Dampak penerapan trips agreement terhadap masyarakat komunal indonesia
ASPEK HUKUM TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT …
Transcript of ASPEK HUKUM TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT …
1
Universitas Indonesia
ASPEK HUKUM TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT (REPO)
SEBAGAI ALTERNATIF PENDANAAN BANK UNTUK MEMENUHI
LIKUIDITASNYA DENGAN SKEMA MINI MASTER REPURCHASE
AGREEMENT (MINI MRA)
Aljefri Febrizarli, Aad Rusyad Nurdin, Wenny Setiawati
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai Transaksi Repo Antar Bank seiring dengan diresmikannya Mini Master Repurchase
Agreement (Mini MRA) yang difasilitasi oleh Bank Indonesia sebagai payung hukum bagi para pelaku Transaksi
Repo Antar Bank di Indonesia. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas wajib mencari pendaan terlebih dahulu di
Pasar Uang sebelum Bank Indonesia menajalankan fungsinya sebagai the lender of last resort. Sebelum
dikeluarkannya Mini MRA, Pasar Uang Antar Bank (PUAB) merupakan sumber pendanaan yang paling dominan.
Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui pengumpulan data primer berupa wawancara dengan
narasumber dan pengumpulan data sekunder berupa penelitian kepustakaan. Dalam tahap pengelohan data, metode
yang digunakan adalah deskriptif analitis. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Transaksi PUAB bersifat
uncollateralized karena tidak adanya jaminan yang diberikan oleh bank yang membutuhkan uang terhadap bank
yang memberikan pinjaman. Transaksi PUAB yang bersifat uncollateralized cenderung rentan terhadap shock yang
dapat dipicu oleh meningkatnya ketidakpastian risiko kredit, sedangkan transaksi Repo bersifat lebih aman karena
adanya jaminan berupa surat berharga atau dengan kata lain transaksi Repo ini bersifat collateralized. Transaksi
Repo yang bersifat collateralized dapat memitigasi permasalahan default risk & counterparty risk serta memitigasi
risiko kredit.
LEGAL ASPECTS OF REPURCHASE AGREEMENT TRANSACTIONS (REPO) AS AN
ALTERNATIVE FOR BANK FUNDING UNDER MINI MASTER REPURCHASE
AGREEMENT (MINI MRA)
Abstract
This thesis discusses the Interbank Repo Transaction under Mini Master Repurchase Agreement (Mini MRA)
facilitated by Bank Indonesia (Indonesian Central Bank) as the legal basis for Interbank Repo Transactions
stakeholders in Indonesia. Before Bank Indonesia perform its function as the lender of last resort, banks having
liquidity problems is obliged to find fresh money in the money market. Prior to the enactment of Mini MRA scheme,
Interbank Money Market (Pasar Uang Antar Bank - PUAB) is the most dominant source of bank funding. This
study uses data obtained through the collection of primary data in the form of interviews with sources and secondary
data collection form library research. In the data processing stage, the method used is descriptive analysis. From this
study it was found that the interbank transaction is an unsecured transaction since no securities are provided by the
debtor bank to the lender bank. Given these facts, the unsecured interbank transactions tend to be vulnerable to
shocks which are triggered by the increasing of credit risk uncertainty, while the Repo transaction is more secure
since it is equipped by securities. The secured Repo transactions may mitigate the problems of default and
counterparty risk as well as credit risk.
Keywords : Liquidity, Repurchase Agreement, Mini Master Repurchase Agreement
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
2
Universitas Indonesia
Pendahuluan
Lembaga perbankan merupakan inti sistem keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga
keuangan yang menjadi tempat bagi orang perorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan
usaha milik negara, bahkan lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.1
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan bank
sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa bank
berfungsi sebagai “financial intermediary” dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran.2 Dalam hal
ini bank memiliki fungsi strategis dalam perekonomian negara. Kegiatan penghimpun dan
penyaluran dana ini berjalan seiring, artinya apabila dana yang dihimpun kurang maka dana yang
akan disalurkan juga kurang. Jadi, tersedia atau tidak tersedianya dana melalui perbankan akan
mempengaruhi pembangunan, dengan tidak tersedianya dana akan menyebabkan turunnya
produktivitas masyarakat yang tidak memiliki kecukupan modal. Hal ini memperlihatkan
peranan penting perbankan dalam perekonomian suatu negara.3
Dalam pengelolaan dananya, setiap hari bank menghadapi salah satu dari tiga keadaan,
seperti posisi seimbang (square) yatu kebutuhan dana sama dengan dana yang tersedia, posisi
lebih (long) yaitu persedian dana lebih besar dari kebutuhan, atau posisi kekurangan dana (short)
yaitu kebutuhan lebih besar daripada persedian dana. Bagi bank yang mengalami posisi
seimbang, tidak ada masalah yang dihadapi sedangkan bagi bank yang mengalami posisi kurang
atau lebih, bank yang bersangkutan dapat memanfaatkan pasar uang yang menawarkan dananya
bagi yang kelebihan dana dan untuk mendapatkan dana bagi yang kekurangan. 4 Persoalan
1 Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, (Cet-6, Jakarta: Kencana Prenada Media Group),
hlm. 7, 2011. 2 Rachmadi Usman, “Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia”, (Cet-2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama), hlm. 59, 2003. 3 Santri Satria, “Aspek Hukum Pelepasan Kepemilikan Saham Lembaga Penjamin Simpanan atas PT. Bank
Mutiara, Tbk sebagai Akhir Penanganan Bank Gagal Berdampak Sistemik”, (Depok, Universitas Indonesia, Skripsi
2012), hlm 1.
