askep ADHD
-
Upload
rochmatul-ummah -
Category
Documents
-
view
303 -
download
61
description
Transcript of askep ADHD
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Attention Deficit Hyperaktivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan tingkat
gangguan perhatian, impulsivitas dan hiperaktivitas yang tidak sesuai
dengan tahap perkembangan dan gangguan ini dapat terjadi disekolag
maupun di rumah (Isaac, 2005). Pada kira-kira sepertiga kasus, gejala-gejala
menetap sampai dengan masa dewasa (Townsend, 1998). ADHD adalah
salah satu alas an dan masalah kanak-kanak uyang paling umum mengapa
anak-anak dibawa untuk diperiksa oleh para professional kesehatan mental.
Konsensus oendapat professional menyatakan bahwa kira-kira 305% atau
sekitar 2 juta anak-anak usia sekolah mengidap ADHD (Martin, 1998).
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 5% dari populasi usia
sekolah sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh ADHD, yaitu sekitar 1 %
sangat hiperaktif. Sekitar 30-40% dari semua anak-anak yang diacu untuk
mendapatkan bantuan professional karena masalah perilaku, datang dengan
keluhan yang berkaitan dengan ADHD (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).
Dewasa ini, anak ADHD semakin banyak. Sekarang prevalensi anak
ADHD di Indonesia meningkat menjadi sekitar 5% yang berarti 1 dari 20
anak menderita ADHD. Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai faktor
seperti genetik ataupun pengaruh lingkungan yang lain, seperti pengaruh
alkohol pada kehamilan, kekurangan omega 3, alergi terhadap suatu
makanan, dan lain-lain (Verajanti, 2008).
Kenyataannya ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan
hiperaktif. Oleh karena itu, makan istilah ADHD di Indonesia, lazimnya
diterjemahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan atau tanpa
Hiperaktif (GPP/H). Anak yang mengalami ADHD kerap kali tumpang tindih
dengan kondisi-kondisi lainnya seperti disleksia, dispraksia, gangguan
menentang dan melawan. (Baihaqi, 2008).
1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimana anatomi fisiologi Sistem Saraf ?
2. Apa pengertian dari ADHD ?
3. Apa epidemiologi dari ADHD ?
4. Apa etiologi dari ADHD ?
5. Apa macam – macam gangguan dari ADHD ?
6. Apa psikopatologi dari ADHD ?
7. Apa manifestasi klinis dari ADHD ?
8. Apa komplikasi dari ADHD ?
9. Apa pemeriksaan penunjang untuk ADHD ?
10. Bagaimana pencegahan dari ADHD ?
11. Bagaimana penatalaksanan medis dan perawatan pada anak dengan
ADHD ?
12. Apa peran orang tua terhadapa anak dengan ADHD ?
13. Bagaimana asuhan keperawatan dengan anak ADHD ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Sistem Saraf.
2. Untuk mengetahui pengertian dari ADHD.
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari ADHD.
4. Untuk mengetahui etiologi dari ADHD.
5. Untuk mengetahui macam – macam gangguan dari ADHD.
6. Untuk mengetahui psikopatologi dari ADHD.
7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ADHD.
8. Untuk mengetahui komplikasi dari ADHD.
9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk ADHD.
10. Untuk mengetahui pencegahan dari ADHD.
11. Untuk mengetahui penatalaksanan medis dan perawatan pada anak
dengan ADHD.
12. Untuk mengetahui peran orang tua terhadapa anak dengan ADHD.
13. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan anak ADHD.
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf
Jaringan saraf terdiri dari :
1. Neuron (sel saraf)
Merupakan unit anatomis dan fungsional sistem persarafan.
3
Bagian-bagian dari neuron yaitu
a) Badan sel (inti sel terdapat didalamnya).
b) Dendrit : menghantarkan impuls menuju badan sel.
c) Akson : menghantarkan impuls keluar dari badan sel.
Klasifikasi neuron berdasarkan bentuk yaitu
1. Neuron unipolar
Terdapat satu tonjolan yang bercabang dua dekat dengan badan sel,
satu cabang menuju perifer dan cabang lain menuju SSP (neuron
sensorik saraf spinal).
2. Neuron bipolar
Mempunyai dua tonjolan, 1 akson dan 1 dendrit.
3. Neuron multipolar
Terdapat beberapa dendrit dan 1 akson yang dapat bercabang-
cabang banyak sekali.
Sebagian besar organela sel pada neuron terdapat pada sitoplasma
badan sel. Fungsi neuron : menghantarkan impuls saraf keseluruh tubuh
(somatik dan viseral). Impuls neuron bersifat listrik disepanjang neuron
dan bersifat kimia diantara neuron (celah sinap / cleft sinaptik) Zat kimia
yang disinteis neuron dan disimpan didalam vesikel ujung akson disebut
neurotransmiter yang dapat menyalurkan impuls. Contoh
neurotransmiter : asetilcolin, norefineprin, dopamin, serotonin, gama
aminobutirat (GABA).
2. Sel penyokong (Neuroglia pada SSP & sel schwann pada SST).
Ada 4 neuroglia yaitu
a) Mikroglia : berperan sebagai fagosit.
b) Ependima : berperan dalam produksi CSF.
c) Astrosit : berperan menyediakan nutrisi neuron dan mempertahankan
potensial Biolelektrik.
d) Oligodendrosit : menghasilkan mielin pada SSP yang merupakan
selubung neuron.
4
3. Mielin
a) Komplek protein lemak berwarna putih yang menutupi tonjolan saraf
(neuron).
b) Menghalangi aliran ion Na & K melintasi membran neural.
c) Daerah yang tidak bermielin disebut nodus ranvier.
d) Transmisi impuls pada saraf bermelin lebih cepat dari pada yang tak
bermelin, karena adanya loncatan impuls dari satu nodus kenodus
lainnya (konduksi saltatorik)
Mekanisme Penghantaran Impuls
Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel
penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian
erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama
berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf
pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan
medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen
sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak
dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon,
dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan
tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen
magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi
vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31
pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada
sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis
dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose
membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus
dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna.
(Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)
Membran plasma dan selubung sel membentuk membran
semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui
membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat
(keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju
cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran
terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+
5
sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada
aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan
potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran
plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar.
Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell.
2007).
Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi
perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+
dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke
sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami
depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas
disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat
singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan
permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti
oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai
mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel
setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan
dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah
plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera
dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut
periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan
menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron
sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel.
(Snell. 2007)
6
B. Definisi ADHD (Attention Deficit Hyperaktivity Disorder)
ADHD adalah istilah popular, kependekan dari attention deficit
hyperactivity disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang,
hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan). Atau dalam bahasa
Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif.
Sebelumnya, pernah ada istilah ADD, kependekan dari attention deficit
disorder yang berarti ‘gangguan pemutusan perhatian’. Pada saat
ditambahkan ‘hiper-activity/hiper-aktif’ penulisan istilahnya menjadi beragam.
Ada yang ditulis ADHD, AD-HD, ada pula yang menulis ADD/H. Tetapi,
sebenarnya dari tiga jenis penulisan istilah itu, maksudnya adalah sama.
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan
neurobiologis yang ciri-cirinya sudah tampak pada anak sejak kecil. Anak
ADHD mulai menunjukkan banyak masalah ketika SD karena dituntut untuk
memperhatikan pelajaran dengan tenang, belajar berbagai ketrampilan
akademik, dan bergaul dengan teman sebaya sesuai aturan (Ginanjar,
2009). ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas
motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim
dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan berbagai keluhan perasaan
gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu
meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang
berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka meletup-
letup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan (Klikdokter, 2008).
ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder,
suatu kondisi yang pernah dikenal sebagai Attention Deficit Disorder (Sulit
memusatkan perhatian), Minimal Brain Disorder (Ketidak beresan kecil di
otak), Minimal Brain Damage (Kerusakan kecil pada otak), Hyperkinesis
(Terlalu banyak bergerak / aktif), dan Hyperactive (Hiperaktif). Ada kira-kira 3
- 5% anak usia sekolah menderita ADHD (Permadi, 2009).
Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan
perhatian/hiperaktivitas adalah gangguan perilaku yang timbul pada anak
dengan pola gejala restless atau tidak bisa diam, inattive atau tidak dapat
memusatkan perhatian pada perilaku impulsive.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM)
definisi gangguan telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan
7
perubahan konsep tentang penyakit tersebut, dan sampai saat ini konsep
yang tepat untuk kondisi ini masih tetap menjadi perdebatan. Definisi
menurut DSM berubah dari single disorder dengan cirri utama hiperaktivitas
(American Psychiatric Association, 1968) menjadi two dimensional disorder,
dengan tiga subtype diagnosis (American Psychiatric Association, 1994).
