ASKEP OSTEOPOROSIS
-
Upload
sinta-fatmala-sari -
Category
Documents
-
view
111 -
download
17
Transcript of ASKEP OSTEOPOROSIS
ASUHAN KEPERAWATANOSTEOPOROSIS
Disusun untuk memenuhi tugas kuliah “Sistem Muskuloskeletal”
Dosen Pengampu : Bagus Sholeh. S. Kep, Ns
Disusun oleh :
1. Callista Seylma melati (10213002)2. Nalendra Gitaari Pradika (10213011)
3. Heri Setiawan (10213015)4. Advensiana Raudas Luruk (10213019)
5. Lilis Sugiarti (10213025)6. Sinta Fatmala Sari (10213029)7. Vina Ifada Luthfi (10213033)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN
KEDIRI
2015
KATA PENGANTAR
1 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Puji syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Makalah Osteoporosis” dengan baik dan lancar.
Makalah ini kami sajikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh pembaca.
Dengan penyusunan makalah ini, kami berharap dapat membantu pembaca untuk
mempermudah dalam mempelajari materi ini sesuai dengan judul makalah yang telah
ditentukan.
Kami menyadari benar bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan di dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
setiap pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan pada pembuatan makalah
kelompok selanjutnya. Semoga Makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terwujudnya makalah ini, serta kepada Allah SWT jualah diserahkan atas segala sesuatunya.
Kediri, 03 November 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
2 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 2
1.4. Manfaat 3
BAB II Tinjauan Pustaka 4
2.1. Definisi 4
2.2. Proses Pembentukan Tulang 5
2.3. Klasifikasi 6
2.4. Etiologi 7
2.5. Manifestasi Klinis 10
2.6. Patofisiologi 13
2.7. Pemeriksaan Diagnostik 17
2.8. Penatalaksanaan 19
2.9. Komplikasi 24
2.10. WOC/Pathway 26
BAB III Asuhan Keperawatan Keluarga 28
3.1. Kasus 28
3.2. Pengkajian 28
3.3. Analisa Data 30
3.4. Diagnosa Keperawatan 33
3.5. Intervensi 33
3.6. Implementasi 37
3.7. Evaluasi 40
BAB IV Penutup 42
4.1. Kesimpulan 42
4.2. Saran 42
3 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Daftar Pustaka 43
Lampiran 44
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia hal ini
dilator belakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan penyakit diusia tua yang menyertainya diantaranya osteoporosis. Masalah
osteoporosis di Indonesia dihubungkan dengan masalah hormonal pada menopause.
Menopause lebih cepat dicapai wanita Indonesia pada usia 50 tahun dibandingkan
wanita barat usia 60 tahun. Mulai berkurangnya paparan terhadap sinar matahari,
kurangnya asupan kalsium, perubahan gaya hidup seperti merokok, alkohol dan
4 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
berkurangnya latihan fisik, penggunaan obat steroid jangka panjang serta risiko
osteoporosis tanpa gejala klinis.
Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat osteoporosis
di seluruh dunia mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun 2050 dan 71% kejadian ini akan
terdapat di negara –negara berkembang. Di Indonesia 19,7 % dari jumlah lansia atau
sekitar 3,6 juta orang diantaranya menderita osteoporosis (klinik medis, 2008).
Lima provisi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi, yaitu Sumatra selatan
(27,7%), Jawa tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatra utara (22,82%), Jawa
timur (21,42%), Kalimantan timur (10,5%) (depkes,2005).
Patah tulang osteoporosis sudah hampir 24% dari lansia yang mengalami patah
tulang pinggul meninggal dunia pada tahun pertama sedangkan 50% mempunyai resiko
tidak bisa melakukan aktivitas seumur hidup dan 25% memerlukan perawatan jangka
panjang dan butuh dana yang besar serta tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain
(Lane, 2001 dan Yatim 2000).
Osteoporosis sebenarnya dapat dicegah sejak dini atau paling sedikit ditunda
kejadiannya dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya mengkonsumsi
makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi dengan unsur kaya
serat, rendah lemak dan kaya kalsium (1000-1200 mg kalsium per hari), berolahraga
secara teratur, tidak merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol karena rokok dan
alkohol dapat meningkatkan resiko osteoporosis dua kali lipat, namun kurangnya
pengetahuan masyarakat yang memadai tentang osteoporosis dan pencegahannya sejak
dini cenderung meningkatkan angka kejadian osteoporosis (Depkes, 2004).
Meilani (2007) dan Ashar (2008) dalam penelitiannya mengenai pengaruh
pengetahuan dan upaya lansia terhadap osteoporosis menyatakan bahwa terdapat
hubungan substansial antara pengetahuan dan upaya pencegahan dini osteoporosis.
Lansia yang kurang pengetahuannya mengenai osteoporosis dan upaya yang kurang
tepat mempunyai resiko lebih tinggi untuk meningkatnya derajat osteoporosis, dengan
meningkatkan pengetahuan lansia tentang osteoporosis dapat mencegah meningkatnya
osteoporosis (Ashar, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Osteoporosis?
2. Bagaimana proses pembentukan tulang?
3. Bagaimana klasifikasi dari Osteoporosis?5 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
4. Bagaimana etiologi dari Osteoporosis?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari Osteoporosis?
6. Bagaimana patofisiologi dari Osteoporosis?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien dengan
Osteoporosis?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari Osteoporosis?
9. Apa saja komplikasi dari Osteoporosis?
10. Bagaimana woc (web of caution) dari Osteoporosis?
11. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteoporosis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan pengertian dari Osteoporosis, senam osteoporosis dan asuhan
keperawatan pada klien dengan Osteoporosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Osteoporosis.
2. Menjelaskan proses pembentukan tulang.
3. Menjelaskan klasifikasi dari Osteoporosis.
4. Menjelaskan etiologi dari Osteoporosis.
5. Menjelaskan manifestasi klinis dari Osteoporosis.
6. Menjelaskan patofisiologi dari Osteoporosis.
7. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien
dengan Osteoporosis.
8. Menjelaskan penatalaksanaan dari Osteoporosis.
9. Menjelaskan komplikasi dari Osteoporosis.
10. Menjelaskan WOC (web of caution) dari Osteoporosis.
11. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteoporosis.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang
osteoporosis, asuhan keperawatan pada klien dengan osteoporosis dan senam
osteoporosis serta mampu mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.
6 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan
mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan
meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang. Osteoporosis adalah kelainan dimana
terjadi penurunan massa tulang total (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012).
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dngan rendahnya
massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan
kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Keadaan tersebut
tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur. Pada
osteoporosis, terjadi penurunan kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang, padahal
keduanya sangat menentukan kekuatan tulang sehingga penderita osteoporosis mudah
mengalami patah tulang atau fraktur (Helmi, 2012).
Osteoporosis (pengeroposan tulang) merupakan gangguan metabolik tulang
dengan meningkatkan kecepatan resorpsi tulang tetapi kecepatan pembentukannya
berjalan lambat sehingga terjadi kehilangan massa tulang. Tulang yang terkena
gangguan ini akan kehilangan garam-garan kalsium serta fosfat dan menjadi porous,
rapuh serta secara abnormal rentan terhadap fraktur (Kowalak, 2011).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang
lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, mengakibatkan penurunan masa tulang
total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi
mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal
(Brunner & Suddarth, 2000).