4 Prayekti Murharjanti, “Tinjauan Yuridis Keberadaan Pasar Uang Antar Bank Di Indonesia”, (Depok:
Universitas Indonesia, Skripsi, 1998), hlm 29.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
3
Universitas Indonesia
likuiditas bagi bank adalah persoalan yang amat penting dan berkaitan erat dengan kepercayaan
masyarakat, nasabah dan pemerintah. Keteledoran bank dalam menjaga posisi likuiditas atau
kesengajaan membiarkan posisi likuiditas berada dibawah ketentuan minimum, akan
menyulitkan Bank itu sendiri karena secara berangsur-angsur, posisi dana-dana tunai yang harus
dikuasai Bank akan semakin menipis.5
Terhadap bank yang mengalami kesulitan likuiditas, BI akan menjalankan fungsinya
sebagaia lender of last resort. Mengenai fungsi BI sebagai pemberi fasilitas lender of last resort
ini dapat kita temukan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 yang diubah oleh
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang ditetapkan sebagai
Undang-Undang oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UUBI) yang mengatakan bahwa:6
1. Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima dengan
agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya.
3. Pelaksanaan ketentuan diatas ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
4. Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan
berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank
Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya
menjadi beban Pemerintah.
5. Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank
yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber
pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam
undang-undang tersendiri.
5 Sinungan, “Manajemen Dana Bank”, (Cet-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 75.
6 Indonesia, “Undang-Undang tentang Bank Indonesia”, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, LN No 66
Tahun 1999, TLN No. 3843 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, LN No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357, Jis.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, LN No. 7 tahun 2009, TLN No. 4901. Pasal 11.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
4
Universitas Indonesia
Fasilitas lender of last resort yang diberikan bank sentral kepada bank, baik untuk situasi
normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat dikategorikan kedalam beberapa
jenis yakni:7
a. Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) untuk mengatasi kekurangan likuiditas (liquidity
mismatch) akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana keluar.
Pemberian fasilitas ini kepada Bank ditujukan untuk memperlancar operasi sistem
pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi kepada Bank
Indonesia
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum (PBI No 10/29/PBI/2008) mengatakan bahwa Bank dapat
menggunakan FLI jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI
dan/atau SUN;
- tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-RTGS
dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan
- berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.
b. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) diberikan kepada Bank yang mengalami
kesulitan pendanaan jangka pendek. Pemberian FPJP harus didukung dengan agunan
yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai.
Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh FPJP apabila memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum paling rendah 8% (delapan persen) dan memenuhi modal sesuai
dengan profil risiko Bank. Bank mengajukan plafon FPJP berdasarkan perkiraan
jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Pencairan FPJP dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk
memenuhi kewajiban GWM.8 FPJP wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang
7 PBI No. 10/31/PBI/2008, Op.Cit. Penjelasan Umum.
8 Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum”,
PBI No 14/16/PBI/2012, LN No 259 Tahun 2012, TLN No. 5367. Pasal 2.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
5
Universitas Indonesia
berkualitas tinggi dengan nilai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.9 Agunan yang berkualitas tinggi berupa surat berharga dan/atau Aset Kredit.
10
c. Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank yang mengalami kesulitan
likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan BI, serta
berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK).
FPD diberikan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank yang memiliki
DampakSistemik baik dalam rangka Pencegahan Krisis maupun Penanganan Krisis.11
Persyaratan pemberian FPD adalah Bank mengalami Kesulitan Likuiditas yang
memiliki Dampak Sistemik, Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal
minimum (KPMM) positif dan Bank memiliki aset yang dapat dijadikan agunan.12
Namun sebelum BI melaksanakan fungsi tersebut, untuk menutup kesulitan likuiditas,
pada dasarnya Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang dengan
menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Sebagaimana telah diketahui, pasar
uang adalah pasar yang menyediakan sarana pinjam-meminjam dana jangka pendek. Fungsi
pasar uang adalah mengalokasikan dana secara lebih efisien dari pihak yang kelebihan dana
kepada pihak yang kekuarangan sehingga terjadi keseimbangan antara penawaran dan
permintaan dana.13
Transaksi PUAB dapat dikatakan juga sebagai transaksi yang bersifat
uncollateralized karena tidak adanya jaminan yang diberikan oleh bank yang membutuhkan uang
terhadap bank yang memberikan pinjaman. Padahal transaksi yang bersifat uncollateralized
cenderung rentan terhadap shock yang dapat dipicu oleh meinngkatnya ketidakpastian risiko
kredit. Dalam kondisi demikian, volume transaksi PUAB dapat merosot drastis hingga lebih dari
separuh volume normal dan memerlukan waktu yang lama (2-4 bulan) untuk kembali pulih.14
9Ibid., Pasal 3.
10Ibid., Pasal 4.
11PBI No 10/31/PBI/2008, Pasal 2.
12Ibid., Pasal 5 ayat (2).
