ASEAN Free Trade Area
-
Upload
joshiedemak -
Category
Documents
-
view
185 -
download
2
Transcript of ASEAN Free Trade Area
PENGERTIAN ASEAN Free Trade Area (AFTA)
ASEAN Free Trade Areas Istilah perdagangan bebas identik dengan adanya
hubungan dagang antar negara anggota maupun negara non-anggota. AFTA dibentuk
pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992.
Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari
kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas
perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional
ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam
waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir
dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Dalam implementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa
aspek yang mempengaruhi yaitu mulai dengan meneliti mekanisme perdagangan,
prinsip sentral dari keuntungan komparatif (comparative advantage), serta pro dan
kontra di bidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana berbagai jenis mata uang
(atau valuta asing) diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN
dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi
negara-negara anggota ASEAN. Kerjasama ini pada awalnya hanya beranggotakan
enam negara yaitu Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan
Malaysia. Tetapi pada perkembangannya, AFTA memperluas keanggotaanya dengan
masuknya anggota baru yaitu Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), serta
Kamboja (1999).
Sehingga jumlah keseluruhan anggota AFTA menjadi 10 negara. Dengan
perluasan keanggotaan ini diharapkan dapat mempercepat terjadinya integrasi ekonomi
di kawasan Asia tenggara menjadi suatu pasar produksi tunggal dan menciptakan
pasar regional bagi lebih dari 500 juta orang. Sebab penghapusan tariff bea masuk di
negara-negara anggota ASEAN dianggap sebagai sebuah katalisator bagi efisiensi
produk yang lebih besar dan kompetisi jangka panjang, serta memberikan para
konsumen kesempatan untuk memilih barang-barang berkualitas.
Sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan pemberlakuan AFTA, negara-negara
anggota telah menetapkan suatu regulasi yang dikenal dengan CEPT (Common
Effective Preferential Tariff). melalui skema CEPT-AFTA. Sebagai contoh dari
keanggotaan AFTA adalah sebagai berikut : Vietnam menjual sepatu ke Thailand,
Thailand menjual radio ke Indonesia, dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut
dengan menjual kulit ke Vietnam. Melalui spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan
mengkonsumsi lebih banyak dibanding yang dapat diproduksinya sendiri. Namun dalam
konsep perdagang tersebut tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun
hambatan non-tarif bagi negara – negara ASEAN melalui skema CEPT-AFTA.
Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan
penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh
negara-negara ASEAN. Maka dalam melakukan pedagangan sesama anggota biaya
operasional mampu ditekan sehingga akan menguntungkan.
Penurunan tarif tersebut dilaksanakan secara bertahap sehingga baru akan
mencapai kondisi perdagangan bebas untuk seluruh komoditas setelah lima belas
tahun. Untuk tahap pertama, mulai tanggal 1 january 1993, penurunan tarif tersebut
akan dilakukan untuk lima belas komoditas meliputi semua produk manufaktur,
termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak
termasuk dalam definisi produk pertanian. (Produk-produk pertanian sensitive dan
highly sensitive dikecualikan dari skema CEPT).
yang selanjutnya akan diperluas mencakup komoditas-komoditas lainnya.
Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk
menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun
2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia,
Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.
Konsep dan Sistem Pelaksanaan ASEAN Free Trade Area
Ide untuk menerapkan kawasan perdagangan bebas di ASEAN (ASEAN Free
Trade Area) sebenarnya sudah ada beberapa tahun yang lalu. Konsep ini pertama kali
diajukan oleh Thailand, tetapi pada saat itu kurang mendapat sambutan yang positif
sesama anggota ASEAN, terutama Indonesia dan Filipina yang kondisi ekonominya
masih lemah untuk penerapan perdagangan bebas. Akan tetapi, seiring berakhirnya
“Perang Dingin” pada tahun 1991, dan ketegangan politik di Asia Tenggara juga
berkurang. Oleh karena itu fokus perhatian dalam pertemuan ASEAN beralih kepada
masalah ekonomi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat Negara-negara anggota ASEAN. Kemudian, keinginan untuk
memperoleh kesepakatan tentang ASEAN Free Trade Area mulai kembali dilakukan.
Usul resmi PM Thailand yang menerangkan konsep ASEAN Free Trade Area
pada KTT ASEAN di singapura telah berhasi menyepakati bersama untuk melakukan
perdagangan bebas yang dilakukan secara bertahap dan baru beroperasi penuh dalam
waktu lima belas tahun.
Tujuan dan Sasaran ASEAN Free Trade Area
Tujuan utama dalam dari penerapan konsep ASEAN Free Trade Area adalah
untuk meningkatkan volume perdagangan diantara sesama Negara-negara anggota.
