asma bronkiale

43
Tugas Refrat Asma Bronkhiale Pembimbing: Dr. Ari Johari , Sp A Disusun oleh: Arsi Shabrina (110.2006.048) Eha Julaeha (110.2006.083) SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD GUNUNG JATI CIREBON Januari 2011

description

referat anak

Transcript of asma bronkiale

Tugas Refrat

Asma Bronkhiale

Pembimbing:Dr. Ari Johari , Sp A

Disusun oleh:

Arsi Shabrina(110.2006.048)Eha Julaeha(110.2006.083)

SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD GUNUNG JATI CIREBONJanuari 2011

ASMADefinisiMenurut GINA (Global Institute for Asthma) asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.Pedoman Nasional Asma Anak mendefinisikan asma yaitu wheezing dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut : Timbul secara episodik dan atau kronik. Pengertian kronik menurut UKK Pulmonologi adalah batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan atau 3 atau lebih episode dalam waktu 3 bulan berturut-turut. Cenderung pada malam / dini hari (nokturnal) Musiman Adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik Bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan Adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarganyaTidak ada definisi asma yang diterima secara universal; asma dapat dipandang sebagai penyakit paru obstruktif, difus dengan 1. Hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan2. Tingginya tingkat reversibilitas proses obstruktif, yang dapat terjadi secara spontan atau sebagai akibat pengobatan

EPIDEMIOLOGIPenelitian mengenai prevalensi asma telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dilaporkan dari berbagai negara. Namun umumnya kriteria penyakit asma yang digunakan belum sama, sehingga sulit untuk membandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan penelitian prevalens asma di banyak negara menggunakan kuesioner standar, yaitu ISAAC fase I pada tahun 1996 yang dilanjutkan dengan ISAAC fase III pada tahun 2002. Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara, meliputi 155 center, pada anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Penelitian ISAAC menggunakan kuesioner standar dengan pertanyaan :have you (your child) had wheezing or whistling in the chest in the last 12 months? untuk mengelompokkan dalam diagnosis asma bila jawabannya iya. Pada anak usia 13-14 tahun selain diminta mengisi kuesioner juga diperlihatkan video asma. Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun yang terendah di Indonesia (1,6%) dan tertinggi di Inggris (36,8%). Survey mengenai prevalens asma di Eropa telah dilakukan di 7 negara (Asthma Insight & Reality in Europe = AIRE) meliputi 73.880 rumah tangga, yang berjumlah 215.158 orang. Hasil survey mendapatkan prevalensi populasi karena asma sebesar 2,7%. Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia telah dilakukan dibeberapa pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner standar. FAKTOR RESIKOFakor-faktor yang disepakati para ahli antara lain :1. Jenis kelamin. Anak laki-laki sampai usia 10 tahun memiliki prevalensi asma 1,5- 2 kali lipat anak perempuan. 2. Usia. 25% anak dengan asma persisten mendapatkan serangan mengi pada usia kurang dari 6 bulang dan 75% mendapatkan serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5 % anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun. 60% tetap menunjukkan gejala seperti anak-anak, dan sisanya tetap mendapat serangan asma namun lebih ringan dari pada saat masa kanak-kanak. 3. Riwayat atopi. Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan beratnya asma. Kemudian pada anak dengan usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi akan terjadi serangan mengi 2 kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi atau eczema. Eczema persisten berhubungan juga dengan gejala asma persisten.4. Lingkungan. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain : serpihan kulit binatan peliharaan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa. 5. Ras. Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi pada ras kulit putih. 6. Asap rokok. Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan. 7. Outdoor air-polution. Diduga, adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang melalui jejak Th-1. Teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis. Sementara beberapa partikel halus di udara seperti debu, nitrat dioksida, karbon monoksida, atau SO2 diduga meningkatkan gejala asma tetapi belum didapatkan bukti yang disepakati.8. Infeksi respiratorik. Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi dengan infeksi respiratorik. Sebenarnya hubungan antara infeksi respiratori dengan asma masih merupakan kontroversi. Namun, hal ini tidak berlaku pada infeksi RSV di usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernafasan bawah. Infeksi merupakan faktor resiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun.

