Asma Dhimas

23
 APA DIAGNOSIS PADA PASIEN INI? Pasien ini didiagnosis sebagai serangan asma akut ringan pada asma intermiten. Diagnosis asma akut ringan didasarkan pada frekuensi nafas 24 x/menit dan frekuensi nadi 100 x/menit, sedangkan asma intermiten didasarkan kepada frekuensi serangan yang kurang dari 1x/minggu. Ada bebera pa item untuk menilai deraja t sera ngan asma, tetapi pada pasi en ini hanya dijumpai frekuensi nafas dan frekuensi nadi, oleh karena itu dengan data tersebut kami menegakkan diag nosi s seran gan asma akut ring an. Begi tupu n deng an diag nosis asma inte rmite n dite gakka n berdasarkan frekuensi serangan asma yang kurang dari 1x/minggu. Klasifikasi Serangan Asma Akut 1

Transcript of Asma Dhimas

Page 1: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 1/23

APA DIAGNOSIS PADA PASIEN INI?

Pasien ini didiagnosis sebagai serangan asma akut ringan pada asma intermiten. Diagnosis asma

akut ringan didasarkan pada frekuensi nafas 24 x/menit dan frekuensi nadi 100 x/menit, sedangkan

asma intermiten didasarkan kepada frekuensi serangan yang kurang dari 1x/minggu.

Ada beberapa item untuk menilai derajat serangan asma, tetapi pada pasien ini hanya

dijumpai frekuensi nafas dan frekuensi nadi, oleh karena itu dengan data tersebut kami menegakkan

diagnosis serangan asma akut ringan. Begitupun dengan diagnosis asma intermiten ditegakkan

berdasarkan frekuensi serangan asma yang kurang dari 1x/minggu.

Klasifikasi Serangan Asma Akut

1

Page 2: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 2/23

Klasifikasi GINA 2006

PELEGA (RELIEVER )

2

Page 3: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 3/23

AGONIS SELEKTIF RESEPTOR ß2

ß2 agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma bronkial. Bentuk aerosol nya

adalah obat pilihan utama untuk mengatasi serangan akut. Bentuk ini jga efektif untuk profilaksis

seangan akibat hawa dingin atau olahraga, tetapi pasien perlu dilatih untuk menggunakan aerosol

dengan teknik yang benar, karena hal ini sangat menentukan keberhasilan terapi.

Farmakodinamik

Obat golongan ß2 agonis termask metaproterenol ( orsiprenalin ), salbutamol ( albuterol ), terbutalin,

fenoterol, formeterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis

kecil, kerja obat – obat ini pada reseptor ß2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor  ß1. Tetapi

bila dosisnya ditinggikan, selektivitas ini hilang. Misalnya pada pasien asma, salbutamol kira – kira

sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator ( bila diberikan sebagai aerosol ), tetapi jauh

lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulan jantung. Tetapi bila dosis salbtamol ditinggikan 10 kali

lipat, diperoleh efek stimulan jantung yang menyamai efek isoproterenol.

Melalui aktivitas reseptor ß2, obat – obat ini menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, uterus,

dan pembuluh darah otot rangka. Aktivitas reseptor ß1 yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh

dosis yang sama, jauh lebih lemah. Obat – obat ini, yang hanya menimbulkan sedikit perubahan

tekanan darah, dikembangkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat – obat ini

terhadap reseptor ß2 tidak sama untuk setiap obat, misalnya metaproterenol kurang selektif 

dibandingkan dengan salbutamol.

Famakokinetik

Golongan ß2 agonis selain efektif pada pemberian oral, juga di absorbsi dengan baik dan cepat padapemberian sebagai aerosol. Obat – obat ini bukan katekolamin maka resisten terhadap COMT,

kecuali isoetarin yang merupakan katekolamin. Terbutalin merpakan satu – satunya ß 2 agonis yang

mempunyai sediaan parenteral untuk pengobatan darurat status asmatikus.

Efek Samping

Efek samping berupa tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri kepala, mual,

muntah, terutama pada pemberian oral. Efek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian

secara inhalasi.

Penggunaan ß2 agonis sebagai bronkodilator harus hati – hati pada pasien dengan hipertensi,

penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, hipertiroid atau diabetes.

Sediaan oral menimbulkan lebih banyak efek samping kardiovaskular dan sentral, karena itu tidak

dianjurkan digunakan pada pengobatan asma kecuali untuk pasien yang tidak mau / mampu

menggunakan aerosol.

SALBUTAMOL

Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif. Tidak salah jika

obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk membuka saluran pernafasan yang

menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah timbulnya exercise-induced 

broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak

3

Page 4: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 4/23

beredar di pasaran dengan berbagai merk dagang, antara lain:  Asmacare, Bronchosal, Buventol 

Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax , dll.

