Asal Usul Gerakan Muhammadiyah AIK III S5

38
ASAL USUL GERAKAN MUHAMMADIYAH AIK III (Ke-Muhammadiyahan) Profesor Dr Ishomuddin, M.Si

description

Asal Usul Gerakan Muhammadiyah AIK III S5

Transcript of Asal Usul Gerakan Muhammadiyah AIK III S5

ASAL USUL GERAKAN

MUHAMMADIYAH

AIK III(Ke-Muhammadiyahan)

Profesor Dr Ishomuddin, M.Si

Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan KH. Ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Ia dilahirkan tahun 1868 dan wafat tahun 1923. Ia meninggal dalam usia relatif muda yaitu berusia 55 tahun.

Sejak kanak-kanak diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukkan bahwa rasa keagamaan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berdasarkan naluri melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.

Untuk dapat melaksanakan agama Islam, K.H. Ahmad Dahlan berpendirian bahwa ummat Islam harus dibina di bidang ilmu, pengetahuan tentang agama, dan dibina bagaimana melaksanakan agam Islam yang sebenarnya. Baik secara perorangan maupun berkelompok. Selanjutnya dipimpin berjuang untuk melaksanakan agama Islam seperti yang dimaksud.

Pemikiran itulah yang mendorong KH. Ahmad Dahlan sebagai subyek untuk mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, untuk membina ummat Islam di Indonesia. Mulai dari pengertiannya sampai keyakinannya, begitu pula sesudah itu, maka untuk melaksanakan Islam yang sebenar-benarnya harus dengan organisasi.

Jadi, pribadi KH. Ahmad Dahlan dalam hal ini bukan fisiknya itu sendiri merupakan faktor subyektif. Faham dan keyakinan akan agama Islam serta penghayatan dan pengalamannya menjadi faktor subyektif yang mendorong berdirinya Muhammadiyah. Orangnya atau personnya berupa KH. Ahmad Dahlan. Tetapi yang hakiki adalah faham dan keyakinan agamanya, meskipun pada saat itu banyak kiyai yang lain, namun K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai pemahaman yang berbeda.

Dengan demikian esensi yang mendorong kelahiran Muhammadiyah adalah faham dan keyakinan agama K.H. Dahlan yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman agamanya. Ini lah yang membentuk KH. Ahmad dahlan sebagai subyek yang mendirikan amal jariyah Muhammadiyah.

Tidak murni lagi, artinya tidak diambil dari sumber yang sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu saja yang difahami, dipelajari dan kemudian diamalkan. Ajaran Islam yang seperti itulah kemudian yang hidup dan tersebar di Indonesia dan menjadi anutan orang-orang Indonesia yang beragama islam. Agama islam yang seperti itulah tidak akan dapat memberikan manfaat yang sebenar-benarnya kepada atau terhadap manusia, termasuk ummat Islam di Indonesia. Kondisi semacam inilah yang juga menimbulkan antipati kalangan muda yang terpelajar dan berpendidikan Barat, dan menganggapnya ummat islam Islam menjadi penghambat untuk kemajuan bangsa.

Faktor obyektif itulah yang mendorong KH. Ahmad dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan sarana memperbaiki agama dan ummat Islam Indonesia

Faktor Eksternal

Pemerintah Hindia Belanda merupakan keadaan obyektif eksternal umat Islam pertama yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah. Hindi Belanda memegang kekuasaan segal-galanya, dan agama resminya adalah Protestan.Pemerintah penjajah Hindia Belanda berpendirian bahwa ajaran agama islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan tidak boleh berkembang di tanah jajahan. Baik Belanda maupun Inggris berupaya menjauhkan Ummat Islam dari Islam yang benar.

Selain itu faktor esterm yang lain adalah muncul dari angkatan muda yang sudah mendapat pendidikan Barat. Mereka mengadakan gerakan-gerakan untuk memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiyah.

Jadi, faktor obyektif yang sangat merugikan Islam adalah:

1.Pemerintah Penjajah Belanda;2.Antek-antek pemerintah Belanda yang terdiri dari angkatan muda yang sudah mendapat pendidikan Barat,3.Gerakan nasrani. Mereka mendapat bantuan dari pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang menentang gerakan Muhammadiyah.