Tetapi demikian, berbeda dari DSM IV, menurut International Classification
of Disease Edisi ke 10 (ICD-10, World Health Organization, 1993) gangguan
tersebut diberi nama hyperkinetic disorder atau gangguan hiperkinetik,
hanya dikenal adanya satu tipe gangguan ini. Sesuai dengan DSM IV,
terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness atau tidak mampu
memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.
Jadi, jika didefinisikan secara umum ADHD menjelaskan kondisi anak-
anak yang memperlihatkan symptom-symptom (cirri atau gejala) kurang
konsentrasi, hiperaktif dan impulsive yag dapat menyebabkan
ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka.
Kenyataannya ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan hiperaktif.
Oleh karena itu, makan istilah ADHD di Indonesia, lazimnya diterjemahkan
menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan atau tanpa Hiperaktif
(GPP/H). Anak yang mengalami ADHD kerap kali tumpang tindih dengan
kondisi-kondisi lainnya seperti disleksia, dispraksia, gangguan menentang
dan melawan.
C. Epidemiologi ADHD
Rasio anak laki-laki berbanding perempuan adalah antara 4:1 dalam jenis
dan tipe hiperaktif impulsif dan untuk kurang perhatian rasio anak laki-laki
dan perempuan adalah 1:1. Gejala-gejala ini kurang jelas daripada tipe
hiperaktiv impulsif yang lebih demonstratif. Gejala seperti ini diabaikan dan
didiagnosis dengan keliru pada banyak anak. Menurut penelitian Breton
yang dilakukan pada 1999, ADHD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki
dari pada perempuan, dengan estimasi 204% untuk anak perempuan dan 6-
9% untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun. Anak laki-laki ADHD lebih banyak
terjadi karena mereka lebih menunjukkan perilaku menantang dan agresif
dibandingkan dengan anak perempuan (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).
Bisa jadi anak perempuan dengan ADHD tidak teridentifikasi atau tidak
tertangkap gejalanya karena guru-guru gagal dalam mengenali dan
8
mencatat perilaku kurang perhatian anak perempuan ADHD, kecuali dengan
cara membandingkan dengan simptom-simptom yang digunakan untuk
mendiagnosis ADHD dapat pula memberi sumbangan terhadap perbedaan
jenis kelamin pada umumnya (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Anak ADHD
perempuan cenderung lebih memperlihatkan karakteristik simptom-simptom
kurang perhatian/tidak teratur dengan respons kognitif yang lambat,
misalnya pelupa, lesu darah, mengantuk, cenderung daycream, semas,
depresi dan cenderung berperilaku hiperverbal dibandingkan hiperaktif
(Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).
Gangguan ADHD dapat merusak hidup anak, menghabiskan banyak
energi, menimbulkan rasa sakit secara emosional, menurunkan harga diri
dan secara serius merusak hubungan kekerabatan atau pertemaan. Banyak
anak ADHD cenderung untuk mengembangkan masalah emosional
sekunder, namun ADHD itu sendiri dapat berkaitan dengan faktor – faktor
biologis dans ecara primer bukan gangguan emosional. Meskipun semikian,
masalah emosional dan perilaku kerap kali dapat terlihat pada anak ADHD
karena adanya masalah yang dihadapi anak-anak di sekolah, di rumah dan
di dalam lingkungan sosial mereka (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).
D. Etiologi ADHD
Menurut Adam (2008) penyebab pasti belum diketahui. Namun papar
Hardiono ada bukti bahwa faktor biologis dan genetis berperan dalam
ADHD. Faktor biologis berpengaruh pada dua neurotransmitter di otak, yaitu
dopamine dan norepinefrin. Dopamin merupakan zat yang bertanggung
jawab pada tingkah laku dan hubungan social, serta mengontrol aktifitas
fisik.
Norepinefrin berkaitan dengan konsentrasi, memusatkan perhatian, dan
perasaan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah lingkungan. Karakter
dalam keluarga juga dapat berperan menimbulkan gejala ADHD. Bahkan
dari penelitian di beberapa rumah tahanan, sebagian besar penghuninya
ternyata pernah ADHD pada masa kecilnya. Demikian juga terjadi pada
pengguna narkoba. Belum diketahui apa penyebab pasti anak-anak menjadi
hiperaktif. Namun menurut dunia kedokteran, itu terkait dengan faktor
biologis dan genetik, serta lingkungan.
9
Menurut, Dr. Dwidjo Saputro, SpKJ(K) tahun 2009, etiologi dari ADHD
sebagai berikut :
Gangguan perilaku pada anak adalah akibat dari interaksi antara factor
alami (nature), yaitu factor bawaan dan lingkungan (nurture). Factor alami
meliputi faktor genetik, gangguan biologik yang telah diperoleh sejak saat
anak dalam kandungan dan pada waktu lahir. Factor lingkungan adalah
pengalaman psikoedukatif dan psikososial yang diperoleh setalh anak lahir,
yang meliputi pola asuh, pendidikan, nutrisi,kondisi lingkungan, teman
sebaya, nilai sosial dan budaya.
Sejak awal sampai saat ini, perkembangan konsep diagnosis yang
dibuat untuk gangguan ini menunjukkan perkembangan hipotesis penyebab
ganguan ini. Berbagai penelitian menunjukkan penyebab terjadinya
gangguan ini meliputi berbagai factor yang berpengaruh terhadap fungsi
otak.
1. Factor genetik
Hier (1980) telah menunjukkan adanya hubungan antara faktor
gentik dan penyebeb gangguan ini, yaitu pada anak laki-laki dengan
kelebihan Y kromosom (XYY) menujukkan peningakatan kejadian
hiperaktivitas yang menyertai kemampuan verbal dan performance
rendah. Pada fragile X syndrome, yaitu nama anak untuk kondisi di mana
terdapat X kromosom pada lokasi Q27 rapuh, juga dihubungkan dengan
kejadian gejala ADHD, meskipun sebagian besar penderita gangguan ini
mengalami retardasi mental. Masalah kesulitan memusatkan perhatian
dan kesulitan belajar juga diakibatkan adanya cacat genetic. Pada anak
perempuan dengan kromosom 45, XO juga menunjukkan kesulitan
memusatkan perhatian dan kesulitan menulis dan menggambar ulang.
Sampai saat ini belum dapat dibuktikan bahwa penyebab gangguan ini
adalah adanya kromosom abnormal (Barkley, 1998).
Orang tua dan saudara dari anak yang menderita ADHD lebih
banyak yang menderita gangguan ini dari pada saudara dari anak yang
tidak mengalami gangguan ini. Resiko besar mengalami gangguan ini
pada saudara anak ADHD menunjukkan adanya pembagian gen yang
sama di antara mereka. Saudara pada tingkat pertama, seperti orangtua,
saudara kandung, dan anak membagikan 50% gen dengan penyandang
gangguan ini. Mereka memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan ini
10
dari pada saudara tingkat kedua yang hanya membagikan gen 25%
dengan penyandang gangguan ini. Hasil penelitian oleh Cantwell (1975)
dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua
biologis anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan
dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran
herediter sangat besar sebagai salah satu factor penyebab gangguan ini.
Pada penelitian terhadap saudara kembar satu telur dan dua telur
menunjukkan bahwa gangguan ini secara nyata dipengaruhi oleh
komonen genetika, dengan heritabilitas 0,75-0,90 (Levy et al., 1997).
Transmisi genetik dalam keluarga terjadi secara oligogenik dan
multifaktorial, yaitu pewarisan kompleks (inheritance complex).
Awal penelitian genetika molekuler ditunjukan pada gen dopamine
tipe 2 yang dianggap memiliki hubungan kuat dengan terjadinya
alcoholism, sindrom Tourrete dan ADHD (Cummings et al., 1991;Blum et
al., 1996), tetapi hasil yang sama tidak didapatkan pada replikasi
penelitian tersebut. Dari hasil penelitian berikutnya didapatkan varian gen
untuk transporter dopamine (DAT 1) yang menimbulkan inaktivasi
dopamin di celah prasinaptik (Cook et al., 1995 ; Gill et al., 1997), tetapi
hasil yang sama tidak diperoleh pada replikasi penelitian tersebut
(Swanson et al., 1997). Didapatkan juga gen untuk reseptor dopamine D4
(DRD4) pada salah satu reseptor celah pasca sinaptik yang menimbulkan
aktivasi dopamin. Hasil yang sama didapatkan pada empat penelitian
berikutnya yang tidak hanaya meneliti anak ADHD tetapi meneliti remaja
dan orang dewasa yang menderita gangguan ini. Pada 29% sampel
penderita ADHD didapatkan memiliki 7 – repeat allele, yang merupakan
subkelompok fenotip yang homogeny pada populasi pederita ADHD
(Sunohara et al., 1997 ; Swanson et al., 1997).