13 Prayekti Murharjanti, Op.Cit., hlm. 30-31.
14 Disarikan oleh Penulis berdasarkan wawancara dengan Shintawati Elizabet dan Ryan Rizaldy, Grup
Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter, Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
6
Universitas Indonesia
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas tersebut terdapat alternatif pendaaan yang dapat
dilakukan, yaitu melalui transaksi repurchase agreement (Repo). Bentuk Transaksi Repo yang
dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian Mini Master Repurchase Agreement (Mini
MRA). Perjanjian Mini MRA ini menjadi dasar hukum untuk melakukan transaksi Repo, dalam
rangka mengurangi ketatnya likuiditas rupiah di pasar uang.15
Dengan adanya Mini MRA ini,
bank dapat menggunakan transaksi Repo, yang sifatnya "secured" sebagai alternatif terhadap
PUAB, yang sifatnya "unsecured", untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam transaksi
Repo, bank peminjam akan menyerahkan surat berharga yang dapat berupa Surat Berharga
Negara (SBN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), atau Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI)
kepada bank pemberi pinjaman selama kontrak berlangsung sebagai jaminan (underlying) untuk
dana yang diterima, sehingga membantu bank melakukan mitigasi risiko kredit.16
Untuk itu penelitian ini memiliki pokok permasalahan: (i) Bagaimanakah pengaturan
transaksi Repo Antar Bank di Indonesia? (ii) Bagaimanakah implementasi skema Mini Master
Repurchase Agreement (Mini MRA) dalam transaksi Repo Antar Bank? (iii) Apakah transaksi
Repo dengan skema Mini MRA dapat menjadi alternatif pendanaan bank untuk memenuhi
likuiditasnya?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (i) mengetahui pengaturan transaksi Repo
Antar Bank di Indonesia, (ii) mengetahui implementasi skema Mini Master Repurchase
Agreement (Mini MRA) dalam transaksi Repo Antar Bank, dan (iii) mengetahui apakah
transaksi Repo dengan skema Mini MRA dapat menjadi alternatif pendanaan bank untuk
memenuhi likuiditasnya.
Tinjauan Teoritis
Dalam tulisan ini, penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan
sebagai berikut:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang berlaku.17
2. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang wesel, saham, obligasi, sekuritias
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari
15
Ibid. 16
Ibid. 17
UU Perbankan, Pasal 1 angka 20.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
7
Universitas Indonesia
penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar
uang.18
3. Bank Koresponden adalah bank pemelihara rekening giro, dalam rangka pembayaran
dan/atau penerimaan dana ke atau dari Bank, counterparty dan kustodian.19
4. Operasi Pasar Terbuka adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter.20
5. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-
SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya,
dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara
peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia–Real Time Gross Settlement.21
6. Sistem Bank Indonesia–Real Time Gross Settlement yang selanjutnyadisebut Sistem
BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS
dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi
secara individual.22
.Metode Penelitian
Penelitian mengenai Aspek Hukum Transaksi Repurchase Agreement (Repo) sebagai
Alternatif Pendanaan bagi Bank untuk Memenuhi Likuiditas Rupiahnya dengan Skema Mini
Master Repurchase Agreement (Mini MRA) ini merupakan penelitian yuridis-normatif, atau
lebih dikenal dengan penelitian hukum kepustakaan23
. Penelitian yuridis-normatif mengacu
kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat, atau yang menyangkut
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini akan dibahas dengan mengaitkan
pembahasannya dengan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan di bidang hukum
perbankan, dengan juga memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam dunia bisnis.
18
Ibid., Pasal 1 angka 10. 19
Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap
Surat Berharga Rupiah Bank Kepada Bank Indonesia”, LN No. 61 Tahun 2010, TLN No. 5127. Pasal 1 angka 8. 20
Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter”, PBI No 12/11/PBI/2010, LN No. 84
Tahun 2010. Pasal 1 angka 3. 21
Ibid., Pasal 1 angka 11. 22
Ibid., Pasal 1 angka 12. 23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Normatif-Suatu Tinjuan Singkat,” (Jakarta: PT. Raha
Grafindo Persada, 1994), hlm 13.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
8
Universitas Indonesia
Tipe penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan
atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala.24
Dalam penelitian ini, data yang akan digunakan terutama adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum terseier. Selain
memperoleh data melalui penelitian kepustakaan yang didapat melalui pengumpulan data
sekunder, penelitian ini juga menggunakan data primer yakni data yang diperoleh langsung dari
masyarakat, berupa wawancara dengan narasumber terkait yang bertujuan untuk menunjang
studi kepustakaan yang telah dilakukan. Data primer yang digunakan penulis didapat dari hasil
wawancara dengan narasumber yang mengerti dan menguasai mengenai permasalahan yang
diangkat dalam skripsi ini.
Bahan hukum primer, terdiri dari bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari
norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang
tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan.25
Khusus
untuk penelitian ini, bahan hukum primer yang akan digunakan antara lain:
1. Undang-Undang Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, LN. No.
31 Tahun 1992, TLN. No. 3472. Juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, LN.
No. 182 Tahun 1998, TLN. No. 3790.
2. Undang-Undang Tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, LN
No 66 Tahun 1999, TLN No. 3843 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, LN No.
7 Tahun 2004, TLN No. 4357, Jis. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, LN No. 7
tahun 2009, TLN No. 4901.
3. Undang-Undang Tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995. LN No.
64, Tahun 1995, TLN. No. 3608.
4. Berbagai Peraturan Bank Indonesia yang terkait.
5. Berbagai Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang
terkait.
