askep ADHD

62
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hyperaktivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dan gangguan ini dapat terjadi disekolag maupun di rumah (Isaac, 2005). Pada kira-kira sepertiga kasus, gejala-gejala menetap sampai dengan masa dewasa (Townsend, 1998). ADHD adalah salah satu alas an dan masalah kanak-kanak uyang paling umum mengapa anak-anak dibawa untuk diperiksa oleh para professional kesehatan mental. Konsensus oendapat professional menyatakan bahwa kira-kira 305% atau sekitar 2 juta anak-anak usia sekolah mengidap ADHD (Martin, 1998). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 5% dari populasi usia sekolah sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh ADHD, yaitu sekitar 1 % sangat hiperaktif. Sekitar 30-40% dari semua anak-anak yang diacu untuk mendapatkan bantuan professional karena masalah perilaku, datang dengan keluhan yang berkaitan dengan ADHD (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Dewasa ini, anak ADHD semakin banyak. Sekarang prevalensi anak ADHD di Indonesia meningkat menjadi sekitar 5% yang berarti 1 dari 20 anak menderita ADHD. Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik ataupun pengaruh lingkungan yang lain, seperti pengaruh alkohol pada kehamilan, kekurangan omega 3, alergi terhadap suatu makanan, dan lain-lain (Verajanti, 2008). 1

description

ADHD adalah.....

Transcript of askep ADHD

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Attention Deficit Hyperaktivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan tingkat

gangguan perhatian, impulsivitas dan hiperaktivitas yang tidak sesuai

dengan tahap perkembangan dan gangguan ini dapat terjadi disekolag

maupun di rumah (Isaac, 2005). Pada kira-kira sepertiga kasus, gejala-gejala

menetap sampai dengan masa dewasa (Townsend, 1998). ADHD adalah

salah satu alas an dan masalah kanak-kanak uyang paling umum mengapa

anak-anak dibawa untuk diperiksa oleh para professional kesehatan mental.

Konsensus oendapat professional menyatakan bahwa kira-kira 305% atau

sekitar 2 juta anak-anak usia sekolah mengidap ADHD (Martin, 1998).

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 5% dari populasi usia

sekolah sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh ADHD, yaitu sekitar 1 %

sangat hiperaktif. Sekitar 30-40% dari semua anak-anak yang diacu untuk

mendapatkan bantuan professional karena masalah perilaku, datang dengan

keluhan yang berkaitan dengan ADHD (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).

Dewasa ini, anak ADHD semakin banyak. Sekarang prevalensi anak

ADHD di Indonesia meningkat menjadi sekitar 5% yang berarti 1 dari 20

anak menderita ADHD. Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai faktor

seperti genetik ataupun pengaruh lingkungan yang lain, seperti pengaruh

alkohol pada kehamilan, kekurangan omega 3, alergi terhadap suatu

makanan, dan lain-lain (Verajanti, 2008).

Kenyataannya ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan

hiperaktif. Oleh karena itu, makan istilah ADHD di Indonesia, lazimnya

diterjemahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan atau tanpa

Hiperaktif (GPP/H). Anak yang mengalami ADHD kerap kali tumpang tindih

dengan kondisi-kondisi lainnya seperti disleksia, dispraksia, gangguan

menentang dan melawan. (Baihaqi, 2008).

1

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :

1. Bagaimana anatomi fisiologi Sistem Saraf ?

2. Apa pengertian dari ADHD ?

3. Apa epidemiologi dari ADHD ?

4. Apa etiologi dari ADHD ?

5. Apa macam – macam gangguan dari ADHD ?

6. Apa psikopatologi dari ADHD ?

7. Apa manifestasi klinis dari ADHD ?

8. Apa komplikasi dari ADHD ?

9. Apa pemeriksaan penunjang untuk ADHD ?

10. Bagaimana pencegahan dari ADHD ?

11. Bagaimana penatalaksanan medis dan perawatan pada anak dengan

ADHD ?

12. Apa peran orang tua terhadapa anak dengan ADHD ?

13. Bagaimana asuhan keperawatan dengan anak ADHD ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu :

1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Sistem Saraf.

2. Untuk mengetahui pengertian dari ADHD.

3. Untuk mengetahui epidemiologi dari ADHD.

4. Untuk mengetahui etiologi dari ADHD.

5. Untuk mengetahui macam – macam gangguan dari ADHD.

6. Untuk mengetahui psikopatologi dari ADHD.

7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ADHD.

8. Untuk mengetahui komplikasi dari ADHD.

9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk ADHD.

10. Untuk mengetahui pencegahan dari ADHD.

11. Untuk mengetahui penatalaksanan medis dan perawatan pada anak

dengan ADHD.

12. Untuk mengetahui peran orang tua terhadapa anak dengan ADHD.

13. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan anak ADHD.

2

BAB 2

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf

Jaringan saraf terdiri dari :

1. Neuron (sel saraf)

Merupakan unit anatomis dan fungsional sistem persarafan.

3

Bagian-bagian dari neuron yaitu

a) Badan sel (inti sel terdapat didalamnya).

b) Dendrit : menghantarkan impuls menuju badan sel.

c) Akson : menghantarkan impuls keluar dari badan sel.

Klasifikasi neuron berdasarkan bentuk yaitu

1. Neuron unipolar

Terdapat satu tonjolan yang bercabang dua dekat dengan badan sel,

satu cabang menuju perifer dan cabang lain menuju SSP (neuron

sensorik saraf spinal).

2. Neuron bipolar

Mempunyai dua tonjolan, 1 akson dan 1 dendrit.

3. Neuron multipolar

Terdapat beberapa dendrit dan 1 akson yang dapat bercabang-

cabang banyak sekali.

Sebagian besar organela sel pada neuron terdapat pada sitoplasma

badan sel. Fungsi neuron : menghantarkan impuls saraf keseluruh tubuh

(somatik dan viseral). Impuls neuron bersifat listrik disepanjang neuron

dan bersifat kimia diantara neuron (celah sinap / cleft sinaptik) Zat kimia

yang disinteis neuron dan disimpan didalam vesikel ujung akson disebut

neurotransmiter yang dapat menyalurkan impuls. Contoh

neurotransmiter : asetilcolin, norefineprin, dopamin, serotonin, gama

aminobutirat (GABA).

2. Sel penyokong (Neuroglia pada SSP & sel schwann pada SST).

Ada 4 neuroglia yaitu

a) Mikroglia : berperan sebagai fagosit.

b) Ependima : berperan dalam produksi CSF.

c) Astrosit : berperan menyediakan nutrisi neuron dan mempertahankan

potensial Biolelektrik.

d) Oligodendrosit : menghasilkan mielin pada SSP yang merupakan

selubung neuron.

4

3. Mielin

a) Komplek protein lemak berwarna putih yang menutupi tonjolan saraf

(neuron).

b) Menghalangi aliran ion Na & K melintasi membran neural.

c) Daerah yang tidak bermielin disebut nodus ranvier.

d) Transmisi impuls pada saraf bermelin lebih cepat dari pada yang tak

bermelin, karena adanya loncatan impuls dari satu nodus kenodus

lainnya (konduksi saltatorik)

Mekanisme Penghantaran Impuls

Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel

penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian

erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama

berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf

pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan

medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen

sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak

dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon,

dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan

tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen

magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi

vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31

pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada

sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis

dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose

membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus

dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna.

(Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)

Membran plasma dan selubung sel membentuk membran

semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui

membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat

(keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju

cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran

terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+

5

sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada

aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan

potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran

plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar.

Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell.

2007).

Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi

perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+

dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke

sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami

depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas

disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat

singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan

permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti

oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai

mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel

setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan

dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah

plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera

dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut

periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan

menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron

sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel.

(Snell. 2007) 

 

6

B. Definisi ADHD (Attention Deficit Hyperaktivity Disorder)

ADHD adalah istilah popular, kependekan dari attention deficit

hyperactivity disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang,

hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan). Atau dalam bahasa

Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif.

Sebelumnya, pernah ada istilah ADD, kependekan dari attention deficit

disorder yang berarti ‘gangguan pemutusan perhatian’. Pada saat

ditambahkan ‘hiper-activity/hiper-aktif’ penulisan istilahnya menjadi beragam.

Ada yang ditulis ADHD, AD-HD, ada pula yang menulis ADD/H. Tetapi,

sebenarnya dari tiga jenis penulisan istilah itu, maksudnya adalah sama.

ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan

neurobiologis yang ciri-cirinya sudah tampak pada anak sejak kecil. Anak

ADHD mulai menunjukkan banyak masalah ketika SD karena dituntut untuk

memperhatikan pelajaran dengan tenang, belajar berbagai ketrampilan

akademik, dan bergaul dengan teman sebaya sesuai aturan (Ginanjar,

2009). ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas

motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim

dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan berbagai keluhan perasaan

gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu

meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang

berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka meletup-

letup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan (Klikdokter, 2008).

ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder,

suatu kondisi yang pernah dikenal sebagai Attention Deficit Disorder (Sulit

memusatkan perhatian), Minimal Brain Disorder (Ketidak beresan kecil di

otak), Minimal Brain Damage (Kerusakan kecil pada otak), Hyperkinesis

(Terlalu banyak bergerak / aktif), dan Hyperactive (Hiperaktif). Ada kira-kira 3

- 5% anak usia sekolah menderita ADHD (Permadi, 2009).

Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan

perhatian/hiperaktivitas adalah gangguan perilaku yang timbul pada anak

dengan pola gejala restless atau tidak bisa diam, inattive atau tidak dapat

memusatkan perhatian pada perilaku impulsive.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM)

definisi gangguan telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan

7

perubahan konsep tentang penyakit tersebut, dan sampai saat ini konsep

yang tepat untuk kondisi ini masih tetap menjadi perdebatan. Definisi

menurut DSM berubah dari single disorder dengan cirri utama hiperaktivitas

(American Psychiatric Association, 1968) menjadi two dimensional disorder,

dengan tiga subtype diagnosis (American Psychiatric Association, 1994).

Tetapi demikian, berbeda dari DSM IV, menurut International Classification

of Disease Edisi ke 10 (ICD-10, World Health Organization, 1993) gangguan

tersebut diberi nama hyperkinetic disorder atau gangguan hiperkinetik,

hanya dikenal adanya satu tipe gangguan ini. Sesuai dengan DSM IV,

terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness atau tidak mampu

memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.

Jadi, jika didefinisikan secara umum ADHD menjelaskan kondisi anak-

anak yang memperlihatkan symptom-symptom (cirri atau gejala) kurang

konsentrasi, hiperaktif dan impulsive yag dapat menyebabkan

ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka.

Kenyataannya ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan hiperaktif.

Oleh karena itu, makan istilah ADHD di Indonesia, lazimnya diterjemahkan

menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan atau tanpa Hiperaktif

(GPP/H). Anak yang mengalami ADHD kerap kali tumpang tindih dengan

kondisi-kondisi lainnya seperti disleksia, dispraksia, gangguan menentang

dan melawan.

C. Epidemiologi ADHD

Rasio anak laki-laki berbanding perempuan adalah antara 4:1 dalam jenis

dan tipe hiperaktif impulsif dan untuk kurang perhatian rasio anak laki-laki

dan perempuan adalah 1:1. Gejala-gejala ini kurang jelas daripada tipe

hiperaktiv impulsif yang lebih demonstratif. Gejala seperti ini diabaikan dan

didiagnosis dengan keliru pada banyak anak. Menurut penelitian Breton

yang dilakukan pada 1999, ADHD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki

dari pada perempuan, dengan estimasi 204% untuk anak perempuan dan 6-

9% untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun. Anak laki-laki ADHD lebih banyak

terjadi karena mereka lebih menunjukkan perilaku menantang dan agresif

dibandingkan dengan anak perempuan (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).

Bisa jadi anak perempuan dengan ADHD tidak teridentifikasi atau tidak

tertangkap gejalanya karena guru-guru gagal dalam mengenali dan

8

mencatat perilaku kurang perhatian anak perempuan ADHD, kecuali dengan

cara membandingkan dengan simptom-simptom yang digunakan untuk

mendiagnosis ADHD dapat pula memberi sumbangan terhadap perbedaan

jenis kelamin pada umumnya (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Anak ADHD

perempuan cenderung lebih memperlihatkan karakteristik simptom-simptom

kurang perhatian/tidak teratur dengan respons kognitif yang lambat,

misalnya pelupa, lesu darah, mengantuk, cenderung daycream, semas,

depresi dan cenderung berperilaku hiperverbal dibandingkan hiperaktif

(Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).

Gangguan ADHD dapat merusak hidup anak, menghabiskan banyak

energi, menimbulkan rasa sakit secara emosional, menurunkan harga diri

dan secara serius merusak hubungan kekerabatan atau pertemaan. Banyak

anak ADHD cenderung untuk mengembangkan masalah emosional

sekunder, namun ADHD itu sendiri dapat berkaitan dengan faktor – faktor

biologis dans ecara primer bukan gangguan emosional. Meskipun semikian,

masalah emosional dan perilaku kerap kali dapat terlihat pada anak ADHD

karena adanya masalah yang dihadapi anak-anak di sekolah, di rumah dan

di dalam lingkungan sosial mereka (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).

D. Etiologi ADHD

Menurut Adam (2008) penyebab pasti belum diketahui. Namun papar

Hardiono ada bukti bahwa faktor biologis dan genetis berperan dalam

ADHD. Faktor biologis berpengaruh pada dua neurotransmitter di otak, yaitu

dopamine dan norepinefrin. Dopamin merupakan zat yang bertanggung

jawab pada tingkah laku dan hubungan social, serta mengontrol aktifitas

fisik.

Norepinefrin berkaitan dengan konsentrasi, memusatkan perhatian, dan

perasaan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah lingkungan.  Karakter

dalam keluarga juga dapat berperan menimbulkan gejala ADHD. Bahkan

dari penelitian di beberapa rumah tahanan, sebagian besar penghuninya

ternyata pernah ADHD pada masa kecilnya. Demikian juga terjadi pada

pengguna narkoba. Belum diketahui apa penyebab pasti anak-anak menjadi

hiperaktif. Namun menurut dunia kedokteran, itu terkait dengan faktor

biologis dan genetik, serta lingkungan.

9

Menurut, Dr. Dwidjo Saputro, SpKJ(K) tahun 2009, etiologi dari ADHD

sebagai berikut :

Gangguan perilaku pada anak adalah akibat dari interaksi antara factor

alami (nature), yaitu factor bawaan dan lingkungan (nurture). Factor alami

meliputi faktor genetik, gangguan biologik yang telah diperoleh sejak saat

anak dalam kandungan dan pada waktu lahir. Factor lingkungan adalah

pengalaman psikoedukatif dan psikososial yang diperoleh setalh anak lahir,

yang meliputi pola asuh, pendidikan, nutrisi,kondisi lingkungan, teman

sebaya, nilai sosial dan budaya.

Sejak awal sampai saat ini, perkembangan konsep diagnosis yang

dibuat untuk gangguan ini menunjukkan perkembangan hipotesis penyebab

ganguan ini. Berbagai penelitian menunjukkan penyebab terjadinya

gangguan ini meliputi berbagai factor yang berpengaruh terhadap fungsi

otak.

1. Factor genetik

Hier (1980) telah menunjukkan adanya hubungan antara faktor

gentik dan penyebeb gangguan ini, yaitu pada anak laki-laki dengan

kelebihan Y kromosom (XYY) menujukkan peningakatan kejadian

hiperaktivitas yang menyertai kemampuan verbal dan performance

rendah. Pada fragile X syndrome, yaitu nama anak untuk kondisi di mana

terdapat X kromosom pada lokasi Q27 rapuh, juga dihubungkan dengan

kejadian gejala ADHD, meskipun sebagian besar penderita gangguan ini

mengalami retardasi mental. Masalah kesulitan memusatkan perhatian

dan kesulitan belajar juga diakibatkan adanya cacat genetic. Pada anak

perempuan dengan kromosom 45, XO juga menunjukkan kesulitan

memusatkan perhatian dan kesulitan menulis dan menggambar ulang.

Sampai saat ini belum dapat dibuktikan bahwa penyebab gangguan ini

adalah adanya kromosom abnormal (Barkley, 1998).

Orang tua dan saudara dari anak yang menderita ADHD lebih

banyak yang menderita gangguan ini dari pada saudara dari anak yang

tidak mengalami gangguan ini. Resiko besar mengalami gangguan ini

pada saudara anak ADHD menunjukkan adanya pembagian gen yang

sama di antara mereka. Saudara pada tingkat pertama, seperti orangtua,

saudara kandung, dan anak membagikan 50% gen dengan penyandang

gangguan ini. Mereka memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan ini

10

dari pada saudara tingkat kedua yang hanya membagikan gen 25%

dengan penyandang gangguan ini. Hasil penelitian oleh Cantwell (1975)

dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua

biologis anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan

dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran

herediter sangat besar sebagai salah satu factor penyebab gangguan ini.

Pada penelitian terhadap saudara kembar satu telur dan dua telur

menunjukkan bahwa gangguan ini secara nyata dipengaruhi oleh

komonen genetika, dengan heritabilitas 0,75-0,90 (Levy et al., 1997).

Transmisi genetik dalam keluarga terjadi secara oligogenik dan

multifaktorial, yaitu pewarisan kompleks (inheritance complex).