2. Faktor Neurologik dan Proses dalam Otak
Factor neurologik pada ADHD yang diterima pertama kali secara
luas adalah penemuan dari Laufer, Denhoff, dan Solomons (1957), yaitu
didapatkan spike wave pada stimulasi fotik pada pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) anak ADHD. Kondisi ini disebut sebagai over
arousal yang disebabkan oleh disfungsi diensefalon. Anak ADHD
dipandang memiliki kesulitan menyaring informasi secara selektif dan
11
sensitive terhadap pemerimaan stimulasi dari lingkungan. Knobel,
Wolman dan Manson (1959) berpendapat bahwa kondisi ini adalah
kompensasi yang berlebiihan dari korteks otak terhadap disfungsi
subkortikal. Jadi, hyperarousal korteks otak merupakan sumber terjadinya
tingkah laku hiperaktif yang ditunjukkan oleh penderita gangguan ini.
Douglas (1972, 1979) dan kinsbourne (1984) menolalk teori
overarousal, penelitian mereka menunjukkan bahwa gangguan ini terjadi
disebabkan oelh deficit sustain attention. Kondisi ini yang menyebabkan
anak dengan gangguan ini menunjukkan penampilan lebih buruk
dibandingkan dengan anak normal pada waktu menyelesaikan tugas
yang memerlukan perhatian terus-menerus.
Satterfield dan kawan-kawan mengajukan teori underarousal
sebagai dasar terjadinya hiperaktivitas. Mereka berpendapat bahwa
peningkatan aktivitas motorik pada ADHD adalah akibat dari bangkitan
eksitasi yang rendah pada reticular activating system, dan usaha untuk
meningkatkan masukan proprioseptif dan exteroseptif (Satterfield et al.,
1972, 1974; Satterfield dan Dawson, 1971).
Berbagai penelitian psikopatofisiologi pada anak ADHD
dibandingkan dengan anak normal didapatkan hasil yang konsisten yaitu
penurunan bangkitan respon saraf pada anak ADHD. Temuan yang
konsisten juga didapatkan dari hasil pemeriksaan EKG kuantitatif atau Q-
EEG dan evoked respone potential (ERP). (Barkley, 1998). Pemeriksaan
ERP mengukur aktivitas otak pada saat dipengaruhi oleh rangsangan
tugas (task stimuli), sebelum menghasilkan keluaran (out put) yang nyata,
yaitu respon menjadi teramati. Beberapa gelombang ERP positif dan
negatif telah diketahui memliki hubungan erat dengan berbagai aspek
proses informasi dalam otak (Naatanen, 1992). Anak ADHD dibandingkan
dengan anak normal, menunjukkan amplitude yang lebih kecil pada p3b,
sebagai respon terhadap rangsang target, bersamaan dengan
penampilan lebih buruk pada penyelesaian tugas tersebut (Klorman Iet
al., 1991).
Rutter berpendapat bahwa ADHD adalah gangguan fungsi otak,
oleh karena didapatkan deficit aktivasi yang disebabkan oleh adanya
patologi di area prefrontal dan/atau sagital frontal pada otak dengan
predominansi pada korteks otak. Adanaya kerusakan otak merupakan
12
resiko tinggi tingginya gangguan psikiatrik termasuk ADHD (Rutter, 1989).
Kerusakan otak pada janin dan neonatal paling sering disebabkan oleh
kondisi hipoksia. Keadaan hipoksia memiliki kecenderungan
menyebabkan terjadinya patologi yang merata pada korteks otak yang
menimbulkan gangguan fungsi integrasi koordinasi dan pengendalian
kortikal. Korteks frontal dianggap memiliki peran penting dalam aktivasi
dan integrasi lebih lanjut dari bagian otak lain. Oleh karena itu, patologi
yang merata pada korteks otak dianggap sebagai penyebab terjadinya
gejala lobus frontalis. Kondisi ini didukung oleh penemuan dari
pemeriksaan computerized tomography scanning (CT scan) menunjukkan
pelebaran yang merata dari ventrikel lateral kiri. Di pihak lain, kondisi
hipoksia menimbulkan terjadinya edema otak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial. Tekanan yang meningkat secara
hipotetis akan menimbulkan tekanan yang lebih tinggi pada daerah yang
sempit, yaitu permukaan medial sagital korteks otak, kondisi ini dapat
menimbulkan kerusakan lebih berat pada bagian sagital dari pada daerah
lateral. Terjadinya ADHD adalah akibat dari mekanisme patofisiologi
tersebut, salah satu atau keduanya, atau kombinasi dengan factor genetic
dan/atau kerusakan otak bagian lain (Borchgrevink, 1989).
Berbagai penelitian pencitraan otak secara konsisten menunjukkan
penurunan aliran darah otak pada anak dengan gangguan ini, yaitu di
daerah frontal dan jarak yang menghubungkan daerah ini ke system
limbic, melalui striatum, secara spesifik pada daerah anterior, yaitu
nucleus caudatum (Lou et al., 1984. 1990). Pada penelitian dengan PET
untuk menilai metabolisme glukosa pada otak, didapatkan penurunan
metabolisme pada penderita ADHD dewasa (Zametkin et al., 1990) dan
remaja perempuan (Ernst et al., 1994), tetapi hasil yang sama tidak
didapatkan pada remaja laki-laki (Zametkin et al., 1993). Pada kelompok
remaja ADHD didapatkan korelasi antara penurunan aktivitas
metabolisme pada otak di daerah frontal anterior kiridan derajat
keparahan gejala penyakit (Zametkin et al., 1993).
Pada kelompok anak ADHD dan kesulitan belajar didapatkan
hemisfer otak daerah temporal kanan lebih kecil dibandingkan dengan
anak normal (Hynd, Semrud-Clikeman, et al., 1990), juga didapatkan
13
ukuran corpus callosum lebih kecil, terutama di daerah genu, splenium
dan anterior splenium (Hynd, Semrud- Clikeman, et al., 1991).
Berbagai penelitian pencitraan otak pada anak ADHD yang
dilakukan selama dua dekade terakhir tidak ada yang menunjukkan
kerusakan struktur otak. Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian
terdahulu yaitu kerusakan struktur otak secara nyata hanya didaptkan
pada 5% anak dengan hiperaktivitas (Rutter, 1977, 1983). Kerusakan
struktur otak tersebut adalah akibat dari perkembangan otak yang
abnormal pada derah tersebut. Penyebab dari kondisi ini kemungkinan
besar adalah pengaruh kondisi genetika (Barkley, 1998).
3. Faktor Neurotransmitter
Sampai saat ini dari hasil berbagai penelitian belum dapat
dipastikan bahwa ADHD secara primer disebabkan oleh gangguan pada
neurokimiawi dalam otak, atau perubahan neurotransmitter dan
interaksinya timbul sebagai akibat perubahan tingkah laku. Namun, dari
hasil beberapa penelitian genetika molekuler terakhir didaptkan genuntuk
reseptor dopamine D4 (DRD 4) pada resptor di celah pascasinaptik yang
menimbulkan aktivasi dopamin.
Berbagai penelitian farmakologi tiga dekade yang lalu memperoleh
sejumlah stimulator dopamine pada reseptor pascasinaptik (piribidel,
amantadine, L-Dopa) yang memberi pengaruh secara menyeluruh pada
seluruh system dopamine, tetapi ketika diberikan kepada anak ADHD
tidak memberikan hasil perbaikan klinis secara bermakna. Shaywitz et al.,
menunjukkan pengaruh pemberian metilfenidat terhadap kadar serum
prolaktin dan growth hormone, melalui pengaruh metilfenidat terhadap
jaras dopaminergik hipotalamik bagian bawah. Shaywitz juga mendapat
penurunan homovalinic acid (HVA) cairan serebrospinal pada penderita
ADHD yang member respon terhadap pemberian metilfenidat (Shaywitz
et al., 1977, 1982).
Berbagai penelitian terhadap pengguanaan antagonis
dopaminseperti haloperidol, tioridasin dengan dosis rendah, tidak
memberikan perbaikan pada kemampuan memusatkan perhatian dan
fungsi kognitifyang lain, meskipun memberikan perbaikan pada skala
penilaian tingkah laku. pemberian obat trisiklik terhadap anak ADHD
14
memberikan perbaikan tingkah laku tetapi tidak memberikan perbaikan
fungsi kognitif. Dari hasil berbagai penelitian tersebut didapatkan
gambaran bahwa gejala aktivitas motorik yang berlebihan pada ADHD
secara patofisiologi disebabkan oleh fungsi norepinefrin abnormal,
sedangakan gejala lain, yaitu tidak mampu memusatkan perhatian dan
penurunan vigilance disebabkan oleh fungsi dopaminerjik abnormal.
