ASKEP LEUKIMIA

download ASKEP LEUKIMIA

of 42

description

kmb

Transcript of ASKEP LEUKIMIA

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MASALAH PERTUSIS

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Penyakit Leukemia ditemukan pada abad 19. Leukemia merupakan salah satu jenis kanker yang menjadi momok bagi banyak orang. Kanker adalah sekelompok penyakit yang saling berkaitan satu sama lain. Semua jenis kanker bermula dari kelainan sel, kemudian menyerang darah dan jaringan. Secara normal, sel akan tumbuh dan memisah menjadi sel baru ketika tubuh membutuhkannya. Ketika sel menua, maka sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan menggantikan tempatnya. Kadang-kadang urutan proses ini berlangsung menyimpang. Sel-sel baru tumbuh dan berkembang biak ketika tubuh tidak membutuhkannya. Sel-sel yang telah tua juga tidak mati seperti seharusnya terjadi.

Leukemia bermula dari kelainan seperti ini, yaitu kelainan sel darah putih. Sel darah putih yang abnormal ini kemudian disebut dengan sel kanker. Pada awalnya, sel kanker ini masih dapat berfungsi hampir mendekati normal. Namun, lama kelamaan sel kanker menjadi berkembang sangat banyak sehingga mendesak dan mengganggu fungsi sel darah yang lain. Pada awal penemuannya, penampakan kelainan sel darah putih (leukosit) tampak homogen. Namun, dengan berkembangnya teknologi kedokteran di bidang patologi dan sitologi, kelainan sel darah putih mulai tampak heterogen dengan rentang gejala yang bervariasi, mulai dari kronis hingga akut.

I.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui:

a. Definisi dan etiologi dari leukimiab. Patogenesis dari leukimiac. Penatalaksanaan untuk pasien leukimiad. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh leukimia serta prognosisnya

e. Asuhan keperawatan pada anak dengan leukimia

BAB II

TINJAUAN MEDIS

II.1 Definisi

Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk darah. (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175). Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 ) Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain. (Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495).

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa leukimia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh prolioferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.Leukemia dapat diklasifikasikan atas dasar:a. Perjalanan penyakit

Akut

Leukemia akut ini merupakan kelainan sel darah yang sangat abnormal. Sel kanker ini sudah hampir tidak dapat berfungsi normal. Jumlah sel kanker berkembang dalam jumlah besar dengan sangat cepat. Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu hingga hari. Kronis

Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama. Terkadang, penderita tidak merasakan gejala apa-apa. Kondisinya memburuk dalam waktu lama.b. Tipe sel predominan yang terlibat

Leulemia limfositik

Jenis ini terjadi ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid.

Leukemia mielositik

Jenis ini terjadi ketika leukemia mempengaruhi sel myeloid seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil.

c. Jumlah leukosit dalam darah Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal, terdapat sel-sel abnormal

Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal, terdapat sel-sel abnormal

Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal, tidak terdapat sel-sel abnormal

d. Prevalensi empat tipe utama Leukemia limfositik akut (LLA)

merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih

Leukemia mielositik akut (LMA)

lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak.Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.

Leukemia limfositik kronis (LLK)

sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak

Leukemia mielositik kronis (LMK)

sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit.

Sediaan sumsum tulang dengan pewarnaan Wright.

Sediaan menujukkan leukemia limfoblastik akut prekurisrII.2 EtiologiSampai saat ini belum diketahui pasti penyebab leukemia. Namun, penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan faktor resiko tertentu memiliki peluang lebih besar terinfeksi Leukemia. Faktor resiko tersebut adalah :a. Paparan radiasi yang sangat tinggi. Faktor resiko ini terjadi ketika ledakan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima (pasca Perang Dunia II) dan ketika terjadi tragedi Chernobyl pada tahun 1986. Meski hanya resiko rendah, perawatan kesehatan yang menggunakan radiasi seperti rontgen atau sinar X juga meningkatkan resiko infeksi Leukemia,

b. Bekerja dengan bahan kimia berbahaya, seperti benzena dan formaldehid secara terus menerus.

