Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

39

Transcript of Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Page 1: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”
Page 2: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Daftar Isi

Daftar Isi.............................................................................................................................................................. ii

Dari Redaksi ........................................................................................................................................................ 1

Kontak Pembaca.................................................................................................................................................. 1

Susunan Redaksi.................................................................................................................................................. 1

Pengembangan Ekspor Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Berbasis Tanaman Hutan ......................................... 2

HHBK Minyak Lemak, Potensi yang Perlu Dikembangkan............................................................................... 7

Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry .............................................................. 18

Mengenal Tumbuhan KRATOM ( Korth.) .......................................................................... 2

Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi ................................................................................................ 24

Pengukuran Warna Kayu dengan Sistem Cielab ................................................................................................. 28

Standar Kayu Lapis Indonesia............................................................................................................................. 32

Apakah SNI Perlu Banyak? (Kasus Sektor Kehutanan) ..................................................................................... 34

Uji Penetrasi Boron secara Sederhana................................................................................................................. 36

D. Martono & Djeni Hendra

Ari Widiyanto & M. Siarudin

Ari Widiyanto

Mitragyna speciosa 2Freddy J. Hutapea

M. Iqbal

Krisdianto

Paribotro Sutigno

Paribotro Sutigno

Didik Ahmad Sudika

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �ii

Redaksi menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan

artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan

kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis

font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai . Redaksi

berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat

Redaksi , atau melalui e-mail: publikasi@pustekolah org

FORPRO

FORPRO

soft file

.

Cover depan: Buah Nyamplung ( )Calophyllum inophyllum

Page 3: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

iiiFORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Dari Redaksi

Pembaca yang budiman,

Keanekaragaman jenis sumberdaya hutan selain kayu padahutan tropis Indonesia sangat banyak jenisnya yang dapatdijadikan sebagai komoditi untuk bahan industri maupun dalamrangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatanmasyarakat sekitar hutan. Komoditas tersebut seperti getah, akar,umbut, kulit, daun dan fauna yang lazim disebut hasil hutan bukankayu (HHBK). Dalam rangka peningkatan nilai tambah industriHHBK sangat diperlukan inovasi dan sentuhan teknologisehingga menjadikan komoditas HHBK tersebut nilai danmanfaatnya menjadi lebih meningkat dan menjadi sumber devisabagi negara.

PUSTEKOLAH sebagai lembaga riset senantiasa mencariinovasi dan solusi untuk peningkatan nilai HHBK tersebutmelalui berbagai kegiatan percobaan penelitian dan pengkajian.Beberapa informasi IPTEK tentang HHBK dikemas dalam bentuknaskah/artikel dan kami sampaikan ke hadapan pembaca sepertiapa yang tertuang pada FORPRO terbitan edisi Vol 2, No 1 tahun2013. Kali ini menyajikan beberapa artikel yaitu: 1.Pengembangan Ekspor HHBK; 2. HHBK Minyak lemak, Potensiyang perlu dikembangkan; 3. Beberapa Catatan Mengenai HasilHutan dalam Sistim Agroforestry; dan 4. Mengenal TumbuhanKratom. Selain itu kami sisipkan pula beberapa artikel tentang;Pengawetan kayu, SNI, Pengukuran warna kayu dan uji penetrasiBoron secara sederhana.

Pemuatan naskah/artikel pada edisi terbitan kali ini semogadapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi pembaca yang akandan sedang melakukan kegiatan yang serupa, sehinggamendapatkan hasil sesuai yang di-harapkan, ataupun sebagaitambahan informasi yang berharga bagi pembaca secara umum.

Pada tahun 2013 ini tidak terasa setahun sudah usia majalahFORPRO ini lahir dan hadir dihadapan pembaca. Menginjak padausia tahun kedua ini Redaksi FORPRO berusaha untuk tetapmenyajikan IPTEK tentang keteknikan kehutanan danpengolahan hasil hutan, dan mempertahankan apa yang sudahbaik serta memperbaiki segala yang masih kurang berdasarkansaran dan masukan pembaca.

Masukan dan saran pembaca terhadap terbitan edisi kali inisangat diharapkan guna perbaikan dan kesempurnaan terbitanMajalah FORPO edisi berikutnya.

Selamat membaca.

Bogor, Juni 2013Redaksi Forpro

Pelindung

Dewan Redaksi

Editor

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan

Pengolahan Hasil Hutan

Ketua : Ir. Jamal Balfas, M.Sc.

Narasumber : 1. Prof. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc

2. Prof. Ir. Dulsalam, MM

3. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si

4. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si

1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc

2. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si

3. Drs. M. Muslich, M.Sc

4. Dra. Jasni, M.Si

5. Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc

6. Dra. Gusmailina, M.Si

7. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc

8. Setyani Budhi Lestari. Ah.T

Ketua : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak

Lanjut Penelitian

Anggota : 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc.

2. Drs. Juli Jajuli

3. Deden Nurhayadi, S.Hut.

4. Sophia Pujiastuti

Sekretariat Redaksi

Yth.: Redaksi Majalah FORPROFORPRO, sebagai majalah kehutanan semi ilmiah/populer

yang penerbitannya baru menginjak 1 tahun, kehadirannyadiharapkan dapat “dinikmati” oleh masyarakat pembaca dari semuakalangan. Berikut saran yang saya coba sampaikan demi kemajuanmajalah FORPRO.

Setiap tampilan untuk cover depan, FORPROmemiliki warna dasar (back ground) tertentu yang khas sehinggadapat mencirikan kehadirannya. Foto cover sebaiknya cukupmensiratkan satu tema yang menggambarkan sajian artikel utamadan tidak menampilkan banyak foto. Dalam cover depan tidak jugaperlu menampilkan semua judul maupun ulasan singkatartikel/tajuk, karena hal ini bisa dilihat pada daftar isi. Singkatnya,cover depan dapat dibuat semenarik mungkin dengan tampilanyang khas, sederhana (sedikit foto/gambar) dengan menampilkaninformasi artikel utama yang sedang hangat, menarik dan mudahuntuk dibaca. Penempatan artikel/tajuk utama memerlukankesepakatan dan penilaian oleh dewan redaksi.

Isi, substansi tajuk utama hanya satu saja dan merupakan“issue” utama bahasan dalam setiap kali terbitan, selebihnya bisaberupa artikel-artikel dan rubrik-rubrik seperti pedoman/petunjukringanyang terkait dengan informasipengelolaanhasil hutan.

Agar pembaca tetap tertarik dan setia menunggu, Forpro dapatmelakukan dengan cara membuka rubrik tanya jawab seputarinformasi pengolahan hasil hutan, dan sebagai penghargaan ataskontribusinya terhadap keberlangsungan FORPRO, sebaiknyapenulis tetap mendapatkan reward atas karyatulisnya.

Demikian... semoga segenap pengurus tetap enerjik danbersemangat sehingga FORPRO bertambah informatif, menarik,mudah dan layak dibaca oleh semua kalangan.

Bogor, Juni 2013Salam,ANDIANTO, S. Hut, M.Si-----------------------------------------------------------------------------------------

Yth. Pak Andianto,Terima kasih pak Andianto atas segala kritikan dan sarannya

yang membangun, tentu akan kami coba dan dipertimbangkan demipeningkatan kualitas terbitan majalah Forpro yang lebih baik danenak dibaca oleh semua kalangan.

Untuk pemberian reward kepada penulis tentunya wajar-wajarsaja, selama tersedia anggaran dan Redaksi akan memberikansesuai haknya. Akan tetapi ke depan tidak tersedia lagianggaran penulisan mohon tetap untuk tidak mengurangi semangatmenulis dan mengirimkan naskah ke Redaksi Forpro, sebagaiupaya kita untuk berkontribusi dalam penyebarluasan IPTEKsebagai wujud “ilmu amaliah dan beramal ilmiah” dan turut sertamembangkitkan industri kehutanan kita yang lebih kompetitif. Amin

Salam,Redaksi Forpro

sebaiknya

jika

DARI REDAKSI;

Susunan Redaksi

Kontak PEMBACA

Page 4: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Tajuk Utama

BERBASIS

TANAMAN HUTAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

PENGEMBANGAN EKSPOR PRODUK

I. PENDAHULUAN

Hutan adalah suatu ekosistem tumbuhan dan hewan

yang tumbuh dan hidup berkembang pada suatu lahan,

dimana flora dan fauna yang berada di tempat itu saling

berinteraksi secara alami tanpa ada unsur campur tangan

manusia, sehingga membentuk suatu kestabilan formasi,

biodiversitasnya dan produktivitasnya. Pada setiap

tahapan waktu secara alami sering mengalami perubahan

yang selalu berkembang dalam keseimbangan, pada setiap

tahapan ini sering disebut sere (Odum, 1964). Setiap sere

akan selalu berkembang mencapai puncaknya yang stabil

dalam perkembangan suksesinya. Pemanfaatan tanaman,

bagian tanaman, hewan atau satwa pengisi formasi hutan

oleh manusia sebagai penyangga kebutuhan natura dan

kehidupan, maka setiap waktu itu pula mengalami

d i n a m i ka p e r u b a h a n fo r m a s i m e n u j u s u at u

kesetimbangan ekologisnya. Jika frekuensi perubahan itu

dalam waktu singkat sudah tinggi akan terjadi penurunan

formasi dan nilai biodiversitasnya, tentu akan terjadi

perubahan yang sangat drastis, bukan lagi di sebut sebagai

ekosistem hutan. Oleh karenanya dalam pengelolaan

hutan yang terkait dalam pemanfaatannya, pemerintah

menetapkan suatu kebijakan pengaturan pemanfaatannya

terutama dalam hal pemungutan material dari dalam

hutan, diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999

tentang Kehutanan.

Minyak atsiri, resin, minyak lemak, getah getahan,

madu, kulit-kulit kayu, serta rempah merupakan hasil

hutan bukan kayu (HHBK) pada awal kehidupan manusia

juga berasal dari hutan, dalam perkembangannya untuk

memudahkan pemungutan dan meningkatkan

produktivitas karena memberikan nilai komersial, oleh

masyarakat dibudidayakan yang semula dalam skala kecil

di pekarangan, kebun dan meluas menjadi suatu areal

pertanaman perkebunan yang luas. Minyak atsiri, madu,

resin, rotan dan bambu merupakan salah satu unggulan

sebagai hasil hutan bukan kayu.

Potensi hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat

besar sekali baik volume maupun ragam jenisnya. Secara

umum hasil hutan bukan kayu dikelompokkan menjadi 8

(delapan) kelompok komo-

ditas sesuai Permenhut No.

35/2007 yaitu :

1. Kelompok Resin

2. Kelompok Minyak Atsiri

3. Kelompok Minyak Lemak, Pati dan Buah-

buahan

4. Kelompok Tanin, Bahan Pewarna dan Getah

5. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias

6. Kelompok Palma dan bambu (rotan, bambu dan

lainnya)

7. Kelompok Alkaloid

8. Kelompok Lainnya.

Peranan hasil hutan bukan kayu dalam pengelolaan

hutan secara lestari sangat besar terutama dalam upaya

pembangunan masyarakat sekitar hutan dan konservasi

sumberdaya alam secara bersamaan. Arnold dan Ruiz

Perez (1998) menyatakan bahwa :

a. Hasil hutan bukan kayu akan lebih banyak memberi

manfaat dan keuntungan bagi masyarakat khususnya

yang tinggal di sekitar hutan, karena hutan mampu

menyediakan berbagai keperluan kehidupan seperti

sumber makanan, obat-obatan, bahan sandang dan

perkakas rumah tangga. Di samping itu akan

mendorong partisipasi masyarakat untuk menjaga

kelestariannya.

b. Dalam pemanenan hasil hutan bukan kayu relatif lebih

kecil dampaknya bila dibandingkan dengan kegiatan

pembalakan kayu ( ).

Berawal dari pengertian dan pandangan ini berbagai

pihak memberi perhatian dan melakukan berbagai

kegiatan pengembangan maupun juga penelitian yang

bertujuan untuk pengembangan dan pemanfaatannya

untuk pengusahaan hasil hutan kayu. Kenyataannya hasil

yang diperoleh atau direkomendasikan, jika dilakukan

secara meluas sering terjadi kontradiktif yang justru

menimbulkan dampak yang merugikan, bahkan

menurunkan kualitas hutannya sendiri. Hal tersebut

terjadi karena setiap kegiatan yang dilakukan dengan

metodologi yang beragam (Ruiz Perez and Byron, 1999).

logging

DOMINICUS MARTONO

& DJENI HENDRA

Pustekolah-Bogor

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �2

Page 5: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

-

et al.,

Kegiatan-kegiatan pengusahaan hasil hutan bukan

kayu dan pengembangannya secara umum memiliki

keterbatasan karena tanpa memperhitungkan karak

teristik biofisik lokasi kegiatan serta faktor-faktor yang

sangat mungkin mempengaruhi dalam mencapai

keberhasilan pengusahaan hasil hutan bukan kayu

tersebut (Godoy 1993).

Dengan keterbatasan sifat hasil hutan kayu tersebut di

atas, saran, kesimpulan ataupun rekomendasi dari hasil

suatu penelitian umumnya bersifat spesifik pada lokasi

dan keadaan di tempat penelitian itu dilakukan dan sering

berbeda jika di aplikasikan secara meluas. Pengembangan

pengusahaan hasil hutan bukan kayu, sebenarnya masalah

pelestarian masih belum sepenuhnya dipahami. Jika

pengusahaan dilakukan terus secara kontinyu, belum

tentu memberi nilai tambah dan manfaat bagi masyarakat

di tempat itu (Martono, 2010). Untuk itu masih diperlukan

suatu pendekatan lagi yang dipadukan dengan suatu

kegiatan secara holistik menyeluruh segala aspek perlu

dikaji yang lebih mendalam.

Permasalahan dalam pengusahaan hasil hutan bukan

kayu diantaranya yaitu :

1. Regulasi dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

masih terbatas, belum dapat menjangkau untuk setiap

komoditas yang akan diatur dalam regulasinya karena

keterbatasan sumber informasi penyebaran, potensi,

dan teknologi tepat guna dalam pemanfaatannya.

2. Informasi potensi dan kelayakan usaha belum

memadai, belum cukup data pendukung untuk

regulasi. Jaringan pasar komersial untuk menyerap

hasil produksi belum tersedia dan pelaku usaha masih

tidak jelas selalu berubah.

II. KONDISI PENGUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

SAAT INI

3. Belum optimalnya peran kelembagaan untuk men-

dorong pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

4. Dukungan teknologi pengolahan, teknik budidaya dan

rantai pemasaran hasil hutan bukan kayu belum

memadai serta keterbatasan sumber daya manusia

yang mengelolanya.

5. Standarisasi produk masih belum memadai, teknologi

pada setiap komoditas bervariasi sehingga peningkat-

an kualitas untuk setiap komoditas perlakuannya ber-

beda yang menyulitkan tenaga pembinaan lapangan

pada industri primernya.

6. Dalam meningkatkan pengembangan usaha komoditas

hasil hutan bukan kayu akses permodalan yang sulit,

tingkat teknologi pengolahan di lokasi yang terpencil

sering kesulitan mendapatkan sarana penunjang

dalam penerapan teknologinya, untuk membantu

akses pemasaran dan pembinaan pada daerah yang

menyebar luas dan terpisah pisah karena kondisi

geografis sulit dilakukan.

Berbagai tipologi pengusahaan hasil hutan bukan kayu

selalu berbeda sehingga penerapan regulasi, pembinaan,

akses bantuan kelembagaan sering terkendala masalah

geografis dukungan sarana tranportasi yang masih sangat

minim menyebabkan tersendatnya untuk mengembag-

kan. Unggulan komoditas hasil hutan bukan kayu dari

suatu daerah belum tentu akan berhasil jika diterapkan

pengusahaan untuk daerah lain, hal ini sangat terkait

masalah dukungan berbagai faktor yang juga mem-

pengaruhi selain sumber daya manusianya sendiri.

Demikian juga sarana transportasi untuk aktifitas produksi

dan pemasarannya.

Pada setiap komoditas hasil hutan bukan kayu sistem

produksinya mempunyai karakter yang berbeda diantara

jenis hasil hutan bukan kayu (misal masoi, kulit kulilawan,

pakanangi, damar mata kucing, nilam, kenanga, madu)

sehingga penetapan regulasi serta pembinaannya juga

tidak sama, hal ini sering masyarakat melihatnya bahwa

aturannya tidak jelas atau berubah-ubah yang menyebab-

kan lambatnya pengembangan. Pada komoditas per-

tanaman yang menghasilkan resin, minyak atsiri, rempah-

rempah, minyak lemak keadaannya juga sama, pengaturan

penerapan perizinan pemungutan terutama yang berasal

dari hutan perlu dikaji untuk setiap daerah (Martono,

2010).

Kondisi sosial ekonomi suatu daerah yang terkait

dengan budaya adat setempat dalam penerapan untuk

pengusahaan hasil hutan bukan kayu, regulasi dan

pembinaannya tidak dapat disamakan secara merata sama

(general), hal tersebut sering menimbulkan kasus yang

hubungan antar masyarakat menjadi tidak sinergis. Kondisi

ini dalam penetapan kebijakan harus perlu dikaji untuk

mendapatkan solusi yang lebih baik, sebagai contoh

pengusahaan pemungutan damar mata kucing di daerah

Krui Lampung tidak sama dalam penerapan di Sumatera

Utara atau Kalimantan Barat, karena di Krui kelembagaan

antar pemangku kegiatan sudah tertata dan rantai

3FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 6: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

pemasaran stabil. Keadaan tersebut pada beberapa aspek

secara umum untuk setiap komoditas hasil hutan bukan

kayu mempunyai karakteristik yang berbeda, menjadikan

hambatan dalam pengembangan. Nilai tambah dalam

pengusahaan hasil hutan bukan kayu masih rendah karena

masyarakat hanya memungut atau memproduksi masih

bersifat bahan mentah, belum mengalami pengolahan

lanjutan yang dapat langsung diperlukan konsumen akhir.

Hal ini terlihat seolah-olah tidak memberi kontribusi

masyarakat yang mengusahakan untuk meningkatkan

pendapatan.

Dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu telah

diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, secara

tertulis bahwa pengusahaannya jelas dalam pengaturan

pemungutan, baik pada berbagai kondisi dan tipe hutan

sumber penghasil hasil hutan baukan kayu yaitu tertuang

pada :

1. Pasal 26 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan

pemungutan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari

dalam kawasan hutan lindung, langkah dan pengaturan

pemanfaatan yang dijinkan.

2. Pasal 27 : berisi tata aturan ijin pemungutan hasil hutan

bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan

ataupun dalam koperasi.

3. Pasal 28 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan

usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan

bukan kayu dapat juga dilakukan pada kawasan hutan

produksi selain pemanfaatan kayunya.

Dari aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaan secara

rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 6 Tahun 2007

yang secara rinci menyebutkan :

a. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 26 yaitu

pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan

lindung,. Sedangkan pada pasal 43 pengaturan

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam

produksi dan pasal 44 pemanfaatan hasil hutan bukan

kayu pada kawasan hutan tanaman yang dikelola.

b. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 117 - 120

: berisi mengatur pengendalian dan pemasaran hasil

hutan melalui penataan hasil hutan secara umum.

Untuk penetapan jenis serta pengukuran volume

ataupun berat dan jumlah dilakukan oleh petugas yang

berwenang yaitu aparat kehutanan setempat yang

ditunjuk dan diserahi kewenangan setelah mendapat

sertifikasi sebagai penguji. Pengeluaran dokumen yang

menerangkan dalam

SKSHH) untuk mengiringi dalam dokumen

pengangkutan material fisik atas dasar kesesuaian dari

hasil pengukuran dan pengujian aparat yang ditunjuk.

c. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 121 :

berisi mengatur, membina dan mengembangkan

III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN HASIL

HUTAN BUKAN KAYU

Surat Keterangan tentang Sahnya

Hasil Hutan (

pemasaran hasil hutan baukan kayu

yang belum diolah ke pasar dalam

negeri sebagai bahan baku untuk

komoditi yang bersifat komersial.

d. Peraturan Pemerintah No 59 / 1998 :

bahwa pengenaan tarif untuk hasil

hutan bukan kayu dimasukkan sebagai

Pendapatan Negara Bukan Pajak pada Departemen

Kehutanan dan Perkebunan, sedangkan besarnya

patokan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) diatur pada

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag No. 08/

M-DAG/PER/2/2007).

Dalam pelaksanaan agar efektif pelayanannya, maka

kepada Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengatur,

membina dan mengembangkannya.

Dalam ijin usaha yang dimaksud pada Permenhut No

35/2008 (P.35/Menhut-II/2008) pengertian ijin usaha

industri primer hasil hutan bukan kayu, adalah ijin untuk

mengolah hasil hutan bukan kayu, menjadi satu atau

beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang

diberikan kepada satu pemegang ijin oleh pejabat yang

berwenang. Atas dasar tenaga kerja yang terlibat dalam

usaha ini dikelompokkan atas dasar skala usaha yaitu :

Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala kecil jika

tenaga kerja kurang dari 50 orang.

Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala

menengah jika tenaga kerja 50 s/d 100 orang

Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala besar

jika tenaga kerja lebih dari 100 orang.