Dari semua faktor inilah mendorong keyakinan K.H. Ahmad Dahlan memperjuangkan faham dan keyakinan agamanya dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan, lahir berangkat dari pemahaman ontologis tentang Islam, menegaskan bahwa agama Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya sejak Nabi Adam hingga Nabi terakhir Muhammad, yang diutus dengan membawa shari’at agama yang sempurna untuk seluruh ummat sepanjang masa. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam ‘amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah serta bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Al-Qur’an dan Sunnah sebagai penjelasannya merupakan ajaran yang serba benar keseluruhannya, sedang akal fikiran atau al-ra’yu berfungsi sebagai alat untuk :

(1)Mengungkap dan mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan al-Sunnah, (2)Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan al-Sunnah, (3)Mencari jalan dan bagaimana cara-cara melaksanakan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dalam rangka upaya mengatur dunia guna memakmurkannya.

Karena fungsinya itu, akal fikiran yang dinamis dan progresif memiliki peranan dan lapangan yang luas sekali. Demikian juga akal fikiran dapat mempertimbangkan seberapa jauh faktor pengaruh keadaan, waktu dan tempat terhadap penerapan hukum dalam batas maksud-maksud ajaran agama.

Dengan pendirian seperti tersebut di atas, Muhammadiyah berkeyakinan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang zaman. Kesempatan ijtihad tidak terbatas kepada siapapun juga asalkan telah memenuhi syarat-syaratnya. Sedang terhadap madhhab, Muhammadiyah berpandangan bahwa sesuai dengan seruan al-Qur’an dan Hadith yaitu :

(1)Apabila engkau berselisih dalam suatu masalah, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa :82), (2)Barang siapa melakukan ijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, dan bila salah berijtihad baginya satu pahala (hadith).

Dalam keterkaitannya dengan ahl al-sunnah wa al- jama’ah Muhammadiyah berpandangan bahwa Muhammadiyah adalah termasuk golongan ahl al-sunnah wa al- jama’ah. Hal ini dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang berdasarkan segala amal usahanya serta jalan fikirannya atas al-Qur’an dan Hadith yang sahih, termasuk pula athar dari para sahabat yang diriwayatkan dalam hadith yang sahih. Dengan mengembalikan segala perkara kepada Kitab Allah dan Sunnatu al-rasul baik mengenai kepercayaan maupun bidang peribadatan.

Dalam melaksanakan agama Muhammadiyah berpendirian bahwa hendaknya dilakukan berdasarkan pengertian yang benar, dengan jalan ijtihad atau ittiba’ dengan musyawarah oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah lazim dikenal dengan istilah tarjih, artinya “membanding-bandingkan berbagai pendapat dalam musyawarah, kemudian mengambil pendapat yang didukung oleh alasan dalil yang kuat (rajih).Dengan dasar dan cara memahami ajaran Islam seperti tersebut Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran Islam merupakan “kesatuan ajaran” yang tidak boleh dipisah-pisahkan satu sama lain. Ajaran Islam terdiri dari; ajaran aqidah, ajaran akhlaq, ajaran ibadah (mahdah) dan ajaran mu’amalah duniawiyah.

Muhammadiayah—Modernis

Pemikiran modern lahir di awal abad kedua puluh tidak lepas dari situasi sosial, politik dan keagamaan yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. Pemikiran-pemikiran yang dicetuskan mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan para tokoh dan pemikir membaca dan memahami situasi, dan K.H.A. Dahlan adalah tokoh pertama yang mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan meletakkan dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah. Dengan demikian mengkaji latar belakang pemikiran Muhammadiyah akan melibatkan tokoh tersebut, terutama tentang sosok pribadinya dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.

Secara genealogis, ia adalah putera ketiga K.H.Abu Bakar, salah seorang khatib di Masjid Kesultanan Yogyakarta, dilahirkan pada tahun 1258 H/1868 M di daerah Kauman. Pendidikan Dahlan tampaknya mengikuti pola pendidikan tradisional yang diawali dengan mempelajari al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab fikih, nahwu, tafsir dan sebagainya di lembaga-lembaga keraton yang kaya dengan tradisi dan berbagai kepercayaan yang sinkretis.

Pada tahun 1912 ia mendirikan organisasi Muhammadiyah yang mungkin menurutnya dengan itu kekuatan akan lebih dapat diorganisir, di samping sesuai dengan situasi, lahirnya berbagai organisasi yang bersifat politik dan keagamaan. Usaha Dahlan yang demikian mendapat sokongan dari mantan murid-muridnya dan dari merekalah ia mendapat dukungan bagi organisasinya yang baru itu. Alfian mencatat sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah, di antaranya adalah Haji Abdoellah Sirat dan Raden Ketib Tjendana Haji Ahmad.