c. Kemoterapi. Beberapa bahan yang digunakan untuk kemoterapi secara terus menerus dapat mencetuskan Leukemia beberapa tahun kemudian.

d. Down Syndrome dan beberapa penyakit kelainan genetik lain dapat memicu leukemia dikarenakan kelainan kromosom.

e. Infeksi virus Human T-Cell Leukemia Virus-I (HTLV-I). Virus ini menyebabkan timbulnya salah satu tipe Leukemia langka, yaitu Chronic Lymphocytic Leukemia atau T-Cell Leukemia. Namun, virus ini tidak menular sesama manusia.

f. Myelodiplastic Syndrome, suatu penyakit kelainan darah, dapat mencetuskan Myeloid Leukemia akut pada penderitanya.

Penelitian terdahulu menganggap medan elektromagnet sebagai salah satu faktor resiko pencetus kanker. Medan elektromagnet merupakan salah satu bentuk radiasi ringan yang terdapat di sekitar menara kabel, alat komunikasi, atau alat elektronik. Namun, bukti menunjukkan bahwa medan elektromagnet tidak terlalu dominan mencetuskan leukemia.

Secara singkat dapat diuraikan factor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia yaitu:

a. Faktor genetik : virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (Tcell Leukemia Lhymphoma Virus/ HLTV).b. Radiasi

c. Obat-obat imunosupresif, obat-obat kardiogenik seperti diethylstilbestrol.d. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot.e. Kelainan kromosom, misalnya pada down sindrom. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177)II.3 Patofisiologi

Dimulai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pemebntuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pemebentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.

Adanya faktor predisposisi seperti, genetik, radiasi, obat-obat imunosupresif dan kardiogenik seperti diethylstilbestrol meninkatkan prevalensi terjadinya leukimia. Leikimia terjadi karena sumsum tulang gagal dalam membentuk sel darah yang normal menyebabkan transformasi maligna sel darah dan terjadi aknker pada sumsum tulang dan gangguan sistim platelat pembentuk sel darah. Sel leukosit yang terus diproduksi abnormal/muda dapat mengganggu kerja sel darah lainya, Akibatnya terjadi penurunan produksi eritrosit dalam darah dan gangguan fungsi pembekuan darah.

Sel-sel lekosit yang terbentuk merupakan sel imatur/muda sehingga fungsi sel melemah akibat gangguan pada sistim retikuloendotelial sehingga fungsi leukosit sebagai pertahanan tubuh mengalami penurunan mengakibatkan tubuh sangat rentan terhadap infeksi. Banyaknya sel abnormal yang dihasilkan menyebabkan sel-sel tersebut banyak ditemukan pada aliran darah sehingga menyebabkan pergantian sel-sel yang normal oleh yang abnormal sehingga terjadi infiltrasi ke berbagai organ seperti pembesaran hati, limfe, nodus limfe, dan nyeri persendian.Umumnya penderita leukimia mengalami gangguan metabolisme pengaruh dari penyerapan sari-sari makanan dalam darah yang abnormal dan fungsi hati yang mengalami gangguan sehingga metabolisme tubuh tidak tuntas yang selanjutnya menimbulkan rasa mual dan muntah berkepanjangan dan terjadinya anoreksia yang berlanjut. Sehingga pada anak dengan leukimia sering mengalami gangguan nutrisi atau malnutrisi karena akibat dari funsi metabolisme tubuh yang tidak sempurna.

Komplikasi lebih lanjut mengarah pada gangguan SSP karena perjalanan panjang sel-sel abnormal tersebut yang akan menginfiltrasi sel-sel otak maupun dari infeksi yang terjadi telah sampai pada otak.PathwayII.4. Tanda dan Gejala

Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya kurang. dari 4 minggu pada waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya nonspesifik dan meliputi anoreksia, iritabel, dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus atau eksantem dan penderita seperti tidak. mengalami kesembuhan sempurna. Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga timbul anemia, perdarahan (trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan) gambaran ini biasanya mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.