Awal penelitian genetika molekuler ditunjukan pada gen dopamine

tipe 2 yang dianggap memiliki hubungan kuat dengan terjadinya

alcoholism, sindrom Tourrete dan ADHD (Cummings et al., 1991;Blum et

al., 1996), tetapi hasil yang sama tidak didapatkan pada replikasi

penelitian tersebut. Dari hasil penelitian berikutnya didapatkan varian gen

untuk transporter dopamine (DAT 1) yang menimbulkan inaktivasi

dopamin di celah prasinaptik (Cook et al., 1995 ; Gill et al., 1997), tetapi

hasil yang sama tidak diperoleh pada replikasi penelitian tersebut

(Swanson et al., 1997). Didapatkan juga gen untuk reseptor dopamine D4

(DRD4) pada salah satu reseptor celah pasca sinaptik yang menimbulkan

aktivasi dopamin. Hasil yang sama didapatkan pada empat penelitian

berikutnya yang tidak hanaya meneliti anak ADHD tetapi meneliti remaja

dan orang dewasa yang menderita gangguan ini. Pada 29% sampel

penderita ADHD didapatkan memiliki 7 – repeat allele, yang merupakan

subkelompok fenotip yang homogeny pada populasi pederita ADHD

(Sunohara et al., 1997 ; Swanson et al., 1997).

2. Faktor Neurologik dan Proses dalam Otak

Factor neurologik pada ADHD yang diterima pertama kali secara

luas adalah penemuan dari Laufer, Denhoff, dan Solomons (1957), yaitu

didapatkan spike wave pada stimulasi fotik pada pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG) anak ADHD. Kondisi ini disebut sebagai over

arousal yang disebabkan oleh disfungsi diensefalon. Anak ADHD

dipandang memiliki kesulitan menyaring informasi secara selektif dan

11

sensitive terhadap pemerimaan stimulasi dari lingkungan. Knobel,

Wolman dan Manson (1959) berpendapat bahwa kondisi ini adalah

kompensasi yang berlebiihan dari korteks otak terhadap disfungsi

subkortikal. Jadi, hyperarousal korteks otak merupakan sumber terjadinya

tingkah laku hiperaktif yang ditunjukkan oleh penderita gangguan ini.

Douglas (1972, 1979) dan kinsbourne (1984) menolalk teori

overarousal, penelitian mereka menunjukkan bahwa gangguan ini terjadi

disebabkan oelh deficit sustain attention. Kondisi ini yang menyebabkan

anak dengan gangguan ini menunjukkan penampilan lebih buruk

dibandingkan dengan anak normal pada waktu menyelesaikan tugas

yang memerlukan perhatian terus-menerus.

Satterfield dan kawan-kawan mengajukan teori underarousal

sebagai dasar terjadinya hiperaktivitas. Mereka berpendapat bahwa

peningkatan aktivitas motorik pada ADHD adalah akibat dari bangkitan

eksitasi yang rendah pada reticular activating system, dan usaha untuk

meningkatkan masukan proprioseptif dan exteroseptif (Satterfield et al.,

1972, 1974; Satterfield dan Dawson, 1971).

Berbagai penelitian psikopatofisiologi pada anak ADHD

dibandingkan dengan anak normal didapatkan hasil yang konsisten yaitu

penurunan bangkitan respon saraf pada anak ADHD. Temuan yang

konsisten juga didapatkan dari hasil pemeriksaan EKG kuantitatif atau Q-

EEG dan evoked respone potential (ERP). (Barkley, 1998). Pemeriksaan

ERP mengukur aktivitas otak pada saat dipengaruhi oleh rangsangan

tugas (task stimuli), sebelum menghasilkan keluaran (out put) yang nyata,

yaitu respon menjadi teramati. Beberapa gelombang ERP positif dan

negatif telah diketahui memliki hubungan erat dengan berbagai aspek

proses informasi dalam otak (Naatanen, 1992). Anak ADHD dibandingkan

dengan anak normal, menunjukkan amplitude yang lebih kecil pada p3b,

sebagai respon terhadap rangsang target, bersamaan dengan

penampilan lebih buruk pada penyelesaian tugas tersebut (Klorman Iet

al., 1991).

Rutter berpendapat bahwa ADHD adalah gangguan fungsi otak,

oleh karena didapatkan deficit aktivasi yang disebabkan oleh adanya

patologi di area prefrontal dan/atau sagital frontal pada otak dengan

predominansi pada korteks otak. Adanaya kerusakan otak merupakan

12

resiko tinggi tingginya gangguan psikiatrik termasuk ADHD (Rutter, 1989).

Kerusakan otak pada janin dan neonatal paling sering disebabkan oleh

kondisi hipoksia. Keadaan hipoksia memiliki kecenderungan

menyebabkan terjadinya patologi yang merata pada korteks otak yang

menimbulkan gangguan fungsi integrasi koordinasi dan pengendalian

kortikal. Korteks frontal dianggap memiliki peran penting dalam aktivasi

dan integrasi lebih lanjut dari bagian otak lain. Oleh karena itu, patologi

yang merata pada korteks otak dianggap sebagai penyebab terjadinya

gejala lobus frontalis. Kondisi ini didukung oleh penemuan dari

pemeriksaan computerized tomography scanning (CT scan) menunjukkan

pelebaran yang merata dari ventrikel lateral kiri. Di pihak lain, kondisi

hipoksia menimbulkan terjadinya edema otak yang menyebabkan

peningkatan tekanan intracranial. Tekanan yang meningkat secara

hipotetis akan menimbulkan tekanan yang lebih tinggi pada daerah yang

sempit, yaitu permukaan medial sagital korteks otak, kondisi ini dapat

menimbulkan kerusakan lebih berat pada bagian sagital dari pada daerah

lateral. Terjadinya ADHD adalah akibat dari mekanisme patofisiologi

tersebut, salah satu atau keduanya, atau kombinasi dengan factor genetic

dan/atau kerusakan otak bagian lain (Borchgrevink, 1989).

Berbagai penelitian pencitraan otak secara konsisten menunjukkan

penurunan aliran darah otak pada anak dengan gangguan ini, yaitu di

daerah frontal dan jarak yang menghubungkan daerah ini ke system

limbic, melalui striatum, secara spesifik pada daerah anterior, yaitu

nucleus caudatum (Lou et al., 1984. 1990). Pada penelitian dengan PET

untuk menilai metabolisme glukosa pada otak, didapatkan penurunan

metabolisme pada penderita ADHD dewasa (Zametkin et al., 1990) dan

remaja perempuan (Ernst et al., 1994), tetapi hasil yang sama tidak

didapatkan pada remaja laki-laki (Zametkin et al., 1993). Pada kelompok

remaja ADHD didapatkan korelasi antara penurunan aktivitas

metabolisme pada otak di daerah frontal anterior kiridan derajat

keparahan gejala penyakit (Zametkin et al., 1993).

Pada kelompok anak ADHD dan kesulitan belajar didapatkan

hemisfer otak daerah temporal kanan lebih kecil dibandingkan dengan

anak normal (Hynd, Semrud-Clikeman, et al., 1990), juga didapatkan

13

ukuran corpus callosum lebih kecil, terutama di daerah genu, splenium

dan anterior splenium (Hynd, Semrud- Clikeman, et al., 1991).

Berbagai penelitian pencitraan otak pada anak ADHD yang

dilakukan selama dua dekade terakhir tidak ada yang menunjukkan

kerusakan struktur otak. Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian

terdahulu yaitu kerusakan struktur otak secara nyata hanya didaptkan

pada 5% anak dengan hiperaktivitas (Rutter, 1977, 1983). Kerusakan

struktur otak tersebut adalah akibat dari perkembangan otak yang

abnormal pada derah tersebut. Penyebab dari kondisi ini kemungkinan

besar adalah pengaruh kondisi genetika (Barkley, 1998).

3. Faktor Neurotransmitter

Sampai saat ini dari hasil berbagai penelitian belum dapat

dipastikan bahwa ADHD secara primer disebabkan oleh gangguan pada

neurokimiawi dalam otak, atau perubahan neurotransmitter dan

interaksinya timbul sebagai akibat perubahan tingkah laku. Namun, dari

hasil beberapa penelitian genetika molekuler terakhir didaptkan genuntuk

reseptor dopamine D4 (DRD 4) pada resptor di celah pascasinaptik yang

menimbulkan aktivasi dopamin.

Berbagai penelitian farmakologi tiga dekade yang lalu memperoleh

sejumlah stimulator dopamine pada reseptor pascasinaptik (piribidel,

amantadine, L-Dopa) yang memberi pengaruh secara menyeluruh pada

seluruh system dopamine, tetapi ketika diberikan kepada anak ADHD

tidak memberikan hasil perbaikan klinis secara bermakna. Shaywitz et al.,

menunjukkan pengaruh pemberian metilfenidat terhadap kadar serum

prolaktin dan growth hormone, melalui pengaruh metilfenidat terhadap

jaras dopaminergik hipotalamik bagian bawah. Shaywitz juga mendapat

penurunan homovalinic acid (HVA) cairan serebrospinal pada penderita

ADHD yang member respon terhadap pemberian metilfenidat (Shaywitz

et al., 1977, 1982).

Berbagai penelitian terhadap pengguanaan antagonis

dopaminseperti haloperidol, tioridasin dengan dosis rendah, tidak

memberikan perbaikan pada kemampuan memusatkan perhatian dan

fungsi kognitifyang lain, meskipun memberikan perbaikan pada skala

penilaian tingkah laku. pemberian obat trisiklik terhadap anak ADHD

14

memberikan perbaikan tingkah laku tetapi tidak memberikan perbaikan

fungsi kognitif. Dari hasil berbagai penelitian tersebut didapatkan

gambaran bahwa gejala aktivitas motorik yang berlebihan pada ADHD

secara patofisiologi disebabkan oleh fungsi norepinefrin abnormal,

sedangakan gejala lain, yaitu tidak mampu memusatkan perhatian dan

penurunan vigilance disebabkan oleh fungsi dopaminerjik abnormal.