Cita-cita dan pandangan Dahlan terhadap pemikiran pembaharuan Islam disalurkan melalui organisasi yang ia dirikan yaitu Muhammadiyah. Sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah memiliki ciri khusus bukan atas dasar penerapan teoretik belaka, melainkan berpijak pada suatu proses yang bersifat dialogis dengan lingkungan budaya keagamaan dan masyarakat Jawa. Karenanya maka ciri khusus Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tidak mendorong organisasi itu bersifat eksklusif dan terisolasi dari lingkungan sosial setempat.

Pemikiran tentang didirikannya organisasi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam bersumber dari pancaran keimanan dan hal tersebut memberikan landasan yang logis kepada suatu kebutuhan dasar tertentu. Maksudnya ialah, bahwa didirikannya sebuah organisasi pergerakan keagamaan adalah sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi upaya mengimplementasikan keimanan dalam amaliah nyata. Namun karena Tuhan adalah titik labuh transenden dari atribut kehidupan, maka diperlukan pengalaman religio-moral yang terorganisasi dengan dimensi intelektual Islam dengan mempertimbangkan peranan ilmu pengetahuan sebagai alat bantu.

Keadaan tersebut semakin nyata bentuknya setelah berpadu dengan pandangan-pandangan teoretis modernisme Islam daerah Timur Tengah yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, dan lain-lain. Dari keterpaduan itu maka bertemu aspek praktis dengan aspek teoretis. Pertemuan dimensi-dimensi itu dalam Muhammadiyah menggambarkan bertemunya gagasan-gagasan Dahlan yang spesifik sebagai alternatif bagi perbaikan praktis keadaan sesuai dengan realitas sosial, dengan semangat universalitas pandangan pemurnian Islam sebagai pokok dari kebangkitan Islam pada awal abad ke- 20.

Lebih jauh pengaruh psikologis dari keterpaduan dimensi realitas dengan teoretis dalam Muhammadiyah ialah bahwa meskipun Muhammadiyah berusaha melakukan purifikasi keagamaan, Muhammadiyah dalam waktu yang bersamaan sangat menyadari ketergantungannya pada lingkungan sosio-budaya di tempat Muhammadiyah berada.

Watak Muhammadiyah yang tidak terpisah dari jiwa lingkungan daerah itu telah menyebabkan Muhammadiyah memiliki gaya adaptasi yang didasarkan pada rasa kesadaran lingkungan kultural. Kesadaran yang demikian dalam gerakan Muhammadiyah sejak awalnya tercermin dari dua hal :

(1)corak keteladanan yang dimiliki kepribadian pemimpinnya yang simpatik. Hal itu diperlihatkan oleh pribadi Dahlan dalam menyebarkan gagasannya di masyarakat Jawa yang ternyata sangat menarik para warga masyarakat,

(2)pemikiran pembaharuan Islam yang disebarluaskan oleh Muhammadiyah tidak dilaksanakan dengan gaya radikal fundamentalis, melainkan dimulai dengan upaya pemurnian ajaran Islam yang diwujudkan dalam bentuk amal nyata dengan tindakan yang moderat.

K.H.A. Dahlan sebagaimana Mohammad Iqbal, Mohammad Natsir menyebut Islam sebagai agama iman, ilmu dan amal. Ketiga tokoh ini dengan tekun melakukan penjelajahan ruhani dan penjelajahan intelektual yang amat serius. Ketiganya semula melihat kenyataan, mengapa agama Islam di negeri-negeri Timur seperti mengalami kemacetan ? Mengapa agama besar dan agama benar ini mengalami disfungsi sosial, tidak mampu menggerakkan masyarakat, umat dan individu pemeluknya untuk mencerahkan dan menyelamatkan masa depan sendiri ?

Mengapa justeru orang Barat yang pasca Perang Salib mampu memacu diri dan mengembara ke seluruh dunia sebagai penjajah dan kekuasaan politik, ekonomi, militer, budaya mereka menggurita dan mencengkeram negeri-negeri terjajah. Mengapa “kegemilangan 7 abad “awal pertumbuhan agama Islam di dunia global sebagaimana pernah diakui dan dicatat oleh seorang sejarawan Perancis kemudian lenyap dan yang hadir justeru gerhana politik, sosial, ekonomi, militer, budaya dan gerhana intelektual berlangsung selama berabad-abad selanjutnya ? Dapatkah agama Islam memiliki fungsi publik sebagai pembebas manusia kembali, sebagaimana di kemudian hari disebut oleh Ali Syari’ati sebagai agama Ibrahimik ? Agama profetik dalam arti sesungguhnya?

Sebagian dari jawabannya ialah karena kesadaran sejarah. Perjalanan Muhammadiyah masa lampau dengan seluruh dinamikanya adalah bahan baku bagi bangunan Muhammadiyah. Orang tidak mungkin memahami jika tidak menghayati denyut nadinya. Sejarah perjalanan sebuah organisasi sangat penting untuk kesehatannya, sebagaimana medical record penting bagi kesehatan seseorang.Pernyataan itu menunjukkan pentingnya memahami situasi intelektual yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah. Ada dua pengaruh yang mengantarkan lahirnya gerakan itu di awal abad ke 20. Pertama, gerakan tajdid Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Jamaluddin al-Afghany, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Masing-masing memiliki corak pemikirannya yang membedakan dari yang lain. Muhammad Ibn Abd al-Wahhab menekankan pemurnian aqidah, sebagai layaknya gerakan-gerakan Hanbali sebelumnya, dank arena itu gerakannya lebih bersifat puritan.

Jamaluddin al-Afghani menekankan kebangkitan politik umat Islam, dank arena itu gerakannya lebih bersifat revivalis. Muhammad Abduh menekankan pemanfaatan budaya modern, dan karena itu gerakannya lebih bersifat modernis. Rasyid Ridha menekankan pentingnya berorientasi pada masa awal Islam dalam kerangka itu gerakannya lebih bersifat reformis, yang menjadi akar fundamentalisme di Timur Tengah.Dari telaah biografi KH Ahmad Dahlan, ada petunjuk betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dengan pemikiran-pemikiran mereka yang kemudian dipadu dengan setting social dan buday Jawa. Muhammadiyah memadukan puritanisme, aktivisme, modernism dan reformisme. Disebut apa? Ya, tajdid itulah sebutan yang tepat.

Kedua, modernism Barat yang terekspos melalui kolonialisme Belanda. Tetapi, K.H. Ahmad Dahlan tidak melihat ide-ide modernya, tetapi pada lingkup fromat budaya, seperti dasi, sekolahan, dan rumah sakit. Karena itu, kita tidak melihat pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang nasionalisme, demokrasi, rasionalisme dan saintisme.Pengaruh pemikiran pembaharuan Timur Tengah dan modernism Barat secara bersama-sama melekat pada diri pendiri Muhammadiyah itu. Sehingga pemikirannya merupakan simbiosis yang diaplikasikan dalam konteks masyarakat Jawa. Jadi, K.H. Ahmad Dahlan bisa dipandang sebagai manifestasi keseimbangan antara budaya timur Tengah, Barat, dan Jawa. Di sinilah letak keberhasilannya dalam mereform masyarakat Islam di Indonesia yang sedang “sakit”.

Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tidak terungkap secara elaborative dan sistematik karena tampaknya Muhammadiyah pada saat awalnya tidak diarahkan untuk menjadi gerakan pemikiran, tetapi gerakan social keagamaan. Terbukti tidak banyak tulisannya yang bisa dinikmati oleh kalangan luas. Ketika mengajarkan surat al-Ma’un, misalnya, K.H. Ahmad Dahlan tidak memberikan penafsiran yang elaborative tetapi memilih aplikasi nyata untuk ferormasi kehidupan social dengan semangat surat tersebut.Demikian pula, ketika mendirikan sekolah, ia lebih memilih tujuan pendidikan aplikatif daripada pengajaran intelektualistik. Itulah yang membedakannya dengan pembaru keagamaan lain pada zamannya, seperti Ahmad Syurkati (Al-Irsyad) dan A. Hassan (Persatuan Islam). Dan itu pulalah yang menjadikan gerakannya lebih luas dan bertahan.

Namun demikian, gerakan intelektual juga terus bergerak mendampingi gerakan amal Muhammadiyah. Sedikit bicara banyak kerja. Tokoh-tokoh tua dan muda terus ‘bersaing’ melahirkan pemikiran-pemikiran segarnya. Sayangnya tiak semua warga Muhammadiyah berkesempatan membaca karya-karya mereka. Mungkin karena tulisan-tulisan itu lebih beredar di perguruan tinggi, atau karena sebagiannya keburu dihujat sebelum dibaca.