Pada pemeriksaan inisial, umumnya penderita, dan lebih kurang 50% menunjukkan petekie atau perdarahan mukosa. Sekitar 25% demam, yang mungkin disebabkan oleh suatu sebab spesifik seperti infeksi saluran napas atau otitis media. Limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm di bawah arkus kosta) dijumpai pada lebih kurang 66%. Hepatomegali kurang lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan artralgia yang disebabkan oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh

ekspansi rongga sumsum tulang akibat sel leukemia. Jarang, ada gejala kenaikan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah, yang menunjukkan keterlibatan selaput otak. Anak dengan LLA sel-T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan lelaki lebih banyak; 66% menunjukkan massa mediastinum anterior, suatu gambaran yang sangat berkaitan dengan subtipe leukemia (Tabel 449-1).

LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Nyeri tulang kurang sering dibanding dengan pada LLA. Hepatosplenomegali sering; limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembengkakan kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal dari sel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retro-orbital dan epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung darah biasanya abnormal; anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah.

LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leukopeni, atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan sumsum tulang dan adanya sel blas di sumsum tulang. Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi sebagian besar kasus berkembang menjadi LMA. Seperti LMA sekunder, sindrom mielodisplasia dapat timbul pada anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya.

Awitan gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat masif) atau dengan gejala hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat badan, anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis, seperti gangguan penglihatan atau priapismus, jarang terjadi.

Secara singkat manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia antara lain :

a. Pilek tidak sembuh-sembuh

b. Pucat, lesu, mudah terstimulasi

c. Demam dan anorexia

d. Berat badan menurun

e. Ptechiae, memar tanpa sebab

f. Nyeri pada tulang dan persendian

g. Nyeri abdomen

h. Lumphedenopathy

i. Hepatosplenomegaly

j. Abnormal WBCII.5. Pengobatan

Prosedur pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada anak. Proses induksi remisi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima berbagai agens kemoterapeutik untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2 sampai 3 minggu selama fase konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem saraf pusat dan organ vital lain. Terapi rumatan diberikan selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk memperpanjang remisi. Beberapa obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah prednison (antiinflamasi), vinkristin (antineoplastik), asparaginase (menurunkan kadar asparagin (asam amino untuk pertumbuhan tumor), metotreksat (antimetabolit), merkaptopurin, sitarabin (menginduksi remisi pada pasien dengan leukemia granulositik akut), alopurinol, siklofosfamid (antitumor kuat), dan daunorubisin (menghambat pembelahan sel selama pengobatan leukemia akut).Terapi LLA masa kini didasarkan atas bukti risikolinis; tidak ada definisi kelompok risiko universal. Pada umumnya, penderita dengan risiko baku atau rata-rata untuk relaps adalah antara umur 1 tahun dan 10 tahun, mempunyai jumlah leukosit 100.000/mm3, tidak ada bukti adanya massa mediastinum atau leukemia SSS, dan mempunyai immunofenotipe sel-progenitor-B. Adanya translokasi kromosom spesifik tertentu harus disingkirkan. Rencana terapi untuk penderita risiko baku meliputi pemberian kemoterapi induksi sampai sumsum tulang tidak lagi memperlihatkan sel-sel leukemia yang dapat dikenali secara morfologis, kemudian terapi profilaksis pada SSS, dan terapi lanjutan.

Suatu kombinasi prednison, vinkristin (Oncovin), dan asparaginase akan menghasilkan remisi pada kira-kira 98% dari anak dengan LLA risiko-standar, khas dalam 4. minggu. Kurang dari 5% penderita memerlukan 2 minggu terapi induksi lagi. Terapi lanjutan sistemik, biasanya terdiri dari antimetabolit metotreksat (MTX) dan 6-merkaptopurin (Purinetol), harus diberikan selama 2,5-3 tahun.