Sediaan

• IDT 100 mcg/semprot

• Nebules/solutio 2,5 mg/2 mL, 5 mg/mL

• Tablet 2 mg, 4 mg

• Sirup 1 mg, 2 mg/5mL

Dosis

• Inhalasi : dosis dewasa 200 mcg, 3 – 4 kali/hari, dosis anak100mcg, 3 – 4 kali/hari,

• Oral : dosis dewasa 1 – 2 mg, 3 – 4 kali/hari, dosis anak 0,05 mg/kg/bb/kali, 3 – 4/hari

TERBUTALIN

Sediaan

• IDT 0,25 mg/semprot

• Turbuheler 0,25 mg; 0,5mg/hirup

• Raspule/solutio 5 mg / 2 mL

• Talt 2,5 mg

• Sirup 1,5; 2,5mg/5mL

• Suntikan subkutan atau injeksi intravena lambat.

Dosis

IDT : dewasa 0,25 – 0,5 mg, 3-4x/hr, dosis anak (<12ttahun) 0,25 mg 3-4kali/hari

Oral : deawa 1,5 – 2,5 mg 3 – 4kali/hari, dosis anak 0,05 mg/kg/BB/x 3-4x/hr 

Injksi : 250-500 micrograms sampai 4 kali sehari. Anak 2-15 tahun 10 microgram/kg, maksimal 300

micrograms.

Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian dalam bentuk inhalasi aerosol cenderung

lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang ditimbulkan lebih kecil jika

dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif untuk mengatasi serangan

asma ringan sampai sedang, dan pada dosis yang dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama 3-5

 jam. Beberapa keuntungan penggunaan dalam bentuk inhalasi aerosol, antara lain:• Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap langsung masuk ke

saluran nafas.

• Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat yang dibutuhkan lebih kecil jika

dibandingkan dengan sediaan oral.

• Efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena dosis yang

digunakan juga lebih kecil.

Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga memiliki kelemahan yaitu ada

kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi sehingga dosis obat yang masuk ke saluran nafas

4

Page 5: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 5/23

menjadi lebih sedikit dari dosis yang seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke saluran

nafas, maka bisa digunakan alat yang disebut spacer (penghubung ujung alat dengan mulut).

METILSANTIN

Tiga metilsantin penting adalah teofilin, teobromin, dan kafein. Sumber utamanya terdapat di

minuman (teh, coklat, kopi). Kepentingan teofilin sebagai agen terapeutik pada pengobatan asma

yang paling efektif sebagai agen adrenoseptor inhalasi pada asma akut serta sebagai agen anti-

inflamasi inhalasi pada asma kronik sudah mulai berkurang, tetapi harga yang sangat murah

merupakan keuntungan dari segi ekonomis pada pasien yang kurang mampu. Preparat teofilin yang

sering digunakan untuk tujuan terapeutik adalah aminofilin, (kompleks teofilin-atilenediamin).

Mekanisme Kerja

Pada konsentrasi tinggi, secara in vitro obat ini menghambat beberapa enzim kelompok

fosfodiesterase (PDE). Karena PDE menghidrolisis nukleotida siklik, penghambatan ini menghasilkan

konsentrasi cAMP intrasel yang lebih tinggi dan cGMP di beberapa jaringan. cAMP berperan pada

banyak fungsi sel seperti stimulasi fungsi jantung, relaksasi otot polos, dan menurunkan sel imun dan

inflamasi. Dari berbagai bentuk PDE yang telah teridentifikasi, PDE4 yang paling dipengaruhi

kerjanya oleh metilsantin di otot polos saluran nafas dan sel inflamasi. Penghambatan PDE4 di sel

inflamasi mengurangi pelepasan sitokin dan kemokin sehingga menurunkan aktivasi dan migrasi sel

imun.

Farmakodinamik

Metilsantin memiliki efek pada SSP, ginjal, jantung, dan otot rangka sebagaimana pada otot polos.

Dari ketiga agen, teofilin paling selektif bekerjan pada otot polos, sedangkan kafein berefek padaSSP.

• Susunan Saraf Pusat :

Pada dosis rendah dan sedang, metilsantin khususnya kafein menyebabkan perangsangan SSP.

Pemberian kafein 85-250 mg (1-3 cangkir kopi) menyebabkan perasaan tidak begitu mengantuk, tidak

begitu lelah, dan daya pikirnya lebih jernih dan cepat tetapi kemampuan dalam pekerjaan yang butuh

koordinasi otot halus berkurang (pada individu yang sensitive). Efek samping teofilin 250 mg atau

lebih pada pengobatan asma bronchial mirip dengan gejala perangsangan kafein terhadap SSP.

Bila dosis ditinggikan, akan menyebabkan gugup, gelisah, insomnia, tremor, hiperestesi,

kejang fokal atau kejang umum. Kejang akibat teofilin ternyata lebih kuat dibandingkan kafein. Kejang

sering terjadi bila kadar teofilin darah 50% lebih tinggi daripada kadar terapi (10-20 µg/ml), gejala

kejang ini kadang-kadang refrakter terhadap obat antikonvulsi.

Metilsantin merangsang pusat nafas terutama terlihat pada keadaan patologis tertentu

misalnya pernafasan Cheyne Stokes, dll.

