askep lansia dengan gangguan psikologis

47
MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN PSIKOLOGIS (CEMAS, DEPRESI, BERDUKA) Disusun oleh : Setia Sari Dewi (NIM 121812021) Dosen Pengajar atau Pembimbing: Dr. Syamilatul Khariroh, S.Kp.,M.Kes

Transcript of askep lansia dengan gangguan psikologis

Page 1: askep lansia dengan gangguan psikologis

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN PSIKOLOGIS (CEMAS, DEPRESI, BERDUKA)

Disusun oleh :

Setia Sari Dewi (NIM 121812021)

Dosen Pengajar atau Pembimbing:

Dr. Syamilatul Khariroh, S.Kp.,M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH TANJUNGPINANG

TANJUNGPINANG - KEPULAUAN RIAU

TA 2019

Page 2: askep lansia dengan gangguan psikologis

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillah, dengan mengucap syukur kepada Sang Maha Pencipta yang memiliki

kesempurnaan dan yang telah memberikan nikmat tak terhingga jumlahnya,sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Gangguan

Psikologis (Cemas, Depresi, Berduka)”

Sholawat dan salam tak lupa kami hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW.Yang telah

membawa umatnya dari zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan

seperti sekarang ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Heri Priatna,, SSt. FT,SKM,S. Sos, MM, selaku ketua Stikes Hangtuah

Tanjungpinang.

2. Dr. Syamilatul Khariroh, S.Kp.,M.Kes selaku dosen pembimbing.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan

saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan

makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta

dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai

segala usaha kita. Amin.

Tanjungpinang, 9 Oktober 2019

Penulis

2

Page 3: askep lansia dengan gangguan psikologis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................4

B. Rumusan Masalah..................................................................................4

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................4

D. Manfaat Penulisan ................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN

A. Definisi dying dan kematian.................................................................6

B. Diskripsi rentang pola hidup sampai menjelang kematian....................6

C. Perkembangan persepsi kematian……………………………………..7

D. Ciri – ciri kematian……………………………………………………8

E. Pendampingan pasien yang Sakaratul maut…………………………...9

F. Moral dan etika pada pasien dying……………………………………12

G. Hubungan pasien dan perawat………………………………………...13

H. Peran perawat…………………………………………………………14

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan .........................................................................................15

B. Saran ...................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

3

Page 4: askep lansia dengan gangguan psikologis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan

pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia.

Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan

psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut

usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi

klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan

lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga

perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta,

pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif

(Weinberg, 1995; Gunadi, 1984).

Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan

adanya pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis danday

hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts,

Allen, 1987). Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat

dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

1.2. TUJUAN PENULISAN

            Penulisan makalah bertujuan agar pembaca mengetahui dan memahami Askep psikologi

pada lansia.Untuk para perawat agar dapat mengaplikasikan pengetahuan yang didapat kedalam

praktek lapangan.

1.3. METODE PENULISAN

            Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode kepustakaan dan Browsing

Internet.

4

Page 5: askep lansia dengan gangguan psikologis

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN

            Sistematika penulisan yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

BAB III ASKEP

BAB IVPENUTUP.

5

Page 6: askep lansia dengan gangguan psikologis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Teori Lansia

2.1.1. Batasan Lansia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:

a.       Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b.      Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.

c.       Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.

d.      Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.

           

2.1.2. Proses Menua

Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah

melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho,

1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa

tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai

dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun,

gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat.

2.2. Teori Kejiwaan Lansia

2.2.1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)

Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori

ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam

kegiatan sosial.  Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.

Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia

pertengahan ke lanjut usia.

2.2.2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan

gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada

seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.

6

Page 7: askep lansia dengan gangguan psikologis

2.2.3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-

angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi

sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi

kehilangan ganda (triple loss), yakni:

•         Kehilangan Peran

•         Hambatan Kontak Sosial

•         Berkurangnya Kontak Komitmen

2.3. Teori Psikologi

            Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai

individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa

tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak

disadari.( Muhibbin Syah (2001)

2.3.1. Teori Tugas Perkembangan

Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain

adalah:

a.       Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan

b.      Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan

c.       Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

d.      Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya

e.       Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

f.       Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat

muncul sebagai akibat tuntutan:

a.       Kematangan fisik

b.      Harapan dan kebudayaan masyarakat

c.       Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi

Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi

seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).