Tanpa terapi profilaksis, SSS merupakan tempat awal relaps pada lebih dari 50% penderita. Sel leukemia biasanya ditemukan di selaput otak pada saat diagnosis, walaupun sel-sel itu tidak dapat dilihat pada cairan serebrospinal. Sel-sel ini bertahan hidup dari kemoterapi sistemik karena penetrasi sawar darah-otak obat jelek. Iradiasi kranium mencega leukmia SSS tersembunyi pada kebanyakan penderita tetapi menyebabkan efek lambat neuropsikologik, terutama pada anak kecil. Karena itu, penderita risiko-standar khas hanya diberi kemoterapi intratekal saja untuk mencegah keterlibatan SSS klinis.

Kebanyakan penderita dengan LLA sel-T mengalami relaps dalam 3-4 tahun jika diterapi dengan regimen risiko standar. Dengan regimen obat ganda yang lebih intensif, 50% penderita atau lebih mengalami remisi jangka-panjang. Ada dikembangkan suatu terapi sasaran yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi sifat unik dari sel-T leukemia. Suatu contoh dari pendekatan ini adalah antibodi monoklonal terhadap anti gen permukaan sel-T yang dikonjugasikan pada imunotoksin. Kompleks antibodi-imunotoksin akan menempel pada limfoblas-T, mengalami endositosis, dan membunuh sel.

Kasus sel-B dengan morfologi L3 dan ekspresi imunoglobulin permukaan dulu mempunyai prognosis buruk. Penderita demikian paling baik diterapi dengan regimen pendek (3 bulan) tetapi intensif yang dikembangkan untuk limfoma sel B. Dengan pendekatan ini, angka kesembuhan membaik secara dramatis dari 20% satu dekade yang lalu menjadi 50% atau lebih.

Sumsum tulang adalah tempat relaps paling umum, meskipun hampir semua bagian tubuh dapat dipengaruhi. Di banyak pusat, sumsum tulang diperiksa secara berkala untuk memastikan remisi yang berkelanjutan. Apabila terdeteksi relaps sumsum tulang, terapi ulang intensif yang meliputi obat-obat yang tidak digunakan sebelumnya dapat mencapai kesembuhan 15-20% dari penderita, terutama yang pernah mngalami remisi lama (18 bulan). Untuk penderita yang mengalami relaps sumsum tulang, kemoterapi intensif diikuti CS dari donor sekandung yang cocok memberi kesempatan sembuh yang lebih besar. Transplantasi dari bukan keluarga yang cocok atau keluarga yang tidak cocok atau autolog merupakan pilihan untuk penderita yang tidak memiliki donor sekandung yang histokompatibel (lihat Bab 448.2).

Sisi relaps ekstramedular yang paling penting adalah SSS dan testis. Manifestasi awal yang umum dari leukemia SSS disebabkan oleh kenaikan tekanan intrakranial dan meliputi muntah-muntah, nyeri kepala, edema papil, dan letargi. Meningitis kimiawi sekunder akibat terapi intratekal dapat menimbulkan gejala yang sama dan harus dipertimbangkan. Kejang dan kelumpuhan saraf kranial tersendiri dapat terjadi pada leukemia SSS atau efek samping vinkristin. Keterlibatan hipotalamus jarang tetapi harus dicurigai bila ada kenaikan berat badan berlebihan atau gangguan perilaku. Pada kebanyakan kasus, tekanan cairan. serebrospinal meningkat, dan cairan menunjukkan pleositosis karena sel leukemia. Jika jumlah normal, sel leukemia mungkin dapat dijumpai pada preparat apus cairan srebrospinal setelah sentrifugasi.

Penderita dengan relaps SSS harus diberi kemoterapi tratekal tiap minggu selama 4-6 minggu sampai limfoblas menghilang dari cairan serebrospinal. Dosis harus disesuaikan dengan umur karena volume cairan serebrospinal tidak sebanding dengan luas permukaan badan. Iradium kranium merupakan. satu-satunya cara yang, dapat melenyapkan leukemia SSS jelas dan harus diberikan setelah terapi tratekal. Terapi sistemik harus lebih intensif karena penderita ini mempunyai risiko.tinggi untuk kemudian relaps sumsum tulang. Akhimya, terapi SSS profilaksis harus diulangi pada setiap penderita yang mengalami relaps di sumsum tulang atau lokasi ekstramedular manapun.