• Efek kardiovaskular 

Metilsantin memiliki efek kronotropik positif dan inotropik positif. Pada konsentrasi rendah, efek ini

dihasilkan oleh inhibisi reseptor adenosine presinaps di saraf simpatis sehingga meningkatkan

pelapasankatekolamin di ujung saraf. Konsentrasi yang lebih tinggi (> 10mol/L, 2 mg/L) berkaitan

5

Page 6: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 6/23

dengan inhibisi PDE dan peningkatan cAMP sehingga terjadi influx kalsium. Pada konsentrasi yang

sangat tinggi (>100mol/L), pengambilan kasium oleh reticulum sarkplasmik diganggu.

Efek klinik metilsantin pada fungsi KV bervariasi antar individu. Kebiasaan Konsumsi kopi dan

metilsatin lain bisa menyebabkan sedikit takikardi, peningkatan curah jantung dan resistensi perifer,

sedikit kenaikan tekanan darah. Pada imdividu sensitive, konsumsi beberapa gelas kopi dapat

menyebabkan aritmia. Pada dosis besar, agen ini merelaksasikan otot polos pembuluh darah kecuali

pada pembuluh darah serebral.

• Efek Saluran Cerna : Metilsantin Merangsang Sekresi Asam Lambung Dan Enzim pencernaan.

• Efek Ginjal: Teofilin merupakan diuretic lemah.

• Efek pada otot polos; Efek terpenting santin adalah relaksasi otot polos bronkus (bronkodilator),

terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamine atau

secara klinis pada pasien asma bronchial.

• Efek pada otot rangka: Dalam kadar terapi, kafein dan teofilin ternyata dapat memperbaiki

kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal maupun pasien

COPD.

Farmakokinetik

Metilsantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral. Sediaan bentuk cair atau

tablet tidak bersalut akan diabsorpso secara cepat dan lengkap. Absorpsi juga berlangsung lengkap

untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat. Absorpsi teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut,

misalnya teofilin Na gilisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik. Sediaan teofilin parenteral atau rectal

ternyata tetap menimbulkan keluhan nyeri saluran cerna, mual dan muntah. Rupanya gejala ini

berhubungan dengan kadar teofilin dalam plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan oleh

iritasi setempat dapat dihindarkan dengan pemberian obat bersama makanan tetapi akan terjadi

penurunan absorpsi teofilin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin oral dapat menghasilkan

kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam sedangkan kafein dalam waktu 1 jam. Saat ini tersedia

teofilin lepas lambat yang dibuat sedemikan rupa agar dosis teofilin dapat diberikan dengan interval

8,12 atau 24 jam.

Metilsantin didistribusikan ke sluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Vd

kafein dan teofilin adalah antara 400 dan 600 ml/kg; pada bayi premature nilai ini lebih tinggi. Dalam

kadar terapi, ikatan teofilin dengan protein kira-kira 60% tetapi pada bayi baru lahir dan pada pasiensirosis hati ikatan protein ini lebih rendah (40%). Eliminasi metilsantin terutama melalui metabolism

dalam hati. Sebagian besar diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin.

Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh

plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan menjadi 2 kali lipat pada wanita hamil tua atau pengguna

pil kontrasepsi jangka panjang. Sedangkan waktu paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam

dan pada anak muda kira-kira 3,5 jam. Pada pasien sirosis hati atau edema paru akut, kecepatan

eliminasi sangat bervariasi dan berlangsung lebih lambat.

Indikasi

• Asma bronchial:

6

Page 7: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 7/23

Senyawa teofilin merupakan salah satu obat yang diperlukan pada serangan asma yang

berlangsung lama (status asmatikus). Dalam mengatasi status asmatikus diperlukan

berbagai tindakan termasuk penggunaan oksigen, aspirasi mucus bronkus, pemberian obat

simpatomimetik, bronkodilator, ekspektoran dan sedative. Selain itu teofilin digunakan

sebagai profilaksis terhadap serangan asma.

Pada pasien asma, diperlukan kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 µg/ml, sedangkan

efek toksik mulai terlihat pada kadar 15µg/ml dan lebih sering di atas 20 µg/ml. karena itu

pada pengobatan asma diusahakan kadar teofilin dipertahankan kira-kira 10µg/ml. Untuk

mengatasi episode spasme bronkus hebat dan status asmatikus, perlu diberikan aminofilin IV

dengan dosis muat (loading dose) 6mg/kgBB yang ekuivalen dengan teofilin 5mg/kgBB. Obat

ini diberikan secara infuse selama 20-40 menit. Bila belum tercapai efek terapi dan tidak

terdapat tanda intoksikasi, maka dapat ditambahkan dosis 3mg/kgBB dengan infuse

perlahan-lahan. Selanjutnya efek yang optimal dapat dipertahankan dengan pemberian

infuse aminofilin 0,5mg/kgBB/jam untuk dewasa normal dan bukan perokok. Anak < 12 tahun

dan orang dewasa perokok memerlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,8-0,9mg/kgBB/jam. Tanpa

mengetahui kadar obat dalam plasma, pemberian infuse tidak boleh melebihi 6 jam.