Terdapat tiga penelitian yang menunjukkan peranan norepinefrin

terhadap terjadinya gangguan ini, yaitu pemberian dekstroamfetamin

pada anak ADHD menurunkan metabolit norepinefrin, yaitu 3-methoxy-4-

hydroxy-phenylglycol (MHPG) dalam ekskresi air seni (Brown et al., 1981;

Shekim et al., 1977; Zhametkin et al., 1984). Hasil dari tiga penelitian ini

menunjukkan bahwa obat psikostimulan berpengaruh terhadap

metabolisme norepinefrin. Shekim et al., yang memeriksa penderita

ADHD yang responsive terhadap amfetamin, menunjukkan bahwa setelah

pengobatan terjadi penurunan metobolik tersebut (Shekim et al., 1979)

beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa pada kelompok anak ADHD

menunjukkan kadar MHPG dalam air seni 20% lebih rendah dibandingkan

dengan kelompok normal dan pada anak ADHD yang responif terhadap

metilfenidat kadar metabolik tersebut berkurang 20% lebih rendah lagi

(Shen and Wang, 1984).

Rappoport et al., menunjukkan bahwa setelah pemberian

monoamine oksidaxe inhibitor (MAOI), Clogyline atau tranylcypromine

pada penderita ADHD terjadi perbaikan tingkah laku. Kedua zat tersebut

menghambat metabolism norepinefrin (Rappoport et al., 1985).

Hasil berbagai penelitian farmakologi tersebut menunjukkan bahwa

gangguan pada system norepinefrin berperan pada terjadinya gejala

ADHD, tetapi tidak menjadi penyebab tunggal. Terjadinya ADHD

disebabkan oleh beberapa system yang berbeda tetapi memiliki

hubungan yang erat. System tersebut memiliki peran yang berbeda

terhadap metabolism dopamin atau norepinefrin. Meskipun berbagai obat

anti ADHD memiliki komposisi kimiawi berbeda, mekanisme kerja obat

tersebut berbagi sama baik dopaminergik ataupun norepinefrinergik.

Norepinefrin dan dopamine atalah poten agonis pada reseptor D4 dicelah

paskasinaptik, gen reseptor dopamin D4 (DRD 4) sampai saat ini telah

15

dianggap sebagai penyebab gangguan ini (Landau et al., 1997;

Biederman, 200).

Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu

gambaran patofisiologi tertentu pada ADHD, tetapi semua penelitian

tersebut menunjukkan adanya disfungsi pada jarak fronto-subkortikal

yang berperan dalam penegendalian pemusatan perhatian dan perilaku

motorik. Berbagai penelitian pencitraan otak menunjukkan adanya

disfungsi pada area frontal tersebut dimana neuron dopaminergic masuk

ke lobus frontalis central menuju ke korteks prefrontal dari area

subkortikal. Disfungsi pada area tersebut menyebabkan terjadinya defisit

kendali implus (Fungsi frontal), kesulitan memusatkan perhatian (fungsi

batak otak) dan kesulitan belajar (fungsi higher kortikal (Desch, 1989;

Biederman, 2000).

4. Faktor psikososial

Willis dan Lovaas berpendapat bahwa perilaku hiperaktivitas

disebabkan oleh buruknya rangsang pengendalian oleh perintah dari ibu,

dan pengaturan perilaku yang buruk pada anak timbul dari manajemen

pengasuhan orang tua yang buruk (Willis dan Lovaas, 1977). Berbagai

penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh factor lingkungan

terhadap terjadinya gangguan ini seperti stimulasi berlebihan oleh orang

tua pada waktu mengasuh anak dan masalah psikologis yang terjadi pada

orang tua (Carlson, Jackobfitz & Sroufe, 1995; Barkle, 1998).

Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa perintah, petunjuk

dan sikap negative orangtua terhadap anak ADHD menjadi berkurang

setelah anak tersebut memberikan respon terhadap pengobatan (Barkley,

1998). Pada berbagai penelitian terhadap anak kembar juga

menunjukkan bahwa pengaruh dari sikap orang tua terhadap terjadinya

perilaku hiperaktif sangat kecil, pengaruh tersebut hanya terdapat pada

kurang dari 10% varians gejala tersebut di populasi umum (Goodman &

Stevenson, 1989).

Jadi, factor yang timbul dari sikap orangtua tidak merupakan

kontributor yang bermakna terhadap terjadinya ADHD.

16

5. Faktor Lingkungan

Berbagai toksin endogen pernah dianggap sebagai penyebab

ADHD, seperti : keracunan timbal, aditif makanan, reaksi alergi (Feingold,

1973, 1976 ; David, 1974 ; Taylor, 1986 ; Wender, 1986 : Hazel &

Schumaker, 1988). Tetapi berbagai penelitian terhadap factor tersebut

tidak ada yang memberikan bukti adanaya hubungan yang bermakna

antara factor tersebut dan terjadinya ADHD (Zametkin & Rapoport, 1986 ;

Matson, 1993).

Berdasarkan temuan hasil penelitian sampai saat sekarang belum

dapat diidentifikasi penyebab utama ADHD. Namun, berbagai factor

berperan terhadap pathogenesis gangguan ini. Di antara berbagai factor

tersebut factor biomedik memegang peranan utama, khususnya factor

genetik yang berpengaruh pada patofisiologi ADHD, dimulai

daripatogenesis pada jenjang molekuler sampai pada defisit proses

aktivasi, inhibisi, regulasi, ataupun fungsi eksekutif dari fungsi kognitif

otak. Factor psikososial berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan

prognosis atau hasil dari gangguan ini. Kondisi psikososial yang buruk

berpengaruh kuat terhadap interaksi anak dan orangtua, hal ini

mengakibatkan hasil dan prognosis gangguan ini menjadi buruk sehingga

masalah psikososial yang timbul akibat gangguan ini makin kompleks.

Kondisi psikososial di Indonesia berbeda dari kondisi psikososial di

berbagai negara barat, yaitu Amerika dan Eropa, tempat penelitian

longitudinal untuk mengamati hasil dan prognosis ADHD banyak

dilakukan. Hal itu terjadi karena perbedaan norma dan budaya yang

berpengaruh pada sikap orangtua dan guru terhadap anak yang

menderita ADHD di Indonesia. Terdapat kecenderungan orangtua dan

guru di Indonesia lebih menitikberatkan pada akibat atau kegagalan yang

ditimbulkan oleh tingkah laku anak yang menderita ADHD, khususnya

kegagalan mencapai prestasi akademik. Di Indonesia akses dan

kesempatan untuk melakukan tindakan agresif, kriminal lebih sedikit

dibandingkan dengan di Negara barat. Berdasarkan hal tersebut terdapat

kemungkinan bahwa perjalanan penyakit, prognosis atau hasil dari

gangguan ini, baik di masa remaja ataupun dewasa, kualitasnya berbeda

dari hasil yang teramati pada berbagai penelitian di negara barat.

17

E. Tipe-Tipe Gangguan ADHD

1) Tipe ADHD Gabungan

Untuk mengetahui ADHD tipe ini dapat didiagnosis atau dideteksi oleh

adanya paling sedikit 6 diantara 9 kriteria untuk perhatian, ditambah

paling sedikit 6 diantara 9 kriteria untuk hiperaktivitas impulsifitas.

Munculnya enam gejala tersebut berkali-kali sampai dengan tingkat

yang signifikan disertai adanya beberapa bukti, antara lain sebagai

berikut :

a. Gejala-gejala tersebut tampak sebelum anak mencapai usia 7

tahun.

b. Gejala-gejala diwujudkan pada paling sedikit dua seting yang

berbeda.

c. Gejala yang muncul menyebabkan hambatan yang signifikan dalam

kemampuan akademik.

d. Gangguan ini tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh kondisi

psikologi atau psikiatri lainnya.

2) Tipe ADHD kurang memerhatikan dan Tipe ADHD hiperaktif impulsive

Untuk mengetahui ADHD tipe ini, dapat didiagnosis oleh adanya paling

sedikit 6 diantara 9 gejala untuk perhatian dan mengakui bahwa

individu-individu tertentu mengalami sikap kurang memerhatikan yang

mendalam tanpa hiperaktivitas atau impulsifitas. Hal ini merupakan

salah satu alas an mengapa dalam beberapa buku teks, kita

menemukan ADHD ditulis dengan garis –AD/HD. Hal ini membedakan

bahwa ADHD kurang memerhatikan dari jenis ketiga yang dikenal

dengan tipe hiperaktif impulsive.

3) Tipe ADHD hiperaktif impulsive

Tipe ketiga ini menuntut paling sedikit 6 diantara 9 gejala yang terdaftar

pada bagian hiperaktif impulsifitas. Tipe ADHD kurang memerhatikan ini

mengacu pada anak-anak yang mengalami kesulitan lebih besar dengan

memori (ingatan) mereka dan kecepatan motor perceptual (persepsi

gerak), cenderung untuk melamun dan kerap kali menyendiri secara

social.

18

F. Psikopatologi ADHD

Sebagian besar profesional sekarang percaya bahwa ADHD terdiri dari

tiga masalah pokok: kesulitan dalam perhatian berkelanjutan, pengendalian

atau penghambatan impuls, kegiatan berlebihan. Beberapa periset, seperti

Barkley, menambahkan masalah-masalah lain seperti kesulitan metauhi

peraturan dan instruksi, adanya vairiabilitas berlebih dalam berespons

situasi, khusunya pekerjaan sekolah. Singkatnya ADHD merupakan suatu

gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatus

perilaku, khususnya untuk mengantisipasi tindakan dan keputusan masa

depan. Anak yang mengidap ADHD relative tidak mampu menahan diri untuk

merespons situasi pada saat tertentu. Mereka benar-benar tidak bisa

menunggu. Penyebabnya diperkirakian karena mereka memiliki sumber

biologis yang kuat yang ditemukan pada anak-anak dengan predisposisi

keturunan (Martin, 1998).

Beberapa penelitian belum dapat menyimpulkan penyebab pasti dari

ADHD. Seperti halnya dengan gangguan perkembangan lainnya (autisme),

beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya ADHD adalah faktor

genetik, perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat

perinatal, Tingkat kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi metabolism, hormonal,

lingkungan fisik dan sosial sekitar, asupan gizi, dan orang-orang

dilingkungan sekitar termasuk keluarga. Beberapa teori yang sering

dikemukakan adalah hubungan antara neurotransmitter dopamine dan

epinephrine. Teori faktor genetik, beberapa penelitian dilakukan bahwa pada

keluarga penderita, selalu disertai dengan penyakit yang sama setidaknya

satu orang dalam keluarga dekat. Orang tua dan saudara penderita ADHD

memiliki resiko hingga 2- 8 x terdapat gangguan ADHD (Klik dokter, 2008).

Teori lain menyebutkan adanya gangguan disfungsi sirkuit neuron di

otak yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan neurotransmitter sebagai

pengatur gerakan dan control aktifitas diri. Beberapa faktor resiko yang

meningkatkan terjadinya ADHD : kurangnya deteksi dini, gangguan pada

masa kehamilan (infeksi, genetic, keracuanan obat dan alkohol, rokok dan

stress psikogenik), gangguan pada masa persalinan (premature, postmatur,

hambatan persalinan, induksi, kelainan persalinan) (Klikdokter, 2008).

Menurut Isaac (2005) anak dengan ADHD atau attention Deficit

Hyperactivity Disorder mempunyai ciri-ciri anrtara lain:

19

1. Sulit memberikan perhatian pada hal-hal kecil.

2. Melakukan kesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekolah.

3. Sulit berkonsentrasi pada satu aktivitas.

4. Berbicara terus, sekalipun pada saat yang tidak tepat.

5. Berlari-lari dengan cara yang disruptif ketika diminta untuk duduk atau

diam.

6. Terus gelisah atau menggeliat.

7. Sulit menunggu giliran.

8. Mudah terdistraksi oleh hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.

9. Secara impulasif berkata tanpa berpikir dalam menjawab pertanyaan.

10. Sering salah menempatkan tugas-tugas sekolah, buku atau mainan.

11. Tampak tidak mendengar, sekalipu diajak berbicara secara langsung.

20

Skema ADHD ( Dr. Dwidjo Saputro, 2009 )

21

GENETIK

HIPOKSIA OTAK HIPOFUNGSI SISTEM DOPAMIN DAN NOREPRIN

DISFUNGSI KORTIKO STRIATAL

DISFUNGSI KORTEKS PREFONTAL

DEFEK FUNGSI KOGNITIF

KEGAGALAN INHIBISI PERILAKU TERTUNDANYA RESPONS

PERILAKU

GEJALA UTAMA ADHD YAITU INATTENTIVENESS dan IMPULSIVITAS

DIAGNOSIS ADHD

(DOKTER UMUM)

Deteksi Dini Adhd (Guru, Orang Tua)

Dan Diagnosis Adhd Akurasi

Meningkat (Dokter Umum)

DISFUNGSI OTAK

G. Manifestasi Klinik

Menurut Townsend (1998) ada beberapa tanda dan gejala yang dapat

dapat ditemukan pada anak dengan ADHD antara lain :

a. Sering kali tangan atau kaki tidak dapat diam atau duduknya mengeliat-

geliat. 

b. Mengalami kesulitan untuk tetap duduk apabila diperlukan

c. Mudah bingung oleh dorongan-dorongan asing

d. Mempunyai kesulitan untuk menunggu giliran dalam suatau permainan

atau keadaan di dalam suatu kelompok

e. Seringkali menjawab dengan kata-kata yang tidak dipikirkan terhadap

pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai disampaikan

f. Mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi-instruksi dari orang lain

g. Mengalami kesulitan untuk tetap bertahan memperhatikan tugas-tugas

atau aktivitas-aktivitas bermain

h. Sering berpindah-pindah dari satu kegiatan yang belum selesai ke

kegiatan lainnya

i. Mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang

j. Sering berbicara secara berlebihan. 

k. Sering menyela atau mengganggu orang lain

l. Sering tampaknya tidak mendengarkan terhadap apa yang sedang

dikatakan kepadanya

m. Sering kehilangan barang-barang yang diperlukan untuk tugas-tugas

atau kegiatan-kegiatan yang berbahaya secara fisik tanpa

mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya (misalnya

berlari-lari di jalan raya tanpa melihat-lihat).

H. Komplikasi ADHD

a. Diagnosis sekunder-gangguan konduksi, depresi, dan penyakit

ansietas .

b. Pencapaian akademik kurang, gagal disekolah, sulit membaca dan

mengerjakan aritmatika ( sering kali akibat abnormalitas konsentrasi ).

c. Hubungan dengan teman sebaya buruk ( sering kali perilaku agresif dan

kata-kata yang diungkapkan ).

d. IQ rendah / kesulitan belajar ( anak tidak duduk tenang dan belajar ).

e. Resiko kecelakaan ( karena impulsivitas ).

22

f. Percaya diri rendah dan penolakan teman-teman sebaya ( perilakunya

membuat anak-anak lainnya marah ).

I. Pemeriksaan Penunjang ADHD

Menurut Doenges, 2007 pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada

anak dengan ADHD antara lain :

a. Pemeriksaan Tiroid : dapat menunjukkan gangguan hipertiroid atau

hipotiroid yang memperberat masalah.

b. Tes neurologist (misalnya EEG, CT scan) menentukan adanya

gangguan otak organic.

c. Tes psikologis sesuai indikasi : menyingkirkan adanya gangguan

ansietas, mengidentifikasi bawaan, retardasi borderline atau anak tidak

mampu belajar dan mengkaji responsivitas social dan perkembangan

bahasa.

d. Pemeriksaan diagnostic individual bergantung pada adanya gejala fisik

(misalnya ruam, penyakit saluran pernapasan atas, atau gejala alergi

lain, infeksi SSP).

e. Pemeriksaan darah : Ditemukan toksin dalam darah penderita ADHD.

Selain itu ilakukan skrining DDTK pada anak pra sekolah dengan ADHD :

Tujuannya adalah untuk mengetahui secara dini anak adnya Gangguan

Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada anak umur 36 bulan

ke atas.

Jadwal deteksi dini GPPH pada anak prasekolah dilakukan atas indikasi

atau bila ada keluhan dari orang tua/pengasuh anak atau ada kecurigaan

tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU, pengelola TPA,

dan guru TK. Keluhan tersebut dapat berupa salah satu atau lebih keadaan

di bawah ini :

a. Anak tidak bisa duduk tenang

b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah

c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive

Alat yang digunakan adalah formulir deteksi dini Gangguan Pemusatan

Perhatian danHiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting Scale)

yaitu Formulir yang terdiri dari 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada

23

orangtua / pengasuh anak / guru TK dan pertanyaan yang perlu pengamatan

pemeriksa.

Cara menggunakan formulir deteksi dini GPPH :

a. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu persatu

perilakuyang tertulis pada formulir deteksi dini GPPH. Jelaskan

kepada orangtua / pengasuh anak untuk tidak ragu-ragu atau takut

menjawab.

b. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan pertanyaan

pada formulir deteksi dini GPPH.

c. Keadaan yang ditanyakan/diamati ada pada anak dimanapun anak

berada,misal ketika di rumah, sekolah, pasar, took, dll. Setiap saat

dan ketika anak dengan siapa saja.

d. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama dilakukan

pemeriksaan. Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab.