Keadaan ini dimungkinkan karena melalui daerah perdagangan bebas, bea masuk
(tariff) semua komoditas perdagangan dari seluruh Negara anggota diturunkan sampai
mendekati 0 %.
Di samping itu, hambatan–hambatan yang bukan disebabkan bea masuk, seperti
penerapan kuota impor terhadap komoditi tertentu juga harus dihilangkan. Peningkatan
volume perdagangan tersebut sangat penting artinya untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi masing-masing Negara anggota.
Perluasan kegiatan perdagangan berarti terdapat kemungkinan untuk
memperluas pasar bagi para pengusaha. Hal ini merupakan faktor pendorong untuk
melakukan perluasan kegiatan produksi, sehingga keuntungan skala besar dapat
dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi. Dengan demikian, perluasan kegiatan
perdagangan bukan hanya berperan besar untuk meningkatkan daya saing di pasar
internasional.
Meningkatnya persaingan tersebut akan mendorong pengusaha untuk
meningkatkan kualitas produknya agar tidak kalah dalam bersaing. Selanjutnya, kondisi
persaingan yang tajam ini memaksa pengusaha untuk meningkatkan pelayanan bagi
konsumen. Dengan demikian, penerapan ASEAN Free Trade Area akan mendorong
perekonomian Negara-negara anggota menjadi lebih efisien dan sehat, baik dari segi
produksi maupun perdagangan.
Meskipun demikian, penerapan kawasan perdagangan bebas seharusnya tidak
menimbulkan pergeseran perdagangan dari sau daerah ke daerah lainnya. Bila hal ini
terjadi, tujuan ASEAN Free Trade Area untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional masing-masing Negara anggota tidak akan tercapai.
Kritik yang biasa dilemparkan terhadap konsep perdagangan bebas adalah
bahwa bahwa negara-negara yang kondisi ekonominya belum berkembang tentu
dengan baik cenderung lebih dirugikan. Hal ini terjadi karena daya saing komoditas
yang dihasilkan yang dihasilkan oleh negara yang ekonominya belum berkembang
biasanya relatif lebih lemah.
Akibatnya, Negara tersebut akan cenderung kalah dalam persaingan bebas
dengan Negara yang lebih baik kondisi ekonominya. Bila hal ini terjadi, penerapan
daerah perdagangan bebas akan cenderung merugikan Negara yang relatif lemah
perekonomiannya dan mengutungkan Negara yang kuat.
Oleh karena itu, dalam penerapan ASEAN Free Trade Area, Indonesia yang
perekonomiannya masih lemah dan belum berkembang dengan baik, hendaknya
menolak adanya ASEAN Free Trade Area tersebut karena akan menyebabkan bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang konsumtif dan tidak mampu bersaing dengan produk-
produk dari Negara anggota lainnya.
Pengaruh ASEAN Free Trade Area bagi Perkembangan Ekonomi Indonesia
Dengan disepakatinya ASEAN Free Trade Area pada konferensi tingkat tinggi di
Singapura menyebabkan Negara-negara anggota memiliki kesepakatan untuk
melakukan perdagangan bebas sesama anggota ASEAN Free Trade Area. Dan hal ini
dilakukan secara bertahap. Di mulai dengan komoditas-komoditas tertentu hingga
seluruh komoditas selama lima belas tahun.
Indonesia dalam hal ini sebagai sebuah Negara yang memiliki sumber daya alam
yang melimpah sudah tentu mampu bersaing secara bebas dalam produk-produk
perdagangan dengan Negara-negara anggota lainnya. Namun pada kenyataannya
Indonesia belum mampu bersaing produk-produk perdagangan dengan Negara-negara
anggota lainnya.
Indonesia sebagai Negara yang ekonominya masih lemah dan juga tingkat
pembangunan industrialisasi yang relatif cenderung masih rendah cenderung hanya
sebagai bangsa yang menerima produk-produk dari Negara lain tanpa mampu bersaing
dengan Negara tersebut. Ha ini juga akan mengakibatkan industri-industri kecil yang
ada di Negara Indonesia mengalami kemunduran karena tidak memiliki modal yang
cukup untuk bersaing dengan industri-industri dari Negara-negara anggota.
Negara- Negara yang memiliki tingkat pembangunan industri yang berkembang
kurang baik menerapkan kebijakan proteksi untuk melindungi industri dalam negeri
terhadap barang-barang impor. Indonesia masih menjalankan kebijakan proteksi yang
cukup tinggi. Perbedaan kebijakan pengenaan bea cukai tersebut mencerminkan
perbedaan daya saing komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh masing-masing
Negara. Tingkat efisiensi produksi Negara- Negara yang lebih maju di ASEAN Free
Trade Area umumnya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Indonesia.
