askep_fraktur
-
Upload
rizky-kiki -
Category
Documents
-
view
54 -
download
0
Transcript of askep_fraktur
SUHAN KEPERAWATAN LANSIA PADA TN. S DENGAN FRAKTUR LUMBALIS
OLEH
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PAYUNG NEGERIPROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
PEKANBARU2013
BAB I
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FRAKTUR PADA LANSIA
A. Konsep Medis
1. Lansia
a. Pengertian Lansia
Lansia (lanjut usia) adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu
proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade.
Lebih rinci, penduduk lansia dapat dilihat dari aspek biologi, ekonomi,
sosial, dan batasan umur, yaitu:
1) Aspek Biologi: Lansia merupakan penduduk yang telah menjalani
proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai
dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit.
2) Aspek Ekonomi: Lansia dianggap sebagai warga yang tidak produktif
lagi dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih muda. Bagi
penduduk lansia yang masih memiliki pekerjaan, produktivitasnya sudah
menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan usia produktif.
Namun, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok umur
lansia ini tidak memiliki kualitas dan produktivitas.
3) Aspek Sosial: Di negara Barat, penduduk lansia memiliki strata sosial di
bawah kaum muda. Di masyarakat tradisional di Asia, seperti Indonesia,
penduduk lansia memiliki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati
oleh masyarakat usia muda.
4) Aspek Umur: Dari ketiga aspek di atas, pendekatan umur adalah yang
paling memungkinkan untuk mendefinisikan penduduk lansia.
Departemen Kesehatan RI mengelompokkan usia lanjut menjadi
kelompok usia lanjut dini yaitu kelompok yang mulai memasuki usia
lanjut (55-64 tahun); kelompok usia lanjut yaitu kelompok dalam masa
senium (65-70 tahun); dan kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi (> 70
tahun).
Proses penuaan adalah proses alami, akan tetapi sering menimbulkan
masalah karena secara fisiologik akan terjadi kemunduran berbagai organ
tubuh. Beberapa ahli mengatakan bahwa proses menua adalah penimbunan
semua perubahan yang menyertai bertambahnya usia. Penuaan dapat
menyebabkan berbagai kemunduran fungsional, yang akhirnya dapat
memicu timbulnya penyakit.
b. Lansia di Indonesia
Peningkatan jumlah lansia terjadi baik di negara maju maupun di negara
sedang berkembang. Gejala menuanya struktur penduduk (ageing
population) juga terjadi di Indonesia. Jika pada tahun 1990 jumlah lansia
hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu diperkirakan akan
meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari 6,3% menjadi
11,4% dari total populasi.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Penduduk Lansia di Indonesia (1971-2020)
Tahun
TAHUN Penduduk Lansia (Usia ≥ 60 tahun)
Jumlah (ribuan) Persentase (%)
1971
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
5.306
7.998
9.440
11.277
13.600
15.882
18.283
17.303
24.446
29.021
4,5
5,4
5,8
6,3
6,9
7,6
8,2
7,4
10,0
11,4
Sumber: BPS, Sensus Penduduk; dan LD-FEUI, Projeksi Penduduk Indonesia 1990-2020
2. Sistem Rangka Manusia
Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang) yang
membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, rangka kemudian digolongkan menjadi rangka aksial, rangka
apendikular, dan persendian antar tulang.
a. Rangka Aksial, terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang pada
tubuh dan melindungi organ-organ pada kepala dan leher. Rangka aksial
terdiri dari kolumna vertebrata (tulang belakang), tengkorak, dan
kerangka toraks (rangka iga). Kolumna vertebrata terdiri dari 26
vertebrata. Tengkorak diseimbangkan pada kolumna vertebrata yang
terdiri dari tulang kranial yang berfungsi menutupi dan melindungi otak
dan organ-organ panca indera, tulang wajah yang memberikan bentuk
pada muka dan berisi gigi, 6 tulang auditori (telinga) yang terlibat dalam
transmisi suara, dan tulang hioid yang menyangga lidah dan laring serta
membantu dalam proses menelan. Kerangka toraks meliputi tulang-tulang
iga dan sternum yang membungkus dan melindungi organ-organ toraks.
b. Rangka Apendikular, terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan,
tungkai, dan tulang pektoral serta tonjolan pelvis yang menjadi tempat
melekatnya lengan dan tungkai pada rangka aksial.
c. Persendian adalah artikulasi dari dua tulang atau lebih.
a. Fungsi Tulang
Tulang mempunyai berbagai peranan bagi tubuh antara lain :
1) Memberikan topangan dan bentuk pada tubuh.
2) Pergerakan. Tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah
persendian dan berfungsi sebagai pengugkit. Jika otot-otot (yang tertanam
pada tulang) berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada pengungkit
menghasilkan gerakan.
3) Sistem rangka melindungi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh.
4) Pembentukan sel darah. Sumsum tulang merah yang ditemukan pada
orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga, badan vertebrata, tulang
pipih pada kranium, dan pada bagian ujung tulang panjang, merupakan
tempat produksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit darah.
5) Tempat penyimpanan mineral. Kalsium dan fosfor disimpan dalam
tulang agar bisa ditarik kembali dan dipakai untuk fungsi-fungsi tubuh, zat
tersebut kemudian diganti melalui nutrisi yang diterima.
b. Komposisi Jaringan Tulang
1) Tulang tediri dari matriks ekstraselular. Sel-sel tersebut adalah osteosit,
osteoblas, dan osteoklas.
2) Matriks tulang tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam
pada substansi dasar dan garam-garam anorganik tulang seperti fosfor dan
kalsium.
Substansi dasar tulang terdiri dari sejenis proteoglikan yang tersusun terutama
dari kondroitin sulfat dan sejumlah asam hialuronat yang bersenyawa dengan
protein. Garam-garam tulang berada dalam bentuk kristal kalsium fosfat yang
disebut hidroksiapatit. Persenyawaan antara kolagen dan kristal hidroksiapatit
bertanggung jawab atas daya regang dan daya tekan tulang yang besar.
3) Tulang cancellus (berongga) dan tulang kompak. Tulang cancellus
tersusun dari batang-batang halus dan ireguler yang bercabang serta saling
tumpang tindih untuk membentuk jaring-jaring spikula dengan rongga yang
mengandung sumsum. Tulang kompak adalah jaringan yang tersusun rapat,
terutama ditemukan sebagai lapisan di atas tulang cancellus. Jumlah tulang
kompak dan cancellus relatif bervariasi bergantung pada jenis tulang dan
bagian yang berbeda dari tulang yang sama.
c. Pembentukan dan Reabsorbsi Tulang
Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan
reasorbsi tulang adalah osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Osteoblast adalah
sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar
mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi. Osteosit adalah sel-sel
tulang yang dikelilingi oleh matriks yang telah mengalami kalsifikasi. Sel-sel
osteosit mengirimkan tonjolan-tonjolannya ke dalam kanalikuli yang
bercabang-cabang diseluruh tulang. Osteoklas adalah sel multinuklear yang
mengerosi dan mereasorbsi tulang yang sebelumnya terbentuk.
Osteoklas dianggap berasal dari sistem sel hemopoitik melalui monosit.
Mereka memfagositosis tulang dan mencernakannya dalam sitoplasmanya.