Terdapat tiga penelitian yang menunjukkan peranan norepinefrin
terhadap terjadinya gangguan ini, yaitu pemberian dekstroamfetamin
pada anak ADHD menurunkan metabolit norepinefrin, yaitu 3-methoxy-4-
hydroxy-phenylglycol (MHPG) dalam ekskresi air seni (Brown et al., 1981;
Shekim et al., 1977; Zhametkin et al., 1984). Hasil dari tiga penelitian ini
menunjukkan bahwa obat psikostimulan berpengaruh terhadap
metabolisme norepinefrin. Shekim et al., yang memeriksa penderita
ADHD yang responsive terhadap amfetamin, menunjukkan bahwa setelah
pengobatan terjadi penurunan metobolik tersebut (Shekim et al., 1979)
beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa pada kelompok anak ADHD
menunjukkan kadar MHPG dalam air seni 20% lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok normal dan pada anak ADHD yang responif terhadap
metilfenidat kadar metabolik tersebut berkurang 20% lebih rendah lagi
(Shen and Wang, 1984).
Rappoport et al., menunjukkan bahwa setelah pemberian
monoamine oksidaxe inhibitor (MAOI), Clogyline atau tranylcypromine
pada penderita ADHD terjadi perbaikan tingkah laku. Kedua zat tersebut
menghambat metabolism norepinefrin (Rappoport et al., 1985).
Hasil berbagai penelitian farmakologi tersebut menunjukkan bahwa
gangguan pada system norepinefrin berperan pada terjadinya gejala
ADHD, tetapi tidak menjadi penyebab tunggal. Terjadinya ADHD
disebabkan oleh beberapa system yang berbeda tetapi memiliki
hubungan yang erat. System tersebut memiliki peran yang berbeda
terhadap metabolism dopamin atau norepinefrin. Meskipun berbagai obat
anti ADHD memiliki komposisi kimiawi berbeda, mekanisme kerja obat
tersebut berbagi sama baik dopaminergik ataupun norepinefrinergik.
Norepinefrin dan dopamine atalah poten agonis pada reseptor D4 dicelah
paskasinaptik, gen reseptor dopamin D4 (DRD 4) sampai saat ini telah
15
dianggap sebagai penyebab gangguan ini (Landau et al., 1997;
Biederman, 200).
Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu
gambaran patofisiologi tertentu pada ADHD, tetapi semua penelitian
tersebut menunjukkan adanya disfungsi pada jarak fronto-subkortikal
yang berperan dalam penegendalian pemusatan perhatian dan perilaku
motorik. Berbagai penelitian pencitraan otak menunjukkan adanya
disfungsi pada area frontal tersebut dimana neuron dopaminergic masuk
ke lobus frontalis central menuju ke korteks prefrontal dari area
subkortikal. Disfungsi pada area tersebut menyebabkan terjadinya defisit
kendali implus (Fungsi frontal), kesulitan memusatkan perhatian (fungsi
batak otak) dan kesulitan belajar (fungsi higher kortikal (Desch, 1989;
Biederman, 2000).
4. Faktor psikososial
Willis dan Lovaas berpendapat bahwa perilaku hiperaktivitas
disebabkan oleh buruknya rangsang pengendalian oleh perintah dari ibu,
dan pengaturan perilaku yang buruk pada anak timbul dari manajemen
pengasuhan orang tua yang buruk (Willis dan Lovaas, 1977). Berbagai
penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh factor lingkungan
terhadap terjadinya gangguan ini seperti stimulasi berlebihan oleh orang
tua pada waktu mengasuh anak dan masalah psikologis yang terjadi pada
orang tua (Carlson, Jackobfitz & Sroufe, 1995; Barkle, 1998).
Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa perintah, petunjuk
dan sikap negative orangtua terhadap anak ADHD menjadi berkurang
setelah anak tersebut memberikan respon terhadap pengobatan (Barkley,
1998). Pada berbagai penelitian terhadap anak kembar juga
menunjukkan bahwa pengaruh dari sikap orang tua terhadap terjadinya
perilaku hiperaktif sangat kecil, pengaruh tersebut hanya terdapat pada
kurang dari 10% varians gejala tersebut di populasi umum (Goodman &
Stevenson, 1989).
Jadi, factor yang timbul dari sikap orangtua tidak merupakan
kontributor yang bermakna terhadap terjadinya ADHD.
16
5. Faktor Lingkungan
Berbagai toksin endogen pernah dianggap sebagai penyebab
ADHD, seperti : keracunan timbal, aditif makanan, reaksi alergi (Feingold,
1973, 1976 ; David, 1974 ; Taylor, 1986 ; Wender, 1986 : Hazel &
Schumaker, 1988). Tetapi berbagai penelitian terhadap factor tersebut
tidak ada yang memberikan bukti adanaya hubungan yang bermakna
antara factor tersebut dan terjadinya ADHD (Zametkin & Rapoport, 1986 ;
Matson, 1993).
Berdasarkan temuan hasil penelitian sampai saat sekarang belum
dapat diidentifikasi penyebab utama ADHD. Namun, berbagai factor
berperan terhadap pathogenesis gangguan ini. Di antara berbagai factor
tersebut factor biomedik memegang peranan utama, khususnya factor
genetik yang berpengaruh pada patofisiologi ADHD, dimulai
daripatogenesis pada jenjang molekuler sampai pada defisit proses
aktivasi, inhibisi, regulasi, ataupun fungsi eksekutif dari fungsi kognitif
otak. Factor psikososial berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan
prognosis atau hasil dari gangguan ini. Kondisi psikososial yang buruk
berpengaruh kuat terhadap interaksi anak dan orangtua, hal ini
mengakibatkan hasil dan prognosis gangguan ini menjadi buruk sehingga
masalah psikososial yang timbul akibat gangguan ini makin kompleks.
Kondisi psikososial di Indonesia berbeda dari kondisi psikososial di
berbagai negara barat, yaitu Amerika dan Eropa, tempat penelitian
longitudinal untuk mengamati hasil dan prognosis ADHD banyak
dilakukan. Hal itu terjadi karena perbedaan norma dan budaya yang
berpengaruh pada sikap orangtua dan guru terhadap anak yang
menderita ADHD di Indonesia. Terdapat kecenderungan orangtua dan
guru di Indonesia lebih menitikberatkan pada akibat atau kegagalan yang
ditimbulkan oleh tingkah laku anak yang menderita ADHD, khususnya
kegagalan mencapai prestasi akademik. Di Indonesia akses dan
kesempatan untuk melakukan tindakan agresif, kriminal lebih sedikit
dibandingkan dengan di Negara barat. Berdasarkan hal tersebut terdapat
kemungkinan bahwa perjalanan penyakit, prognosis atau hasil dari
gangguan ini, baik di masa remaja ataupun dewasa, kualitasnya berbeda
dari hasil yang teramati pada berbagai penelitian di negara barat.
17
E. Tipe-Tipe Gangguan ADHD
1) Tipe ADHD Gabungan
Untuk mengetahui ADHD tipe ini dapat didiagnosis atau dideteksi oleh
adanya paling sedikit 6 diantara 9 kriteria untuk perhatian, ditambah
paling sedikit 6 diantara 9 kriteria untuk hiperaktivitas impulsifitas.
Munculnya enam gejala tersebut berkali-kali sampai dengan tingkat
yang signifikan disertai adanya beberapa bukti, antara lain sebagai
berikut :
a. Gejala-gejala tersebut tampak sebelum anak mencapai usia 7
tahun.
b. Gejala-gejala diwujudkan pada paling sedikit dua seting yang
berbeda.
c. Gejala yang muncul menyebabkan hambatan yang signifikan dalam
kemampuan akademik.
d. Gangguan ini tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh kondisi
psikologi atau psikiatri lainnya.
2) Tipe ADHD kurang memerhatikan dan Tipe ADHD hiperaktif impulsive
Untuk mengetahui ADHD tipe ini, dapat didiagnosis oleh adanya paling
sedikit 6 diantara 9 gejala untuk perhatian dan mengakui bahwa
individu-individu tertentu mengalami sikap kurang memerhatikan yang
mendalam tanpa hiperaktivitas atau impulsifitas. Hal ini merupakan
salah satu alas an mengapa dalam beberapa buku teks, kita
menemukan ADHD ditulis dengan garis –AD/HD. Hal ini membedakan
bahwa ADHD kurang memerhatikan dari jenis ketiga yang dikenal
dengan tipe hiperaktif impulsive.
3) Tipe ADHD hiperaktif impulsive
Tipe ketiga ini menuntut paling sedikit 6 diantara 9 gejala yang terdaftar
pada bagian hiperaktif impulsifitas. Tipe ADHD kurang memerhatikan ini
mengacu pada anak-anak yang mengalami kesulitan lebih besar dengan
memori (ingatan) mereka dan kecepatan motor perceptual (persepsi
gerak), cenderung untuk melamun dan kerap kali menyendiri secara
social.