Relaps testikular biasanya menyebabkan pembengkakan tidak nyeri pada satu atau kedua testis. Penderita sering tidak menyadari kelainan tersebut, karena itu perlu sekali perhatian pada ukuran testis pada waktu diagnosis dan pemantauan. Diagnosis dipastikan dengan biopsi. Terapi harus meliputi iradiasi gonad. Karena relaps testis biasanya mengisyaratkan adanya relaps sumsum tulang mengancam, maka terapi yang sistemik harus lebih diperkuat bagi penderita yang masih dalam terapi atau diulang lagi bagi penderita yang relaps setelah terapi. Seperti ditekankan di atas, terapi yang terarah ke SSS bagus juga diulang.

Terapi LMA telah semakin baik tetapi tetap tidak memuaskan. Antara 70-80% penderita mencapai remisi setelah terapi dengan regimen kemoterapi yang meliputi antrasiklin (daunomisin, idarubisin) dan sitarabin. Perawatan suportif optimal penting untuk membantu penderita agar cukup waktu untuk berespons terhadap terapi karena kebanyakan penderita yang tidak responsif meninggal akibat infeksi atau toksisitas oleh kemoterapi. Remisi mungkin terjadi dalam 2-3 minggu setelah terapi dimulai tetapi juga memerlukan 8-12 minggu atau lebih lama dan memerlukan beberapa rangkaian kemoterapi. Penderita yang tidak berespons terhadap terapi induksimerupakan calon untuk transplantasi allogenik.

Pendarahan akibat aktivasi patologik faktor penjendalan dan/atau fibrinolisis merupakan masalah tersendiri pada leukemia promielositik Akut, tetapi pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi DIC, harus juga dikerjakan untuk variasi LMA yang lain. Transfusi trombosit dan plasma baru segar merupakan keharusan untuk penderita dengan DIC; kebutuhan heparin atau terapi antifibrinolitik kurang pasti. Asam retinoa sebagai awal terapi untuk leukemia promielositik dapat mengurangi risiko perdarahan tetapi tidak kuratif. Namun, kemoterapi obat ganda untuk induksi remisi dan konsolidasi mungkin kuratif untuk kebanyakan penderita.

Sekali penderita mencapai remisi, terapi lanjutan optima belum ditentukan. Pilihan dapat meliputi CST autolog atau allogeneik atau kemoterapi intensif; tidak satu pun dari pendekatan ini telah menunjukkan keuntungan ketahanan hidup mutlak. CST allogeneik selama remisi pertama terbatas pada penderita yang mempunyai donor sekandung.

Kemoterapi intratekal perlu untuk mencegah relaps SSS. Kemoterapi intratekal biasanya dapat membersihkan sel leukemia dari cairan serebrospinal pada penderita yang menunjukkan leukemia SSS pada waktu diagnosis (~ 10% kasus) atau yang mengalami relaps SSS, tetapi radiasi SSS mungkin diperlukan untuk melenyapkan leukemia secara permanen.

Karena sindrom mielodisplasia cenderung berkembang menjadi leukemia, penderita biasanya diterapi dengan protokol LMA. Jika penderita relatif tidak bergejala, terapi mungkin ditunda sampai gejala berkembang. Induksi remisi kurang berhasil pada sindrom mielodisplasia dibanding dengan LMA. Oleh sebab resistensi terhadap terapi ini dan pertimbangan lain, CST allogeneik sering merupakan terapi pilihan. Atas alasan sama, CST allogeneik dianjurkan untuk penderita dengan JCML. Bila donor yang cocok-genotip antigen histokom patibilitas (HLA) tidak ada, donor yang relatif cocok sebagian atau donor yang tidak ada hubungan yang cocok dapat dipertimbangkan.