3 fenotip wheezing menurut penelitian TCRS (Tucson Childreen Respiratorys Study) :1. Transient early wheezing. Fenotip ini ditemukan pada kebanyakan anak yang mengalami mengi pada 3 tahun pertama kehidupan. Yang gejala menginya hanya timbul sesekali dan tidak timbul lagi pada usia 6 tahun. Anak pada kelompok ini tidak mempunyai riwayat keluarga asma, dermatitis atopi, eosinofilia, dan peningkatan kadar IgE yang lebih dibanding kelompok yang lain. Pada kelompok ini nilai fungsi paru terendah sudah terjadi saat lahir kemudian pada usia 6 tahun mengalami perbaikan meskipun tidak pernah senormal anak yang tidak pernah mengalami mengi. 2. Wheezing of late onset. Anak dengan fenotip ini tidak pernah mengalami saluran napas bawah yang disertai mengi tapi kemudian mengalami mengi pada usia 6 tahun. Pada kelompok ini mempunya ibu dengan riwayat asma, anak laki-laki dan adanya riwayat rhinitis pada tahun pertama. Fungsi paru tidak jauh berbeda dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami mengi. 3. Persisten wheezing. Ditandai oleh adanya paling sedikit satu kali penyakit saluran pernafasan bawah dengan mengi dalam 3 tahun pertama kehidupan dan mengi ditemukan terus menetap sampai usia 6 tahun. Pada kelompok ini ditemukan ibu dengan riwayat asma yang lebih banyak dibanding dengan anak yang tidak mengalami mengi. Pada masa bayi fungsi paru tidak berbeda bermana dibanding dengan kelompok yang tidak mengalami mengi. Namun pada usia 6 tahun kelompok ini mengalami wheezing paru yang paling rendah diantara kelompok yang tidak pernah mengalami mengi.

PATOGENESISKarena asma merupakan suatu proses inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori, dan menyebabkan terbatasnya aliran udara serta meningkatnya reaktivitas saluran respiratori. Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadinya penympitan respiratori sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas yang menunjukkan adanya inflamasi saluran resporatori adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit-T pada mukosa dan lumen saluran resporatori. Perubahan ini dapat terjadi meskpun asma tidak bergejala klinis. Pemunculan sel-sel tersebut berhubungan secara luas dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratori yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada aliran respiratori. Perubahan ini dikenal dengan istilah remodelling saluran respiratori atau airway remodelling atau AR. Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratoriksedikitnya ada dua jenis Thelper , limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulosit makrofag koloni stimulating factor (GMCSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-g, dan TNF-b. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-3 dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab terhadap terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat maupun yang cell-mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4 + dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cell yang utama dalam saluran nafas.Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopik dan non-atopik wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangatlah penting, dan hipotesis ini lebih jauh diperkuat lagi oleh ditemukannya sel yang mengekspresi IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma atopik. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat keberadaannya pada saluran respiratorik pasien asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.

Inflamasi Akut dan KronikPaparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada paien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada paien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgM mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator, seperti histamin, proteolitik dan enzim glikolitik dan heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratrik dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respon fase lambat dan selama berlangsung paparan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi. Remodelling saluran respiratorikMerupakan proses yang menyebabkan reposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratorik. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan sel epitel yang berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factor (TGF-b) dan proliferasi serta differensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan saluran respiratorik pada asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Pada sebagian besar pasien terapat reversibilitas yang menyeluruh, namun beberapa penderita asma yang tida menunjukkan gejala mengalami obstruksi saluran respiratorik residual. PATOFISIOLOGI ASMA Obstruksi Saluran RespiratorikPerubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma: batuk, sesak dan wheezing dan disertai hiperaktif saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi ototo polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari se-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran nafas akibat udem akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodelling , hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu, hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan debris selular. Hiperreaktivitas Saluran respiratorikMekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hipereaktivitas saluran respiratorik belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama konstraksi otot polos. Hiperreaktivitas bronkus secara klinis diperiksa dengan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik, adenosin tidak mempunya efek langsung terhadap otot polos, akan tetapi dapat merangsang penglepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik. Bila dengan cara histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin 2 kali/bulan FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%3. Persisten sedangGejala erjadi setiap hariSerangan dapat mengganggu aktivitas dan tidurGejala noktunal > 1 kali dalam semingguMenggunakan agonis B2 kerja pendek setiap hari FEV1 60- 80% predicted atau PEF 60- 80% nilai terbaik individu Variabilitas PEF atau FEV1 >30%4. Persisten beratGejala setiap hari Serangan sering terjadiGejala asma nocturnal sering erjadi FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik individu Variabilitas PEF atau FEV >30%Derajat asma yang dikutip dari Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998:1. Asma episodik jarangMerupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai adanya episode 80%variabilitas < 20%> 1 x / bulan 1 minggubiasanya sedangsering ada gejalasering terganggumungkin terganggu (ditemukan kelainan)perlu, non steroidPEF/ FEV1 60-80%variabilitas 20-30%Sering Hampir sepanjang tahun (tidak ada remisi)biasanya beratgejala siang & malamsangat terganggutidak pernah normalperlu, steroidPEF / FEV1 < 60%variabilitas > 30%

