00 = Rp 5.125.000.000,00 (-)

Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp 15.375.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang :20% x Rp 15.375.000.000 Rp 3.075.000.000,00

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 15.375.000.000,00 (lima belas miliar tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Subjek Pajak Luar NegeriWitholding Tax PPh Pasal 26Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah :1. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.2. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

Prinsip Worlwide IncomePrinsip worldwide income pada UU PPh bisa kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata dari luar Indonesia inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi berdimensi internasional.

Kredit Pajak Luar Negeri PPh Pasal 24Terkait dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh penghasilan dari luar negeri akan dikenakan PPh di Indonesia. Negara tempat sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang diperoleh subjek pajak yang sama.Untuk menghindari pengenaan pajak berganda ini, UU PPh secara unilateral memberikan solusi dengan adanya Pasal 24 UU PPh. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri.Namun demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan UU PPh.Dalam menghitung besarnya maksmum kredit pajak PPh Pasal 24 ini, UU PPh menerapkan metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UU PPh di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut :1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak. 4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)Dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan juga untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance), diperlukan suatu perjanjian perpajakan dengan Negara lain.Undang-undang PPh, telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan Negara lain.Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh yang mengatur hal ini dijelaskan bahwa perjanjian perpajakan berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis). Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku jika di dalam perjanjian perpajakan diatur lain.Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, disebutkan bahwa suatu BUT mengandung pengertian : adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.Bentuk Usaha Tetap dapat berupa :a. tempat kedudukan manajemen;b. cabang perusahaan;c. kantor perwakilan;d. gedung kantor;e. pabrik;f. bengkel;g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yangdigunakan untuk eksplorasi pertambangan;h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;j. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.Contoh BUT (Bentuk Usaha Tetap) antara lain :China Corporation adalah sebuah Perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan PLTU di Cilacap. Untuk membangun PLTU tersebut China Corporation mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, sehingga setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan dapat mengajukan penghapusan NPWP.

Kegiatan yang tidak dianggap Bentuk Usaha Tetap adalah :a. Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan.b. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan.c. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain.d. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan keterangan bagi keperluan perusahaan.e. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaanf. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk kegiatan-kegiatan gabungan dari yang disebut dalam sub-ayat (a) sampai (e), asal saja keseluruhan kegiatan di tempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau penunjang.g. Suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan tidak akan dianggap mempunyai suatu BUT di Negara pihak pada persetujuan lainnya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di Negara lain tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak dalam rangka usahanya yang lazim. Walaupun demikian, bilamana kegiatan agen seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan itu, ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam pengertian ayat ini.

Kesimpulan :Perkembangan bisnis dan pasar keuangan global menimbulkan beberapa perbedaan dalam akuntansi internasional dan hak pemajakan yang dilakukan oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi internasional.Diperlukan adanya batasan agar tidak terjadi hak pemajakan yang merugikan masing-masing negara yang melakukan transaksi. Sehingga diperlukan Perjanjian P3B (Penghindaran Pengenaan Pajak Berganda). Tujuannya untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan juga untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance), seihngga diperlukan suatu perjanjian perpajakan dengan Negara lain.

Referensi : Gunadi, Pajak Internasional, FE UI , 1997 Hal 27.14