18
F. Psikopatologi ADHD
Sebagian besar profesional sekarang percaya bahwa ADHD terdiri dari
tiga masalah pokok: kesulitan dalam perhatian berkelanjutan, pengendalian
atau penghambatan impuls, kegiatan berlebihan. Beberapa periset, seperti
Barkley, menambahkan masalah-masalah lain seperti kesulitan metauhi
peraturan dan instruksi, adanya vairiabilitas berlebih dalam berespons
situasi, khusunya pekerjaan sekolah. Singkatnya ADHD merupakan suatu
gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatus
perilaku, khususnya untuk mengantisipasi tindakan dan keputusan masa
depan. Anak yang mengidap ADHD relative tidak mampu menahan diri untuk
merespons situasi pada saat tertentu. Mereka benar-benar tidak bisa
menunggu. Penyebabnya diperkirakian karena mereka memiliki sumber
biologis yang kuat yang ditemukan pada anak-anak dengan predisposisi
keturunan (Martin, 1998).
Beberapa penelitian belum dapat menyimpulkan penyebab pasti dari
ADHD. Seperti halnya dengan gangguan perkembangan lainnya (autisme),
beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya ADHD adalah faktor
genetik, perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat
perinatal, Tingkat kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi metabolism, hormonal,
lingkungan fisik dan sosial sekitar, asupan gizi, dan orang-orang
dilingkungan sekitar termasuk keluarga. Beberapa teori yang sering
dikemukakan adalah hubungan antara neurotransmitter dopamine dan
epinephrine. Teori faktor genetik, beberapa penelitian dilakukan bahwa pada
keluarga penderita, selalu disertai dengan penyakit yang sama setidaknya
satu orang dalam keluarga dekat. Orang tua dan saudara penderita ADHD
memiliki resiko hingga 2- 8 x terdapat gangguan ADHD (Klik dokter, 2008).
Teori lain menyebutkan adanya gangguan disfungsi sirkuit neuron di
otak yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan neurotransmitter sebagai
pengatur gerakan dan control aktifitas diri. Beberapa faktor resiko yang
meningkatkan terjadinya ADHD : kurangnya deteksi dini, gangguan pada
masa kehamilan (infeksi, genetic, keracuanan obat dan alkohol, rokok dan
stress psikogenik), gangguan pada masa persalinan (premature, postmatur,
hambatan persalinan, induksi, kelainan persalinan) (Klikdokter, 2008).
Menurut Isaac (2005) anak dengan ADHD atau attention Deficit
Hyperactivity Disorder mempunyai ciri-ciri anrtara lain:
19
1. Sulit memberikan perhatian pada hal-hal kecil.
2. Melakukan kesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekolah.
3. Sulit berkonsentrasi pada satu aktivitas.
4. Berbicara terus, sekalipun pada saat yang tidak tepat.
5. Berlari-lari dengan cara yang disruptif ketika diminta untuk duduk atau
diam.
6. Terus gelisah atau menggeliat.
7. Sulit menunggu giliran.
8. Mudah terdistraksi oleh hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.
9. Secara impulasif berkata tanpa berpikir dalam menjawab pertanyaan.
10. Sering salah menempatkan tugas-tugas sekolah, buku atau mainan.
11. Tampak tidak mendengar, sekalipu diajak berbicara secara langsung.
20
Skema ADHD ( Dr. Dwidjo Saputro, 2009 )
21
GENETIK
HIPOKSIA OTAK HIPOFUNGSI SISTEM DOPAMIN DAN NOREPRIN
DISFUNGSI KORTIKO STRIATAL
DISFUNGSI KORTEKS PREFONTAL
DEFEK FUNGSI KOGNITIF
KEGAGALAN INHIBISI PERILAKU TERTUNDANYA RESPONS
PERILAKU
GEJALA UTAMA ADHD YAITU INATTENTIVENESS dan IMPULSIVITAS
DIAGNOSIS ADHD
(DOKTER UMUM)
Deteksi Dini Adhd (Guru, Orang Tua)
Dan Diagnosis Adhd Akurasi
Meningkat (Dokter Umum)
DISFUNGSI OTAK
G. Manifestasi Klinik
Menurut Townsend (1998) ada beberapa tanda dan gejala yang dapat
dapat ditemukan pada anak dengan ADHD antara lain :
a. Sering kali tangan atau kaki tidak dapat diam atau duduknya mengeliat-
geliat.
b. Mengalami kesulitan untuk tetap duduk apabila diperlukan
c. Mudah bingung oleh dorongan-dorongan asing
d. Mempunyai kesulitan untuk menunggu giliran dalam suatau permainan
atau keadaan di dalam suatu kelompok
e. Seringkali menjawab dengan kata-kata yang tidak dipikirkan terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai disampaikan
f. Mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi-instruksi dari orang lain
g. Mengalami kesulitan untuk tetap bertahan memperhatikan tugas-tugas
atau aktivitas-aktivitas bermain
h. Sering berpindah-pindah dari satu kegiatan yang belum selesai ke
kegiatan lainnya
i. Mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang
j. Sering berbicara secara berlebihan.
k. Sering menyela atau mengganggu orang lain
l. Sering tampaknya tidak mendengarkan terhadap apa yang sedang
dikatakan kepadanya
m. Sering kehilangan barang-barang yang diperlukan untuk tugas-tugas
atau kegiatan-kegiatan yang berbahaya secara fisik tanpa
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya (misalnya
berlari-lari di jalan raya tanpa melihat-lihat).
H. Komplikasi ADHD
a. Diagnosis sekunder-gangguan konduksi, depresi, dan penyakit
ansietas .
b. Pencapaian akademik kurang, gagal disekolah, sulit membaca dan
mengerjakan aritmatika ( sering kali akibat abnormalitas konsentrasi ).
c. Hubungan dengan teman sebaya buruk ( sering kali perilaku agresif dan
kata-kata yang diungkapkan ).
d. IQ rendah / kesulitan belajar ( anak tidak duduk tenang dan belajar ).
e. Resiko kecelakaan ( karena impulsivitas ).
22
f. Percaya diri rendah dan penolakan teman-teman sebaya ( perilakunya
membuat anak-anak lainnya marah ).
I. Pemeriksaan Penunjang ADHD
Menurut Doenges, 2007 pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada
anak dengan ADHD antara lain :
a. Pemeriksaan Tiroid : dapat menunjukkan gangguan hipertiroid atau
hipotiroid yang memperberat masalah.
b. Tes neurologist (misalnya EEG, CT scan) menentukan adanya
gangguan otak organic.
c. Tes psikologis sesuai indikasi : menyingkirkan adanya gangguan
ansietas, mengidentifikasi bawaan, retardasi borderline atau anak tidak
mampu belajar dan mengkaji responsivitas social dan perkembangan
bahasa.
d. Pemeriksaan diagnostic individual bergantung pada adanya gejala fisik
(misalnya ruam, penyakit saluran pernapasan atas, atau gejala alergi
lain, infeksi SSP).
e. Pemeriksaan darah : Ditemukan toksin dalam darah penderita ADHD.
Selain itu ilakukan skrining DDTK pada anak pra sekolah dengan ADHD :
Tujuannya adalah untuk mengetahui secara dini anak adnya Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada anak umur 36 bulan
ke atas.
Jadwal deteksi dini GPPH pada anak prasekolah dilakukan atas indikasi
atau bila ada keluhan dari orang tua/pengasuh anak atau ada kecurigaan
tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU, pengelola TPA,
dan guru TK. Keluhan tersebut dapat berupa salah satu atau lebih keadaan
di bawah ini :
a. Anak tidak bisa duduk tenang
b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah
c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive
Alat yang digunakan adalah formulir deteksi dini Gangguan Pemusatan
Perhatian danHiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting Scale)
yaitu Formulir yang terdiri dari 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada
23
orangtua / pengasuh anak / guru TK dan pertanyaan yang perlu pengamatan
pemeriksa.
Cara menggunakan formulir deteksi dini GPPH :
a. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu persatu
perilakuyang tertulis pada formulir deteksi dini GPPH. Jelaskan
kepada orangtua / pengasuh anak untuk tidak ragu-ragu atau takut
menjawab.
b. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan pertanyaan
pada formulir deteksi dini GPPH.
c. Keadaan yang ditanyakan/diamati ada pada anak dimanapun anak
berada,misal ketika di rumah, sekolah, pasar, took, dll. Setiap saat
dan ketika anak dengan siapa saja.
d. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama dilakukan
pemeriksaan. Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab.
FORMULIR DETEKSI DINIGANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN
HIPERAKTIVITAS (GPPH)
(Abbreviated Conners Ratting Scale)
Kegiatan yang diamati 0 1 2 3
1.Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan
2.Mudah menjadi gembira, impulsive
3.Menganggu anak-anak lain
4.Gagal menyelesaikan kegiatan yang telahdimulai,
rentang perhatian pendek
5.Menggerak-gerakkan anggota badan ataukepala
secara terus-menerus
6.Kurang perhatian, mudah teralihkan
7.Permintaannya harus segera dipenuhi,,mudah
menjadi frustasi
8.Sering dan mudah menangis
9.Suasana hatinya mudah berubah dengancepat dan
drastic
10.Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan tak
terduga.