Dalam pelaksanaan berusaha setiap pemegang ijin

harus mempunyai Tanda Daftar Industri (TDI) yang

penerbitannya di lakukan oleh pihak Pemerintah Daerah

(Bupati/Walikota), mekanismenya diserahkan pengaturan

pihak pemerintah daerah setempat. Upaya pemberian ijin

usaha sebagai pelaksanaan pemberdayaan masyarakat

sekitar hutan, dalam pemberdayaan dan mensejahtera-

kan, tumbuhkan kesadaran menyangkut untuk pemeli-

haraan kawasan hutan yang berada disekitar tempat

tinggal. Selain itu, meningkatkan devisa dan terciptanya

lapangan kerja, pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan

secara optimal didukung kemajuannya agar pengembang-

an daerah juga sejalan dengan perkembangan usaha di

tingkat pusat. Dalam kaitan pengembangan usaha hasil

hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, tentunya

perlu kejelasan pertelaan jenis-jenis tanaman hutan

sebagai penghasil produk tersebut, agar dicapai ke-

sepakatan bagi aparat di daerah dalam pemberian ijin

usaha.

Adapun jenis-jenis tanaman penghasil minyak atsiri

disajikan pada tabel 1.

Pada hakekatnya, pemanfaatan produk hasil hutan

bukan kayu lain, misalnya kulit gemor untuk obat nyamuk,

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �4

Page 7: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

No Nama Indonesia Nama Latin Produk

1. Akar wangi Andropogon aciculatus Minyak akar wangi

2. Cantigi Gaulsharia fragantisisima Minyak gandapura

3. Cendana Santalum album Minyak cendana

4. Cendana semut Exocarpus latifolia Minyak cendana

5. Ekaliptus Eucalyptus spp Minyak ekaliptus

6 Gaharu Aquilaria spp ; Gyrinops spp ; Gonystilus

spp; Enkleia spp ; Actoxylon spp;

Wkstromia spp

Minyak gaharu

7 Kamper Cinnamomum camphora Minyak kamper

8. Kayu manis Cinnamomum burmanii ; C zeylanicum Minyak kayu manis

9. Kayu putih Melaleuca cayuputi Minyak kayu putih

10. Kembang mas Asclepias curassava Minyak kembang mas

11. Kenanga Cananga odoratum Minyak kenanga

12. Keruing Dipterocarpus sp Minyak keruing

13. Kilemo Litsea cubeba Minyak kilemo

14. Lawang Cinnamomum cullilawan Minyak lawang

15. Masohi Cryptocarya masoi Minyak masohi

16. Pakanangi Cinnamomum Minyak pangi

17. Sintok Cinnamomum sintok Minyak sintok

18. Trawas, krangean Litsea odorifera Minyak trawas

19. Tusam Pinus merkusii Terpentin

20. Ylang-ylang Cananga latifolia Minyak ylang-ylang

Tabel 1. Kelompok Tanaman Penghasil Minyak Atsiri (berdasar Permenhut 35)

getah penambal lambung perahu kayu, minyak lemak,

minyak atsiri yang berasal dari tanaman hutan masih

banyak lagi namun belum tergali dan teridentifikasi serta

diperdagangkan secara luas, sehingga dalam pengem-

bangan minyak atsiri selama ini terbatas dari usaha yang

telah dilakukan oleh masyarakat adat ataupun oleh masya-

rakat sekitar hutan, demikian juga madu serta minyak kayu

putih, minyak lemak kemiri, minyak krangean lokal daerah.

Sehingga pihak aparatur pemerintah hanya memfasilitasi

serta mengarahkan untuk pengaturan kelestarian sumber

daya alam agar tetap lestari. Sedangkan yang bersifat

eksploratif masih dikembangkan, namun sejauh ini hanya

terbatas pada kegiatan penelitian, belum dapat dilepas

sebagai komoditas perdagangan bebas. Demikian juga

potensi dan keragaman jenis masih banyak belum tergali

secara optimal, karena keterbatasan sumber daya manusia

yang menekuni bidang hasil hutan bukan kayu, hanya

sedikit dan tersebar di beberapa daerah di propinsi.

Sehingga jalinan komunikasi untuk saling berinteraksi dan

tukar informasi terkendala, untuk saling memajukan

kegiatan pengembangan di bidang hasil hutan bukan kayu.

Untuk mengembangkan hasil hutan bukan kayu

mengingat jenis komoditas sangat banyak mencapai ± 565

komoditas berdasar Permenhut P.35 /Menhut-II/2007,

maka ditetapkan fokus pada jenis unggulan setiap daerah,

penetapan jenis unggulan ini tentu didasari pertimbangan

dan sumber informasi mengenai potensi, peluang untuk

pengembangan serta pelaku usaha pada komoditas

tersebut. Penetapan indikator ini didasarkan atas indikator

dan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri

Kehutanan No. P 21/Menhut-II/2009 yaitu berupa :

1. Aspek yang dinilai mencakup kriteria : ekonomi, kondisi

biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan tek-

nologi yang tercurah dalam pengusahaannya, setiap

kriteria diberi pembobotan, pembobotan meliputi :

IV. PENETAPAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN

5FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 8: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

2. Kriteria ekonomi diberi pembobotan cukup tinggi yaitu

35 %, mencakup nilai perdagangan ekspor, nilai

perdagangan lokal, telah tersedia pasar internasional,

sehingga berbagai kebijakan yang mendukungnya akan

berdampak pada pemasukan devisa tinggi, maupun

peningkatan perekonomian yang mencakup wilayah

serta tenaga kerja dan pelaku usaha tersebar luas.

3. Pembobotan kriteria biofisik dan lingkungan sebesar

15%, meliputi jika komoditas ini diusahakan jaminan

kelestarian biofisik terjaga dan lingkungan yang ada

tetap mendukung jika nilai pembobotan ini rendah

maka pemulihan ekosistemnya masih dapat teratasi.

Terbaik jika masyarakat telah menbudidayakan diluar

areal kawasan hutan.

4. Kriteria kelembagaan sebesar 20%, pembobotannya

meliputi apakah alur tataniaga dan pelaku usahanya

tetap, teridentifikasi secara jelas, sebagai bentuk

badan usaha yang tetap sehingga dalam pembinaan ke

pelaku usaha dapat berjalan lancar dan baik.

5. Pembobotan kriteria sosial 15%, mencakup bagaimana

peranannya dalam tata kehidupan masyarakat

memberi pengaruh terhadap lapangan pekerjaan,

tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat serta

tidak bertentangan dengan adat setempat .

6. Pembobotan kriteria teknologi 15%, mencakup nilai

kegiatan untuk mengusahakan komoditas tersebut,

teknologi yang tercurah dalam proses pengolahannya

masih dapat terjangkau bagi pelaku usaha, baik

kemampuan sumberdaya manusia maupun modal

yang digunakan secara keseluruhan tidak lebih dari

nilai 15%, artinya tidak mempengaruhi proses secara

keseluruhan.

7. Atas dasar nilai-nilai pembobotan tersebut untuk

setiap komoditas, diberikan nilai skoring, sehingga

dapat ditetapkan jenis komoditas unggulan pada setiap

provinsi, kabupaten / kota dan lokasi.

Dalam pengembangannya sesuatu jenis komoditas

dapat menjadi sentra jika unggulan ini memberikan

manfaat dan peningkatan kemajuan perekonomian pada

lokasi daerah penghasil hasil hutan kayu unggulan. Untuk

pengembangan hasil hutan bukan kayu unggulan,

dibentuk klaster-klaster agar pengembangan sarana dan

infra struktur dan pembinaan lebih mudah dan terpantau

terus. Pembentukan klaster ini oleh Kementerian

Kehutanan telah ditetapkan sedikitnya memerlukan waktu

5 (lima ) tahun, dengan pengertian pada tahap I (3 tahun

pertama) persiapan infra struktur, tahap II (tahun ke 4)

tahapan produksi masal sesuatu komoditas di tempat

tersebut dan tahap III (tahun ke 5) kegiatan pengembangan

produksi dan inovasi-inovasi kemajuan produksi.

Pembentukan klaster ini akan terbentuk sentra produksi,

sehingga dapat dikembangkan

( , misal sentra madu lebah di Sumbawa, sentra

rotan di Katingan dan sentra bambu di Bangli serta sentra

gaharu di Bangka Belitung. Dalam kaitan inilah

peningkatan produksi dan kualitas dapat terfokus pada

sentra tersebut.

one village one products

OVOP)

V. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK HASIL HUTAN

BUKAN KAYU UNTUK EKSPOR

Pengembangan pertanaman yang menghasilkan

minyak atsiri, resin, kulit kayu, getah maupun produk

lainnya yang berasal dari tanaman hutan, tidak terlepas

dengan program penetapan unggulan yaitu terkait dengan

kriteria, agar segala program dapat saling terkait dan

mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia,

kelembagaan yang terkait dengan penerapan teknologi

dan kelancaran berproduksi. Hal tersebut perlu didukung

permodalan, sehingga nilai ekonomi yang telah ditetapkan

dapat memberikan hasil dan dapat meningkatkan

kesejahteraan sosial bagi masyarakat ditempat penghasil.

Akhirnya akan mampu berdaya saing, baik tingkat nasional

maupun internasional (Martono, 2010). Selain itu, juga

tidak terlepas keseimbangan dalam pemanfaatan hasil

hutan bukan kayu agar tetap lestari dan tetap memberikan

nilai tambah. Peningkatkan diversifikasi produk lanjutan

agar tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah saja.

Namun sudah menjadi bahan antara atau dapat dipakai

oleh konsumen, sehingga perlu memacu pengembangan

variasi produk dari jenis unggulan. Kestabilan harga pasar

agar lestari perlu menyeimbangkan pasokan dan

kebutuhan. Mengingat selama ini produk hasil hutan

bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, jika

pemungutan berlebih akan menurunkan harga jual.

Pemikiran selama ini, secara umum ketersediaan di

lapangan, orang beranggapan tinggal memungut, maka

pihak aparat pemerintah setempatlah yang mengatur ijin

pemungutan, peredaran dan pemasarannya. Dengan

demikian, pemungutan akan terkendali, diikuti

peningkatan dan fasilitasi budidaya, sehingga dibentuklah

program pelatihan teknik budidaya, pelatihan pengolahan

bahan baku yang lebih efisien dan tetap sesuai standar

produk yang telah ditetapkan dalam Standard Nasional

Indonesia (SNI), misal standar gaharu, standar

gondorukem (terpentin), standar minyak kayu putih,

standar madu, standar minyak gandapura dan lainnya.

Pengembangan hasil hutan bukan kayu yang bebasis

tanaman hutan, telah ditetapkan sesuai pengembangan

kehutanan secara umum, yaitu landasan hukumnya

mengikuti Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007,

mengatur legalitas perhutanan sosial dalam kawasan

hutan negara sebagai upaya pemberdayaan masyarakat

dapat dilakukan melalui Hutan Kemasyarakatn (HKm),

Hutan Desa (HD) dan pola Kemitraan. Adapun kegiatan

yang berkaitan dengan Hutan Kemasyarakatn mengikuti

Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut -II/2007

serta Peraturan Menteri Kehutanan pada Permenhut

No.P.18/Menhut-II/2009 dan Permenhut No. P 13/

Menhut-II/2010 yaitu dapat dilakukan pada kawasan

hutan dan diluar kawasan, baik pada kawasan hutan

produksi mapun kawasan yang dicadangkan sebagai zona

penyangga.Pada kawasan taman nasional maupun pada

kawasan hutan lindung, pemanfaatan untuk mengusaha-

kan lahan yang diatur oleh pihak pemerintah daerah

dengan tetap sesuai program dari pusat, yaitu tetap

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �6

Page 9: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

menjaga fungsi, tidak berubah dari fungsi sebelumnya,

dan ttap memperhatikan keterkaitan dengan masyarakat

sekitar hutan tersebut. Sebagai pelaku usaha dapat

membentuk koperasi maupun kelompok atau gabungan

dari beberapa kelompok tani, yang mengusahakan

diantara pertanaman pohon hutan (dapat berupa

tumpang sari) asalkan pada areal tersebut belum

terbebani izin pemanfaatan lain atau izin pengelolaan lain.

Selain itu dapat dikembangkan sebagai Hutan Desa yaitu

pada kawasan hutan yang kondisinya rusak tetapi dapat

dimanfaatkan untuk pertanaman usaha budidaya

tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu, justru bagi

kelompok inilah yang diberi bantuan permodalan berupa

kredit ringan dengan pengembalian berjangka sesuai lama

pengusahaan. Hingga saat ini pihak pemerintah

(Kementerian Kehutanan) telah mentargetkan sebesar

400.000 hektar namun baru terealisasi, setelah di evaluasi

dan diverifikasi tahun 2010 seluas 203.573,18 Ha, pada 17

Provinsi, 46 kabupaten. Hingga tahun 2010 perluasan

tanaman hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan telah

ditetapkan berdasar SK Menhut seluas 31.879,36 ha

meliputi 88 unit pada 11 kabupaten (Ditjen RLPS, 2010).

Hal tersebut pada hakekatnya sebagai upaya

pelaksanaan program komitmen RI di tingkat

internasional, yaitu penurunan emisi sebesar 26% dan

pihak Kementerian Kehutanan sebesar 14%, dalam bentuk

pembangunan hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa,

hingga tahun 2014 target 2,5 juta hektar (Renstra

Kementerian Kehutanan). Untuk pembangunan kegiatan

ini telah ditetapkan dalam peraturan Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu Perdirjen

RLPS P.01/2010. Untuk mendukung program ini telah

ditetapkan juga kebun bibit rakyat 50 ribu hektar dengan

target tahun 2010 sebanyak 8.000 desa untuk dapat

melaksanakan kegiatan tersebut. Diharapkan dengan

strategi tersebut pengembangan pertanaman penghasil

hasil hutan bukan kayu berbasis tanaman hutan juga

memacu pengembangan kehutanan secara umum dalam

pengurangan emisi nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, J.E. and M, Ruiz Perez. 1998. The role of Non

Timber Forest Products in conservation and

development pp. 17-41 in Income from the forest

Wolenberg, E. and A. Ingles (eds) CIFOR/IUCN Bogor

Indonesia.

Badan Pusat Statistik, 2004.

1999-2003. Jakarta.

Bina Produksi Kehutanan, 2009. Kebijakan pemungutan

hasil hutan bukan kayu. Seminar Sosialisasi

Pengusahaan Hasil Hutan Kayu. Direktorat Pengolahan

dan Pemasaran. Swiss Bell Hotel, Palu Juni 2009.

Departemen Pertanian, 1999.

1998-2000, Jakarta.

Godoy, R. R.Lubowski and A.Markandya. 1993. A Method

for the economic valuation of Non Timber Forest

products. Econ.Bot.47 (3)220-233.

Gunther, E. 1952. , Vol. IV, Van Nastrand

co, Inc. New York.

Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.48 .tentang Pembentukan Hutan

Desa.

Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan

No. P. 35. tentang penetapan jenis-jenis hasil hutan

bukan kayu yang dapat diusahakan.

Lembaran Negara, 2007. Peraturan Pemerintah No. 6

Tahun 2007. tentang Legalitas Pehutanan Sosial dalam

Kawasan Hutan Negara.

Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan

No. 37 tentang Pembentukan Hutan Kemasyarakatan.

Martono,D. 2010. Pengembangan Industri Minyak Atsiri

Berbasis Tanaman Hutan. Prosiding Konferensi

Nasional Atsiri. Dewan Atsiri Indonesia, 21-24 Oktober

2010, Bandung.

Odum, E.P. 1971.Fundamental of Ecology, 3'd

Ed.W.B.Saunders Company San Fransisco pp. 128-137,

145-195.

Rohadi, D. B. Belcher, M, Ruis Perez dan R, Achdiawan.

1999. Studi perbandingan kasus-kasus pengusahaan

hasil hutan bukan kayu di Indonesia. Seminar Ekspose

Hasil-hasil Penelitian Kerja sama Luar Negeri. Badan

Litbang kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 24-25

Nopember 1999.

Perkembangan ekspor minyak

atsiri Indonesia

Statistik Perkebunan

Indonesia

The Essential Oils

7FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 10: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Tajuk Utama

engan makin terbatasnya jumlah dan izin eksploitasi

kayu, maka produk-produk non kayu terus coba di-

kembangkan, baik oleh pemerintah maupun sektor

swasta. Dalam perkembangannya, beberapa produk-

produk non kayu, atau lebih dikenal sebagai Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK) termyata memiliki nilai ekonomis yang

cukup tinggi. Diantaranya adalah gaharu, damar, rotan,

tengkawang, kemiri, kluwek (picung) dan nyamplung.

Keluanya Peraturan Menteri Kehutanan nomor

P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) telah menjadi payung dalam kegiatan penelitian

dan pengembangan HHBK di Indonesia. Mengacu pada

Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, HHBK didefinisi-

kan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani

beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang

berasal dari hutan.

Salah satu HHBK yang potensial untuk dikembangkan

berdasarkan Kepmenhut tersebut adalah HHBK minyak

lemak. Secara keseluruahn ada 19 produk hasil hutan

hutan yang menghasil minyak lemak dalam Kepmenhut

tersebut dengan berbagai fungsinya. Secara garis besar,

pemanfaatan minyak lemak tersebut terbagi menjadi lima

kategori utama, yaitu sebagai bahan makanan, obat,

energi, kosmetik dan material lainnya. Berdasarkan

bagian tumbuhan yang diambil, terdiri dari tiga bagian

utama, yaitu biji, buah dan daun. Berikut adalah 19 jenis

HHBK penghasil minyak lemak beserta kegunaannya.

Balam adalah jenis tumbuhan langka asli Indonesia

yang tersebar di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan

Kalimantan Timur. Jenis ini dikenal dengan banyak nama,

yaitu Balam, Suntai, Balam Putih, dan Balam Suntai.

Tumbuhan ini di Pulau Kalimantan dikenal sebagai Beitis,

Margetahan, Nyato, Nyatoh, Nyatoh Jangkar. Nama

Nyatoh juga digunakan untuk menyebut jenis ini di

Malaysia.

Balam adalah salah satu jenis langka yang dilindungi

sejak tahun 1972 (berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian Nomor: 54/Kpts/Um/2/1972). Jenis yang

:

1. BALAM ( ), Famili:

Sapotaceae

Palaquium walsurifolium

Ary Widiyanto dan Mohamad Siarudin

Oleh:

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis

Email: [email protected]

HHBK Minyak Lemak,

Potensi Yang Perlu DIKEMBANGKAN

memiliki kayu bernilai ekonomi tinggi ini belum dibudi-

dayakan oleh masyarakat, dan tidak termasuk dalam jenis

yang dikembangkan melalui hutan tanaman.

Biji balam mengandung minyak lemak 30-45 % ter-

gantung dari teknik pengolahannya. Lemak dari biji balam

memiliki rasa pahit sehingga tidak digunakan untuk

makanan. Masyarakat tradisional di Bengkalis memanfaat-

kan lemak ini sebagai bahan bakar obor.

Pemanfaatan lain dari jenis balam adalah sebagai

bahan baku kayu pertukangan. Kayu balam termasuk jenis

komersil yang memiliki kualitas yang baik dengan kelas

awet IV dan kelas kuat II

Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo

Pasifik, mulai dari Seychelles hingga Polinesia Perancis.

Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah lain selain

yaitu

(L.) Raf. Sylva Telluriana.

Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai

dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan

Maluku Jenis ini juga dikenal dengan berbagai nama

daerah antara lain Kanyeri Putih (Bali), Bilutasi (Timor),

Wabo (Ambon), Goro-goro guwae (Ternate), Madangkapo

(Minangkabau), Bintan (Melayu), Lambuto (Makasar) dan

Goro-goro (Manado).

2. BINTARO ( ). Famili: ApocynaceaeCerbera manghas

Cerbera

manghas, Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera,

dan Odollamia manghas

.

.

BALAM

D

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �8

Page 11: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang

cukup tinggi yaitu mencapai 54,33%. Kandungan minyak

tersebut merupakan potensi yang cukup baik untuk

dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap 1 kg minyak

Bintaro dapat dihasilkan dari 2,9 kg biji bintaro yang

didapat dari 36,4 kg buah bintaro tua.

Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat

dikembangkan sebagai briket arang. Cangkang pada buah

bintaro yang dapat dimanfaatkan sebagai briket arang ini

dapat berasal dari buah muda maupun tua. Setelah

cangkang di jemur, kemudian dikarbonisasi serta ditumbuk

agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk

menjadi briket dengan menambahkan perekat.

Buah bintaro tidak dapat dimanfaatkan sebagai

makanan karena mangandung racun. Nama pada

nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan

pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang

merupakan racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan

bahkan menyebabkan kematian. Oleh karenanya buah

bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan

racun untuk berburu.

Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan

pada buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya.

Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan

300 kg buah setiap tahun. Berat biji bintaro sekitar 79,7

gram dari setiap kilogram buah bintaro tua. Sejauh ini

pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan

dan belum diketahui potensi produksi buah bintaro di

Indonesia.

Buah merah dikenal sebagai tanaman yang banyak

tersebar di Papua dan Papua Nugini. Persebarannya di

Papua meliputi daerah Baliem Wamena, Talikora,

Pegunungan Bintang, Yahukimo, Jayapura, Sorong dan

Manokwari. Tanaman ini di Wamena dikenal dengan nama

Sauk Eken atau Kuansu dan di Lembah Baliem disebut Tawi.

Buah merah saat ini telah dikembangkan di beberapa

cerberra

cerberin

3. BUAH MERAH ( , Famili:

Pandanaceae

Pandanus conoideus)

wilayah di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan

Sumatera.

