Artikel-NYAI DASIMA.docx
Transcript of Artikel-NYAI DASIMA.docx
Alih Wahana dan Nyai Dasima:
Realisme-Eksotis sebagai Pemicu Utama
Ibnu Wahyudi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Pengantar
Pada galibnya, proses kreatif atau laku berkesenian tidak pertama-tama
mempertimbangkan aspek konvensi atau batasan-batasan yang mungkin ada,
melainkan pada kehendak untuk berkreasi, menumpahkan gagasan melalui berbagai
bentuk ekspresi. Bahwa dalam kenyataannya kemudian karya seni yang dikreasinya
itu ternyata hendak diubah bentuk atau direka ulang mengikuti dinamika zaman atau
perkembangan selera dan cita rasanya, hal itu tentu merupakan sesuatu yang mungkin.
Sekiranya pula suatu karya seni mampu menggerakkan seniman lain untuk
mereproduksi karya itu dengan bentuk, media, wahana, maupun sudut pandang yang
menyimpang, hal tersebut juga bukanlah suatu proses yang harus dianggap aneh atau
mengada-ada, melainkan sesuatu yang dapat saja terjadi.
Dalam khazanah sastra Indonesia, karya yang mengalami bermacam-macam
alih wahana,1 direka ulang oleh pengarang lain dengan perubahan sudut pandang,
diposisikan sebagai sebuah legenda atau cerita rakyat, dipentaskan berulang-ulang
oleh sejumlah kelompok teater tradisional maupun modern, disalin ke dalam bentuk
naskah atau manuskrip, atau juga dimanfaatkan sebagai nama bagi sejumlah jenis
minuman dan makanan, dapat dikatakan sebagai tidak banyak jumlahnya.
Transformasi, adaptasi, atau peralihan rupa2 yang paling lazim adalah perubahan dari
novel menjadi film, atau sebaliknya, yaitu dari film diwujudkan menjadi sebuah
1Sampai edisi keempat, edisi 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), istilah “alih wahana” ini belum tercantum. Dalam pemakaian, istilah ini antara lain pernah dipergunakan oleh Sapardi Djoko Damono, yang intinya menjelaskan suatu perubahan yang tidak hanya sebatas pada bentuk atau genre, melainkan juga pada wahananya. Sebagai contoh, film “Cinta dalam Sepotong Roti” yang disutradarai oleh Garin Nugroho pada tahun 1991, diinspirasi oleh sajak “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono yang telah digubah menjadi lagu oleh AGS Aryadipayana, dialihwahanakan lagi menjadi novel berjudul Cinta dalam Spotong Roti oleh Fira Basuki pada tahun 2005 dan diterbitkan oleh Gagas Media.
2 Istilah “transformasi” di sini ditempatkan dalam pengertiannya yang umum sebagaimana tertera dalam kamus. Lihat ibid. h. 1484.
novel. Utamanya pada dekade terakhir ini, pada awal tahun 2000-an misalnya,3
tercatat cukup banyak novel atau film yang mengalami perubahan bentuk itu,
khususnya pada karya-karya yang cenderung dikategorikan sebagai karya populer.4
Sejumlah karya yang merupakan perwujudan dari adanya transformasi
semacam ini terjadi misalnya pada novel laris yang berjudul Ayat-Ayat Cinta
(Republika, 2004) karya Habiburrahman El Shirazy yang difilmkan dengan judul
sama oleh Hanung Bramantyo pada tahun 2007, Jomblo (Gagas Media, 2003) karya
Adhitya Mulya yang juga difilmkan oleh Hanung Bramantyo, Eiffel I’m in Love
(Gagas Media, 2003) karya Rachmania Arunita yang dilayarlebarkan oleh Nasry
Cheppy dengan durasi sepanjang 195 menit, dan Ca-Bau-Kan (Kepustakaan Populer
Gramedia, 1999) karya Remy Sylado yang digarap menjadi film oleh Nia diNata pada
tahun 2002. Sementara itu, perubahan dari film menjadi novel, contohnya terjadi pada
film “Biola tak Berdawai” karya Sekar Ayu Asmara yang digubah menjadi novel
(Akur, 2004) oleh Seno Gumira Ajidarma, film “30 Hari Mencari Cinta” yang
dijadikan novel oleh Nova Rianti Yusuf (Gagas Media, 2004), film “Brownies” yang
dinovelkan oleh Fira Basuki, dan film “Bangsal 13” yang dialihkan menjadi novel
oleh FX Rudi Gunawan (Gagas Media, 2004).