Osteoblas sebaliknya, berasal dari sel osteoprogenitor yang berasal dari
mesenkim. Osteoblas membentuk matriks tulang dan bila mereka dikelilingi
tulang baru, menjadi osteosit. Osteosit akan tetap berhubungan satu dengan
lainnya dan dengan osteoblas melalui tonjolan-tonjolan sitoplasma yang
panjang yang berjalan melalui saluran-saluran pada tulang. Osteoblas,
osteoklas dan osteosit semuanya dipengaruhi oleh hormon-hormon yang
mengatur struktur tulang.
Osteoklas, seperti telah dijelaskan diatas, adalah “giant cell” yang berinti
banyak, dengan ukuran diameter 20 – 100 mikron. Ditemukan pada
permukaan tulang yang menimbulkan proses erosi atau reasorbsi, dimana
osteoklas ini akan membentuk lubang-lubang disebut lakuna. Satu sel
osteoklas dapat menghancurkan 100 – 150 sel osteoblas dari sejumlah tulang.
Sedangkan osteoblas merupakan derivat dari sel mesenkim, ditemukan pada
permukaan tulang yang mengalami proses pertumbuhan dan perubahan
(remodeling).
d. Kepadatan (Densitas Tulang)
Kepadatan tulang erat hubungannya dengan kekuatan tulang dan
perubahan-perubahan tulang yang terjadi selama kehidupan. Kepadatan
tulang meningkat selama periode pertumbuhan. Pada wanita usia 35 – 40
tahun dengan menstruasi yang teratur, kepadatan tulang tidak meningkat atau
menurun. Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada usia 25 – 35 tahun
untuk tulang-tulang trabekular (antara lain tulang belakang) dan pada usia 35
– 40 tahun untuk tulang-tulang kortikal. Setelah pematangan tulang selesai,
kehilangan tulang dimulai dan berlangsung terus sampai usia 85 – 90 tahun.
Pada periode menopause, kepadatan tulang trabekular akan menurun yaitu
pada tulang belakang sebesar 1 – 8 % pertahun dan pada leher tulang paha
terjadi penurunan tulang kortikal sebesar 0,5 - 5 % pertahun. Seorang wanita
selama kehidupannya akan kehilangan 40 – 50 % jumlah tulang secara
keseluruhan. Sedangkan pada pria hanya sebesar 20 – 30 %.
Banyaknya kehilangan massa tulang pada wanita, selain disebabkan
pertambahan usia dihubungkan juga dengan penurunan kadar estrogen dalam
darah karena penurunan fungsi dan terhentinya fungsi ovarium. Pada wanita
postmenopause jumlah kehilangan tulang trabekular melebihi tulang kortikal.
3. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
(Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang
tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau
tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
4. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
5. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
6. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit.
b.Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada
foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c.Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d.Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e.Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
g.Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h.Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
6. Manifestasi Klinik
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal
7. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya
fraktur/luasnyatrauma, skan tulang, temogram, scan CI:
memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.
8. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya
tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang
akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan
untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam
kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi
dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot
yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur
dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan
terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat
dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi.
Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku,
atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan,
ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan
nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna
memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan
menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
9. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.
Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini
terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi
oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.
10. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
b. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-
9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
d. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat
besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein
dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama
pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola
Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat
adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m)Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 –
5 “
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum
atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur
lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf
spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae
yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat
yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan
adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Dampak Fraktur Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
Trauma
Fraktur
Perubahan status kesehatan
Cedera sel Reaksi peradangan
Luka terbukaDiskontuinitas fragmen tulang
Edema
Penekanan pada jaringan vaskuler
Penurunan aliran darah
Resiko disfungsi neurovaskuler
Port de’ entri kuman
Gg. Integritas kulit
Resiko Infeksi
Lepasnya lipid pada sum-sum
tulang
Terapi restrictif
Terabsorbsi masuk
kealiran darah
Emboli
Oklusi arteri paru
Nekrosis Jaringan paru
Luas permukaan paru menurun
Penurunan laju difusi
Gangguan pertukaran gas
Gg. Mobilitas fisik
Degranulasi sel mast
Pelepasan mediator
kimia
Nociceptor
Medulla spinali
Korteks serebri
Nyeri
Kurang informasi
Kurang pengetahunan
3. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000)
4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan
santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan
tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian
yang sakit dengan tirah baring,
Mengurangi nyeri dan mencegah
malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak
pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan kenyamanan
(masase, perubahan posisi)
5. Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas
dalam, imajinasi visual, aktivitas
dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama
fase akut (24-48 jam pertama)
sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik
sesuai indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala,
petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
Meningkatkan aliran balik vena,
mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum,
menurunakan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung
lama.
Menurunkan edema dan mengurangi
rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui
mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
Menilai perkembangan masalah
klien.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral
hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Dorong klien untuk secara rutin
melakukan latihan
menggerakkan jari/sendi distal
cedera.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi
akibat tekanan bebat/spalk yang
terlalu ketat.
3. Pertahankan letak tinggi
ekstremitas yang cedera kecuali
ada kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen.
4. Berikan obat antikoagulan
(warfarin) bila diperlukan.
5. Pantau kualitas nadi perifer,
aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera,
bandingkan dengan sisi yang
normal.
Meningkatkan sirkulasi darah dan
mencegah kekakuan sendi.
Mencegah stasis vena dan sebagai
petunjuk perlunya penyesuaian
keketatan bebat/spalk.
Meningkatkan drainase vena dan
menurunkan edema kecuali pada
adanya keadaan hambatan aliran
arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
Mungkin diberikan sebagai upaya
profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.
Mengevaluasi perkembangan
masalah klien dan perlunya
intervensi sesuai keadaan klien.
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria
klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Instruksikan/bantu latihan napas
dalam dan latihan batuk efektif.
2. Lakukan dan ajarkan perubahan
posisi yang aman sesuai keadaan
klien.
3. Kolaborasi pemberian obat
antikoagulan (warvarin, heparin)
dan kortikosteroid sesuai
indikasi.
4. Analisa pemeriksaan gas darah,
Hb, kalsium, LED, lemak dan
trombosit
5. Evaluasi frekuensi pernapasan
dan upaya bernapas, perhatikan
adanya stridor, penggunaan otot
aksesori pernapasan, retraksi sela
iga dan sianosis sentral.
Meningkatkan ventilasi alveolar dan
perfusi.
Reposisi meningkatkan drainase
sekret dan menurunkan kongesti
paru.
Mencegah terjadinya pembekuan
darah pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah menunjukkan
keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak.
Penurunan PaO2 dan peningkatan
PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED dan
kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering
berhubungan dengan emboli lemak.
Adanya takipnea, dispnea dan
perubahan mental merupakan tanda
dini insufisiensi pernapasan,
mungkin menunjukkan terjadinya
emboli paru tahap awal.
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian
tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas
rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai
keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif
aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai
keadaan klien.
3. Berikan papan penyangga kaki,
gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri
(kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai
keadaan klien.
Memfokuskan perhatian,
meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial.
Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan
tonus otot, mempertahakan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
Mempertahankan posis fungsional
ekstremitas.
Meningkatkan kemandirian klien
dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
Menurunkan insiden komplikasi kulit
dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
6. Dorong/pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari.
7. Berikan diet TKTP.
8. Kolaborasi pelaksanaan
fisioterapi sesuai indikasi.