FORMULIR DETEKSI DINIGANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN

HIPERAKTIVITAS (GPPH)

(Abbreviated Conners Ratting Scale)

Kegiatan yang diamati  0 1 2 3

1.Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan

2.Mudah menjadi gembira, impulsive

3.Menganggu anak-anak lain

4.Gagal menyelesaikan kegiatan yang telahdimulai,

rentang perhatian pendek 

5.Menggerak-gerakkan anggota badan ataukepala

secara terus-menerus

6.Kurang perhatian, mudah teralihkan

7.Permintaannya harus segera dipenuhi,,mudah

menjadi frustasi

8.Sering dan mudah menangis

9.Suasana hatinya mudah berubah dengancepat dan

drastic

10.Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan tak

terduga.

24

Jumlah :

Nilai total :

Interpretasi :

a. Nilai 0 : jika keadaan tersebut tidak ditemukan pada anak.

b. Nilai 1 : jika keadaan tersebut kadang-kadang ditemukan pada anak.

c. Nilai 2 : jika keadaan tersebut sering ditemukan pada anak .

d. Nilai3 : jika keadaan tersebut selalu ada pada anak.Beri nilai total 13

atau lebih anak kemungkinan dengan GPPH.

Intervensi :

a. Anak dengan kemungkinan GPPH perlu dirujuk ke Rumah Sakit

yangmemiliki : fasilitas kesehatan jiwa atau tumbuh kembang anak

untuk konsultasi lebih lanjut.

b. Beri nilai total kurang dari 13 tetapi anda ragu-ragu, jadwalkan

pemeriksaan ulang 1 bulan kemudian. Ajukan pertanyaan kepadaorang-

orang terdekat dengan anak (orang tua, pengasuh, nenek, guru,dsb).

J. Pencegahan

a. Skrining DDTK pada ADHD.

b. Perawatan saat hamil ( hindari obat – obatan dan alkoholic ) untuk orang

tua.

c. Asupan nutrisi yang seimbang.

d. Berikan rutinitas yang terstruktur ( membantu anak untuk mematuhi

jadwal yang teratur).

e. Manajemen perilaku (dapat mendorong anak untuk fokus pada apa yang

mereka lakukan).

K. Penatalaksanaan Medis dan Perawatan Pada Anak Dengan ADHD

A. Perawatan

Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) perawatan yang dapat dilakukan

orang tua terhadap anak yang menderita ADHD antara lain :

a) Terapi medis : Mengendalikan simptom-simptom ADHD di sekolah

dan rumah.

25

b) Pelatihan manajemen orang tua : Mengendalikan perilaku anak

yang merusak di rumah, mengurangi konflik antara orangtua dan

anak serta meningkatkan pro-sosial dan perilaku regulasi diri.

c) Intervensi pendidikan : Mengendalikan perilaku yang merusak di

kelas, meningkatkan kemampuan akademik serta mengajarkan

perilaku pro sosial dan regulasi diri.

d) Merencanakan program-program bulanan : Melakukan penyesuaian

di rumah dan keberhasilan ke depan di sekolah dengan

mengombinasikan perlakukan tambahan dan pokok dalam program

terapi.

e) Melakukan konseling keluarga : Coping terhadap stres keluarga dan

individu yang berkaitan dengan ADHD, termasuk kekacauan hati

dan permasalahan suami istri.

f) Mencari kelompok pendukung : Menghubungkan anak dewasa

dengan orang tua anak ADHD lainnya, berbagi informasi dan

pengalaman mengenai permasalahan umum dan memberi

dukungan moral.

g) Melakukan konseling individu : Memberi dukungan di mana anak

dapat membahas permasalahan dan curahan hati pribadinya

Menurut Videbeck (2008) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan

pada anak dengan Attention Deficyt Hyperactivity Disorder (ADHD)

antara lain :

1. Memastikan keamanan anak dan keamanan orang lain dengan :

a. Hentikan perilaku yang tidak aman.

b. Berikan petunjuk yang jelas tentang perilaku yang dapat

diterima dan yang tidak dapat diterima.

c. Berikan pengawasan yang ketat.

2. Meningkatkan performa peran dengan cara :

a. Berikan umpan balik positif saat memenuhi harapan.

b. Manajemen lingkungan (misalnya tempat yang tenang dan

bebas dari distraksi untuk menyelesaikan tugas).

3. Menyederhanakan instruksi/perintah untuk :

a. Dapatkan perhatian penuh anak.

b. Bagi tugas yang kompleks menjadi tugas-tugas kecil.

26

c. Izinkan beristirahat.

4. Mengatur rutinitas sehari-hari

a. Tetapkan jadual sehari-hari.

b. Minimalkan perubahan.

5. Penyuluhan dan dukungan kepada klien atau keluarga dengan

mendengarkan perasaan dan frustasi orang tua.

6. Berikan nutrisi yang adekuat pada anak yang mengalami ADHD.

B. Pengobatan

Pengobatan terhadap anak dengan ADHD umumnya dilakukan

dengan berbagai pendekatan termasuk program pendidikan khusus,

modifikasi perilaku, pengobatan melalui obat-obatan dan konseling.

Disamping pendekatan yang kontroversial antara lain melakukan diet

khusus dan penggunaan obat-obatan serta vitamin-vitamin tertentu

(Delphie, 2006).

Menurut Videbeck (2008) obat stimulan yang sering digunakan untuk

mengobati ADHD antara lain :

1) Metilfenidat (Ritalin)

Dosis 10-60 dalam 2 – 4 dosis yang terbagi. Intervensi

keperawatan pantau supresi nafsu makan yang turun, atau

kelambatan pertumbuhan, berikan setelah makan, efek obat

lengkap dalam 2 hari.

2) Dekstroamfetamin (Dexedrine) amfetamin (Adderall)

Dosis 3-40 dalam 2 atau 3 dosis yang terbagi. Intervensi

keperawatan, pantau adanya insomnia, berikan setelah makan

untuk mengurangi efek supresi nafsu makan, efek obat lengkap

dalam 2 hari.

3) Pemolin (Cylert)

Dosis 37,5-112,5 dalam satu dosis harian. Intervensi

keperawatan pantay peningkatan tes fungsi hati dan supresi nafsu

makan, dapat berlangsung 2 minggu untuk mencapai efek obat

yang lengkap.

27

L. Peran Orang Tua Pada Anak ADHD

1. Sedini mungkin membiasakan anaknya untuk hidup dalam suatu aturan.

Dengan menerapkan peraturan secara konsisten, anak dapat belajar

untuk mengendalikan emosinya.

2. Sedini mungkin memberikan kepercayaan dan tanggungjawab terhadap

apa yang seharusnya dapat dilakukan anak.

3. Kenali kondisi diri dan psikis anak. Dengan mengenali, orang tua tak akan

memberikan tekanan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan

penolakan anak untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.

4. Upayakan untuk menyediakan ruang belajar yang jauh dari gangguan

televisi, mainan atau kebisingan.

5. Sedini mungkin melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan,

dan konsisten terhadap terapi yang sedang dijalankan oleh anak anda.

6. Biasakan anak untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk tulisan

atau gambar.

7. Aturlah pola makan anak, hindari makanan dan minuman dengan kadar

gula dan karbohidrat yang tinggi.

8. Ajaklah anak berekreasi ke tempat-tempat yang indah. Hal ini akan

membantu anak untuk berpikiran positif.

9. Ajaklah anak untuk berlatih menenangkan diri. Misalnya dengan menarik

nafas dalam-dalam dan keluarkan lewat mulut. Latihan ini bisa dilakukan

berulang-ulang. 

M. Asuhan Keperawatan

a) Pengkajian

1. Identitas Klien :

ADHD terjadi pada anak usia 3 th, laki – laki cenderung memiliki

kemungkinan 4x lebih besar dari perempuan untuk menderita

ADHD.

2. Keluhan utama :

Keluarga mengatakan anaknya tidak bisa diam, kaki atau

tangannya bergerak terus.

3. Riwayat penyakit sekarang :

Orang tua atau pengasuh melihat tanda – tanda awal dari ADHD :

a. Anak tidak bisa duduk tenang.

28

b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah.

c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive.

4. Riwayat penyakit sebelumnya :

Tanyakan kepada keluarga apakah anak dulu pernah

mengalami cedera otak.

5. Riwayat penyakit keluarga

Tanyakan kepada keluarga apakah ada faktor genetic yang

diduga sebagai penyebab dari gangguan hiperaktivitas pada anak.

6. Riwayat psiko,sosio, dan spiritual :

Anak mengalami hambatan dalam bermain dengan teman dan

membina hubungan dengan teman sebaya nya karena

hiperaktivitas dan impulsivitas.

7. Riwayat tumbuh kembang :

a. Prenatal : Ditanyakan apakah ibu ada masalah asupan alcohol

atau obat-obatan selama kehamilan.

b. natal : Ditanyakan kepada ibu apakah ada penyulit selama

persalinan. lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR).

c. Postnatal : Ditanyakan apakah setelah lahir langsung diberikan

imunisasi apa tidak.

8. Riwayat imunisasi

Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi

lengkap.

Usia <7 hari anak mendapat imunisasi hepatitis B.

Usia 1 bulan anak mendapat imunisasi BCG dan Polio I.

Usia 2 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB I dan Polio 2.

Usia 3 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB II dan Polio 3.

