ASCUS dan cervix

20
I. PENDAHULUAN Karsinogenesis merupakan proses perubahan menjadi kanker, proses ini melalui tahapan yang disebut sebagai multistep carsinogenesis. Proses karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker atau malignant cell. 1 Kanker serviks uteri masih merupakan kanker pada wanita nomor 2 tersering diseluruh dunia, dimana didapatkan angka 15% dari semua kanker pada wanita. Ini merupakan kanker yang paling banyak pada wanita di negara berkembang, vaitu 20- 30% dari semua kanker wanita. Di negara maju frekuensinya berkisar hanya 4-6%. Perbedaan yang besar ini mencerminkan pengaruh dari skrining masal secara luas yang menggunakan metode sitologi serviks. 2 Umur penderita antara 30-60 tahun dan terbanyak pada umur 45-50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif sekitar 10 tahun, hanya 9% dari perempuan berumur kurang dari 35 tahun yang menunjukkan keganasan serviks uteri yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari karsinoma in situ terdapat pada wanita dibawah umur 35 tahun. 3 Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari proses karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga tumbuh menjadi invasif. Diagnosis kanker serviks uteri tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah kanker serviks. Ini dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini lesi prakanker serviks, disertai dengan kemampuan untuk menatalaksanainya yang tepat, akan dapat menurunkan angka kejadian kanker serviks. Dalam upaya menurunkan angka kejadian kanker serviks, perlu disadari akan pentingnya pencegahan dan deteksi dini. Pemeriksaan Tes Pap merupakan salah satu sarana untuk deteksi dini kanker serviks. 4

description

llllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaallllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaascusascusascusascusascusascusascusascusascusascusascuas

Transcript of ASCUS dan cervix

Page 1: ASCUS dan cervix

I. PENDAHULUAN

Karsinogenesis merupakan proses perubahan menjadi kanker, proses ini melalui

tahapan yang disebut sebagai multistep carsinogenesis. Proses karsinogenesis secara

bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut

dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker atau malignant cell.1

Kanker serviks uteri masih merupakan kanker pada wanita nomor 2 tersering

diseluruh dunia, dimana didapatkan angka 15% dari semua kanker pada wanita. Ini

merupakan kanker yang paling banyak pada wanita di negara berkembang, vaitu 20-

30% dari semua kanker wanita. Di negara maju frekuensinya berkisar hanya 4-6%.

Perbedaan yang besar ini mencerminkan pengaruh dari skrining masal secara luas

yang menggunakan metode sitologi serviks.2

Umur penderita antara 30-60 tahun dan terbanyak pada umur 45-50 tahun.

Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif sekitar 10 tahun, hanya 9%

dari perempuan berumur kurang dari 35 tahun yang menunjukkan keganasan serviks

uteri yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari karsinoma in situ

terdapat pada wanita dibawah umur 35 tahun.3

Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan salah satu

model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari proses

karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga tumbuh

menjadi invasif.

Diagnosis kanker serviks uteri tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah kanker

serviks. Ini dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi

prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini lesi prakanker serviks, disertai

dengan kemampuan untuk menatalaksanainya yang tepat, akan dapat menurunkan

angka kejadian kanker serviks.

Dalam upaya menurunkan angka kejadian kanker serviks, perlu disadari akan

pentingnya pencegahan dan deteksi dini. Pemeriksaan Tes Pap merupakan salah satu

sarana untuk deteksi dini kanker serviks.4

Page 2: ASCUS dan cervix

2

II. PERUBAHAN NEOPLASMA EPITEL SERVIKS

Proses terjadinya kanker serviks uteri sangat erat hubungannya dengan proses metaplasia

Masuknya bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara genetik atau mutagen

pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi ganas.

Perubahan biasanya terjadi pada daerah SSK atau daerah transformasi. Mutagen tersebut

berasal dari agen-agen yang ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa

Human Papilloma Virus (HPV) memegang peranan penting.5-7

Sel-sel yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia. Dimulai

dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, karsinoma in situ dan kemudian

berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in situ dikenal

juga sebagai tingkat prakanker.5-7

Derajat kelainan epitel didasarkan pada kelainan polaritas dan atipia yang ditemukan

pada sel-sel epitel. Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks

(NIS) untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in situ. NIS terdiri dari :5-8

1. NIS 1 disebut displasia ringan, bila polaritas sel sudah tidak baik sampai kira-kira 1/3

tebal epitel dan atipia sel masih ringan.