7 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
2. Proses Pembentukan Tulang
Modeling tulang adalah suatu kondisi saat proses resorpsi dan
pembentukan tulang terjadi pada permukaan tulang yang berlainan (pembentukan dan
resorpsi tidak berpasangan). Contohnya pada pertambahan panjang dan diameter
tulang panjang. Modeling tulang terjadi sejak kelahiran hingga dewasa dan proses ini
berperan dalam penambahan massa dan perubahan bentuk kerangka. Pada kondisi
ini proses pembentukan tulang lebih dominan terjadi daripada proses resorpsi tulang.
Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan
tulang muda. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa
untuk mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan
resorpsi tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah
proses yang dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang
kompak maupun trabekular. Proses ini terus-menerus terjadi untuk
mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini
kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh
tekanan mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic
Multicellular Unit) atau unit remodeling tulang yang berperan dalam proses
remodeling pada hewan dewasa (Mills 2007).
Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase (Gambar 1), yaitu:
8 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
1. Aktivasi : pre-osteoklas terstimulasi
menjadi osteoklas dewasa yang aktif.
2. Resorpsi : osteoklas mencerna matriks
tulang tua.
3. Pembalikan : akhir dari proses resorpsi,
saat osteoklas digantikan oleh osteoblas.
4. Pembentukan : osteoblas menghasilkan
matriks tulang yang baru.
5. Fase pasif : osteoblas selesai
menghasilkan matriks dan terbenam.
Beberapa osteoblas membentuk sederet
sel yang berjejer di permukaan tulang
yang baru (IPB, tt). Gambar 1: Proses remodeling tulang (IOF,
2009)
2.3 Klasifikasi Osteoporosis
Menurut Farida Mulyaningsih (2008), osteoporosis diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Osteoporosis Post menopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu
mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala
timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul
lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama
untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur
lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
2. Osteoporosis Senilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan
tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan post
menopausal.
9 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
3. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh
keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa
disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat,
anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang
berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan osteoporosis.
4. Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui. Hal ini terjadi
pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang
normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari
rapuhnya tulang (Mulyaningsih, 2008).
2.4 Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis post menopause terjadi karena kekurangan esterogen (hormone
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang
pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia dintara 53 – 73 tahun,
tetapi bisa muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki
risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih
dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada kulit hitam.
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium
yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya
tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan massa
tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasnya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis post menopausal dan
senilis.
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis
sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit
ini bisa diakibatkan oleh gagal ginjal kronik dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturate,
antikejang, dan hormone tiroid yang berlebihan). Konsumsi alkohol yang berlebihan
dan kebiasaan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
10 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang tidak
diketahui penyebabnya. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki
kadar dan fungsi hormone yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki
penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012).
Faktor resiko terjadinya osteoporosis:
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh
hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35
tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia
45 tahun.
2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia
75-85 tahun, wanita memiliki risiko dua kali lipat dibandingkan pria dalam
mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan
kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.
3. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki
risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia
rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan
menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik
memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.
4. Keturunan Penderita Osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah.
Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti
kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga
pasti punya struktur genetik tulang yang sama.
5. Gaya Hidup Kurang Baik
a. Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid,
penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.
11 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
b. Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang
keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr.
Karen Rafferty dari creighton University Osteoporosis Research Centre di
Nebraska yang menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan
keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein lebih
banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses
pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang
menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
c. Malas Olahraga
Mereka yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses
osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa
tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan
memacu tulang untuk membentuk massa.
d. Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok
sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya
mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga
membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang
sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses
pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa
mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke
seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan
tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara
langsung tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang
memang tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus
terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai
terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.
e. Kurang Kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang
akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.
12 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
6. Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada
penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika
sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa tulang. Sebab,
kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin dan anti
kejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum
mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.
Tulang adalah jaringan dinamis yang diatur oleh faktor endokrin,
nutrisi, dan aktivitas fisik. Biasanya penanganan gangguan tulang terutama
osteoporosis hanya fokus pada masalah hormon dan kalsium, jarang dikaitkan
dengan olahraga. Padahal, Wolff sejak 1892 menyarankan bahwa olahraga
sangatlah penting.
Osteoporosis (kekeroposan tulang) adalah proses degenerasi pada
tulang. Mereka yang sudah terkena perlu berolahraga atau beraktivitas fisik
sebagai bagian dari pengobatan. Olahraga teratur dan cukup takarannya tidak
hanya membentuk otot, melainkan juga memelihara dan meningkatkan
kekuatan tulang. Dengan demikian, latihan olahraga dapat mengurangi risiko jatuh
yang dapat memicu fraktur (patah tulang) (Mulyaningsih, 2008).
2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis
1. Patah tulang
2. Punggung yang semakin membungkuk
3. Penurunan tinggi badan
4. Postur tubuh kelihatan memendek akibat dari Deformitas vertebra thorakalis
5. Nyeri punggung
6. Nyeri tulang akut. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri dapat
dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak
7. Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
8. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila melakukan aktivitas
9. Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan
menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis tertekan
sehingga dapat terjadi paraparesis.
13 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
10. Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua) biasanya
datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah menopause sedangkan
gambaran klinis setelah terjadi patah tulang, klien biasanya datang dengan
keluhan punggung terasa sangat nyeri (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal
paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh.
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis
senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa
penderita. Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang memnyebabkan tulang menjadi
kolaps atau hancur, maka akan tibul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang
yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, kaput vertebra
terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris.
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang
yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya
nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasaklan di daerah tertentu dari punggung, yang akan
bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan
terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan
terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang
menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit.
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan
atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul.
Selain itu yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah
persambungan dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita
osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman
dan Nurna Ningsih, 2012).
Osteoporosis mengakibatkan patah tulang yang paling sering adalah pada
punggung, paha, dan lengan bawah. Menurut Susan J. G dialihbahasakan oleh Anton C.
W (2001: 205-206), tulang yang pertama kali terkena osteoporosis biasanya pada
vertebra spinalis dan tipikalnya mengenai vertebra torakalis bawah dan vertebra
lumbalis atas. Vertebra torakalis menyokong terjadinya fraktur berbentuk baji,
sedangkan fraktur yang remuk sering mengenai vertebra lumbalis.
14 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Fraktur baji vertebra torakalis membentuk punuk wanita tua (dowager’s hump).
Proporsi lengan dan tungkai terhadap kerangka aksial tubuh tidak normal dan tampak
lebih panjang. Penurunan tinggi badan karena osteoporosis bisa mencapai 5 sampai 8
inchi. Keadaan ini dapat berlangsung terus, sehingga rongga rusuk bagian bawah
menyentuh crista iliaca anterior.
Gambar 2: Bagian osteoporosis pada punggung
Keterangan: Perubahan kerangka pada osteoporosis pasca-menopause.
Pada bagian paha, yang biasanya patah adalah bagian leher femur dan
trochanterica, dimana usia penderita pada leher femur rata-rata adalah 75 tahun.