24
Sri Mamudji, et-al, “Metode Peneleitian dan Penulisan Hukum”, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum
Indonesia, 2005), hlm. 4. 25
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, cet-3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008),
hlm. 52.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
9
Universitas Indonesia
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum dan sebagainya.26
Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan
adalah buku-buku yang membahas mengenai hukum perbankan, hukum pasar modal, dan
sebagainya. Bahan hukum tersier yang digunakan penulis, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, dan sebagainya.27
Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan
adalah Black’s Law Dictionary, 9th
Edition dan beberapa abstrak yang berkaitan dengan
penelitian ini. Selain itu penulis juga melakukan wawancara kepada BI untuk melengkapi
penulisan skripsi ini.
Penelitian ini disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif analitis karena bertujuan
untuk mendeskripsikan Aspek Hukum Transaksi Repurchase Agreement (Repo) sebagai
Alternatif Pendanaan bagi Bank untuk Memenuhi Likuiditas Rupiahnya dengan Skema Mini
Master Repurchase Agreement (Mini MRA).
Adapun analisis dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu analisis data yang dilakukan
berdasarkan kaulitas data untuk memperoleh gambaran permasalahan secara dalam dan
komprehensif.
Dari sifatnya, penelitian yang Penulis lakukan bersifat eksplanatoris (menjelajah), karena
penulisan ini bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala, dan
penelitian ini bersifat mempertegas hipotesa yang ada.28
Dari bentuknya, penelitian yang Penulis
lakukan merupakan penelitian evaluatif, karena Penulis akan memaparkan serta memberikan
penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan.29
Dari tujuannya, penelitian yang
Penulis lakukan merupakan penelitian problem finding, karena tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan permasalahan sebagai akibat dari suatu kegiatan.30
Dari ilmu yang digunakan,
26
Ibid., hlm. 52. 27
Ibid., hlm. 52. 28
Sri Mamudji, et-all, “Metode Penelitian dan Penulisan Hukum”, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm 4. 29
Ibid. 30
Ibid., hlm 5.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
10
Universitas Indonesia
penelitian ini merupakan penelitian monodisipliner, karena penelitian ini didasarkan pada satu
disiplin ilmu.31
Pembahasan
Transaksi Repurchase Agreement (Repo) adalah transaksi penjualan instrumen surat
berharga antara dua pihak yang diikuti perjanjian untuk membeli kembali surat berharga tersebut
pada tanggal yang telah ditentukan di kemudian hari dengan harga tertentu yang telah
disepakati.32
Di Indonesia jenis transaksi repo dikenal 2 macam yaitu33
:
1. Classic Repo
Dalam transaksi ini, kepemilikan terhadap surat berharga tidak berubah. Sehingga
peminjam tetap menjadi pemilik dari surat berharga yang bersangkutan, sedangkan si
pemberi pinjaman tidak dapat menggunakan surat berharga yang dimaksud selain
daripada menyimpannya sebagai jaminan oleh karena ia bukanlah pemilik daripada surat
berharga tersebut. Apabila dalam masa transaksi Repo ada pembayaran kupon, maka hak
penerimaan kupon tersebut akan diberikan kepada si peminjam selaku pemilik dari surat
berharga yang dimaksud.
2. Sell/Buy Back Repo
Transaksi Repo ini dilakukan dengan dasar perpindahan kepemilikan surat
berharga.dengan demikian dalam hal si peminjam telah menjual surat berharga kepada si
pemberi pinjaman untuk kemudian dibeli kembali olehnya pada suatu waktu tertentu,
maka kepemilikan surat berharga telah beralih kepada pemberi pinjaman pada saat
transaksi penjualan surat berharga. Apabila selama transaksi Repo berlangsung terdapat
pembayaran kupon atas surat berharga maka hak atas penerimaan kupon tersebut
diberikan kepada si pemberi pinjaman selaku pemilik dari surat berharga.
Ada 3 (tiga) macam jatuh tempo Transaksi Repo:34
(i) Overnight Rep, merupakan salah
satu jenis transaksi Repo dimana jatuh tempo dalam satu hari, (ii) Term Repo, merupakan
salah satu jenis transaksi Repo dimana jatuh tempo dalam kurun waktu tertentu, (iii)
31
Ibid. 32
Wills Thomas, “Repurchase Agreement Accounting Update”, http://search.proquest.com
/docview/215047977/A4E50F4A95B843FEPQ/2?accountid=17242, (29 September 2014, 21.00 WIB). 33
Ibid., hlm. 59-60. 34
Dian Purnamasari, Op.Cit., hlm. 80.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
11
Universitas Indonesia
Open Repo, merupakan salah satu jenis transaksi repo yang tidak ditentukan jatuh
temponya.
Sebelum dikeluarkannya Mini MRA, para pihak yang ingin melakukan transaksi repo
membuat perjanjian secara bilateral (dua pihak) yang nantinya digunakan sebagai payung
hukum. BI hanya mengatur transaksi repo sebagai fasilitas intrahari bagi bank yang mengalami
kesulitan likuiditas. Sedangkan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) sebelum dilebur menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) hanya mengatur
ketentuan transaksi repo yang berlaku bagi emiten di pasar modal. Memang pada tahun 2005
MRA telah resmi keluar namun ketentuan yang diatur dalam MRA tidak sesuai dengan common
practice transaksi repo yang telah berlaku. Apalagi terdapat stigma negative bahwa pihak yang
melakukan transaksi repo adalah pihak yang sudah tidak mendapat akses pinjaman melalui
PUAB hingga mendapat penilaian sebagai counterparty yang berisiko.