Sehingga Negara-negara tersebut mampu menerapkan bea masuk yang sangat
rendah yang memberikan dampak positif bagi perdagangannya. Dan bagi Negara
Indonesia yang belum berani menerapkan kebijakan tarif yang rendah hal ini tentu
dilakukan guna mempertahankan produksi dalam negeri untuk menyaingi produksi
impor dan juga untuk melindungi produksi dalam negeri dengan mengenakan biaya
masuk yang cukup tinggi maupun mengenakan kuota untuk barang-barang tertentu.
Dalam situasi kebijakan pengenaaan bea masuk yang masih sangat bervariasi
tersebut, penerapan konsep kawasan perdagangan bebas akan menimbulkan dampak
yang berbeda-beda. Negara- Negara yang tealah mampu menerapkan kebijakan bea
masuk yang cukup rendah, diperkirakan akan dapat menarik keuntungan besar dalam
bentuk peningkatan volume ekspornya ke Negara-negara anggota ASEAN Free Trade
Area lainnya.
Sebaliknya untuk Indonesia, Negara yang masih rendah peningkatan volume
ekspornya, tentu tidak banyak mendapat keuntungan dalam bentuk perdagangan
bebas, karena industr-industri di Indonesia belum mampu bersaing dengan industri-
industri Negara anggota lainnya. Dana hal ini memungkinkan terjadinya ketegangan di
antara sesama Negara anggota lainnya dan bahkan kalau tidak hati-hati, ketegangan
tersebtu dapat pula menjadi alasan untuk merusak kerjasama ASEAN secara
keseluruhan.
Di samping perkembangan regional, perkembangan internasionalpun menjadi
mempengaruhi para pengambil keputusan ASEAN untuk terus berusaha
mengembangkan kerjasama ekonomi yang lebih komprehensif. Perkembangan NAFTA
(North America Free Trade Agreement) dan EU (European Union) mendorong ASEAN
untuk mengembangkan organisasi regional sejenis
Tahun 1992 adalah saat ASEAN merasa bahwa kerjasama ekonomi ASEAN sudah
sedemikian mendesak untuk segera dikembangkan. Beberapa factor menjadi penyebab
mengapa ASEAN terdorong untuk segera membentuk kawasan perdagangan bebas
(ASEAN Free Trade Area) atau disingkat AFTA. Pertama, sejak berakhirnya konflik
kamboja Negara anggota ASEAN membutuhkan motivasi lain untuk mempertahankan
relevansi ASEAN sebagai organisasi regional. Berakhirnya tantangan politik dan militer
yang dihadapi ASEAN paksa perang dingin menjadi isu-isu ekonomi mencuat sebagai
pertimbangan utama, walaupun sesungguhnya pertentangan non ekonomi tidak mutlak
lenyap dari permukaan lanskap ASEAN. Akan tetapi decade 90-an memang merupakan
saat yang tepat dan cukup menantang bagi Negara-negara ASEAN untuk memainkan
kartu ekonomi sebagai ujung tombak yang paling relevan bagi penegakan kerjasama
regional. Kedua, singapura sebagai Negara yang mengandalkan perdagangan sebagai
sumber utama penghidupan, karena tidak memiliki sumberdaya yang cukup, sangat
optimis dan selalu mendorong terbentuknya kerjasama ekonomi yang lebih terbuka dan
liberal. Bagi singapura, kerjasama ini di pandang akan memberinya banyak
keuntungan. Ketiga, kinginan yang kuat untuk menarik sebanyak mungkin investor
asing merupakan alasan lain yang mendorong ASEAN segera melapangkan jalan bagi
pembentuknya AFTA. Keempat, timbulnya beberapa blok ekonomi regional di amerika
dan eropa juga mendorong ASEAN untuk tidak tertinggal dari kawasan lain.
Sekalipun demikian bukan berarti bahwa pelaksanaan AFTA bukan tampa msalah.
Tidak semua Negara siap membuka pintu bagi perdagangan bebas yang seluas-
luasnya. Pertimbangan politik dalam negeri masih sangat kuat melindungi kepentingan
industri dalam negeri. Pertama, Indonesia dan Malaysia sangat memperhatikan peran
pengusaha pribumi yang cenderung membutuhkan payung politik dari pemerintah. Oleh
karena itu, perdagangan bebas relatif akan merugikan para pengusaha pribumi ini. Di
samping itu, beras dan gula merupakan kebutuhan pokok bagi Indonesia, Malaysia,
philipina sehingga masing-masing pemerintah bersangkutan masih campur tangan
dalam urusan tarif bea masuk beras dan gula. Sementara Malaysia juga masih
mengatur tariff bea masuk bagi mobil impor untuk melindungi industri otomotifnya yang
menghasilkan mobil ”Proton” paling tidak hingga 2005.