Penderita patah tulang trochanterica umumnya berusia lima tahun lebih tua dari
penderita pada leher femur. Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha sudah
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Patah tulang pangkal paha pada penderita
osteoporosis merupakan salah satu komplikasi yang serius. Penderita penyakit ini
mempunyai risiko 50% tidak bisa melakukan aktivitas seumur hidup, 25% memerlukan
perawatan jangka panjang, dan kematian dalam tahun pertama setelah patah tulang
sebesar 20% (Faisal Yatim, 2000: 3).
Patah tulang lengan bawah terjadi pada bagian distal radius (ujung tulang, tepat
sebelum sendi pergelangan tangan) yang biasanya disebut Colles fractures. Resiko
wanita mengalami Colles fractures adalah kira-kira 15%, biasanya terjadi setelah
menopause tetapi ada juga yang terjadi pada pra-menopause (Prasetyo, tt).
15 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Gambar 3: Bagian osteoporosis pada paha dan lengan bawah
Keterangan: Pada paha yaitu di leher femur dan trochanterica, sedangkan bagian lengan
bawah adalah di distal radius (Prasetyo, tt).
2.6 Patofisiologi Osteoporosis
Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan. Tulang
memiliki sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan
menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk
membentuk tulang) (Compston, 2002).
Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan dibentuk
kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel
osteoblas menyatu dengan matriks tulang) (Cosman, 2009).
Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh sel osteoklas dan
nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam (Tandra, 2009).
Dengan demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian
tulang yang baru yang dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di
sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hilang (Cosman, 2009).
Proses remodelling tulang tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
16 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Gambar 4: Siklus remodelling tulang, Cosman, 2009
Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut.
Dan hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi tulang menjadi
lebih cepat) dan estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada
osteoporosis, terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul ketidakseimbangan
antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoclas lebih besar daripada
osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulang pun akan menurun, yang akhirnya
terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis. (Ganong, 2008) Gambar
2.2 menunjukan perbedaan tulang yang normal dan tulang yang sudah mengalami
pengeroposan.
Gambar 5: Tulang Normal dan Keropos
17 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Tulang terdiri atas sel dan matriks. Terdapat dua sel yang penting pada
pembentukan tulang yaitu osteoclas dan osteoblas. Osteoblas berperan pada
pembentukan tulang dan sebaliknya osteoklas pada proses resorpsi tulang.
Matriks ekstra seluler terdiri atas dua komponen, yaitu anorganik sekitar 30-40%
dan matrik inorganik yaitu garam mineral sekitar 60-70 %. Matrik inorganik yang
terpenting adalah kolagen tipe 1 ( 90%), sedangakan komponen anorganik terutama
terdiri atas kalsium dan fosfat, disampinh magnesium, sitrat, khlorid dan karbonat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan
selama kehidupan melalui tiga fase: Fase pertumbuhan, fase konsolodasi dan fase
involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90% dari massa tulang dan akan berakhir
pada saat epifisi tertutup. Sedangkan pada tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15
tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah dan mencapai puncak ( peak bone mass )
pada pertengahan umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa pada fase involusi
massa tulang berkrang ( bone Loss ) sebanyak 35-50 tahun.
Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa
puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak
tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan faktor
yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses penuaan, menopause,
faktor lain seperi obat obatan atau aktifitas fisik yang kurang serta faktor genetik.
Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang
menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya
fraktur.
Kejadian osteoporosis dapat terjadi pada setiap umur kehidupan. Penyebabnya
adalah akibat terjadinya penurunan bone turn over yang terjadi sepanjang kehidupan.
Satu dari dua wanita akan mengalami osteoporosis, sedangkan pada laki-laki hanya 1
kasus osteoporsis dari lebih 50 orang laki-laki. Dengan demikian insidensi
osteoporosis pada wanita jauh lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini di duga
berhubungan dengan adanya fase masa menopause dan proses kehilangan pada wanita
jauh lebih banyak.
18 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Gambar 6: Percepatan Pertumbuhan Tulang
Gambar diatas menunjukan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan tulang,
yang mencapai massa puncak tulang pada usia berkisar 20 - 30 tahun, kemudian
terjadi perlambatan formasi tulang dan dimulai resorpsi tulang yang lebih dominan.
Keadan ini bertahan sampai seorang wanita apabila mengalami menopause akan terjadi
percepatan resorpsi tulang, sehingga keadaan ini tulang menjadi sangat rapuh dan
mudah terjadi fraktur.
Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan dimulai akhirnya akan
lebih dominan dibandingkan dengan pembentukan tulang. Kehilanga massa tulang
menjadi cepat pada beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan menetap
pada beberapa tahun kemudian pada masa postmenopause. Proses ini terus
berlangsung pada akhirnya secara perlahan tapi pasti terjadi osteoporosis. Percepat
osteoporosis tergantung dari hsil pembentukan tulang sampai tercapainya massa tulang
puncak.
Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan sampai dewasa
muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjdai solid. Pada usia rata-
rata 25 tahun tulang mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun demikian
massa puncak tulang ini secara individual sangat bervariasi dan pada umumnya pada
laki-laki lebih tinggi dibanding pada wanita. Massa puncak tulang ini sangatlah
penting, yang akan menjadi ukuran seseorang menjadi risiko terjadinya
fraktur pada kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah maka akan
mudah terjadi fraktur kan saja, tetapi apabila tinggi makan akan terlindung dari
ancaman fraktur.
19 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Faktor faktor yang menentukan tidak tercapainya massa tulang puncak sampai
saai ini belum dapat dimengerti sepenuhnya tetapi diduga terdapat beberapa
faktor yang berperan, yaitu genetik, asupan kalsium, aktifitas fisik, dan
hormon seks. Untuk memelihara dan mempertahan massa puncak tulang adalah
dengan diet, aktifitas fisik, status reproduktif, rokok, kelebiham konsumsi alkohol, dan
beberapa obat (Permana, 2009).
2.7 Pemeriksaan Diagnostik pada Pasien dengan Osteoporosis
Seseorang yang ingin menentukan terjadinya osteoporosis atau tidak, biasanya
diagnosis yang digunakan yaitu dengan pemeriksaan densitas mineral tulang
(DMT) agar mengetahui kepadatan tulang pada orang tersebut. (Hartono, 2004).
Untuk menentukan kepadatan tulang tersebut, ada 3 teknik yang biasa digunakan di
Indonesia, antara lain :
1. Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling tepat dan mahal.
Orang yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan nyeri dan
hanya dilakukan sekitar 5 - 15 menit. DXA dapat digunakan pada wanita
yang mempunyai peluang untuk mengalami osteoporosis, seseorang yang
memiliki ketidakpastian dalam diagnosa, dan penderita yang memerlukan
keakuratan dalam hasil pengobatan osteoporosis. (Putri, 2009).
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini yaitu dapat
menentukan kepadatan tulang dengan baik (memprediksi resiko patah tulang
pinggul) dan mempunyai paparan radiasi yang sangat rendah. Akan tetapi alat ini
memiliki kelemahan yaitu membutuhkan koreksi berdasarkan volume tulang
(secara bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar) dan jika
pada saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang tidak benar, maka
akan mempengaruhi hasil pemeriksaan tersebut. (Cosman, 2009)
Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan
melihat perbedaan BMD dari hasil pengukuran dengan nilai rata-rata BMD
puncak. (Tandra, 2009) Hasil dari pemeriksaan BMD dapat dilihat pada
gambar 2.3.