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi
klien dan program imobilisasi.
Mempertahankan hidrasi adekuat,
men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
Kalori dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan
fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu
untuk menyusun program aktivitas
fisik secara individual.
Menilai perkembangan masalah
klien.
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik
untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai
indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi
terjadi
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan tempat tidur yang
nyaman dan aman (kering,
bersih, alat tenun kencang,
bantalan bawah siku, tumit).
2. Masase kulit terutama daerah
penonjolan tulang dan area
distal bebat/gips.
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi
kulit yang lebih luas.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan
meningkatkan kelemasan kulit dan
otot terhadap tekanan yang relatif
3. Lindungi kulit dan gips pada
daerah perianal
4. Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat terhadap
kulit, insersi pen/traksi.
konstan pada imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit
dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.
Menilai perkembangan masalah
klien.
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen
atau eritema dan demam
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Lakukan perawatan pen steril dan
perawatan luka sesuai protokol
2. Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas insersi
pen.
3. Kolaborasi pemberian antibiotika
dan toksoid tetanus sesuai
indikasi.
4. Analisa hasil pemeriksaan
laboratorium (Hitung darah
lengkap, LED, Kultur dan
Mencegah infeksi sekunderdan
mempercepat penyembuhan luka.
Meminimalkan kontaminasi.
Antibiotika spektrum luas atau
spesifik dapat digunakan secara
profilaksis, mencegah atau
mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus.
Leukositosis biasanya terjadi pada
proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada
sensitivitas luka/serum/tulang)
5. Observasi tanda-
tanda vital dan tanda-tanda
peradangan lokal pada luka.
osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi.
Mengevaluasi perkembangan
masalah klien.
h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien
mengerti dan memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Kaji kesiapan klien
mengikuti program
pembelajaran.
2. Diskusikan metode mobilitas
dan ambulasi sesuai program
terapi fisik.
3. Ajarkan tanda/gejala klinis
yang memerluka evaluasi medik
(nyeri berat, demam, perubahan
sensasi kulit distal cedera)
4. Persiapkan klien untuk
mengikuti terapi pembedahan
Efektivitas proses pemeblajaran
dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti
program pembelajaran.
Meningkatkan partisipasi dan
kemandirian klien dalam
perencanaan dan pelaksanaan
program terapi fisik.
Meningkatkan kewaspadaan klien
untuk mengenali tanda/gejala dini
yang memerulukan intervensi lebih
lanjut.
Upaya pembedahan mungkin
diperlukan untuk mengatasi maslaha
sesuai kondisi klien.
bila diperlukan.
B. Evaluasi
o Nyeri berkurang atau hilang
o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o Pertukaran gas adekuat
o Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o Infeksi tidak terjadi
o Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
Bab ini berisikan laporan asuhan keperawatan pada Tn.S dengan gangguan Sistem
Muskuloskeletal; Fraktur Lumbal di ruang Bedah Pria (C) RSDS Dr.Soedarso Pontianak,
yang dilaksanakan dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan tanggal 16 Juni 2012.
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Klien bernama Tn. S, umur 65 tahun dan sudah menikah, klien beragama islam,
bersuku melayu, pendidikan terakhir klien hanya tamatan SD saat ini klien bekerja
sebagai seorang penorek karet, klien berasal dari desa Parid Rodi, Kec Bukit Batu
Kab Bengkalis , pada tanggal 06 Juni 2012 klien masuk RSDS dengan no RM
757759 klien di rawat di ruang Bedah Umum Pria (C) dengan diagnose medis Fraktur
Lumbal.
2. Riwayat Kesehatan Klien
a. Kesehatan Masa Lalu
Klien mengatakan ia belum pernah masuk Rumah Sakit, klien hanya menderita sakit
seperti flu dan batuk saja dan hanya membeli obat di warung.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Alasan Masuk Rumah Sakit
Dua puluh hari sebelum masuk rumah sakit RSUD Bengkalis klien mengalami
kecelakaan di tempat kerjanya (kebun). Saat bekerja klien tertimpa dahan kayu yang
jatuh dengan posisi membungkuk saat menoreh karet, dan beberapa saat setelah itu
pada kedua kakinya terasa dingin dan tidak bisa di gerakkan, kondisinya klien saat itu
lemah sehingga klien langsung dibawa ke puskesmas Sungai Pakning dan mendapat
perawatan, karena fasilitas yang belum memadai di puskesmas Sungai Pakning pada
tanggal 06 Juni 2012 klien dirujuk kerumah sakit RSUD Bengkalis dalam keadaan
sadar penuh, nyeri pada daerah punggung, tampak jejas pada punggung bagian
lumbalis dan klien mengatakan bagian kaki terasa dingin.
2) Keluhan Waktu Didata
Pada waktu didata klien mengatakan nyeri pada saat klien: bergerak & diam, dengan
kualitas nyeri terasa ditusuk-tusuk, klien mengatakan bagian belakangnya (lumbalis)
terasa nyeri dengan skala 4-6 (sedang), dan nyeri nya terjadi secara terus menerus
sehingga membuat klien sulit untuk tidur. Klien juga mengatakan hanya terbaring,
aktivitasnya dibantu perawat dan keluarga, sudah 2 hari belum mandi dikarenakan
keluarga klien tidak berani untuk menggerakan klien.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan didalam keluarganya tidak terdapat penyakit keturunan seperti
hipertensi, diabetes melitus, atau asma serta tidak ada pula yang menderita penyakit
menular seperti hepatitis, tbc, dan lain-lain.
4. Struktur Keluarga Dan Genogram
Keterangan : : Laki-laki
: Perempuan
: Laki-laki meninggal dunia
: Perempuan meninggal dunia
: Klien
: Tinggal serumah
5. Data Biologis
a. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : Klien makan 3x/ hari dengan menu bervariasi seperti nasi, sayur
mayor dan lauk pauk. Klien tidak ada pantangan dan alergi terhadap makanan.
Saat sakit : Klien makan 3 kali sehari dengan menu makanan yang disediakan
oleh pihak rumah sakit, klien hanya mampu menghabiskan setengah porsi makanan
yang disajikan.
b. Pola Minum
Sebelum sakit :Klien minum air putih ± 1000 – 1500 cc / hari. Kadang-kadang klien
minum teh manis atau kopi.
Saat sakit : Klien minum ± 7- 8 gelas /hari Klien minum 1000-1500 cc/hari air
putih.
c. Pola Eleminasi
Sebelum sakit : Klien BAK 3-5 kali atau ±1200cc sehari dengan urin kuning jernih
tanpa keluhan.
Klien BAB 1-2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna kuning dan tanpa
keluhan.
Saat sakit : Klien terpasang kateter, dan dalam 1 hari ada sekitar 1000cc urine
yang keluar.
Klien BAB 1-2x sehari dengan konsistensi padat tetapi klien tidak bisa mengontrol
pola BAB nya sehingga klien tidsak bisa merasakan adanya feses yang keluar,klien
mengatakan klien juga tidak bisa menyadari pada saat BAB dan tidak bisa merasakan
pada saat tinjanya keluar.
d. Pola istirahat Tidur
Sebelum sakit : Klien tidur + 7-8 jam/hari dengan penerangan yang cukup,
menggunakan bantal, selimut pada malam hari dan jarang tidur pada siang hari.