2. NIS 2 atau displasia sedang, bila perubahan mencakup ½-¾ tebal dan atipia derajat

sedang.

3. NIS 3 atau displasia berat dan karsinoma insitu, bila perubahan tersebut ¾ atau

seluruh tebal dan polaritas tidak teratur, atipia sel berat serta ditemukan mitosis sel.

Untuk berlanjut menjadi karsinoma in situ umumnya diperlukan waktu 5 tahun dari

displasia ringan, 3 tahun dari displasia sedang dan 1 tahun dari displasia berat. Namun

tidak semua displasia akan menjadi karsinoma. Displasia dapat mengalami regresi,

menetap bertahun-tahun atau memburuk tergantung pada daya tahan penderita.6-8

Pada penelitian Dexeus, dkk. mendapatkan bahwa 15% displasia ringan akan

berkembang menjadi displasia sedang, 30% displasia sedang akan berkembang

menjadi displasia berat dan 40% mengalami regresi menjadi displasia ringan. Empat

puluh lima persen displasia berat akan berkembang menjadi karsinoma insitu.6-8

Page 3: ASCUS dan cervix

3

III. FAKTOR ETIOLOGI

Seiring dengan berkembangnya penelitian biomolekuler HPV, tampak makin jelas

bahwa HPV anogenital memegang peranan penting dalam patogenesis kanker serviks.

Pada 90-95% kanker serviks telah dibuktikan HPV risiko tinggi. Pada suatu penelitian

oleh Lungu, dkk. vang menggunakan polymerase chain reaction (PCR), didapati

bahwa 88% LIS derajat tinggi ditemukan partikel HPV tipe 16,18, dan 31, sedangkan

hanya pada 7% yang ditemukan berbagai tipe HPV. Willet, dkk. dan Franquement,

dkk. dengan teknik hibridasi in situ menemukan lebih dari 70% HPV tipe 16 dalam

LIS derajat tinggi.8,9

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe 6 dan 11 ditemukan pada 35%

kondiloma akuminata dan CIN I, 10% pada CIN II dan III dan hanya 1% pada

karsinoma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10% kondiloma akuminata

dan CIN I, 51% pada CIN II dan III dan 63% pada karsinoma invasif. Kemudian

disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan kanker

serviks, yaitu:8,10

1. HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang ditemukan pada karsinoma

invasif.

2. HPV risiko sedang, yaitu HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, 58.

3. HPV risiko tinggi yaitu HPV tipe 16, 18, 31.

Dengan demikian infeksi HPV ini merupakan faktor inisiasi untuk terjadinya

proliferasi dan perubahan morfologi. Keadaan ini disebut fase laten dan memerlukan

faktor promotor seperti nikotin, virus lain, atau mutasi acak agar dapat

bermanifestasi.8-10

IV. RAGAM TERMINOLOGI PELAPORAN SITOLOGI

Terminologi yang semula banyak digunakan dalam pelaporan mengacu pada klasifikasi

Papanicolaou (Papaniculaou & Traut 1943) yang dinyatakan dalam kelas I - kelas V

yaitu:11

Kelas I : Tidak ditemukan sel atipik atau sel abnormal

Kelas II : Sitologi atipik tetapi tidak ditemukan keganasan

Page 4: ASCUS dan cervix

4

Kelas III : Sitologi sugestif tetapi tidak konklusif keganasan

Kelas IV : Sitologi sangat sugestif keganasan

Kelas V : Sitologi konklusif keganasan

Klasifikasi ini banyak ditinggalkan karena:4

1. Tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina

2. Tidak memiliki padanan dengan terminologi histopatologi

3. Tidak mencantumkan diagnosis non kanker

4. Interpretasinya tidak seragam

5. Tidak menunjukkan pernyataan diagnosis

Pada tahun 1953, Reagen mengajukan terminologi displasia-karsinoma insitu dan

karsinoma invasif. Terminologi ini terdiri atas negatif, displasia ringan, displasia keras,

karsinoma insitu dan karsinoma invasif. Penerimaan ahli patologi terhadap terminologi

ini cukup baik sehingga dipakai secara luas. Kelemahan terminologi ini yakni adanya

ketidaksinambungan pengertian akibat adanya perbedaan antara displasia keras dan

karsinoma in situ. Untuk memperbaiki kekurangan tersebut pada tahun 1967, Richart

mengajukan terminologi neoplasia intra-epitelial serviks (NIS) dengan kategori normal,

atypia, NIS 1 sesuai dengan displasia ringan, NIS 2 sesuai dengan displasia sedang dan

