ASPEK HUKUM BANK SYARIAH DALAM KAITANNYA · PDF fileatau transaksi jual beli yang riil) 5 ......

download ASPEK HUKUM BANK SYARIAH DALAM KAITANNYA  · PDF fileatau transaksi jual beli yang riil) 5 ... Ketentuan tentang haramnya riba tersebut juga dinyatakan dalam beberapa hadits,

If you can't read please download the document

Transcript of ASPEK HUKUM BANK SYARIAH DALAM KAITANNYA · PDF fileatau transaksi jual beli yang riil) 5 ......

  • ASPEK HUKUM BANK SYARIAH DALAM KAITANNYA DENGAN

    KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA

    Oleh: Cholidul Azhar, SH. M.Hum

    (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Makassar)

    1. Pendahuluan

    Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

    dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50

    tahun 2009, dihubungkan pula dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008

    tentang Perbankan Syariah, merupakan perubahan yang sangat signifikan, terkait

    dengan kewenangan absolut yang tercantum dalam pasal 49 huruf i, yaitu

    ekonomi syariah. Penambahan kewenangan baru tersebut merupakan lompatan

    jauh ke depan dalam kurun waktu yang relatif singkat, mengingat upaya untuk

    mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama di Jawa Madura terkait dengan

    perkara waris bagi orang Islam, yang berdasarkan Stbl. 1882 memang

    merupakan kompetensi absolut Pengadilan Agama, kemudian oleh pemerintah

    kolonial Belanda telah dihapus dengan Stbl. 1937, baru berhasil dikembalikan

    menjadi kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura setelah melalui

    kurun waktu yang cukup lama (52 tahun), yakni dengan diundangkannya Undang-

    Undang nomor 7 tahun 1989, meskipun pada awalnya kewenangan untuk

    menyelesaikan perkara waris tersebut masih dibatasi dengan hak opsi.

    Dari segi hukum Islam, ekonomi syariah yang berbasis fiqh muamalah

    secara teoritis bukan barang baru bagi hakim Pengadilan Agama, yang notabene

    pernah mempelajarinya di bangku kuliah fakultas syariah, karena merupakan

    bagian dari kajian fiqih, namun ekonomi syariah (ekonomi Islam) dalam tataran

    aplikasi dewasa ini baik domestik maupun global merupakan kegiatan

  • 2

    perekonomian yang relatif baru, yang dipandang bisa lebih memberikan harapan,

    karena perekonomian konvensional, baik sistem kapitalis/liberal maupun sosialis

    dipandang telah gagal. Hal tersebut menjadi lebih baru lagi bagi lingkungan

    Peradilan Agama, yang selama ini kewenangannya hanya terbatas pada masalah

    sengketa perkawinan, waris, harta bersama, hibah, wasiyat dan shodaqah.

    Sehingga tidak aneh bila terdengar komentar miring dari banyak pihak yang

    mempertanyakan kapabilitas hakim pengadilan agama dalam menangani

    kewenangan baru tersebut. Bahkan Mulia Siregar, Ketua Tim Regulasi dan

    Pengembangan Perbankan Syariah Bank Indonesia pada waktu baru

    diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, meminta agar Undang-

    Undang itu dikoreksi dan ditunda dulu pelaksanaannya, karena dalam

    pembahasannya di DPR tidak dilakukan konsultasi dengan pihak yang

    mempunyai otoritas mengatur perbankan maupun dengan stakeholder ekonomi

    syariah.1.

    Terlepas dari berbagai komentar miring tersebut, kewenangan baru untuk

    menangani sengketa di bidang ekonomi syariah merupakan tantangan yang harus

    dihadapi bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Untuk itu diperlukan kerja

    keras dan sungguh-sungguh dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan

    di bidang hukum ekonomi/bisnis khususnya bidang ekonomi syariah.

    Dalam kaitannya sebagai upaya untuk mengenal dan mendalami lebih

    lanjut tentang aspek hukum ekonomi syariah, penulis mencoba membahas salah

    satu bagian dari ekonomi syariah tersebut, yakni perbankan syariah, yang di

    Indonesia merupakan kegiatan ekonomi syariah yang lahir lebih dahulu dan

    merupakan lokomotif kegiatan ekonomi syariah lainnya (asuransi syariah,

  • 3

    reksadana syariah, gadai syariah, obligasi syariah, sekuritas syariah, dan pasar

    modal syariah).

    Dalam pembahasan ini penulis membatasi diri pada: bank syariah sebagai

    bank bebas bunga/riba, dasar hukum bank syariah (hukum positif dan hukum

    Islam/syariah), aspek hukum kelembagaan dan operasional, dan penyelesaian

    sengketa perbankan syariah dalam kaitannya dengan tambahan kewenangan

    absolut Pengadilan Agama berdasarkan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor

    7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang

    Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang nomor 50 tahun 2009.

    2. Bank syariah sebagai bank bebas bunga/riba

    Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat yang

    kelebihan dana (surplus spending unit) dalam bentuk simpanan dan

    menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending

    unit) dalam berbagai alternatif investasi.2 Transaksi usaha bank senantiasa

    berkaitan dengan uang. Dari kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana

    tersebut bank mengambil keuntungan dari selisih bunga yang diambil dari dana

    pinjaman dengan bunga yang diberikan pada dana simpanan. Dari sisi

    permintaan, bunga atau interest adalah biaya atas pinjaman, yakni merupakan

    sejumlah uang yang dibayarkan sebagai imbalan atas penggunaan uang yang

    dipinjam, sehingga disini bunga mirip sebagai sewa atau harga dari uang.