Pada fase kronis, leukositosis dan gejala dapat dikendalikan dengan kemoterapi busulfan. (Myleran) atau hidroksiurea, tetapi kromosom Philadelphia tidak ditekan. Disamping untuk mengendalikan leukositosis, interferon- juga menekan kromosom Philadelphia secara sempurna, pada kira-kira 20% kasus, dan tampaknya memperpanjang fase kronis. Namun, satu-satunya terapi kuratif pada waktu ini adalah CST allogeneik. Angka ketahanan hidup jangka-panjang penderita anak yang menerima alograf dari saudara kandung identik-HLA pada fase kronis awal sekitar 80%. Ini merupakan terapi pilihan jika terdapat donor yang cocok. Bila donor adalah angota keluarga cocok sebagian atau donor yang tidak ada hubungan yang cocok, mortalitas terkait-cangkok lebih tinggi, dan angka ketahanan hidup (survival) sekitar 50-60%. Krisis blas limfoid biasanya dapat dibalikkan menjadi fase kronis dengan terapi baku LLA, sedangkan krisis mieloid umumnya refrakter terhadap kemoterapi LMA baku; median ketahanan hidup hanya 3-4 bulan. Jika CST ditunda sampai krisis blas terjadi, maka ketahanan hidup hanya 16-20%.

Pada umumnya terapi yang diberikan pada penderita Leukemia adalah :

a. KemoterapiDapat diberikan melalui mulut, kateter yang dipasang di antara dada dan leher, injeksi intravena, atau bahkan injeksi langsung ke cairan serebrospinal (cairan yang berada di luar pembuluh darah utama otak). Hal ini dilakukan jika injeksi intravena tidak dapat menjangkau cairan serebrospinal karena terhambat dinding pembuluh darah otak. Penderita menjalani kemoterapi dalam siklus tertentu, misalnya dalam periode penyembuhan dan periode pemulihan. Kemoterapi dapat dilakukan dengan opname atau rawat jalan di rumah.

b. Radiasi

Terapi ini menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Radiasi dapat dilakukan dengan mesin langsung pada organ yang diserang, misalnya pada pembuluh darah otak atau ke seluruh tubuh.

c. Transplantasi sel induk (stem cell)

Metode ini ditempuh dengan pengobatan berdosis tinggi dan radiasi yang bertujuan untuk membunuh sel kanker dan sel normal yang diproduksi di sumsum tulang. Setelah semua sel induk hilang, maka sumsum tulang ditransplantasikan melalui sebuah pipa di pembuluh darah vena yang menembus ke tulang belakang di leher atau dada penderita.

Perawatan dan pengobatan kanker seringkali menimbulkan efek samping yang spesifik sesuai dengan tipe terapinya dan tingkat keparahan kanker yang diderita. Umumnya, perawatan kanker memang selalu menimbulkan efek samping dikarenakan banyak jaringan yang mati karena pengobatan. Sebagai tambahan, penderita kanker juga perlu mendapatkan perawatan untuk mengatasi rasa sakit yang ditimbulkan akibat pengobatan dan juga konsultasi emosi selama menjalani perawatan. Perawatan ini disebut dengan perawatan paliatif dan support care.

II.7. PrognosisBanyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi kehilangan arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam mengarahkan terapi ke arah risiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkat regimen terapi kontemporer. Karena itu, terapi merupakan faktor prognostik tunggal yang paling penting. Hitung leukosit awal mempunyai hubungan linier terbalik dengan kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan peramal yang dapat dipercaya (reliabel). Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang dari 12 bulan jauh lebih buruk dibanding anak dan, kelompok umur pertengahan (intermediate). Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi. Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respons terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom-t(9;22). atau kromosom Philadelphia,. Dan t(4; 11)-mempunyai prognosis buruk. Beberapa.peneliti menganjurkan CST selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi tersebut. LLA progenitor sel-B dengan t(l; 19) mempunyai prognosis kurang baik dibanding kasus lain dengan imunofenotip ini; hanya 60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat terapi sangat intensif.

Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang.mengalami relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogeneik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang lebih baik.