NIS 3 sesuai dengan displasia berat dan karsinoma insitu. Keluhan yang muncul terhadap

klasifikasi ini adalah pada NIS 1 yang menyatakan potensi keganasan tetapi meliputi

kelompok besar displasia ringan yang sebagian besar hanya akibat peradangan.4,11

Pada tahun 1988 dan 1991 pertemuan para ahli sitopatologi melahirkan sistem

Bethesda sebagai sistem pelaporan sitopatologi baru yang bertujuan:4

1. Menghilangkan kelas-kelas Papaniculaou

2. Menciptakan terminologi seragam memakai istilah diagnostik

3. Memasukkan pernyataan adekuasi

4. Membuat sitologi sebagai konsultasi medik antar ahli sitologi dan klinikus.

Selain ini sistem Bethesda juga mengandung unsur:4

1. Komunikasi yang efektif antara ahli sitopatologi dan dokter yang merujuk

2. Mempermudah korelasi sitologi-histopatologi

3. Mempermudah penelitian epidemiologi, biologi dan patologi

4. Data yang dapat dipercaya untuk analisis statistik nasional dan internasional.

Page 5: ASCUS dan cervix

5

Kelebihan cara pelaporan The Bethesda System (TBS) adalah penyederhanaan

terminologi dengan memakai terminologi diagnostik yang jelas untuk kategori umum: 4

1. Dalam batas normal

2. Perubahan seluler jinak

3. Abnormalitas sel epitel

Tabel 1. Perbandingan sistem klasifikasi sitologi

Dikutip dari Hatch KD dan Berek JS12

Adapun perbedaan Klasifikasi Bethesda tahun 1991 dengan tahun 2001 tentang

ASCUS adalah sebagai berikut:13

1. Bethesda tahun 1991 :

a. ASCUS-FR : Favoring a reactive process

b. ASCUS-FN : Favoring a dysplastic/neoplasticprocess

c. ASCUS-NOS : Not other specified

2. Bethesda tahun 2001 :

a. ASC-US : undetermined significance

b. ASC-H : suggestive or HIS

Page 6: ASCUS dan cervix

6

V. GAMBARAN SITOLOGI ASCUS

Keadaan prakanker serviks mengalami banyak perubahan dalam terminologinya.

Pertemuan Bethesda menyuguhkan istilah ASCUS dan Lesi Intraepitel Skuamosa (LIS)

untuk pengertian neoplasia serviks. ASCUS (Atypical squamous cells of undetermined

significance) yaitu istilah yang meliputi kelainan seluler melebihi kelainan yang

disebabkan perubahan reaktif/inflamasi akan tetapi tidak termasuk dalam batasan lesi

intra epitel. ASCUS dibedakan menjadi dua yaitu ASC-US dan ASC-H. Kriteria ASCUS

termasuk pembesaran inti (2,5 - 3 kali dari inti sel intermediate = 35 µm2), ratio inti:

sitoplasma sedikit meningkat, variasi bentuk dan besar, dinding inti rata dan reguler,

kromatin halus sedikit hiperkromatik dan irreguleritas dalam distribusi kromatin, inti

ganda dan anak inti ditemukan, termasuk di sini metaplasia atipik, atipia atrofi dan

pembesaran sel yang tidak disebabkan oleh peradangan.4 Abnormalitas inti berhubungan

dengan kepadatan sitoplasma orangeophilic (“atypical parakeratosis”). Penampakan

ASC-US pada smears dan sitologi liquid based serupa, dalam smears, sel mungkin

nampak lebih besar dan datar.14 ASCUS menunjukkan peningkatan rasio N/C

dibandingkan dengan sel squamous normal dan penurunan rasio N/C dibandingkan sel

displasia atau karsinoma.15,16

Gambar 1. Sel squamous superfisial dan intermediate15

Page 7: ASCUS dan cervix

7

Gambar 2. ASCUS15

Gambar 3. ASC-US. Sel-sel dengan multinukleasi, pembesaran inti dan air drying artifact, kemungkinan menunjukkan LSIL14