    Sedangkan dari sisi penawaran, bunga merupakan pendapatan atas pemberian

    kredit, yaitu pemilik dana akan menggunakan atau mengalokasikan dananya pada

    jenis investasi yang menjanjikan pembayaran bunga yang lebih tinggi. Sebagai

    contohnya apabila dana yang dipinjamkan sebesar Rp 1.000.000,00 dan pada

  • 4

    akhir tahun harus dikembalikan Rp 1.100.000,00, maka bunga yang dipungut

    dalam transaksi tersebut adalah Rp 100.000,00, dengan demikian tingkat bunga

    tersebut adalah Rp 100.000,00/Rp 1.000.000,00 = 0,1 atau 10 %, dan selalu

    dinyatakan secara tahunan (annual), sehingga perhitungan bunga tersebut dikenal

    dengan 10% p.a. (per annum).3 Penentuan bunga dalam praktek perbankan

    konvensional selalu ditetapkan di muka, yakni ketika transaksi penyimpanan atau

    peminjaman dilakukan, maka sekaligus ditetapkan berapa tingkat bunga yang

    harus dibayar. Dengan demikian menurut prinsip syariah, suatu pinjaman yang

    ditetapkan lebih dahulu diambil manfaatnya berupa tambahan pembayaran

    pengembaliannya, dikategorikan sebagai riba, dan dilarang untuk dilakukan

    (haram).

    Al Jurjani mengartikan riba sebagai berikut:

    s P P R us oZu RV R

    (Riba secara syariy adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti

    atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat

    akad atau transaksi).4

    Pengertian yang hampir sama diberikan oleh al Aini sebagai berikut:

    C Pj Rv s p o n S u RV R

    (Riba secara syariy adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya aqad

    atau transaksi jual beli yang riil) 5

    Menurut Saeed, istilah riba pertama kali diintrodusir berdasarkan wahyu

    yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian Muhammad di Makkah, pada

    tahun ke 4 atau 5 Hijriyah (614/615M).6 Pembicaraan riba untuk kedua kalinya

    dipertajam pada periode kehidupan Madinah, tepatnya setelah peristiwa perang

  • 5

    Uhud, yakni hampir 11 tahun setelah larangan riba untuk pertama kalinya

    diperkenalkan pada periode Makkah.7 Ungkapan (al Quran 3:130) janganlah

    memakan riba mengindikasikan bahwa sebelum turun ayat tersebut riba

    merupakan hal yang biasa dalam perniagaan bangsa Arab pra Islam, yakni

    dengan cara mengenakan tambahan pembayaran bagi pihak yang berutang

    (debitor) yang tidak mampu mengembalikan hutangnya pada waktu jatuh tempo,

    sehingga hutang lama ditambah dengan tambahan tersebut menjadi hutang baru.

    Keadaan tersebut bisa berulang lagi ketika kemudian ternyata debitur kembali

    tidak mampu membayar utangnya pada saat jatuh tempo. Bila debitor tidak dapat

    membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat ganda lagi, umpamanya

    hutang 100 dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar

    pada tahun berikutnya, hutang akan meningkat lagi menjadi 400. Jelasnya

    keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda setiap tahun. Inilah yang

    disebut dengan riba yang berlipat ganda, yang dianggap memberatkan debitur. 8

    Ayat-ayat al Al Quran tentang riba tidak diturunkan sekaligus, melainkan

    secara bertahap. di tempat dan masa yang berlainan, sebagaimana ayat-ayat

    yang melarang mengkonsumsi minuman keras (khamer). Ada empat ayat dalam

    Al Quran tentang riba, salah satunya diturunkan di Mekkah dan tiga lainnya

    diturunkan di Madinah. Ayat pertama ialah surat Ar Rum 39, yang tidak langsung

    melarang riba, tetapi hanya mengemukakan bahwa riba itu tidak disenangi dan

    Allah tidak akan memberikan berkah pada riba. Berbeda dengan harta yang

    dikeluarkan zakatnya maka Allah akan memberikan berkahnya dan akan melipat

    gandakannya. Ayat kedua, surat an Nisa 160 dan 161, juga masih belum

    menyebutkan larangan riba tetapi hanya membangkitkan perhatian dan

    mempersiapkan mental untuk menerima adanya ide larangan riba. Kemudian

  • 6

    datang ayat ketiga, surat Ali Imran 130, yang tidak mengharamkan secara

    keseluruhan, melainkan hanya riba tertentu yang diharamkan, yakni riba dalam

    bentuk berlipat ganda. Terakhir turun ayat yang ke empat, surat al Baqarah 275-

    279, yang secara tegas mengharamkan memakan riba, agar mata manusia

    terbuka melihat kenyataan berpindahnya kekayaan dari pemiliknya kepada orang

    yang mengeksploitasi kebutuhan orang dan menyedot harta mereka. Ayat ini

    dengan tuntas mengharamkan riba secara keseluruhan. Penetapan haramnya riba

    secara total ini menurut ahli fiqih terjadi pada akhir tahun ke 8 atau awal tahun ke

    9 Hijriyah. 9

    Ketentuan tentang haramn