Bagian daging biji buah merah dapat menghasilkan

minyak lemak hingga 51% per berat kering kernel. Pada 3

jenis buah merah yang unggul, yaitu Mbarugum, Maler

dan Magari, ekstrak minyak yang dihasilkan cukup tinggi

dengan rata-rata 120 ml/kg buah atau rendemen minyak

15%. Berdasarkan produktifitasnya, ketiga jenis buah

merah unggul ini dapat memproduksi 5-10 butir buah per

rumpun, dengan ukuran buah cukup besar yaitu diameter

10-15 cm dan panjang 60-110 cm. Buah merah dapat

memproduksi buah mulai 3-5 tahun dengan umur buah

sampai panen 3-4 bulan.

Ekstrak buah merah dapat dimanfaatkan sebagai obat,

makanan suplemen dan bahan material. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh beberapa ahli kesehatan dan gizi

menunjukkan bahwa ekstrak buah merah mengandung

antioksidan dan senyawa lain penangkal terbentuknya

radikal bebas dalam tubuh. Minyak buah merah terbukti

secara medis dapat mengobati beberapa penyakit seperti

kanker, HIV, malaria, kolesterol dan diabetes. Selain itu

minyak buah merah juga dapat dimanfaatkan sebagai

penyedap masakan yang bernilai gizi tinggi (mengandung

beta-karoten), serta dapat dimanfaatkan sebagai pewarna

alami yang tidak mengandung logam berat dan

mikoroorganisme yang berbahaya.

Ekstraksi minyak pada buah merah dapat dilakukan

dengan teknik sederhana, yaitu dengan menumbuk biji

atau menggunakan alat tekan. Sebelumnya biji buah

merah dipisahkan dari empulurnya. Bagian daging biji

buah merah inilah yang mengandung minyak. Daging biji

buah merah setelah ditumbuk diberi air secukupnya

kemudian disaring dan dimasak. Selama proses

pemasakan, dilakukan pengadukan dan penambahan air.

Minyak akan terbentuk setelah air mendidih, selanjutnya

dilakukan penyaringan 3-4 kali hingga didapatkan minyak

yang bersih.

Croton merupakan salah satu tanaman yang dikenal di

wilayah bagian barat Indonesia. Di pulau Jawa, jenis ini

umumnya ditemukan di daerah pegunungan rendah.

Croton juga dikenal dengan beberapa nama daerah seperti

“Jarakan” (Banjarmasin), “Kayu Bulan” (Palembang), “Ki

Jahe”, “Calik Angin” (Sunda), “Prakosa”, “Tapen”, “Walik

Angin” (Jawa), dan “Pas-kapasan” (Madura).

4. CROTON ( ), Famili: EuphorbiaceaeCroton argyratus

BINTARO

BU

AH

ME

RA

H

KELOR

KEMIRIKENARI

KETAPANG

9FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni

Page 12: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Masyarakat Banten pada jaman dulu menggunakan biji

croton untuk minyak lampu. Kayu croton memiliki kualitas

yang rendah, tetapi masyarakat kadang menggunakan

untuk kontruksi ringan pada bangunan rumah.

Kelor merupakan tanaman yang disebut berhabitat asli

di bagian barat Himalaya. Tanaman ini banyak

dibudidayakan di daerah-daerah panas di seluruh dunia.

Di Indonesia, tanaman ini banyak dijumpai di Aceh,

Kalimantan, Ujung Pandang dan Kupang.

Pohon kelor mulai berbuah pada umur 1 tahun setalh

penanaman. Pohon yang berumur 3 tahun dapat

menghasilkan 400-600 polong setiap tahunnya. Pohon

dewasa dapat menghasilkan 1600 polong per tahun.

Sementara itu beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa kadar minyak yang dihasilkan biji kelor mencapai

lebih dari 35 %.

Minyak lemak kelor memiliki potensi sebagai bahan

bakar nabati. Rendemen minyak kelor berkisar antara

21,38% sampai dengan 35,83%. Analisis pada minyak biji

kelor ini menunjukkan berat jenis sebesar 0,89-0,91 gr/ml,

kandungan asam lemak bebas (%FFA) 2,07-4,78%, nilai

angka penyabunan 8,56-107,54 mgKOH/g, bilangan asam

0,040-0,095 mgKOH/g, dan viskositas 29,36-54,99 cst.

Manfaat lain dari biji kelor adalah sebagai bahan

penjernih air. Biji kelor yang ditumbuk menjadi serbuk

dapat dimanfaatkan untuk koagulan alami dalam

pengolahan air bersih. Biji kelor dengan dosis 6 biji/Liter

dapat menurunkan kekeruhan hingga 90,46 % dan

menurunkan jumlah bakteri Coliform hingga 87,65%.

Sementara itu bagian akar, batang, buah dan daun

dikenal memiliki gizi tinggi dan menjadi sumber pangan

alternatif. Daun kelor adalah salah satu bagian tanaman

yang biasa dikonsumsi masyarakat sebagai lalapan. Setiap

100 gram daun kelor mengandung 3390 SI vitamin A (2 kali

lebih tinggi dari kandungan vitamin A pada bayam, dan 30

kali lebih tinggi dari buncis). Daun kelor juga mengandung

kalsium 440mg/100g dan fosfor 70mg/100g.

Kemiri merupakan tanaman yang secara alami tersebar

di Asia Tenggara, Polinesia, Asia Selatan dan Brazil. Di

Indonesia tanaman ini tersebar hamper di seluruh daerah

mulai Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa

tenggara Timur, dan Papua. Nama Kemiri dikenal untuk

5. KELOR ( ), Famili: Moringaceae

6. KEMIRI ( ), Famili: Euphorbiaceae

Moringa oleifera

Aleurites moluccana

menyebut tanaman ini oleh masyarakat suku Jawa dan

Melayu, yang kemudian sebutan ini lebih banyak

digunakan secara nasional. Namun demikian, tanaman ini

memiliki beberapa nama lokal seperti Kameri (Bali), Anoi

(Papua), Keminting (Kalimantan), Engas (Ambon), Sakete

(Ternate), Hagi (Buru), Kereh (Aceh), Hambiri (Batak),

Kemling (Lampung), Buah Koreh (Minangkabau) dan Sapiri

(Makasar).

Inti biji kemiri mengandung minyak dengan kadar

mencapai 60%. Setiap pohon kemiri dapat memproduksi

30-80 kg biji kemiri. Minyak biji kemiri ini dikenal sebagai

dalam perdagangan internasional. Minyak

kemiri dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan kayu,

bahan cat dan pernis, pelapis kertas, dan bahan sabun.

Selain potensi minyak lemak, pohon kemiri yang

memiliki umur produktif mencapai 25-40 tahun ini

mempunyai beragam kegunaan pada hampir semua

bagian pohonnya. Kayunya yang cukup ringan, berserat

halus dan berwarna putih dapat dimanfaatkan sebagai

bahan bakar, bahan baku pembuatan , peti kemas,

korek api dan pulp. Daunnya digunakan oleh masyarakat di

Sumatera untuk obat sakit kepala dan

Masyarakat Ambon dan Jawa menggunakan korteknya

(bagian tumbuhan yang terletak antara kulit luar dengan

silinder pusat) sebagai obat anti tumor, diare, sariawan dan

desentri. Buah kemiri dimanfaatkan oleh masyarakat luas

sebagai bumbu masak yang memiliki kandungan gizi dan

minyak yang tinggi. Daging biji, daun dan akar kemiri

mengandung saponin, flavonida dan polifenol.

Kenari merupakan tanaman buah tropis yang tumbuh

di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia, Malaysia dan

Philipina. Di Indonesia, pohon kenari banyak terdapat di

Maluku, juga di beberapa daerah lain seperti Kangean,

Bawean, Flores, Timor, Wetar, Tanimbar, Sulawesi. Kenari

terdapat juga di beberapa kota seperti Bogor, Medan dan

Mataram yang ditanam sebagai pohon peneduh di pinggir

jalan.

Satu pohon kenari dewasa dapat menghasilkan 50 kg

biji per tahun. Biji kenari pada umumnya mengandung 60-

70% minyak, tergantung pada varietas, tempat tumbuh

dan pemeliharaan yang dilakukan. Keping biji (kotiledon)

kenari sekitar 4,1 - 16,66% dari berat buah utuh. Kotiledon

tersebut selain mengandung 60-70% lemak, juga

mengandung sekitar 8 % karbohidrat dan 11,5-13,9%

candlenut oil

plywood

gonnorhea.

7. KENARI ( ), Famili: BurseraceaeCanarium odoratum

LEN

A

MAKADAMIA

NYAMPLUNG

NYATOH

PICUNG DAUN BIJI SA

GA

PO

HO

N

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �10

Page 13: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

protein.

Pohon kenari mempunyai beragam kegunaan. Kayunya

yang memiliki berat jenis 0,55 dan termasuk dalam kelas

kekuatan III dan kelas keawetan IV dapat digunakan untuk

papan, bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai dan

papan dinding. Kulit batangnya mengeluarkan getah/resin

seperti damar jika diiris. Getah berwarna putih pada

awalnya, kemudian seperti lilin yang berwarna kuning

pucat dan bertekstur lunak. Minyak resin beraroma wangi

dan dapat dimanfaatkan untuk industri parfum atau

pewangi sabun meskipun hingga saat ini belum dilakukan

dalam skala luas. Minyak resin juga dapat dimanfaatkan

untuk pembersih rambut, bahan pembuatan dupa, serta

obat gosok untuk mengobati gatal-gatal. Pemanfaatan

getah/gum kenari yang lebih dikenal adalah untuk bahan

plaster farmasi daan salep serta memberikan sifat mantap

dalam vanish.

Manfaat lain yang cukup potensial dari jenis kenari

adalah pada bagian biji. Biji kenari mengandung asam

(ALA) yang merupakan salah satu tipe asam

lemak omega 3. Kandungan ALA dalam kenari lebih tinggi

dibanding sumber yang lainnya seperti kedelai, biji rami,

ikan laut dan beberapa sayuran hijau. Selain itu, biji kenari

juga mengandung zat anti peradangan (polifenol) yang

lebih tinggi daripada anggur merah, serta kaya protein

dbandingkan protein yang dikandung daging ayam.

Mengkonsumsi biji kenari diyakini dapat mencegah kanker

prostat, memperlambat dan menghentikan pertumbuhan

tumor, meningkatkan kinerja arteri, mengurangi kolesterol

buruk, meningkatkan pertumbuhan otot dan imunitas

tubuh, serta mengoptimalkan fungsi sel-sel otak.

Ketapang dikenal sebagai tumbuhan asli Asia Tenggara

termasuk Indonesia, namun tanaman ini telah

dikembangkan di Australia Utara, Polinesia, Pakistan,

India, Afrika Timur dan Barat, Madagaskar dan dataran

rendah Amerika Selatan dan Tengah. Di Indonesia,

tanaman ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia

kecuali di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan

yang jarang ditemukan di alam. Beberapa nama lokal

tanaman ini yang dikenal antara lain Hatapang (Batak),

Katafa (Nias), Katapieng (Minangkabau), Lahapang

(Simeulue), Ketapas (Timor), Atapan (Bugis), Talisei,

Tarisei, Salrise (Sulawesi Utara), Tiliso, Tiliho, Ngusu

(Maluku Utara), Sarisa, Sirisa, Sirisal, Sarisalo (Maluku),

Lisa (Rote), dan Kalis, Kris (Papua).

Biji ketapang dapat mengandung minyak dan dapat

dimakan. Biji ketapang memiliki rasa yang mirip dengan biji

almond dan berpotensi untuk mengganti biji almond

untuk bahan makanan kue. Biji ketapang mengandung

minyak sekitar 50% dari bobot biji kering. Minyak dari biji

ketapang berwarna kuning, mengandung asam-asam

lemak seperti palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam

linoleat, asam stearat, asam miristat, serta berbagai

macam asam amino.

alpha-linolenic

8. K E TA PA N G ( ) , Fa m i l i :

Combretaceae

Te r m i n a l i a ca ta p p a

Bagian lain dari pohon ketapang juga memiliki manfaat

yang beragam. Kayunya keras dan ulet, ringan sampai

sedang dengan berat jenis berkisar antara 0,47-0,68 dan

sering dimanfaatkan sebagai bahan lantai atau vinir. Di

Indonesia, kayu ketapang digunakan oleh masyarakat

pesisir sebagai bahan pembuatan perahu. Kulit batang dan

daun ketapang dapat dimanfaatkan sebagai penyamak

kulit dan pewarna alami. Daunnya dapat digunakan

sebagai obat rematik. Kulit batang dan daun mengandung

tannin yang dapat dimanfaatkan sebagai astrigen pada

disentri dan sariawan, sebagai diuretic dan kardiotonik dan

juga sebagai obat luar pada erupsi kulit.

Ketiau tumbuh secara alami di Malaysia dan Indonesia.

Di Malaysia jenis ini disebut Nyatoh Katiau, sedang di

Indonesia disebut Ketiau. Di Indonesia, setidaknya ketiau

telah dikenal keberadaannya di bagian Barat Nusantara,

terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Biji ketiau dengan berat rata-rata 0,34 g terdiri dari

68% inti dan mengandung minyak 51,3%. Minyak ketiau

ini memiliki aroma yang kuat dan memiliki rasa seperti

mentega dan telah lama dimanfaatkan masyarakat

Banjarmasin sebagai bahan makanan

Ketiau yang berasal dari Banjarmasin telah dikenal

produk getahnya dalam perdagangan Internasional sejak

tahun 1910. Getah ketiau yang berasal dari Banjarmasin

dilaporkan mengandung 16,27% gutta, 75,43% damar dan

8,3% air. Pohon ketiau setinggi 20 m dengan diameter

batang 55 cm dapat menghasilkan getah sekitar 2 kg, yang

diambil pada bagian kulitnya. Di Hutan-hutan pedalaman

Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, getah ini

dikenal dengan istilah “getah nyatu”, yang merupakan

bahan baku berbagai kerajinan.

Kayu ketiau berwarna coklat kekuningan atau

kemerahan, dengan serat kasar tapi mudah dikerjakan.

Masyarakat biasanya memanfaatkan kayu ketiau sebagai

bahan bangunan yang terlindung di bawah atap.

Lena tumbuh di daerah tropis seluruh dunia dan daerah

lain seperti Lautan Tengah, negara-negara bagian Amerika

Serikat sebelah selatan dan di Mansyuria. Di Indonesia,

jenis ini telah diperdagangkan sejak lama di daerah Jawa,

Madura, dan Sulawesi Selatan. Tanaman ini lebih dikenal

sebagai tanaman Wijen dalam perdagangan.

Tanaman lena dikenal sebagai penghasil biji wijen yang

dapat dipanen setelah kira-kira berumur 5 bulan. Produksi

biji wijen dilaporkan beragam dengan rata-rata sekitar 7

pikul per bahu (1 bahu = 7000 m ). Pengembangan varietas

unggul jenis wijen terus dilakukan untuk meningkatkan

produktifitasnya. Sebagai gambaran, salah satu varietas

unggul wijen (Sumberrejo I) memiliki potensi produksi 1-

1,6 ton/ha dengan kadar minyak 56,10% dan didapat pada

umur panen 90-110 hari.

Biji wijen dari tanaman lena paling banyak

dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Jenis ini dikenal

9. KETIAU ( ), Famili: Sapotaceae

10. LENA ( ), Famili: Pedaliaceae

Ganua motleyana

Sasanum orientale

2

.

11FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni

Page 14: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

sebagai sumber minyak nabati dengan kandungan minyak

35-63%, protein 20%, 7 jenis asam amino, lemak jenuh

14%, lemak tak jenuh 85,8%, fosfor, kalium, kalsium,

natrium, besi, vitamin B dan E, antioksidan dan alanin atau

lignin. Biji wijen ini dipercaya dapat memulihkan stamina

badan yang lemah setelah sakit. Selain itu masyarakat juga

memanfaatkan rebusan biji wijen untuk mengobati sakit

batuk. Sementara itu bagian daun dapat dimanfaatkan

untuk obat sakit kepala dan demam dengan cara digiling

dan ditempelkan pada dahi.

Minyak yang dihasilkan dari biji wijen dapat di-

manfaatkan untuk minyak salada, minyak goreng, dan

minyak rambut (setelah dicampur dengan minyak

aromatic), minyak lampu dan bahan pembuatan sabun.

Minyak wijen juga dapat dimanfaatkan untuk obat gosok

untuk menyembuhkan encok. Selain itu, minyak wijen

dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri plastik,

margarin, sabun, kosmetik dan pestisida.

Makadamia ( sp.) berasal dari Australia,

Kaledonia Baru dan Indonesia. Di Australia ditemukan

lima spesies yaitu

dan tiga spesies berasal dari

kaledonia baru (

serta satu spesies dari Indonesia, yaitu Di

Indonesia, makadamia banya terdapat di daerah Sulawesi

Tengah danSumatera Utara, dan dikenal sebagai “buah

tahan api”. Di Sulawesi, makadamia dikenal dengan banyak

nama yaitu kayu dan kanjole.

Dalam keadaan baik, pohon dewasa dapat

menghasilkan 136,36 kg biji/tahun dan dalam keadaan

kurang,, misalnya akibat cuaca berangin sehingga banyak

bunga yang rusak hanya dapat menghasilkan antara 22,73 -

90,91 kg biji/tahun. Minyak makadamia merupakan bahan

makanan yang banyak digunakan dalam industri makanan

karena memiliki nilai gizi yang baik dengan kadar protein

tinggi. Berkat rasanya yang manis, lembut dan berlemak,

makadamia biasa dimanfaatkan sebagai campuran sajian

penutup ( ). Minyak makadamia juga digunakan

secara langsung dengan cara memercikkannya di atas

hidangan ikan atau sayuran.

Kacang makadamia mempunyai kandungan lemak

sehat 70% dan protein 8%. Kacang makadamia

mengandung pati, kalsium, zat besi, fosfor, magenesium,

dan tiamin. Minyak makadamia sering digunakan sebagai

penunjang terapi alami pemulihan kacanduan alkohol,

pemulihan gangguan hati/liver, mengatasi gangguan

anemia dan membersihkan saluran pembuluh nadi

jantung. Hasil studi menunjukan, mengonsumsi sekitar

40 gr kacang makadamia (setara 305 kalori), dapat me-

nurunkan kolesterol jahat (LDL) hingga 9% dalam waktu

5 minggu.

Mimba tumbuh alami di berbagai

daerah di Indonesia dan telah dibudidayakan, khususnya di

11. MAKADAMIA ( sp.), Famili: Proteaceae

12. MIMBA ( ), Famili: Meliaceae

Macadamia

Azadirachta indica

Macadamia

M. hejana, M. whalani, M. ternifolia, M.

tetraphylla M. pracalta,

M. rousellii, M. vinilardii dan M. francii)

M. hildebrandii.

perande, tinapu, balomatoa,

dessert

(Azadirachta indica)

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �12

MIMBA

Jawa dan Bali. Mimba memiliki nama, yaitu:

(jawa), (madura),

(bali). Di Inggris dan Belanda, mimba dikenal dengan nama

Pada pembuahan pertama, tanaman menghasilkan

9 kg buah/pohon, kemudian tahun-tahun berikutnya

meningkat menjadi 30 - 50 kg buah/pohon. Dari 30 kg

buah mimba, dapat diperoleh 6 kg minyak mimba dan

24 kg bahan kering, atau rendemen minyak sebesar 20%.

Di India, dari sekitar 14 miliar pohon mimba dapat

dihasilkan 3.000 ton minyak mimba dan 330.000 ton bahan

kering per tahun.

Minyak dari biji mimba bisa digunakan sebagai obat

penyakit kulit. Jumlah minyak dari biji mimba diperkirakan

separuh dari berat bijinya. Minyak yang dihasilkan berupa

cairan yang tidak mengering berwarna kuning tua, berbau

kurang enak seperti bawang putih dan berasa pahit dan di

eropa dikenal sebagai minyak . Minyak ini jika

didiamkan agak lama akan terpisah sedikit lemak padat.

Kegunaan minyak ekstrak dari biji mimba adalah sebagai

obat luar untuk mengobati penyakit kulit, juga sebagai

salah satu bahan baku pembuatan sabun kesehatan,

karena minyak ini mengandung kadar belerang sebesar

0,4%. Meskipun demikian jarang digunakan dalam industri

sabun karena proses ekstraksinya yang cukup lama,

disamping bau yang ditimbulkan tidak enak sehingga

dikhawatirkan akan menimbulkan polusi udara.

Pohon mimba mempunyai beragam kegunaan.

Kayunya yang keras diolah menjadi komponen bahan

bangunan dan perabot rumah tangga. Rebusan kulit

batangnya menjadii obat demam. Getah dari kulit mimba,

yang berbentuk gumpalan-gumpalan bening berwarna

coklat muda berfungsi sebagai obat penyakit lambung dan

banyak digunakan sebagai perekat.

Daunnya sangat pahit tapi bisa digunakan sebagai

makan ternak. Selain itu rebusan daun mimba ini dapat

digunakan sebagai pembangkit selera makan dan obat

malaria dan jika dimasak bersama beras dapat diolah

menjadi bubur yang menyehatkan Ekstrak daun mimba

biasa digunakan sebagai campuran pestisida alami untuk

mengawetkan kayu.