Page 8: ASCUS dan cervix

8

Gambar 4. ASC-US. Sel-sel plaque dengan sitoplasma orangeophilic yang padat dan sedikit irreguler, nuklei hiperkromatik.14

Gambar 5. ASC-US (liquid based preparation). Skrining rutin pada seorang wanita usia 32 tahun. Sel multinukleated tunggal dengan halo pada sitoplasma dengan latar belakang inflamasi.14

Page 9: ASCUS dan cervix

9

Gambar 6. ASC-US (liquid based preparation). Seorang wanita usia 21 tahun. Sel-sel dengan lapisan kohesif tipis dengan pembesaran inti fokal, sitoplasma orangeophilic dan binukleasi. Setelah dilakukan follow up didapatkan menjadi CIN 1.14

Gambar 7. ASCUS. Wanita premenopause. Sel-sel dengan sitoplasma sentral jernih.14

Page 10: ASCUS dan cervix

10

Gambar 8. Sel parabasal (pap smear postmenopause)16

a. Sel parabasal pada atropik semar menggambarkan

sitoplasma hiperesosinofilik dan intipiknotik

b. Dark blue blobsterlihat pada atropik smear

Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium sitologi untuk

membedakan ASCUS cenderung ke arah peradangan (ASCUS favoring inflammation)

dan ASCUS cenderung ke arah neoplasia (ASCUS favoring neoplasia). Hal ini penting

karena penatalaksanaannya sedikit berbeda, bila cenderung ke arah peradangan mungkin

dapat dilakukan follow up saja tetapi bila cenderung ke arah neoplasia disarankan untuk

langsung dilakukan kolposkopi.4

Diagnosis sitologi ASCUS sangat subjektif, sangat banyak penelitian dan artikel

yang menghubungkan variabel secara histologi laboratorium untuk mendiagnosis

mulai dari normal atau radang serviks sampai LGSIL, HGSIL atau karsinoma.

Tidak mengherankan bahwa diagnosis ASCUS membuat klinisi merasa frustasi

Page 11: ASCUS dan cervix

11

untuk memutuskan pasien harus difollow up dengan pap smear setiap 3 bulan atau

dilakukan kolposkopi dan biopsi.17

Walaupun secara sitologi pembesaran inti merupakan gambaran ASCUS, tapi

bisa juga oleh akibat lain. Banyak wanita perimenopause (usia 40 tahun sampai

menopause) menunjukkan pembesaran inti yang kemungkinan karena perubahan

fisiologis. Kebanyakan pembesaran inti dan peningkatan rasio N/C yang terjadi

pada postmenopause dengan atropi, menyerupai SIL. Usia pasien dan riwayat

sebaiknya dipertimbangkan dan spesimen sebelumnya sebaiknya direview dgn

mikroskopik jika dianggap relevan untuk menginterpretasikan suatu spesimen yang baru.

Pembesaran inti dan adanya halo perinukleus pada sel squamous mungkin juga

akibat infeksi yang menyertai seperti akibat kandida atau trikomonas. Pembesaran

inti juga ditemukan pada sel squamous yang menggunakan pemeriksaan pap secara

air-dried dan mirip dengan SIL. Sehingga memerlukan pengulangan pap smear

untuk menyingkirkan underlying SIL. ASCUS pada keadaan tertentu, menuntut

ahli sitologi harus benar-benar membuat keputusan yang tepat tentang perubahan

sel ini, demgan mempertimbangkan dari pembesaran inti. Rasio N/C dan

latarbelakang smear.17

Kualifikasi ASCUS merupakan refleksi dari gambaran sel dan latarbelakang

dari Pap smear yang menunjukkan latar belakang peradangan juga mungkin

menunjukkan sel squamous dengan pembesaran inti dan kadang terjadi

kromosenter yang kecil. Gambaran ini juga mungkin didiagnosis dengan ASCUS,

favor reactive. Pap smear lain menunjukkan sel squamous terdapat inti yang

membesar, perinuklear yang jelas, dan adanya kondensasi inti perifer. Sel

parakeratotik Atipik, juga diduga sebagai LSIL. Satu atau dua dari gambaran ini

dari hasil sebuah pap smear mungkin ada dan didiagnosis sebagai ASCUS, favor

LSIL. Pap smear ASCUS yang diduga sebagai underlying HSIL, termasuk

gambaran atypical squamous metaplasia dan atypical immature squamous

metaplasia.17

Page 12: ASCUS dan cervix

12

Kriteria untuk Atypical Squamous Cells, Cannot Exclude HSIL (ASC-H) adalah

biasanya sel nampak tunggal atau dalam fragmen yang kecil kurang dari 10 sel, kadang-