20 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Gambar 7: Hasil Pemeriksaan Osteoporosis Berdasarkan BMD
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-score > -1 SD
yang menunjukkan bahwa seseorang masih dalam kategori normal. T-score <-1
sampai -2,5 dikategorikan osteopenia, dan < - 2,5 termasuk dalam kategori
osteoporosis, apabila disertai fraktur, maka orang tersebut termasuk dalam
osteoporosis berat (WHO, 1994).
2. Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan pengukuran
ultrsound, yaitu dengan mengunakan alat quantitative ultrasound (QUS). Hasil
pemeriksaan ini ditentukan dengan gelombang suara, karena cepat atau tidaknya
gelombang suara yang bergerak pada tulang dapat terdeteksi dengan alat QUS.
Jika suara terasa lambat, berarti tulang yang dimiliki padat. Akan tetapi, jika
suara cepat, maka tulang kortikal luar dan trabekular interior tipis. Pada beberapa
penelitian,menyatakan bahwa dengan QUS dapat mengetahui kualitas tulang,
akan tetapi QUS dan DXA sama-sama dapat memperkirakan patah tulang (Lane,
2003).
Dengan alat ini, seseorang tidak akan terpapar radiasi karena tidak
menggunakan sinar X. Kelemahan alat ini, yaitu tidak memiliki ketelitian
yang baik (saat dilakukan pengukuran ulang sering terjadi kesalahan), tidak
baik dalam mengawasi pengobatan (perubahan massa tulang) (Cosman, 2009).
21 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
3. Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan dengan memeriksa biokimia CTx (C-Telopeptide). Dengan
pemeriksaan ini dapat menilai kecepatan pada proses pengeroposan tulang dan
pengobatan antiesorpsi oral pun dapat dipantau (Putri, 2009).
Kelebihan yang didapatkan jika menggunakan alat ini yaitu kepadatan
tulang belakang dan tempat biasanya terjadi patah tulang dapat diukur dengan
akurat. Akan tetapi pada tulang yang lain sulit diukur kepadatannya dan
ketelitian yang dimiliki tidak baik serta tingginya paparan radiasi (Cosman,
2009) (Agustin, 2009).
Penilaian langsung densitas tulang untuk memngetahui ada tidaknya
osteoporosis dapat dilakukan secara:
1. Radiologic
2. Radioisotope
3. QCT (Quantitative Computerized Tomography)
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
5. Densitometer (X-ray absorpmetry)
Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat patanda
biokomia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen I peptide dan alkali
fosfatase total serum. Petanda kimia untuk osteoklas; dioksipiridinolin (D-pyr),
piridinolin (Pyr) Tartate Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalisium urin,
hidroksisiprolin dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang
dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas
secara langsung. Namun pemeriksaan diatas biayanya masih mahal.
2.8 Penatalaksanaan Osteoporosis
1. Pengobatan
Pengobatan osteoporosis di fokuskan untuk memperlambat atau
menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang, dan
mengontrol nyeri sesuai dengan penyakitnya. Tujuan dari pengobatan ini adalah
mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).
22 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Penanganan terkini
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja
osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat
yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat
antiresorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan
Vitamin D tidak mempunyai efek antiresorpsi maupun stimulator tulang, tetapi
diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan
tulang oleh sel osteoblas.
a. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai antiresorpsi, mempengaruhi aktivitas sel
osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi
estrogen dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai Terapi
Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa
vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara
(mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme, dan pada
pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker payudara.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah: kanker payudara, kanker
endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan uterus disfungsional,
hipertensi, penyakit tromboembolik, karsinoma ovarium, dan penyakit hait yang
berat Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti
resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17-estradiol oral 1 Ð 2mg/
hari, 17-estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-estradiol subkutan 25 Ð 50 mg
setiap 6 bulan.46 Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan
risiko kanker endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang
mendapatkan TSH, kecuali yang telah menjalani histerektomi.
Saat ini pemakaian fitoestrogen (isoflavon) sebagai suplemen mulai
digalakkan pemakaiannya sebagai TSH. Beberapa penelitian menyatakan
memberikan hasil yang baik untuk keluhan defisiensi estrogen, atau mencegah
osteoporosis.34 Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun
semanggi.
23 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Ada golongan preparat yang mempunyai efek seperti estrogen yaitu
golongan Raloksifen yang disebut juga Selective Estrogen Receptor Modulators
(SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen-b sehingga tidak
menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan payudara. Mekanisme kerja
Raloksifen terhadap tulang diduga melibatkan TGF yang dihasilkan oleh
osteoblas yang berfungsi menghambat diferensiasi sel osteoklas.
b. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis. Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam
fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat
mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan
permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi
produksi proton dan enzim lisosomal di bawah osteoklas. Pemberian bisfosfonat
secara oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk (kurang
dari 55 dari dosis yang diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan
bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman
lain kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan perut kosong.
Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun minimal selama 30
menit, dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring.
Sekitar 20 Ð 50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan
tulang setelah 12 Ð 24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap
osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada di dalam tulang selama berbulan-bulan
bahkan bertahuntahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak melekat pada
tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam tubuh dan akan diekresikan
dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada
penderita gagal ginjal..
Generasi Bisfosfonat adalah sebagai berikut:
1) Generasi I : Etidronat, Klodronat
2) Generasi II: Tiludronat, Pamidronat, Alendronat
3) Generasi III: Risedronat, Ibandronat, Zoledronat
24 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Hormon lain: hormon-hormon ini akan membatu meregulasi kalsium dan
fosfat dalam tubuh dan mencegah kehilangan jarungan tulang.
1) Kalsitonin
2) Teriparatide
Kalsium: kalsium dan vtamin D diperlukan untuk meningkatkan kepadatan
tulang.
1) Konsumsi perhari sebanyak 1200-1500 mg (melalui makanan dan
suplemen).
2) Konsumsi vitamin D sebanyak 600-800 IU diperlukan untuk meningkatkan
kepadatan tulang.
c. Latihan pembebanan (olahraga)
Olahraga merupakan bagian yang sangat penting pada pencegahan maupun
pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi penderita osteoporosis sangat
berbeda dengan olahraga untuk pencegahan osteoporosis. Gerakan-gerakan
tertentu yang dapat meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari.48 Jenis
olahraga yang baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihan latihan
kekuatan otot yang disesuaikan dengan usia dan keadaan individu masing-
masing. Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat,
sedangkan terlalu berat pada wanita dapat menimbulkan gangguan pola haid yang
justru akan menurunkan densitas tulang. Jadi olahraga sebagai bagian dari pola
hidup sehat dapat menghambat kehilangan mineral tulang, membantu
mempertahankan postur tubuh dan meningkatkan kebugaran secara umum untuk
mengurangi risiko jatuh.
Seperti diketahui terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah dan aktivitas
sel osteoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara biomolekuler RANK-L
sangat berperan. RANK-L akan bereaksi dengan reseptor RANK pada osteoklas
dan membentuk RANK- RANKL kompleks, yang lebih lanjut akan
mengakibatkan meningkatnya deferensiasi dan aktivitas osteoklas. Untuk
mencegah terjadinya reaksi tersebut digunakanlah monoklonal antibodi (MAbs)
dari RANK-L yang dikenal dengan: denosumab. Besarnya dosis yang digunakan
adalah 60 mg dalam 3 atau 6 bulan (Kawiyana, 2009).
