asma.doc

43
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering ditemukan, terutama di negara maju. Penyakit ini pada umumnya dimulai pada masa anak-anak. 1. Dahulu, asma dipandang sebagai suatu episodik akut dengan spasme bronkus sebagai mekanisme yang mendasari, dan sel mast merupakan satu-satunya sel yang bertanggung jawab terhadap mekanisme. Saat ini, diketahui bahwa asma merupakan inflamasi kronik jalan napas, yang bertanggung jawab terhadap peningkatan respon jalan napas (hipereaktivitas bronkus/Hbr) yang merupakan tanda khas asma. Proses inflamasi asma tidak hanya melibatkan sel mast, tetapi berbagai sel inflamasi terlibat di dalamnya terutama sel limfosit dan eosinofil. Sel-sel inflamasi tersebut akan menghasilkan bermacam-macam mediator/ sitokin yang saling berinteraksi sehingga menimbulkan berbagai efek patologik yang kesemuanya bertanggung jawab terhadap Hbr dan gejala klinik asma. 2 Penyakit asma bronkial terdapat pada semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun penyakit ini sudah dikenal sejak lama, tetapi penyebab yang pasti belum diketahui. Patogenesis penyakit ini dari waktu ke waktu makin banyak terungkap dan makin komplek sejalan dengan perkembangan ilmu biologi molekuler. 2 Definisi asma bronkial dewasa ini adalah suatu kelainan pada saluran napas berupa inflamasi kronik. Inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap 1

Transcript of asma.doc

Manifestasi Klinis

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering ditemukan, terutama di negara maju. Penyakit ini pada umumnya dimulai pada masa anak-anak.1. Dahulu, asma dipandang sebagai suatu episodik akut dengan spasme bronkus sebagai mekanisme yang mendasari, dan sel mast merupakan satu-satunya sel yang bertanggung jawab terhadap mekanisme. Saat ini, diketahui bahwa asma merupakan inflamasi kronik jalan napas, yang bertanggung jawab terhadap peningkatan respon jalan napas (hipereaktivitas bronkus/Hbr) yang merupakan tanda khas asma. Proses inflamasi asma tidak hanya melibatkan sel mast, tetapi berbagai sel inflamasi terlibat di dalamnya terutama sel limfosit dan eosinofil. Sel-sel inflamasi tersebut akan menghasilkan bermacam-macam mediator/ sitokin yang saling berinteraksi sehingga menimbulkan berbagai efek patologik yang kesemuanya bertanggung jawab terhadap Hbr dan gejala klinik asma.2

Penyakit asma bronkial terdapat pada semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun penyakit ini sudah dikenal sejak lama, tetapi penyebab yang pasti belum diketahui. Patogenesis penyakit ini dari waktu ke waktu makin banyak terungkap dan makin komplek sejalan dengan perkembangan ilmu biologi molekuler.2

Definisi asma bronkial dewasa ini adalah suatu kelainan pada saluran napas berupa inflamasi kronik. Inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap berbagai rangsangan. Pada individu yang sensitif, inflamasi kronik ini memberikan gejala-gejala yang timbul akibat penyempitan saluran udara yang menyeluruh, dengan derajat yang bervariasi dan sering membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsangan, misalnya infeksi, alergen, obat-obatan, beban kerja, pendinginan saluran napas dan bahan kimia.2

Tujuan penatalaksanaan pada asma bronkial adalah mencapai keadaan asma yang terkontrol dan kualitas hidup yang lebih baik, untuk itu perlu diagnosis penyakit yang tepat. Asma bronkial kadang- kadang memberikan gejala yang tidak khas dan menyerupai penyakit paru lain. Disamping itu, beberapa penyakit paru dan saluran pernapasan dapat memberikan gejala menyerupai asma.2

Selain diagnosis yang tepat, perlu ditentukan klasifikasi penyakit agar dapat diberikan pengobatan yang tepat dan adekuat. Apabila riwayat penyakit dan gejala klinis yang terjadi jelas dan khas, maka diagnosis asma bronkial tidaklah sulit ditegakkan. Pada sebagian kasus, gejala ini tidak jelas demikian pula dengan riwayat penyakitnya sehingga diagnosis penyakit mungkin saja sulit ditegakkan. Selain itu, beberapa keadaan seperti gejala- gejala yang berlangsung lama dan menetap, penyakit asma bronkial sukar dibedakan dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) Untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang teliti, mulai dari pemeriksaan yang sederhana seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan banyak sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T, sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, menyebabkan obstruksi jalan napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan, dan inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan respon jalan napas terhadap berbagai rangsangan.1

