Artikel Suster Jeanne

4
Soli Deo Gloria Sr.Jeanne Hartono, OSU. Inilah nama lengkap seorang suster dari Ordo Santa Ursula Bandung. Suster ini berusia 84 tahun namun semangat melayani yang hidup dalam dirinya tidak rapuh termakan usia yang sudah senja. Dilahirkan di tengah keluarga yang bukan Katolik ternyata tidak mengahalanginya untuk mengenal Katolik hingga terpanggil menjadi seorang suster. Hal inilah yang menarik bagi kita untuk sedikit melihat kisah hidup sosok suster yang luar biasa ini. Suster Jeanne adalah anak ke 9 dari 12 bersaudara. Ia dilahirkan di Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 16 Oktober 1929 dan dibesarkan di Purwokerto. Sang ayah bekerja sebagai pemasok beras dan ibu adalah seorang penjual kain dan emas. Hidup di masa penjajahan pada saat itu, membuat keluarga ini pernah mengalami pembakaran rumah hingga 2 kali. Mereka sempat pindah ke Tasikmalaya untuk sementara tinggal di sana lalu kembali lagi ke Purwokerto pada tahun 1946. Walaupun hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang pada masa itu, beliau tetap mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sejak kecil hingga dewasa. Berkenalan dengan teman-teman dan suster-suster selama di sekolah pada saat itu, membuatnya tertarik untuk mengenal Katolik. Namun ketertarikannya untuk menjadi Katolik ternyata tidak disetujui oleh kedua orang tua. Akhirnya Suster Jeanne pun memutuskan untuk dibabtis diam-diam tanpa sepengatahuan kedua orang tuanya pada tahun 1947 di Gereja

Transcript of Artikel Suster Jeanne

Page 1: Artikel Suster Jeanne

Soli Deo Gloria

Sr.Jeanne Hartono, OSU. Inilah nama lengkap seorang suster dari Ordo Santa

Ursula Bandung. Suster ini berusia 84 tahun namun semangat melayani yang hidup

dalam dirinya tidak rapuh termakan usia yang sudah senja. Dilahirkan di tengah

keluarga yang bukan Katolik ternyata tidak mengahalanginya untuk mengenal Katolik

hingga terpanggil menjadi seorang suster. Hal inilah yang menarik bagi kita untuk

sedikit melihat kisah hidup sosok suster yang luar biasa ini.

Suster Jeanne adalah anak ke 9 dari 12 bersaudara. Ia dilahirkan di Cilacap,

Jawa Tengah pada tanggal 16 Oktober 1929 dan dibesarkan di Purwokerto. Sang ayah

bekerja sebagai pemasok beras dan ibu adalah seorang penjual kain dan emas. Hidup

di masa penjajahan pada saat itu, membuat keluarga ini pernah mengalami

pembakaran rumah hingga 2 kali. Mereka sempat pindah ke Tasikmalaya untuk

sementara tinggal di sana lalu kembali lagi ke Purwokerto pada tahun 1946.

Walaupun hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang pada masa itu, beliau

tetap mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sejak kecil hingga dewasa. Berkenalan

dengan teman-teman dan suster-suster selama di sekolah pada saat itu, membuatnya

tertarik untuk mengenal Katolik. Namun ketertarikannya untuk menjadi Katolik ternyata

tidak disetujui oleh kedua orang tua. Akhirnya Suster Jeanne pun memutuskan untuk

dibabtis diam-diam tanpa sepengatahuan kedua orang tuanya pada tahun 1947 di

Gereja Kristus Raja, Purwokerto. Pada saat itu ia berusia 18 tahun. Menyusul setelah

dirinya dibabtis, ternyata sang ibu dan kakak serta adik bungsunya pun akhirnya

dibabtis dan menjadi Katolik.