Pohon nyamplung tumbuh di Asia Tenggara, India,

Afrika, Australia Utara, Quessland Utara dan negara

lainnya. Di Indonesia pohon nyamplung tumbuh alami di

Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera, Selatan, Lampung,

Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi,

Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pohon ini

mimba

membha, mempheuh mimba, intharan

Margosier, margosa tree.

margosa

13. NYAMPLUNG ( ), Famili:

Guttiferaceae

Calophyllum inophyllum

Page 15: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

memiliki banyak nama daerah, yaitu:

(Sumatera), (Jawa),

(Kalimantan), (Sulawesi), (Maluku),

(NTT).

Biji Nyamplung segar mengandung minyak sekitar 40 -

55%, sedang pada biji kering kandungan minyaknya 70 -

73%. Bahan aktif yang terkandung pada biji adalah

Inophylum A-E, Calophylloide dan Asid calophynic.

Kandungan lain dalam jumlah kecil antara lain, 7-

beksahidro-1, 6 dimetil-4 (1-metilletil) naftalin, cubebene,

selinene, calerene, farnesene, scadinene, bourbonene,

zingiberene, copaene, murelene, sesquiphellandrene,

octadecanal, heksadecane, farmesol. Berat jenis 0,941 -

0,945; angka iodium 82 - 98; angka penyabunan 192 - 202,

titik leleh 8°C. Komposisi asam lemak (%-b) : oleat 48 - 53,

linoleat 15 - 24, palmitat 5 - 18, stearat 6 - 12.

Minyak nyamplung berwarna hijau gelap atau kuning

kebiru-biruan. Minyak Nyamplung dinamakan juga minyak

tamanu (Tahiti), minyak undi (India), minyak domba

(Afrika). Minyak nyamplung mentah mengandung

komponen yang aktif mempercepat kesembuhan luka atau

pertumbuhan kulit ( ) dan obat kurap. Selain

itu, minyak sangat potensial untuk dikembangkan sebagai

bahan bakar alami atau .

Pemanfaatan lain dari pohon nyamplung adalah

kayunya yang termasuk kayu komersial yang dapat

digunakan untuk perkapalan, balok, tiang, papan lantai

dan papan pada bangunan perumahan dan bahan

kontruksi ringan.

Nyatoh ( ) merupakan tanaman yang

tumbuh di banyak tempat di Indonesia. Nyatoh ditanam

oleh masyarakat di berbagai daerah, khususnya Jawa,

Kalimantan dan Bali. Pohon ini memiliki nama, yaitu;

(jawa), (madura), (bali).

Minyak nyatoh bisa digunakan untuk berbagai

keperluan seperti memasak dan bahan bakar lampu

minyak untuk penerangan. Pohon nyatoh mempunyai

beragam kegunaan. Kayunya yang cukup keras banyak

bintangur

nyamplung, soulatri bentangur

bintula pataule, bitaur

bentango, samplong

cicatrization

biodiesel

Palaquium javense

kawang, nyatu nyatoh klesi

14. NYATOH ( ), Famili: SapotaceaePalaquium javense

digunakan sebagai bahan pembuat gamelan dan perkakas

rumah tangga yang cukup bagus. Bijinya bisa menghasilkan

m i nya k ya n g d a p a t d i p e ro l e h d e n ga n c a ra

memasak/merebus bijinya.

Picung ( ) adalah tanaman buah yang

tumbuh di banyak negara tropis khususnya Malaysia dan

Indonesia. Nama lain picung adalah (Indonesia)

dan (Malaysia). Di Indonesia, picung ditanam oleh

masyarakat di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa,

Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Nama daerah untuk

tanaman ini adalah: (Sumut),

(Jakarta),

(Sumbar), (Lampung),

(Jabar), (Jatim/Jateng), (Madura),

Bali), (NTB/Sulsel).

Pohon ini baru berbuah setelah berumur 15 tahun dan

jatuh pada awal musim hujan dengan jumlah rata-rata

diatas 300 buah/pohon. Biji picung dapat mengeluarkan

minyak, dengan cara direbus dalam air selama 2-3 jam

kemudian dikupas dan dibuang noda-noda hitam yang ada

di bagian inti biji. Kemudian initi biji yang sudah bersih

direndam dalam air selam 24 jam. Setelah jemur inti biji

sampai mengeluarkan minyak jika dipijit. Jika kondisi sudah

seperi ini maka minyak bisa diekstrak dengan cara

dikempa/tekan.

Minyak dari biji picung mengandung asam sianida

dengan dosis tinggi, yang dapat berfungsi sebagai

antiseptik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang

baik. Minyak biji picung bisa dipakai sebagai pengganti

minyak kelapa. Minyak ini juga bisa dipakai untuk berbagai

penggunaan, seperti menggoreng, memasak, penerangan

pada lampu minyak, pengobatan beberapa penyakit,

khususnya encok dan penyakit kulit. Penyimpanan yang

baik pada botol tang tertutup rapat akan memperpanjang

keawetan minyak dan mencegak minyak berbau tengik,

seperti pada minyak kelapa.

Pohon picung juga mempunyai beragam kegunaan.

Kayunya yang kurang awet, sehingga hanya digunakan

untuk keperluan yang tidak memerlukan keawetan seperti

pembuatan korek api. Kulit kayu dan daun pohon picung

juga bisa dipakai sebagai racun/tuba ikan yang dipakai

dengan cara meremas dan menaburkannya. Daunnya juga

bisa dipakai sebagai pestisida nabati yang cukup efektif

dan tidak meninggalkan bau atau rasa apapun setelah

dilakukan perlakuan. Pada luka, untuk mencegah infeksi

dari organisme-organisme dan bakteri maka ekstrak daun

ini bisa dibalurkan, baik untuk manusia maupun binatang.

Daunnya juga berfungsi sebagai pengawet. Di beberapa

daerah digunakan untuk mengawetkan daging, dengan

cara membungkus daging dengan daun ini.

Biji picung bisa digunakan sebagai bahan pengawet

ikan. Caranya, cincang biji picung sampai halus dan dijemur

selama 2-3 hari, kemudian ikan yang akan diawetkan

dibersihkan bagian perutnya dan rongga perutnya diisi

dengan cincangan biji picung tadi. Hal ini berguna

15. PICUNG ( ), Famili: FlacourtiaceaePangium edule

Pangium edule

kepayang

pangi

pangi, hapesong pucung

kapayang, kapeunceung, kapecong, simaung

kayu tuba buah pacung, picung

pakem, pucung pakem

pangi ( kalowa

SUNTAI POHON

13FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni

Page 16: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

terutama jika ikan tersebut akan dikirim/dijual ke tempat

lain yang cukup jauh. Caranya, ikan yang akan diangkut

ditata didalam keranjang dengan urutan selapis ikan,

selapis cincangan biji picung dan seterusnya.

Saga pohon ( ) adalah tanaman

yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, di India dan

beberapa negara koloni Perancis. Di Indonesia tanaman ini

banyak ditemui pantai utara pulau Jawa. Di Indonesia, saga

pohon dikenal dengan nama Saga utan (Bangka), Ki toke

laut (Sunda), Segawe sabrang (Jawa), Ghak saghakan

(Madura), Sagha nal (Kangean) dan Bibilaka (Alor). Di India

saga pohon dikenal dengan nama

dan

Minyak biji Saga pohon mengandung lemak yang cukup

tinggi, yaitu sebesar 35%. Minyak yang dihasilkan bisa

digunakan sebagai bahan makanan, yaitu untuk memasak

dan menggoreng. Selain itu. biji saga pohon memiliki

banyak manfaat, diantaranya sebagai pembersih/pemurni

dan mematri emas, yaitu dengan cara menghancurkannya

sampai didapat tepung ( ), kemudian dicampur dengan

bahan patri. Selain itu juga bisa digunakan sebagai bahan

makanan, yaitu dengan cara mengambil daging bijinya.

Kemudian daging bijinya dipanggang dan ditumbuk dan

langsung dapat dimakan sebagai lauk. Banyak yang

mengatakan bahwa rasa daging biji saga pohon seperti

kedelai.

Kayunya banyak digunakan sebagai bahan bangunan

dan perkakas rumah tangga. Kulitnya (baik yang masih

segar maupun sudah kering) bisa digunakan untuk

membersihkan rambut dan mencuci pakaian. Ini

dikarenakan kulit kayu Saga pohon mengandung ,

zat kimia yang banyak digunakan sebagai pembersih

meskipun tidak terlalu banyak buih/busa.

Seminai ( ) merupakan tanaman yang

tumbuh di banyak negara Asia Tenggara khususnya

Malaysia dan Indonesia yaitu di Sumatra Timur meliputi

Kampar-kiri, pelawan dan Tapungs (Siak).

16. SAGA POHON ( ), Famili:

Leguminosae

17. SEMINAI ( ) , Famili: Sapotaceae

Adenanthera povinina

Madhuca utilis

Adenanthera povinina

Koraalboom, Bois de

corail, Condori commun, Koral lenbaum, Bead tree

Coral pea tree.

aci

saponin

Madhuca utilis

Minyak dari pohon ini banyak digunakan dalam

kegiatan memasak sebagai pengganti minyak kelapa.

Pohon seminai mempunyai beragam kegunaan,

diantaranya kayunya banyak digunakan sebagai perabotan

rumah.

Suntai ( ) merupakan tanaman yang

hanya dijumpai Indonesia, khususnya daerah sumatra

timur yang meliputi daerang Bengkalis dan pulau Karimun

(Riau).

Salah satu kegunaan utama dari tanaman ini adalah

bijinya yang menghasilkan minyak. Biji diperoleh dengan

dua cara, yaitu dikupas seperti biasa dengan menggunakan

pisau dan cara kedua adalah dengan menumbuknya. Se-

lanjutnya buah dikeringkan dengan cara dijemur. Untuk

mendapatkan minyak, biji dibakar di atas api dan se-

lanjutnya digiling. Tepung atau hasil gilingan yang diper-

oleh kemudian disaring, jika ada yang masih kasar maka

digiling kembali. Selanjutnya setelah halus tepung ini

direbus dan ditungkan kedalam plat/cetakan besi dan

diberi tekanan ( ) samapai keluar cairan lemak.

Minyak lemak ini kemudian ditampung dalam cetakan/

wadah kayu dan siap untuk digunakan atau dijual. Minyak

dari biji ini bisa digunakan sebagai bahan memasak,

sebagai pengganti minyak kelapa.

Kayunya yang keras dan padat banyak digunakan

sebagai bahan pembuat perahu. Buahnya bisa dimakan

dan bisa menjadi sumber persediaan pangan khususnya di

masa lalu.

18. SUNTAI ( ), Famili: SapotaceaePalaquium burckii

Palaquium burckii

pressing

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �14

SEMINAI DAUN BIJI

SUNTAI

Page 17: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

farmasi dan kosmetika. Pada masa lalu tengkawang juga

dipakai dalam pembuatan lilin, sabun, margarin, pelumas

dan sebagainya. Minyak tengkawang juga dikenal sebagai

.

Minyak tengkawang juga cocok digunakan pada

industri margarine, coklat, sabun, lipstik dan obat-obatan;

karena memiliki keistimewaan, yaitu titik lelehnya yang

tinggi berkisar antara 34 - 39°C. Selain untuk pangan,

prospek yang baik dari minyak tengkawang yang dikenal

dengan nama atau , dapat dipakai

sebagai minyak pelumas mesin, pembuatan sabun, peti kemas,

bahan baku pembuatan lilin, , dan .

Nilai gizi yang tinggi serta sifat titik cairnya yang juga

tinggi bukan saja cocok sebagai pengganti minyak cokelat,

tetapi juga sebagai penambah campuran minyak coklat

agar mutunya menjadi lebih baik dan tahan disimpan pada

suhu panas . Ekstrak lemak tengkawang memberi nilai

tambah yang sangat tinggi yaitu mencapai 200%. Setiap

tahun harga minyak tengkawang selalu meningkat, pada

tahun 1994 bernilai US$ 1,85 per kg dan pada tahun 1998

bernilai US$ 2,87 per kg. Sejak tahun 1996 tidak tercatat

ekspor biji tengkawang, kemungkinan besar terserap habis

untuk memproduksi lemak tengkawang.

Pemanfaatan lemak tengkawang saat ini sebagian

besar hanya dalam industri coklat, yang ditujukan untuk

meningkatkan titik leleh lemak coklat terutama lemak

coklat yang berasal dari Amerika Latin. Minyak

tengkawang dalam industri makanan dikenal dengan nama

, yang digunakan sebagai pengganti

minyak coklat. Pada industri farmasi dan kosmetika dikenal

dengan nama yang dapat digunakan sebagai

bahan baku kosmetik dan obat-obatan.

Kayu shorea termasuk jenis kayu keras dan cukup kuat,

sehingga sering digunakan sebagai bahan bangunan,

perabot rumah tangga vinir dan bahan baku lantai kayu.

Damar yang dihasilkan dari getah shorea dapat digunakan

sebagai bahan campuran pembuatan obat dan kosmetik.

Buah tengkawang dikenal enak. Jenis meranti penghasil

Tengkawang merupakan pohon khas Kalimantan penghasil

kayu pertukangan, juga buahnya bernilai komersil tinggi

yang digunakan sebagai bahan baku nabati pengganti

minyak coklat, bahan lipstik, minyak makan dan juga dapat

digunakan bahan obat-obatan.

green butter

vegetable thallow illip nut

stearine palmitat

cacao butter substitute

oleum shorea

19. TENGKAWANG ( )

Famili: Dipterocarpaceae

Shorea seminis; S. pinanga; S.sp

Tengkawang ( ) merupakan tanaman khas

Indonesia dan tersebar diseluruh wilayah Kalimantan serta

di beberapa wilayah Sumatera seperti Palembang

(Sumatera Selatan) dan Minangkabau (Sumatera Barat).

Nama lain tanaman ini yang sering digunakan adalah

(Palembang),

(Minangkabau),

(Kalbar),

(Kalsel),

(Kaltim).

Pohon tengkawang yang baru berbuah akan meng-

hasilkan 50 - 100 kg biji tengkawang kering. Hasil rata-rata

pohon tengkawang pada panen raya berkisar antara 250 -

800 kg biji tengkawang kering. Pohon tengkawang pada

tahun-tahun diluar panen raya hanya menghasilkan sekitar

50 - 100 kg biji. Minyak tengkawang diperoleh dari biji

tengkawang yang telah dijemur atau disalai hingga kering,

yang kemudian ditumbuk dan dikempa. Secara tradisional,

minyak tengkawang ini dimanfaatkan untuk memasak,

sebagai penyedap makanan dan untuk ramuan obat-

obatan. Dalam dunia industri, minyak tengkawang

digunakan sebagai bahan pengganti lemak coklat, bahan

Shorea spp

Melebekan maranti beras, maranti jawi

tengkawang majau, t.salungsung,

t.sungkasuwu kalang tanggui, kalapis danum,

kalepek danum, kekawang, majau, mengkabang,

tengkawang asu, t.pasir, t.tanggui kenuar,

lampong meranti, menkabang, mesap

Sumber gambar:

balam : kabarmingguan.blogspot.com

bintaro : fobi.web.id

buah merah : indonesiaprofile-s.blogspot.com

croton : www.flickr.com

kelor : www.zimbio.com

kemiri : heart-waterlily.blogspot.com

kenari : organicfarm.net

ketapang : fbaugm.wordpress.com

ketiau : www.asianplant.net

lena : vegetablegardendjp.blogspot.com

macadamia : www.macadamia.net.au/

mimba : blogsumberinformasigratis.blogspot.com/

nyamplung : kebumen.aribicara.com/

nyatoh : www.flickr.com/

picung : floranegeriku.blogspot.com/

saga : matoa.org/

seminai : www.kcpremierroofing.com/

suntai : fr.wikipedia.org

suntai : http://eol.org

tengkawang : http://massurono.com/

15FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni

TENGKAWANG DAUN

Page 18: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Lampiran 1. Tabel Jenis HHBK Minyak Lemak Beserta Kegunaannya

No JenisPemanfaatan (non-kayu)

yang sudah dikenal

Pemanfaatan

minyak

Bagian yang

mengandung

minyak

Perkiraam

rendemen

1 BALAM (Palaquium

walsurifolium)

Minyak lemak dipakai untuk obor,

Penghasil buah,

Material Biji 30% - 45 %

2 BINTARO (Cerbera

manghas)

Minyak berpotensi sebagai biodiesel

(biji/buah), Penghijauan kota; racun

berburu (buah);

Energi Biji dan Buah 54,33 %

3 BUAH MERAH

(Pandanus

conoideus)

obat menghambat sel kanker, malaria

dan penurun gula darah(buah)

Obat Buah 0,094 % (94,2 mg

lipid/100 gram

buah)

4 CROTON (Croton

argyratus)

Lampu penerang Energi Biji 15 %

5 KELOR (Moringa

oleifera)

pembersih air (biji); biodiesel (biji);

makanan (daun)

Energi Biji dan Daun 35,83 %

6 KEMIRI (Aleurites

mollucana)

minyak dan rempah/bumbu (biji);

campuran bahan cat (biji); bahan

penyubur rambut (biji); penyembuh

diare (biji); obat kanker dan

ISPA/pernafasan pada anak (biji);

obat disentri dan diare (kulit batang);

penurun gula darah (kulit batang);

sakit gigi (getah daun); biodiesel (biji)

Obat ,

Makanan,

Kosmetik,

Energi, Material

Biji 15-20 %

7 KENARI (Canarium

odoratum)

penghijauan kota; bahan

kerajinan/sovenir (buah);

mengandung omega 3 dan ALA (alfa

linolenik) yang dapat memperbaiki

profil kolesterol (biji); mencegah dan

memperlambat pertumbuhan tumor

dan kanker (biji); pewangi sabun

(gum/getah kulit batang); bahan

plaster dan salep (gum);

Obat ,

Makanan,

Kosmetik,

Material

Biji 65 - 70 % (dari

kernal/inti

buah/biji)

8 KETAPANG

(Terminalia

catappa)

pohon peneduh; pengganti biji almon

dalam kue-kue (biji); bahan penyamak

kulit (pegagan dan daun); bahan tinta

dan pewarna hitam (pegagan dan

daun); menyembuhkan lepra, kudis

dan penyakit kulit yang lain (daun);

menyembuhkan rematik pada sendi

(daun) astringen pada disentri dan

sariawan, juga sebagai diuretik,

kardiotonik dan dipakai sebagai obat

luar pada erupsi kulit (tanin pada

pegagan dan daun)

Obat ,

Makanan,

Kosmetik,

Energi, Material

Biji 50% dari berat

kering biji

9 KETIAU (Ganua

motleyana)

Penghasil getah “nyatu” yang dipakai

untuk kerajinan

Material Biji 51,3 % dari berat

biji

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �16

Page 19: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

No JenisPemanfaatan (non-kayu)

yang sudah dikenal

Pemanfaatan

minyak

Bagian yang

mengandung

minyak

Perkiraam

rendemen

10 LENA (Sasanum

orientale)

penghasil biji/minyak wijen; minyak

goreng, minyak rambut, minyak

lampu, bahan sabun (minyak biji);

makanan (biji); obat batuk (biji); obat

sakit kepala (daun)

Obat, Makanan,

Kosmetik,

Energi, Material

Biji Tidak ada data

11 MAKADAMIA

(Macadamia sp.)

Penghasil buah, bahan makanan,

penghijauan kota

Makanan,

Kosmetik,

Energi, Material

Biji Tidak ada data

12 MIMBA

(Azadirachta

indica)

Obat penyakit kulit dan lambung,

penambah nafsu makan, campuran

pestisida alami, campuran lem

Obat, Material Biji 20 %

13 NYAMPLUNG

(Callophyllum

inophyllum)

Obat penyakit kulit dan bahan

biodiesel

Obat, Energi Biji biji segar

mengandung 40-

55% sedangkan biji

kering 70-73%

14 NYATOH

(Palaquium

javense)

Memasak dan bahan bakar untuk

penerangan

Energi Biji Tidak ada data

15 PICUNG (Pangium

edule)

Antiseptik, pemusnah hama dan

pencegah parasit, memasak,

pengawet makanan, kulit dan daun

bisa sebagai racun untuk menangkap

ikan, bahan penerangan, obat

penyakit kulit dan encok

Obat, Material Biji Tidak ada data

16 SAGA POHON

(Adenanthera

povinina)

Memasak, bahan makanan (buah),

pembersih baju, pembersih rambut,

bahan campuran mematri

Makanan.

Kosmetik

Biji Tidak ada data

17 SEMINAI (Madhuca

utilis)

Memasak Makanan Biji Tidak ada data

18 SUNTAI (Palaquium

burekii)

Memasak Makanan Biji Tidak ada data

19 TENGKAWANG

(Shorea seminis; S.

pinanga; S.

macrophylla; S.

splendid)

Makanan, minyak coklat, memasak,

bahan pembuat lipstik, obat-obatan,

lilin, sabun, margarin, pelumas mesin,

margarin

Obat, Makanan,

Kosmetik,

Material

Biji Tidak ada data

Lampiran 1. Lanjutan

17FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 20: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

dalam Sistem

Ary Widiyanto

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Jl Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO BOX 5 Ciamis

Email: ary301080_yahoo.co.id

AgroforestryAgroforestry

DEFINISI AGROFORESTRY

Agroforestry

perennial

agroforestry

agroforestry

agroforestry

dalam

dalam

agroforestry

dalam

agroforestry

merupakan suatu sistem pengelolaan

tanaman hutan ( ) yang dikombinasikan dengan

pertanian atau disebut juga sistem wanatani. Sebenarnya

banyak definisi mengenai , yang satu sama lain

tidak berbeda secara substansi. Banyak definisi dari

yang sering digunakan dalam dunia

pengetahuan. ICRAF mendefinisikan sebagai

suatu sistem pengelolaan lahan yang berasaskan

kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara

keseluruhan, melalui kombinasi produksi (termasuk

tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan atau

hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan

yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang

sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan

Chandler (1978) Rauf (2004).