Sekalian AFTA diharapkan baru akan benar-benar terwujud pada 2015, ASEAN
berusaha mengembangkan berbagai perjanjian ekonomi yang penting walaupun tidak
komprehensif. Pada 1995 ASEAN menandatangani ASEAN Frame Work Agreement on
Service (AFAS). Perjanjian ini diharapkan untuk meningkatkan efisiensi dan kompetensi
perusahaan penyedia jasa antarnegara ASEAN. Perjanjian ini telah ditindaklanjuti
dengan serangkaian perundingan di tahun 1996 dan 2001 yang mencakup sektor
transportasi udara, jasa bisnis, konstruksi, financial, tranportasi laut, telekomunikasi,
dan pariwisata. Sedangkan perundingan putaran ketiga (2002-2004) akan membahas
semua sektor penyedia jasa.
Tahun 1998 ASEAN melangkah lebih jauh dengan menandatangani framework
agreement on the ASEAN investment area(AIA). Melalui perjanjian ini diharapkan pada
tahun 2020 investasi antarnegara ASEAN akan terwujud, termasuk investasi dari
Negara non ASEAN. Sebelum target ideal ini tercapai, ASEAN sepakat untuk
memberlakukan perkecualian pada sektor tertentu seperti pertanian, kehutanan, dan
mineral.
SUMBER : http://www.google.com/
diakses 02 Desember 2012
BAGAIMANAKAH REZIM REGIONAL BERPERAN DALAM ASEAN Free Trade Area
Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) : “Basis produksi dan Pasar Tunggal”
ASEAN sebagai sebuah blok ekonomi telah merespons secara cepat tuntutan
baru tersebut. Menyadari bahwa AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang lama tidak lagi
dapat berakselerasi dengan cepat dengan kebutuhan integrasi ASEAN, maka ASEAN
telah berubah ke arah jenis baru blok perdagangan dan khususnya untuk merespons
sistem rantai pasokan global. Sejak itu ASEAN telah merubah seluruh rancangannya
menjadi blok ekonomi dalam arti yang sebenarnya. Hal tersebut dilakukannya dalam
peringatan 40 tahun ASEAN di tahun 2007, dimana seluruh kepala Negara ASEAN
menandatangani kesepakatan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/AEC) di Singapura sebagai satu dari tiga pilar Komunitas ASEAN dan
Piagam ASEAN.
AEC merupakan puncak dari visi untuk mentransformasi ASEAN menjadi “single
market and production base” (basis produksi dan pasar tunggal), yang menandakan
ambisi ASEAN untuk menjadi kekuatan ekonomi regional yang sangat kompetitif dan
secara penuh terintegrasi kepada komunitas global pada tahun 2015 nanti. Ambisi AEC
adalah mendirikan pasar tunggal dan basis produksi lewat arus bebas barang-barang,
jasa, investasi, modal dan pekerja trampil pada tahun 2015 yang menuntut adanya
integrasi di bawah satu payung atas berbagai kebijakan yang telah ada maupun
dimasukkannya aturan-aturan tambahan baru.
Guna mencapai hal tersebut, maka para menteri ekonomi ASEAN telah
bersetuju untuk memperluas AFTA menjadi sebuah instrumen legal yang lebih
komprehensif dengan menandatangani sebuah perjanjian baru yang bernama ASEAN
Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada bulan Februari 2009. ATIGA merupakan
sebuah komitmen yang sangat komprehensif atas perdagangan barang-barang serta
mekanismenya bagi pelaksanaannya maupun rancangan kelembagaannya. [3]
Perjanjian kunci lainnya dalam kerangka AEC adalah ASEAN Comprehensive
Investment Agreement (ACIA). Perjanjian ini ditandatangani oleh para menteri ekonomi
ASEAN pada tanggal 26 Februari 2009. ACIA adalah hasil dari pengkonsolidasian dari
dua aturan ivestasi yang pernah dibuat sebelumnya oleh ASEAN, yaitu ASEAN
Agreement for the Promotion and Protection of Investment tahun 1987 (dikenal juga
sebagai ASEAN investment Guarantee Agreement atau ASEAN IGA) dan Framework
Agreement on the ASEAN Investment Area tahun 1998 (dikenal juga sebagai perjanjian
AIA), serta dari protokol-protokol ASEAN lainnya yang terkait.