Mini MRA merupakan suatu perjanjian strandar yang disusun berdasarkan kesepakatan
para bank di Indonesia untuk menggunakan transaksi Repo secara menyeluruh di Indonesia yang
difasilitasi oleh BI. Bank-bank di Indonesia yang ingin melakukan transaksi Repo dapat secara
sukarela untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Mini MRA. Mini MRA muncul
karena belum adanya kesamaan pengaturan mengenai bagaimana tatacara transaksi repo
dilakukan. Sebagian besar transaksi Repo masih menggunakan perjanjian bilateral yang sangat
bervariasi, sementara GMRA Indonesia Annex yang mencakup transaksi repo secara luas masih
dalam proses penyusunan oleh OJK.35
Disebut Mini MRA karena peserta yang boleh ikut dalam
transaksi repo ini hanya terbatas bagi bank-bank saja dan jenis surat berharga yang boleh
digunakan hanya terbatas terhadap Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Negara
(SBN) dan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Mekanisme atau proses transaksi Repo
antar Bank menurut ketentuan Mini MRA adalah:
1. Konfirmasi36
35
Disarikan oleh Penulis berdasarkan wawancara dengan Shintawati Elizabet dan Ryan Rizaldy, Grup
Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter, Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia. 36
Pasal 3 Mini MRA.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
12
Universitas Indonesia
Para Pihak yang ingin melakukan suatu transaksi Repo dapat disepakati secara lisan
maupun secara tulisan. Selanjutnya kesepakatan tersebut harus dituangkan secara
tertulis dalam suatu Konfirmasi Transaksi Penjualan dan Pembelian Kembali Surat
Berharga.
2. Setelmen Penjualan Surat Berharga (1st Leg)
37
Pembeli membeli Surat Berharga pada Tanggal Setelman Penjualan sebesar Nilai
Transaksi Penjualan Surat Berharga. Pembeli wajib menyediakan dana sebesar Nilai
Transaksi Penjualan Surat Berharga di rekening giro Pembeli yang terdapat di BI.
Penjual kemudian menjual Surat Berharga pada Tanggal Setelmen Penjualan sebesar
nilai Transaksi Penjualan Surat Berharga. Penjual wajib menyediakan Surat Berharga
sesuai dengan nominal, jenis dan seri yang disepakati di rekening Surat Berharga
Penjual yang terdapat di Bank Indonesia.
Setelmen penjualan Surat Berharga (1st leg) dilakukan melalui BI-RTGS dan BI-
SSSS dengan mekanisme delivery versus payment dan menyatakan berhasil apabila
BI-SSSS telah memberikan konfirmasi status transaksi berhasil kepada masing-
masing pihak.
Setelmen Transaksi Repo hanya dapat dilaksanakan pada Hari Kerja. Jika suatu
kewajiban pembayaran atau penyerahan Surat Berharga sebagaimana ditentukan
dlaam Transaksi Repo jatuh pada hari libur, maka pemenuhan kewajiban pembayaran
atau penyerahan Surat Berharga tersebut dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa
memperhitungkan tambahan bunga repo untuk hari libur dimaksud.
3. Setelmen Pembelian Kembali Surat Berharga (2nd
Leg)38
Dalam proses ini Pembeli menjual kembali Surat Berharga pada tanggal pada
Tanggal Setelmen Pembelian sebesar Nilai Pembelian Kembali Surat Berharga.
Pembeli wajib menyediakan Surat Berharga sesuai dengan nominal, jenis dan seri
yang disepakati di rekening Surat Berharga Pembeli yang terdapat di BI. Kemudian
Penjual membeli kembali Surat Berharga pada Tanggal Setelmen Pembelian Kembali
sebesar nilai Nilai Transaksi Pembelian Kembali Surat Berharga di rekening giro
Penjual yang terdapat di BI.
37
Ibid., Pasal 4. 38
Ibid., Pasal 5.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
13
Universitas Indonesia
Setelmen pembelian kembali Surat Berharga (2nd
leg) dilakukan melalui BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan mekanisme DVB dan dinyatakan berhasil apabila BI-SSSS telah
memberikan konfirmasi status transaksi berhasil kepada masing-masing pihak.
Mini MRA mengatur beberapa ketentuan yang digunakan untuk melindungi para pihak
yaitu:
1. Kewajiban Top Up
Apabila Harga Pasar Surat Berharga mengalami penurunan harga sebesar lebih dari 10%
(sepuluh persen) dari harga pasar pada Tanggal Transaksi dan tidak menunjukkan
kenaikan harga lagi selama 3 (tiga) hari kerja berturut-turut atau lebih, maka pihak
Pembeli dapat memberitahukan secara resmi kepada pihak Penjual, selanjutnya pihak
Penjual wajib melakukan penyetoran dana atau surat berharga kepada pihak Pembeli
sebesar selisih antara Nilai Pasar Surat Berharga pada saat tanggal setelmen pembelian
(1st leg) dengan Nilai Pasar Surat Berharga saat top up dilakukan setelah pemberitahuan
resmi diterima. Dalam hal Penjual tidak melakukan penambahan dana atau surat berharga
tersebut dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pemberitahuan penurunan
Harga Surat Berharga, maka transaksi Repo diperlakukan sebagai transaksi jual putus
(outright) terhitung mulai akhir hari kelima setelah pemberitahuan dimaksud.39
2. Kegagalan Transaksi Repo
Dalam hal pada tanggal Setelmen Pembelian Kembali jumlah dana dalam rekening giro
atas nama Penjual atau Surat Berharga dalam BI-SSSS atas nama Pembeli tidak
mencukupi sehingga tidak dapat dilakukan pemindahbukuan dana (setelmen dana) atau
Surat Berharga (setelmen Surat Berharga) di BI, maka Para Pihak setuju menganggap
transaksi Repo sebagai transaksi jual putus (outright), sehingga pihak Pembeli
mempunyai hak milik sepenuhnya atas Surat Berharga tersebut.