Masih Rauf (2004), Lundgren dan Raintree

mendifinisikan adalah suatu nama kolektif

untuk sistem-sistem penggunaan lahan & teknologi, di

mana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu,

jenis-jenis palm, bambu, dan sebagainya) ditanam

bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan,

dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk

pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya

terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi di antara

berbagai komponen yang bersangkutan. Mac Dicken dan

Vergara (1990) Padmowijoto (2006) mendifinisikan

sebagai manajemen lahan berkelanjutan

yang meningkatkan produksi total dengan kombinasi

tanaman pangan, pohon (holtikultura/tegakan hutan) dan

atau ternak secara simultan sesuai budaya lokal.

AGROFORESTRY DI INDONESIA

Di Indonesia, dilakukan di berbagai

wilayah tanah air dengan berbagai istilah lokal. Di Jawa

dikenal istilah yang diartikan sebagai bercocok

tanam sambil berternak dan berkebun, bisa berupa

holtikultura atau tegakan hutan di halaman rumah dan

atau pekarangan (Sumitro, 2001). Di propinsi Maluku

dikenal istilah yang menurut Kaya (2003)

Salampessy (2010) adalah sistem pengelolaan

sumberdaya alam dalam suatu bentang lahan milik dengan

mengkombinasikan komoditas pertanian, kehutanan dan

peternakan. Pada awalnya status adalah sebagai

kebun warisan keluarga secara turun menurun,

pengelolaannya terbatas pada kebutuhan subsisten tapi

sejalan perkembangan jaman maka keberadaan

berubah menjadi alat produksi yang bernilai ekologis,

ekonomi dan sosial budaya.

Di Sumatera (propinsi Lampung), dikenal istilah

yang dapat didefinisikan sebagai sebidang lahan kering

yang ditanami berbagai tanaman produktif, umumnya

tanaman tahunan ( ) seperti damar, jengkol,

durian, petai, tangkil, manggis dan aneka-ragam

tumbuhan liar yang dibiarkan hidup, dan disebut

karena pohon damar yang paling men-dominasi

dalam setiap bidang lahan (Lubis, 1997 Bintoro,

2010).

Sementara itu di Sumatera Utara terdapat suatu sistem

yang disebut Secara harfiah

berarti rumah ladang, atau ladang masyarakat yang

mudah dijangkau dari rumah pemiliknya (Affandi, 2010).

Masih menurut Affandi (2010), tanaman pada

agroforestry

mratani

Dusung dalam

dusung

dusung

Repong

perennial crops

repong

damar

dalam

agroforestry Reba Juma. reba

juma

reba juma

Tajuk Utama

Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �18

Page 21: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

didominasi oleh tanaman berkayu seperti

duku, durian, rambutan, manggis dan bambu, yang di-

kombinasikan dengan tanaman pertanian/perkebunan

seperti coklat, pisang, nenas, kunyit, jagung dan lain-lain.

Sistem ini dipraktekkan di atas tanah milik

yang pada awalnya merupakan tanah adat, di mana pem-

bagian dan penguasaan lahannya dilaksanakan berdasar-

kan sistem kekerabatan adat setempat. Di Kalimantan

Barat juga ditemukan sistem tradisional yang

disebut , yang dibentuk ketika petani akan

melakukan perladangan berpindah untuk mencari lokasi

lain yang lebih subur. Pada lahan yang ditinggalkan,

mereka menanaminya dengan berbagai tanaman buah-

buahan yang akan menjadi kebun (Roslinda, 2010).

Masyarakat desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo,

Jambi secara tidak langsung telah melakukan konservasi

keanekaragaman ekosistem melalui kegiatan .

Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun (hutan

sekunder muda), belukar (hutan sekunder tua) di desa

tersebut diolah dan dimanfaatkan melalui pembuatan

campuran, sedangkan hutan hanya di-

manfaatkan hasil hutan non kayunya saja. Pengembangan

tumbuhan obat di daerah penyangga Taman

Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa

Timur telah memberikan kontribusi pendapatan sebesar

23% dari hasil pendapatannya, dan frekuensi petani masuk

hutan menurun 48%. Di samping itu terjadi peningkatan

dan lain-lain

agroforestry

agroforestry

Tembawang

agroforesty

agroforestry

agroforestry

partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, baik

konservasi tumbuhan secara maupun Dari

segi ekologi, program telah mengubah semak

belukar dan lahan kritis menjadi hutan tanaman yang

didominasi

dan Bismark dan R.

Sawitri, 2006).

Perkembangan hasil hutan dalam dunia kehutanan

Indonesia telah lama mengalami perubahan paradigma.

Jika sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1990-an hasil

hutan selalu dikonotasikan dengan kayu, maka sejak

dekade 1990-an tersebut telah terbentuk paradigma baru

mengenai hasil hutan. Hutan tidak hanya dipandang

sebagai pengasil kayu, tetapi hutan juga dianggap sangat

penting dalam menjaga tata air suatu kawasan, sebagai

sumber oksigen dan juga penghasil hasil hutan bukan kayu

(HHBK), dengan nilai ekonomis yang diperkirakan tidak

lebih kecil dibanding kayu.

Dalam suatu sistem , pengolahan hasil

hutan merupakan bagian yang terintegrasi dalam sistem

agoforeresty secara keseluruhan. Sistem akan

menghasilkan dua kategori hasil, yaitu hasil hutan, yang

terdiri dari kayu dan non kayu serta hasil pertanian. Untuk

lebih jelasnya, posisi pengolahan hasil hutan dalam sistem

bisa dijelaskan dalam Gambar 1.

eks-situ in-situ.

agroforestry

Parkia roxburghii, Pythecelobium saman,

Pangium edule, Aleurites moluccana. (

agroforestry

agroforestry

agroforestry

HASIL HUTAN DALAM SISTEM AGROFORESTRY

Penanaman Pemeliharaan Pemanenan

Hasil

Pengolahan

Hasil

Pemasaran

Aspek Sosial Aspek Lingkungan

Gambar 1. Satu Siklus Produksi Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry

19FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 22: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Dari Gambar 1 terlihat bahwa pengolahan hasil (baik

hasil hutan maupun pertanian) merupakan bagian penting

dalam sistem secara keseluruhan. Bagian ini

sangat menentukan terhadap nilai produk

yng akan dijual/dipasarkan. Pengolahan hasil yang bisa

memberikan nilai tambah terhadap produk secara

otomatis akan meningkatkan nilai jual produk tersebut.

Untuk itu diperlukan input teknologi yang tepat, sistem

pengolahan yang lebih baik dan efisien serta diversifikasi

produk sehingga terjadi optimalisasi pemanfaatan produk

hasil hutan.

Dalam konteks kehutanan, fokus utama pengolahan

hasil dalam agroforestry adalah hasil hutan kayu dan

bukan kayu, yang berasal dari tanaman kayu. Untuk kayu,

jenis yang paling banyak digunakan oleh masyarakat

adalah jenis Sengon ( atau

). Meskipun demikian, belakangan

juga ditanam jenis lain, yang dianggap memiliki prospek

pasar yang baik oleh masyarakat, seperti Jabon

( Miq), Manglid (

) dan Gmelina ( ). Umumnya

pertimbangan masyarakat adalah tanaman dari jenis cepat

tumbuh ( ).

Untuk sengon dan gmelina, penelitian mengenai sifat

fisis-mekanis kedua jenis kayu tersebut sudah cukup

banyak dilakukan. Jabon juga sudah cukup banyak,

meskipun tidak sebanyak sengon dan gmelina. Dengan

demikian, salah satu peluang yang cukup terbuka untuk

digali adalah mengenai kualitas kayu manglid. Kayu

manglid, meskipun siklus produksinya tidak secepat

sengon dan jabon, tetapi cukup banyak dibudidayakan

masyarakat karena harga jualnya yang lebih tinggi dari

jabon dan sengon.

Peluang terbesar dalam penelitian hasil hutan dalam

sistem adalah pada hasil hutan bukan kayu

(HHBK). Praktek agroforestry yang banyak dilakukan oleh

masyarakat Indonesia adalah sistem

tradisional, yang pada lahan mereka, ditanami lebih dari

satu jenis kombinasi tanaman pada beberapa strata. Dari

sinilah muncul banyak tanaman penghasil HHBK yang

masih berpeluang untuk dikembangkan dan diteliti, baik

sifat-sifat dasarnya maupun teknologi untuk meningkat-

kan nilai tambahnya.

agroforestry

agroforestry

Paraserianthes falcataria

Falcataria molluccana

Anthocephalus cadamba Manglietia

glauca Gmelina arborea

fast growing species

agroforestry

agroforestry

Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor

P.35 / Menhut-II/2007, maka HHBK didefinisikan sebagai

hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta

produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal

dari hutan. Selanjutnya dalam Permenhut tersebut juga

disebut-kan jenis-jenis HHBK yang menjadi “urusan”

Kementerian Kehutanan, yang terbagi menjadi dua

kelompok besar HHBK yaitu jenis tumbuhan dan tanaman

serta jenis hewan.

Untuk jenis tumbuhan, terbagi menjadi beberapa sub

kelompok, yaitu:

1. Kelompok resin

2. Kelompok minyak atsiri

3. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan

4. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah

5. Kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias

6. Kelompok palma dan bambu

7. Alkaloid

8. Kelompok lainnya

Dari delapan kelompok di atas, banyak di antaranya

yang sebenarnya sudah digunakan oleh masyarakat dalam

praktek agroforestry, dan perlu dikembangkan lagi.

Misalnya dari kelompok resin, terdapat damar yang telah

dimanfaatkan cukup lama, misalnya oleh masyarakat

Lampung dan dikenal dengan sistem “

Demikian pula dengan jenis lain seperti agathis, gaharu,

kapur, kemenyan, kesambi, tusam dan rotan.

Jenis HHBK dari kelompok lain yang potensial untuk

dikembangkan dalam sistem di antaranya dari

kelompok atsiri meliputi akar wangi, minyak gaharu,

kamper, lawang, kayu manis dan kayu putih. Untuk

tanaman kayu putih, Pabrik Pengolahan Minyak Kayu Putih

(PMKP) Jatimunggul, yang masuk dalam wilayah

administratif KPH Indramayu telah menanamnya

ditumpangsarikan dengan padi yang ditanam oleh

masyarakat.

Untuk kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan

terdapat di antaranya nyamplung, lena (wijen), kelor,

macadamia, kemiri dan picung. Picung atau lebih dikenal

sebagai keluwek juga sudah banyak ditanam oleh

:

repong damar”.

agroforestry

Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �20 FORPro

Page 23: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

masyarakat, khususnya di Jawa bersama jenis tanaman

lain, seperti tanaman kayu dan buah-buahan. Penghasil

karbohidrat (pati), juga terdiri dari jenis-jenis yang sudah

banyak ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat seperti

aren, sagu, suweg, iles-iles, jamur dan gadung. Demikian

pula dengan buah-buahan, karena ada 36 jenis buah-

buahan yang masuk kategori HHBK dan perlu

dikembangkan, khususnya pengolahan paska panennya.

Dari kelompok tannin, bahan pewarna dan getah

terdapat beberapa jenis yang cukup potensial seperti

akasia, gambir, kesambi, ketapang, pinang,

angsana, jati, jernang, mahoni, kesumba, secang dan

suren. Juga beberapa penghasil getah seperti jelutung,

balam, pulai dan karet hutan.

Beberapa tumbuhan atau tanaman obat yang potensial

dikembangkan pada sistem agroforestry

antara lain jenis akar-akaran, brotowali, duwet, jarak, jati

belanda, kayu putih, kayu manis, kepuh, kemiri, mimba

dan sebagainya. Kelompok palma dan bambu terdiri dari

semua jenis rotan dan bambu. Sedangkan untuk alkaloid

dan kelompok lainnya meliputi kina serta ganitri.

Dari gambaran di atas terlihat bahwa banyak jenis

HHBK yang telah dikembangkan oleh masyarakat maupun

tumbuh di alam, yang berpotensi dikembangkan dalam

sistem agoforestry berbasis pangan (wanatani), berbasis

obat-obatan (wanafarma) maupun agroforestry

campuran.

Sebagai sebuah sistem, agroforestry tersusun atas

proses-proses yang satu dengan yang lain sangat

berkaitan. Pengolahan hasil dalam sistem

merupakan bagian penting yang sangat menentukan nilai

produk yang akan dijual/dipasarkan.

Penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan kayu

dalam sistem lebih berpotensi untuk

dikembangkan, karena jumlahnya yang relatif banyak serta

belum banyak dari HHBK tersebut yang telah diteliti secara

mendalam. Selain itu, siklus pemanenan HHBK yang lebih

cepat dibandingkan kayu akan lebiih menarik bagi

masyarakat untuk mengembangkannya, karena lebih

menarik secara ekonomi.

rizhopora,

wanafarma

agroforestry

agroforestry

agroforestry

PENUTUP

REFERENSI

Affandi, O. 2010. : Kelestarian Praktek

Agroforestri Lokal pada Masyarakat Karo, Propinsi

Sumatera Utara. Prosiding Agroforestri Tradisional

di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 123-136.

Bintoro. 2010. Repong Damar Prototipe Hutan Rakyat Yang

Ideal. Prosiding Agroforestri Tradisional di

Indonesia. Bandar Lampung. Hal 87-98.

Bismark, M dan R. Sawitri. 2006. Pengembangan dan

Pengeloaan Daerah Penyangga Kawasan

Konservasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-

hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi

Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.

Padmowijoto, S. 2006. Integrasi Legume dengan Tanaman

Pangan dan Ternak Kambing dalam Sistem.

Prospect Tahun 2 Nomor 2, Pebruari 2006. Hal 1-4.

Peraturan Menteri Kehutanan No P.35 / Menhut-II/2007

tanggal 28 Agustus 2007 tentang Hasil Hutan Bukan

Kayu.

Rauf, A. 2004. Agroforestri dan Mitigasi Perubahan

Lingkungan. Maklah Falsafah Sains Sekolah Pasca

Sarjana IPB.

Roslinda. 2010. Strategi Pengelolaan Tembawang Oleh

Masyarakat. Prosiding Agroforestri Tradisional di

Indonesia. Bandar Lampung. Hal 159-166.

Salampessy, M.L. 2010. Performansi Dusung Sebagai Salah

Satu Sistem Agroforestri Tradisional (Studi Kasus

pada Desa Urinesibf dan Desa Amahusu Kota

Ambon Propinsi Maluku). Prosiding Agroforestri

Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 51-

60.

Soemitro, P.W. 2001. Peranan Hijauan - dan Ternak

dalam Pertanian Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan

Sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan UGM.

Reba Juma

Mratani

Legume

21FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni

Page 24: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Mengenal Tumbuhan

Tajuk Utama

Freddy Jontara HutapeaBalai Penelitian Kehutanan Manokwari

I. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki hutan yang sangat luas dengan

keragaman jenis yang sangat tinggi, diantaranya 27.500

jenis tumbuhan berbunga. Dari seluruh jenis tumbuhan

berbunga di dunia, 10% didominasi oleh hutan tropis

basah. Keanekaragaman jenis yang sangat tinggi ini

menyebabkan masih banyak jenis-jenis yang belum

dimanfaatkan secara optimal akibat kurangnya informasi

mengenai penyebaran jenis, manfaat, dan potensi jenis

tumbuhan tersebut (Suhartrislakhdi, 2007

Nugroho, 2010).

Kratom ( ) merupakan salah satu

jenis tumbuhan yang terdapat dalam wilayah hutan

Indonesia. Kratom merupakan tanaman potensial yang

dapat ditingkatkan nilai kegunaannya, karena sejak dahulu

kratom sudah dimanfaatkan secara tradisional. Daun

kratom telah lama dimanfaatkan sebagai obat herba untuk

melancarkan peredaran darah, mengobati diabetes, dan

menurunkan kadar gula dalam darah (Anonim, 2009).

Selain bermanfaat, kratom memiliki dampak negatif

yaitu apabila dikonsumsi terlalu banyak sehingga

menimbulkan efek ketagihan akibat kandungan

mitragynin yang terdapat pada tanaman tersebut

(Wikipedia, 2011a). Tulisan ini bertujuan untuk

mengenalkan kratom sebagai salah satu jenis potensial

dikembangkan, sehingga dapat menjadi informasi dasar

bagi penelitian selanjutnya.

dalam

Mitragyna speciosa

II. DESKRIPSI KRATOM ( )M. speciosa

M. speciosa

M.

speciosa

rain forest

M. speciosa

Kratom ( ) merupakan tumbuhan asli yang

tumbuh di Asia Tenggara. Tumbuhan ini didokumentasikan

pertama kali oleh ahli botani Belanda Pieter Khortals.

Kratom memiliki hubungan kedekatan botani dengan

Corynanthe, Cinchona, dan Uncaria (KratomSeller.com,

2011).

Murple (2006) mengemukakan bahwa kratom (

) merupakan tumbuhan yang berasal dari Asia

Tenggara. Tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Papua New

Guinea dan Thailand khususnya di bagian tengah dan

selatan, dan jarang terdapat di bagian utara.

Kratom dan Mitragyna Asia lainnya tumbuh di hutan

hujan ( ), lahan basah, tanah yang kaya humus,

pada area dengan intensitas sinar matahari medium dan

terlindungi dari angin kencang, sementara Mitragyna

Afrika biasanya ditemukan di rawa-rawa (Kratom Devotee,

2009).

Di Thailand, kratom dikenal dengan nama kakuam,

ithang, atau Thom, sedangkan di Amerika Serikat

dikenal dengan nama kratom (Anonim, 2009). Kratom juga

dikenal sebagai ketum, dan biak (Prmob, 2012a).

Masyarakat Dabra (Mamberamo) Papua mengenal kratom

sebagai bika. Klasifikasi botani kratom ( ) adalah

sebagai berikut:

KRATOM ( Korth.)Mitragyna speciosaKRATOM ( Korth.)Mitragyna speciosaKRATOM ( Korth.)Mitragyna speciosa

Gambar 1. Buah dan daun kratom (foto: The Iamshaman shop dan Oflchen)

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �22

Page 25: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Divisi : Magniliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Gentianales

Famili : Rubiaceae

Genus : Mitragyna

Species: (Kratom Devotee, 2009).M. Speciosa

Kratom merupakan tumbuhan yang memiliki tinggi

mencapai 50 kaki (± 15 m) dengan cabang menyebar lebih

dari 15 kaki (± 4,5 m), memiliki batang yang lurus dan

bercabang, dengan bunga kuning dan dalam kelompok

berbentuk bulat ( ). Tumbuhan ini

merupakan tumbuhan yang selalu hijau. Daun kratom

berwarna hijau gelap mengkilap, halus, berbentuk bulat

telur melancip ( ) dan berlawanan dalam

pola pertumbuhan. Daun kratom dapat tumbuh dengan

panjang melebihi 7 inchi (± 18 cm) dan lebar 4 inchi (± 10

cm). Daun terlepas dan digantikan secara konstan, namun

ada beberapa kuasi musim ( ) dimana

daunnya rontok karena kondisi lingkungan. Selama musim

kering setiap tahun daun yang gugur lebih banyak dan

daun yang baru akan tumbuh lebih banyak pada musim

hujan. Bila tanaman ini tumbuh di luar habitat aslinya,

maka musim gugur daun akan terjadi saat suhu dingin

sekitar 4 C (Murple, 2006).

ball-shaped clusters

ovate-acuminate

quasi-seasonal

0

III. POTENSI PEMANFAATAN KRATOM

A. Komponen Kimia

Lebih dari 25 jenis alkaloid telah diisolasi dari kratom

dimana salah satunya adalah mitraginin. Mitraginin

merupakan alkaloid paling dominan yang ditemukan

dalam tumbuhan ini. Mitraginin diisolasi pertama kali dari

daun kratom oleh David Hooper pada tahun 1907, dan

diisolasi kembali oleh E. Field pada tahun 1921 dan

memberi nama alkaloid.

Mitraginin (9-methoxy-corynantheidine) memiliki

rumus molekul C H N 0 dengan berat molekul 398,49,

berwarna putih, bubuk, dengan titik leleh 102-106 C, dan

titik didih 230-240 C. Larut dalam alkohol, chloroform, dan

asam asetat. Apabila dikonsumsi dalam dosis kecil,

mitraginin akan menjadi seperti stimulan, sementara jika

dikonsumsi dalam dosis besar, akan menjadi seperti opium

(Wikipedia, 2011).

23 30 2 4

0

0

B. Pemanfaatan Kratom

Tumbuhan ini sudah lama digunakan karena memiliki

beberapa manfaat untuk kesehatan, diantaranya:

mengatasi kecanduan narkoba, mengatasi diare,

meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan tekanan

darah, meningkatkan energi, mengatasi nyeri otot,

mengatasi depresi, stimulan seksual, dan mengontrol

kadar gula darah (Shvoong.com, 2012).

Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan ini adalah

daunnya. Biasanya masyarakat memanfaatkan daunnya

dengan cara mengunyah langsung, atau diseduh dalam air

panas atau dengan kopi. Daun tumbuhan ini bisa juga

dibuat menjadi rokok (Prmob, 2012b). Bila digunakan

dalam kadar yang sesuai, maka akan memberikan manfaat

dan efek yang baik bagi kesehatan, sebaliknya bila

digunakan secara berlebihan, akan berdampak negatif.

Anonim. 2009. Herba Penawar Diabetes Paling Mujarab -

Daun Ketum. http://ubatdiabetes.blogspot.com/

2009/05/herba-penawar-diabetes-paling-mujarab.

html. Diakses Tanggal 27 Juni 2011.

Kratom Devotee. 2009. Kratom

Botany. http://www.kratom.net/content.php?38-

Mitragyna-speciosa-kratom-botany. Diakses Tanggal 5

Juli 2011.

KratomSeller.com. 2011. Kratom ( ).

http://kratomseller.com/kratom-mitragyna-speciosa.

html. Diakses Tanggal 12 Agustus 2011.

Murple. 2006. Kratom. http://www.murple.net/ yachay/

index.php/kratom. Diakses Tanggal 12 Agustus 2011.

Nugroho, A. Y. 2010. Tinjauan Keragaman Genetik dan

Implikasi Konservasi Pulai ( (L). R. B).

Mitra Hutan Tanaman 5(2): 51-55. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Prmob. 2012a. Kratom Daun, .

http://id.prmob.net/thailand/malaysia/indonesia-

115760.html. Diakses Tanggal 30 Januari 2013.

......... 2012b. Apakah Kratom?. http://id.prmob.net/

thailand/kratom/rubiaceae-560420.html. Diakses

Tanggal 7 Januari 2012.

Shvoong.com, 2012. Manfaat Kesehatan dari Bubuk

Kratom. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/

comparative medicine/2334602-manfaat-kesehatan-

dari-bubuk-kratom/. Diakses Tanggal 7 Januari 2013.

Wikipedia. 2011a. Pokok Ketum. http://ms.wikipedia.org/

wiki/pokok_ketum. Diakses Tanggal 27 Juni 2011.

........... 2011b. Mitragynin. (http://en.wikipedia.org/

wiki/Mitragynine). Diakses tanggal 30 Juni 2011.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Mitragyna speciosa

Mitragyna speciosa

Alstonia scholaris

Mitragyna speciosa

23FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 26: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Tajuk Utama

A. Perkembangan Pemukiman di Indonesia

Perkembangan pemukiman di Indonesia dari tahun ke

tahun semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari

semakin banyaknya komplek perumahan di perkotaan

terutama kota-kota yang padat penduduk. Menurut data

BPS, jumlah rumah di Indonesia mencapai angka 49,3 juta

unit, dan jumlah ini akan semakin bertambah setiap

tahunnya (Anonim, 2012). Hal ini terasa wajar mengingat

jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil sensus Badan

Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk

Indonesia sebanyak 237,64 juta jiwa, dengan laju

pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun. Semakin

bertambahnya penduduk, maka semakin banyak pula

kebutuhan akan sumberdaya hutan, khususnya kayu.

Kayu merupakan bahan yang masih diandalkan dalam

proses pembangunan rumah sebagai tempat bermukim.

Namun permintaan kayu yang semakin meningkat tidak

diikuti dengan ketersediaannya. Walaupun Indonesia

merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar

ketiga setelah Brazil dan Zaire yang memiliki luas kawasan

hutan sebesar 131,279 juta ha (Kementerian Kehutanan,

2012), akan tetapi saat ini kawasan hutan Indonesia

mengalami kerusakan yang cukup serius. Berdasarkan data

dari Kementerian Kehutanan periode 2009/2010, laju

kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia sebesar

832.126,9 ha/tahun (Kementerian Kehutanan, 2012).

Tingginya deforestasi di Indonesia berakibat pada

penurunan pasokan kayu terutama untuk jenis-jenis kayu

komersil produksi hutan alam belum bisa digantikan oleh

kayu produksi hutan tanaman.

Kurangnya produksi kayu dari hutan tanaman

mengakibatkan pasokan kayu beralih dari jenis komersil ke

jenis non komersil atau jenis kayu kurang dikenal (

) dari hutan alam atau hutan sekunder atau

kayu yang ditanam oleh rakyat. Keterbatasan pasokan kayu

akan berdampak pada harga kayu semakin mahal karena

permintaan kayu semakin tinggi, seiring dengan

kebutuhan bangunan perumahan dan mebel.

Menurut Barly dan Subarudi (2010), ada beberapa

upaya yang sudah dilakukan oleh industri kayu dalam

mengefisiensikan penggunaan bahan bakunya, salah

satunya dengan mengawetkan produk kayu sehingga lebih

Lesser

known species

tahan lama dalam pemakaian. Pengawetan kayu sangat

diperlukan, dan diharapkan mampu menjawab berbagai

permasalahan yang dihadapi pemerintah, swasta, maupun

masyarakat terkait kelestarian hutan serta efisiensi dalam

penggunaan kayu kedepan.

Sebagian besar masyarakat sudah mengetahui bahwa

kayu merupakan hasil hutan yang memiliki peran penting

dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia.

Selain mudah diperoleh, keunggulan lain kayu adalah

mudah dalam pengerjaannya dan relatif murah bila

dibandingkan dengan beton dan baja. Kayu dapat

dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan

konstruksi bangunan perumahan, industri, mebel, dan

bahan bakar. Meski saat ini telah banyak bahan sintetik

yang dapat mensubstitusi kayu, namun minat masyarakat

untuk menggunakan produk-produk olahan kayu tetap

tinggi.

Meningkatnya penggunaan kayu sebagai bahan

bangunan dan mebel pada saat ini maupun di masa yang

akan datang, maka perlu diimbangi dengan peningkatan

umur pakai ( ) kayu yang memadai. Menurut

Barly (2012), Indonesia memiliki keawetan tinggi dalam

kelas awet I dan II yang relatif sedikit, yaitu sekitar 600 dari

4000 jenis kayu yang dapat mencapai diameter 40 cm,

sedangkan sisanya memiliki tingkat keawetan rendah.

Kayu dengan tingkat keawetan rendah rentan terhadap

serangan organisme perusak kayu yang menyebabkan

keropos atau lapuk dan berdampak terhadap ketahanan

suatu bangunan sehingga usia pakainya pendek. Apabila

ini terjadi, maka dapat meningkatkan laju konsumsi kayu,

sehingga dapat mempercepat laju penebangan hutan

pada satuan waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya

suatu langkah strategis untuk memperpanjang umur pakai

kayu, antara lain dengan perlakuan pengawetan agar

dalam pemanfaatan sumberdaya hutan berupa kayu

tersebut dapat lebih hemat dan efisien.

Pengawetan kayu merupakan suatu cara untuk

meningkatkan umur pakai ( ) kayu dengan

memasukkan bahan kimia yang cocok ke dalam kayu agar

B. Peran Kayu dan Permasalahannya

C. Pengawetan Kayu?

service life

service life

PENGAWETAN KAYU

DALAM MENGATASI DEFORESTASIMohamad IqbalPustekolah - BogorJl. Gunung Batu No. 5. Telp./Fax: 8633413, 8633378

FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �24

Page 27: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

terhindar dari serangan organisme perusak. Berbicara

mengenai pengawetan maka tidak terlepas dari

penggunaan bahan kimia pengawet di dalamnya. Suatu

bahan kimia dikatakan baik apabila beracun bagi

organisme perusak kayu, mudah masuk ke dalam kayu,

tidak mudah tercuci atau menguap, tidak mudah terbakar,

tidak berbau, tidak mahal, dan lain sebagainya (Nuryawan,

2008).

Menurut Dumanauw (1990) klasifikasi bahan kimia

pengawet yang dipakai di Indonesia, digolongkan menjadi

tiga kelompok yaitu bahan pengawet larut air, bahan

pengawet larut minyak, dan bahan pengawet berupa

minyak. Adapun beberapa contoh bahan kimia yang

dianggap mampu mengawetkan kayu, antara lain MBT 100

g/l (2-4%), MBT 109,9 g/l (1-3%), MBT 48 g/l (2-4%),

Azakonazol 200 g/l (1-2%); Sipermetrin 50 g/l (0,25%),

Deltametrin 25 g/l (0,125%), Permetrin 200 g/l (0,25%),

CKB (Tembaga-Khrom-Boron) dengan merk dagang

Diffusol CB 100 PA, dan lain sebagainya (Komisi Pestisida,

2003).

Sejauh ini pemerintah sangat mendukung adanya

teknologi pengawetan kayu. Hal ini dapat dilihat dari

terbitnya beberapa standar tentang pengawetan kayu,

diantaranya: Standar Kehutanan Indonesia No. SKI-c-m-

001:1987 yang kemudian diubah menjadi SNI 03-5010.1-

1999 tentang “Pengawetan Kayu Perumahan dan

Gedung”, SNI-03-3233-1998 tentang “Tata Cara

Pengawetan Kayu Bangunan Rumah dan Gedung”, SKBI

4.3.53.1988 tentang “Spesifikasi Kayu Awet untuk

Perumahan dan Gedung”, serta SNI 01-7205-2006 tentang

“Cara Uji Bahan Pengawet pada Kayu dan Produk Kayu”.

Dengan adanya standar ini diharapkan dapat digunakan

sebagai pedoman dalam menekan tingkat deforestasi di

Indonesia, sehingga tujuan dari konservasi sumberdaya

hutan akan terpenuhi.

Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat

terhadap penggunaan kayu bangunan dan mebel

terutama terhadap kayu yang diawetkan menunjukkan

bahwa masyarakat menginginkan bangunan dan mebel

yang terjamin keamanannya dan dapat bertahan lama.

Namun kelangkaan kayu untuk bangunan dan mebel di

pasaran seringkali dimanfaatkan oleh pengembang untuk

menggantikannya dengan kayu yang tidak memenuhi

standar, baik dimensi maupun mutu kekuatan. Kayu yang

digunakan pengembang perumahan dan mebel, baik jenis,

ukuran dimensi, maupun kekuatan dan mutunya tidak

dapat memenuhi kriteria seperti yang dijanjikan kepada

konsumen. Hal tersebut menyebabkan kerugian di pihak

konsumen, baik terhadap umur pakai bangunan dan mebel

maupun keamanan penghuninya. Oleh karena itu, perlu

adanya suatu upaya untuk memenuhi keinginan

masyarakat yang begitu besar terhadap kualitas bangunan

perumahan, pemukiman, dan permebelan.

Pengawetan kayu dianggap menjadi solusi untuk

menjawab keinginan dari masyarakat, karena berperan

dalam meningkatkan kualitas kayu suatu bangunan dan

mebel serta memperpanjang umur pakainya. Menurut

Batubara (2006), pengawetan kayu bangunan ditinjau dari

kepentingan makro, memiliki peranan penting dalam

perlindungan terhadap aset nasional berupa perumahan

dan peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan

yang semakin menurun. Sedangkan bila ditinjau dari pihak

masyarakat pemakai bangunan, pengawetan kayu

bangunan dapat meningkatkan kualitas suatu bangunan

dalam jangka panjang.

Gambar 1. Rumah contoh yang belum direnovasi di

Perumahan Yasmin, Bogor

25FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 28: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Pengawetan yang dilakukan dengan baik terhadap jenis

kayu yang kurang atau tidak awet dapat meningkatkan

umur pakai kayu tersebut 5 sampai 10 kali lipat

(Martawijaya dan Barly, 2010). Sebagai contoh kayu

sengon ( ) yang telah diawetkan

pada bangunan rumah yang dibuat tahun 1963 oleh Pusat

Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan

Bogor hingga saat ini masih utuh (berumur 50 tahun),

padahal jika tidak diawetkan diperkirakan hanya akan

berumur sekitar 5 tahun saja karena kelas awet sengon

termasuk rendah, yaitu kelas awet IV/V (Basri, dkk. 2012).

Paraserianthes falcataria

D. Pengawetan Kayu untuk Konservasi Sumberdaya

Hutan

DAFTAR PUSTAKA

Purwanto (2007) Barly dan Subarudi (2010)

menyatakan jika 10% diasumsikan sebagai persentase

tebangan hutan untuk mengganti konstruksi karena

pelapukan, maka untuk realisasi pasokan kayu per tahun

sebesar 36,36 juta m akan menghasilkan 3,636 juta m

kayu rusak karena lapuk. Apabila harga kayu dolok rata-

rata Rp 500.000/m , maka akan menimbulkan kerugian

sebesar Rp 1,816 Triliun per tahun atau setara 363.600 ha

hutan dengan potensi 100 m /ha. Hal ini akan berbeda

apabila kayu tersebut diawetkan dimana kayu dapat

bertahan hingga 15 tahun, misalnya kebutuhan kayu untuk

membangun rumah sederhana sebesar 18 juta m /tahun

untuk 5,9 juta unit rumah (Anonim, 2007), dengan asumsi

kayu tidak awet sebesar 80% dari seluruh kayu bahan

perumahan, maka setiap tahun terdapat 14,4 juta m kayu

tidak awet untuk perumahan.

Pasokan kayu yang dibutuhkan pada saat 15 tahun

pertama untuk membangun dan mengganti rumah yang

lapuk (tidak diawetkan) sebesar 432 juta m , sedangkan

pasokan kayu yang diawetkan untuk membangun saja

hanya sebesar 216 juta m . Hal ini menunjukkan, dalam

jangka waktu 15 tahun pertama kayu yang diawetkan

dapat menghemat sebesar 14,4 juta m /tahun. Jumlah

tersebut sama dengan 28,8 juta m kayu bulat yang bila

dikonversi setara dengan 192.000 ha dengan asumsi

potensi kayu per hektar 150 m .

Dari hasil ini dapat diketahui bahwa dengan

pengawetan kayu perumahan, dapat mengkonservasi

hutan alam kurang lebih 192.000 ha setiap tahunnya. Hal

ini tentu saja membawa angin segar bagi pemerintah

dalam upaya menekan laju deforestasi yang saat ini

mencapai 832.126,9 ha/tahun (Kementerian Kehutanan,

2012).

Anonim. 2012. Sebelum seabad Indonesia merdeka,

seluruh rakyat punya rumah. http://www.properti.

kompas.com/read/2012/02/16/15511697/Sebelum.

Seabad. Indonesia. Merdeka. Seluruh. Rakyat. Punya.

Rumah, [Diakses pada tanggal 4 April 2013].

Anonim, 2006.

. D 3507.

, Philadelphia.

Barly. 2012. Pengawetan kayu : belum membudaya meski

manfaatnya nyata. Majalah Forpro, Vol. 1 No. 1 : 3-5.

ISBN: 2301-8682.

dalam

ASTM Standards on wood, wood

preservatives and related materials American

Society for Testing Materials

3 3

3

3

3

3

3

3

3

3

3

Gambar 2. Contoh kusen yang terserang rayap

FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �26

Page 29: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Barly dan Subarudi. 2010. Kajian industri dan kebijakan

pengawetan kayu: sebagai upaya mengurangi tekanan

terhadap hutan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.

Vol.7 No.1 : 63-80.

Basri, E., N. Hadjib, Abdurachman, Jasni, dan M. Iqbal.

2012. Efisiensi pemanfaatan kayu untuk perumahan

sederhana melalui penerapan teknologi tepat guna.

Laporan Akhir Insentif Peningkatan Kemampuan

Peneliti dan Perekayasa Kementerian Riset dan

Teknologi. [Tidak dipublikasikan].

Batubara, R. 2006. Teknologi pengawetan kayu perumahan

dan gedung dalam upaya pelestarian hutan. e-USU

Repository @ 2006. Universitas Sumatera Utara.

[Diakses pada tanggal 1 April 2013].

BPS. 2010. Penduduk Indonesia menurut provinsi.

sub/view.php?kat=1&tabel

=1&daftar=1&idsubyek=12&notab=1, [Diakses pada

tanggal 1 April 2013].

Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius.

Yogyakarta. ISBN: 979-413-313-2.

Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan

Indonesia 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

ISBN: 979-606-073-6.

Komisi Pestisida. 2003. Pestisida Pertanian dan Kehutanan.

Direktorat Jendral Pupuk dan Pestisida. Departemen

Pertanian. Jakarta.

http://www/bps.go.id/tab

Martawijaya, A dan Barly. 2010. Pedoman Pengawetan

Kayu untuk Mengatasi Jamur dan Rayap pada

Bangunan Rumah dan Gedung IPB Press. ISBN: 978-

979-493-288-9.

Nuryawan, A. 2008. Pengawetan Kayu. e-USU Repository

@ 2008. Universitas Sumatera Utara. [Diakses pada

tanggal 1 April 2013].

Purwanto, B.E. 2007. Alokasi bahan baku kayu untuk

keperluan domestik. Prosiding Seminar Hasil

Penelitian Hasil Hutan. Bogor, 25 Oktober 2007. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor : hal.

7-15.

SKBI 4.3.53. 1988. Spesifikasi kayu awet untuk perumahan

dan gedung. BSN, Jakarta.

SKI.C-m-001. 1987. Pengawetan kayu untuk perumahan

dan gedung. BSN, Jakarta.

SNI 01-7205. 2006. Cara uji bahan pengawet pada kayu dan

produk kayu. BSN, Jakarta.

SNI 03-5010.1.1999. Pengawetan kayu untuk bangunan

perumahan. BSN, Jakarta.

SNI 03.3233. 1998. Tata cara pengawetan kayu bangunan

rumah dan gedung. BSN, Jakarta.

.

27FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 30: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

artikel

A. Pendahuluan

Penentuan warna merupakan suatu hal yang tidak

mudah karena melibatkan persepsi psikologis manusia

terhadap stimulasi gelombang cahaya yang diterima oleh

indera penglihatan. Spektrum gelombang cahaya yang

berasal dari pantulan suatu obyek benda memberikan

persepsi warna benda kepada otak manusia. Kepekaan

retina mata menerima gelombang cahaya menentukan

persepsi warna suatu benda (Tilley, 1999). Pada dasarnya

terdapat tiga komponen yang menentukan persepsi

manusia terhadap warna benda, yaitu sumber cahaya

seperti sinar matahari dan lampu, kemampuan benda

memantulkan cahaya dan mata manusia yang menerima

gelombang cahaya dan meneruskan ke otak untuk

membuat persepsi warna. Hubungan ketiga komponen

tersebut disebut sistem dan digunakan dalam alat

pengukur warna secara digital (Boardman 1992).

Penentuan warna kayu alami juga bervariasi menurut

persepsi mata yang melihatnya. Warna kayu alami sangat

diperlukan dalam membantu proses identifikasi jenis kayu,

karena setiap jenis kayu memiliki warna kayu alami yang

spesifik (Broadman 1992). Warna kayu yang spesifik

juga dikenal sebagai sebutan dagang suatu jenis kayu,

seperti kayu 'hitam' merupakan sebutan untuk jenis kayu

eboni yang sudah lama dikenal dalam perdagangan dunia

sebagai kayu tropis yang berwarna hitam dan berasal dari

Sulawesi. Sebutan 'eboni' telah dikenal oleh dunia

mengarah pada kehitaman warna kayu yang digunakan

untuk memberikan penanda warna hitam pada produk lain

seperti warna cat mobil ' '.

Selain warna hitam, variasi warna kayu lain juga telah

menjadi sebutan yang telah dikenal untuk produk tertentu,

seperti kayu mahoni yang berwarna kemerahan. Kayu

mahoni yang sudah dikenal memiliki warna merah

memiliki nama dagang ' ' dengan persepsi

warna kayu kemerahan. Warna kayu mahoni ini telah

dikenal juga dalam pemberian istilah warna terhadap

produk lain, seperti untuk warna cat tembok '

' memiliki persepsi warna cat tembok

kemerahan seperti warna kayu mahoni. Selain warna

triplet

et al.,

et al.,

dark ebony

red mahagony

red

mahagony

Krisdianto

merah dan hitam, beberapa kayu telah dikenal secara luas

memiliki karakteristik warna khas coklat kekuningan

seperti pinus, sungkai dan pulai (Krisdianto, 2007).

Untuk keperluan identifikasi kayu, Jugo Illic (1990)

telah mengelompokkan warna kayu dalam 10 warna

sebagai indikator warna utama, yaitu warna jerami

( ), kuning kecoklatan ( ), coklat ( ),

oranye kecoklatan ( ), merah muda

kecoklatan ( ), merah kecoklatan (

), coklat gelap ( ), hijau kecoklatan

( ), warna lembayung ( ) dan kuning

cerah ( ). Standar identifikasi yang digunakan

dalam identifikasi kayu saat ini juga menyertakan deskripsi

warna kayu seperti telah dikelompokkan oleh Jugo Illic

dengan beberapa tambahan seperti warna zaitun, abu-abu

dan abu-abu kehijauan. Namun demikian, deskripsi warna

alami kayu tersebut kurang informatif dan masih

berdasarkan persepsi warna kayu yang ditetapkan oleh

manusia berdasar persepsinya terhadap stimulasi panjang

gelombang cahaya yang diterima oleh retina.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alat

pengukur warna memiliki konsep yaitu sumber

cahaya buatan yang telah distandarisasi, benda yang

memantulkan warna dengan bidang yang telah ditentukan

dan otak manusia yang digantikan oleh sensor digital yang

menilai suatu warna. Adopsi sistem ini bertujuan

agar pengukuran warna sedekat mungkin dengan persepsi

manusia. Beberapa alat untuk pengukuran warna benda

solid adalah Microflash-200, Colourimeter CR-300, CR-400

dan CR-410 dan beberapa pengembangan alat spectro-

fotometer. Alat pengukur warna tersebut disyaratkan

mengacu pada salah satu model pengukuran warna, stabil,

akurat, fleksibel (mobilitas tinggi) dan mudah dilakukan.