Jika terdapat keraguan antara derajat penyakit yang satu dengan yang lain maka tatalaksana diberikan sesuai dengan derajat yang lebih berat.

MANIFESTASI KLINISAnamnesisBeberapa pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma (consider diagnosis of asthma) Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang? Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari? Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga? Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah terpajan allergen atau polutan? Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh? Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti-asma?Setelah menetapkan apakah oseorang anak benar-benar menalami mengi atau batu yang hebat, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul sendiri diantara batuk pilek biasa. Apabila mengi dan batuk hebat tersebut tidak bersamaan dengan infeksi virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan pencetus gejala. Pencetus yang spesifik dapat berupa aktivitas, emosi(misalnya menangis atau tertawa), debu, pajanan terhadap bulu binatang perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aerosol/aroma yang tajam dan asap rokok atau asap dari perapian. Derajat erat ringannya gejala harus ditentukan untuk mengarahkan pengobatan yang akan diberikan. Dalam GINA 2006 dinyatakan bahwa anak merupakan kelompok yang sulit untuk didiagnosis. Hal ini disebabkan karena mengi episodik dan batuk merupakan gejala yang sering ditemukan pada penyakit anak terutama pada usia 20 mm Hg Tidak ada (kelelahan otot napas)

PEFR atau FEV1(% nilai dugaan / % nilai terbaik)

-pra bronkodilator -pasca bronkoDilator>60% >80%40-60% 60-80%60 mmHg 45 mm Hg

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan Fungsi ParuPemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse oxymetry, spirometri, sampai pengukuran yang kompleks yaitu muscle strength testing, volume paru absolute, serta kapasitas difusi. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu : 1. Volume paru, 2. Fungsi jalan nafas, 3. Pertukaran gas. Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan maneuver ekpirasi paksa secara maksimal. Hal ini terutama pada penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekpirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilats fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma, menilai derajat berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma. Untuk menilai derajat asma dan respon terapi, PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 24 jam. Jika pemeriksaan fungsi paru tidak tersedia, lembar catatan harian dapat digunakan sebagai alternatif karena metode ini mempunyai korelasi yang baik dengan fungsi paru. Pada pemeriksaan spirometri, adanya perbaikan FEV1, sebanyak minimal 12% setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan/tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma.Pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan sebagai berikut :1. Variabilitas PEF atau FEV 15%2. Kenaikan PEF atau FEV1 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator3. Penurunan PEF atau FEV1 20% setelah provokasi bronkus4. Penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama 2 minggu.

Pemeriksaan Hiperreaktivitas Saluran NafasUji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, latihan/olahraga, udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangan menunjang diagnostik. Pengukuran ini sensitive terhadap asma, tetapi spesifisitasnya rendah. Artinya, hasil yang negative dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasil positif tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma.

Pengukuran Petanda Inflamasi Saluran Napas Non-invasifPenilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinofil sputum, baik yang spontan maupun yang induksi denan garam hipertonik. Selain itu, pengukuran kadar NO ekshalasi yang merupakan cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive.

Penilaian Status AlergiPenilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia