Askep Tumor Mediastinum

71
KEPERAWATAN RESPIRASI II ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGANASAN PARU: TUMOR MEDIASTINUM DISUSUN OLEH: KELOMPOK IV KELAS AJ2/B17 Zun Nur’ainy 131411123044 C. Ketut Subiyanto 131411123045 Hasanah Eka W. 131411123048 Nur Maziyya 131411123050 Siwi Sabdasih 131411123052 Diyah Hita M. 131411123054 Dessy Era P. 131411123056

description

Tumor mediastinum

Transcript of Askep Tumor Mediastinum

KEPERAWATAN RESPIRASI II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGANASAN

PARU: TUMOR MEDIASTINUM

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK IV

KELAS AJ2/B17

Zun Nur’ainy 131411123044

C. Ketut Subiyanto 131411123045

Hasanah Eka W. 131411123048

Nur Maziyya 131411123050

Siwi Sabdasih 131411123052

Diyah Hita M. 131411123054

Dessy Era P. 131411123056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Mediastinum adalah suatu bagian penting dari thorax. Mediastinum terletak

di antara kavita pleuralis dan mengandung banyak organ penting dan struktur

vital. Proses penting yang melibatkan mediastinum mencakup emfisema, infeksi,

perdarahan serta banyak jenis kista dan tumor primer. Kelainan sistemik seperti

karsinoma metastatic dan banyak penyakit granulomatosa juga bisa terlibat dalam

mediastinum. Lesi terutama berasal dari esophagus, trakea, jantung dan pembuluh

darah besar biasanya berhubungan dengan susunan organik spesifik yang terlibat

daripada mediastinum. (Sabiston, 2013).

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu

rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri. Data frekuensi tumor

mediasinum di Indonesia antara lain didapat dari SMF Nedah Toraks RS

Persahabatan Jakarta dan RSUD Dr. Sutomo Surabaya. Pada tahun1970-1990 di

RS Persahabatan dilakukan operasi terhadap 137 kasus, jenis tumor yang

ditemukan adalah 32,2% teratoma, 24% timoma, 8% tumor syaraf, 4,3% limfoma.

Data RSUD Dr. Soetomo menjelaskan lokasi tumor pada mediastinum anterior

67% kasus, mediastinum medial 29% dan mediastinum posterior 25,5%. Dari

kepustakaan luar negeri diketahui bahwa jenis yang banyak ditemukan pada

tumor mediastinum anterior adalah limfoma, timoma dan germ cell tumor (PDPI,

2003).

Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat

dilakukan foto toraks untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan

dengan ukuran dan invasi atau kompresi terhadap organ sekitar, misalnya sesak

napas berat, sindrom vena kava superior (SVKS) dan gangguan menelan. Tidak

jarang pasien datang dengan kegawatan napas, kardiovaskuler atau saluran cerna

(PDPI, 2002).

Diagnosis yang lebih dini dan lebih tepat dari proses mediastinum telah

dimungkinkan dengan peningkatan penggunaan rontgen dada, tomografi

komputerisasi (CT Scan), teknik sidik radioisotope dan magnetic resonance

1

imaging (MRI), serta telah memperbaiki keberhasilan dalam mengobati lesi

mediastinum. Bersama dengan kemajuan dalam teknik diagnostik ini, kemajuan

dalam anestesi, kemoterapi, immunoterapi, dan terapi radiasi telah meningkatkan

kelangsungan hidup serta memperbaiki kualitas hidup. (Sabiston, 2013).

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah konsep tumor mediastinum dan asuhan keperawatan pada

klien dengan tumor mediastinum?

C. TUJUAN

1. Tujuan umum

Mengidentifikasi konsep tumor mediastinum dan asuhan keperawatan pada

klien dengan tumor mediastinum.

2. Tujuan khusus

a. Menjelaskan pengertian tumor mediastinum

b. Menjelaskan anatomi fisiologi paru

c. Menjelaskan klasifikasi tumor mediastinum

d. Menjelaskan etiologi tumor mediastinum

e. Menjelaskan patofisiologi tumor mediastinum

f. Menjelaskan staging tumor mediastinum

g. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik tumor mediastinum

h. Menjelaskan penatalaksanaan tumor mediastinum

i. Menjelaskan komplikasi tumor mediastinum

j. Menjelaskan pengkajian keperawatan pada kasus tumor mediastinum

k. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada kasus tumor mediastinum

l. Menjelaskan intervensi pada kasus tumor mediastinum

m. Menjelaskan Web of Causation (WOC) tumor mediastinum

2

D. MANFAAT

1. Mahasiswa memahami konsep dan proses asuhan keperawatan pada klien

yang menjalani tumor mediastinum sehingga menunjang pembelajaran mata

kuliah.

2. Mahasiswa mengetahui proses asuhan keperawatan tumor mediastinum yang

benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Menurut Desen (2013) mediastinum adalah bagian dari rongga toraks,

terletak di tengah-tengah rongga toraks, di antara rongga pleura kiri dan

kanan. Di anterior adalah sternum, posterior adalah vertebra, kedua sisi

adalah selaput pleura mediastinal, membuatnya terpisah dari rongga pleura.

Ke atas berhubungan dengan region servikal, ke bawah hingga otot

diafragma. Di dalamnya terdapat banyak organ dan struktur vital, seperti

jantung, pembuluh darah besar, trakea, esophagus, dan lain-lain. Karena

berhubungan dengan celah fasia superficial servikal, infeksi region servikal

dapat menjalar ke mediastinum. Selain itu, anomaly embrional dapat

menimbulkan jaringan aberan ataupun membentuk kista di setiap lokasi

mediastinum, tumor yang berasal dari glandula tiroid atau paratiroid dapat

bergeser ke mediastinum. Yang sangat jarang ditemukan adalah massa di

posterior kiri mediastinum dapat berupa ginjal torakal. Pembagian

mediastinum:

a. Pembagian superoinferior: batasnya adalah bidang datar setinggi angulus

sterni, di superior bidang itu disebut mediastinum superior bidang itu

disebut mediastinum superior, di bidang inferior bidang itu disebut

mediastinum inferior.

b. Pembagian anteroposterior: batasnya adalah ruang yang ditempati

pericardium, di anterior pericardium disebut mediastinum anterior, di

posterior pericardium disebut mediastinum posterior, pericardium terletak

di mediastinum media. Di mediastinum superior terdapat trakea,

esophagus, kelenjar timus, pembuluh darah besar, duktus torakikus, nervus

vagus, nervus rekuren laryngeal sinistra, nervus frenikus, dan trunkus

simpatikus, di media terdapat pericardium, jantung, aorta asenden,

pembuluh darah pulmonal, ujung bawah vena kava superior, bronkus

utama dan nervus frenikus, di posterior terdapat aorta desenden, vena

azigos, duktus torakikus, esophagus dan kelenjar limfe. Pembagian ini

4

memiliki makna tertentu dalam diagnosis klinis dan terapi terdapat

penyakit mediastinum.

2.2 Pengertian

Tumor primer mediastinum merupakan sekelompok tumor yang berasal dari

mediastinum, termasuk timoma, tumor tiroid torakal, teratoma, limfoma

maligna, lipoma, tumor neurogenik, dan lain lain, umumnya bersifat jinak

(Desen, 2013).

Karsinoma mediastinum merupakan suatu kondisi timbulnya hiperplasia

sel-sel jaringan pada area mediastinum secara progresif dalam bentuk

jaringan yang menimbulkan manifestasi tumor pada mediastinum.

Pertumbuhan sel-sel karsinoma dapat terjadi di dalam rongga mediastinum.

Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sel yang berploriferasi secara

mekanis akan menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya dan pelepasan

berbagai substantia pada jaringan normal seperti prostaglandin, radikal bebas

dan protein-protein reaktif secara berlebihan. Sebagai akibat lanjutan, timbulnya

karsinoma dapat meningkatkan daya merusak sel kanker terhadap jaringan

sekitarnya terutama jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah (Muttaqin,

2007).

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum

yaitu rongga di antara paru-paru kanan dan kiri yang berisi jantung, aorta, dan

arteri besar, pembuluh darah vena besar, trakea, kelenjar timus, saraf, jaringan

5

ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

2.3 Klasifikasi

Menurut Desen (2013) membagi klasifikasi tumor mediastinum dan

lokalisasinya menjadi sebagai berikut :

a. Tumor mediastinum superior

Yang tersering ditemukan adalah timoma dan tumor tiroid intratorakal

1) Timoma

Timoma adalah tumor epitel yang bersifat jinak atau tumor dengan

derajat keganasan yang rendah dan ditemukan pada mediastinum

anterior. Timoma termasuk jenis tumor yang tumbuh lambat

(Syahruddin, dkk.,2010).

Umumnya terletak di mediastinum anterosuperior atau

mediastinum anteriomedial, sebagian kecil kasus terletak di

mediastinum posterior atau lokasi lain dalam toraks, menempati

sekitar 1/3-1/5 dari tumor primer mediastinum, insiden pria dan

wanita seimbang. 30% bersifat ganas, 30% jinak, 40% potensial ganas

atau keganas rendah. Menurut karakteistik histologist dapat dibagi

menjadi jenis limfositik, jenis epithelial dan jenis campuran

limfoepitelial. Yang sering ditemukan adalah timoma jinak yang

didominasi sel epitel dan limfosit. Bila eksisi tidak tuntas, ada

kemungkinan kambuh dan invasi metastasis. Jadi, timoma dapat

dianggap bersifat keganasan rendah.

Pada orang-orang dewasa dengan Myasthenia Gravis, kelenjar

thymus tidak normal. Ini mengandung beberapa kelompok dari

indikasi sel imun dari lymphoid hyperplasia. Kondisi ini umumnya

hanya ditemukan pada limpa dan tunas getah bening pada saat reaksi

aktif imun. Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan

thymoma atau tumor pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak,

tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan

Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para

6

ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan

instruksi yang salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin

sehingga malah menyerang transmisi neuromuskular (MGI Indonesia,

2012)

2) Tumor tiroid intratorakal

Mencakup kelenjar tiroid aberan congenital dan kelenjar tiroid

retrosternal. Pertama adalah jaringan tiroid yang tertinggal dari massa

embrional di mediastinum. Kedua adalah kelenjar tiroid region

servikal yang menelusuri retrostrernum turun ke mediastinum

anterosuperior, umumnya terletak di anterior paratrakea, sebagian

kecil di posterior trakea. Pembesaran tiroid intratorakal umumnya

bersifat jinak dan asimtomatik. Ada kalanya terdapat adenokarsinoma

tiroid intratorakal. Bila massa menarik atau menekan trakea, dapat

timbul batuk iritasi, dispnea, gejala tersebut dapat bertambah parah

sewaktu berbaring terlentang atau memalingkan kepala. Tekanan pada

sternum atau veterbra dapat timbul gejala dada penuh, sakit punggung,

kadang kala timbul gejala hipertiroidisme. Bila timbul batuk hebat,

hemoptisis, suara parau, harus pikirkan kemungkinan tumor ganas

tiroid.

b. Tumor mediastinum anterior

Tumor mediastinum anterior yang sering ditemukan adalah teratoma.

Setengah kasus timbul gejala pada usia 20-40 tahun.

Teratoma adalah suatu tumor padat campuran, terbentuk dari jaringan

ectoderm, mesoderm dan entoderm, di dalamnya terdapat unsure kartilago,

7

otot polos, bronkus, mukosa usus, neurovascular. Teratoma dapat berubah

ganas menjadi karsinoma epidermoid atau adenokarsinoma.

c. Tumor mediastinum medial

Kebanyakan berupa tumor system limfatik. Yang sering ditemukan adalah

penyakit Hodgkin, sarcoma sel reticular, limfoma non Hodgkin. Ciri khas

umumnya berupa pembesaran kelenjar limfe mediastinum medial, tapi juga

dapat menginvasi jaringan paru hingga membentuk lesi infiltrasi. Riwayat

penyakit ini pendek, progesi gejala cepat, sering diserta limfadenopati

generalisata, demam tak beraturan, hepatosplenomegali, anemia.

d. Tumor mediastinum posterior

Hampir semuanya adalah tumor neurogenik. Tumor neurogenik merupakan

jenis tumor yang ditemukan diantara tumor mediastinum, umumnya berasal

dari saraf simpatis, sebagian kecil dari saraf perifer. Biasanya timbul dari

saraf interkostal atau radiks saraf spinal. Maka sebagian besar terletak di

lekuk paravertebral di mediastinum posterior. Secara histologist menurut

asal jaringannya biasanya tumor neurogenik dibagi menjadi 3 jenis:

1) Berasal dari sel sarung saraf (neurilema)

2) Berasal dari sel saraf

3) Berasal dari sel paraganglion

Menurut Syahruddin (2010), klasifikasi dari tumor mediastinum adalah :

1) Timoma

Timoma adalah tumor epitel yang bersifat jinak atau tumor dengan

derajat keganasan yang rendah dan ditemukan pada mediastinum

anterior. Timoma termasuk jenis tumor yang tumbuh lambat. Sering

terjadi invasi lokal ke jaringan sekitar tetapi jarang bermetastasis ke luar

toraks. Kebanyakan terjadi setelah usia lebih dari 40 tahun dan jarang

dijumpai pada anak dan dewasa muda. Jika pasien datang dengan

keluhan maka keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri dada, batuk,

sesak atau gejala lain yang berhubungan dengan invasi atau penekanan

tumor ke jaringan sekitarnya. Satu atau lebih tanda dari sindrom

8

paratimik sering ditemukan pada pasien timoma, misalnya miastenia

gravis, hipogamaglobulinemi dan aplasia sel darah merah.

Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi untuk timoma, yaitu :

1) Timoma (klasifikasi Muller Hermerlink)

a) Tipe meduler

b) Tipe campuran

c) Tipe kortikal predominan

d) Tipe kortikal

2) Timik karsinoma

a) Low grade

b) High grade

Staging

a. Staging berdasarkan sistem Masaoka

1. Stage I, Makroskopis berkapsul, tidak tampak invasi ke kapsul

secara mikroskopis

2. Stage II, Invasi secara makroskopis ke jaringan lemak sekitar

pleura mediastinum atau invasi ke kapsul secara mikroskopis

3. Stage III, Invasi secara makroskopis ke organ sekitarnya

4. Stage IV.A, Penyebaran ke pleura atau perikard

5. Stage IV.B, Metastasis limfogen atau hematogen.

Masaoka membagi staging berdasarkan penampakan mikroskopis dan

makroskopis. Tumor timoma noninvasif masih terbatas pada kelenjar

timus dan tidak menyebar ke organ lain. Semua sel tumor terdapat atau

terbungkus oleh kapsul dan secara mikroskopis tidak terlihat invasi ke

kapsul. Jika sel tumor invasi telah mencapai kapsul maka dikategorikan

timoma invasif (timoma ganas).

Manifestasi Klinis

Sebagian besar Timoma tidak memberikan keluhan atau gejala, sering

ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan foto dada. Gejala

klinik  yang timbul berupa nyeri dada, batuk, sesak, atau keluhan yang

berhubungan dengan penekanan organ-organ sekitar tumor berupa stridor

9

dan wheezing bila terjadi penekanan pada bronkus, disfagi pada

penekanan esophagus, bronkospasme pada penekanan nervus vagus, juga

gejala lain berupa nyeri dada retrosternal, dan sindroma vena kava

superior (Indah & Wulandari,2010).

Pemeriksaan Penunjang

1. CT-Scan toraks dengan kontras

Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan

tumor secara lebih baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan

perkiraan jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma. CT-Scan juga

dapat menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari

apakah telah terjadi invasi atau belum.

2. EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis

timoma atau tumor-tumor lainnya. Kegunaan pemeriksaan ini adalah

mencari kemungkinan miestenia gravis atau myesthenic reaction.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan timoma sangat bergantung pada invasif atau tidaknya

tumor, staging dan klinis penderita. Terapi untuk timoma adalah bedah,

tetapi sangat jarang kasus datang pada stage I atau noninvasif maka

multimodaliti terapi (bedah, radiasi dan kemoterapi) memberikan hasil

lebih baik.

Jenis tindakan bedah untuk timoma adalah Extended Thymo

Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet yaitu mengangkat kelenjar

timus beserta jaringan lemak sekitarnya. ETT+ ER yaitu tindakan reseksi

komplet, sampai dengan jaringan perikard dan debulking reseksi

sebagian yaitu pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Jenis

operasi ini sangat bergantung pada staging dan klinis penderita. Reseksi

komplet diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur

harapan hidup.

Radioterapi tidak direkomendasikan untuk timoma yang telah

menjalani reseksi komplet tetapi harus diberikan pada timoma invasif

atau reseksi sebagian untuk kontrol lokal, seperti yang dilaporkan oleh

Mujiantoro dkk. Dosis radiasi 3500-5000 cGy. Untuk mencegah terjadi

10

radiation-induced injury pemberian radiasi lebih dari 6000 cGy harus

dihindarkan..

Kemoterapi diberikan dengan berbagai rejimen tetapi hasil terbaik

adalah cisplatin based rejimen. Rejimen yang sering digunakan adalah

kombinasi sisplatin, doksorubisin dan siklofosfamid (CAP). Rejimen lain

adalah doksorubisin, sisplatin, vinkristin dan siklofosfamid (ADOC).

Rejimen yang lebih sederhana yaitu sisplatin dan etoposid (PE) juga

memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda.

Prognosis

Banyak faktor yang menentukan prognosis penderita timoma. Masaoka

menghitung umur tahan hidup 5 tahun berdasarkan staging penyakit,

92,6% untuk stage I, 85,7% untuk stage II, 69,6% untuk stage III dan

50% untuk stage IV.

2) Tumor sel germinal

Tumor sel germinal terdiri dari tumor seminoma, teratoma dan

nonseminoma. Tumor sel germinal di mediastinum lebih jarang

ditemukan daripada timoma, lebih sering pada laki-laki dan usia dewasa

muda. Kasus terbanyak adalah merupakan tumor primer di testis

sehingga bila diagnosis adalah tumor sel germinal mediastinum, harus

dipastikan bahwa primer di testis telah disingkirkan. Lokasi terbanyak di

anterior (superoanterior) mediastinum.

Klasifikasi

Klasifikasi histologi tumor sel germinal yaitu :

a. Seminoma

Seminoma adalah tumor yang sensitif terhadap radiasi dan

kemoterapi.

b. Nonseminoma

Merupakan tumor-tumor yang bersifat radioresisten.

1) Embrional

Karsinoma embrional terdiri dari sel yang kurang berdiferensiasi

dengan gambaran epithelial. Sekitar 20% dari kanker testis, terjadi

11

pada usia 20 sampai 30 tahun dan sangat ganas. Pertumbuhannya

sangat cepat dan menyebar ke paru-paru dan hati

2) Koriokarsinoma

Tumor yang sangat ganas yang dapat terjadi dalam gonad maupun

ekstragonad.

3) Yolk sac Carcinoma

Karsinoma yolk sac juga disebut tumor sinus endodermal karena

menyerupai sinus endodermal plasenta tikus. Secara histologis,

adanya benda Schiller-Duval adalah diagnostik kenaikan kadar α-

fetoprotein (AFP) serum merupakan tanda biologik

c. Teratoma

Teratoma merupakan neoplasma yang terdiri dari beberapa unsur

jaringan yang asing pada daerah dimana tumor tersebut muncul.

Teratoma paling sering ditemukan pada mediatinum anterior.

Teratoma yang histologik benigna mengandung terutama derivate

ectoderm (kulit) dan entoderm (usus)

1) Jinak (benign)

2) Ganas (malignant)

a. Dengan unsur sel germinal

b. Dengan unsur non-germinal

d. Immature

Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan

staging penyakit. Bedah adalah terapi pilihan untuk teratoma jinak,

teratoma ganas diterapi dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan

reseksi setelah kemoterapi. Terapi untuk seminoma tergantung pada

apakah masih resectable atau tidak, sedangkan yang nonseminoma

diberikan kemoterapi.

Staging

Sistem klasifikasi TNMS AJCC membagi stadium I penyakit

menjadi beberapa subdivisi yakni stadium Ia dan Ib, tergantung pada

besarnya stadium T, begitu juga dengan stadium Is menurut kadar

penanda tumor dalam serum; stadium II dibagi menjadi stadium IIa, IIb,

12

dan IIc tergantung pada volume keterlibatan nodus limfatikus

retroperitoneal. Dan stadium III dibagi menjadi stadium IIIa, IIIb, dan

IIIc tergantung pada derajat keterlibatan metastasis dan kadar serum

penanda tumor.

Manifestasi Klinis

Secara histologi tumor di mediastinum sama dengan tumor sel

germinal di testis dan ovarium. Secara radiologi teratoma tampak bulat

dan sering lobulated dan mengandung jaringan lunak dengan elemen

cairan dan lemak, kalsifikasi terlihat pada 20-43% kasus. Seminoma

tampak sebagai massa besar yang homogen. Penampakan nonseminoma

ganas adalah massa heterogen dengan pinggir ireguler yang disebabkan

invasi ke jaringan sekitarnya. Untuk membedakan seminoma dengan

nonseminoma digunakan serum marker beta-HCG dan alfa-fetoprotein.

Penatalaksanaan

Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan

staging penyakit. Bedah adalah terapi pilihan untuk teratoma jinak,

teratoma ganas diterapi dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan

reseksi setelah kemoterapi. Terapi untuk seminoma tergantung pada

apakah masih resectable atau tidak, sedangkan yang nonseminoma

diberikan kemoterapi.

Histologi Terapi

Teratoma Jinak

Teratoma ganas

Seminoma (Resectable)

Metastasis

Nonseminoma

Bedah

Kemoterapi dan reseksi

Bedah & radiasi & kemoterapi

Kemoterapi

kemoterapi

Regimen kemoterapi untuk teratoma ganas antara lain sisplatin,

vinkristin, bleomisin dan methotrexate, etoposid, daktinomisin dan

siklofosfamid.

13

3) Tumor Saraf

Tumor saraf dapat tumbuh dari sel saraf disembarang tempat, lebih sering

di mediastinum posterior. Tumor itu dapat bersifat jinak atau ganas dan

biasanya diklasifikasikan berdasarkan jaringan yang membentuknya,

dibagi atas neural sheath yang sering bersifat jinak dan neurofibroma yang

paling sering ditemukan.

Klasifikasi

Klasifikasi histologi tumor saraf yaitu

a. Berasal dari saraf tepi

1. Neurofibroma

Neurofibroma adalah jenis tumor saraf yang terbanyak ditemukan.

Tumor ini merupakan priliferasi endoneural matriks dengan

dominasi dari sel schwann, yang berada diselubung sara

2. Neurilemoma

Merupakan salah satu jenis tumor saraf jinak berkapsul,

berkembang lambat, berasal dari sel schwann yang berdifferensiasi,

yang berlokasi dalam tulang tetapi kurang dari 1% tumor dalam

tulang.

3. Neurosarkoma

Neurosarcoma biasa berasal dari nurofibroma atau schavannoma.

Tumbuh pada syaraf perifer yang letaknya dalam. Sifatnya tidak

begitu ganas. Mula – mula setempat dengan batas – batas yang

tegas tetapi lambat laun akan tumbuh infiltratif ke jaringan

sekitarnya dan menimbulkan residif.

b. Berasal dari ganglion simpatik

1. Ganglioneuroma & Ganglioneoroblastoma

Ganglioneuroma dan ganglioneuroblastoma adalah tumor-tumor

sistem saraf simpatis yang berasal dari neural crest sympathogonia,

yang merupakan sel-sel yang tidak berdiferensiasi pada sistem saraf

simpatis.

14

2. Neuroblastoma

Kanker yang berkembang dari sel-sel saraf yang belum matang

yang ditemukan di beberapa bagian tubuh.

c. Berasal dari jaringan paraganglionik

1. Feokromositoma

Kondisi medis yang ditandai dengan pertumbuhan abnormal dari

sel-sel (tumor) yang secara normal nonkanker pada salah satu atau

kedua kelenjar adrenal.

2. Kemodektoma

Neoplasma pada kepala dan leher yang berasal dari sel-sel krista

neralis dan yang secara histologis menyerupai kelenjar adrenal

pasangannya, feokromasitoma.

Manifestasi Klinis

Banyak Tumor Nerogenik menimbulkan beberapa gejala dan

ditemukan pada foto thorax rutin. Gejala biasanya merupakan akibat dari

penekanan pada struktur yang berdekatan. Nyeri dada atau punggung

biasanya akibat kompresi atau invasi tumor pada nervus interkostalis atau

erosi tulang yang berdekatan. Batuk dan dispneu merupakan gejala yang

berhubungan dengan kompresi batang trakeobronchus. Sewaktu tumor

tumbuh lebih besar di dalam mediastinum posterosuperior, maka tumor ini

bisa menyebabkan sindrom pancoast atau Horner karena kompresi

peleksus brakhialis atau rantai simpatis servikalis.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk semua tumor neurogenik adalah

pembedahan, kecuali neuroblastoma. Tumor ini radisensitif sehingga

pemberian kombinasi radio kemoterapi akan memberikan hasil yang baik.

Pada neurilemona (Schwannoma), mungkin perlu diberikan kemoterapi

adjuvan, untuk mencegah rekurensi.

15

2.4 Etiologi

Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah:

a. Penyebab kimiawi

Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih

cerobong asap. Zat mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.

b. Faktor genetik (biomolekuler)

Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan

pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.

c. Faktor fisik

Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik

trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet

yang berasal ari sinar matahari maupun sinar lain seperti rontgen dan

radiasi bom atom.

d. Faktor nutrisi

Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan

oleh jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya

tumor.

e. Penyebab bioorganisme

Misalnya virus, pernah dianggap sebagai kunci penyebab tumor dengan

ditemukannya hubungan virus dengan penyakit tumor pada binatang

percobaan. Namun ternyata konsep itu tidak berkembang lanjut pada

manusia.

f. Faktor hormone

Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian

peranannya belum jelas. Pengaruh hormone dalam pertumbuhan tumor

bisa dilihat pada organ yang banyak dipengaruhi oleh hormone tersebut.

16

2.5 Patofisiologi

17

ketakutan/ancaman akan kematian, tindakan

diagnostik dan penyakit kronis

MK: Cemas

Faktor KimiawiFaktor biomelokuler (genetik)Faktor FisikFaktor NutrisiFaktor bioorganismeFaktor Hormon

Initiation agent (unsur kimia, fisik,

dan biologis)

Mutasi gen

Kerusakan struktur sel

(DNA)

Tekanan terhadap organ, pembuluh darah & jaringan di

sekitar

Tumor Mediastinum

Menonaktifkan gen supresor kanker

Mengaktifkan onkogen Mengganti gen yang mengatur apoptosis

Terbentuk formasi tumor

Terbentuk neoplasma

Memicu terbentuknya sel tumor

Trakea tertekan

Kompresi esofagus

Nervus laringeus inferior tertekan

sindroma vena cava superior

Nervus vagus

tertekan

Serangan batuk atau

bronkospasme

Gangguan menelan

Suara serakBatuk, dispnea, pneumonitis

berulang, dan stridor

MK: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan

tubuh

MK: Gangguan komunikasi

verbal

MK: Nyeri Akut

Parutertekan

Vena Kava Superiortertekan

Gangguan difusi

Nervus interkostalis

tertekan

Nyeri dada

Nervus frenikus tertekan

Paralisis diafragma

MK: Bersihan jalan napas tidak efektif

MK: Gangguan pertukaran gas

MK: Bersihan jalan napas tidak

efektif

MK: Pola napas tidak

efektif

Radioterapi Kemoterapi Pembedahan

Perubahan kulit yang diterapi

Mual dan muntah

Diskontinuitas jaringan

MK: Risiko kerusakan integritas kulit

MK: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

MK: Nyeri Akut

MK:Risiko Infeksi

18

2.6 Manifestasi Klinis

Sebagian besar pasien tumor mediastinum akan memperlihatkan gejala pada

waktu presentasi .Kebanyakan kelompok melaporkan bahwa antara 56 dan 65

persen pasien menderita gejala pada waktu penyajian, dan penderita dengan lesi

ganas jauh lebih mungkin menunjukkan gejala pada waktu presentasi. Tetapi,

dengan peningkatan penggunaan rontgenografi dada rutin, sebagian besar massa

mediastinum terlihat pada pasien yang asimtomatik. Adanya gejala pada pasien

dengan massa mediastinum mempunyai kepentingan prognosis dan

menggambarkan lebih tingginya kemungkinan neoplasma ganas.

Massa mediastinum bisa ditemukan dalam pasien asimtomatik, pada foto

thorax rutin atau bisa menyebabkan gejala karena efek mekanik local sekunder

terhadap kompresi tumor atau invasi struktur mediastinum. Gejala sistemik bisa

nonspesifik atau bisa membentuk kompleks gejala yang sebenarnya patogmonik

untuk neoplasma spesifik.

Keluhan yang biasanya dirasakan adalah :

1. Batuk atau stridor karena tekanan pada trachea atau bronchi utama.

2. Gangguan menelan karena kompresi esophagus.

3. Vena leher yang mengembang pada sindroma vena cava superior.

4. Suara serak karena tekanan pada nerves laryngeus inferior.

5. Serangan batuk dan spasme bronchus karena tekanan pada nervus vagus.

Walaupun gejala sistemik yang samar-samar dari anoreksia, penurunan berat

badan dan meningkatnya rasa lelah mungkin menjadi gejala yang disajikan oleh

pasien dengan massa mediastinum, namun lebih lazim gejala disebabkan oleh

kompresi local atau invasi oleh neoplasma dari struktur mediastinum yang

berdekatan.

Nyeri dada timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior.

Nyeri dada yang serupa biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding

dada posterior dan nervus interkostalis. Kompresi batang trakhebronkhus biasanya

memberikan gejala seperti dispneu, batuk, pneumonitis berulang atau gejala yang

agak jarang yaitu stridor. Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau

gejala obstruksi. Keterlibatan nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus

brakhialis masing-masing menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom Horner

dan sindrom Pancoast. Tumor mediastinum yang meyebabkan gejala ini paling

sering berlokalisasi pada mediastinum superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa

menyebabkan paralisis diafragma.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Desen (2013) tumor mediastinum secara morfologis sulit dibedakan

dari tumor primer maupun sekunder paru, limfadenopati, hemangioma, dll.

Metode pemeriksaan yang sering dipakai adalah :

a. Sinar X : dapat menunjukkan lokasi, kontur, densitas, ada tidaknya kalsifikasi

atau osifikasi, dll, sehingga dapat menentukan secara awal jenis tumor.

Pemeriksaan minum barium dapat mengetahui apakah esofagus atau organ

sekitar terketan.

b. Bronkoskopi atau esofagoskopi fiber : membantu menunjukkan kondisi dan

derajat desakan pada bronkus atau esofagus, untuk menilai kemungkinan di

operasi.

c. Mediastinoskopi : menunjukkan ada tidaknya pembesaran kelenjar limfe

paratrakea, subkarina, juga dapat melakukan biopsi untuk diagnosis eitologik.

d. CT : terhadap tumor mediastinum anterior, limfadenopati, lesi jaringan lemak

mediastinum (misal, lipoma) lebih dapat diandalkan dibandingkan sinar X.

Akurasi CT dalam diagnosis tumor dan limfadenopati mediastinum dapat

mencapai 90% lebih.

e. MRI : memiliki kelebihan seperti parameter banyak, daya diferensisasi

jaringan lunak tinggi, arah potongan fleksibel, gambar tak memeliki artefak

tulang, aman dan handal, tanpa rudapaksa radiasi. Memiliki kelebihan khusus

dalam diagnosis tumor mediastinum.

f. Biopsi kelenjar limfe leher : tuberkulosis kelnejar limfe dan limfoma bronkial

sering mengenai kelenjar limfe leher, biopsi kelenjar limfe dapat membantu

diagnosis.

g. Pemeriksaan isotop : kecurigaan tiroid intratorakal dapat diperiksa dengan

isotop I-131, ini dapat membantu diagnosis tiroid ektopik, tumor tiroid.

20

h. Torakotomi eksplorasi : dengan semua pemeriksaan belm dapat memastikan

sifat tumor, bila kondisi fisik umum memungkinkan, dapat dilakukan

torakotomi eksplorasi.

2.8 Diagnosis Banding

Penyakit berikut harus dibedakan dari tumor mediastinum :

a. Karsiparu tipe sentral : terdapat batuk, ekspektorasi dan gejala pernafasan

lain, sinar X menunjukkan massa dihilusparu, berbentuk setengah bola atau

lobulasi. Pemeriksaan bronkus sering dapat menemukan tumor, dalam sputum

dapat ditemukan sel tumor.

b. Tuberkulosis kelenjar limfe mediastinum : umumnya pada anak atau remaja,

sering kali asimtomatik. Sebagian kecil disertai demam rendah, keringat

malam, dan gejalatoksikosis lain. Di hilus paru dapat tampak massa bulat atau

lobulasi, sering disertai lesi tuberkulosis paru. Kadangkala tampak bercak

kalsifikasi di kelenjar limfe. Bila diagnosis banding sulit, dapat dilakukan tes

tuberkulin atau diberikan terapi antituberkulosis jangka pendek.

c. Aneurisma aorta : umunya pada pasien usia lanjut. Sering terdapat riwayat

hipertensi, hiperlipidemia, dll. Pemeriksaan fisik dapat terdengar bruit, pada

fluoroskopi tampak pulsasi dilatasi. Aortagrafi retrograd dapat memastikan

diagnosis.

d. Sarkoidosis : sarkoidosis merupakan penyakit sistemik yang relatif sering

ditemukan. Etiologinya belum jelas, karakteristiknya adalah timbulnya

granuloma epiteloid nonkaseosa meluas, mereka akhirnya akan diabsorpsi

atau berubah menjadi jaringan ikat. Sering kali mengenai banyak organ

sekaligus, tersering mengenai banyak organ sekaligus, tersering mengenai

hilus paru, kelenjar limfe mediastinum dan organ paru, lalu mata, kulit dan

kelenjar limfe superfisial. Diagnosis atas dasar riwayat penyakit, foto ronsen,

tas tuberkulin ‘OT’ sebagai reaksi lambat melemah, meningkatnya enzim

konversi angiotensin (SACE), dll. Biopsi dan pemeriksaan histologik lebih

mudah menegakkan diagnosis.

e. Kista dermoid : merupakan kista berisi cairan, dinding kista dari jaringan ikat,

dinding dalam dilapisi epitel skuamosa berlapis. Didalam kista berisi jaringan

21

dari dari ektoderm yaitu kulit, rambut, gigi, dll. Biasanya unilokular, ada

kalanya bilokular atau multilokular.

f. Kista bronkus : dapat timbul dilokasi medistinum manapun, terletakk

disamping trakea atau bronkus atau dekat karina bronkus. Kista bronkus

umumnya kongenital, sering ditemukan pada anak kurang dari 10 tahun.

Biasanya asimtomatik, jika berhubungan dengan bronkus atau pleura, maka

terbentuk fistulasi, bila terinfeksi timbul batuk, hemoptisis, sputum purulen,

bahkan piotoraks. Foto ronsen menunjukkan bagian superomedial,

mediastinum medial, di dekat trakea atau bronkus utama, tampak bayangan

massa bulat atau oval, densitas homogen, berbatas tegas, tanpa lobulasi atau

kalsifikasi. Jika kista berhubungan dengan bronkus, dapat tampak permukaan

cairan.

2.9 Penatalaksanaan

Menurut Syahruddin (2009) penatalaksanaan tumor mediastinum sangat

bergantung pada sifat tumor, jinak atau ganas. Tindakan untuk tumor

mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah, sedangkan untuk tumor ganas

berdasarkan jenisnya. Jenis tumor mediastinum ganas yang paling sering

ditemukan adalah timoma (bagian dari tumor kelenjar timus), sel germinal

dan tumor saraf. Secara umum terapi untuk tumor mediastinum ganas adalah

multimodaliti yaitu bedah, kemoterapi dan radiasi. Beberapa jenis tumor

resisten terhadap radiasi dan/atau kemoterapi sehingga bedah menjadi

pengobatan pilihan, tetapi banyak jenis lainnya harus mendapatkan tindakan

multimodaliti. Kemoradioterapi dapat diberikan sebelum bedah (neoadjuvan)

atau sesudah bedah (adjuvan). Pilihan terapi untuk timoma ditentukan oleh

staging penyakit saat diagnosis. Untuk tumor sel germinal sangat bergantung

pada subtipe tumor, tumor saraf dibedakan berdasarkan jaringan yang

dominan pada tumor.

1) Timoma

Stage Penatalaksanaan

Stage I Extended Thymo Thymectomy (ETT)

Stage II ETT + Radioterapi

22

Stage III ETT + Extended Resection (ER) + Radioterapi +

Kemoterapi

Stage

IV.A

Debulking + Kemoterapi + Radioterapi

Stage IV.B Kemoterapi + Radioterapi + Debulking

Penatalaksanaan timoma sangat bergantung pada invasif atau tidaknya

tumor, staging dan klinis penderita. Terapi untuk timoma adalah bedah, tetapi

sangat jarang kasus datang pada stage I atau noninvasif maka multimodaliti

terapi (bedah, radiasi dan kemoterapi) memberikan hasil lebih baik. Jenis

tindakan bedah untuk timoma adalah Extended Thymo Thymectomy (ETT)

atau reseksi komplet yaitu mengangkat kelenjar timus beserta jaringan lemak

sekitarnya. ETT+ ER yaitu tindakan reseksi komplet, sampai dengan jaringan

perikard dan debulking reseksi sebagian yaitu pengangkatan massa tumor

sebanyak mungkin. Jenis operasi ini sangat bergantung pada staging dan

klinis penderita. Reseksi komplet diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan

meningkatkan umur harapan hidup.

Radioterapi tidak direkomendasikan untuk timoma yang telah menjalani

reseksi komplet tetapi harus diberikan pada timoma invasif atau reseksi

sebagian untuk kontrol lokal.Kemoterapi diberikan dengan berbagai rejimen

tetapi hasil terbaik adalah cisplatin based rejimen. Rejimen yang sering

digunakan adalah kombinasi sisplatin, doksorubisin dan siklofosfamid (CAP).

Rejimen lain adalah doksorubisin, sisplatin, vinkristin dan siklofosfamid

(ADOC). Rejimen yang lebih sederhana yaitu sisplatin dan etoposid (PE)

juga memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda.

2) Tumor sel germinal

Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan staging

penyakit. Bedah adalah terapi pilihan untuk teratoma jinak, teratoma ganas

diterapi dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan reseksi setelah

kemoterapi. Terapi untuk seminoma tergantung pada apakah masih resectable

atau tidak, sedangkan yang nonseminoma diberikan kemoterapi.

23

Penatalaksaan tumor sel germinal

a.

Seminoma

Untuk seminoma yang resectable terapi multimodaliti yaitu bedah, radiasi

dan kemoterapi memberikan umur tahan hidup 5 tahun lebih dari 90%.

Kriteria resectable adalah tanpa gejala (asymptomatic), massa masih terbatas

di mediastinum anterior dan tidak ada metastasis lokal (intratoraks) dan/atau

metastasis jauh. Sedangkan untuk kasus yang bermetastasis diberikan

kemoterapi. Terapi radiasi atau kemoterapi sebagai pilihan terbaik untuk

seminoma masih diperdebatkan. Seminoma sangat radiosensitif, dosis radiasi

maka reseksi komplet adalah 4500-5000 cGy. Kemoterapi yang diberikan

adalah cisplatin based, rejimen yang sering digunakan mengandung

vinblastin, bleomisin dan sisplatin.

b. Nonseminoma

Tumor jenis ini jarang ditemukan, bila ditemukan lebih sering pada laki-

laki dewasa muda. Cisplatin based kemoterapi adalah terapi untuk golongan

ini dan kadang dilakukan operasi pascakemoterapi (postchemoterapy

adjuctive surgery). Rejimen yang digunakan sisplatin, bleomisin dan

etoposid. Tetapi ada rejimen yang terdiri dari sisplatin dan bleomisin yang

diberikan 4 siklus.

c. Teratoma ganas

Regimen kemoterapi untuk teratoma ganas antara lain sisplatin, vinkristin,

bleomisin dan methotrexate, etoposid, daktinomisin dan siklofosfamid.

24

Histologi Terapi

Teratoma jinak

Teratoma ganas

Seminoma (Resectable)

Metastasis

Nonseminoma

Bedah

Kemoterapi + reseksi

Bedah + radiasi + kemoterapi

Kemoterapi

Kemoterapi

3) Tumor saraf

Total reseksi adalah terapi pilihan, jika sel bersifat ganas atau reseksi tidak

komplet maka radiasi pascabedah sangat dianjurkan. Pada jenis ganas,

misalnya neuroblastoma yang sulit dibedah, kemoterapi dilakukan sebelum

pembedahan. Penatalaksanaan lainnya yang dilakukan pada klien yang

mengalami tumor mediastinum meliputi tindakan operatif dan konservatif

(Desen, 2013).

a. Operasi

Sebagian besar tumor mediastinum primer bila tidak ada kontraindikasi,

maka harus dioperasi. Meskipun tumor jinak atau kista, sesuai untuk

dioperasi. Mengenai seleksi pola operasi didasarkan pada kekhususan pasien

dan tumor dapat dengan torakotomi biasa atau tindakan mikroinvasif dengan

torakoskop (VATS). Tumor ganas mediastinum yang telah mengginvasi

organ sekitar tak dapat dioperasi atau sudah bermetastasis jauh merupakan

kontrainndikasi operasi, didasarkan atas jenis patologinya diberikan

radioterapi atau kemoterapi. Hal yang perlu diperhatikan:

1) Insisi operasi

Untuk timoma sebaiknya memakai insisi anterolateral. Untuk tumor

neurogenik kebanyakan dengan insisi posteralateral. Untuk tumor

mediastinum yang sangat besar harus dibuat insisi yang cukup besar.

Selain itu, bagi fasilitas yang memiliki torakoskop, sebagian tumor

mediastinum dapat dioperasi dengan torakoskop.

2) Penanganan miastenia

Terapi tumor kelenjar timus terutama dengan operasi, kecuali secara

klinis di pastikan tumor tak dapat dioperasi atau terdapat metastasis

ekstratorakal. Terlepas dari betapa kecilukuran tumor, harus dilakukan

timektomi total da pembersihan jaringan lemak mediastinum anterior,

untuk mencegah rekurensi. Operasi harus mengeksisi pleura, perikard,

paru, dll, yang terkena bagian yang tak dapat dieksisi diberi klip logam

sebagai pertanda untuk radioterapi pasca operasi. Hubungan timoma dan

miastenia gravis relatif rumit, dewasa ini belum jelas benar.

25

Timoma dengan miastenia gravis, begitu terdiagnosis haru segera

mengangkat tumor dan kelenjar timus. Preoperasi diberikan hormon dan

obat antikolinesterase, perhatikan aturan pemakaian obat untuk mengatai

gejala dan memperbaiki kondisi fisik. Operasi harus dikerjakan dalam

kondisi penyakit yang stabil, dengan dosis obat relatif kecil. Terhadap

pasien krisis miastenik, kondisinya harus diredakan sebelum dilakukan

operasi. Segera sesudah operasi, karena stress operasi, ada kemungkinan

gejala memberat temporer atau timbul krisis miastenik. Oleh karena itu

pasca operasi harus diobservasi ketat, siapkan trakeotomi, penggunaan

respirator untuk membantu napas setiap saat. Terhadap timoma invasif

disertai miastenia seluruh tubuh, pasca operasi dapat dilakukan

trakeotomi preventif.

3) Masalah operasi tumor neurogenik berbentuk barbel

Tumor neurogenik berbentuk barbel sering tumbuh didalam foramen

vertebral, separuh tumbuh diluar foramen vertebral, separuh tumbuh

didalam foramen vertebral, ketika dieksisi mudah timbul ruptur dan

perdarahan dari pleksus vaskular intraforamen vertebral. Preoperasi dapat

dilakukan angiografi pembuluh darah interkostal, untuk memperjelas

pembuluh darah pemasok tumor, lalu dilakukan embolisasi untuk

mengurangi perdarahan intraoperasi. Bila terjadi perdarahan saat operasi,

durameter dapat dijahit dengan jarum bulat kecil, tergantung pada

ligamen paravertebral, kemudian disumbat dengan spons hemostasis.

Tumor dieksisi setinggi foramen vertebral, lalu dikauter dengan pisau

elektrik.

4) Masalah eksisi tumor sangat besar

Karena tumor dalam jangka panjang menekan trakea menimbulkan

trakeomalasia pasca operasi dapat terjadi kolaps trakea hingga timbul

asfiksia. Saat operasi dapat menggantungkan trakea yang melunak itu

pada jaringan didekatnya untuk mencegah timbulnya asfiksia.

5) Eksisi kista yang saangat besar

26

Terhadap kista yang sangat besar, jika mempengaruhi tindakan operasi,

dapat terlebih dahulu mengeluarkan sebagian cairannya agar volume

tumor menyusut, barulah dlakukan striping intrakista.

b. Tindakan konservatif

Menurut Mutaqqin (2007) tindakan konservatif terdiri atas :

1) Pengurangan gejala-gejala dasar seperti penurunan gejala sesak nafas dan

koreksi gangguan keseimbangan gas.

2) Koreksi/perbaikan kondisi umum serta pencegahan komplikasi.

3) Pemenuhan kebutuhan nutrisi, cairan, dan elektrolit serta aktivitas merupakan

langkah yang perlu diambil secara terpadu untuk meningkatkan fungsi dasar

dan perbaikan kondisi umum klien.

4) Adaptasi biologis dan psiologis.

5) Penggunaan kemoterapi seperti sitostatika mungkkin digunakan dalam teerapi

kausatif.

3.0 Komplikasi

Komplikasi dari kelainan mediastinum mereflekikan patologi primer yang

utama dan hubungan antara struktur anatomic dalam mediastinum. Tumor

atau infeksi dalam mediastinum dapat menyebabkan timbulnya komplikasi

melalui: perluasan dan penyebaran secara langsung, dengan melibatkan

struktur-struktur (sel-sel) bersebelahan, dengan tekanan sel bersebelahan,

dengan menyebabkan sindrom paraneoplastik, atau melalui metastatic di

tempat lain. Empat komplikasi terberat dari penyakit mediastinum adalah:

1. Obstruksi trachea

2. Sindrom Vena Cava Superior

3. Invasi vascular dan catastrophic hemorrhage, dan

4. Rupture esofagus

27

3.1 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

1. Identitas

a. Nama pasien

b. Umur : Karsinoma cenderung ditemukan pada usia dewasa

c. Jenis kelamin : Laki-laki lebih beresiko daripada wanita

d. Suku /Bangsa

e. Pendidikan

f. Pekerjaan

g. Alamat

2. Keluhan utama

Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya sesak nafas dan nyeri

dada yang berulang dan tidak khas, mungkin disertai/tidak disertai dengan

batuk atau batuk darah. Pada beberapa kasus, kebanyakan klien mencari

pelayanan medis karena keluhan infeksinya. Predisposisi penyakit saluran

pernafasan lain seperti ISPA dan influenza sering terjadi dalam rentang

waktu yang relatif lama dan berulang.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit saluran pernafasan lain seperti ISPA, influenza sering terjadi

dalam rentang waktu yang relatif lama dan berulang, adanya riwayat tumor

pada organ lain.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya anggota keluarga yang menderita tumor paru ataupun tumor organ

lain.

5. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual

Adanya kesimpulan penekanan diagnosis medis karsinoma akan

memberikan dampak yang luar biasa terhadap keadaan status psikologis

klien. Mekanisme koping biasanya maladaptif yang diikuti perubahan

mekanisme peran dalam keluarga, kemampuan ekonomi untuk

pengobatan, serta prognosis yang tidak jelas merupakan faktor-faktor

pemicu kecemasan dan ketidakefektifan koping individu dan keluarga.

28

6. Pemeriksaan Fisik Fokus

Pemeriksaan Per Sistem

a. Sistem pernafasan (B1)

Data Subyektif: sesak nafas, dada tertekan, nyeri dada berulang

Data Obyektif: hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum

banyak, penggunaan otot diagfragma pernafasan diafragma dan perut

meningkat, laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada

lapang paru, terdengar suara nafas abnormal, egophoni

b. Sistem kardiovaskuler (B2)

Data Subyektif: sakit kepala

Data Obyektif: denyut nadi meningkat, disritmia, pembuluh darah

vasokontriksi, kualitas darah menurun.

c. Sistem Persarafan (B3)

Data Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran

Data Obyektif: letargi

d. Sistem Perkemihan (B4)

Data Subyektif: -

Data Obyektif: produksi urine menurun

e. Sistem Pencernaan (B5)

Data Subyektif: mual, kadang muntah, anoreksia, disfagia, nyeri telan

Data Obyektif: konsistensi feses normal/diare, berat badan turun,

penurunan intake makanan

f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)

Data Subyektif: lemah, cepat lelah

Data Obyektif: kulit pucat, sianosis, turgor menurun (akibat dehidrasi

sekunder), banyak keringat, suhu kulit meningkat /normal, tonus otot

menurun, nyeri otot, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris

pernafasan, flail chest

29

Analisa Data

Data Etiologi Masalah

Data Subyektif: sesak

nafas, dada tertekan,

Data Obyektif:

hiperventilasi,

penggunaan otot

diagfragma pernafasan

diafragma dan perut

meningkat, laju

pernafasan meningkat,

terdengar stridor,

ronchii pada lapang

paru, terdengar suara

nafas abnormal,

Tekanan terhadap organ, pembuluh darah & jaringan di sekitar

Nervus frenikus tertekan

Paralisis diafragma

Pola napas tidak efektif

Pola napas tidak efektif

Data Subyektif: sesak

nafas, dada tertekan,

Data Obyektif:

hiperventilasi,

penggunaan otot

diagfragma pernafasan

diafragma dan perut

meningkat, laju

pernafasan meningkat,

terdengar stridor,

ronchii pada lapang

paru, terdengar suara

nafas abnormal,

egophoni

Tekanan terhadap organ, pembuluh darah & jaringan di sekitar

Paru tertekan

Gangguan difusi

Gangguan Pertukaran

Gas

Gangguan Pertukaran

Gas

Data Subyektif: sesak Tekanan terhadap organ, pembuluh darah &

Bersihan jalan napas tidak efektif

30

nafas, dada tertekan,

batuk berdahak

Data Obyektif:,

terdengar stridor,

ronchii pada lapang

paru, terdengar suara

nafas abnormal,

egophoni

jaringan di sekitar

Trakea tertekan

Batuk, dispnea, pneumonitis berulang,

dan stridor

Bersihan jalan napas tidak efektif

Data Subjektif: dada

tertekan, nyeri dada

berulang

Data Objektif:

tampak gelisah,

meringis

Tekanan terhadap organ, pembuluh darah & jaringan di sekitar

Nervus interkostalis

tertekan

Nyeri dada

Nyeri akut

Nyeri akut

Data Subjektif:

mengeluh sulit

menelan

Data Objektif:

tampak sulit menelan,

tidak menghabiskan

makanan

Tekanan terhadap organ, pembuluh darah & jaringan di sekitar

Kompresi esofagus

Gangguan menelan

Perubahan nutrisi:

kurang dari kebutuhan tubuh

Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Data Subjektif:

mengeluh suara serak

Data Objektif:

terdengar suara serak

Tekanan terhadap organ, pembuluh darah & jaringan di sekitar

Nervus laringeus inferior

tertekan

Suara serak

Gangguan komunikasi verbal

Gangguan komunikasi verbal

31

Data Subjektif:

mengeluh kulit kering

Data Objektif: kulit

tampak turgor

menurun, kering

Tumor Mediastinum

Radioterapi

Perubahan kulit yang diterapi

Risiko kerusakan

integritas kulit

Risiko kerusakan integritas kulit

Data Subjektif: -

Data Objektif:

tampak bekas luka

pembedahan

Tumor Mediastinum

Pembedahan

Diskontinuitas jaringan

Risiko Infeksi

Risiko Infeksi

2. Diagnosis Keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhungan dengan penekanan trakea

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan difusi

c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis diafragma

d. Nyeri akut berhubungan dengan Nervus interkostalis tertekan

e. Cemas berhubungan dengan ketakutan/ancaman akan kematian

f. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan gangguan menelan

g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan nervus laringeus

inferior tertekan

h. Risiko kerusakan integritas kulit berhubangan dengan Perubahan kulit

yang diterapi

i. Risiko infeksi berhubungan dengan diskontuinitas jaringan

3. Intervensi Keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhungan dengan penekanan trakea

NOC:

1. Respiratory status : Ventilation

2. Respiratory status : Airway patency

3. Aspiration Control

32

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien menunjukkan keefektifan

jalan nafas dibuktikan dengan kriteria hasil :

1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak

ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas

dengan mudah, tidak ada pursed lips)

2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,

irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada

suara nafas abnormal)

3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.

4. Saturasi O2 dalam batas normal (SaO2 95-99%)

5. Foto thorak dalam batas normal

Intervensi NIC:

1) Catat perubahan upaya dan pola bernafas.

Rasional: Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran

nasal menunjukkan peningkatan upaya bernafas.

2) Observasi penurunan ekspensi dinding dada

Rasional: Ekspansi dada terbatas atau tidak sama sehubungan

dengan akumulasi cairan, edema, dan sekret dalam seksi

lobus.

3) Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif),

juga produksi dan karakteristik sputum.

Rasional: Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada

penyebab/ etiologi gagal perbafasan. Sputum bila ada

mungkin banyak, kental, berdarah, adan/ atau puulen.

4) Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas

sesuai kebutuhan.

Rasional: Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan

nafas pasein dipengaruhi.

5) Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol

dll. Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh

takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.

Rasional: Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus,

33

menurunkan viskositas sekret, memperbaiki ventilasi, dan

memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan perubahan dosis/

pilihan obat.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan difusi

NOC:

1. Respiratory Status : Gas exchange

2. Keseimbangan asam Basa, Elektrolit

3. Respiratory Status : ventilation

4. Vital Sign Status

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Gangguan pertukaran pasien

teratasi dengan kriteria hasi:

1. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

2. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress

pernafasan

3. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada

sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas

dengan mudah, tidak ada pursed lips)

4. Tanda tanda vital dalam rentang normal (TD sistolik 100-120 mmHg,

diastolik 60-80 mmHg; Pernapasan: 12-20x / menit; Nadi: 60-100x /

menit; Suhu: 36,5-37,5oC)

5. AGD dalam batas normal (pH 7,35-7,45; pCO2 35-45 mmHg; pO2 80-

100 mmHg; HCO3 22-26 mEq/ L)

6. Status neurologis dalam batas normal

Intervensi (NIC):

1) Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya

pernafasan atau perubahan pola nafas.

Rasional: Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan

nafas.

2) Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan,

misalnya krekels, mengi.

Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area

yang sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area

34

jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas membrane

alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya tahanan atau

penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta

tumor.

3) Kaji adanmya sianosis

Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis

sentral dari “organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga

adalah paling indikatif.

4) Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi

Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.

5) Awasi atau gambarkan seri GDA.

Rasional : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar

evaluasi keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan

terapi.

c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis diafragma

NOC:

1. Respiratory status : Ventilation

2. Respiratory status : Airway patency

3. Vital sign Status

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien menunjukkan keefektifan

pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:

1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada

sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dg

mudah, tidakada pursed lips)

2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama

nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas

abnormal)

3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,

pernafasan)

NIC:

a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.

35

Rasional :Kecepatan biasanya meningkat, dispnea, dan terjadi

peningkatan kerja nafas, kedalaman bervariasi, ekspansi dada terbatas.

b. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius.

Rasional :Bunyi nafas menurun/ tidak ada bila jalan nafas terdapat

obstruksi kecil.

c. Tinggikan kepala dan bentu mengubah posisi.

Rasional :Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan

pernafasan.

d. Observasi pola batuk dan karakter sekret.

Rasional :Batuk biasanya mengeluarkan sputum dan mengindikasikan

adanya kelainan.

e. Bantu pasien untuk nafas dalam dan latihan batuk efektif.

Rasional :Dapat meningkatkan pengeluaran sputum.

f. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan.

Rasional :Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.

g. Berikan humidifikasi tambahan

Rasional :Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan

membantu pengenceran sekret untuk memudahkan pembersihan.

h. Bantu fisioterapi dada, postural drainage

Rasional :Memudahkan upaya pernafasan dan meningkatkan drainage

sekret dari segmen paru ke dalam bronkus

d. Nyeri akut berhubungan dengan Nervus interkostalis tertekan.

NOC:

1. Pain Level,

2. pain control,

3. comfort level

Setelah dilakukan tinfakan keperawatan, Pasien tidak mengalami nyeri,

dengan kriteria hasil:

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan

tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

36

nyeri

3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5. Tanda vital dalam rentang normal

6. Tidak mengalami gangguan tidur

Intervensi (NIC)

1) Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri. Buat

rentang intensitas pada skala 0 – 10.

Rasional: Membantu dalam evaluasi gejala nyeri karena kanker.

Penggunaan skala rentang membantu pasien dalam mengkaji tingkat

nyeri dan memberikan alat untuk evaluasi keefktifan analgesic,

meningkatkan control nyeri.

2) Kaji pernyataan verbal dan non-verbal nyeri pasien.

Rasional: Ketidaklsesuaian antar petunjuk verbal/ non verbal dapat

memberikan petunjuk derajat nyeri, kebutuhan/ keefketifan

intervensi.

3) Catat kemungkinan penyebab nyeri patofisologi dan psikologi.

Rasional: Insisi posterolateral lebih tidak nyaman untuk pasien dari

pada insisi anterolateral. Selain itu takut, distress, ansietas dan

kehilangan sesuai diagnosa kanker dapat mengganggu kemampuan

mengatasinya.

4) Dorong menyatakan perasaan tentangnyeri.

Rasional: Takut/ masalah dapat meningkatkan tegangan otot dan

menurunkan ambang persepsi nyeri.

5) Berikan tindakan kenyamanan. Dorong dan ajarkan penggunaan

teknik relaksasi

Rasional: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian

e. Cemas berhubungan dengan ketakutan/ancaman akan kematian,

NOC:

37

1. Kontrol kecemasan

2. Koping

Setelah dilakukan asuhan, klien kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:

1. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

2. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk

mengontol cemas

3. Vital sign dalam batas normal

4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas

menunjukkan berkurangnya kecemasan

Intervensi (NIC)

1) Observasi peningkatan gelisah, emosi labil.

Rasional: Memburuknya penyakit dapat menyebabkan atau

meningkatkan ansietas.

2) Pertahankan lingkungan tenang dengan sedikit rangsangan

Rasional: Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan

penghematan energi.

3) Tunjukkan/ Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan

imajinasi.