25 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
2. Pencegahan
a. Mengurangi asupan protein hewani: Protein hewani meningkatkan
kehilangan kalsium.
Studi lintas budaya telah menemukan hubungan yang kuat antara asupan
protein hewani dan risiko patah tulang pinggul. Tingginya asupan daging (lima
atau lebih porsi per minggu) secara signifikan meningkatkan risiko retak tulang
lengan bawah pada perempuan, dibandingkan dengan makan daging kurang dari
sekali per minggu. Wanita lansia yang mengkonsumsi sejumlah besar daging
kehilangan tulang lebih cepat dan risiko lebih besar terkena retak tulang
pinggul.Risiko masalah tulang tampaknya berkurang ketika protein hewani
diganti dengan protein dari sumber nabati, terutama kedelai. Dalam studi klinis
dengan wanita menopause, makanan kedelai telah ditemukan mencegah keropos
tulang. Penelitian telah menunjukkan hubungan positif antara protein kedelai dan
kepadatan mineral tulang pada wanita menopause. Hal ini mungkin karena
konsentrasi senyawa yang relatif tinggi yang disebut isoflavon dalam protein
nabati.
b. Peningkatan konsumsi buah dan sayuran
Penelitian telah menunjukkan bahwa diet kaya buah-buahan dan sayur-
sayuran berkaitan dengan kepadatan mineral tulang lebih tinggi pada pria dan
wanita. Asosiasi ini mungkin karena kalium, magnesium, dan vitamin K dalam
buah-buahan dan sayuran.
c. Mengurangi asupan natrium
Beberapa studi telah menemukan bahwa asupan tinggi natrium
menyebabkan hilangnya kalsium dari tubuh. Namun, efek dari pembatasan
natrium terhadap integritas tulang jangka panjang dan risiko patah tulang masih
belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
d. Pola makan rendah lemak
Studi telah menemukan bahwa asupan lemak yang lebih tinggi dikaitkan
dengan kehilangan tulang yang lebih besar dan risiko patah tulang lebih besar.
Mekanisme yang mungkin meliputi kecenderungan asupan lemak yang
berlebihan mengurangi penyerapan kalsium dan mempengaruhi produksi hormon.
Secara khusus, asam lemak omega-6 dapat menyebabkan hilangnya tulang
dengan mengorbankan pembentukan tulang baru.
26 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
e. Moderasi dalam penggunaan kafein
Penelitian telah menemukan bahwa perempuan yang mengkonsumsi paling
banyak kafein telah mempercepat kehilangan tulang belakang dan hampir tiga
kali lipat risiko terkena patah tulang pinggul. Resiko kehilangan tulang tampak
tertinggi pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 18 ons kopi per hari, atau
300 mg kafein dari sumber lain.
f. Membatasi suplemen vitamin A
Penelitian telah menunjukkan bahwa asupan vitamin A yang terlalu tinggi,
baik dengan makanan atau suplemen, dapat menyebabkan penurunan kepadatan
tulang dan peningkatan risiko fraktur pinggul. Asupan sehat dan cukup vitamin A
dapat dipastikan dengan beta-karoten dari sumber tanaman, sayuran terutama
oranye dan kuning.
g. Kombinasi suplemen vitamin D dan kalsium
Pada pasien dengan obat-yang menyebabkan osteoporosis, kombinasi dari
kedua nutrisi tampaknya bermanfaat signifikan dalam mengurangi kehilangan
tulang lebih lanjut. Suplemen vitamin D (500 sampai 800 IU/hari) dan kalsium
(1200-1300 mg/hari) juga telah ditemukan meningkatkan kepadatan tulang dan
penurunan kehilangan tulang dan risiko patah tulang pada wanita dewasa yang
lebih tua. Pasien wanita dengan diagnosa osteoporosis harus mendapatkan asupan
kalsium total dari pola makan dan suplemen sekitar 1500 mg/hari dalam dosis
terbagi tiga atau lebih, ditambah sedikitnya 400 sampai 800 IU vitamin D setiap
hari. Namun, pasien yang tidak berisiko tinggi untuk osteoporosis mungkin tidak
memerlukan suplemen kalsium. Hal ini terutama berlaku untuk pria, yang
mungkin memiliki peningkatan risiko terkena kanker prostat jika mereka
mengkonsumsi terlalu banyak kalsium atau susu.
2.9 Komplikasi Osteoporosis
Komplikasi osteoporosis yang mungkin meliputi (Kowalak, 2011):
1. Fraktur spontan ketika tulang kehilangan densitasnya dan menjadi rapuh serta
lemah.
2. Syok, perdarahan, atau emboli lemak (komplikasi fraktur yang fatal).
27 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Komplikasi osteoporosis merupakan kondisi sekunder, gejala maupun keadaan
lain yang disebabkan oleh osteoporosis. Pada banyak kasus, cukup sulit umtuk
membedakan gejala osteoporosis maupun komplikasi osteoporosis sehingga keduanya
sering disamakan. Hal ini disebabkan karena osteoporosis disebut dengan silent
disease, yang tidak menunjukkan manifestasi klinis berarti sampai munculnya fraktur.
Gejala awal dari osteoporosis yang dapat dilihat antara lain rasa sakit punggung yang
berat, tinggi badan berkurang dan terjadi kelainan bentuk tulang belakang seperti
kifosis.
Berbagai fraktur yang terjadi akibat komplikasi dari osteoporosis antara lain
(Wahyuningtyas, 2010):
a. Fraktur-lebih dari 1,5 juta orang setiap tahun mengalami osteoporosis di USA
b. Fraktur vertebrae, sekitar 700.000 orang setiap tahunnya mengalami fraktur ini di
USA
c. Fraktur pinggul, sekitar 300.000 orang terkena fraktur yang dikarenakan
osteoporosis di USA
d. Fraktur pergelangan tangan, sekitar 250.000 fraktur pergelangan tangan
dilaporkan di USA.
e. Fraktur lain, lebih dari 300.000 fraktur tulang lainnya di USA.
f. Dowager’s hump, kondisi kifosis akibat osteoporosis tingkat lanjut. Spinal
vertebrae menjadi keropos dan lemah sehingga menyebabkan fraktur spontan.
Proses yang terjadi antara lain: wedge fracture: depan vertebra kolaps, biconcave
fracture: bagian medial vertebra kolaps, dan crush fracture: seluruh vertebra
kolaps.