7

Page 8: askep lansia dengan gangguan psikologis

2.3.2. Teori Individual Jung

Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase

kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia

pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan

ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau

kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara

kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi

kesehatan mental.

2.3.3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan

Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana

kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah

mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa

pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan

hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori

perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih

dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan

tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego preokupasi.

Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan

yang harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan

mendapatkan dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru

sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal

yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan

penurunan harga diri dari orang tua tersebut.

2.4 Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia. Faktor-faktor

tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka

dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi

kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:

8

Page 9: askep lansia dengan gangguan psikologis

a. Penurunan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik

yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji

menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi

fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.

Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun

sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.

Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu

menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga

mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.

Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,

tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.

b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan

berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes

millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena

pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu,

seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :

·         Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia

·        Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan

budaya.

·         Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

·         Pasangan hidup telah meninggal.

·         Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya

cemas, depresi, pikun dsb.

c. Perubahan Aspek Psikososial

9

Page 10: askep lansia dengan gangguan psikologis

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi

kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,

pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi

makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan

dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia

menjadi kurang cekatan.

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek

psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut

dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:

1).  Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak

mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.

2)   Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan

mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang

dapat memberikan otonomi pada dirinya.

3)   Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat

dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa

lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan

akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.

4)   Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia

tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak

diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-

marit.

5)    Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat

sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah

dirinya.

d. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan

Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal

pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam

10

Page 11: askep lansia dengan gangguan psikologis

kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan

penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang

memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan

pada point tiga di atas.

Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?

Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.

Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki

jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing

sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun

negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu

kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan

pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan

hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.

Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-

masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah

minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan

setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya

memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha

sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.

Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga

menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya,

masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia

tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur,

penghasilan berkurang dan sebagainya.

e. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat

Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya

maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya

menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga

sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka

melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau

11

Page 12: askep lansia dengan gangguan psikologis

diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan

orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung

diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila

ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki

keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota

keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu

memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak

punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun

tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,

seringkali menjadi terlantar.

2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi pada lansia

2.5.1. Depresi

2.5.1.1. Pengertian

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam

perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu

rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh

diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang

berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri

atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan

depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh

diri.

Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah,

rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;,

depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan

kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi

adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).

12

Page 13: askep lansia dengan gangguan psikologis

2.5.1.2. Tanda Dan Gejala Depresi

Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek

seperti:

1.      Afektif

Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,

ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.

2.      Fisiologik

Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan,

insom¬nia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat

badan.

3.      Kognitif

Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,

menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri,

pesimis, ketidakpastian.

4.      Perilaku

Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah

tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial,

mudah menangis, dan menarik diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:

1.      Depresi Ringan

Gejala :

a)      Kehilangan minat dan kegembiraan

b)      Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya

aktivitas.

c)      Kosentrasi dan perhatian yang kurang

d)     Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

2.      Depresi Sedang

Gejala :

a)      Kehilangan minat dan kegembiraan

13

Page 14: askep lansia dengan gangguan psikologis

b)      Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya

aktivitas.

c)      Kosentrasi dan perhatian yang kurang

d)     Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

e)      Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

3.      Depresi Berat

Gejala :

a)      Mood depresif

b)      Kehilangan minat dan kegembiraan

c)      Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang

nyata sesu¬dah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

d)     Konsentrasi dan perhatian yang kurang

e)      Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

f)       Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

g)      Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri

h)      Tidur terganggu

i)        Disertai waham, halusinasi

j)        Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia

Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah

atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah

mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak

memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi

(Mahajudin, 2007).

Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini,

mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan

fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan

pengabaian terhadap proses  penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak

tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya

14

Page 15: askep lansia dengan gangguan psikologis

keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa

kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang

kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997). Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala

depresi pada lansia :

1.      Kognitif

Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi.

Pertama, individu yang mengalami  depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka

berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa

bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi

masalah dan  segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya

(self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani

hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak

ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi

masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya berkurang.

Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.

2.      Afektif

Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan

semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang

mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat

terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.

3.      Somatik

Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur

yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang.

Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena

aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang

kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).

4.      Psikomotor

Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering

duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar

dan sering menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup

untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all

15

Page 16: askep lansia dengan gangguan psikologis

(2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep)

pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa

tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty),

merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir

(concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering duduk terkulai

(psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)

2.5.1.4. Penyebab Depresi

Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :

a.    Faktor Predisposisi

1)      Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat

keluarga dan keturunan.