Saat sakit : Klien tidak bisa tidur, klien tidur malam hanya 2-3 jam dan tidak
pernah tidur siang.
e. Pola kebersihan
Sebelum sakit : Klien mengatakan mandi 2-3 kali/hari dengan sabun dan shampo
serta gosok gigi pada saat mandi, potong kuku jika panjang
Saat sakit : Selama di rawat rumah sakit klien tidak pernah mandi, klien juga
tidak pernah diseka oleh keluarganya karena ada cedera pada tulang belakangnya,
kaki tangan dan badan klien tampak kotor.
f. Pola aktifitas
Klien hanya beraktifitas ditempat tidur, karena klien merasakan nyeri pada bagian
belakangnya sehingga klien tidak dapat melakukan pergerakannya
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Saat dilakukan pemeriksaan fisik, keadaan umum klien tampak lemah, tampak
mengatuk, hanya bisa beraktifitas di tempat tidur dan hanya miring kiri dan miring
kanan. Saat dikaji kesadaran klien dalam keadaan kompos mentis, tekanan darah
100/60 mmHg dengan frekuensi nadi 89x/ menit dan frekuensi pernapasan 23x/menit
sedangkan suhu tubuhnya 36,3C
b. Kepala leher dan axila
Kepala klien tampak simetris, rambut klien hitam dan agak panjang, leher tidak ada
pembengkakan kelenjar getah bening, tidak adanya lesi, di axilla tidak tampak lesi,
tidak ada nyeri tekan dan tidak teraba masa.
c. Mata
Mata klien tampak simetris, pupil klien isokor, konjungtiva tidak pucat, terdapat
lingkaran hitam disekitar mata, klien tidak menggunakan alat bantu penglihatan,
d. Telinga
Telinga klien tampak simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba masa dan tidak ada
lesi, tidak ada gangguan pada fungsi pendengaran klien
e. Hidung
Hidung tampak simetris, mukosa hidung lembab, tidak tampak sekret, tidak ada
gangguan pada fungsi penciuman klien
f. Mulut dan pharing
Mulut tampak simetris, mukosa bibir lembab, gigi klien masih lengkap, tidak ada
gangguan reflek menelan, tidak ada pembesaran tonsil, ovula terlihat kemerahan.
g. Dada
1) Thorak
Saat dilakukan pengkajian Inspeksi bentuk thorak klien simetris, tidak terdapat lesi,
tidak terdapat retraksi interkosta, pergerakan dada simetris, irama pergerakan
reguler,dan ketika di raba tidak terdapat masa, tidak terdapat nyeri, ekspansi paru
simetris, kemudian saat di auskultasi terdengar vesikuler di permukaan paru, tidak
terdengar whezing dan ronchi.
2) Paru paru
Saat di lakukan perkusi terdengar bunyi rensonan pada lapang paru dan ketika di
auskultasi terdengar vesikuler di permukaan paru, tidak terdengar whezing dan ronchi.
3) Jantung
Saat dilakukan inspeksi pada jantung tidak terlihat adanya iktus kordis pada ics 4 dan
5 dan teraba iktus kordis saat di palpasi, dsan ketika di perkusi terdengar dullnes pada
daerah jantung, Pada pemeriksaan auskultasi terdengar bunyi S1 lub dan S2 dup, dan
tidak terdengar bunyi tambahan.
4) Payudara
Bentuk simetris, tidak tampak pembengkakan, tidak ada lesi, aerola berwarna
kecoklatan.
h. Abdomen
Saat di inspeksi bentuk abdomen klien simetris tidak terdapat ascites, tidak terlihat
lesi, terdengar bising usus 6x/menit saat di auskultasi, saat di perkusi terdengar
dullnes didaerah hati tidak ada hepatomegali dan splenomegali dan saat dipalpasi
tidak teraba ginjal, tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas.
i. Punggung.
Saat diinspeksi pada tulang belakang daerah lumbalis tampak bengkok atau terjadi
deformitas kearah luar pada lumbalis 4-5, terdapart pula massa atau benjolan,
kemerahan. Saat di palpasi terdapat nyeri tekan, teraba benjolan kearah luar. Saat di
tekan pada daerah fraktur klien tampak meringis.
j. Genetalia dan rectum
Saat di kaji klien terpasang kateter dengan ukuran 16 G, dengan urine yang
tertampung di urine bag sebanyak 200 cc.
k. Ekstremitas
atas : kekuatan otot pada tangan kanan 5, di tandai dengan klien mampu melawan
tahanan yang diberikan, begitu pula untuk tangan kiri klien kekuatan ototnya 5
walaupun pada tangan kiri klien terpasang infuse klien masih mampu melawan
tahanan.
bawah : kekuatan otot kaki kiri dan kaki kanan,kekuatan ototnya 0 karena kaki kiri
dan kanan klien tak bisa digerakan dan tidak terdapat kontraksi otot, dan kaki kiri
dankanan klien juga tidak bisa merasakan sensasi nyeri yang diberikan
5 5
0 0
7. Data Psikologis
a. status emosi: status emosi klien stabil di tandai dengan klien tampak tenang
dan tabah dalam menghadapi penyakitnya.
b. konsep diri : klien tidak malu dengan keadaanya sekarang
Ideal diri : klien berharap penyakitnya cepat sembuh
Identitas diri : klien merasa dirinya laki laki dan memiliki istri
Peran diri : klien merasa bertanggung jawab sebagai suami
c. gaya komunikasi ; gaya komunikasi yg klien gunakan terbuka menggunakan
bahasa melayu namun bercampur logat bahasa kapuas hulu
d. pola interaksi : interaksi klien dengan istri dan sahabt baik dibuktikan dengan
adanya keluarga dan sahabatnya yang mengunjungi
e. pola koping : pola koping klien dan keluarga baik, apabila ada masalah klien
bermusyawarah dengan keluarganya.
8. Data Sosial
a. Pendidikan dan pekerjaan
Pendidikan terakhir klien adalah SD sekarang klien bekerja sebagai penambang emas
b. Hubungan sosial : hubungan sosial klien terhadap keluarga baik
c. Faktor sosiokultural : didalam keluarga klien tidak ada tindakakn keperawatan
yang betentangan dengan kebudayaannya
d. Gaya hidup : klien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol
9. Pengetahuan Tentang Penyakit
Klien mengatakan kurang paham dan bingung dengan penyakitnya dan tindakan yang
mengharuskan klien tidur tanpa kasur. Keluarga sempat protes terhadap perlakuan
terhadap klien yang terbaring tanpa kasur.
10. Data Spiritual
Selama di RS klien tidak beribadah, klien hanya berdoa ditempat tidur.
11. Data Penunjang
a. Hasil lab tanggal 14 juni 2012:
GDS 99 mg/dl 55-150
Ureum 39,7 mg/dl 10-50
Kreatinin 0,7 mg/dl 0,6-1,3
b. Hasil pemeriksaan Radiologi
Rontgen: dari hasil foto vertebra tampak deformitas pada lumba 4-5.