ACIA merupakan perjanjian investasi yang komprehensif yang mencakup lima
sektor, yaitu industri pengolahan (manufacturing), pertanian, perikanan, pertambangan
dan penggalian, serta sektor jasa-jasa yang terkait dengan sektor-sektor tersebut. [4]
Komponen penting lainnya dari AEC adalah AFAS (ASEAN Framework Agreement on
Trade in Services). ASEAN sampai saat ini telah menyelesaikan The 7 Package of
AFAS Commitment, yang ditandatangani oleh para menteri ekonomi ASEAN pada
Februari 2009. Ini adalah perjanjian sektor jasa yang paling liberal dan paling ambisius
yang pernah dilakukan oleh ASEAN sesuai dengan target yang ditetapkan dalam AEC
Blueprint.
Versi yang terakhir disebut dengan AFAS paket 7, karena berkenaan dengan 7
sektor jasa yang telah dikomitmenkan oleh seluruh Negara ASEAN hingga kini. [5]
Paket paling akhir, yaitu paket ke-8 ditandatangani pada oktober 2010 dan rencananya
akan diselesaikan pada tahun 2011.
Perjanjian Perdagangan bebas dengan Negara-negara Asia lainnya
Komponen terakhir dari reorganisasi ekonomi ASEAN adalah penyelenggaraan
kerangka FTA yang komprehensif dengan para mitra dagang utama ASEAN. ASEAN
kini telah menjalin kolaborasi dengan China, Jepang, Korea Selatan dalam kerangka
ASEAN+3; yang kemudian ditambah dengan bergabungnya Australia, Selandia Baru,
India dalam kerangka ASEAN+6. S
ampai saat ini (2011) telah diselesaikan semua FTA dengan negara-negara
tersebut, yaitu: ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, Kemitraan Ekonomi
Komprehensif ASEAN-Jepang, ASEAN-Australia/New Zealand FTA, dan ASEAN-India
FTA. Disamping itu masing-masing negara di ASEAN juga mulai melakukan pengikatan
bilateral FTA dengan negara-negara lain di luar mitra utama. ASEAN saat ini sedang
melakukan negosiasi pembentukan FTA dengan pemain utama global seperti AS, Uni-
Eropa dan European Free Trade Area (EFTA), yaitu Negara-negara Eropa di luar Uni-
Eropa.
Cetak Biru ASEAN: Melayani Rantai pasokan Global
Sebuah alat yang paling penting bagi integrasi ASEAN adalah Cetakbiru ASEAN
(ASEAN Blueprint), yang menetapkan jalur aksi untuk mencapai tujuan-tujuan diatas. Ini
merupakan cerminan dari sikap baru ASEAN untuk sepenuhnya bergabung kedalam
jaringan produksi global dari rantai pasokan.
Hal ini dapat dilihat dari jalur waktu yang terinci dan terdisiplin di bawah Cetak
biru tersebut yang merujuk integrasi ASEAN kepada sistem rantai pasokan global.
Cetak biru ASEAN menyatakan sebagai berikut:
“A single market for goods (and services) will also facilitate the development of production networks in the
region and enhance ASEAN’s capacity to serve as a global production centre or as a part of the global
supply chain”
(sebuah pasar tunggal bagi barang-barang (dan jasa-jasa) yang juga akan memfasilitasi pengembangan
jaringan produksi di dalam kawasan serta meningkatkan kapasitas ASEAN untuk melayani, baik sebagai
pusat produksi global maupun sebagai bagian dari rantai pasokan global).
Hal ini juga dicantumkan dalam integrasi kepabeanan ASEAN yaitu “with the
view to facilitate integration of production and supply chains” (dengan arah untuk
memfasilitasi terintegrasinya produksi dan rantai pasokan). Dalam hal kaitannya
dengan integrasi kepada ekonomi global, Cetak-biru ASEAN menyatakan bahwa “In
order to enable ASEAN businesses to compete internationally, to make ASEAN a more
dynamic and stronger segment of the global supply chain and to ensure that the internal
market remains attractive for foreign investment” (Agar supaya kelompok bisnis ASEAN
dapat berkompetisi secara internasional, dapat menempatkan ASEAN sebagai segmen
yang kuat dan lebih dinamis dari rantai pasokan global, serta menjamin agar pasar
internal ASEAN dapat tetap atraktif bagi investasi asing); serta bahwa “ASEAN shall
also enhance participation in global supply networks” (ASEAN perlu meningkatkan
partisipasinya di dalam jaringan pasokan global). [6] Dengan demikian integrasi ASEAN
ke dalam rantai pasokan global adalah sebuah kemestian dan bahwa rezim baru AEC
telah mendorong ke arah hal tersebut.