Usia 4 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB III dan Polio 4.

Usia 9 bulan anak mendapat imunisasi campak.

9. Pemeriksaan fisik dalam batas normal.

10. Activity daily living ( ADL ) :

a. Nutrisi

Anak nafsu makan nya berkurang (anaroxia).

b. Aktivitas

Anak sulit untuk diam dan terus bergerak tanpa tujuan.

c. Eliminasi

29

Anak tidak mengalami ganguan dalam eliminasi.

d. Istirahat tidur

Anak mengalami gangguan tidur.

e. Personal Hygiene

Anak kurang memperhatikan kebersihan dirinya sendiri dan

sulit di atur.

b) Diagnosa Keperawatan

Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges (2007)

diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang

mengalami ADHD antara lain :

1. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku

impulsive.

2. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya

tingkat kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk melakukan

koping.

c) Intervensi Keperawatan

Menurut Cyntia Taylor (2013), intervensi keperawatan untuk mengatasi

ADHD adalah

1. Risiko cedera

a) Bantu pasien dan anggota keluarga mengidentifikasi situasi dan

bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan.

b) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengadakan perbaikan

dan menghilangkan kemungkinan keamanan dari bahaya.

c) Beri dorongan kepada orang dewasa untuk mendiskusikan

peraturan keamanan terhadap anak.

d) Rujuk pasien ke sumber-sumber komunitas yang lebih tepat.

2. Ketidakefektifan koping

a) Dorong pasien untuk menggunakan system pendukung ketika

melakukan koping.

b) Identifikasi dan turunkan stimulus yang tidak perlu dalam

lingkungan.

30

c) Jelaskan kepada orang tua semua terapi dan prosedur dan

jawab pertanyaan pasien.

d) Rujuk pasien untuk melakukan konseling pada psikolog.

31

BAB 3

APLIKASI TEORI

Kasus

Anak M usia 7 tahun siswa kelas 1 Sekolah Dasar datang ke rumah sakit

bersama ibunya dengan keluhan tak bisa duduk tenang. Energi anak saya

seperti tiada habisnya. Ia sangat bawel, sulit berkonsentrasi, agresif, suka

mendominasi pergaulan, berlarian ke sana-kemari dan sering mengganggu

teman-temannya. Ibu mengatakan anaknya sering terjatuh karena sering

berlarian tanpa tujuan. Anak M lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada

pekerjaan sekolahnya. Ibunya mengakui bahwa Anak M berganti-ganti

aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain bongkar

pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih pada permainan

yang lain. Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi prestasinya di sekolah. An.

M juga mengungkapkan bahwa dia malas mengerjakan PR yang susah dan

dia bilang tidak pernah mendapatkan nilai bagus dan selalu mendapat nilai

merah. Anak M seringkali sulit dikontrol. Dia sering mengabaikan apa yang

Ibunya perintahkan. Dari pemeriksaan ditemukan banyak luka atau parut

bekas terjatuh, konsentrasi buruk.

1) PENGKAJIAN

A. Identitas Anak

Nama : An. M

Umur : 7 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

BB : 18 kg

TB : 110 cm

Pendidikan : Sekolah dasar

Agama : Islam

Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia

Alamat : -

Tanggal MRS : 1 Januari 2015

Tanggal Pengkajian : 1 Januari 2015

Nomor Register : 12.25.95

32

Diagnosa Medis : ADHD (Attention Deficit Hyperactive

Disorder)

B. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Ibu. W

Umur : 30 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia

Alamat : -

Hubungan dengan klien : Ibu klien

C. Riwayat Kesehatan Klien

1. Keluhan Utama

Tidak bisa duduk tenang. Ia sangat bawel, sulit berkonsentrasi,

agresif, suka mendominasi pergaulan, berlarian ke sana-kemari dan

sering mengganggu teman-temannya.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

Ibu mengatakan anaknya sering terjatuh karena sering berlarian

tanpa tujuan. Anak M lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada

pekerjaan sekolahnya. Ibunya mengakui bahwa Anak M berganti-

ganti aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain

bongkar pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih

pada permainan yang lain. Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi

prestasinya di sekolah. An. M juga mengungkapkan bahwa dia malas

mengerjakan PR yang susah dan dia bilang tidak pernah

mendapatkan nilai bagus. Anak M seringkali sulit dikontrol. Dia sering

mengabaikan apa yang Ibunya perintahkan

33

3. Riwayat Kesehatan Dahulu

Sebelumnya klien tidak pernah mengalami penyakit sama.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

Dalam keluarga klien tidak ada yang mengalami penyakit keturunan.

D. Riwayat Anak

1. Masa Pre – Natal

Selama kehamilan ibu 4 kali memeriksakan kandungannya ke

Puskesmas dan Dokter, mendapat imunisasi TT sebanyak 2 kali.

Selama kehamilan ibu tidak pernah mengalami penyakit yang

menular atau penyakit lainnya. Ibu juga berkata saat kehamilannya

suka makan makanan laut seperti udang, kerang.

2. Masa Intra – Natal

Proses persalinan klien secara normal (spontan) dengan bantuan

bidan, dengan umur kehamilan 37 minggu.

3. Masa Post – Natal

Klien lahir dalam keadaan normal, dengan BB ± 3200 gram dalam

keadaan sehat. Waktu lahir klien langsung menangis.

E. Pengetahuan Orang Tua

1. Tentang Makanan Sehat

Orang tua klien belum cukup mengetahui tentang makanan sehat dan

gizi klien baik dan berat badannya 18 kg, klien diberikan ASI sampai

umur 2 bulan saja dan dilanjutkan dengan PASI.

2. Tentang Personal Hygiene

Orang tua klien belum cukup mengetahui tentang kebersihan, dilihat

dari kebersihan klien dan orang tuanya sendiri. Badan klien terlihat

kusam, rambut klien hitam, kuku klien bersih kotor, mulut klien

tampak kelihatan bersih.

34

3. Imunisasi

Klien mendapat imunisasi, yaitu :

a. BCG : 1 kali

b. DPT : 3 kali

c. Campak : 1 kali

d. Polio : 3 kali

e. Hepatitis B : 2 kali

F. Pertumbuhan dan Perkembangan

Usia Pertumbuhan Perkembangan

7 tahun BB : 18 kg

PB : 110 cm

Sudah bisa belajar berenang,

berayun. Tubuhnya telah

mampu melakukan aktivitas fisik

yang lebih kompleks. Sudah

bisa diajari mambaca kalimat

dan mengerjakan hitungan

matematika sederhana

G. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Penampilan : Klien tampak agak kusam.

Kesadaran : Composmentis

Vital Sign : TD : - RR : 25 kali / menit

Temp : 37,4 º C Nadi :100 kali / menit

BB : 18 kg TB : 110 cm

2. Kebersihan Anak

Klien kelihatan kusam karena sering bermain kesana kemari.

3. Suara Anak Waktu Menangis

Ketika klien mengangis terdengar suara yang kuat.

4. Keadaan Gizi Anak

Keadaan gizi anak cukup baik ditandai dengan BB: 18 kg.

(BB normal: 22 kg)

5. Aktivitas

Di rumah sakit klien berbaring ditempat tidur dan sesekali berpindah

posisi agar klien merasa nyaman.

35

6. Kepala dan Leher

Keadaan kepala tampak bersih, dan tidak ada luka atau lecet. Klien

dapat menggerakkan kepalanya kekiri dan kekanan. Tidak ada

pembengkakan kelenjar tyroid dan limfe.

7. Mata (Penglihatan)

Bentuk simetris, tidak ada kotoran mata, konjungtiva tidak anemis,

fungsi penglihatan baik karena klien tidak menggunakan alat bantu,

tidak ada peradangan dan pendarahan.

8. Telinga (Pendengaran)

Tidak terdapat serumen, fungsi pendengaran baik karena klien jika

dipanggil langsung memberi respon. Tidak ada peradangan dan

pendarahan.

9. Hidung (Penciuman)

Bentuk simetris, kebersihan hidung baik tidak terdapat kotoran pada

hidung, tidak terdapat polip.

10. Mulut (Pengecapan)

Tidak terlihat peradangan dan pendarahan pada mulut, fungsi

pengecapan baik, mukosa bibir kering.

11. Dada (Pernafasan)

Bentuk dada simetris, tidak ada gangguan dalam bernafas, tidak ada

bunyi tambahan dalam bernafas, dengan frekuensi nafas 25 x/menit.

12. Kulit

Terlihat sedikit kusam, tidak terdapat lesi maupun luka, turgor kulit

baik (dapat kembali dalam 2 detik), kulit klien teraba panas dengan

temperatur 37,4 º C.

13. Abdomen

Bentuk simetris, tidak ada luka dan peradangan, tidak ada kotoran

yang melekat pada kulit.

14. Ekstremitas Atas dan Bawah

Bentuk simetris, tidak ada luka maupun fraktur pada ekstremitas atas

dan bawah, terdapat keterbatasan gerak pada ekstremitas atas

bagian dekstra karena terpasang infuse RL 20 tetes/menit.