12. Pengobatan
infus RL : 20 tpm
Intravena :
a. Ranitidine 2x 50mga
b. Ondansentron 3x4 gram
c. Kalnex 3×250 mg
d. Ketorolac 3×30mg
e. Methyi prednisolon 2x1
D. RENCANA KEPERAWATAN
NO
DX
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
TUJUAN &
KRITERIA
HASIL
RENCANA INTERVENSI RASIONAL
1 Nyeri akut
berhubungan dengan
Terputusnya
kontinuitas jaringan
tulang.ditandai
dengan
DS :
Pada waktu
didata klien
mengatakan nyeri
pada saat
klien:bergerak &
diam dengan kualitas
nyeri terasa ditusuk-
tusuk,klien
mengatakan bagian
Nyeri akut dapat
berkurang
setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x24 jam
dengan kriteria
shasil:
Ds:
klien
mengatakan
nyerinya sudah
berkurang
skala (1-3)
Do:
klien tidak
1. Kaji nyeri yang dialami
klien
2. kaji faktor yang
menurunkan toleransi nyeri
3. kurangi atau hilangkan
faktor yang meningkatkan
nyeri
1. perubahan nyeri pada klien akan
menetukan rencana lebih lanjut
2.
ketakutan,keletihan,ketidaktahuan,
monoton,dan ketidakpercayaan
orang lain sering menyebabkan
penurunan toleransi terhadap
nyeri,sehingga persepsi terhadap
nyeri akan meningkat
3.
ketakutan,keletihan,ketidaktahuan,
monoton,dan ketidakpercayaan
orang lain merupakan faktor yang
dapat meningkatkan persepsi nyeri
4. Peningktan tanda-tanda vital
belakangnya
(lumbalis) terasa
nyeri dengan skala 4-
6 (sedang), dan nyeri
nya terjadi secara
terus menerus
sehingga membuat
klien sulit untuk tidur.
DO :
- Klien tampak
meringis saat
bergerak dan diam,
dan saat di tekan
tulang belakangnya,
- tekanan darah
100/60 mmHg dengan
frekuensi nadi 89x/
menit dan frekuensi
pernapasan 23x/menit
sedangkan suhu
meringis
kesakitan lagi
TTV dalam
batas normal
TD: 120/ 80
mmHg
N: 80x/ menit
RR: 20x/ menit
S: 36,5 C
4. Pantau tanda- tanda vital
5. Ajarkan tekhnik distraksi
dan relaksasi
6. Berikan obat Analgetik
ketorolac
seperti tekanan darah, nadi
menandakan peningkatan nyeri
5. relaksasi dan distraksi merupakan
metode nonfarmakologis yang
mengubah proses fikir terhadap
nyeri
6. Analgetik berfungsi dalam
menghambat impuls nyeri
tubuhnya 36,3c
- Ada reaksi
penolakan saat di
tekan pada tulang
belakang
2 Hambatan mobilitas
fisik berhubungan
dengan fraktur
lumbalis di tandai
dengan :
DS :
- Klien mengatakan
hanya terbaring
- Klien mengatakan
aktivitasnya dibantu
perawat dan keluarga
DO :
- Klien terlihat lemah
- Kaki kanan klien
tidak dapat di
Hambatan
mobilitas fisik
teratasi setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x 24 jam
dengan kriteria
hasil:
DS
Klien
mengatakan
bertambahnya
kekuatan dan
daya tahan
1. Kaji pola aktifitas klien
2. Tingkatkan mobilitas
ekstremitas atau Latih rentang
pergerakan sendi pasif
3. Posisikan tubuh sejajar untuk
mencegah komplikasi
4. Anjurkan keluarga untuk
memandikan klien dengan air
hangat.
5. Awasi seluruh upaya
mobilitas dan bantu pasien
1. Dengan mengetahui pola aktifitas
klien maka akan mengetahui
seberapa mampu klien untuk
beraktifitas.
2. Mobilitas rentang gerak yang
optimal Mencegah kekakuan pada
sendi klien
3. Mempermudah pasien untuk
memenuhi kebutuhannya secara
mandiri
4. Air hangat akan memperlancar
sirkulasi sehingga mencegah
iskemi
5. Mengawasi aktifitas klien agar
klien tidak melakukan aktifitas
gerakkan
- Kebutuhan klien di
bantu oleh keluarga
dan perawat
- Klien hanya
beraktifitas di tempat
tidur dan itu pun
hanya berbaring
- Kekuatan otot
5 5
0 0
ekstremitas
DO:
Klien mampu
melakukan
aktivitas secara
bertahap sesuai
toleransi
jika di perlukan.
6. Inspeksi kulit terutama yang
bersentuhan dengan tempat
tidur
yang dapat memperparah
keadaannya.
6. Kemerahan dan teraba panas
pada kulit menandakan area tesebut
mengalami tekanan yang dapat
menjadi dekubitus
3
Inkontinensia
defekasi b/d
Kerusakan saraf
motorik bawah yg
ditandai dengan
Ds:
Klien mengatakan
tidak bisa mengatur
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x24 jam
gangguan pola
eliminasi (BAB)
dapat ditoleransi
Kaji adanya gangguan pola
eliminasi (BAB)
observasi adanya feses di
pampers klien
Anjurkan kepada klien untuk
1. Gangguan pola eliminasi BAB
biasanya ditandai dengan ketidak
tahuan klien kalau dirinya sedang
BAB
2. feses yang terlalu lama di
pampers atau pengalas klien akan
meningkatkan resiko lesi
3. Agar perawat atau keluarga
BAB nya
Klien mengatakan
pada saat BAB
tinjanya keluar sendiri
tanpa ada rasa
mengeluarkanya.
Klien mengatakan
dirinya tidak
menyadari pada saat
BAB.
Do:
Terlihat klien
BAB dicelana dan
klien tidak
menyadarinya,
pada tulang
belakang daerah
lumbalis tampak
bengkok atau terjadi
klien dengan
kriteria hasil
Ds:
- Klien memberi
tahu perawat atau
keluarga kalau
sedang BAB
Do:
Pampers atau
celana klien
diganti apabila
klien BAB
memberi tahu perawat atau
keluarga kalau terasa BAB
Anjurkan kepada keluarga
untuk sering mengawasi klien
Jelaskan kepada klien tentang
adanya gangguan pola
eliminasi
mengetahui dan segera mengganti
pempers atau celana klien
Agar bisa mengontrol adanya peses
yang tidak disadari klien
5. Agar klien dan keluarga
mengetahui tentang adanya
gangguan pola eliminasi yang
dialami klien
deformitas kearah
luar pada lumbalis 4-
5, terdapat pula massa
atau benjolan,
kemerahan.
Klien mengalami
kelumpuhan di bagian
ekstremitas bawah.