Pelaksanaan transaksi outright terhitung pada Tanggal Setelmen Pembelian Kembali
dengan memperhitungkan nilai transaksi outright sebagai berikut:
39
Ibid., Pasal 7.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
14
Universitas Indonesia
a. Hak dan Kewajiban transaksi Para Pihak tetap diperhitungkan, yakni bunga repo,
kupon, setoran top up dan selisih harga yang disebabkan penurunan/kenaikan
harga Surat Berharga yang direpokan pada hari kegagalan.
b. Pihak yang gagal menyelesaikan setelmen pembelian kembali wajib membayar
sanksi sebesar 0,1 % dari Nilai Transaksi Pembelian Kembali (2nd
leg).
c. Setelmen dana atas kelebihan atau kekurangan atas transaksi outright ditambah
sanksi butir b diatas dilakukan paing lambat pada 1 hari kerja setelah kegagalan
setelmen repo 2nd
leg.
d. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran didalam butir c diatas, maka
dikenakan sanksi keterlambatan membayar sebesar ((nilai kewajiban + sanksi) x
tingkat suku bunga JIBOR overnight)/360 per hari ditambah biaya administrasi
sebesar Rp 500.000,00.
Sanksi tersebut diatas tidak berlaku untuk kondisi keadaan memaksa (force majeur).40
3. Early Termination
Salah satu pihak dapat mengajukan early termination atas transaksi Repo secara tertulis
yang wajib disetujui oleh pihak lainnya, apabila terdapat salah satu di antara kondisi
berikut yang dialami oleh salah satu pihak sebagaimana diumumkan dalam laporan
publikasi di website BI:
a. Rasio Kewajiaban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 8%;
b. Rasio Giro Wajib Minimu (GWM) dalam rupiah kurang dari 5%;
c. Rasio Non Performing Loan (NPL) Net diatas 5 %
sehingga salah satu pihak dianggap berpotensi tidak dapat menyelesaikan setelmen
pembelian kembali.
Dalam hal terjadi early termination, transaksi Repo diperlakukan sebagai transaksi jual
putus (outright) dan pihak yang mengajukan early termination wajib membayar sanksi
sebesar 0,1 % dari Nilai Transaksi Pembelian Kembali (2nd
leg).41
40
Ibid., Pasal 8. 41
Ibid., Pasal 9.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
15
Universitas Indonesia
4. Pengawasan Transaksi Repo Antar Bank
Sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (2) UU OJK, sejak tanggal 31 Desember 2013,
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Perbankan beralih dari BI ke OJK. OJK sendiri merupakan lembaga baru yang
dibentuk berdasarkan UU OJK yang merupakan amanat dari pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-undang No. 6 Tahun 2009 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 jo. Undang-
undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dikarenakan transaksi repo antar
bank ini berkaitan dengan permasalahan likuiditas perbankan maka pengawasannya
dilakukan oleh OJK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf a UU OJK. BI hanya
bertindak sebagai fasilisator, melakukan monitoring dalam bentuk volume, jumlah dan
rata-rata transaksi Repo yang dilakukan oleh bank peserta transaksi Repo Antar Bank.
Monitoring juga dilakukan dalam bentuk sosialisasi ke bank-bank yang belum mengenal
transaksi Repo Antar Bank.42
Dengan kemampuan transaksi repo menyediakan dana segar dalam jumlah besar di pasar
uang maka transaksi repo antar bank dapat dijadikan alternatif pendanaan bank untuk memenuhi
likuiditasnya. Hal ini karena transaksi Repo bersifat lebih aman karena adanya jaminan berupa
surat berharga atau dengan kata lain transaksi Repo ini bersifat collateralized. Transaksi Repo
yang bersifat collateralized dapat memitigasi permasalahan default risk & counterparty risk serta
memitigasi risiko kredit. Transaksi Repo memberikan manfaat bagi para pelaku transaksi Repo.
Penjual Repo akan mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
likuiditasnya. Sedangkan dari sisi Pembeli Repo akan merasa aman karena adanya jaminan yang
diberikan berupa surat berharga yang ketika Penerima Repo mengalami default dan tidak mampu
untuk membeli kembali surat berharga yang dijaminkan, maka Penjual Repo dapat menjual Surat
Berharga yang dijaminkan karena Transaksi Repo yang terjadi dianggap transaksi jual putus atau
outright.