kadang dalam smear yang konvensional, sel mungkin berupa “aliran” dalam mukus.

Ukuran sel yang metaplastik dengan nuklei kira-kira 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar dari

normal. Rasio dari sitoplasmik nuklear (N/C) mungkin diperkirakan HSIL. Dalam

pertimbangan interpretasi yang mungkin untuk ASC-H atau HSIL, abnormalitas inti

seperti hiperkromosom, ireguler kromatin, dan bentuk inti yang abnormal lebih

menyokong interpretasi HSIL. Pada preparat liquid based preparations ASC-H mungkin

tampak lebih kecil, dengan ukuran nuklei yang hanya 2 atau 3 kali dari nuklei netrofil.

Range dalam penampakan ukuran dan inti dari sel squamous metaplastik normal pada

slide merupakan standar dalam penilaian apakah sel tersebut terbukti benar merupakan

interpretasi dari ASC-H.14

Gambar 9. ASC-H. Sel-sel dengan sitoplasma metaplasia, menunjukkan variasi dalam ukuran, bentuk, dan ratio inti-sitoplasma. 14

Page 13: ASCUS dan cervix

13

Gambar 10. ASC-H (liquid based preparation). Berkumpul menjadi satu di tengah-tengah, sel-sel tumpang tindih mengandung nuklei. 14

Gambar 11. ASC-H. Wanita premenopause. Ratio inti-sitoplasma tinggi, kontour inti yang lembut, dan kromatin yang halus.14

Page 14: ASCUS dan cervix

14

Gambar 12. ASC-H. Smear dari wanita postmenopause mengandung sel-sel ovoid dengan nuklei yang irreguler.14

VI. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN ASCUS

Penanganan hasil tes Pap ASCUS masih kontroversial. Perlu diketahui bahwa dari suatu

penelitian meta analisis diketahui bahwa sekitar 70% ASCUS dapat regresi ke normal

dan 7-8% menjadi progresif ke LIS derajat berat sedangkan yang menjadi kanker invasif

hanya 0,25%. Di beberapa negara maju dianjurkan untuk dilakukan deteksi dengan

pemeriksaan DNA HPV (Hybrid Capture II).4

Strategi penanganan diagnosis ASCUS malah lebih subjektif dan kontroversif.

Pada pasien dengan suspek displasia sel skuamous, langkah berikutnya setelah pap

smear adalah kolposkopi dan biopsi. Keputusan untuk menetapkan seorang wanita

dilakukan kolposkopi didasarkan pada dua pertimbangan yaitu abnormalitas pap

smear dan ada atau tidak adanva faktor resiko neoplasia serviks pada riwayat wanita

tersebut. Semua wanita dengan pap smear menujukkan displasia yang jelas

(diklasifikasikan oleh ahli patologi sebagai low grade atau high gradesquamous

intraepithelial lession) dilakukan kolposkopi. Pada penelitian lain dikatakan

kolposkopi dilakukan jika hasil satu kali pap smear yg menunjukkan ASCUS dan

adanya faktor resiko (banyak pasangan seksual, riwayat penyakit menular seksual,

Page 15: ASCUS dan cervix

15

resiko tinggi infeksi HPV atau imunodefisiensi) dan wanita yang dilakukan pap

smear dua kali menunjukkan ASCUS dan tanpa faktor resiko.15

Kolposkopi bagaimanapun juga merupakan suatu hal yang merugikan bagi

pasien dan lingkungan sosialnya secara umum. Karena biaya kolposkopi mahal.