Gambar 1. Penyempitan Saluran Respiratorik Pada Asma3

Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan definisi yang praktis dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:1

timbul secara episodik dan/atau kronik

cenderung pada malam/dini hari (nokturnal)

musiman

adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan serta

adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/ keluarganya

Pengertian kronik dan berulang mengacu pada batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan atau tiga atau lebih episode dalam waktu tiga bulan berturut-turut.12.2 EpidemiologiPenelitian mengenai prevalensi asma telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dilaporkan dari berbagai negara. Namun umumnya kriteria penyakit asma yang digunakan belum sama sehingga sulit untuk membandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan penelitian prevalensi asma di banyak negara menggunakan kuisioner baku, yaitu ISAAC fase I pada tahun 1996, yang dilanjutkan dengan ISAAC fase III tahun pada 2002. Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun yang terendah adalah di Indonesia (1,6%) dan yang tertinggi adalah di Inggris yaitu sebesar 36,8%. Survei mengenai prevalensi asma di Eropa telah dilakukan di tujuh negara dan didapatkan prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%.1Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuisioner baku. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa hasil survei prevalens asma pada anak di Indonesia.1Tabel 1. Hasil Survei Prevalensi Asma di Indonesia1PenelitiKotaSampelUmur (thn)Prevalens (%)

Djajanto BJakarta 12006 - 1216,4

Rosmayudi OBandung48656 126,6

DahlanJakarta6 1217,4

ArifinPalembang129613 155,7

RosalinaBandung311813 152,6

Yunus FJakarta223413 1411,5

Kartasasmita JBBandung26786 73,0

283613 145,2

Rahajoe NNJakarta129613 146,7

Sebelum pubertas prevalensi asma 3 kali lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, sedangkan pada masa remaja prevalensi asma ditemukan sama baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Pada kebanyakan anak, onset asma dimulai pada saat mereka berumur dibawah 5 tahun, dan lebih dari setengah kasus asma dimulai pada umur dibawah 3 tahun.4 2.3 Faktor Risiko

2.3.1. Faktor Risiko Mendapatkan Asma

Sampai saat ini tidak diketahui pasti penyebab asma bronkial. Berbagai faktor meningkatkan risiko mendapatkan asma yaitu janin atau bayi dari ibu yang merokok, pajanan alergen konsentrasi tinggi, infeksi virus pada usia bayi (terutama virus respiratory syncitial), dan polusi udara (ozon, SO2, NO2). Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi kompleks dari berbagai faktor yang secara garis besar dibagi menjadi:21. Faktor predisposisi, yaitu faktor pada individu untuk kecenderungan mendapatkan penyakit asma. Termasuk dalam faktor predisposisi adalah atopi (kecenderungan membentuk IgE berlebih) dan jenis kelamin (asma lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada wanita).22. Faktor penyebab, yaitu sesuatu yang mensensitisasi jalan napas dan menyebabkan timbulnya asma yaitu :2 Alergen dalam ruangan seperti tungau debu rumah, alergen binatang, alegen kecoa, dan jamur. Alergen luar ruangan seperti tepung sari, biji-bijian, rumput-rumputan.

Bahan-bahan di lingkungan kerja, asma yang ditimbulkan oleh bahan-bahan di lingkungan kerja dikenal sebagai asma kerja.

3. Faktor kontribusi, yaitu faktor yang meningkatkan risiko terjadinya asma baik karena pajanan (faktor penyebab) maupun karena adanya kecenderungan (faktor predisposisi), yaitu infeksi pernapasan, berat badan lahir rendah,merokok (aktif maupun pasif), pola makanan dan polusi udara.22.3.2. Faktor risiko timbulnya serangan asma/pencetus

Pencetus asma adalah faktor risiko yang menyebabkan timbulnya serangan asma melalui rangsangan terjadinya bronkokonstriksi akut (reaksi asma cepat) dan rangsangan inflamasi (reaksi asma lambat) atau keduanya. Termasuk dalam faktor pencetus antara lain : 21 Alergen, di dalam atau diluar ruangan. Setelah tersensitisasi alergen (faktor penyebab), maka alergen juga dapat menimbulkan eksaserbasi (pencetus).