28 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
2.10 WOC (web of caution) Osteoporosis
29 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Faktor utama :
- Penurunan hormone esterogen, - Produksi kalsium menurun, - Keadaan medis.-
Faktor resiko :
- Jenis Kelamin- Usia- Ras/Suku- Genetik- Gaya Hidup- Konsumsi Obat
Penurunan kepadatan/massa tulang
Nyeri Kronis
Teregangnya ligamentum dan otot/spasme
Kifosis
Deformitas vertebra
Osteoporosis
Ansietas
Kurang pengetahuan
Tindakan medis
30 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Resiko Cedera
Hambatan Mobilitas Fisik
Sakit ketika beraktivitas
Harga Diri Rendah
Gangguan citra diri
Punggung Membungkuk
Hati-hati dalam beraktivitas
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Uraian Kasus
Ny. M umur 59 tahun datang ke RSU Sutomo dengan keluhan sakit pada punggung
yang sering dirasakan sejak 3 bulan yang lalu dan Ny.M merasa punggungnya sedikit
membungkuk, sebenarnya rasa sakit punggung Ny.M sudah dirasakan sejak beberapa
tahun yang lalu, namun Ny. M tidak memperdulikannya. Ketika memeriksakan diri ke
dokter Ny. M dianjurkan untuk tes darah dan rongent pada tulang belkaang. Hasil
rongent menunjukkan bahwa Ny. M menderita osteoporosis diperkuat lagi dengan hasil
BMD (Bone Mineral Density) T-score -3. Klien mengalami menopause sejak 7 tahun yang
lalu. Menurut klien dirinya tidak suka minum susu sejak usia muda dan tidak menyukai
makanan laut. Klien beranggapan bahwa keluhan yang dirasakannya karena usianya yang
bertambah tua. Riwayat kesehatan sebelumnya diketahui bahwa klien tidak pernah
mengalami penyakit seperti DM dan hipertensi serta tidak pernah dirawat di RS. Pola
aktifitas diketahui klien banyak beraktifitas duduk karena dulu dirinya bekerja di
perkantoran. Riwayat penggunaan KB hormonal dengan metode pil. Pemeriksaan TB 162
cm (TB sebelumnya 165 cm), BB 76 kg (BB sebelumnya 78 kg).
3.2 Pengkajian
1. Identitas
Nama : Ny. M
Umur : 59 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
31 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Pekerjaan : IRT
2. Keluhan Utama : Nyeri
3. Keluhan saat masuk RS : pada punggung terasa nyeri saat beraktivitas, ini
menyebabkan klien sulit berjalan secara normal.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. M umur 59 tahun datang ke RSU Sutomo dengan keluhan sakit pada
punggung yang sering dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, rasa sakit itu sudah
dirasakan sejak beberapa tahun yang lalu, namun Ny. M tidak memperdulikannya.
P : Terasa nyeri saat beraktivitas dan nyeri berkurang saat istirahat
Q : Seperti tertekan benda berat
R : Pada punggung
S : 7 (1-10)
T : Pada saat beraktivitas
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 110x/mnt
- RR : 20x/mnt
- Suhu : 36,9 0C
b. Sistem Persyarafan
- GCS (Glassgow Coma Scale) : Eye/Verbal/Motorik = 4/5/6
- Tidak ada pusing
- Pupil isokor
- Sclera/Konjunctiva anemis
- Tidak ada gangguan pandangan
32 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
- Tidak ada gangguan pendengaran
- Tidak ada gangguan penciuman
- Orientasi waktunya baik
- Orientasi tempatnya baik
- Orientasi orang baik
c. Sistem Muskuloskeletal
- Pergerakan terbatas
- Cara berjalan tidak tegap
- Kekuatan otot 5 5
5 5
- Tidak ada kelainan ektremitas
- Terdapat kelainan tulang belakang (kifosis)
- Tidak ada fraktur
- Tidak terpasang traksi,spalk, ataupun gips
6. Riwayat Psikososial
- Klien tidak berani melakukan aktivitas yang berat karena rasa sakit di
punggungnya
- Klien tidak mengetahui penyebab dan cara pengobatan sakit dipunggungnya.
7. Hasil pemeriksaan laboratorium
BMD T-score -3
3.3 Analisis Data
Data Etiologi MK
DS :
- Klien mengatakan sakit pada punggung
sejak beberapa tahun lalu.
- Klien mengatakan banyak beraktifitas
duduk karena dulu dirinya bekerja di
perkantoran
- Klien mengatakan terasa sakit pada
Kepadatan/massa tulang menurun
Osteoporosis
Deformitas vertebra
Teregangnya ligamentum dan
Nyeri Kronis
33 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
sendi ketika beraktivitas/berjalan
- Klien mengatakan aktivitas sehari-hari
terhambat
DO :
- P : Terasa nyeri saat beraktivitas dan
nyeri berkurang saat istirahat
- Q : Seperti tertekan benda berat
- R : Pada punggung
- S : 7 (1-10)
- T : Pada saat beraktivitas
- Wajah klien meringis.
- Sering memegang area yang sakit
- TD : 130/90 mmHg
- N : 110x/mnt
otot/spasme otot
Nyeri kronis
DS:
- Klien mengatakan sakit pada
punggung sejak beberapa tahun lalu.
- Klien mengatakan ketika berjalan
punggung klien terasa sakit
- Klien mengatakan aktivitas sehari-hari
terhambat
- Klien mengatakan rasa sakitnya
bertambah saat beraktivitas yang
berat.
DO :
- Hasil BMD T-score -3.
- Hasil darah lengkap dalam (ca: 9,98
mg/dL, na: 142 mmol/L, K: 47
mmol/L, Cl: 108 mmol/L )
- Pemeriksaan TB 165 cm, BB 76 kg.
- Cara berjalan klien tidak tegap
Osteoporosis
Deformitas vertebra
Kifosis (bungkuk)
Hambatan mobilitas fisik
Hambatan
Mobilitas fisik
34 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
(kifosis)
DS :
- Klien mengatakan tidak mengetahui
tentang penyakit dan penyebabnya.
- Klien mengatakan membiarkan sakit
punggungnya selama bertahun-tahun
karena tidak mengerti cara
penanganannya dan menganggap
sakitnya ini karena usia yang
bertambah.
DO :
- Klien banyak bertanya tentang
penyakit dan tindakan yang akan
dilakukan pada klien
- Klien gelisah
- Klien berkeringat dingin
- TD : 130/90 mmHg
- N : 110x/mnt
Osteoporosis
Tindakan medis
Kurang pengetahuan
Ansietas
Ansietas
DS :
Klien merasa punggungnya sedikit
membungkuk karena jika klien berdiri
tegak punggungnya terasa sakit.
DO :
- Punggung klien sedikit membungkuk
- TB turun : sebelum sakit 165, saat
pengkajian 162
Deformitas vertebra
Kifosis
Punggung membungkuk
Gangguan citra diri
Harga diri rendah
Harga Diri
Rendah
35 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
DS :
Klien mengatakan merasakan sakit pada
punggung saat beraktivitas, apalagi jika
melakukan kegiatan yang sedikit berat rasa
sakit semakin terasa.
DO :
- Klien sangat berhati-hati berjalan.
- Hasil BMD T-score -3.
- Cara bejalan klien tidak tegap (kifosis)
Osteoporosis
Kifosis/membungkuk
Resiko cedera
Resiko cedera
3.4 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan deformitas vertebra
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan
4. Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan citra tubuh
5. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan mobilitas
3.5 Intervensi Keperawatan
NO. Dx NOC NIC
1. Setelah diberikan tindakan keperawatn 2x24
jam diharapkan nyeri berkurang sampai
hilang.
Kriteria Hasil :
- Mampu mengontrol nyeri
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang
1. Kaji tingkat nyeri pada punggung,
nyeri terlokalisasi atau menyebar pada
abdomen atau pinggang. (PQRST)
2. Ajarkan pada klien tentang alternative
lain untuk mengatasi dan mengurangi
rasa nyerinya.
36 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
menggunkan manajemen nyeri
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang
- TD : 120/80 mmHg
- N : 60-100 x/mnt
3. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri, seperti : suhu
ruangan, pencahayaan, dan kebisingan.