Jenis perjanjian dalam transaksi Repo adalah perjanjian jual beli dengan janji membeli
kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 1523-1532 KUHPer. Namun dikarenakan objek dari
42
Disarikan oleh Penulis berdasarkan wawancara dengan Shintawati Elizabet dan Ryan Rizaldy, Grup
Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter, Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
16
Universitas Indonesia
transaksi Repo ini adalah surat berharga yang tergolong ke dalam benda bergerak tak berwujud
maka jual beli surat berharga ini dilakukan dengan cara cessie sebagaimana diatur dalam Pasal
613 KUHPer yang mengatakan bahwa:
“Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh,
dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan
hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya
bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya
secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan
dengan memberikannya penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan
memberikannya bersama endosemen surat itu”.
Dari uraian pasal diatas dikaitkan dengan transaksi Repo Antar Bank, dapat kita ambil
kesimpulan bahwa cara untuk melakukan cessie adalah dengan pertama objeknya adalah benda
bergerak tak bertubuh. Dalam hal ini objek dari transaksi Repo Antar Bank adalah surat berharga
berupa SBI, SDBI dan SBN yang termasuk kedalam benda bergerak tak bertubuh sebagaimana
diatur dalam Pasal 503 KUHPerdata43
. Kedua, penyerahannya dilakukan dengan membuat akta
otentik atau dibawah tangan. Dalam transaksi Repo Antar Bank dilakukan secara lisan maupun
secara tulisan.selanjutnya harus dituangkan secara tertulis melalui sarana BI-SSSS. Ketiga,
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujui secara tertulis atau diakuinya. Dalam
transaksi Repo Antar Bank, proses transaksi dinyatakan berhasil dan mempunyai akibat hukum
apabila BI-SSSS telah memberikan konfirmasi status transaksi berhasil kepada masing-masing
pihak (1st Leg). Setelah dilakukannya cessie maka selanjutnya pihak yang terlibat dalam
transaksi Repo Antar Bank ini adalah melakukan retro cessie dikarenakan dalam transaksi Repo
ada perjanjian bahwa objek yang diperjuabelikan harus dijual kembali pada waktu yang
ditentukan.44
Retro cessie tidak diatur secara khusus dalam KUHPer. Para pihak yang ingin melakukan
retro cessie merujuk kepada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Retro Cessie pada awalnya
terjadi karena ketakutan dari kreditur baru apabila debitor wanprestasi. Oleh karena itu kreditor
baru dan kreditor lama membuat perjanjian yang apabila debitur wanprestasi maka pembelian
piutang yang dilakukan oleh si kreditur baru dapat dikembalikan kepada kreditur lama (kebalikan
dari cessie). Para pihak yang ingin melaksanakan retro cessie harus menyatakan secara tegas
43
Pasal 503 KUHPer mengatakan bahwa ada barang yang bertubuh, dan ada barang yang tak bertubuh. 44
Berdasarkan konfirmasi dengan bapak Aulia Gulis, Divisi Hukum Bank Nasional Indonesia dikatakan
bahwa dalam Transaksi Repo terdapat proses cessie pada 1st Leg dan retro cessie pada 2
nd Leg.
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
17
Universitas Indonesia
bahwa para pihak akan melakukan retro cessie apabila debitur wanprestasi.45
Dalam transaksi
Repo yang merupakan penjualan surat berharga dengan janji membeli kembali apada waktu dan
harga tertentu terlihat bahwa adanya retro cessie. Penjual menjual surat berharga kepada pembeli
dengan janji untuk membeli kembali surat berharga yang dijual pada waktu tertentu. Di dalam
Mini MRA peristiwa ini disebut juga dengan 2nd
Leg dimana Penjual membeli kembali surat
berharga yang telah dijual pada waktu yang telah disepakati.
Gambar 1.46
1st Leg
Cessie
2nd
Leg
Retro Cessie
Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya
tentang Aspek Hukum Transaksi Repurchase Agreement (Repo) sebagai Alternatif Pendanaan
Bank untuk Memenuhi Likuiditasnya dengan skema Mini Master Repurchase Agreement (Mini
MRA), maka dalam hal ini dapat disimpulkan:
1. Pengaturan Transaksi Repo Antar Bank belum diatur secara khusus ke dalam suatu
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebelum dikeluarkannya Mini MRA,
transaksi Repo dilakukan dengan cara membuat perjanjian bilateral antara para pihak
yang ingin melakukan transaksi Repo. Hal ini menyebabkan tidak adanya kesamaan
pengaturan untuk melakukan transaksi Repo antara suatu bank dengan bank yang lain
sehingga hal ini menghambat berkembangnya transaksi Repo. Walaupun pada tahun
45
Suharnoko dan Endah Hartati, “Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie”, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
123. 46
Disarikan oleh penulis.
Penjual
Pembeli Penjual
Pembeli
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
18
Universitas Indonesia
2005 MRA telah ada, namun transaksi Repo tidak juga berkembang karena berbagai
permasalahan yang ada dan MRA sendiri berbeda dengan GMRA yang berlaku dan
diakui secara global sehingga menyebabkan pihak asing enggan untuk melakukan
transaksi Repo. Selain itu MRA juga telah diatur dalam peraturan Bapepam-LK No
VII.G.13 namun hanya terbatas terhadap emiten yang telah listing di bursa efek dan
surat berharga yang dapat digunakan terbatas hanya terhadap SUN. BI sebelum
lahirnya UU OJK yang merupakan otoritas berwenang hanya mengatur bahwa
transaksi Repo merupakan salah satu bentuk fasilitas pendanaan intrahari yang
diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
2. Mini MRA dijadikan acuan untuk melaksanakan transaksi Repo Antar Bank.
Implementasi Mini MRA dilakukan dengan memanfaatkan penggunaan kontrak
standar dalam transaksi repo/reverse repo antarbank. Dengan Mini MRA sebagai
perjanjian standar, pelaksanaan transaksi menjadi lebih praktis karena bank peserta
hanya perlu sekali saja untuk menandatangani perjanjian. Pelaksanaan transaksi repo
selanjutnya dapat mengacu pada MRA sebagai payung hukum dalam melakukan
transaksi Mini MRA memberikan kepastian hukum karena adanya hak-hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh para peserta transaksi Repo.