2 Iritan (asap rokok,polusi udara, bau-bauan yang meragsang, dan asap).3 Infeksi pernapasan terutama infeksi virus dapat mencetuskan serangan asma.4 Faktor fisik (aktivitas fisik, udara dingin, hiperventilasi)

5 Makanan dan food additives (pengawet, penyedap, pewarna makanan)

6 Obat-obatan (beta bloker, antiinflamasi nonsteroid, aspirin)

7 Emosi (stres)

8 Faktor endokrin (menstruasi, kehamilan, dan penyakit tiroid)

9 Bahan- bahan di lingkungan kerja.10 Lain-lain (refluks gastroesofagus, masalah saluran nafas atas seperti rinitis, sinusitis, dan poliposis).Sebagian faktor dapat berfungsi dua yaitu sebagai faktor penyebab yang merupakan risiko mendapatkan asma sekaligus faktor pencetus yang merupakan risiko timbulnya serangan asma/eksaserbasi, faktor tersebut antara lain alergen, infeksi pernapasan dan bahan-bahan di lingkungan kerja.22.4. Patogenesis

Konsep terkini patogenesis asma yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratorik sebagai respons terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respirator adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-sel tersebut secara luas berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah airway remodeling.2.4.1 Mekanisme Imunologis Inflamasi Saluran RespiratorikPada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.1Sedikitnya ada dua jenis T helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat maupun yang cell-mediated.1Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada set T CD8+).1Sel dendritik merupakan Antigen Presenting Cell (APC) yang utama dalam saluran napas. Set dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi set epitel, fibroblas, set T, makrofag dan set mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di sana, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi set T naive ThO menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster kromosom 5g31-33 (IL-4 genecluster).1

Gambar 2. Mekanisme Imunologis Saluran Respiratorik.12.4.2 Inflamasi Akut dan Kronik

Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel tersebut dan IgE mengawali serial reaksi biokimia yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik dan heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrin, adenosin dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratorik dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respon fase lambat dan selama berlangsung paparan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya set leukosit pro inflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.12.4.3 Remodeling Saluran RespiratorikRemodeling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/ transforming growth factors (TGF-) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, chemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan komplek pada dinding saluran respiratorik dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.1Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur saluran yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid. Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini mencerminkan adanya remodeling saluran napas.1Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran respiratorik yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu yang lama (lebih dari 1 sampai 2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi steroid.12.5Patofisiologi Asma

2.5.1Obstruksi Saluran Respiratorik

Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi pernapasan. Obstruksi saluran respiratorik menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma : batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperreaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan.1

Gambar 3. Faktor yang Berperan dalam Terjadinya Asma1Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan dari sel-sel agonis inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu, hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan debris selular.1

2.5.2Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.1Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV 1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik tidak mempunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara histamin didapatkan penurunan FEV 120% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.12.6 Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis memerlukan berbagai evaluasi, baik dari hasil gejala klinis dan pemeriksaa fisik dan penunjang. Untuk mengurangi underdiagnosis, perumus Konsensus Internasional Penanggulangan Asma Anak menyusun suatu alur diagnosis asma pada anak.1Wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul.1 Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak, khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (> 6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.1

Gambar 4. Alur Diagnosis Asma Anak1Berbagai cara dilakukan untuk memperlihatkan hiperaktivitas bronkus, cara yang sering digunakan adalah :21.Provokasi beban kerja

2.Provokasi dengan hiperventilasi isokapnik udara dingin

3.Provokasi inhalasi

Spesifik : alergen

Nonspesifik : histamin

: metakolin

: prostaglandin F2(Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui tiga cara yaitu untuk mendapatkan:11. Variabilitas pada PFR atau FEV1 15%.

Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung > 2 minggu.