BAB III

Asuhan Keperawatan

III.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahapan pertama dari proses keperawatan yang meliputi pengumpulan data, mengatur dan memvalidasi data. Pengkajian harus sudah dilakukan sebelum diagnosa keperawatan dibuat. Pengkajian adalah bagian dari setiap aktifitas perawat yang dilakukan untuk dan bersama klien (Atkinson dan Murray, 1990)

Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)Identitas pasien

Pengkajian Identitas pasien berisi data demografik faktual tentang klien. Data tersebut dapat berupa nama anak/orang tua, umur, alamat, nomor telepon, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, agama, kewarganegaraan dan tipe asuransi yang di tanggung serta data klien masuk RS.

a. Umur.

Pengkajian umur klien adalah untuk mengetahui usia anak terkait insidensi terjadinya leukimia pada anak, misalnya pada Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira-kira 75% dari semua kasus dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun dan Leukemia mieloid akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Anak dengan LLA sel-T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan lelaki lebih banyak; 66% menunjukkan massa mediastinum anterior, suatu gambaran yang sangat berkaitan dengan subtipe leukemia.b. Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan menentukan seberapa jauh pengetahuan orang tua terhadap kesehatan mangingat kecenderungan pada msyarakat dengan pendidikan rendah kepedulian terhadap kesehatan maupun dalam mencari pertolongan kesehatan.

c. Pekerjaan orang tua

Pekerjaan orang tua menentukan kedekatan terhadap anak. Pada orng tua dengan karir yang padat makan hubungan antara anak dan orang tua sedikit mengalami jarak yang menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah anak.

Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Keluhan yang diraskan paling utama yang membuat klien merasa tidak nyaman yang menjadi alasan utama individu mencari bantuan profesional kesehatan. Dapat diperoleh langsung dari pasien jika mampu, dan bisa dari keluarga. Keluhan tergantung dari perasaan subjektifitas klien saat masalah dirasakan. Misalnya:

Ibu dengan bingung mengungkapkan keadaan anaknya yang semakin melemah dan badanya demam serta pilek yang tidak sembuh-sembuh.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Dalam pengkajian riwayat dahulu yang perlu dikaji adalah masalah kesehatan klien yang terjadi sebelumnya yang mungkin berkaitan dengan masalah yang dialami klien saat ini, seperti: pengobatan kanker sebelumnya. Mungkin ada riwayat infeksi virus atau eksantem dan penderita seperti tidak mengalami kesembuhan sempurna. Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga timbul anemia, perdarahan (trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan), gambaran ini biasanya mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.

Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu hingga hari.Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama. Terkadang, penderita tidak merasakan gejala apa-apa. Kondisinya memburuk dalam waktu lama.c. Riwayat kesehatan sekarang

1. Keluhan-keluhan yang dirasakan

2. Ada tidaknya penyakit penyerta yang diderita sat ini

d. Riwayat kesehatan keluarga

Pengkajian riwayat keluarga adalah meliputi semua masalah kesehatan yang pernah dialami keluarga terutama sang ibu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya riwayat penyakit yang diwariskan secara genetic, yang mempengaruhi kesehatan klien saat ini. Misalnya: adanya gangguan hematologis, adanya faktor herediter misal kembar monozigot), Hemofili, Hipertensi, DM, Riwayat penyakit menular dalam keluarga, dll.

Pemeriksaan fisiskPengkajian umum pada leukemia meliputi :1. Keadaan umum: 25% demam karena infeksi saluran nafas atau otitis media, jarang terjadi kenaikan TIK

2. Sirkulasi: terjadi perdarahan mukosa dan meningkat pada LMA

3. Neurosensori: mudah terstimulasi oleh rangsangan, kejang dan kelumpuhan syaraf

4. Kepala: mata pucat, mulut terjadi hipertrofi ginggiva, pembengkakan kelenjar parotis, massa leukemia sering didaerah retro orbital dan epidural

5. Muskuloskeletal: letargi (kelemahan), 25% mengalami nyeri tulang dan artralgia (jarang pada LMA)

6. Kulit: iritabel, petecki (perdarahan mukosa), 7. Dada: hepatosplenomegali