Apalagi diikuti dengan biopsi. Tiap tahun di Amerika Serikat rata-rata 50 sampai 60

juta dilakukan pap smear, jika 10% wanita tersebut menunjukkan gambaran ASCUS

dan dilakukan kolposkopi, akan memperbesar anggaran biaya kesehatan.15

Bagan 1. Pengulangan Smear pada penatalaksanaan pasien dengan Papanicolaou (Pap

smear menunjukkan atypical squamous cells of undetermined significance (ASCUS).4

Bagan 2. Test Hybrid capture human papillomavirus (HPV) DNA pada penatalaksanaan

pasien dengan a Papanicolaou smear menunjukkan atypical squamous cells of undetermined significance (ASCUS).4

Page 16: ASCUS dan cervix

16

Bagan 3.Bagan penanganan ASCUS yang dianjurkan di bagian Obstetri dan Ginekologi

FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo4

Bagan 4. Bagan penatalaksanaan hasil Tes pap ASCUS4

Pap smear dengan atropi epitel merupakan suatu masalah dalam bidang

sitodiagnostik. Karena penurunan kadar estrogen pada wanita postmenopause, atropi

Page 17: ASCUS dan cervix

17

epitel squamous serviks menunjukkan maturasi yang berkurang yang menyerupai

neoplasia intra epitel ser-viks derajat tinggi (CIN 2 dan 3).16 Perbedaan diagnostik

atipikal atropik pap smears pada wanita postmenopause banyak dianjurkan untuk

dilakukan pap smear ulangan setelah dilakukan pemberian estrogen, atipik pada

epitel atropi sebelumnya menyerupai epitel displasia akan matur dan berubah

menjadi epitel squamous normal.16

Penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk ASC-H adalah kolposkopi..

Penatalaksanaan pada wanita dengan ASC-H diikuti dengan kolposkopi tidak berhasil

jika diagnosis histologik adalah CIN 2 atau lesi yang lebih berat. Hasil dari ASCUS/LSIL

Triage Study (ALTS) menemukan bahwa interpretasi dari ASC-H berhubungan dengan

risiko onkogenik deteksi HPV DNA dan risiko yang lebih tinggi yang mendasari CIN 2

atau lebih buruk lagi (30%-40%) dibandingkan dengan ASC-US (10%-15% risiko dari

CIN 2 atau lebih buruk lagi). Risiko-risiko ini berhubungan dengan preparat serupa baik

smear konvensional ataupun liquid based.14

Laboratorium-laboratorium yang secara rutin menggunakan onkogenik pemeriksaan

HPV untuk penatalaksanaan wanita dengan ASC-US dianjurkan untuk membandingkan

hasil pemeriksaan virologik, sitomorfologi dan follow up. Persentasi infeksi HPV antara

wanita dengan ASC-US secara kuat berkorelasi dengan usia. Laboratorium juga

didorong untuk monitor follow up dari ASC-US dan ASC-H secara terpisah jika mungkin

untuk menegakkan pengertian kita mengenai kategori-kategori ini berdasarkan penemuan

penelitian untuk praktek klinis.14

Page 18: ASCUS dan cervix

18

Bagan 5. Algoritma penanganan wanita postmenopause dengan hasil sitologi ASCUS Dikutip dari Seils SA17

VII. RINGKASAN

1. ASCUS (Atypical squamous cells of undetermined significance) adalah istilah yang

meliputi kelainan seluler melebihi kelainan disebabkan perubahan reaktif/inflamasi

tetapi tidak termasuk dalam batasan lesi intra epitel, dibedakan menjadi dua yaitu

ASC-US dan ASC-H.

2. Kriteria ASCUS termasuk pembesaran inti (2,5 - 3 kali dari inti sel intermediate = 35

µm2), ratio inti: sitoplasma sedikit meningkat, variasi bentuk dan besar, dinding inti

rata dan reguler, kromatin halus sedikit hiperkromatik dan irreguleritas dalam

distribusi kromatin, inti ganda dan anak inti ditemukan, termasuk di sini metaplasia

atipik, atipia atrofi dan pembesaran sel yang tidak disebabkan oleh peradangan.

Abnormalitas inti berhubungan dengan kepadatan sitoplasma orangeophilic

Page 19: ASCUS dan cervix

19

(“atypical parakeratosis”). Penampakan ASC-US pada smears dan sitologi liquid

based serupa, dalam smears, sel mungkin nampak lebih besar dan datar.

3. Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium sitologi untuk

membedakan ASCUS karena penatalaksanaannya berbeda.