2. Reversibilitas pada PFR atau FEV1 > 15%.

Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV 1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

3. Penurunan > 20% pada FEV 1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin.

Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui keberhasilan tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak selalu ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai alternatif karena mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar Catatan Harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR.1

Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap pemberian obat bronkodilator baik, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik,sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma atau asma dengan penyakit penyerta.1Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.1Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan asma. Dengan cara tersebut di atas, maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Pasien TB yang memerlukan steroid untuk pengobatan asmanya, steroid sistemik jangka pendek atau steroid inhalasi tidak akan memperburuk tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat TB1Menurut pengamatan di lapangan, sering terjadi overdiagnosis TB dan underdiagnosis asma karena pada pasien anak dengan batuk kronik berulang seringkali yang pertamakali dipikirkan adalah TB, bukan asma.1Berdasarkan alur diagnosis asma anak, setiap anak yang menunjukkan gejala batuk dan/atau wheezing maka diagnosis akhirnya dapat berupa:11. Asma

2. Asma dengan penyakit lain

3. Bukan asma.2.7Klasifikasi

PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat dengan kriteria yang lebih lengkap dibandingkan Konsensus Internasional seperti dapat dilihat dalam tabel 2.1Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak1Parameter klinisAsma Episodik JarangAsma Episodik SeringAsma Persisten

Frekuensi serangan< 1x / bulan> 1x / bulanSering

Lama serangan< 1 minggu> 1 mingguHampir sepanjang tahun, tdk ada remisi

Intensitas seranganBiasanya ringanBiasanya sedangBiasanya berat

Di antara seranganTanpa gejalaSering ada gejalaGejala siang dan malam

Tidur dan aktivitasTidak tergangguSering tergangguSangat terganggu

Pemeriksaan fisis diluar seranganNormal (tidak ditemukan kelainan)Mungkin terganggu (ada kelainan)Tidak pernah normal

Obat pengendaliTidak perluPerluPerlu

Uji faal paru (di luar serangan)PEF/FEV1

> 80%PEF/FEV1

60-80%PEF/FEV1

< 60%

Variabilitas faal paruVariabilitas

> 15%Variabilitas

> 30%Variabilitas

> 50%

Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi Asma Intermiten, Asma Persisten Ringan, Asma Persisten Sedang, Asma Persisten Berat. Dasar pembagiannya adalah gambaran klinis, faal dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV 1 untuk penilaiannya.1Konsensus Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu, asma episodik jarang yang meliputi 75% populasi anak asma, asma episodik sering meliputi 20% populasi, dan asma persisten meliputi 5% populasi.12.8 Diagnosis Banding

Terjadinya mengi dan dispneau ekspiratorik dapat terjadi pada bermacam-macam keadaan yang menyebabkan obstruksi pada saluran nafas. Adapun diagnosis banding dari asma diantaranya:51. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis atau fibrosis kistik.

2. Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.3. Bronkitis, apabila tidak ditemukan eosinofilia suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. apabila sering berulang dan kronik sering disebabkan oleh asma.2.9Tata Laksana Jangka Panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah: 11. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

2.9.1Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten. 1Asma Episodik Jarang. Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator beta agonis hirupan kerja pendek atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka beta agonis diberikan per oral.1Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin berkurang dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan beta agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.1

Konsensus Internasional III dan juga Pedoman Nasional Asma Anak seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pemberian anti-inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Jadi secara tegas PNAA tidak menganjurkan pemberian obat controller pada Asma Episodik Jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah atau kromoglikat hirupan. Dalam alur tatalaksana jangka panjang terlihat bahwa jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering. Dengan mengikuti panduan tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada Asma Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di pihak lain, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid hirupan menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan sampai asmanya asimtomatik.1Asma Episodik Sering. Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. Pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Pemberian kromolin kurang bermanfaat pada tatalaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah sebagai anti-inflamasi.1Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.1Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 g/hari, atau setara flutikason 50-100 g belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek tempi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma-sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat. 1

Gambar 5. Alur Tata Laksana Asma Anak Jangka Panjang1Sebaliknya, jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannnya. Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rinitis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksaan. rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.1Asma Persisten. Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.1Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 pg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 p.g/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipofisis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru. Selain itu untuk mengurangi efek camping steroid hirupan, bila sudah mampu pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat.1Cara Pemberian Obat. Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaankemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar. Pemakaian alas perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler; memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.1Tabel 3. Jenis Alat Inhalasi Disesuaikan Dengan Usia1

Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhakr, Autoluder) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.12.10Tata Laksana Serangan Asma

Gambar 6. Patofisiologi Serangan Asma1Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bisa mulai dari serangan ringan hingga serangan berat yang dapat mengancam nyawa.1Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di ruang gawat darurat. Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah, setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif.

Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk: 11. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin2. Mengurangi hipoksemia3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.

Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratorik secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, udem mukosa karena inflamasi saluran respiratorik, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan saluran respiratorik menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan saluran respiratorik yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak paduu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).1Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran respiratorik yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran respiratorik, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.1Ventilasi perfusi yang tidak padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada saluran respiratorik yang berat, akan terjadi kelelahan otot respiratorik dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal respiratorik (respiratory failure). Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas.1Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. 12.11 Penilaian Derajat Serangan Asma

Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan, yang terbagi atas serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien Asma Persisten dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya bisa saja pasien yang tergolong Asma Episodik Jarang mengalami serangan asma berat bahkan serangan ancaman henti napas (kematian).1Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. GINA melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Butir-butir penilaian dalam tabel tidak harus lengkap ada pada setiap pasien. Pembagian harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan berbagai keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberi respons yang kurang terhadap terapi awal, serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi. Pasien tertentu mempunyai risiko tinggi untuk mengalami serangan berat yang dapat mengancam nyawa. Di antaranya adalah pasien dengan riwayat:1 Serangan asma yang mengancam nyawa Intubasi karena serangan asma Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama Penggunaan steroid sistemik (belum lama atau baru lepas) Kunjungan ke ugd atau perawatan rs karena asma dalam setahun terakhir Tidak teratur berobat sesuai rencana Berkurangnya persepsi tentang sesak napas Penyakit psikiatrik atau masalah psikososialUntuk pasien yang mempunyai risiko tinggi seperti di atas, steroid sistemik (oral atau parenteral) perlu diberikan pada awal penanganan meskipun pada penilaian awal, serangannya masih ringan.1Tabel 4. Penilaian Derajat Serangan Asma1

GINA membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di.rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, clan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah, terapi awal berupa inhalasi -agonis kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan yang kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas cukup riskan, dan kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian maka apabila setelah dilakukan inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang baik, maka dianjurkan mencari pertolongan dokter.1Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat, langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian tatalaksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.1Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian -agonis dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga nebulisasi ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.1

Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi -agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi -agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.12.11.1 Serangan Asma Ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respon yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat (beta-agonis hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Sebagian besar pasien tetap dalam keadaan baik setelah ditatalaksana sebagai Serangan Asma Ringan, namun pada sebagian, gejala timbul kembali. Jika dalam observasi 1 jam gejala timbul kembali, pasien ditatalaksana sebagai Serangan Asma Sedang.12.11.2Serangan Asma Sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS). Pada Serangan Asma Sedang diberikan steaid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3.5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan selain metlprednisolon adalah prednison. Ada yang berpendapat steroid nebulisasi dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu dosis yang sangat tinggi (16C)0 ug), meskipun belum banyak pustaka yang mendukung. Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan asma. Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di UGD pasien yang akan diobservasi di RRS sebaiknya langsung dipasangi jalur parenteral.12.11.3Serangan Asma Berat

Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman) maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat, maka nebulisasi pertama kali langsung P-agonis dengan penambahan antikolinergik. Oksigen 2-4 l/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan.serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan atau pneumo-mediastinum.12.12Prevensi dan Intervensi Dini