Rasional: Memberikan kesempatan untuk pasien menangani

ansietasnya sendiri dan merasa terkontrol.

4) Identifikasi perspsi klien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.

Rasional: Membantu pengenalan ansietas/ takut dan mengidentifikasi

tindakan yang dapat membantu untuk individu.

5) Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaan.

Rasional: Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah terhadap

identifikasi dan ekspresi. Mendorong penerimaan situasi dan

kemampuan diri untuk mengatasi

f. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan gangguan menelan

NOC:

38

1. Nutritional status: Adequacy of nutrient

2. Nutritional Status : food and Fluid Intake

3. Weight Control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nutrisi kurang teratasi dengan

indikator:

1. Albumin serum

2. Pre albumin serum

3. Hematokrit

4. Hemoglobin

5. Total iron binding capacity

6. Jumlah limfosit

Intervensi (NIC):

1. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/ muntah.

Rasional :Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah

2. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin,

bantu kebersihan mulut.

Rasional :Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien

dan dapat menurunkan mual

3. Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.

Rasional :Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan

pengobatan ini

4. Auskultasi bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen.

Rasional :Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat,

distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara dan

menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran gastro intestinal

5. Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau

makanan yang menarik untuk pasien.

Rasional :Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu

makan mungkin lambat untuk kembali

6. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

39

Rasional :Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi,

rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya responterhadap

terapi

g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan nervus laringeus

inferior tertekan

NOC :1. Communication Ability2. Communication : Expressive Ability3. Communication : Receptive AbilityKriteria Hasil :

1. Mampu menerima dan menyampaikan pesan dengan metode alternatif

tulisan, isyarat

2. Mendemonstrasikan peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi

secara bertahap

3. Mendemonstrasikan peningkatan kemampuan untuk memahami isi

komunikasi verbal dan non verbal

4. Tidak terjadi frustasi yang berhubungan dengan kerusakan

komunikasi

NIC:

1. Kaji tipe/derajat kemampuan pasien untuk berkomunikasi, misal:

kesulitan berbicara, kemampuan untuk mengerti kalimat yang

diucapkan.

Rasional: Dapat diketahui derajat kerusakan cerebral serta

kemampuan pasien untuk berkomunikasi.

2. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda

tersebut.

Rasional: Melakukan penelitian terhadap adanya kerusakan motorik.

3. Arahkan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.

Rasional: Dengan mengarahkan komunikasi dapat berjalan lancar

dengan baik dan umpan balik digunakan untuk memotivasi

pasien.          

4. Libatkan keluarga untuk melatih bicara.

40

Rasional: Dengan melibatkan keluarga untuk melatih bicara maka

akan mempercepat rangsangan pasien untuk berkomunikasi.

5. Latih pasien untuk berbicara sesuai kemampuannya.

Rasional: Dapat melatih otot wajah.

6. Gunakan alternatif komunikasi bentuk lain, misalnya dengan tulisan

dan gambar.

Rasional: Penggunaan komunikasi non verbal diperlukan bila pasien

tidak bisa  berkomunikasi secara verbal.

7. Konsultasikan dengan ahli terapi wicara.

Rasional: Dengan melakukan konsultasi dapat mengidentifikasi

kekurangan/kelebihan terapi.

h. Risiko kerusakan integritas kulit berhubangan dengan Perubahan kulit

yang diterapi

NOC :

1. Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes

2. Wound Healing : primer dan sekunder

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kerusakan integritas kulit pasien

teratasi dengan kriteria hasil:

1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,

temperatur, hidrasi, pigmentasi)

2. Tidak ada luka/lesi pada kulit

3. Perfusi jaringan baik

4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah

terjadinya sedera berulang

5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan

perawatan alami

6. Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

NIC :

1. Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping terapi kanker;

perhatikan kerusakan/ pelambatan penyembuhan luka. Tekan kan

pentingnya melaporkan area terbuka pada pemberi perawatan.

41

Rasional : Efek kemerahan dan kulit samak ( reaksi radiasi) dapat

terjadi dalam area radiasi. Deskuaminasi kering ( kekeringan dan

pruritus), deskuamasi lembab ( lepuh) ulserasi, kehilangan rambut,

kehilangan dermis, dan kelenjar keringat juga dapat terlihat. Selain itu

reaksi kulit dapat terjadi pada bebebrapa agen kemoterapi.

2. Madikan dengan air hangat dan sabun ringan.

Rasional: Mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit.

3. Dorong pasien untuk menghinddari menggaruk dan menepuk kulit

yang kering dari pada menggaruk.

Rasional : Membantu mencegah friksi/ trauma kulit.

4. Anjurkan pasien untuk menghindari krim kulit apapun, salep, dan

bedak kecuali di izinkan dokter.

Rasional : Dapat meningkatkan iritasi/ reaksi secara nyata.

5. Tinjau protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapat terapi

radiasi.

Rasional ; Dilakukan untuk meinimalkan trauma pada area terapi

radiasi.

6. Hindari menggaruk atau menggunakan sabun, losion, atau deodoran

pada area; hindari memberikan panas atau mengusahakan mencuci

tanda/ tato yang ada di kulit sebagai identifikasi area iradiasi.

Rasional : Dapat menimbulkan atau bahkan mempengaruhi pemberian

radiasi.

i. Risiko infeksi berhubungan dengan diskontuinitas jaringan

NOC :

1. Immune Status

2. Knowledge : Infection control

3. Risk control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan,pasien tidak mengalami infeksi

dengan kriteria hasil:

1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

42

3. Jumlah leukosit dalam batas normal

4. Menunjukkan perilaku hidup sehat

5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal

NIC :

1. TIngkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan dan

pasien.

Rasional : mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bacterial. Catatan :

pasien dengan anemia berat/aplastik dapat berisiko akibat flora normal

kulit.

2. Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.

Rasional : menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.

3. Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.

Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi

4. Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan

napas dalam.

Rasional : meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu

memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.

5. Tingkatkan masukkan cairan adekuat.

Rasional : membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk

mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh

misalnya pernapasan dan ginjal.

6. Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.

Rasional : membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi. Perlindungan

isolasi dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat

terganggu.

7. Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan

atau tanpa demam.

Rasional : adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan

evaluasi/pengobatan.

8. Amati eritema/cairan luka.

Rasional : indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin

tidak ada bila granulosit tertekan.

43

9. Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)

Rasional : membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen

khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.

10. Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).

Rasional : mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan

kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local.

44

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum

yaitu rongga di antara paru-paru kanan dan kiri yang berisi jantung, aorta, dan

arteri besar, pembuluh darah vena besar, trakea, kelenjar timus, saraf, jaringan

ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003.

Keluhan yang biasanya dirasakan oleh penderita tumor mediastinum

adalah :

1. Batuk atau stridor karena tekanan pada trachea atau bronchi utama.

2. Gangguan menelan karena kompresi esophagus.

3. Vena leher yang mengembang pada sindroma vena cava superior.

4. Suara serak karena tekanan pada nerves laryngeus inferior.

5. Serangan batuk dan spasme bronchus karena tekanan pada nervus vagus

Peran perawat pada klien dengan Tumor mediastinum adalah sebagai

care giver, educator, communicator, advocator dan manajer dalam pemberian

asuhan keperawatan pada setiap tahap keperawatan.

B. SARAN

1. Kepada masayarakat agar selalu menjaga pola hidup sehat khususnya

dalam hal pola dan diit sehari-hari. .

2. Kepada petugas kesehatan, khususnya perawat, untuk menerapkan asuhan

keperawatan pada pasien dengan tumor mediastinum sesuai dengan teori

sehingga dapat memperbaiki keadaan umum pasien, mencegah komplikasi

serta mempercepat penyembuhan.

45

DAFTAR PUSTAKA

Desen, Wan. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Doenges, Marilyn  E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Penerbit :EGC, Jakarta.

Elizabeth, J. Corwin. 2008. Buku Saku Patofisiologis. Jakarta: ECG.

Muttaqin, A. 2007. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

pernafasan (ed. ). Jakarta: Salemba Medika.

Syahruddin, E., Hudoyo, A. & Jusuf, A. (tanpa tahun). Penatalaksanaan tumor

mediastinum ganas diakses tanggal 10 Oktober 2014 dari Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta

pada http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Okto09JRI/Penatalaksanaan%20tumor

%20mediastinum_6_.pdf

Schwartz, S.I. (2000). Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah (ed. 6). Jakarta: EGC.

http://journal.unair.ac.id/article_4194_media106_category3.html

PDPI. 2003. Tumor Mediastinum: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di

Indonesia

http://.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-tumormediastinum/tmrmediastinum.pdf

46