24
Jumlah :
Nilai total :
Interpretasi :
a. Nilai 0 : jika keadaan tersebut tidak ditemukan pada anak.
b. Nilai 1 : jika keadaan tersebut kadang-kadang ditemukan pada anak.
c. Nilai 2 : jika keadaan tersebut sering ditemukan pada anak .
d. Nilai3 : jika keadaan tersebut selalu ada pada anak.Beri nilai total 13
atau lebih anak kemungkinan dengan GPPH.
Intervensi :
a. Anak dengan kemungkinan GPPH perlu dirujuk ke Rumah Sakit
yangmemiliki : fasilitas kesehatan jiwa atau tumbuh kembang anak
untuk konsultasi lebih lanjut.
b. Beri nilai total kurang dari 13 tetapi anda ragu-ragu, jadwalkan
pemeriksaan ulang 1 bulan kemudian. Ajukan pertanyaan kepadaorang-
orang terdekat dengan anak (orang tua, pengasuh, nenek, guru,dsb).
J. Pencegahan
a. Skrining DDTK pada ADHD.
b. Perawatan saat hamil ( hindari obat – obatan dan alkoholic ) untuk orang
tua.
c. Asupan nutrisi yang seimbang.
d. Berikan rutinitas yang terstruktur ( membantu anak untuk mematuhi
jadwal yang teratur).
e. Manajemen perilaku (dapat mendorong anak untuk fokus pada apa yang
mereka lakukan).
K. Penatalaksanaan Medis dan Perawatan Pada Anak Dengan ADHD
A. Perawatan
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) perawatan yang dapat dilakukan
orang tua terhadap anak yang menderita ADHD antara lain :
a) Terapi medis : Mengendalikan simptom-simptom ADHD di sekolah
dan rumah.
25
b) Pelatihan manajemen orang tua : Mengendalikan perilaku anak
yang merusak di rumah, mengurangi konflik antara orangtua dan
anak serta meningkatkan pro-sosial dan perilaku regulasi diri.
c) Intervensi pendidikan : Mengendalikan perilaku yang merusak di
kelas, meningkatkan kemampuan akademik serta mengajarkan
perilaku pro sosial dan regulasi diri.
d) Merencanakan program-program bulanan : Melakukan penyesuaian
di rumah dan keberhasilan ke depan di sekolah dengan
mengombinasikan perlakukan tambahan dan pokok dalam program
terapi.
e) Melakukan konseling keluarga : Coping terhadap stres keluarga dan
individu yang berkaitan dengan ADHD, termasuk kekacauan hati
dan permasalahan suami istri.
f) Mencari kelompok pendukung : Menghubungkan anak dewasa
dengan orang tua anak ADHD lainnya, berbagi informasi dan
pengalaman mengenai permasalahan umum dan memberi
dukungan moral.
g) Melakukan konseling individu : Memberi dukungan di mana anak
dapat membahas permasalahan dan curahan hati pribadinya
Menurut Videbeck (2008) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
pada anak dengan Attention Deficyt Hyperactivity Disorder (ADHD)
antara lain :
1. Memastikan keamanan anak dan keamanan orang lain dengan :
a. Hentikan perilaku yang tidak aman.
b. Berikan petunjuk yang jelas tentang perilaku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima.
c. Berikan pengawasan yang ketat.
2. Meningkatkan performa peran dengan cara :
a. Berikan umpan balik positif saat memenuhi harapan.
b. Manajemen lingkungan (misalnya tempat yang tenang dan
bebas dari distraksi untuk menyelesaikan tugas).
3. Menyederhanakan instruksi/perintah untuk :
a. Dapatkan perhatian penuh anak.
b. Bagi tugas yang kompleks menjadi tugas-tugas kecil.
26
c. Izinkan beristirahat.
4. Mengatur rutinitas sehari-hari
a. Tetapkan jadual sehari-hari.
b. Minimalkan perubahan.
5. Penyuluhan dan dukungan kepada klien atau keluarga dengan
mendengarkan perasaan dan frustasi orang tua.
6. Berikan nutrisi yang adekuat pada anak yang mengalami ADHD.
B. Pengobatan
Pengobatan terhadap anak dengan ADHD umumnya dilakukan
dengan berbagai pendekatan termasuk program pendidikan khusus,
modifikasi perilaku, pengobatan melalui obat-obatan dan konseling.
Disamping pendekatan yang kontroversial antara lain melakukan diet
khusus dan penggunaan obat-obatan serta vitamin-vitamin tertentu
(Delphie, 2006).
Menurut Videbeck (2008) obat stimulan yang sering digunakan untuk
mengobati ADHD antara lain :
1) Metilfenidat (Ritalin)
Dosis 10-60 dalam 2 – 4 dosis yang terbagi. Intervensi
keperawatan pantau supresi nafsu makan yang turun, atau
kelambatan pertumbuhan, berikan setelah makan, efek obat
lengkap dalam 2 hari.
2) Dekstroamfetamin (Dexedrine) amfetamin (Adderall)
Dosis 3-40 dalam 2 atau 3 dosis yang terbagi. Intervensi
keperawatan, pantau adanya insomnia, berikan setelah makan
untuk mengurangi efek supresi nafsu makan, efek obat lengkap
dalam 2 hari.
3) Pemolin (Cylert)
Dosis 37,5-112,5 dalam satu dosis harian. Intervensi
keperawatan pantay peningkatan tes fungsi hati dan supresi nafsu
makan, dapat berlangsung 2 minggu untuk mencapai efek obat
yang lengkap.
27
L. Peran Orang Tua Pada Anak ADHD
1. Sedini mungkin membiasakan anaknya untuk hidup dalam suatu aturan.
Dengan menerapkan peraturan secara konsisten, anak dapat belajar
untuk mengendalikan emosinya.
2. Sedini mungkin memberikan kepercayaan dan tanggungjawab terhadap
apa yang seharusnya dapat dilakukan anak.
3. Kenali kondisi diri dan psikis anak. Dengan mengenali, orang tua tak akan
memberikan tekanan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan
penolakan anak untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.
4. Upayakan untuk menyediakan ruang belajar yang jauh dari gangguan
televisi, mainan atau kebisingan.
5. Sedini mungkin melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan,
dan konsisten terhadap terapi yang sedang dijalankan oleh anak anda.
6. Biasakan anak untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk tulisan
atau gambar.
7. Aturlah pola makan anak, hindari makanan dan minuman dengan kadar
gula dan karbohidrat yang tinggi.
8. Ajaklah anak berekreasi ke tempat-tempat yang indah. Hal ini akan
membantu anak untuk berpikiran positif.
9. Ajaklah anak untuk berlatih menenangkan diri. Misalnya dengan menarik
nafas dalam-dalam dan keluarkan lewat mulut. Latihan ini bisa dilakukan
berulang-ulang.
M. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
1. Identitas Klien :
ADHD terjadi pada anak usia 3 th, laki – laki cenderung memiliki
kemungkinan 4x lebih besar dari perempuan untuk menderita
ADHD.
2. Keluhan utama :
Keluarga mengatakan anaknya tidak bisa diam, kaki atau
tangannya bergerak terus.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Orang tua atau pengasuh melihat tanda – tanda awal dari ADHD :
a. Anak tidak bisa duduk tenang.
28
b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah.
c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive.
4. Riwayat penyakit sebelumnya :
Tanyakan kepada keluarga apakah anak dulu pernah
mengalami cedera otak.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada faktor genetic yang
diduga sebagai penyebab dari gangguan hiperaktivitas pada anak.
6. Riwayat psiko,sosio, dan spiritual :
Anak mengalami hambatan dalam bermain dengan teman dan
membina hubungan dengan teman sebaya nya karena
hiperaktivitas dan impulsivitas.
7. Riwayat tumbuh kembang :
a. Prenatal : Ditanyakan apakah ibu ada masalah asupan alcohol
atau obat-obatan selama kehamilan.
b. natal : Ditanyakan kepada ibu apakah ada penyulit selama
persalinan. lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR).
c. Postnatal : Ditanyakan apakah setelah lahir langsung diberikan
imunisasi apa tidak.
8. Riwayat imunisasi
Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi
lengkap.
Usia <7 hari anak mendapat imunisasi hepatitis B.
Usia 1 bulan anak mendapat imunisasi BCG dan Polio I.
Usia 2 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB I dan Polio 2.
Usia 3 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB II dan Polio 3.
Usia 4 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB III dan Polio 4.
Usia 9 bulan anak mendapat imunisasi campak.