15. Genetalia

Klien berjenis kelamin laki-laki dan tidak terpasang kateter.

36

H. Pola Makan dan Minum

Di rumah : Klien makan 3x sehari dengan menu sayur sop dan klien

suka minum air putih dan susu.

Di RS : Klien mendapatkan bubur ayam 3x sehari dan tidak bisa

menghabiskannya, klien minum hanya ½ gelas dari 1 gelas.

I. Pola Eliminasi

Di rumah : Klien BAB 1x/hari dengan konsistensi padat dan bau khas

feses, BAK klien 4-5x/hari berwarna kuning jernih dan

berbau amoniak.

Di RS : Klien BAB 1x dalam 2 hari dengan konsistensi padat dan

berbau khas feses. Dan klien BAK 2-3x/hari berwarna

kuning jernih dan berbau amoniak.

J. Terapi Yang Didapatkan di RS

a. Terapi obat Psikotimulan

b. Terapi obat Non Stimulan ( Anti depresi, Anti psikotik )

K. Analisa Data

NoData Subyektif dan Data

ObyektifEtiologi Problem

1 DS : - Ibu mengatakan

bahwa energy anaknya

seperti tiada habisnya

dan agresif.

- Ibu mengatakan

anaknya sering terjatuh

karena sering berlarian

tanpa tujuan.

DO: - Anak sering kali

Hiperaktifitas Risiko Cedera

37

terlihat berlarian dan

ditemukan banyak luka

atau parut bekas

terjatuh.

2 DS : An. M mengungkapkan

bahwa dia malas

mengerjakan PR yang

susah dan dia bilang

tidak pernah

mendapatkan nilai

bagus dan selalu

mendapat nilai merah

DO: Anak terlihat tidak bisa

berkonsentrasi

dengan perawat dan

sering menengok ke

kanan dan ke kiri

saat berbicara

dengan perawat.

Tidak adekuatnya

tingkat

kepercayaan diri

terhadap

kemampuan untuk

melakukan koping.

Ketidakefektifan

Koping

2) Prioritas Diagnosa

1. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas.

2. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan tidak adekuatnya tingkat

kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk melakukan koping.

3) Intervensi

No

Dx

Tujuan dan

Kriteria Hasil

Intervensi Rasional

1 Setelah dilakukan

tindakan

keperawatan

selama 2x24 jam,

1. Bantu pasien dan

anggota keluarga

mengidentifikasi

situasi dan bahaya

1. Untuk meningkatkan

kesadaran pasien

dan keluarga

tentang

38

pasien mampu

melakukan

aktivitas yang

tidak berbahaya.

Kriteria Hasil :

Pasien dan

anggota keluarga

mempraktikkan

keamanan dan

melakukan

tindakan

kewaspadaan di

rumah.

yang dapat

mengakibatkan

kecelakaan.

2. Anjurkan pasien

dan keluarga untuk

mengadakan

perbaikan dan

menghilangkan

kemungkinan

keamanan dari

bahaya.

3. Beri dorongan

kepada orang

dewasa untuk

mendiskusikan

peraturan

keamanan

terhadap anak.

4. Rujuk pasien ke

sumber-sumber

komunitas yang

lebih tepat.

kemungkinan

bahaya.

2. Untuk mengurangi

kemungkinan

cedera.

3. Pengajaran yang

dilakukan oleh orang

tua dapat

meningkatkan

keamanan di rumah.

4. Dapat mengubah

lingkungan dalam

mencapai tingkat

keamanan yang

optimal.

2 Setelah dilakukan

tindakan

keperawatan

3x24 jam, pasien

mampu

mengomunikasik

an perasaan

tentang situasi

saat ini.

Kriteria hasil :

Pasien

menggunakan

1. Dorong pasien

untuk

menggunakan

system pendukung

ketika melakukan

koping.

2. Identifikasi dan

turunkan stimulus

yang tidak perlu

dalam lingkungan.

3. Jelaskan kepada

1. Untuk membentuk

kembali

keseimbangan

psikologis dan

mencegah krisis.

2. Untuk menghindari

beban sensori dan

persepsi yang

berlebihan pada

pasien.

3. Untuk mengatasi

39

system

pendukung yang

tepat seperti

keluarga dan

teman untuk

membantu dalam

melakukan

koping.

orang tua semua

terapi dan

prosedur dan

jawab pertanyaan

pasien.

4. Rujuk pasien untuk

melakukan

konseling pada

psikolog.

rasa takut dan

memungkinkan

pasien

mendapatkan

kembali rasa control.

4. Meningkatkan

objektivitas dan

mengembangkan

pendekatan

kolaboratif terhadap

perawatan pasien.

4) Implementasi

No

Tanggal

dan

Waktu

Pelaksanaan Respon klien Paraf

1 03

Januari

2015,

pukul

08.00

03

Januari

2015,

pukul

08.20

04

Januari

2015,

pukul

08.00

1. Membantu pasien dan

anggota keluarga

mengidentifikasi situasi

dan bahaya yang dapat

mengakibatkan

kecelakaan.

2. Menganjurkan pasien dan

keluarga untuk

mengadakan perbaikan

dan menghilangkan

kemungkinan keamanan

dari bahaya.

3. Memberi dorongan

kepada orang dewasa

untuk mendiskusikan

peraturan keamanan

terhadap anak.

1. Klien dan

keluarga

kooperatif.

2. Klien dan

keluarga

kooperatif.

3. Orang tua klien

memahami

tentang

peraturan

keamanan

40

04

Januari

2015,

pukul

08.20

4. Merujuk pasien ke

sumber-sumber

komunitas yang lebih

tepat.

terhadap anak.

4. Klien kooperatif.

2 03

Januari

2015,

pukul

14.00

04

Januari

2015,

pukul

14.00

04

Januari

2015,

pukul

14.40

05

Januari

2015,

pukul

08.00

1. Mendorong pasien untuk

menggunakan system

pendukung ketika

melakukan koping.

2. Mengidentifikasi dan

menurunkan stimulus

yang tidak perlu dalam

lingkungan.

3. Menjelaskan kepada

orang tua semua terapi

dan prosedur dan jawab

pertanyaan pasien.

4. Merujuk pasien untuk

melakukan konseling

pada psikolog.

1. Klien kooperatif

tetapi tetap saja

berlari-lari.

2. Situasi

terkendali.

3. Orang tua klien

kooperatif.

4. Pasien tetap

tidak bisa duduk

diam ketika

diperiksa.

5) Evaluasi

No Tanggal dan Evaluasi Paraf

41

Waktu

1 06 Januari

2015

S : Orang tua mengatakan sudah

mengerti akan pemahaman

keamanan terhadap anaknya

agar tidak cedera.

O: Hiperaktivitas klien sedikit

berkurang.

A : Masalah teratasi.

P : Pasien diperbolehkan pulang

dan orang tua diberikan

Health Education.

2 06 Januari

2015

S : Orang tua mengatakan aktivitas

anaknya sudah bisa

dikendalikan.

O: Klien sudah terlihat bisa lebih

tenang.

A : Masalah teratasi.

P : Pasien diperbolehkan pulang

dan orang tua diberikan

Health Education.

BAB 4

PENUTUP

42

A. Kesimpulan

Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan

perhatian/hiperaktivitas adalah gangguan perilaku yang timbul pada anak

dengan pola gejala restless atau tidak bisa diam, inattive atau tidak dapat

memusatkan perhatian pada perilaku impulsive. Tipe dari ADHD yaitu Tipe

ADHD Gabungan, Tipe ADHD kurang memerhatikan dan Tipe ADHD

hiperaktif impulsive, Tipe ADHD hiperaktif impulsive.

Menurut Adam (2008) penyebab pasti belum diketahui. Namun papar

Hardiono ada bukti bahwa faktor biologis dan genetis berperan dalam

ADHD. Faktor biologis berpengaruh pada dua neurotransmitter di otak, yaitu

dopamine dan norepinefrin. Dopamin merupakan zat yang bertanggung

jawab pada tingkah laku dan hubungan social, serta mengontrol aktifitas

fisik.

Menurut Isaac (2005) anak dengan ADHD atau attention Deficit

Hyperactivity Disorder mempunyai ciri-ciri anrtara lain:

1. Sulit memberikan perhatian pada hal-hal kecil.

2. Melakukan kesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekolah.

3. Sulit berkonsentrasi pada satu aktivitas.

4. Berbicara terus, sekalipun pada saat yang tidak tepat.

5. Berlari-lari dengan cara yang disruptif ketika diminta untuk duduk atau

diam.

6. Terus gelisah atau menggeliat.

7. Sulit menunggu giliran.

B. Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini para pembaca dapat mengetahui

tentang penyakit ADHD pada anak dan diharapkan mahasiswa keperawatan

dapat melakukan asuhan keperawatan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

43

Saputo, Dwidjo Dr. 2009. ADHD ( Attention Deficit Hyperactive Disorder ).

Jakarta : CV Sagung Seto.

Sugiarmin & Baihaqi. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Jakarta : PT

Refika Aditama.

Taylor, Cynthia. 2013. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta

: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wilksinson, Judith. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta :

EGC.

44