Klien tidak
menyadari bahwa
dirinya BAB
4 Defisit perawatan
diri;mandi di tandai
dengan:
DS :
- Klien mengatakan
sudah 2 hari belum
mandi
Deficit
perawatan diri
mandi teratasi
setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 1x30
1. Kaji keadaan umm klien
2. Kaji pola kebersihan klien
3. Lakukan personal hygiene
(mandi) pada klien
1. Keadaan lemah mempengaruhi
terhadap pemenuhan perawatan diri
2. Perubahan pola pemenuhan
kebersihan diri sering terjadi saat
hospitalisasi
3. Agar klien tampak bersih dan
segar
- Klien mengatakan
susah untuk mandi
DO :
- Badan, kaki, tangan
klien tampak kotor
Klien tampak lemah
menit dengan
kriteria hasil:
DS:
Klien
mengatakan
sudah mandi
Klien
mengatakan
badannya terasa
segar
DO:
Klien sudah
tampak bersih
4. Libatkan keluarga pada saat
memandikan
4. Agar keluarga juga mengerti cara
memandikan pasien yang benar
5 Defisiensi
pengetahuan
berhubungan dengan
Kurang terpajannya
informasi ditandai
dengan:
Pengetahuan
klien bertambah
setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 1x 30
1. Kaji tingkat pengetahuan
klien
2. Kaji latar belakang
1. Dengan mengetahui tingkat
pengetahuan klien maka akan lebih
mudah untuk menentukan cara
yang tepat untuk penyampaian
informasi
2. Tingkat pendidikan
DS :
Klien mengatakan
kurang faham dengan
tindakan yang
dilakukan terhadap
dirinya yang harus
terbaring tanpa kasur
Keluarga bertanya,
“mengapa klien harus
terbaring tanpa kasur
DO :
Klien & keluarga
tampak bingung
dengan kondisi klien
yang terbaring tanpa
kasur
menit dengan
kriteria hasil:
DS:
Klien
mengatakan
sudah faham
dengan tindakan
yang dillakukan
terhadap dirinya
DO:
Klien dan
keluarga sudah
tampak tidak
bingung lagi
pendidikan klien
3. Berikan penkes kepada
klien dan keluarga tentang
penyakit,proses pengobatan
dan diit makanan yang dapat
mempercepat penyembuhan
4. Berikan kesempatan klien
untuk bertanya
5. Evaluasi dari apa yang telah
disampaikan
mempengaruhi mempengaruhi
pengetahuan klien
3. Meningkatkan pengetahuan klien
tentang pemahaman penyakit yang
di alaminya.
4. Untuk memperjelas apa yang
belum dimengerti kliean dan
keluarga
5. Untuk mengetahui tngkat
pemahaman klien tentang apa yang
telah disampaikan
E. CATATAN KEPERAWATAN
No
Dx
Tanggal &
Waktu
Catatan Tindakan TTD
1.
.
14 Juni 2012
07.30
07.45
08.00
08.15
08.30
08.50
15 Juni 2012
07.30
07.45
Mengkaji nyeri yang dialami klien
H : skala nyeri klien 4-6 ( sedang)
Mengkaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri
H: pergerakan klien mempengaruhi tingkat nyeri klien
Mengurangi atau menghilangkan faktor yang
meningkatkan nyeri
H: mengurangi atau meminimalkan pergerakan klien
Memantau tanda- tanda vital
H :
TD : 100/60 mmHg
N : 89 x/m
S : 36,3c
RR : 23 x/m
Melakukan pemasangan infus
R: klien menerima tindakan keperawatan
H: klien terpasang infus RL 20 tpm di tangan kirinya.
Mengkolaborasikan obat Analgetik ketorolac 30mg drip
via infuse RL 500cc
R: klien menerima tindakan keperawatan
H: klien tidak meringis kesakitan lagi
Mengkaji ulang skala nyeri yang dialami klien
H : skala nyeri klien 4-6 ( sedang)
Mengajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
R: klien mau mengikuti apa yang di ajarkan perawat
H: klien bisa mempraktekan apa yang di ajarkan perawat
Memantau tanda- tanda vital
08.00
08.15
16 Juni 2012
07.30
07.40
08.00
08.15
H :
TD : 110/60 mmHg
N : 84 x/m
S : 36,5 c
RR : 22 x/m
Memberikan obat Analgetik ketorolac 30 mg drip via
infuse RL 500cc
R: klien menerima tindakan keperawatan
H: klien tidak meringis kesakitan lagi
Mengkaji ulang skala nyeri yang dialami klien
H : skala nyeri klien 4-6 ( sedang)
Menganjurkan klien untuk tidak banyak bergerak
H: nyeri klien sedikit berkurang
Memantau tanda- tanda vital
H :
TD : 100/60 mmHg
N : 84 x/m
S : 36,6
RR : 20 x/m
Memberikan obat Analgetik ketorolac 30 mg drip via
infuse RL 500cc
R: klien menerima tindakan keperawatan
H: klien tidak meringis kesakitan lagi
2 14 Juni 2012
08.30
08.40
Mengkaji pola aktifitas klien
H: klien hanya tampak berbaring
Tingkatkan mobilitas ekstremitas atau Latih rentang
15 Juni 2012
08.30
08.45
16 Juni 2012
08.00
09.30
pergerakan sendi pasif
R: klien mau mengikuti anjuran perawat
H: klien mau tangannya digerakkan oleh perawat
menginspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan
tempat tidur
H: tidak ada tanda- tanda dekubitus
Posisikan tubuh sejajar untuk mencegah komplikasi
R: klien menerima tindakan perawat
H: klien baring dalam posisi terlentang
Menganjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan
air hangat.
R: keluarga menerima anjuran perawat
H: klien tampak bersih setelah setelah dimandikan
Mengawasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien jika
di perlukan.
H: pemenuhan kebutuhan klien dibantu keluarga dan
perawat
3 14 juni 2012
09.00
09.15
15 juni 2012
09.10
mengkaji adanya gangguan pola eliminasi (BAB)
H: klien tidak bisa mengontrol BAB nya
mengobservasi adanya feses di pampers klien
H: terdapat feses di pempers klien
menganjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat
atau keluarga kalau terasa BAB
R:klien menerima anjuran perawat
09.20
16 juni 2012
09.00
Menganjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi
klien
R: klien mau menerima anjuran perawat
H: klien mengerti saran perawat
Menjelaskan kepada klien tentang adanya gangguan pola
eliminasi.