9. Pemeriksaan fisik dalam batas normal.
10. Activity daily living ( ADL ) :
a. Nutrisi
Anak nafsu makan nya berkurang (anaroxia).
b. Aktivitas
Anak sulit untuk diam dan terus bergerak tanpa tujuan.
c. Eliminasi
29
Anak tidak mengalami ganguan dalam eliminasi.
d. Istirahat tidur
Anak mengalami gangguan tidur.
e. Personal Hygiene
Anak kurang memperhatikan kebersihan dirinya sendiri dan
sulit di atur.
b) Diagnosa Keperawatan
Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges (2007)
diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang
mengalami ADHD antara lain :
1. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku
impulsive.
2. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya
tingkat kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk melakukan
koping.
c) Intervensi Keperawatan
Menurut Cyntia Taylor (2013), intervensi keperawatan untuk mengatasi
ADHD adalah
1. Risiko cedera
a) Bantu pasien dan anggota keluarga mengidentifikasi situasi dan
bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan.
b) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengadakan perbaikan
dan menghilangkan kemungkinan keamanan dari bahaya.
c) Beri dorongan kepada orang dewasa untuk mendiskusikan
peraturan keamanan terhadap anak.
d) Rujuk pasien ke sumber-sumber komunitas yang lebih tepat.
2. Ketidakefektifan koping
a) Dorong pasien untuk menggunakan system pendukung ketika
melakukan koping.
b) Identifikasi dan turunkan stimulus yang tidak perlu dalam
lingkungan.
30
c) Jelaskan kepada orang tua semua terapi dan prosedur dan
jawab pertanyaan pasien.
d) Rujuk pasien untuk melakukan konseling pada psikolog.
31
BAB 3
APLIKASI TEORI
Kasus
Anak M usia 7 tahun siswa kelas 1 Sekolah Dasar datang ke rumah sakit
bersama ibunya dengan keluhan tak bisa duduk tenang. Energi anak saya
seperti tiada habisnya. Ia sangat bawel, sulit berkonsentrasi, agresif, suka
mendominasi pergaulan, berlarian ke sana-kemari dan sering mengganggu
teman-temannya. Ibu mengatakan anaknya sering terjatuh karena sering
berlarian tanpa tujuan. Anak M lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada
pekerjaan sekolahnya. Ibunya mengakui bahwa Anak M berganti-ganti
aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain bongkar
pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih pada permainan
yang lain. Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi prestasinya di sekolah. An.
M juga mengungkapkan bahwa dia malas mengerjakan PR yang susah dan
dia bilang tidak pernah mendapatkan nilai bagus dan selalu mendapat nilai
merah. Anak M seringkali sulit dikontrol. Dia sering mengabaikan apa yang
Ibunya perintahkan. Dari pemeriksaan ditemukan banyak luka atau parut
bekas terjatuh, konsentrasi buruk.
1) PENGKAJIAN
A. Identitas Anak
Nama : An. M
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 18 kg
TB : 110 cm
Pendidikan : Sekolah dasar
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Alamat : -
Tanggal MRS : 1 Januari 2015
Tanggal Pengkajian : 1 Januari 2015
Nomor Register : 12.25.95
32
Diagnosa Medis : ADHD (Attention Deficit Hyperactive
Disorder)
B. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ibu. W
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Alamat : -
Hubungan dengan klien : Ibu klien
C. Riwayat Kesehatan Klien
1. Keluhan Utama
Tidak bisa duduk tenang. Ia sangat bawel, sulit berkonsentrasi,
agresif, suka mendominasi pergaulan, berlarian ke sana-kemari dan
sering mengganggu teman-temannya.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Ibu mengatakan anaknya sering terjatuh karena sering berlarian
tanpa tujuan. Anak M lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada
pekerjaan sekolahnya. Ibunya mengakui bahwa Anak M berganti-
ganti aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain
bongkar pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih
pada permainan yang lain. Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi
prestasinya di sekolah. An. M juga mengungkapkan bahwa dia malas
mengerjakan PR yang susah dan dia bilang tidak pernah
mendapatkan nilai bagus. Anak M seringkali sulit dikontrol. Dia sering
mengabaikan apa yang Ibunya perintahkan
33
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Sebelumnya klien tidak pernah mengalami penyakit sama.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga klien tidak ada yang mengalami penyakit keturunan.
D. Riwayat Anak
1. Masa Pre – Natal
Selama kehamilan ibu 4 kali memeriksakan kandungannya ke
Puskesmas dan Dokter, mendapat imunisasi TT sebanyak 2 kali.
Selama kehamilan ibu tidak pernah mengalami penyakit yang
menular atau penyakit lainnya. Ibu juga berkata saat kehamilannya
suka makan makanan laut seperti udang, kerang.
2. Masa Intra – Natal
Proses persalinan klien secara normal (spontan) dengan bantuan
bidan, dengan umur kehamilan 37 minggu.
3. Masa Post – Natal
Klien lahir dalam keadaan normal, dengan BB ± 3200 gram dalam
keadaan sehat. Waktu lahir klien langsung menangis.
E. Pengetahuan Orang Tua
1. Tentang Makanan Sehat
Orang tua klien belum cukup mengetahui tentang makanan sehat dan
gizi klien baik dan berat badannya 18 kg, klien diberikan ASI sampai
umur 2 bulan saja dan dilanjutkan dengan PASI.
2. Tentang Personal Hygiene
Orang tua klien belum cukup mengetahui tentang kebersihan, dilihat
dari kebersihan klien dan orang tuanya sendiri. Badan klien terlihat
kusam, rambut klien hitam, kuku klien bersih kotor, mulut klien
tampak kelihatan bersih.
34
3. Imunisasi
Klien mendapat imunisasi, yaitu :
a. BCG : 1 kali
b. DPT : 3 kali
c. Campak : 1 kali
d. Polio : 3 kali
e. Hepatitis B : 2 kali
F. Pertumbuhan dan Perkembangan
Usia Pertumbuhan Perkembangan
7 tahun BB : 18 kg
PB : 110 cm
Sudah bisa belajar berenang,
berayun. Tubuhnya telah
mampu melakukan aktivitas fisik
yang lebih kompleks. Sudah
bisa diajari mambaca kalimat
dan mengerjakan hitungan
matematika sederhana
G. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Penampilan : Klien tampak agak kusam.
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : TD : - RR : 25 kali / menit
Temp : 37,4 º C Nadi :100 kali / menit
BB : 18 kg TB : 110 cm
2. Kebersihan Anak
Klien kelihatan kusam karena sering bermain kesana kemari.
3. Suara Anak Waktu Menangis
Ketika klien mengangis terdengar suara yang kuat.
4. Keadaan Gizi Anak
Keadaan gizi anak cukup baik ditandai dengan BB: 18 kg.
(BB normal: 22 kg)
5. Aktivitas
Di rumah sakit klien berbaring ditempat tidur dan sesekali berpindah
posisi agar klien merasa nyaman.
35
6. Kepala dan Leher
Keadaan kepala tampak bersih, dan tidak ada luka atau lecet. Klien
dapat menggerakkan kepalanya kekiri dan kekanan. Tidak ada
pembengkakan kelenjar tyroid dan limfe.
7. Mata (Penglihatan)
Bentuk simetris, tidak ada kotoran mata, konjungtiva tidak anemis,
fungsi penglihatan baik karena klien tidak menggunakan alat bantu,
tidak ada peradangan dan pendarahan.
8. Telinga (Pendengaran)
Tidak terdapat serumen, fungsi pendengaran baik karena klien jika
dipanggil langsung memberi respon. Tidak ada peradangan dan
pendarahan.
9. Hidung (Penciuman)
Bentuk simetris, kebersihan hidung baik tidak terdapat kotoran pada
hidung, tidak terdapat polip.
10. Mulut (Pengecapan)
Tidak terlihat peradangan dan pendarahan pada mulut, fungsi
pengecapan baik, mukosa bibir kering.
11. Dada (Pernafasan)
Bentuk dada simetris, tidak ada gangguan dalam bernafas, tidak ada
bunyi tambahan dalam bernafas, dengan frekuensi nafas 25 x/menit.
12. Kulit
Terlihat sedikit kusam, tidak terdapat lesi maupun luka, turgor kulit
baik (dapat kembali dalam 2 detik), kulit klien teraba panas dengan
temperatur 37,4 º C.
13. Abdomen
Bentuk simetris, tidak ada luka dan peradangan, tidak ada kotoran
yang melekat pada kulit.
14. Ekstremitas Atas dan Bawah
Bentuk simetris, tidak ada luka maupun fraktur pada ekstremitas atas
dan bawah, terdapat keterbatasan gerak pada ekstremitas atas
bagian dekstra karena terpasang infuse RL 20 tetes/menit.
15. Genetalia
Klien berjenis kelamin laki-laki dan tidak terpasang kateter.