Salah satu contoh alat pengukur Minolta CR-300

ditampilkan dalam Gambar 1.

Sejak tahun 1960, beberapa pustaka telah

mendiskusikan tentang kuantifikasi warna benda agar

mudah dideskripsikan (Bourgois , 1991; Nishino ,

straw yellow brown brown

orange brown

pinkish brown red-

brown chocolate-brown

green-brown mauve-tint

bright yellow

triplet

triplet

et al. et al.

B. Alat Pengukur Warna Digital

Dengan

Sistem CielabDengan

Sistem Cielab

Pengukuran Warna KayuPengukuran Warna Kayu

FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �28

Pustekolah - Bogor

Page 31: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Gambar 1. Minolta CR-300 chromameter

Keterangan :

A. Minolta CR-300 chromameter data prosessor

B. Pengukur warna dengan bidang ukur 8 mm

C. Keramik putih sebagai kalibrasi

A

B C

1998). Pada tahun 1976, komisi pengukuran warna

internasional (CIE,

) mengumumkan standar pengukuran warna

CIELAB atau CIEL*a*b* untuk benda yang tidak

memancarkan cahaya ( ) seperti tekstil,

cat dan produk dari plastik. Sejak saat itu, sistem

pengukuran warna CIELAB telah terbukti mampu

membantu standarifikasi pengukuran warna dalam

industri, terutama membantu pembuatan nota

kesepakatan atau kespahaman antara penjual dan pembeli

tekstil, yaitu pencantuman nilai warna berdasarkan nilai

L*, a* dan b* dan toleransi yang diperbolehkan (McLaren,

1976; Agoston, 1979).

Sistem pengukuran CIELAB juga telah dilakukan untuk

produk kayu, seperti kuantifikasi warna alami kayu pinus

dan ekaliptus (Krisdianto, 2007), pengukuran warna alami

komponen kayu (Nishino

1991). Dalam sistem

pengukuran CIELAB, nilai warna disajikan dalam tiga titik

koordinat yaitu dan . Koordinat pertama

merupakan kecerahan ( ) yang berskala dari '0'

sampai '100'. Nilai kecerahan 'nol' berarti benda hitam

mutlak, sedangkan kecerahan '100' berarti refleksi

kecerahan putih sempurna. Nilai adalah nilai

kemerahan ( ) yang berskala positif 120 (+120) dan

Commission International de l'

Eclairage

non-self-luminous

et al.,

et al.,

L*, a* b* L*

lightness

a*

redness

1998), menentukan

serangan jamur pelapuk (Katuščák dan Katuščákoá,1987) dan perhitungan perubahan warna akibatperlakuan panas (Burgois

negatif 120 (-120). Nilai positif 120 (+120) adalah nilai

merah sempurna dan negatif 120 (-120) adalah warna

hijau sempurna. Nilai adalah nilai koordinat kekuningan

( ) yang berskala positif 120 (+120) untuk kuning

sempurna dan negatif 120 (-120) untuk biru sempurna

(McLaren, 1976).

Perbedaan warna suatu benda dapat dinilai

berdasarkan tiga hal, yaitu perbedaan warna (Δ ), sudut

warna ( ) dan kroma (C* ). Perbedaan warna

(Δ ) merupakan rerata perbedaan jarak dari nilai

dan dalam tiga titik koordinat, sedangkan perbedaan

sudut warna adalah perbedaan sudut warna dalam atlas

warna yang berbentuk bundar. Perbedaan kroma adalah

perbedaan tinggi rendahnya kroma berdasarkan

perhitungan Hunter (1987). Perhitungan perbedaan warna

yang paling sering dan mudah digunakan adalah

perbedaan warna (Δ ) (Rumus Perhitungan 1).

Perbedaan warna akan tampak oleh mata manusia pada

umumnya jika nilai Δ lebih dari 1,5 (Horváth dan Halász-

Fekete, 2005).

Rumus perhitungan 1.

b*

yellowness

E*

hue angle, h°

E* L*, a*

b*

E*

E*

ab ab

Dimana Δ , Δ Δ adalah perbedaan nilai awal ( )

L*, a* dan b* dengan nilai akhirnya ( ). Nilai Δ adalah

nilai total perbedaan warnanya.

L* a* dan b* i

f E*

29FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 32: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

C. Warna Alami Kayu

Warna alami kayu adalah warna yang dimiliki oleh

suatu jenis kayu tanpa mendapatkan perlakuan tertentu.

Karakteristik warna kayu disebabkan oleh kandungan zat

ekstraktif dalam kayu yang bervariasi dari 1% sampai 20%

untuk kayu-kayu tropis. Zat ekstraktif yang memberikan

warna kayu bervariasi dari tanin, flavonoid, stilbena,

polifenol, fenol dan antosianin (Achmadi, 1990; Uprichard,

1993; Sjostrom, 1993). Variasi kandungan zat ekstraktif

tersebut dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan pohon

penghasil kayu, sehingga kondisi geografis yang

berhubungan dengan kondisi dan jenis tanah

mempengaruhi perbedaan warna satu jenis kayu. Kayu jati

yang tumbuh di daerah pegunungan berkapur misalnya

memiliki kayu yang berwarna coklat lebih tajam dari kayu

jati yang tumbuh di tanah tidak berkapur dan tidak jauh

dari sumber air.

Dalam satu pohon, warna alami kayu bervariasi

bergantung posisinya dalam pohon. Kayu dari bagian gubal

umumnya lebih pucat warnanya dari bagian teras yang

berwarna lebih kuat. Selain itu dalam satu lingkaran

pertumbuhan, warna kayu awal yang berada di awal

lingkaran pertumbuhan berbeda dengan kayu akhir yang

berada di bagian akhir lingkaran pertumbuhan. Perbedaan

warna dalam suatu pohon juga disebabkan karena struktur

anatomi kayu yang membentuk corak kayu yang khas,

seperti bidang perbedaan warna penampang tangensial

yang berbeda dengan penampang radialnya yang bercorak

garis jari-jari kayu. Untuk keperluan identifikasi kayu,

penentuan warna kayu umumnya dilakukan dari

penampang tangensial potongan kayu terasnya.

Sebagai bahan berlignoselulosa, warna alami kayu

berubah sesuai dengan perubahan kadar air dan perlakuan

yang dialaminya. Kayu segar dengan kadar air sekitar

100%, memiliki warna coklat umumnya yang lebih kuat

daripada kayu yang sudah dikeringkan dengan kadar air

dibawah 30%. Hal ini disebabkan perubahan suhu dan

kelembaban menyebabkan air menguap dari dalam kayu

disertai perubahan kandungan ekstraktif yang berperan

dalam warna kayu. Selain itu, terjadi proses oksidasi per-

mukaan kayu yang menyebabkan permukaan kayu terbuka

menjadi lebih pucat (Tsoumis, 1991). Penurunan kadar air

tidak hanya menjadikan layu lebih pucat, namun pada

beberapa jenis kayu menjadikan warna coklatnya lebih

kuat, seperti kayu merbau. Hal ini disebabkan pada proses

pengeringan alaminya zat warna ikut terbawa keluar dan

mengendap di permukaan kayu. Perubahan warna kayu

yang nyata adalah akibat pencuacaan (weathering),

dimana kayu menjadi lebih pucat akibat radiasi ultraviolet

dari sinar matahari dan pencucian oleh air hujan yang

diikuti dengan perubahan suhu dan kelembaban.

Seperti telah disebutkan sebelumnya untuk identifikasi

kayu, warna kayu sebaiknya di ukur pada bagian terasnya.

Pengukuran sebaiknya dilakukan pada papan yang sudah

diserut halus pada penampang tangensialnya untuk

menghindari corak bergaris karena adanya parenkima jari-

jari dari bagian radialnya. Untuk menghindari bias

pengukuran pada suatu papan, pengukuran warna

sebaiknya dilakukan pada kondisi kayu kering alami atau

sudah dalam kondisi EMC (Equilibrium Moisture Content)

atau seimbang dengan kondisi atmosfer di sekelililngnya.

Pengukuran warna kayu dilakukan sebanyak mungkin ( 30

pengukuran) agar diperoleh rerata yang cukup mewakili

nilai warna kayu alaminya. Contoh hasil pengukuran

beberapa warna kayu pinus dan eucalyptus dengan

Microflash 200 disajikan dalam Tabel 1.

Penentuan warna kayu adalah bagian penentuan

warna berdasarkan persepsi otak manusia berdasarkan

gelombang cahaya yang diterima oleh retina. Persepsi

suatu warna kayu dapat dikuantifikasi dalam nilai

berdasarkan sistem pengukuran warna CIELAB. Variasi

karakteristik kayu dalam suatu pohon menghasilkan

kesepakatan pengukuran warna kayu yang direkomendasi-

kan, yaitu pengukuran dari bagian kayu teras, pada

permukaan tangensial dan dilakukan pada kayu yang telah

kering udara. Pengukuran dilakukan sebanyak mungkin

agar nilai warna seluruh permukaan kayu terwakili.

+

-

D. Pengukuran Warna Kayu

E. Penutup

FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �30

Page 33: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

No. Jenis kayuNilai warna

L* a* b*

1. Pinus palustris 56,464 25,660 41,810

2. Pinus resinosa 71,984 20,068 43,380

3. Pinus halepensis 72,464 19,168 43,108

4. Pinus canariensis 76,248 18,282 45,022

5. Pinus radiata 71,064 19,356 42,736

6. Pinus sylvestris 72,094 20,306 45,554

7. Pinus strobes 77.802 17,554 38,370

8. Pinus echinata 69,172 21,242 46,502

9. Pinus taeda 69,310 21,388 45,670

10. Pinus pinnaster 71,112 19,328 41,720

11. Eucalyptus muelleriana 53,643 13,969 27,275

12. Eucalyptus grandis 61,642 22,496 31,436

13. Eucalyptus microcorys 61,902 13,594 29,836

14. Eucalyptus propinqua 45,374 23,918 30,000

15. Eucalyptus dives 50,462 18,362 27,736

16. Eucalyptus obliqua 55,096 17,152 32,342

17. Eucalyptus maculata 53,600 19,220 33,444

18. Eucalyptus viminalis 65,098 19,038 30,334

19. Eucalyptus gummifera 37,360 22,506 23,350

20. Eucalyptus crebra 39,798 20,862 24,996

Tabel 1. Hasil pengukuran warna kayu pinus dan eucalyptus dengan Microflash - 200

Daftar Pustaka

Achmadi, S.S. 1990. Pusat Antar Universitas.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Agoston A. 1979.

. Heidelberg. P.286.

Boardman B.E., Senft, G.P. McCabe dan Ladisch, C.M. 1992.

Colorimetric analysis in grading black walnut veneer.

24:99-107.

Bourgois J., Janin G dan Guyonner, R. 1991. The colour

measurement afast method to study and to optimize

the chemical transformations undergone thermically

treated wood. 45(5):377-382.

Horváth H.Z. dan Halász-Fekete M. 2005. Instrumental

colour measurement of Paprika grist in

Faculty of Engineering

Hunedora. Pp. 101-107.

Illic, J. 1990. The CSIRO Macro key for hardwood

Identification. Division of Forestry and Forest Products,

CSIRO, Melbourne, Australia. P. 125.

Katuščák S. dan Katuščákoá G. 1987. Means of objective

identification of Spruce wood decay.

41(5):315-320.

Kimia Kayu.

Color Theory and Its Application in Art

and Design

Wood and Fiber Science

Holzforschung

Annals of the

Faculty of Engineering.

Holzforschung

Krisdianto, 2007. Colour differences of pine and eucalyptus

. 4(2):83-91.

McLaren, J. 1976. The development of the CIE 1976

(L*a*b*) uniform colour-space and colour difference

formula.

92(9):338-341.

Nishino Y. Janin G. Chanson, B. Detienne, P. Grill, J. dan

Thibaut B. 1998. Colourimetry of wood specimen from

French Guiana. 44(1):3-8.

Sjostrom, E. 1993.

. Edisi 2 (terjemahan) Gadjah Mada Univ.

Press. UGM, Yogyakarta.

Tilley, R. 1999. Colour and the optical properties of

materials. An exploration of relationship between light,

the optical properties of material and colour. Cardiff

University, John Willey and Son Ltd. London. P.342.

Tsoumis, G. 1991.

. Van Nostrand

Reinhold, New York.

Uprichard, J.M. 1993. Wood extractives. Walker,

J.C.F. Primary Wood Processing: principle and Practice.

Chapman and Hall, London.

Journal of Forestry Research

Journal of the Society of Dryers and Colourists

Journal of Wood Science

Kimia Kayu Dasar-dasar dan

Penggunaan

Science and Technology of Wood:

Structure, Properties and Utilization

Dalam

31FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 34: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

artikel

Pada tahun 1968 mulai ada pabrik yang membuat kayu

lapis berukuran 2,44 m x 1,22 m sehingga disebut panel.

Kayu lapis yang dibuat berupa tripleks yang digunakan

untuk bahan peti teh, bahan bangunan dan bahan mebel.

Sebelum tahun 1968 yang dibuat adalah tripleks

berukuran panjang kurang dari satu meter dan lebar

kurang dari setengah meter yang digunakan untuk peti teh

dan barang kerajinan. Pada tahun 1970-an berdiri

beberapa pabrik kayu lapis yang membuat tripleks dan

multipleks berukuran 2,44 m x 1,22 m serta mulai ada yang

diekspor, sehingga mendorong pemerintah untuk

membuat standar kayu lapis. Pada tahun 1981 mulai

dibuat standar kayu lapis. Berdasarkan lembaga

pemerintah yang membuatnya, disebut

SKI), SII)

dan SP). Materinya sama, yaitu

berasal dari Standar Amerika. Pada standar ini ada 2

macam mutu perekatan yaitu tipe I (eksterior) dan tipe II

(interior) serta 4 macam mutu lapisan muka, yaitu A, B, C

dan D. Pada pengujian mutu perekatan, selain nilai geser

tarik, diperhatikan juga kerusakan kayu. Pada Standar

Amerika ada dua macam mutu perekatan yaitu tipe I dan

tipe II serta ada 4 macam mutu lapisan muka yaitu BB, CC,

OVL (Overlay) dan UTY (Utility).

Standar bersifat sukarela sehingga pasar yang

menentukan standar yang digunakan oleh produsen untuk

ekspor ke negara tertentu. Standar Inggris dipakai untuk

ekspor kayu lapis ke Eropa yang mempunyai 4 macam

mutu perekatan, yaitu INT),

MR), BR) yang kemudian berubah

menjadi CBR) dan

WBP). Bila dibandingkan dengan Standar Amerika,

MR setara dengan tipe II dan WBP setara dengan tipe I.

Mutu perekatan ditentukan oleh nilai geser tarik dan

kerusakan kayu. Mutu lapisan muka tidak mengacu ke

Standar Inggris (3 macam) tetapi ke Standar Amerika (4

macam) dengan istilah BB, CC, OVL dan UTY.

Pada tahun 1980-an ekspor kayu lapis ke Jepang

meningkat dan standar yang dipakai adalah Standar

Jepang. Pada standar ini dikenal 4 macam mutu perekatan,

yaitu tipe III, tipe II, tipe I dan tipe khusus. Dibandingkan

dengan Standar Inggris, tipe III lebih rendah dari INT karena

tipe III diuji dalam keadaan kering sedangkan INT diuji

setelah direndam dalam air dingin. Tipe II setara dengan

MR, tipe I setara dengan CBR dan tipe khusus setara

dengan WBP. Mutu perekatan ditentukan oleh nilai geser

Standar

Kehutanan Indonesia ( Standar Industri Indonesia (

Standar Perdagangan (

Interior ( Moisture Resistance

( Boil Resistance (

Cyclic Boil Resistance ( Weather and Boil

Proof (

tarik, nisbah tebal lapisan inti dengan lapisan muka (tebal

rata-rata lapisan muka+lapisan belakang) dan jenis kayu

atau kelompok jenis kayu. Mutu lapisan muka tidak

mengacu ke Standar Jepang (3 macam), tetapi ke Standar

Amerika (4 macam) dengan istilah BB, CC, OVL, UTY.

Berdasarkan pengalaman melaksanakan Standar

Jepang dengan volume kayu lapis yang besar maka standar

kayu lapis Indonesia yang semula hanya mengenal 2

macam mutu perekatan pada tahun 1992 diubah menjadi

4 macam yaitu tipe eksterior I yang setara dengan tipe

khusus, tipe eksterior II yang setara dengan tipe I, tipe

interior I yang setara dengan tipe II dan tipe interior II yang

setara dengan tipe III. Cara pengujian dan persyaratan

mutu perekatannya mengikuti Standar Jepang, yaitu 7

kg/cm setelah diperhitungkan dengan nisbah tebal

lapisan inti dengan lapisan muka. Tipe interior II diuji dalam

keadaan kering sehingga sesuai dengan industri kecil.

Mutu lapisan muka 4 macam, yaitu A, B. C dan D mengikuti

Standar Amerika disesuaikan dengan keadaan di Indonesia

(modifikasi), sedangkan mutu lapisan belakang hanya satu

macam berupa persyaratan minimal.

Pembentukan DSN)

pada tahun 1989 disusul dengan penyusunan

SSN) 1992 dan peresmian SNI

(Standar Nasional Indonesia) sehingga tidak ada lagi

standar sektoral yang dikeluarkan oleh suatu kementerian.

Sebagai contoh dalam hal kayu lapis dikenal ada SNI Kayu

lapis penggunaan umum dengan 4 macam mutu perekatan

dan 4 macam mutu lapisan luar seperti dikemukakan di

atas. Selain itu ada SNI Kayu lapis struktural dan SNI Kayu

lapis indah jati. Pada tahun 1997 DSN berubah menjadi

BSN) disusul dengan

penyusunan SSN 2001 sebagai penyempurnaan SSN 1992.

Panitia Teknis (PT) dibentuk di setiap lembaga teknis misal

kementerian untuk menyusun Rancangan SNI, yang

ketentuannya tercantum dalam SSN 1992 dan SSN 2001.

Pada tahun 2005 BSN mengadakan penyeragaman

pembentukan PT berdasarkan

ICS) lengkap dengan contoh Standar

ISO terkait. Sebagai contoh ICS 79 Teknologi kayu

meliputi antara lain kayu bundar, kayu gergajian, kayu

2

Dewan Standardisasi Nasional (

Sistem

Standardisasi Nasional (

Badan Standardisasi Nasional (

International Classification

for Standards (

STANDAR KAYU LAPISI N D O N E S I A

Paribotro Sutigno

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �32

Page 35: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

lapis, papan partikel dan papan serat. Berdasarkan ICS ini

dibentuk PT 79 Hasil Hutan Kayu. Dalam perdagangan

sudah lama dikenal penyeragaman semacam itu, yang

dikenal dengan HS.

Penyusunan standar dapat dilakukan berdasarkan (1)

adopsi standar negara lain atau standar internasional atau

(2) berdasarkan penelitian. Dalam hal adopsi dapat

dilakukan secara identik atau modifikasi. Penyusunan

standar kayu lapis sebelum dan setelah SNI seperti telah

dikemukakan di atas dilakukan berdasarkan adopsi

modifikasi dari standar negara lain, yang berarti ada

penyesuaian dengan keadaan di Indonesia. Format

standar disesuaikan dengan format yang dipakai di

Indonesia, isi standar disesuaikan dengan pengalaman

industri di Indonesia dalam membuat dan memasarkan

produk.

BSN menerapkan adopsi identik (IDT) Standar ISO

secara bertahap, minimal format SNI maksimal format dan

isi SNI. Mengenai isi berarti menerjemahkan Standar ISO.

Bila tidak dapat dilakukan adopsi identik, dilakukan adopsi

modifikasi (MOD), yaitu ada bagian yang disesuaikan

dengan keadaan di Indonesia. Dalam hal kayu lapis

kebanyakan dilakukan adopsi identik meliputi format dan

isi.

1 SNI ISO 2074:2008 Kayu lapis - Istilah dan definisi (ISO

2074:2007, IDT)

2 SNI ISO 1096:2010 Kayu lapis - Klasifikasi (ISO

1096:1999, IDT)

3 SNI ISO 2426-1:2008 Kayu lapis - Klasifikasi

berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 1: Umum

(ISO 2426-1:2000, IDT)

4 SNI ISO 2426-2:2008 Kayu lapis - Klasifikasi

berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 2 : Kayu

daun lebar (ISO 2426-2:2000, IDT)

5 SNI ISO 2426-3:2008 Kayu lapis - Klasifikasi

berdasarkan penampilan - Bagian 3 : Kayu daun jarum

(ISO 2426-3:2000, IDT)

6 SNI ISO 12466-1:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan

Bagian - 1 : Cara uji (ISO 12466-1:2007, IDT)

7 SNI ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan

Bagian - 2 : Persyaratan (ISO 12466-2:2007, IDT)

8 SNI 7630:2011 Kayu lapis - Toleransi ukuran (ISO

1954:1999, MOD)

Selain itu karena kayu lapis termasuk panel kayu perlu

dilihat pula SNI ISO 9426:2008 Panel kayu - Penentuan

dimensi panel (ISO 9426:2003, IDT), SNI ISO 16979:2008

Panel kayu - Penentuan kadar air (ISO 16979:2003, IDT).