Dosis awal teofilin oral bagi orang dewasa adalah 400mg/hari, yang dapat

ditambahkan 25% dengan interval 3 hari sehingga dicapai dosis maksimum kira-kira

13mg/kgBB/hari pada orang dewasa dan 24mg/kgBB/hari pada anak umur 1-9 tahun.

Sebagai petunjuk penyesuaian dosis harus diperhatikan gejala intoksikasi yaitu mual,

muntah, sakit kepala; respon klinik dan kadar teofilin dalam plasma.

Kombinasi dengan agonis B2-adrenergik misalnya metaproterenol atau terbutalinternyata meningkatkan efek bronkodilatasi teofilin sehingga dapat digunakan dosis dengan

risiko efek samping yang lebih kecil.

Keracunan teofilin biasanya terjadi pada pemberian obat berulang secara oral

maupun parenteral. Aminofilin IV harus disuntikan perlahan-lahan selama 20-40 menit untuk

menghindari gejala keracunan akut (kadar di plasma > 20 µg/ml) misalnya sakit kepala, mual,

muntah, hipotensi dan nyeri prekrodial, takikardi, gelisah hebat, agitasi dan muntah.

Kejang lokal atau umum dapat pula terjadi, kadang-kadang tanpa didahului gejala

keracunan.

• COPD

• Apnea pada bayi prematur 

Sediaan: oral (kapsul/kapsul lunak 130mg, tab 150mg, tab salut selaput lepas lambat 125mg,

250mg, 300mg, sirup50mg/5ml, 130mg/15ml, 150mg/15ml. Kombinasi tetap dengan efedrin (untuk

asma bronchial). IV: garam teofilin (amp 10ml, 24mg/ml).

 

KORTIKOSTEROID 

7

Page 8: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 8/23

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar 

adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar 

hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh,

misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,

metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1

.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol

darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan

fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah

mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan

cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut

dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di

atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon

kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong

glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping

kerja glukokortikoid.

Penggunaan Klinis

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran

terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi,

arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus,inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam

bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid

 juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis

5-HT3 (misalnya ondansetron)2.

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan

kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan

berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya diberikan

pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal

dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah,

kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula

darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia

adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing. Dengan

tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11 malam, dan sampel

plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5

µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun

hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.

8

Page 9: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 9/23

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan

pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom gawat nafas

pada bayi yang dilahirkan secara prematur.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang

tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini

merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan

yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi

dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan

yang tak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik

untuk proses penyakitnya2.

Penggunaan kortikosteroid dalam menangani asma bronchial dan penyakit saluran napas.

Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asma bronchial maupun kronik

untuk mengatasi serangan secara cepat reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat

serangan asma. Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai

anti inlamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat

sintesis eikosanoid, mengahambat peningkatan basofil, eosinofil, dan lekosit lain di jaringan paru dan

menurunkan permeabilitas vascular, sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat paling efekti untuk

asma bronchial. Pengobatan sistemik berisiko tinggi untuk timbulnya efek samping serius, penemuan

glukokortikoid inhalasi merupakan kemajuan besar dalam terapi asma karena obat langsung sampai

ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan risiko efek samping sistemik sangat rendah. Saat

ini ada 5 preparat yang berbentuk inhalasi yaitu beklometason dipropionat, triamnisolon asetonid,

flunisolid, budesonid, flutikason propionate. Pasien yang dianggap perlu ditangani dengan terapi inhalasi kortikosteroid adalah pasien

asma yang memerlukan β2 adrenergik agonis 4 kali atau lebih dalam satu minggu. 

Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid dosis besar harus segera

diberikan, metal prednisolon – Na suksinat 60-100 mg setiap 6 jam dapat diberikan secara IV. Bila

gejala mereda, dapat diikuti pemberiaan prednisone oral 40-60 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap

sampai hari ke 10 terapi dapat dihentikan. 

Eksaserbasi akut asma dapat diatasi dengan prednisone 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari

kemudian bila masih perlu terapi dapat diperpanjang 1 minggu dengan dosis yang lebih rendah. Bila

pemberian obat anti asma lain memberikan respons yang baik, kortikosteroid dapat dihentikan

dengan cara yang benar.

Farmakodinamik kortikosteroid

Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan

terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock

protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan

berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur 

yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon,

protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja

reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi

9

Page 10: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 10/23

oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur 

respons glukokortikoid utama.

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi

terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme

nontranskripsi3

.

Efek Samping Kortikosteroid 

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan

dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini.

Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom

cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam

dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi. Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita

arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik

sebagai agen anti inflamasi.

Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau steroid

lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari

hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur 

kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah

secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituitari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s

syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor glukokortikoidnya

dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran s?ldan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam

nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA

(mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan

menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu

golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap

kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan limfositopeni

akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya terutama

sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B.

Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara

teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh

darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada

orang normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak

ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah

pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya

limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.

10

Page 11: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 11/23

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan akumulasi

makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya

aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel

Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang

dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada

membran makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja

kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat

penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar 

suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah

cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam

darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 35–70 mg

prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang

kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari

sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil

dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi

bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan

akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada makrofag dan netrofil

inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari2.

Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada

hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasikortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai

peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom,

tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh

tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan

penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya

terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan

pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison

dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap sistem

imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti

kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi

gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah

diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan

komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur,

dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari

kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya

11

Page 12: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 12/23

belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan

triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual,

pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita4.

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar 

kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior.

Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini. Biasa terjadi

peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi

intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada

anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan

hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan

retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan

ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya

peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat

terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat

menyebabkan gagal jantung kongestif.

Penanganan Efek Samping Kortikosteroid 

Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping

kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-

lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang

resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita

yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberiankalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5.

AGEN ANTIMUSKARINIK/ANTIKOLINERGIK

Mekanisme Kerja

Antagonis muskarinik berkompetitif menghambat efek asetilkolin di reseptor muskarinik (reseptor 

M3).Di saluran nafas, Ach dilepaskan dari ujung saraf nervus vagus dan antagonis muskarinik

memblok kontraksi otot polos saluran nafas dan peningkatan sekresi mucus yang terjadi sebagai

respon aktivitas vagal.

Indikasi

Agen antimuskarinik adalah bronkodilator efektif. Atropine IV menyebabkan bronkodilatasi pada dosis

yang lebih rendah daripada dosis yang meningkatkan frekuensi jantung. Ipratropium bromide

(ATROVENT) dapat diberikan dalam dosis tinggi secara inhalasi karena sedikit sekali yang diabsorpsi

ke sirkulasi dan tidak bisa menembus SSP.

Walaupun agen antimuskarinik sedikit kurang efektif dibandingkan agen ß agonis dalam

mengembalikan bronkospasme asma, penambahan ipratropium (metered-dose inhalers)

meningkatkan bronkodilatasi yang dihasilkan oleh nebulisasi albuterol (COMBIVENT) pada asma

akut berat.

12

Page 13: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 13/23

Efek bronkodilatasi tidak seefektif ß-2 agonis kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan

30-60 menit untuk mencapai efek efek maksimum.

Sediaan:

• Aerosol: 17 (freon-free), 18 mcg/puff in 200 metered-dose inhaler; 0.02% (500 mcg/vial) for 

nebulization

• Nasal spray: 21, 42 mcg/spray

OBAT APAKAH YANG AKAN SAUDARA BERIKAN PADA PENDERITA TERSEBUT? JELASKAN

DOSIS DAN CARA PEMBERIANNYA!

Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia tahun 2004, pengobatan

terbaik untuk serangan asma sedang adalah nebulisasi agonis beta-2 kerja singkat. Dan obat

alternatif yang dapat diberikan adalah agonis beta-2 subkutan, aminofilin IV dan adrenalin 1/1000 0,3

ml subkutan. Berikut beberapa pertimbangan penggunaan obat di atas:

Obat serangan asma Efficacy Safety Suitability Cost

Salbutamol/Albuterol

Inhalasi

+++ +++ ++ ++

Terbutalin +++ +++ +++ +

Prokaterol + +++ -

Fenoterol + +++ -

Aminofilin IV ++ + -

Adrenalin SK ++ + +++ +++ (lebih murah)

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka obat yang diberikan pada pasien ini adalah

nebulisasi salbutamol/albuterol dengan dosis 0,5 mg setiap kali pemberian. Obat diberikan setiap 20menit dalam satu jam. Setelah itu dilakukan penilaian respon obat untuk menentukan tindakan

selanjutnya.

13

Page 14: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 14/23

PENGONTROL (CONTROLLERS ) 

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk

mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering

disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers

Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Lain-lain

Rute pemberian medikasi

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,

intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :

- lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

- efek sistemik minimal atau dihindarkan

14

Page 15: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 15/23

- beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada

pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat

bila diberikan inhalasi daripada oral.

Macam-macam cara pemberian obat inhalasi

Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)

IDT dengan alat Bantu (spacer)

Breath-actuated MDI 

Dry powder inhaler (DPI)

Turbuhaler 

Nebuliser 

 

GLUKOKORTIKOSTEROID INHALASI

Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian

menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan

memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten

(ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang

direkomendasikan.

Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai

antiinflamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat

sintesis eikosanoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru dan

menurunkan permeabilitas vaskular. Penemuan glukokortikoid inhalasi merupakan kemajuan besar 

dalam terapi asma karena obat langsung sampai ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan

resiko efek samping sistemik sangat rendah.

a) Efek pada paru-paru

Steroid tidak memiliki efek langsung pada otot polos saluran nafas. Tetapi, glukokortikoid inhalasi

menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel yan terlibat dalam inflamasi saluran nafas-makrofag,

eosinofil, dan limfosit T. Inhalasi steroid yang berkepanjangan mengurangi hiperesponsivisitas otot

polos saluran nafas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan bronkokonstriksi, sepertialergen, iritan, udara dingin, dan aktivitas fisik. Steroid anti-inflamasi mengurangi inflamasi dengan

menghilangkan edema mukosa, menurunkan permeabilitas kapiler, dan menghambat penglepasan

leukotrien. Reaktivitas bronkial sangat kurang.

b) Farmakokinetik

- Obat-obat inhalasi

Perkembangan steroid inhalasi telah sangat mengurangi kebutuhan akan pengobatan

kortikosteroid sistemik.

- Steroid sistemik

Pasien dengan eksaserbasi asma berat (status asmatikus) mungkin memerlukan

pemberian metilprednisolon intravena atau prednison oral. Dosis besar harus segera

15

Page 16: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 16/23

diberikan : metil prednisolon-Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam dapat diberikan secara

intravena. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberian prednison oral 40-60 mg/hari. Dosis

siturunkan bertahap sampai hari ke-sepuluh, terapi dapat dihentikan. Terapi nonsteroid

dapat diberikan setelah keadaan mereda.

- Spacers

Suatu ruang dengan volume besar yang dilekatkan pada metered dose inhaler dan

digunakan untuk mengurangi timbunan obat dalam mulut. Ruangan ini berguna untuk

mengurangi kecepatan gerakan aerosol yang disemprotkan sebelum masuk ke dalam

mulut, dan memungkinkan partikel obat yang besar terkumpul didalam alatnya. Lebih kecil

dan lebih rendah kecepatan gerakan partikel obat lebih kecil kemungkinan untuk

terkumpul didalam mulut dan lebih memungkinkan obat mencapai jaringan saluran napas

yang menjadi tujuannya. Spacers memperbaiki penghantaran glukokortikoid inhalasi dan

sebenarnya dianjurkan untuk digunakan oleh semua pasien. berkumur setelah menghirup

obat ini dan juga mengurangi absorbsi sistemik dan kemungkinan timbul kandidiasis

orofaring.

c) Efek samping

Glukokortikoid oral atau parenteral mempunyai berbagai efek samping yang serius. Namun

glukokortikoid inhalasi terutama jika digunakan bersama spacers memiliki sedikit efek

samping sistemik. Kandidiasis oropharingeal kadang-kadang disebut thrush, mungkin

menjadi masalah bagi pasien yang menghirup glukokortikoid, terutama pada pasien dengan

penekanan imun. Spacers mengurangi masalah penekanan adrenal dengan mengurangi

 jumlah glukokortikoid yang terkumpul dalam oropharing.

Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti  setelah inhalasi, pada tabel

11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glukokortikosteroid berdasarkan perbedaan

tersebut.

16

Page 17: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 17/23

Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis

steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru,

hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila

dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan

derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol lainnya daripada

meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut (bukti A).

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia

dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan

penggunaan spacer , atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah

inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi

efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan

biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan

dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda

kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason

propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan

triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan spacer dapat

menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk semua

glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi tuberkulosis paru pada

penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan

densiti tulang.

GLUKOKORTIKOSTEROID SISTEMIKCara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada

keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas

mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid

inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif 

menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus

diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol

(walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral

selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral

 jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu

untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di

bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat

memberi steroid oral :

• Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek

mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal

• Bentuk oral, bukan parenteral

• Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

 

17

Page 18: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 18/23

Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang adalah

osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma,

obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada

pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi

parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral

 juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,

maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.

AGONIS BETA-2 KERJA LAMA

Golongan β2 agonis meliputi : metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin,

fenoterol, formoterol (yang mempunyai waktu kerja lama, > 12 jam), prokaterol, salmeterol,

pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada reseptor β2 jauh

lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor β1. Tetapi bila dosisnya di tinggikan, selektivitasnya ini

akan hilang, misalnya pada pasien asma salbutamol kira-kira sama kuat dengan isoproterenol

sebagai bronkodilator (bila diberikan sebagai aerosol), tetapi jauh lebih lemah dari isoproterenol

sebagai stimulasi jantung. Tetapi bila dosis salbutamol di tinggikan 10 kali lipat, diperoleh efek

stimulasi jantung yang menyamai efek isoproterenol.

Melalui aktivitas reseptor β2, obat-obat ini menimbulkan relaksasi otot polos bronkus,

meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi

penglepasan mediator dari sel mast dan basofil, relaksasi uterus, dan pembuluh darah otot rangka.

Aktivasi reseptor β1 yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis yang sama, jauh lebih lemah.

Obat-obta ini hanya akan menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, dikembangkan terutamauntuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat-obat ini terhadap reseptor β2 tidak sama untuk

setiap obat, misalnya metaproterenol, kurang selektif dibandingkan dengan salbutamol.

Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi

agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang

bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi

lebih baik dibandingkan preparat oral.

Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid inhalasi

dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan ketika

dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum meningkatkan dosis

glukokortikosteroid inhalasi tersebut (bukti A). Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta-

18

Page 19: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 19/23

2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan

dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti A). Penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi pada

pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi, memperbaiki gejala, menurunkan asma

malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan

menurunkan frekuensi serangan asma (bukti A). Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan

agonis beta-2 kerja lama inhalasi (salmeterol atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol

dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan gejala

serta mengontrol asma lebih baik daripada meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali

lipat (bukti A). Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa memberikan glukokortikosteroid

kombinasi dengan agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama efektifnya

dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi yang terpisah (bukti B); hanya kombinasi

dalam satu kemasan (fixed combination) inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis yang diberikan

masing-masing lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih murah daripada diberikan

dosis yang ditentukan masing-masing lebih kecil dalam 2 kemasan obat yang terpisah.

Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan

kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada

pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah

salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi

sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih

banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.

OBAT-OBAT DENGAN MASA KERJA PANJANGSALMETEROL

Salmetereol ialah suatu analog kimiawi albuterol tetapi berbeda dengan memiliki cincin samping

lipofilik yang panjang yang meningkatkan afinitas obat untuk adrenoreseptor β. Salmeterol memiliki

masa kerja panjang, memungkinkan bronkodilatasi paling sedikit 12 jam. Salmeterol memiliki awitan

kerja yang lambat dan tidak dapat dipakai untuk serangan asma yang akut.obat ini hanya diresepkan

untuk pemberian dengan interval teratur dan tidak untuk menghilangkan gejala. Seperti yang lainnya

dari kelompok obat-obatan ini, salmeterol bukanlah suatu substitusi untuk terapi anti-inflamasi.

Farmakokinetik

Obat golongan β2 agonis, selain efektif pada pemberian oral, juga diabsorpsi dengan baik dan cepat

pada pemberian sebagai aerosol. Obat-obat ini bukan katekolamin, maka resistensi terhadap COMT,

kecuali isoetarin yang merupakan katekolamin. Terbutalin merupakan satu-satunya β2 agonis yang

mempunyai sediaan parenteral untuk pengobatan darurat status asmatikus. Formoterol dan

salmeterol mempunyai masa kerja yang panjang (≥12 jam) sehingga disebut long-acting β2 agonist

(LABA).

Efek samping

Efek samping yang dapat timbul berupa : tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri

kepala, mual dan muntah terutama pada pemberian oral. Efek samping sistemik ini jarang terjadi

pada pemberian inhalasi. Infus ritodrin, terbutalin, fenoterol, atau β2-agonis lainnya untuk menunda

19

Page 20: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 20/23

kelahiran prematur menimbulkan efek samping berupa takikardia, hiperglikemia, hipokalemia, edema

paru (bila hidrasi berlebihan), dan lain-lain pada sang ibu, sedangkan bayinya akan mengalami

hipoglikemia.

SODIUM KROMOGLIKAT

Sodium kromoglikat merupakan obat antiinflamasi nonsteroid yang merupakan sel mast stabilizer,

cara kerjanya dengan menghambat antigen – triggered degranulasi sel mast dan pengeluaran

mediator kimia seperti histamin. Serta menekan antibody dependent cytotoxicity  dari neutrofil dan

eosinofil serta menghambat degranulasi basofil dan eosinofil. Obat ini menghambat respon terhadap

allergen seperti obat EIB, namun tidak menyebabkan bronkodilatasi dan menghambat bronkospasme

serta mengurangi efek hiperreaktivitas bronkus. Agen ini efektif hanya jika diberikan dalam bentuk

sediaan inhalasi berupa solusio nebulizer.

Pemakaian sodium kromoglikat jangka panjang (12 minggu atau lebih) akan mengurangi

respon jalan napas yang berlebihan pada penderita asma bronchial, sedangkan pemakaian jangka

pendek (6 minggu atau kurang) akan menghambat peningkatan reaktivitas bronkus selama musim

“serbuk bunga”.

Kegunaan sodium kromoglikat secara klinik adalah : (1) meningkatkan fungsi paru dengan

cara mengurangi variasi diurnal, sehingga serangan sesak pada dini hari berkurang; (2) mengurangi

penggunaan obat – obatan bronkodilator; (3) mengurangi serangan asma pada penderita dengan

exercise-induced asthma. Efek sodium kromoglikat akan lebih baik pada penderita dengan usia yang

lebih muda, onset serangan pertama pada usia dibawah 4 tahun, telah menderita asma lebih dari 5

tahun dan menderita asma campuran.Pada dasarnya obat ini tidak menyebabkan toksisitas, batuk dan mengi dilaporkan setelah

penggunaan obat ini dalam bentuk inhaler dan bau yang kurang enak, dan sering menyebabkan iritasi

topikal. Obat ini diindikasikan sebagai profilaksis dari asma persisten sedang pada anak dan pada

dewasa tanpa memperhatikan etiologinya. Efektivitas obat ini hampir sama dengan teofilin atau

antagonis leukotrien untuk mengobati asma persisten . obat ini tidak efektif seperti kostikosteroid

inhalasi untuk mengontrol asma persisten. Tidak ada diantara keduanya yang efektif seperti inhalasi

beta 2 agonis untuk mencegah EIB, namun dapat digunakan untuk konyugasi pada pasien yang ridak

respon sempurna terhadap beta 2 agonis inhalasi. Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien

yang mempunyai hipersensitivitas pada obat ini.