H: klien tau adanya gangguan eliminasi pada dirinya
4 14 Juni 2012
09.15
09.20
15 Juni 2012
09.30
09.45
16 Juni 2012
09.15
Mengkaji keadaan umm klien
H: klien tampak lemah
Mengkaji pola kebersihan klien
H: klien belum mandi selama dirawat di rumah sakit
Mengkaji ulang keadaan umum klien
H: klien tampak lemah
Mengkaji ulang pola kebersihan klien
H: klien belum mandi selama dirawat di rumah sakit
Mengkaji ulang keadaan umum klien
H: klien tampak lemah
09.20
09.30
Mengkaji ulang pola kebersihan klien
H: klien belum mandi selama dirawat di rumah sakit
Melakukan personal hygiene (mandi) pada klien
R: klien mau dimandikan
H: klien tampak bersih
5 14 Juni 2012
10.00
10.15
15 Juni 2012
10.00
10.15
16 Juni 2012
10.30
Kaji tingkat pengetahuan klien
H: klien tidak mengetahui peyakit yang di deritanya
Kaji latar belakang pendidikan klien
H: klien hanya tamatan SD
Kaji ulang tingkat pengetahuan klien
H: klien tidak mengetahui peyakit yng di deritanya
Kaji ulang latar belakang pendidikan klien
H: klien hanya tamatan SD
Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang
penyakit dan diit makanan yang dapat mempercepat
penyembuhan
R: klien tampak antusias dalam mendengarkan penkes
H: klie mengerti tentang penyakit yang di deritanya
Evaluasi dari apa yang telah disampaikan
H: klien mengerti tentang materi yang telah di sampaikan
F. CATATAN PERKEMBANGAN
No
Dx
Tanggal &
Waktu
Perkembangan ( S O A P) Nama &
TTD
Perawat
1 14 Juni 2012
13.10
15 Juni 2012
13.10
S : Klien mengatakan bagian belakangnya nyeri
O : Klien tampak meringgis saat bergerak dan diam
TTV:
TD : 100/60 mmHg
N : 89 x/m
S : 36,3c
RR : 23 x/m
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan tindakan keperawatan
Kaji ulang skala nyeri yang dialami klien
Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
Berikan obat Analgetik ketorolac 30 mg drip via infuse
RL 500cc
Pantau tanda- tanda vital
S : Klien mengatakan nyeri bagian belakangnya masih terasa
Skala nyeri (4-6)
O : Klien masih tampak meringis
TTV:
TD : 110/60 mmHg
N : 84 x/m
S : 36,5 c
RR : 22 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
16 Juni 2012
13.10
P : Lanjtkan intervensi
Kaji ulang skala dan karakteristik nyeri klien
pantau TTV
Anjurkan klien untuk tidak banyak bergerak
berikan obat analgetik ketorolac 30mg drip via infuse RL
500cc
S : Klien mengatakan nyeri di bagian belakangnya
O : Klien masih tampak meringis saat bergerak dan diam
Skala nyeri (4-6)
TTV:
TD : 100/60 mmHg
N : 84 x/m
S : 36,6
RR : 20 x/m
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjtkan intervensi
Kaji skala dan karakteristik nyeri klien
pantau TTV
Ajarkan kembali tekhnik relaksasi
berikan obat analgetik ketorolac 30mg drip via infuse RL
500cc
2 14 Juni 2012
13.40
S : Klien mengatakan hanya beraktifitas di tempat tidur
O : Klien tampak hanya beraktifitas di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
menginspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan
tempat tidur
Posisikan tubuh sejajar untuk mencegah komplikasi
15 Juni 2012
13.40
16 Juni 2012
13.40
S : Klien mengatakan hanya beraktifitas di tempat tidur
O : Klien tampak hanya beraktifitas di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan tindakan keperawatan
Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien jika di
perlukan.
Anjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan air
hangat
S : Klien mengatakan hanya beraktifitas di tempat tidur
O : Klien tampak hanya beraktifitas di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan tindakan keperawatan
tingkatkan kembali mobilitas dan pergerakan yang
optimal.
3 14 Juni 2012
13.40
15 Juni 2012
13.40
S: klien mengatakan tidak bisa mengontrol BAB nya
O: tampak feses di pempers klien
A: masalah pola eliminasi belum teratasi
P: lanjutkan intevensi
menganjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat
atau keluarga kalau terasa BAB
Anjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien
S: klien mengatakan masih tidak bisa mengontrol BAB nya
O: tampak feses di pempers klien
A: masalah pola eliminasi belum teratasi
P: lanjutkan intevensi:
Jelaskan kepada klien tentang adanya gangguan pola
eliminasi
16 Juni 2012
13.40
S: klien mengatakan masih belum bisa mengontrol pola
BAB nya
O: klien tampak BAB dalam celana
A: masalah pola eliminasi belum teratasi
P: lanjutkan intevensi:
Anjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien
4 14 Juni 2012
13.20
15 Juni 2012
13.20
16 Juni 2012
13.20
S : Klien mengatakan sudah 2 hari belum mandi
O : Badan, kaki dan tangan klien tampak kotor
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Kaji ulang keadaan umum klien
Kaji ulang pola kebersihan klien
Bantu klien memenuhi kebutuhan personal hygiene
(mandi)
S : Klien mengatakan sudah 3 hari belum mandi
O : Badan , kaki dan tangan klien tampak kotor
A : Masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
Kaji ulang keadaan umum klien
Kaji ulang pola kebersihan klien
- Bantu pemenuhan kebutuhan personal hygiene klien
(mandi)
S : Klien mengatakan terasa segar setelah mandi
O : Badan klien tampak bersih
A : Masalah teratasi
P : hentikan tindakan
5 14 Juni 2012
13.30
15 Juni 2012
13.30
16 Juni 2012
13.30
S : Klien mengatakan kurang paham dengan penyakitnya
O : Klien tampak bingung
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Berikan penkes kepada keluarga dan klien tentang
penyakitnya
S : Klien mengatakan kurang paham dengan penyakitnya
O : Klien tampak bingung
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Berikan penkes kepada klien dan keluarga
S : Klien mengatakan sudah paham dengan penyakitnya
O : Klien tidak tampak bingung
A : Masalah kurang pengetahuan teratasi
P : Hentikan tindakan keperawatan
BAB IV
PEMBAHASAN
Penulis dalam bab ini membahas tentang asuhan keperawatan yang telah
diberikan kepada Tn.S dengan gangguan Sistem Muskuloskeletal ; Fraktur lumbal yang
di rawat di ruang Bedah Umum Pria (C ) Rumah Sakit Umum Daerah Bengkalis.
Pembahasan pada kasus ini adalah berdasarkan proses keperawatan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi
yang dikaitkan dengan landasan teoritis dan asuhan keperawatan yang nyata.
Pelaksanaan dan pendekatan proses keperawatan ini dilaksanakan selama tiga
hari mulai dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan tanggal 16 Juni 2012, penulis
berperan sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan tersebut yang bekerja sama
dengan tim kesehatan lain.
Selanjutnya akan diuraikan pembahasan kasus mengenai asuhan keperawatan
yang telah diberikan pada klien.
A. Pengkajian
Menurut Carpenito & Moyet, (2005) dalam Potter & Perry, (2009) Pengkajian
adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan
status kesehatan dan fungsional klien pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk
menentukan pola respons klien saat ini dan waktu sebelumnya. Pengkajian keperawatan
meliputi dua tahap yaitu pengumpulan data/verifikasi data dan menganalisa data
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan yang mendasari
pengkajian terhadap klien. Klien di pandang sebagai manusia yang utuh dan dari segi
bio-psiko-sosio – kultural- spritual yang apabila mengalami gangguan akan
menyebabkan kondisi tidak seimbang dan memerlukan suatu adaptasi dalam
melaksanakan pengkajian data di peroleh melalui wawancara langsung dengan klien dan
keluarga, observasi atau mengamati langsung, pemeriksaan fisik, membaca hasil
pemeriksaan penunjang catatan keperawatan dan catatan medis.
Penulis mengumpulkan data berdasarkan dengan teori yang ada, untuk data
dasar sebagian telah di dapat dari catatan keperawatan ataupun catatan medis. Adapun
hal-hal yang perlu dikaji ulang sebelum melakukan wawancara penulis terlebih dahulu
membina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga sehingga klien
mengungkapkan masalah yang dirasakan, memberi jawaban atas pernyataan dan
bertanya bila pertanyaan penulis belum dapat mengerti.
Adapun hasil pengkajian yang penulis temukan pada Tn.S yang sesuai dengan
konsep teoritis yaitu : klien sudah merasakan tanda dan gejala tejadinya fraktur lumbal
seperti nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di
atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma. Awal mula kejadian nya adalah saat
klien bekerja lalu tertimpa runtuhan tanah dengan posisi jongkok, dan beberapa saat
setelah itu pada kedua kakinya terasa dingin dan tidak bisa di gerakkan, kondisinya
klien saat itu lemah dan untuk keluhan di rumah sakit klien mengeluh nyeri pada bagian
belakangnya, klien mengatakan hanya dapat berbaring ditempat tidur dan semua
kebutuhannya dibantu oleh keluarga dan perawat, klien jga mengatakan sudah dua hari
belum mandi. .