4. Tingkatkan istirahat
5. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
6. Evaluasi bersama klien dan tenaga
kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri di masa lampau
7. Kolaborasikan dengan dokter untuk
pemberian obat analgesik.
2. Setelah diberikan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam keterbatasan pada
pergerakan fisik tubuh dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik.
- Mengerti tujuan dari peningkatan
mobilitas fisik.
- Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
- Memperagakan penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi (walker)
1. Kaji tingkat kemampuan klien dalam
mobilisasi.
2. Ajarkan klien untuk menggunakan alat
bantu saat berjalan dan cegah terhadap
cedera.
3. Ajarkan klien tentang aktivitas hidup
sehari hari yang dapat dikerjakan
4. Instruksikan klien untuk latihan selama
kurang lebih 30 menit dan selingi
dengan istirahat dengan berbaring
selama 15 menit
5. Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi dan bantu memenuhi ADLs
klien.
6. Rencanakan tentang pemberian
program latihan
7. Bantu klien jika diperlukan latihan
8. Peningkatan latihan fisik secara
37 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
adekuat : dorong latihan dan hindari
tekanan pada tulang seperti berjalan
9. Hindari latihan fleksi, membungkuk
tiba– tiba,dan pengangkatan beban
berat.
10. Observasi TTV sebelum dan sesudah
latihan dan lihat respon klien.
11. Konsultasikan dengan ahli terapi fisik
tentang pemberian latihan yang
adekuat.
3. Setelah diberikan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam perasaan tidak nyaman atau
kekhawatiran dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
- Klien mampu mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala cemas
- Mengidentifikasi, mengungkapkan, dan
menunjukkan teknik untuk mengontrol
cemas
- TTV dalam batas normal
- Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa
tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan.
1. Kaji TTV
2. Instruksikan klien menggunakan
teknik relaksasi
3. Temani klien untuk memberikan
keamanan dan mengurangi takut.
4. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
dirasakan selama prosedur
5. Dorong klien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, dan persepsinya.
6. Observasi tingkat kecemasan klien
7. Kolaborasikan dengan dokter untuk
pemberian obat untuk mengurangi
kecemasan.
4. Setelah diberikan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam klien dapat mengendalikan
persepsi negatif tentang harga dirinya.
Kriteria Hasil :
- Adaptasi terhadap ketunadayaan fisik
1. Kaji alasan-alasan untuk mengkritik
atau menyalahkan diri sendiri
2. Ajarkan perilaku positif melalui
bermain peran dan diskusi
3. Tunjukkan rasa percaya diri terhadap
kemampuan klien untuk mengatasi
38 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
- Penyesuaian dengan kehilangan aktual
atau kehilangan yang akan terjadi
- Respon psikososial adaptif individu
terhadap perubahan bermakna dalam
hidup
- Menunjukkan penilaian pribadi tentang
harga diri
- Mengungkapkan penerimaan diri
- Komunikasi terbuka
- Mengatakan optimisme tentang masa
depan
- Menggunakan strategi koping efektif
situasi
4. Dorong klien mengidentifikasi kekuatan
dirinya
5. Buat statement positif terhadap klien
6. Observasi frekuensi komunikasi verbal
klien yang negatif
7. Kolaborasikan dengan sumber lain
(petugas dinas sosial, perawat spesialis
klinis, dan layanan keagamaan)
5. Setelah diberikan tindakan keperawatan
selama 2x24jam resiko terjadinya cedera
dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
- Klien terbebas dari cedera
- Klien mampu menjelaskan cara untuk
mencegah cedera
- Klien mampu menjelaskan faktor resiko
dari lingkungan maupun personal
- Mampu memodifikasi gaya hidup untuk
mencegah cedera
- Menggunakan fasilitas kesehatan yang
ada
- Mampu mengenali perubahan status
kesehatan.
1. Ciptakan lingkungan yang bebas
dari bahaya:
a) Tempatkan klien pada tempat tidur
rendah.
b) Amati lantai yang membahayakan
klien.
c) Berikan penerangan yang cukup
d) Tempatkan klien pada ruangan yang
tertutup dan mudah untuk diobservasi.
e) Ajarkan klien tentang pentingnya
menggunakan alat pengaman di
ruangan.
2. Berikan dukungan ambulasi sesuai
dengan kebutuhan:
a) Kaji kebutuhan untuk berjalan.
b) Konsultasi dengan ahli therapist.
c) Ajarkan klien untuk meminta bantuan
39 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
bila diperlukan.
d) Ajarkan klien untuk berjalan dan keluar
ruangan.
e) Bantu klien untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari secara hati-hati.
6.
3. Ajarkan pada klien untuk berhenti
secara perlahan, tidak naik tanggga, dan
mengangkat beban berat.
4. Ajarkan pentingnya diet untuk
mencegah osteoporosis:
a) Rujuk klien pada ahli gizi
b) Ajarkan diet yang mengandung banyak
kalsium
c) Ajarkan klien untuk mengurangi atau
berhenti megkonsumsi rokok atau kopi
d) Ajarkan tentang efek rokok terhadap
pemulihan tulang
5. Observasi efek samping obat-obatan
yang digunakan
3.6 Implementasi
No.Diagnosa
KeperawatanImplementasi ttd
1. - Mengkaji tingkat nyeri pada punggung, nyeri
terlokalisasi atau menyebar pada abdomen atau
pinggang. (PQRST)
- Mengajarkan pada klien tentang alternative lain
40 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
untuk mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya.
- Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri, seperti : suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan.
- Meningkatkan istirahat
- Mengobservasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
- Mengevaluasi bersama klien dan tenaga kesehatan
lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri di masa
lampau
- Memberikan obat analgesik yang sudah
diindikasikan oleh dokter.
2. - mengkaji tingkat kemampuan klien dalam
mobilisasi.
- Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu
saat berjalan dan cegah terhadap cedera.
- Mengajarkan klien tentang aktivitas hidup sehari hari
yang dapat dikerjakan
- Menginstruksikan klien untuk latihan selama kurang
lebih 30 menit dan selingi dengan istirahat dengan
berbaring selama 15 menit
- Mendampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan
bantu memenuhi ADLs klien.
- Merencanakan tentang pemberian program latihan
- Membantu klien jika diperlukan latihan
- Meningkatkan latihan fisik secara adekuat :
Mendorong latihan dan menghindari tekanan pada
tulang seperti berjalan
- Menghindari latihan fleksi, membungkuk tiba–
tiba,dan mengangkat beban berat.
41 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
- Mengobservasi TTV sebelum dan sesudah latihan
dan lihat respon klien.
- Melakukan latihan yang sudah diindikasikan secara
adekuat.
3. - Mengkaji TTV
- Menginstruksikan klien menggunakan teknik
relaksasi
- Menemani klien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi takut.
- Menjelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
selama prosedur
- Mendorong klien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan, dan persepsinya.