36
H. Pola Makan dan Minum
Di rumah : Klien makan 3x sehari dengan menu sayur sop dan klien
suka minum air putih dan susu.
Di RS : Klien mendapatkan bubur ayam 3x sehari dan tidak bisa
menghabiskannya, klien minum hanya ½ gelas dari 1 gelas.
I. Pola Eliminasi
Di rumah : Klien BAB 1x/hari dengan konsistensi padat dan bau khas
feses, BAK klien 4-5x/hari berwarna kuning jernih dan
berbau amoniak.
Di RS : Klien BAB 1x dalam 2 hari dengan konsistensi padat dan
berbau khas feses. Dan klien BAK 2-3x/hari berwarna
kuning jernih dan berbau amoniak.
J. Terapi Yang Didapatkan di RS
a. Terapi obat Psikotimulan
b. Terapi obat Non Stimulan ( Anti depresi, Anti psikotik )
K. Analisa Data
NoData Subyektif dan Data
ObyektifEtiologi Problem
1 DS : - Ibu mengatakan
bahwa energy anaknya
seperti tiada habisnya
dan agresif.
- Ibu mengatakan
anaknya sering terjatuh
karena sering berlarian
tanpa tujuan.
DO: - Anak sering kali
Hiperaktifitas Risiko Cedera
37
terlihat berlarian dan
ditemukan banyak luka
atau parut bekas
terjatuh.
2 DS : An. M mengungkapkan
bahwa dia malas
mengerjakan PR yang
susah dan dia bilang
tidak pernah
mendapatkan nilai
bagus dan selalu
mendapat nilai merah
DO: Anak terlihat tidak bisa
berkonsentrasi
dengan perawat dan
sering menengok ke
kanan dan ke kiri
saat berbicara
dengan perawat.
Tidak adekuatnya
tingkat
kepercayaan diri
terhadap
kemampuan untuk
melakukan koping.
Ketidakefektifan
Koping
2) Prioritas Diagnosa
1. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas.
2. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan tidak adekuatnya tingkat
kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk melakukan koping.
3) Intervensi
No
Dx
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi Rasional
1 Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 2x24 jam,
1. Bantu pasien dan
anggota keluarga
mengidentifikasi
situasi dan bahaya
1. Untuk meningkatkan
kesadaran pasien
dan keluarga
tentang
38
pasien mampu
melakukan
aktivitas yang
tidak berbahaya.
Kriteria Hasil :
Pasien dan
anggota keluarga
mempraktikkan
keamanan dan
melakukan
tindakan
kewaspadaan di
rumah.
yang dapat
mengakibatkan
kecelakaan.
2. Anjurkan pasien
dan keluarga untuk
mengadakan
perbaikan dan
menghilangkan
kemungkinan
keamanan dari
bahaya.
3. Beri dorongan
kepada orang
dewasa untuk
mendiskusikan
peraturan
keamanan
terhadap anak.
4. Rujuk pasien ke
sumber-sumber
komunitas yang
lebih tepat.
kemungkinan
bahaya.
2. Untuk mengurangi
kemungkinan
cedera.
3. Pengajaran yang
dilakukan oleh orang
tua dapat
meningkatkan
keamanan di rumah.
4. Dapat mengubah
lingkungan dalam
mencapai tingkat
keamanan yang
optimal.
2 Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
3x24 jam, pasien
mampu
mengomunikasik
an perasaan
tentang situasi
saat ini.
Kriteria hasil :
Pasien
menggunakan
1. Dorong pasien
untuk
menggunakan
system pendukung
ketika melakukan
koping.
2. Identifikasi dan
turunkan stimulus
yang tidak perlu
dalam lingkungan.
3. Jelaskan kepada
1. Untuk membentuk
kembali
keseimbangan
psikologis dan
mencegah krisis.
2. Untuk menghindari
beban sensori dan
persepsi yang
berlebihan pada
pasien.
3. Untuk mengatasi
39
system
pendukung yang
tepat seperti
keluarga dan
teman untuk
membantu dalam
melakukan
koping.
orang tua semua
terapi dan
prosedur dan
jawab pertanyaan
pasien.
4. Rujuk pasien untuk
melakukan
konseling pada
psikolog.
rasa takut dan
memungkinkan
pasien
mendapatkan
kembali rasa control.
4. Meningkatkan
objektivitas dan
mengembangkan
pendekatan
kolaboratif terhadap
perawatan pasien.
4) Implementasi
No
Tanggal
dan
Waktu
Pelaksanaan Respon klien Paraf
1 03
Januari
2015,
pukul
08.00
03
Januari
2015,
pukul
08.20
04
Januari
2015,
pukul
08.00
1. Membantu pasien dan
anggota keluarga
mengidentifikasi situasi
dan bahaya yang dapat
mengakibatkan
kecelakaan.
2. Menganjurkan pasien dan
keluarga untuk
mengadakan perbaikan
dan menghilangkan
kemungkinan keamanan
dari bahaya.
3. Memberi dorongan
kepada orang dewasa
untuk mendiskusikan
peraturan keamanan
terhadap anak.
1. Klien dan
keluarga
kooperatif.
2. Klien dan
keluarga
kooperatif.
3. Orang tua klien
memahami
tentang
peraturan
keamanan
40
04
Januari
2015,
pukul
08.20
4. Merujuk pasien ke
sumber-sumber
komunitas yang lebih
tepat.
terhadap anak.
4. Klien kooperatif.
2 03
Januari
2015,
pukul
14.00
04
Januari
2015,
pukul
14.00
04
Januari
2015,
pukul
14.40
05
Januari
2015,
pukul
08.00
1. Mendorong pasien untuk
menggunakan system
pendukung ketika
melakukan koping.
2. Mengidentifikasi dan
menurunkan stimulus
yang tidak perlu dalam
lingkungan.
3. Menjelaskan kepada
orang tua semua terapi
dan prosedur dan jawab
pertanyaan pasien.
4. Merujuk pasien untuk
melakukan konseling
pada psikolog.
1. Klien kooperatif
tetapi tetap saja
berlari-lari.
2. Situasi
terkendali.
3. Orang tua klien
kooperatif.
4. Pasien tetap
tidak bisa duduk
diam ketika
diperiksa.
5) Evaluasi
No Tanggal dan Evaluasi Paraf
41
Waktu
1 06 Januari
2015
S : Orang tua mengatakan sudah
mengerti akan pemahaman
keamanan terhadap anaknya
agar tidak cedera.
O: Hiperaktivitas klien sedikit
berkurang.
A : Masalah teratasi.
P : Pasien diperbolehkan pulang
dan orang tua diberikan
Health Education.
2 06 Januari
2015
S : Orang tua mengatakan aktivitas
anaknya sudah bisa
dikendalikan.
O: Klien sudah terlihat bisa lebih
tenang.
A : Masalah teratasi.
P : Pasien diperbolehkan pulang
dan orang tua diberikan
Health Education.
BAB 4
PENUTUP
42
A. Kesimpulan
Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan
perhatian/hiperaktivitas adalah gangguan perilaku yang timbul pada anak
dengan pola gejala restless atau tidak bisa diam, inattive atau tidak dapat
memusatkan perhatian pada perilaku impulsive. Tipe dari ADHD yaitu Tipe
ADHD Gabungan, Tipe ADHD kurang memerhatikan dan Tipe ADHD
hiperaktif impulsive, Tipe ADHD hiperaktif impulsive.
Menurut Adam (2008) penyebab pasti belum diketahui. Namun papar
Hardiono ada bukti bahwa faktor biologis dan genetis berperan dalam
ADHD. Faktor biologis berpengaruh pada dua neurotransmitter di otak, yaitu
dopamine dan norepinefrin. Dopamin merupakan zat yang bertanggung
jawab pada tingkah laku dan hubungan social, serta mengontrol aktifitas
fisik.
Menurut Isaac (2005) anak dengan ADHD atau attention Deficit
Hyperactivity Disorder mempunyai ciri-ciri anrtara lain:
1. Sulit memberikan perhatian pada hal-hal kecil.
2. Melakukan kesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekolah.
3. Sulit berkonsentrasi pada satu aktivitas.
4. Berbicara terus, sekalipun pada saat yang tidak tepat.
5. Berlari-lari dengan cara yang disruptif ketika diminta untuk duduk atau
diam.
6. Terus gelisah atau menggeliat.
7. Sulit menunggu giliran.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini para pembaca dapat mengetahui
tentang penyakit ADHD pada anak dan diharapkan mahasiswa keperawatan
dapat melakukan asuhan keperawatan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
43
Saputo, Dwidjo Dr. 2009. ADHD ( Attention Deficit Hyperactive Disorder ).
Jakarta : CV Sagung Seto.
Sugiarmin & Baihaqi. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Jakarta : PT
Refika Aditama.
Taylor, Cynthia. 2013. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wilksinson, Judith. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta :
EGC.
44