2)      Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan

marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.

3)      Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda

atau yang sangat berarti.

4)      Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga

diri rendah mempe ngaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.

5)      Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi

oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa depan

seseorang.

6)      Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan

semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai

kendali terhadap  hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon

yang tidak adaptif.

7)      Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi

terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.

8)      Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,

termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik

dalam irama biologis.

16

Page 17: askep lansia dengan gangguan psikologis

b.     Stresor Pencetus

Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )

menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :

1)      Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,

fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep

kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.

2)      Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode

depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan

kemampuan menyelesaikan masalah.

3)      Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi,

terutama pada wanita.

4)      Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti

infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam

perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat

yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga

sering disertai depresi.

Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi

(teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri

dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).

2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius

dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait.

Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut

Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :

1.      Pendekatan Psikodinamik

Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan

terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang

yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari

kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami

atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan

17

Page 18: askep lansia dengan gangguan psikologis

orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal,

bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.

Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan sedih

dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali

mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai  tetapi marah dan benci

karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi

merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik,

marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang

terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan

yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut diatas

seringkali  menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan biologis.

Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya

kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.

Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering

menyebabkan depresi.

Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif

(defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain  (Coyne ett

all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan

sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti

bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang

mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).

2.      Pendekatan Perilaku Belajar

Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang

menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak

dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ;

Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini

mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan

memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan

hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri.

Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan

18

Page 19: askep lansia dengan gangguan psikologis

hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga

mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward  dan punishment itu. Peran hadiah dan

hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ;

Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).

Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika

pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan

perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi

menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan

performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang

sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif  untuk mendapat

hadiah tidak ditemukan.

3.      Pendekatan Kognitif

Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena

memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan

diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan

pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu

yang  kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu,

individu akan memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa

depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah

kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend,

1998).

Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi

pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat

aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat

mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness).

Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;

Samiun, 2006).

Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering

adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis

dan keputusasaan.  Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned

19

Page 20: askep lansia dengan gangguan psikologis

helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan

dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik

yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering

dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).

4.      Pendekatan Humanistik – Eksitensial

Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya

ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam

antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan

dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.

Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi

pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk

bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang

mengalami perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka

segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai

seseorang yang real.

5.      Pendekatan Fisiologis

Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang

rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi

mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi

hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar,

1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan

keluhan-keluhan tersebut.

Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik

Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara

(Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara

keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.

Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik

dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri

karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta

20

Page 21: askep lansia dengan gangguan psikologis

kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis

penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya

depresi pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga

depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.

Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:

1.   Distorsi dalam perilaku makan

2.   Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)

3.   Merasa putus asa dan tidak berarti.

4.   Berat badan berubah drastis

5.   Gangguan tidur.

6.   Sulit berkonsentrasi

7.   Keluarnya keringat yang berlebihan

8.   Sesak napas

9.   Kejang usus atau kolik

10.  Muntah

11.  Diare

12.  Berdebar-debar

13.  Gangguan dalam aktivitas normal seseorang

14.  Kurang energi

2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)

Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang

setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena

adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun

tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua,

namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai

kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001).

Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari

model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental

lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa

21

Page 22: askep lansia dengan gangguan psikologis

pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa

senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah).

Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik

positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative

akan mengganggu kesejahteraan hidup.

Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal,

peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang

tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau

(perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan

kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).

Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai

kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang

kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini

telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya

keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan

terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan

perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power

syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial

dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.

Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa

lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam

perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan

kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka

keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan

perilaku.

Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan

perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya.

Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme defensive

antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi

seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress

psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang

22

Page 23: askep lansia dengan gangguan psikologis

menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala

badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia

itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat dalam hal ini.

Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik dan

komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus

asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul

pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak

bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia

(kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan

konstipasi.

2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi

Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda

(Endah dkk, 2003) :

a.       Faktor Psikologis

Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan

apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang

yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda,  dan keterasingan merupakan stressor

bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk

tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi

terhadap situasi baru.

Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan

kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.

Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering

menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan

social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti

bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang

mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).

Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal

karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan

23

Page 24: askep lansia dengan gangguan psikologis

lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi

kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.

b.      Faktor Psikososial

Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social

mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan

keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat

menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi

ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia

antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan

self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).

Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi

lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah

tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi

merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian

persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering

mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan

depresi (Friedman, 1995).

Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang

setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah

hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran

penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan

peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).

c.       Faktor Budaya

Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia

tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk

menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family

system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi

mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis

24

Page 25: askep lansia dengan gangguan psikologis

menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah

penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya

dan mempengaruhi kesehatannya.

Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal

dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang

memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan

mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman,

1998).

2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya.

Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi.

Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang

terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada

lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat,

baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini

diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan

memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari

pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas

alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan

dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana

yang diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu

sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak

mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10

menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30

termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik

terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan.

Pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya” diberi nilai 0.

Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai

berikut:

25

Page 26: askep lansia dengan gangguan psikologis

No.      Pernyataan      Ya       Tidak

1.         Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?            

2.         Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir

ini?               

3.         Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup ini?            

4.         Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?                    

5.         Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di masa depan?               

6.         Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang menganggu terus

menerus?                     

7.         Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?            

8.         Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?                       

9.         Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?                

10        Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?                  

11.       Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?              

12.       Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan

sesuatu?                       

13.       Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?                  

14.       Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?                  

15.       Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini

menyenangkan?                    

16.       Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?                      

17.       Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?                 

18.       Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?                      

19.       Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?                     

20        Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang baru?                 

21.       Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?              

22.       Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan?                

23.       Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada

bapak/ibu?               

24.       Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?            

25.       Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?                 

26

Page 27: askep lansia dengan gangguan psikologis

26.       Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?                     

27.       Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi hari?              

28.       Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?                     

29.       Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?                       

30.       Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu seperti

dulu?                  

2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia

Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu

ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut

karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut

usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam

bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu

pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek

psychological, psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik

adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut

usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).

Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:

1)      Pendekatan Psikodinamik

Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang

berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi

kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara

menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan

kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887),

pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan

perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan

pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai

macam emosi.

Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-pemikiran

dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini

manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat

27

Page 28: askep lansia dengan gangguan psikologis

ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini

manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari,

1996).

2)      Pendekatan Perilaku Belajar

Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya hukuman

atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-

aspek leingkungan yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan

keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang

menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan

manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-

reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.

Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah dan

hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan

hukuman dari kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku

supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan

keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.

3)      Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan masa

lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana

hati dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan

menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006).

Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari rangkaian

verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi

dan tingkah laku diri.

Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi dan

mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative,

mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan

perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.

4)      Pendekatan Humanistik Eksistensial

Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya didunia ini

dengan memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab

28

Page 29: askep lansia dengan gangguan psikologis

terhadap arah hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu

menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara

secara psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat

pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih

mempu menetapkan masa depan.

5)      Pendekatan Farmakologis

Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi)

dengan obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan

adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

2.5.10 Penatalaksanaan Depresi pada Lansia:

a. Terapi Biologik

1. Pemberian obat antidepresan

2. Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy

3. Terapi sulih hormon

4. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)

b. Terapi Psikososial (Psikoterapi)

Bertujuan mengatasi masalah Psikoedukatif, yaitu:

a.       Mengatasi kepribadian maladaptif,

b.      Distorsi pola berpikir,

c.       Mekanisme koping yang tidak efektif,

d.      Hambatan relasi interpersonal.

Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah Sosiokultural, seperti

a.       Keterbatasan dukungan dari keluarga,

b.      Kendala terkait faktor kultural,

c.       Perubahan peran sosial.

c. Perubahan Gaya Hidup

1.      Aktivitas fisik terutama olah-raga.

2.      Pasien dibiasakan berjalan kaki setiap pagi/sore sehingga energi dapat diä serta me(-)

stress karena kadar norepinefrin meningkat.

29

Page 30: askep lansia dengan gangguan psikologis

3.      Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk

menenangkan pikirannya

d.    Diet Sehat

 Me(-) asupan gizi yg me(+) kadar stress jg perlu dilakukan.

Memperhatikan jenis makanan yg akan disajikan kpd lanjut usia yg mengalami depresi.

Makanan berat scr otomatis akan memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik àcabang dr

sistem syaraf otonom yg meæ kesadaran.

Depresi berhub. dg tingkat kesadaran yg rendah. Kesadaran mengacu pd proses psikologis yg

meliputi hal-hal seperti kemampuan utk memusatkan perhatian seseorang & kemampuan utk

bekerja scr efektif.

30