- Mengobservasi tingkat kecemasan klien
- Memberikan obat yang sudah diindikasikan oleh
dokter untuk mengurangi kecemasan
4. - Mengkaji alasan-alasan untuk mengkritik atau
menyalahkan diri sendiri
- Mengajarkan perilaku positif melalui bermain peran
dan diskusi
- Menunjukkan rasa percaya diri terhadap kemampuan
klien untuk mengatasi situasi
- Mendorong klien mengidentifikasi kekuatan dirinya
- Membuat statement positif terhadap klien
- Mengobservasi frekuensi komunikasi verbal klien
yang negatif
- Melakukan kolaborasi dengan sumber lain (petugas
dinas sosial,klien. perawat spesialis klinis, dan
layanan keagamaan) untuk tindakan lebih lanjut
42 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
untuk klien
5. Menciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya:
- Menempatkan klien pada tempat tidur rendah.
- Mengamati lantai yang membahayakan klien.
- Memberikan penerangan yang cukup
- Menempatkan klien pada ruangan yang tertutup dan
mudah untuk diobservasi.
- Mengajarkan klien tentang pentingnya menggunakan
alat pengaman di ruangan.
Memberikan dukungan ambulasi sesuai dengan
kebutuhan:
- Mengkaji kebutuhan untuk berjalan.
- Melakukan teknik ambulasi yang sudah
diindikasikan
- Mengajarkan klien untuk meminta bantuan bila
diperlukan.
- Mengajarkan klien untuk berjalan dan keluar
ruangan.
- Membantu klien untuk melakukan aktivitas hidup
sehari-hari secara hati-hati.
Mengajarkan pada klien untuk berhenti secara perlahan,
tidak naik tanggga, dan mengangkat beban berat.
Mengajarkan pentingnya diet untuk mencegah
osteoporosis:
- Memberikan klien diet yang sudah diindikasikan
- Mengajarkan diet yang mengandung banyak kalsium
- Mengajarkan klien untuk mengurangi atau berhenti
mengkonsumsi rokok atau kopi
- Mengajarkan tentang efek rokok terhadap pemulihan
tulang
43 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Mengobservasi efek samping obat-obatan yang
digunakan
3.7 Evaluasi
No.
DxEvaluasi ttd
1. S : Klien mengatakan nyeri sudah berkurang
O: Skala nyeri berkurang jadi 3, TD 120/80 mmHg, Nadi 82x/mnt
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
2. S : Klien mengatakan sudah lebih baik dalam melakukan aktivitas
O: Klien meningkatkan aktivitas fisiknya
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
3. S : Klien mengatakan sudah mengerti penyakit dan tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga medis
O: Klien tidak lagi banyak bertanya, tidak berkeringat dingin lagi, sudah
tidak ada tanda-tanda gelisah di wajah klien, TD 120/80 mmHg, Nadi
82x/mnt
A: Masalah teratasi
P:Intervensi dihentikan
4. S : Klien mengatakan sudah menerima keadaan fisiknya yang sekarang
O: Klien tidak menutup diri, klien bersosialisasi seperti sewajarnya
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
44 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
5. S : Klien mengatakan tidak terlalu takut untuk beraktivitas
O: Klien sangat hati-hati dalam melakukan aktivitas,dan terkadang masih
meminta bantuan orang lain.
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
45 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dngan rendahnya massa
tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang
sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak memberikan
keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur. Pada osteoporosis, terjadi penurunan
kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya sangat menentukan
kekuatan tulang sehingga penderita Osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau
fraktur (Helmi, 2012).
Faktor resiko terjadinya osteoporosis: Wanita, Usia, Ras/Suku, Keturunan Penderita,
Osteoporosis, Gaya Hidup Kurang Baik, Mengkonsumsi Obat. Kolaps tulang belakang
menyebabkan nyeri punggung menahun. Osteoporosis mengakibatkan patah tulang yang
paling sering adalah pada punggung, paha, dan lengan bawah. Fraktur baji vertebra torakalis
membentuk punuk wanita tua (dowager’s hump).
Pengobatan osteoporosis di fokus kan kepada memperlambat atau menghentikan
kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang, dan mengontrol nyeri sesuai dengan
penyakitnya. tujuan dari pengobatan ini adalah mencegah terjadinya fraktur (patah
tulang).Pengobatannya bisa dengan pemberian estrogen, bisfosfonat, latihan pembebanan
(olahraga). Untuk pencegahannya, dapat dilakukan dengan mengurangi asupan protein
hewani: Protein hewani meningkatkan kehilangan kalsium, peningkatan konsumsi buah
dan sayuran, mengurangi asupan natrium, pola makan rendah lemak, moderasi dalam
penggunaan kafein, membatasi suplemen vitamin A, kombinasi suplemen vitamin D dan
kalsium.
46 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
4.2 Saran
Sebagai seorang perawat hendaknya kita mampu memahami dengan baik tentang
penyakit osteoporosis mulai dari pengertian hingga penatalaksanaannya hingga mampu
menerapkan asuhan keperawatan secara langsung kepada pasien yang menderita
osteoporosis.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Ratih. 2009. Hubungan Status Gizi. Diakses dari (http://www.lontar. ui.ac.id.pdf)
Tanggal 27 November 2015 Pukul 19.35 WIB
Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 3, Jakarta:
EGC
Cosman, Felicia. 2009. Osteoporosis. Jogjakarta: B First
Helmi, Zairin. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
IPB. tt. Tulang. Diakses dari (http://repository.ipb.ac.id/) Tanggal 28 November 2015 Pukul
08.05 WIB
Junaidi, I, 2007. Osteoporosis - Seri Kesehatan Populer. Jakarta: Penerbit PT Bhuana Ilmu
Populer.
Kawiyana, I Ketut Siki. 2009. Osteoporosis Patogeneis Diagnosis dan Penanganan Terkini.
Jurnal Penyakit Dalam, Vol. 10 (Nomor 2), Halaman 157-170
Kowalak, Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Lippincott dkk. 2011. Nursing Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta : PT Indeks.
47 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l
Lukman dan Nurna Ningsih. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
Mulyaningsih, Farida. 2008. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis dengan Berolahraga. Diakses
dari (http://staff.uny.ac.id.pdf) Tanggal 29 November 2015, Pukul 06.25 WIB
Permana, Hikmat. 2009. Patogenesis dan Metabolisme Osteoporosis pada Manula. Diakses dari
(
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/patogenesis_dan_metabolisme_oste
oporosis_pada_manula.pdf) Tanggal 29 November 2015 Pukul 06.08 WIB
Prasetyo, Yudik. tt. Latihan Beban Bagi Penderita Osteoporosis. Diakses dari
(
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132308484/yudik_medikora_LATIHAN_BEBAN_
BAGI_PENDERITA_OSTEOPOROSIS.pdf) Tanggal 29 November 2015 Pukul 06.35
WIB
Sudoyo, Aru dkk. 2009. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta : Internal Publishing.
Suryati, A, Nuraini, S. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Penyakit Osteoporosis Pada Sekelompok
Osteoporosis Di RSIJ, 2005. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.2, No.2, Juli
2006:107-126.
Tandra, Hans, 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Osteoporosisi
Mengenal, Mengatasi, Dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wahyuningtyas, Riska. 2010. Komplikasi Osteoporosis dan Fraktur Osteoporosis. Diakses dari
http://www.scribd.com/doc/45879603/Komplikasi-Osteoporosis. Tanggal 28 November
2015 Pukul 20.05 WIB
Widianti, Tri 2009. Senam Kesehatan. Jakarta: Muha Medika
48 | S i s t e m M u s k u l o s k e l e t a l