Selain itu, Cetak-biru ASEAN telah menempatkan 11 sektor prioritas bagi integrasi
tersebut. Sektor-sektor tersebut adalah: barang-barang berbasis pertanian, kesehatan,
transportasi udara, produk-produk otomotif, e-ASEAN (termasuk peralatan TIK),
barang-barang elektronik, perikanan, produk-produk berbasis karet, tekstil dan pakaian,
pariwisata, dan produk-produk berbasis kayu. Lalu pada November 2004, kerangka
bagi integrasi sektor-sektor prioritas (disebut framework Agreement) beserta protokol-
protokol pengintegrasian lainnya ditandatangani. Selanjutnya pada tahun 2006,
ditambahkan satu sektor prioritas sehingga menjadi 12 sektor terintegrasi prioritas
(Priority Integration Sectors/PIS) yaitu Logistik. Dengan demikian kini terdapat 5 sektor
prioritas dalam sektor jasa, yaitu transportasi udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata
dan logistik. [7] Penambahan logistik sebagai sektor prioritas baru adalah karena
semakin pentingnya peran logistik dalam pengertian baru sistem rantai pasokan di
ASEAN.
4. Proyek infrastruktur ASEAN
Perlu dimengerti bahwa di kebanyakan negara ASEAN terdapat infrastruktur yang
buruk dan terbelakang yang sulit untuk bisa terintegrasi dengan baik ke dalam RPG.
Situasi semacam ini dijumpai hampir di semua negara Asia, kecuali Jepang, Australia
dan Singapura. Bila dibandingkan dengan infrastruktur rantai pasokan di AS dan Eropa,
maka sangat jauh tertinggal. Berdasarkan penilaian dari Accenture (sebuah lembaga
konsultan swasta), maka rantai pasokan dari korporasi multinasional di Asia dan juga
perusahaan-perusahaan nasional dan swasta lokal, cenderung terpecah-pecah dan
tidak kompetitif dibandingkan rekan-rekannya sekorporat di AS dan Eropa. Secara
estimasi saja, mereka tiga sampai lima tahun dibelakang Barat. Di dalam Asia sendiri,
terdapat kesenjangan yang membesar antara Negara-negara maju seperti Singapura,
Hongkong, Jepang dan Korea Selatan; dengan Negara-negara berkembang seperti
China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Taiwan; serta dengan ekonomi-
ekonomi yang baru bertumbuh seperti Kamboja, India dan Vietnam. Disparitas
semacam ini menyebabkan pergerakan barang-barang di dalam dan lintas perbatasan
menjadi sangat sulit. Oleh karenanya untuk menanggulangi hal ini, maka ASEAN harus
membereskan empat bidang utama keragaman ini, yaitu: (a) infrastruktur; (b)
Kapabilitas; (c) e-Niaga (e-commerce) dan (d) Organisasi. Secara umum, kendala
kapabilitas merupakan akibat dari kelangkaan orang-orang yang trampil, kelangkaan
dan ketidakmampuan teknologi, dan/atau ketidak-efisienan akses ke penyedia jasa
logistik pihak ketiga (third-party logistics provider). ASEAN juga memperlihatkan
ketidak-konsistenan kualitas dan ketersediaan infrastruktur transportasi yang
menyebabkan terhambatnya arus barang-barang di dalam kawasannya, dan
menambah biaya yang signifikan bagi operasi logistiknya. [8]
5. Pengkoneksian Wilayah untuk melayani Rantai Pasokan
Menyadari kelemahan-kelemahan ini, ASEAN lalu bertindak untuk mengatasinya
dengan mengadopsi apa yang disebut sebagai “Master Plan on ASEAN Connectivity”
(Rencana Induk Konektivitas ASEAN) yang ditetapkan di Hanoi, Vietnam pada bulan
Oktober 2010. Dinyatakan bahwa Rencana Induk tersebut mempunyai rencana aksi
(plan of action) bagi pelaksanaan secepatnya pengkoneksian ASEAN di tahun 2011-
2015 melalui peningkatan pembangunan infrastruktur fisik (konektivitas fisik);
kelembagaan yang efektif serta mekanisme dan prosesnya (konektivitas kelembagaan);
serta pemberdayaan rakyat (konektivitas rakyat-ke-rakyat). Melalui peningkatan
konektivitas ASEAN ini, maka jaringan produksi dan distribusi di kawasan ASEAN akan
semakin diperdalam, diperlebar dan semakin menyebar ke perekonomian Asia Timur
dan global.