Akhirnya suster Jeanne berkenalan dengan seorang suster yang ditemuinya

pada tahun 1948. Sosok suster yang sangat baik, dekat dengan anak-anak ternyata

menggugah hatinya untuk tertarik menjadi seorang biarawati. Akhirnya ia pun

membulatkan hati untuk menjadi suster dan mendaftarkan dirinya untuk masuk biara

pada tahun 1954 di Ordo Santa Ursula. Salah satu motivasi utamanya untuk menjadi

biarawati adalah untuk membuat ayahnya bertobat dan menjadi Katolik. Itulah alasan

Page 2: Artikel Suster Jeanne

utama yang menjadi dorongan baginya untuk menjadi suster. Selain itu ia juga ingin

dengan menjadi suster agar dirinya dapat lebih intens lagi untuk berdoa kepada Tuhan.

Setelah masuk biara, ia harus melewati masa Postulan atau masa Orientasi

selama 1 tahun. Lalu dilanjutkan dengan Masa Noviciat atau masa pengenalan selama

2 tahun. Setelah itu ia pun menerima Kaul Sementara pada tahun 1957 dilanjutkan

dengan penerimaan Kaul Sejati pada tahun 1960.

Selama menjalani hidup di biara dan menjalani panggilannya beliau sama sekali

tidak pernah menyesal. Ia sangat menikmati semua perjalanan hidupnya baik itu suka

dan duka selama di biara. Baginya, segala kemuliaan hanya bagi Allah (Soli Deo

Gloria). Itulah yang menjadi motto pelayanannya dari dahulu hingga sekarang. “Ketika

saya mulai jenuh dengan rutinitas atau apapun. Yang saya ingat hanyalah kedua

orangtua saya. Saya mengingat bagaimana pengorbanan mereka untuk merelakan

anaknya yang satu ini untuk dipakai Tuhan. Terutama yang saya ingat adalah

pertobatan ayah saya yang masih saya rindukan.” Ungkapnya.

Masa penantian Suster Jeanne untuk menantikan pertobatan ayahnya ternyata

membuahkan hasil. Berkat pertolongan Tuhan, akhirnya sang ayah dibabtis menjadi

Katolik setelah Suster Jeanne menerima Kaul Sejatinya. “Itulah hadiah yang Tuhan

sediakan bagi saya. Hadiah yang sangat besar bagi saya“ serunya dengan penuh haru.

Selama hidupnya menjadi biarawati, sudah banyak karya-karya yang

dilakukannya. Pada tahun 1964 hingga 1969 dirinya ditugaskan untuk melayani di

Flores. Setelah itu 2 tahun kemudian beliau diberikan kesempatan untuk Studi Sosiologi

di Filipina. Kemudian pada tahun 1974 beliau dipilih menjadi wakil Provinsial dan

mewakili Indonesia untuk menghadiri pertemuan intern di Roma, Vatikan. Pada saat itu

beliau ditunjuk sebagai assisten Jenderal di Roma selama 2 tahun. Pada tahun 1993-

1997 beliau ditunjuk sebagai Kepala Suster se-Indonesia. 3 tahun kemudian beliau

bertugas di Surabaya sebagai Ketua Yayasan. Pada tahun 2000-2005 kemudian beliau

bertugas di Belanda. Dan pada tahun 2010 hingga sekarang beliau aktif sebagai

pengajar di SMA St.Angela dan membantu secretariat di Biara Ordo Santa Ursula

Bandung.

Page 3: Artikel Suster Jeanne

Dalam mengisi kesehariannya selama di biara, suster Jeanne pun masih aktif

untuk mengajar paduan suara. Maklum saja karena bernyanyi merupakan hobinya

sejak dulu. Beliau banyak menaruh harapan kepada para kaum muda terutama pada

kaum wanita untuk peka mendengar suara Tuhan. Beliau berharap karya Tuhan tidak

berhenti sampai di sini saja sehingga perlu regenerasi yang terus menerus. “Panggilan

ini bukanlah pelarian. Tapi kita diajak untuk melayani Tuhan secara total yang berarti

bahwa kita dapat melayani Tuhan lebih banyak lagi.” tegasnya. (Afriyani Elizabeth S)