Dosis awal adalah 3 kali 10 mg sehari, rumatan adalah 2 kali sehari. Dosis untuk anak 4 kali

5 mg/hari. Bentuk sediaan yang ada dipasaran yaitu oral inhaler, solusio nasal mengandung 40mg/ml

dalam sediaan 13 ataupun 26 ml, oftalmik solusio terdapat 4% kromolin dalam 10ml. Sebagian besar 

pasien diberikan 1 – 2 minggu, namun dapat diberikan lebih lama untuk mendapatkan keuntungan

maksimal. Pasien harus diawali dengan pemberian sebanyak 4 kali sehari dan dapat diturunjan

frejuensinya menjadi 3 kali sehari. Hasil obat ini baru terlihat setelah 4 – 6 minggu penggunaan, tetapi

pada beberapa orang efeknya 1 – 2 minggu.

Cara penggunaan pada inhalasi aerosol, yaitu dengan mengocok terlebih dahulu obatnya,

kemudian saat melakukan inspirasi dalam, masukkan mouthpiece diantara kedua bibir hingga

20

Page 21: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 21/23

maksimal kemudian tekan katup canisternya sebanyak satu kali. Jika diberikan bersamaan dengan

bronkodilator aerosol spray seperti albuterol, maka bronkodilator digunakan terlebih dahulu dan 5

menit sesudahnya baru menggunakan kromolin.

Sebagian keci kromolin melewati sawar plasenta, namun pada penelitian kepada hewan tidak

ada efek pada fetusnya. Belum ada interaksi obat yang dilaporkan pada penggunaan kromolin

dengan obat lainnya.

NEDOKROMIL

Sodium nedokromil tidak baik diserap didalam saluran gastrointestinal, hanya 10% dosis inhalasi

diabsorbsi oleh paru – paru. Absorbsinya pula kurang baik setelah pemakaian topical untuk mata.

Sodium nodokromil diekskresikan dalam bentuk utuh di urin dan feses. Waktu paruhnya antara 1 –

3.3 jam.

Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding sodium

kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari

beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul.

Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien yang mempunyai hipersensitivitas pada obat

ini. Efek samping yang ditimbulkan yaitu bau yang kurang enak, batuk (7%), faringitis, rhinitis, infeksi

saluran napas atas, bronkospasme serta nyeri kepala (6%) setelah penggunaan nodokromil.

Sebagian besar pasien diberikan 1 – 2 minggu, namun dapat diberikan lebih lama untuk

mendapatkan keuntungan maksimal. Pasien harus diawali dengan pemberian sebanyak 4 kali sehari

dan dapat diturunjan frejuensinya menjadi 2 kali sehari

LEUKOTRIENE MODIFIERS 

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya

menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau

memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,

zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga

mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene

modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten

sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau

dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Diketahui sebagai terapi tambahan

tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama (bukti B). Kelebihan obat ini

adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita dengan aspirin

induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan pengobatan leukotriene modifiers.

Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi

hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.

KESIMPULAN

21

Page 22: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 22/23

Untuk penatalaksanaan serangan asma akut ringan pada pasien ini diberikan nebulisasi salbutamol

dengan dosis 0,5 mg setiap kali pemberian. Obat diberikan setiap 20 menit dalam satu jam. Setelah

itu dilakukan penilaian respon obat untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Untuk pengontrol pada pasien ini diberikan steroid inhalasi yaitu budesonide 200 mcg/kali

yang diberikan 2x/hari. Adapun pertimbangan pemberiannya adalah sebagai berikut:

Obat Efficacy Safety Suitability Cost

a. Glukokortikoid

inhalasi (asma

persisten ringan-

sedang)

Ex : budesonid

b. Glukortikosteroid

sistemik (asma

persisten berat)

c. Agonis B2 agonis

kerja panjang

Ex: Salmeterol,

formoterol

d. Metilsantin

Ex: Teofilin

+++

++

++

++

+++

++

++

++

+

+

++

+

++

+++

+

++

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.

2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.

3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11 th ed. McGraw-

Hill, New York.

4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams

& Wilkins, Pennsylvania, USA.

5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.

22

Page 23: Asma Dhimas

5/12/2018 Asma Dhimas - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/asma-dhimas 23/23

6. Dipiro.

7. Global Initiative for Asthma, National Heart, Lung and Blood Institute 2003.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia(2004). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma

di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

9. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. 2007.

Jakarta.

23