Untuk konektivitas fisik, termasuk di dalamnya pembangunan jalan dan jaringan jalan,
jaringan kereta api, infrastruktur pelabuhan dan maritim termasuk pelabuhan kering,
jalan air ke dalam (inland waterways) dan fasilitas penerbangan, infrastruktur digital,
serta sektor kelistrikan. Hal ini memerlukan perbaikan atas infrastruktur yang sudah
ada, pembangunan infrastruktur baru dan fasilitas logistik, harmonisasi kerangka
regulasi, serta penumbuhan budaya inovasi. Dalam hal konektivitas kelembagaan, ini
termasuk halangan lintas perbatasan atas pergerakan kendaraan, barang-barang, jasa-
jasa, serta tenaga trampil. Untuk mencapai ini, maka ASEAN harus terus melanjutkan
upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan non-tarif guna memfasilitasi perdagangan
dan investasi di dalam ASEAN sendiri, harmonisasi standard dan penyesuaian
prosedur-prosedur penilaian, serta mengoperasionalkan kesepakatan fasilitasi
transportasi kunci, termasuk di dalamnya ASEAN Framework Agreement on the
Facilitation of Goods in Transit (AFAFGIT), ASEAN Framework Agreement on the
Facilitation of Inter-State Transport (AFAFIST), dan ASEAN Framework Agreement on
Multimodal Transport (AFAMT), guna mengurangi biaya perpindahan barang lintas
perbatasan.
Tambahan lagi, para anggota Negara ASEAN perlu sepenuhnya melaksanakan
Jendela Tunggal Nasional (National Single Windows) masing-masing negara ke arah
realisasi Jendela Tunggal ASEAN (ASEAN Single Window/ASW) di tahun 2015 untuk
menciptakan kelancaran arus barang-barang, baik diantara maupun didalam
perbatasan nasional. [9] Sebuah Pasar Penerbanganan Tunggal ASEAN (ASEAN
Single Aviation Market) dan sebuah Pasar Pelayaran Tunggal ASEAN (ASEAN Single
Shipping Market) juga akan ditargetkan guna menyumbang bagi arah perwujudan
sebuah Basis Produksi dan Pasar Tunggal. Intinya, ASEAN haruslah terus membuka
investasi secara progresif baik dari dalam ASEAN maupun dari luar kawasan ASEAN.
[10]
6. Pendekatan “Rebalancing Growth” dari OECD
Dalam kenyataannya program baru pembangunan infrastruktur transport dan logistik
ASEAN ini sangat didukung oleh OECD dalam laporan baru mereka berjudul “Tinjauan
Ekonomi Asia Tenggara” (Southeast Asia Economic Outlook) yang muncul pertama
kalinya di tahun 2010. OECD menyebutnya sebagai pendekatan “Menyeimbangkan
kembali Pertumbuhan” (Rebalancing Growth), sebuah pendekatan baru bagi ASEAN
untuk melaksanakan pembaruan kebijakan domestic (domestic policy reforms) yang
dibutuhkan untuk meraih manfaat sepenuhnya dalam menciptakan pasar regional
tunggal lewat realokasi sumber-sumber publik guna mendukung wilayah-wilayah
pertumbuhan baru.
OECD menyatakan bahwa ASEAN memerlukan metode pembiayaan baru yang dapat
dilakukan melalui pemromosian investasi infrastruktur swasta di Asia Tenggara.