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan

beberapa hal sebagai berikut:

1 Selama ini kita mengenal standar kayu lapis merupakan

satu kesatuan (tidak dipecah menjadi beberapa

standar), seperti pada SNI 01 - 5008.2 - 2000 kayu lapis

penggunaan umum, pada Standar Amerika (IHPA) dan

Standar Inggris (BS).

2 Mutu perekatan dibagi menjadi 3 kelas, yaitu untuk

penggunaan dalam keadaan kering, untuk penggunaan

dalam keadaan lembab dan untuk penggunaan dalam

keadaan eksterior. Walau untuk penggunaan dalam

keadaan kering tetapi pengujiannya dilakukan setelah

peredaman 24 jam dalam air dingin. Hal ini berarti lebih

tinggi dari SNI Kayu lapis penggunaan umum untuk tipe

interior II yang pengujiannya dilakukan dalam keadaan

kering. Kelas untuk penggunaan dalam keadaan

lembab setara dengan tipe eksterior II dan kelas untuk

penggunaan dalam keadaan eksterior setara dengan

type eksterior I pada SNI Kayu lapis penggunaaan

umum.

3 Persyaratan mutu perekatan ditetapkan berdasarkan

nilai geser tarik dengan memperhatikan kerusakan

kayu.

4 Penampilan permukaan dibagi menjadi 5 kelas, yaitu E,

I, II, III dan IV berdasarkan cacat (ciri) alami dan

berdasarkan cacat teknis (proses pembuatan). Pada

kelas E penampilan permukaan tanpa cacat, baik cacat

alami maupun cacat teknis. Penampilan permukaan

tersebut dibedakan antara kayu daun lebar dan kayu

daun jarum.

Berhubung SNI ISO Kayu lapis tidak merupakan satu

kesatuan, perlu dibuat rangkuman sehingga merupakan

satu kesatuan dan lebih mudah dipahami. Rangkuman ini

ada 3 macam, yaitu berupa buku berjudul Pengujian Kayu

Lapis, berupa brosur berjudul Mengenal Kayu Lapis dan

berupa abstrak berjudul Standar Kayu Lapis. Buku

berukuran kuarto, sedangkan brosur dan abstrak

berukuran setengah kuarto. Isi buku lebih lengkap

daripada isi brosur sehingga dapat digunakan dalam

pelatihan Penguji Kayu Lapis dan dapat digunakan sebagai

petunjuk teknis oleh pihak yang melakukan pengujian kayu

lapis. Isi brosur lebih sederhana, meliputi pengertian,

macam, sifat, kegunaan dan mutu kayu lapis sehingga

dapat digunakan untuk promosi kayu lapis dan SNI nya,

pelatihan penyuluh, rujukan bagi karyawan lembaga yang

ditugasi melakukan pengadaan barang, pelatihan

karyawan perusahaan yang membuat dan menjual kayu

lapis, untuk produsen dalam membuat selebaran promosi

kayu lapis yang dibuatnya disertai data hasil uji mutunya

serta sebagai penyeimbang dari selebaran yang dibuat

oleh produsen. Selama ini pihak produsen sudah biasa

membuat selebaran untuk promosi produknya yang

seharusnya diimbangi oleh pemerintah dengan membuat

selebaran atau brosur untuk promosi produk dan SNI nya.

Isi abstrak lebih ringkas daripada isi selebaran dan dipakai

untuk keperluan kartu pustaka, website, dan buku abstrak.

Hal ini sesuai dengan program pemasyarakatan SNI dan

program penggunaan produk Indonesia.

FORPro 33� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 36: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

OPINI

emua pihak mengakui bahwa standar merupakan hal

yang penting, baik standar formal maupun standar

informal. Mengingat hal ini wajar ada semboyan “Standar

bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tanpa standar

bukan berarti apa-apa”.

Walaupun demikian ada yang berpendapat standar

nasional perlu banyak, tetapi ada yang berpendapat

standar nasional tidak perlu banyak. Standar yang

dikeluarkan oleh suatu negara termasuk standar formal

seperti Standar Nasional Indonesia (SNI). Jumlah SNI pada

saat ini sekitar 7.000-an, sehingga Indonesia merupakan

negara ASEAN yang mempunyai standar terbanyak.

Berdasarkan katalog SNI Bidang Kehutanan sampai

dengan tahun 2012 ada 134 SNI yang dibagi menjadi 3

kelompok sesuai dengan Panitia Teknis (PT), yaitu:

(1) Panitia Teknis 79-01, Hasil hutan kayu.

Ada 3 kelompok, yaitu Kayu bundar 10 SNI, Produk kayu

olahan 66 SNI, Pendukung 16 SNI. Jumlah 92 SNI.

(2) Panitia Teknis 65-01, Pengelolaan hutan.

Ada 4 kelompok, yaitu Pengelolaan hutan 8 SNI,

Pembenihan 13 SNI, Bibit 8 SNI, Bibit 8 SNI, Pendukung

8 SNI. Jumlah 37 SNI .

(3) Panitia Teknis 65-02, Hasil hutan bukan kayu.

Tidak dibagi menjadi kelompok, 13 SNI.

SNI mengenai kayu bundar termasuk sedikit karena

hanya dibedakan ke dalam kayu bundar jati, kayu bundar

rimba, kayu bundar daun lebar, kayu bundar daun jarum.

Semula SNI kayu bundar rimba dibedakan menjadi

sortimen Kayu Bundar Besar (KBB) dan Kayu Bundar

Sedang (KBS). Selain itu ada SNI Kayu bundar sungkai,

merbau, perupuk, dan , eboni,

kuku, sengon dan jabon, mahoni, rasamala, sonokeling

dan sonokembang serta seratus jenis kayu bundar rimba

yang semuanya termasuk kayu daun lebar. Dalam hal kayu

daun jarum semula ada SNI Kayu bundar tusam, agatis.

Kalau tidak ada program penyederhanaan jumlah standar,

mungkin akan ada SNI mengenai kayu bundar kayu daun

jarum yang lain, seperti ,

.

SNI mengenai produk kayu olahan termasuk banyak

(61 buah) karena meliputi beberapa macam kelompok

produk dan kelompok pendukung. Sebagai contoh

kelompok produk adalah kayu gergajian, kayu bentukan,

Panitia Teknis 79-01. Hasil hutan kayu.

Gmelina Acacia mangium

Podocarpus Dacrydium,

Araucaria

kayu lapis dan lantai kayu. Contoh kelompok pendukung

adalah cara uji emisi formaldehida, pengemasan dan

penandaan.

SNI kayu lapis termasuk papan blok ada beberapa

macam seperti kayu lapis penggunaan umum, kayu lapis

struktural, kayu lapis alas peti kemas, kayu lapis bermuka

film, kayu lapis indah jati, kayu lapis indah dan papan blok

indah. Mulai tahun 2008 ada program penyusunan SNI

berdasarkan adopsi identik dari Standar ISO. Format

standar ini tidak terpadu seperti yang selama ini dikenal

(satu produk meliputi semua aspek) tetapi satu produk

dipecah menjadi beberapa bagian atau beberapa standar.

Sebagai contoh SNI ISO 2074:2008. Kayu lapis - Istilah dan

definisi, SNI ISO 1096: 2010 Kayu lapis - Klasifikasi, SNI ISO

12466-1:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan - Bagian 1: Cara

uji dan SNI ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - Mutu Perekatan

Bagian 2: Persyaratan.

SNI mengenai pengelolaan hutan (nama kelompok)

meliputi pengelolaan dan pengusahaan hutan. SNI

mengenai perbenihan meliputi penanganan dan uji benih.

Dalam hal uji benih ada yang berhubungan dengan jenis

pohon seperti jati dan cendana. SNI mengenai pendukung

meliputi sumber benih, persemaian, inokulasi dan

pengumpulan buah tanaman kehutanan.

SNI mengenai produk ini berhubungan dengan macam

hasil hutan bukan kayu, seperti getah tusam, gondorukem,

terpentin, damar, kopal, biji tengkawang, gambir, minyak

kayu putih dan madu. Ada produk yang merupakan bahan

baku seperti getah tusam, damar dan kopal serta ada yang

merupakan hasil olahan seperti godorukem, terpentin dan

minyak kayu putih.

Setiap kebijakan ada positif dan ada negatifnya,

demikian juga kebijakan SNI banyak atau SNI sedikit. Aspek

positif SNI banyak adalah cakupan luas sedangkan aspek

negatifnya adalah memerlukan biaya yang besar, seperti

biaya penyusunan dan pemeliharaannya (antara lain kaji

ulang). Aspek positif SNI sedikit adalah biayanya tidak

banyak sedangkan aspek negatifnya adalah cakupannya

tidak banyak.

Panitia Teknis 65-01. Pengelolaan hutan

Panitia Teknis 65-02. Hasil hutan bukan kayu

Pembahasan

Paribotro Sutigno

Apakah Perlu Banyak?SNI(Kasus Sektor Kehutanan)

Apakah Perlu Banyak?SNI(Kasus Sektor Kehutanan)

S

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �34

Page 37: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Contoh kebijakan SNI sedikit adalah program

penyederhanaan jumlah SNI seperti dalam hal SNI

mengenai kayu bundar yang telah dikemukakan di atas. SNI

kayu bundar daun lebar dan SNI kayu bundar daun jarum.

Contoh lain adalah pada hasil kaji ulang SNI tahun 2012

ada penyederhanaan jumlah SNI mengenai benih dan bibit

dari 8 menjadi 5 buah serta tidak lagi menyebut jenis

pohon.

Bila sudah diputuskan akan menganut kebijakan SNI

sedikit, beberapa program yang dapat dibuat antara lain:

(1) SNI disusun untuk hal yang penting saja seperti

menyangkut penggunaan yang luas dan merupakan

“payung standar” sehingga dapat dijabarkan menjadi

beberapa peraturan teknis. Ruang lingkup tiap PT

dilengkapi dengan SNI yang sudah ada dan belum ada

sehingga diketahui SNI yang perlu dibuat dan

prioritasnya serta kemungkinan penjabarannya

menjadi peraturan teknis (seperti spesifikasi teknis

yang dikenal di kalangan industri). Ada pabrik mebel

yang sepakat dengan pemasok kayu untuk membuat

spesifikasi teknis kayu bundar mindi. Contoh SNI 01-

2025-1996 Kayu lapis indah dan papan blok indah

dapat dijadikan payung standar bagi semua macam

kayu lapis indah dan papan blok indah (kalau perlu

setelah direvisi) dari berbagi jenis kayu indah seperti

jati, mahoni dan sonokeling. “Standar” produk ini yang

berbeda karena jenis kayunya cukup dibuat berupa

peraturan teknis.

(2) Penggabungan beberapa SNI yang sudah ada seperti

contoh pada SNI mengenai kayu bundar tersebut di

atas. SNI mengenai papan sambung dan bilah sambung

dapat dibuat untuk menggabungkan SNI 01-6020-1999

Mutu dan cara uji papan sambung dekoratif, SNI 01-

6243-2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk

kusen daun jendela dan daun pintu, SNI 01-6243-2-

2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk meja.

(3) Perluasan SNI yang ada melalui revisi seperti SNI 01-

5508-3-2000 Venir sayat jati menjadi Venir sayat yang

dapat menjadi “payung standar” bagi peraturan teknis

venir sayat dari berbagai jenis kayu. Hal serupa berlaku

juga bagi SNI mengenai venir kupas yang merupakan

“payung standar” bagi peraturan teknis venir kupas

dan berbagai jenis kayu. Penyusunan peraturan teknis

akan lebih cepat dan lebih murah daripada

penyusunan SNI.

(4) Tidak semua Standar ISO harus diadopsi (identik atau

modifikasi). Contoh: Standar ISO mengenai kayu-

penentuan kekuatan maksimum pada lentur statis

(kemudian menjadi SNI No 3133:2010). Bila standar

ISO itu tidak diadopsi, tidak akan mempengaruhi

perdagangan kayu. Lembaga penelitian sebagai

pengguna standar semacam itu mengetahui standar

yang dipakai seperti ASTM.

Sebagaimana dikemukakan di atas ruang lingkup tiap

PT perlu dilengkapi dengan SNI yang sudah ada dan yang

akan dibuat serta prioritasnya. Hal ini berarti membuat

rincian ruang lingkup utama dari standardisasi sektor

kehutanan. Dengan demikian dapat diketahui berapa

banyak SNI sektor kehutanan yang akan dibuat dan dalam

jangka waktu berapa lama akan selesai. Standar

kompetensi kerja merupakan suatu macam standar. Ada

info bahwa di Australia sebelum menyusun standar ini

dibuat ruang lingkupnya dulu secara rinci dan

penyusunannya selesai dalam 10 tahun. Sesuai dengan

kebijakan SNI sedikit, maka tidak semua “standar” menjadi

SNI, tetapi sebagian berupa peraturan teknis yang

berinduk pada “payung standar” SNI. Hal itu berarti tidak

semua produk standar harus berupa SNI, seperti juga tidak

semua produk hukum harus berupa undang-undang.

Pelaksanaan kebijakan SNI sedikit berarti menghemat

biaya, menghemat waktu dan menghemat tenaga. Hal ini

berarti tersedia biaya, waktu dan tenaga untuk kegiatan

standardisasi lain yang bermanfaat seperti pembuatan

brosur dan selebaran dalam rangka pemasyarakatan SNI.

Manfaat brosur dan selebaran bagi masyarakat antara lain

mengenal SNI, mengenal produk sehingga tidak salah pilih

dan tidak salah pakai, misal produk berupa kayu lapis.

Brosur dan selebaran itu dibagikan kepada produsen dan

konsumen disertai penjelasan dan dikaitkan dengan

kegiatan lain, seperti pameran, pelatihan, pendidikan dan

penyuluhan. Pengertian konsumen dalam arti yang luas,

termasuk antara lain pedagang dan lembaga pemerintah

(agar dalam pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah

sesuai dengan SNI).

Pembuatan brosur dan selebaran sudah biasa

dilakukan oleh produsen dalam rangka promosiproduknya

(barang dan jasa). Beberapa produsen mencantumkan

data hasil pengujian barang disertai standar yang

digunakan. Dengan demikian brosur dan selebaran yang

dibuat pemerintah dalam rangka pemasyarakatan SNI

merupakan pembanding atau penyeimbang dari yang

dibuat produsen. Contoh sederhana dari selebaran adalah

mengenai macam dan ukuran kayu gergajian yang

merupakan bagian dari SNI mengenai kayu gergajian.

Selebaran ini merupakan awal dari seri selebaran

mengenai kayu gergajian dengan judul tetap yaitu “Kayu

gergajian”, sub judul “Macam dan ukuran”. Pada seri

kedua, sub judul berubah tergantung pada aspek yang

dibahas, sedangkan judul tetap.Bila hal ini berhasil

kemudian diterapkan pada yang lain, misal “Kayu lapis”

(judul), “Macam dan ukuran” (sub judul).

Standar merupakan hal yang penting karena

bermanfaat dalam berbagai macam kegiatan. Dalam hal

standar nasional ada dua pendapat, yaitu standar nasional

perlu banyak dan standar nasional tidak perlu banyak. SNI

merupakan contoh dari standar nasional. Bila dianut

kebijakan SNI sedikit maka perlu diikuti dengan membuat

peraturan teknis sebagai turunan dari SNI. Hal ini berarti

SNI sebagai “payung standar”.

Penutup

FORPro 35� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Page 38: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

ARTIKEL

A. PENDAHULUAN

B. BAHAN DAN ALAT PEMBUATAN PEREAKSI

Keberhasilan proses pengawetan kayu ditentukan oleh

dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu retensi dan

penetrasi. Retensi adalah sejumlah bahan pengawet

kering yang masuk atau diserap selama dalam proses

pengawetan ke dalam kayu yang dinyatakan dalam satuan

kg/m³. Sedangkan penetrasi adalah kedalaman

penembusan bahan pengawet ke dalam kayu yang

dinyatakan dalam satuan milimeter (mm) atau prosentase

(%) terhadap luasan pada bidang permukaan kayu yang

telah diawetkan.

Pengamatan penetrasi boron dilakukan setelah kayu

selesai diawetkan. Kegiatan pengujian penetrasi dapat

dilakukan oleh produsen (pengusaha pengawetan)

maupun konsumen sebagai pemakai jasa pengawetan.

Banyak unsur garam yang dikandung bahan pengawet,

salah satu kandungan garam di antaranya boron. Apabila

pengawetan kayu memakai unsur boron untuk

mengetahui adanya boron di dalam kayu, dilakukan

pengujian/pengetesan dengan mengggunakan pereaksi

campuran ekstrak kurkuma, alkohol asam klorida pekat

dan asam salisilat.

Bahan untuk pembuatan pereaksi boron tersebut saat

ini harganya relatif mahal dan sukar didapat, sehingga

banyak dikeluhkan oleh produsen pengawetan kayu dan

pemakai kayu yang diawetkan. Untuk mengatasi hal

tersebut di atas dapat dipakai dengan cara dan bahan lain

yang sederhana dan harganya relatif murah dan mudah

didapat yaitu dengan serbuk kunyit, spirtus bening dan air

keras sebagai pengganti ekstrak kurkuma, alkohol dan

asam klorida pekat.

Dalam tulisan ini diuraikan cara membuat peraksi

boron dan perkiraan biaya pembuatannya dibandingkan

dengan pereaksi yang biasa digunakan.

1. Bahan

Serbuk kunyit�

Spirtus bening

Air keras (nama dagang untuk asam klorida)

Asam salisilat

2. Peralatan

3. Larutan pereaksi terdiri dari dua macam, yaitu

pereaksi A dan Pereaksi B

a. Cara pembuatan pereaksi A 500 mL:

b. Cara pembuatan peraksi B 500 mL:

Pereaksi A hasil rekayasa bahan, semprotkan pada

salah satu bidang potong contoh uji penetrasi dan diamkan

beberapa detik, kemudian semprotkan pereaksi B. Biarkan

beberapa menit, sampai timbul warna merah untuk

contoh uji yang mengandung boron. Bagian yang tidak

mengandung boron berwarna kuning. Untuk

mempercepat timbulnya warna merah, dapat juga

potongan contoh uji penetrasi yang telah disemprot kedua

pereaksi, dijemur. Hasil uji penetrasi dengan penampakan

warna merah hasil spotes pereaksi rekayasa dibanding

hasil uji penetrasi dari pereaksi dari toko tidak ada

perbedaan penampakan warna.

Timbangan

Gelas pengukur larutan

Pengaduk

Corong plastik

Handsprayer, tempat menyimpan larutan

Timbang 50 gram serbuk kunyit

Tambahkan spirtus bening hingga 500 mL

Aduk dan diamkan beberapa saat hingga

serbuk kunyit mengendap

Tuangkan larutan ke dalam handsprayer

yang telah diberi label

Takar 400 mL spirtus bening

Tambahkan 100 mL air keras, lalu diaduk

Tambahkan asam salisilat sambil terus

diaduk, sehingga tidak melarut lagi

(diperkirakan 65 gram asam salisilat)

Tuangkan larutan ke dalam handsprayer

yang telah diberi label

Perbandingan biaya bahan untuk pembuatan 500 mL

pereaksi yang biasa digunakan dengan memakai bahan

dari kimia murni dibanding dengan pemakaian peraksi

hasil pembuatan dari bahan secara sederhana tercantum

pada Tabel 1.

C. PENGUJIAN PENETRASI BORON

D. BIAYA PEMBUATAN PEREAKSI

Didik Ahmad Sudika

UJI PENETRASI BORON

SEDERHANA

FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �36

Page 39: Artikel “Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi”

Foto 1.

Potongan melintang contoh kayu

Foto 2.

Setelah disemprot dengan pereaksi A

Foto 3.

Warna merah adalah Penetrasi setelah

disemprot dengan pereaksi A dan B

Tabel 1. Perbandingan biaya pembuatan 500 ml pereaksi uji boron

Pereaksi yang biasa digunakan di laboratorium Pereaksi secara sederhana

Bahan Harga (Rp) * Bahan Harga (Rp)*

Pereaksi A

- 5 gr ekstrak kurkuma (pa)

- 500 ml alkohol 96 % (teknis)

Pereaksi B

- 100 ml asam khlorida pekat

- 400 ml alkohol 96 %

- 65 gr asam salisilat

482.720**

26.000

32.720

20.800

45.903

- 50 gr serbuk kunyit

- 500 ml spirtus bening

- 100 ml airkeras

- 400 ml spirtus bening

- 65 gr asam salisilat teknis

2.000

5 000

2.000 **

4.000

9.750

Jumlah 608. 143 22.750

BAHAN BACAAN

Anonim, 1994.,Standard methods for determining of

preservatives And fire retardants. American-wood

Preservers Association. Wodstock.

Barly dan Sasa Abdurrohim, 1996, Petunjuk teknis

pengawetan kayu untuk bangunan hunian dan bukan

hunian. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Marianto, A. 1996.,Studi penetrasi dan retensi berbagai

bahan pengawet pada kayu perumahan. Skripsi

Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam. Universitas Pakuan Bogor (tidak

diterbitkan).

FORPro 37� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013