4. Kriteria untuk Atypical Squamous Cells, Cannot Exclude HSIL (ASC-H) adalah

biasanya sel nampak tunggal atau dalam fragmen yang kecil kurang dari 10 sel,

kadang-kadang dalam smear yang konvensional, sel mungkin berupa “aliran” dalam

mukus. Ukuran sel yang metaplastik dengan nuklei kira-kira 1,5 sampai 2,5 kali lebih

besar dari normal. Rasio dari sitoplasmik nuklear (N/C) mungkin diperkirakan HSIL.

5. Guidelines konsensus baru tentang penatalaksanaan yang dibuat sesuai dengan

klasifikasi sistem Bethesda 2001 merekomendasikan follow up untuk wanita dengan

ASC-US. Untuk onkogenik (risiko tinggi) pemeriksaan DNA merupakan

penatalaksanaan yang lebih disukai untuk ASC-US jika hal tersebut dapat dilakukan

bersamaan dengan sitologi; pemeriksaan sitologi ulangan dan kolposkopi secara

cepat juga merupakan penatalaksanaan yang dapat diterima.

6. Penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk ASC-H adalah kolposkopi.

Penatalaksanaan pada wanita dengan ASC-H diikuti dengan kolposkopi tidak

berhasil jika diagnosis histologik adalah CIN 2 atau lesi yang lebih berat seharusnya

didasarkan secar indiviualisasi dalam mereview seluruh temuan klinis dan patologik.

VIII. RUJUKAN 1. Andriyono. Kanker serviks. Sinopsis Kanker Ginekologi. Jakarta, 2003:14-28 2. Campion M. Preinvasive disease. In: Berek Js, Hacker NF. Practical gynecologic oncology. 3rd.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 271-315 3. Mardjikoen P. Tumor ganas alat genital. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T.

Editor. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999;380-9

4. Kusuma F, Moegni EM. Penatalaksanaan Tes Pap Abnormal. Cermin Dunia Kedokteran 2001; 133:19-22

5. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133:9-14 6. Harahap RE. Neoplasia intraepithelial serviks (NIS). Jakarta: UI Press, 1984:1-77 7. Hardida HL. Sensitifitas dan spesifisitas inspeksi visual dengan asam asetat untuk mendeteksi dini

keganasan leher rahim pada wanita dengan eritroplakia. Tesis pada Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/RSMH. Palembang, 2001

8. Wright TC, Kurman RJ, Ferenzy A. Precancerous lesions of the cervix. In: Kurman RJ. Ed. Blaustein’s pathology of the female genital tract. 4th ed. New York: Springer-Verlag, 1994;229-277

Page 20: ASCUS dan cervix

20

9. Sulastri H. Patologi neoplasma intraepithelial skumosa (NIS). Kursus kolposkopi pra-PIT POGI XII. Palembang, 2001

10. Kaufman RH, Adam E, Vonka V. Human papillomavirus infection and cervical carcinoma. Clin Obstet Gynecol 2000;43:363-80

11. Soepardiman HM. Terminologi sitologi. Dalam; Sjamsuddin S, Indarti J. Editor. Kolposkopi dan neoplasia intraepitel serviks. Edisi kedua. Jakarta:PPSKI, 2001:22-28

12. Hatch KD, Berek JS. Intraepitelial disease of the cervix, vagina and vulva. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novak’s Gynecology. 13th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002;471-505

13. Major AL. The Bethesda system and guidelines for the managementof cervical intraepithelial neoplasia

14. Sherman ME, Karim FWA, Berek JS et al. Atypical squamous cells. In: Solomon D, Nayar R. ed. The Bethesda system for reporting cervical cytology. 2nd. 2002;67-85

15. ASCUS-LSIL. Triage Study (ALTS) Group. Result of randomized trial on the management of cytology interpretations of atypical squamous cells of undetermined significance. Am J Obstet Gynecol 2003;188:1383-92

16. Bonfiglio TA, Erozan YS. Gynecologic cytopathology. Lippincott-Raven, Philadelphia,1997;19-30 17. Seils LA, Wilbur DC. Atypical squamous cells of undtermined significance: stratification of the risk of

association with, progression to, squamous intraepithelial lesions based on morphologic subcategorization. Acta Cytol,1997;41:1065-72