Negara-negara Asia Tenggara perlu membiayai investasi infrastruktur dalam jumlah
yang besar, seperti jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan-pelabuhan, dan sistem
transportasi udara. Metode pembiayaan baru yang telah mengalami keberhasilan di
Negara-negara OECD, diantaranya adalah obligasi pendapatan infrastruktur
(infrastructure revenue bonds), yang dapat diterapkan bagi sektor transportasi di
negara-negara Asia Tenggara. Metode pembiayaan ini cocok untuk mendukung
pembangunan dan perawatan infrastruktur transport dalam bentuk Kemitraan Publik-
Swasta (Public-Private Partnerships/PPP), dimana pembangunan dan pengoperasian
jasa transport dapat menghasilkan pemasukan dari operasi sehari-harinya. Meskipun
demikian, infrastruktur lunak seperti kebijakan, regulasi dan prosedur, serta inisiatif dan
perjanjian multilateral perlu melengkapi pendekatan PPP ini. [11]
7. Pembangunan Koridor Ekonomi
Upaya besar lainnya yang telah dilakukan ASEAN adalah mencoba merealisasikan
konektivitas diantara negara-negara, dengan mengembangkan logistik, infrastruktur
fisik dan integrasinya ke dalam pembangunan ekonomi. Upaya ini dinamakan konsep
Pembangunan Koridor (Corridor Development) yang terdiri dari empat tahap
pengembangan:
1. Koridor Transport, yaitu yang secara fisik menghubungkan suatu daerah atau
suatu wilayah tertentu;
2. Koridor Multimodal, yaitu yang mempunyai lebih dari satu moda transportasi yang
dapat secara fisik menghubungkan koridor, misalnya jalan dan jalur kereta api;
3. Koridor Logistik, yaitu yang tidak hanya secara fisik menghubungkan suatu
daerah atau suatu wilayah, tetapi juga mengharmonisasikan kerangka kelembagaan
dari koridor tersebut guna memfasilitasi arus angkutan dan penyimpanannya secara
efisien, serta pergerakan orang dan informasi yang terkait;
4. Koridor ekonomi, yaitu yang dapat menarik investasi dan menghasilkan kegiatan
perekonomian di sepanjang daerah-daerah yang kurang berkembang di dalam koridor;
memerlukan keterhubungan fisik dan juga kerangka kelembagaan. [12]
Koridor ekonomi kini merupakan konsep utama yang menempatkan kesemuanya di
dalam satu atap, karena konsep ini mendukung pula pembangunan ekonomi regional
lewat mekanisme formal semacam FTA, kesatuan pabean (customs union) atau
kerangka pasar bersama (common market). Juga melalui mekanisme informal
semacam segitiga pertumbuhan (growth triangles) dan zona ekonomi khusus (special
economic zones). Koridor-koridor ekonomi telah dikembangkan di bawah Program
Kerjasama Ekonomi Sub-Wilayah Mekong Besar (Greater Mekong Sub-region
Economic Cooperation Program/GMS-ECP), dimana jalan-jalan utama telah
menghubungkan negara-negara ASEAN dengan China, serta menghubungkan ASEAN-
China dengan Asia bagian Selatan (Southern Asia). Sampai saat ini telah ada tiga
koridor ekonomi yang terdiri dari: (1) Koridor Ekonomi Timur-Barat (East-West
Economic Corridor/EWEC); (2) Koridor Ekonomi Utara-Selatan (North-South Economic
Corridor/NSEC); dan (3) Koridor Ekonomi bagian Selatan(Southern Economic
Corridor/SEC), yang kemudian ditambah lagi dengan dua sub-koridor, yaitu: (a) Sub-
Koridor Pantai bagian Selatan (Southern Coastal sub-corridor); dan (b) Sub-Koridor
Bagian Utara (Northern sub-corridor). Pengembangan koridor-koridor ekonomi ini lebih
lanjut akan menghubungkan China dengan Asia bagian Selatan, dan Negara-negara
ASEAN dengan Asia bagian Selatan di masa depan. [13] Sehubungan dengan ini,
China belum lama ini telah meluncurkan dana investasi infrastruktur sebesar US$ 10
milyar guna memperbaiki jalan, jalur kereta api, penerbangan dan hubungan
telekomunikasi informasi antara China dengan ASEAN. China juga menyediakan US$
15 milyar fasilitas kredit untuk mempromosikan integrasi regional dan konektivitas
regional. Dengan adanya strategi investasi global China, maka ini merupakan semacam
lepas landas bagi investasi lebih banyak lagi disepanjang rantai nilai di ASEAN. [14]
Semakin Intensifnya pengembangan model rantai pasokan di ASEAN telah semakin
memperdalam dan memperluas skala ekspansi ke arah daerah-daerah terpencil di
setiap negara ASEAN. Koridor ekonomi telah menciptakan upaya yang sangat luas
untuk membuka daerah-daerah baru di provinsi-provinsi yang jauh. Jasa transportasi
dan logistik semakin diperluas seiring dengan datangnya lebih banyak investasi dari
luar, terutama investasi di sumber-sumber alam dan komoditas pertanian yang
melimpah yang ada di hampir setiap negara-negara ASEAN. Bersamaan dengan itu
adalah kecenderungan ke arah perampasan tanah, karena investasi membutuhkan
sejumlah lahan yang luas yang dengan sendirinya akan mengancam tanah-tanah milik
masyarakat asli. Ekspansi koridor ekonomi akan menyebabkan dampak yang luas
kepada rakyat di pedesaan dan wilayah terpencil.
SUMBER : http://aseansupplychain.blogspot.com/2011/11/rezim-asean-baru-
dalam-rantai-pasokan.html diakses 02 Desember 2012