3. Transaksi Repo dapat dijadikan sebagai alternatif pendanaan bagi bank untuk
memenuhi likuiditasnya. Hal ini karena transaksi Repo bersifat lebih aman karena
adanya jaminan berupa surat berharga atau dengan kata lain transaksi Repo ini
bersifat collateralized. Transaksi Repo yang bersifat collateralized dapat memitigasi
permasalahan default risk & counterparty risk serta memitigasi risiko kredit. Selain
itu dengan adanya Mini MRA, bank-bank yang termasuk BUKU 1, BUKU 2, BUKU
3 dan BUKU 4 mempunyai alternatif pendanaan apabila mengalami kesulitan
likuiditas dan tidak bertumpu kepada PUAB yang bersifat uncollateralized. Transaksi
yang bersifat uncollateralized cenderung rentan terhadap shock ang dapat dipicu oleh
meningkatnya ketidakpastian risiko kredit.
Saran
Dalam pembahasan mengenai Aspek Hukum Transaksi Repurchase Agreement (Repo)
sebagai Alternatif Pendanaan Bank untuk Memenuhi Likuiditasnya dengan Skema Mini Master
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
19
Universitas Indonesia
Repurchase Agreement (Mini MRA), penulis memberikan saran bahwa Mini MRA dapat
dikatakan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bank-bank untuk melaksanakan transaksi
Repo, namun Mini MRA hanya berlaku bagi perbankan Indonesia yang secara sukarela mau
tunduk ketentuan-ketentan yang diatur dalam Mini MRA dan melihat kondisi Indonesia yang
akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN, penulis menyarankan agar otoritas yang
berwenang yang dalam hal ini adalah OJK dan BI untuk membuat suatu peraturan khusus
tentang transaksi Repo yang tidak terbatas hanya kepada bank saja dan surat berharga SBI,
SDBI, dan SBN saja. Pengaturan tersebut juga harus sesuai dengan pengaaturan tentang transaksi
Repo yang telah diatur sesuai dengan standar internasional agar bank-bank di Indonesia dan
lembaga keuangan lainnya dapat dengan mudah melakukan transaksi Repo dengan bank-bank
asing lainnya. Hal ini dikarenakan bank-bank asing telah terbiasa melakukan transaksi sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Global Master Repurchase Agreement (GMRA).
Daftar Referensi
Buku
Hermansyah. “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”. (Cet-6, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011).
Mamudji, Sri. Et-al. “Metode Peneleitian dan Penulisan Hukum”. (Jakarta:Badan Penerbit
Fakultas Hukum Indonesia, 2005).
Sinungan. “Manajemen Dana Bank”. (Cet-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. “Penelitian Normatif-Suatu Tinjuan Singkat”. (Jakarta:
PT. Raha Grafindo Persada, 1994).
Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum”, cet-3, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2008).
Suharnoko dan Endah Hartati. “Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie”. (Jakarta: Kencana,
2006).
Usman, Rachmadi. “Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia”. (Cet-2, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Peraturan Perundang-Undangan
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014
20
Universitas Indonesia
Indonesia. “Undang-Undang tentang Bank Indonesia”, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999,
LN No 66 Tahun 1999, TLN No. 3843 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, LN
No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357, Jis. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, LN No. 7
tahun 2009, TLN No. 4901.
_______. “Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum”.
PBI No. 10/31/PBI/2008, LN No. 178 Tahun 2008, TLN No 4926.
_______. “Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank
Umum”. PBI No 14/16/PBI/2012, LN No 259 Tahun 2012, TLN No. 5367.
_______. “Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan
terhadap Surat Berharga Rupiah Bank Kepada Bank Indonesia”. LN No. 61 Tahun
2010, TLN No. 5127.
_______. “Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter”. PBI No 12/11/PBI/2010, LN
No. 84 Tahun 2010.
Skripsi
Satria, Santri. “Aspek Hukum Pelepasan Kepemilikan Saham Lembaga Penjamin Simpanan atas
PT. Bank Mutiara, Tbk sebagai Akhir Penanganan Bank Gagal Berdampak Sistemik”.
(Depok, Universitas Indonesia, Skripsi 2012).
Murharjanti, Prayekti. “Tinjauan Yuridis Keberadaan Pasar Uang Antar Bank Di Indonesia”.
(Depok: Universitas Indonesia, Skripsi, 1998).
Internet
Wills Thomas, “Repurchase Agreement Accounting Update”, http://search.proquest.com
/docview/215047977/A4E50F4A95B843FEPQ/2?accountid=17242, (29 September 2014, 21.00
WIB).
Aspek hukum..., Aljefri Febrizarli, FH, 2014