Penanggulangan asma pada anak sekarang bertujan bukan mengatasi serangan yang muncul pada saat tersebut, tetapi ditujukan untuk mencegah munculnya serangan asma yang berulang pada waktu berikutnya. Anak yang menderita asma harus dapat hidup dengan layak serta tumbuh dan berkembang sesuai dengan umurnya.5Pencegahan serangan asma terdiri atas:1. Menghindari faktor-faktor pencetusAlergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% balita asma terbukti mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Atopi merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Derajat asma yang lebih berat dapat diperkirakan dengan adanya dermatitis atopik. Terdapat hubungan antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan peningkatan gejala asma pada anak.Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma. Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu, seperti kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungaunya. Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergika dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua kelainan itu yang diikuti dengan terapi yang adekuat akan memperbaiki gejala asmanya.12. Obat-Obat Dan Terapi ImunologikPenggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau mengurangi reaksi-reaksi yang akan dan atau sudah timbul oleh pencetus tadi. Penggunaan obat-obatan seperti bronkodilator secepat-cepatnya dan dengan cara yang setepat-tepatnya dapat menggagalkan serangan asma akut. Pada anak-anak obat pencegahan yang ideal adalah obat yang diberikan secara oral dan paling baik diberikan 1 atau 2 kali sehari, serta diusahakan obat tersebut sedapat mungkin bebas dari efek samping. Salah satu contoh obat yang sering digunakan adalah ketotifen dimana cara kerjanya adalah memperkuat dinding sel mast sehingga akan mencegah pengeluaran mediator. Ketotifen diberikan per oral dengan dosis 2x1 per hari. Sedangkan untuk terapi imunologik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin.52.13 Peran Pendidikan serta KIEMeskipun asma merupakan penyakit kronik yang tidak jarang pada anak, sering penyakit ini tidak disadari atau tidak terdiagnosis serta penanggulangannya kurang atau tidak tepat. Salah satu sarana yang dapat kita kembangkan untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengoptimalkan potensi keluarga khususnya orang tua.5Dalam terapi penderita asma pada anak sangat diperlukan peran serta orang tua sebagai orang terdekat dengan anak. Orang tua pasien harus diberi penjelasan mengenai asma secara menyeluruh dalam merawat anak yang menderita asma. Adapun beberapa hal yang diharapkan dapat dilakukan oleh keluarga yang salah satu anggotanya mengalami asma adalah sebagai berikut :51. Mencegah serangan asma dengan membuat lingkungan yang serasi dengan anak.2. Selalu sedia obat asma serta dapat memberikan obat pada saat yang tepat.3. Mengetahui tanda-tanda permulaan serangan asma.4. Mengetahui saat kapan harus berkonsultasi ke dokter atau ke rumah sakit. Konsultasi rutin harus dilakukan walaupun anak dalam keadaan tenang. Konsultasi perlu juga dilakukan apabila ada persoalan, misalnya apabila persediaan obat sudah habis, atau obat sudah diberikan tetapi serangan asmanya tidak makin membaik bahkan mungkin memburuk. Orang tua harus mengetahui kapan harus segera membawa anaknya ke Unit pelayanan gawat darurat.5. Menjaga kesehatan anak yang asma.6. Membina suasana keluarga agar dapat memberikan pengaruh yang positif bagi kehidupan keluarga umumnya dan anak khususnya.2.14 Komplikasi

Apabila serangan asma sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan menyebabkan terjadinya emfisema dan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk thorax yaitu thorax membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen thorax terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kanan dan hilus kiri bertambah. Pada asma kronik dapat terjadi perubahan bentuk dada seperti burung dara.5Dapat terjadi atelektasis apabila terjadi penyumbatan pada salah satu bronkus akibat sekret yang banyak dan kental. Mediastinum akan tertarik ke sisi yang atelektasis, serta apabila terdapat infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang berlangsung terus menerus dan berlangsung beberapa hari yang tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa disebut status asmatikus. Apabila tidak ditolong dengan semestinya akan mengakibatkan kematian, gagal nafas, serta gagal jantung.52.15 Prognosis

Faktor faktor yang dapat mempengaruhi prognosis pada anak:51. Umur ketika serangan pertama timbul.2. Banyak sedikitnya faktor atopi pada diri anak, dan pada waktu menyusui.3. Menderita atau pernah menderita eksema infantil yang sulit diatasi.4. Lamanya minum air susu ibu.5. Usaha pengobatan serta penanggulangannya.6. Apakah ibu atau bapak atau teman sekamar/serumah merokok.7. Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan pada waktu menyusui8. Jenis kelamin, kelainan hormonal dan lain-lain.Secara umum prognosis jangka panjang pada asma umumnya baik 50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada usia 21 tahun. Sedangkan untuk asma episodik sering 60% tetap, 20% sudah tidak muncul pada masa pubertas, sedangkan sisanya muncul sebagai asma episodik jarang. Untuk asma kronik/persisten hanya 5% dari asma tersebut yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 60 % tetap menjadi asma kronik/persisten, dan 20% menjadi asma episodik sering, dan sisanya menjadi asma episodik jarang.528