Adapun data yang penulis temukan pada Tn.S namun tidak sesuai dengan
sumber utama pada konsep teoritis adalah terjadinya inkontinensia alvi . Hal ini
mungkin dikarenakan terjepitnya saraf pada lumbal IV dan V, dan masalah kurang
pengetahuan pada klien hal ini dimungkinkan karena klien belum pernah mendapatkan
pendidikan kesehatan dari perawat ruangan.
Kerjasama yang diberikan oleh klien dan keluarga klien memudahkan penulis
dalam mengumpulkan data-data yang memungkinkan penulis untuk menetapkan asuhan
keperawatan yang sesuai kepada Tn. S Sebelumnya penulis telah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Klien mau mengungkapkan masalah-masalah yang klien
rasakan dan memberikan jawaban atas pertanyaan penulis.
Adapun yang menjadi penghambat didalam melakukan pengkajian terhadap
Tn. S yaitu tidak tersedianya hasil pemeriksaan penunjang radiologi seperti dilakukan
pemeriksaan, C T S c a n , MRI, Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf
Sehingga penulis mengalami kesulitan dalam melakukan penegakan diagnosa kepada
klien.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Carpenito & Moyet, (2005) dalam Potter & Perry, (2009) Diagnosis
keperawatan dan masalah kolaborasi menggambarkan batas kondisi klien yang
memerlukan asuhan keperawatan.
Pada tahap ini penulis menganalisa dan mensintesis data yang telah
dikelompokkan, kemudian penulis melakukan penilaian klinik tentang respon klien dan
keluarga terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual dan resiko. Pada
tinjauan teoritis terdapat 5 diagnosa keperawatan. Penulis menemukan 3 diagnosa
keperawatan yang muncul pada Tn. S yang sesuai dengan sumber utama dalam
perumusan diagnosa dan rencana keperawatan Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm. 14-
15) diagnosa keperawatan yang muncul pada trauma medulla spinalisadalah sebagai
berikut:
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks
spasme otot sekunder.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
3. Defisit perawatan diri;mandi .
Tetapi di sini Penulis menemukan 2 diagnosa yang muncul dan tidak terdapat
sumber utama dalam perumusan diagnose dan rencana keperawatan untuk sistem
muskuloskeletal secara teoritis, namun penulis berinisiatif untuk mencari perumusan
diagnose tersebut dengan sumber lain sehingga muncul suatu diagnosa seperti berikut
menurut NANDA, (2011):
1. Inkontinensia defekasi berhubungan dengan Kerusakan saraf motorik bawah
2. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan Kurang terpajannya informasi
C. Perencanaan Keperawatan
Pada tahap perencanaan ini, penulis membuat prioritas urutan diagnosa
keperawatan yang telah dibuat, kemudian penulis merumuskan tujuan dan kriteria hasil
dengan jelas, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan penentuan waktu yang sesuai
dengan tujuan sehingga memungkinkan dicapai oleh klien. Kemudian penulis
mendesain intervensi dengan landasan teoritis yang penulis sesuaikan dengan kondisi
dan penyakit klien.
Adapun faktor pendukung yang penulis rasakan pada tahap ini adalah adanya
persamaan antara diagnosa yang muncul dengan pedoman teoritis sehingga dalam
penyusunan rencana keperawatan tersebut penulis hanya tinggal menyesuaikan
perencanaan yang telah ada pada rencana keperawatan teoritis dengan kondisi pasien.
Sedangkan untuk hambatan pada tahap ini tidak begitu dirasakan oleh penulis, karena
dalam menyusun intervensi penulis memodifikasi berdasarkan teori lain dan disesuaikan
dengan kondisi klien, serta sarana dan prasarana yang dimiliki rumah sakit.
D. Pelaksanaan Keperawatan
Pada tahap ini penulis dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada klien
sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat baik tindakan mandiri keperawatan
maupun tindakan kolaboratif. Dalam hal ini penulis sebagai anggota tim keperawatan
mengimplementasikan intervensi keperawatan dengan berlandaskan teori, baik secara
mandiri maupun kolaboratif sesuai dengan penyakit yang diderita pasien dan kondisi
pasien saat itu.
Adapun faktor pendukung pada tahap ini adalah kerjasama yang baik dengan tim
kesehatan lain dan partisipasi dan klien dan keluarga sehingga penulis dapat
melaksanakan rencana yang telah penulis buat dengan baik. Sedangkan untuk faktor
penghambat pada tahap ini tidak ditemukan karena semua perencanaan yang telah
dibuat telah dilaksanakan semuanya.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil di capai.
Adapun hasil dan pengevaluasian masing-masing diagnosa keperawatan yang
terdapat pada Tn.S yaitu :
1. Nyeri;akut berhubungan dengan Terputusnya kontinuitas jaringan tulang.
Masalah ini masih belum teratasi, karena masih belum sesuai dengan kriteria hasil yang
tercantum dalam perencanaan keperawatan salah satunya adalah skala nyeri klien masih
4-6(sedang), dan klien masih tampak meringis kesakitan, saat ditekan tulang
belakangnya jadi untuk menindak lanjuti masalah tersebut penulis mencoba untuk
berkolaborasi dengan perawat ruangan dan dokter untuk melanjutkan semua intervensi
yang telah di rencanakan sampai masalah tersebut berkurang bahkan hilang.
2. Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan Fraktur lumbalis
Masalah ini masih belum teratasi, karena masih belum sesuai dengan kriteria hasil yang
tercantum dalam perencanaan keperawatan salah satunya adalah klien masih tampak
lemah dan semua kebutuhan klien masih dibantu oleh perawat dan keluarga jadi untuk
menyelesaikan masalah tersebut hendaknya intervensi yang telah penulis rencanakan
bisa dapat dilakukan atau teruskan oleh perawat ruangan.
3. Inkontinensia defekasi berhubungan dengan Kerusakan saraf motorik bawah
Masalah ini belum teratasi, karena belum sesuai dengan tujuan dan criteria hasil yang
tercantum pada bagian perencanaan keperawatan, klien masih belum bisa untuk
mengontrol pola BAB nya sehingga klien masih harus selalu di observasi untuk pola
BAB nya. Jadi untuk solusinya di harapkan kepada perawat dan keluarga untuk selalu
mengobservasi keadaan klien dan pola BAB nya.
4. Defisit perawatan diri;mandi berhubungan dengan Fraktur lumbalis
Masalah ini menjadi masalah yang teratasi. Karena kondisi klien sudah tampak bersih
dari sebelumnya dan sudah sesuai dengan criteria hasil.
5. Kurang Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajannya
informasi
Masalah ini menjadi masalah kedua yang berhasil setelah masalah defisit perawatan
diri, karena setelah dilakukan tindakan pembelajaran klien dan keluarga mampu
menjawab pertanyaan yang menjadi indikator pencapaian tingkat pemahaman sesuai
dengan perencanaan yang telah dibuat.
Dari kelima diagnosa diatas, baik yang teratasi sebagian maupun yang belum
teratasi, penulis telah melakukan kolaborasi untuk melanjutkan asuhan keperawatan
yang sesuai dengan permasalahan tersebut, serta melibatkan keluarga dalam perawatan.