Jika contoh karya-karya yang disebutkan ini cenderung sebatas pada
perubahan dari sebuah bentuk (novel atau film) menjadi bentuk lain (film atau novel),
maka sebuah cerpen karya Melly Goeslaw berjudul “Tentang Dia!!!” dari kumpulan
cerpen 10 Arrrrrgh (Gagas Media, 2004) mengalami perubahan bentuk yang tidak
hanya tunggal. Dari cerpen, karya ini digubah menjadi skenario dan dijadikan film
oleh Rudi Soedjarwo dan setelah itu dijadikan novel oleh Moamar Emka (Gagas
Media, 2005), kemudian bahkan dijadikan komik.5 Apa yang terjadi dengan cerpen
karya Melly Goeslaw ini sesungguhnya adalah sebuah kejamakan, dengan pengertian
bahwa munculnya perubahan, adaptasi, transformasi, dan sebagainya itu, merupakan
sesuatu yang dimungkinkan. Namun demikian, meskipun kemungkinan adanya alih
bentuk dari sebuah karya menjadi karya lain itu terbuka, dalam sejarah kesenian di
3 Dengan pernyataan seperti ini jelas kiranya, uraian ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sebelum tahun 2000-an tidak ada transformasi seperti itu. Tentu saja perubahan bentuk itu ada, hanya saja tidak akan disinggung lebih jauh di sini.
4Maksud dari ungkapan ini kiranya jelas bahwa tidak hanya karya sastra populer saja yang biasa diadaptasi atau ditransformasi; karya sastra yang cenderung diberi label “sastra serius” atau sastra dengan “s kapital” pun ada pula yang dibuat menjadi film seperti karya Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea yang telah dijadikan film dengan judul sama oleh Peter Viertel tahun 1958 dan oleh Aleksandr Petrov pada tahun 1999.5 Firman Venayaksa, “Keterpengaruhan Antara Novel dan Film,” Matabaca, III (12), Agustus 2005, h. 16.
2
Indonesia, khususnya dalam sejarah sastra, hal semacam itu tidak selalu terjadi dan
bahkan dapat dikatakan cukup langka.
Dari yang dapat dikatakan langka ini, prosa berjudul Njai Dasima yang ditulis
dan diterbitkan sendiri oleh G. Francis pada tahun 18966 kiranya pantas untuk disebut
mengingat bahwa segala ragam penciptaan ulang tersebut terjadi padanya. Kendati
demikian, perlu pula kiranya dinyatakan di sini bahwa diadaptasinya novel ini ke
dalam berbagai wahana itu tidak serta merta menjadi petunjuk bahwa karya ini
merupakan karya yang sangat laris atau bahkan mungkin best-seller untuk ukuran
Indonesia maupun lebih-lebih untuk ukuran dunia saat ini,7 karena dari sisi penjualan
tidak pernah ada informasi yang menyebutkan secara jelas angka penjualannya
kecuali keterangan mengenai pencetakulangannya.8 Dikatakan sebagai dikenal luas,
memang demikian faktanya, namun bukan untuk dinyatakan sebagai karya sastra
yang dicetak berulang kali atau banyak dibeli orang seperti halnya seri Harry Potter
karya JK Rowling yang telah terjual ratusan juta buah dalam setidak-tidaknya 64
bahasa di dunia sampai pertengahan tahun 2007, maupun seperti novel Saman karya
Ayu Utami yang telah terjual lebih dari 100.000 eksemplar.9
Sejauh ini, adanya pencetakan ulang terhadap Njai Dasima, dengan mudah
dapat dihitung dengan jari saja, baik dari karya yang asli maupun dari karya-karya
6 Pada sampul-depan naskah asli, seperti terlihat pada gambar 1, nama G. Francis tidak secara langsung tercantum sebagai pengarang, melainkan sebagai “jang mengeloewarken” atau yang menerbitkan. Kenyataan seperti ini yang agaknya menyebabkan W.V. Sykorsky, pengamat sastra Indonesia dari Rusia, menyimpulkan bahwa pengarang Tjerita Njai Dasima tidak diketahui atau setidak-tidaknya bukan G. Francis. Akan tetapi, pendapat Sykorsky ini berbeda dengan pendapat banyak pengamat sastra lain, yang umumnya tetap mengemukakan bahwa pengarang novel ini adalah G. Francis. Sementara dalam tulisan ini, pendapat yang diikuti adalah suatu kenyataan bahwa penulis novel ini adalah Francis dengan bertolak dari situasi reproduksi yang lazim pada masa itu, yaitu bahwa banyak penulis yang juga mempunyai profesi sebagai terutama wartawan dan seringkali pula mempunyai toko buku atau penerbitan. Selain Francis, nama yang pantas disebut di sini sebagai contoh kasus yang serupa adalah Lie Kim Hok, pengarang produktif sezaman dengan Francis. Silakan lihat W.V. Sykorsky, “Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 136 (4e), 1980, h. 503.
7 Ihwal jumlah karya terjual yang dipakai sebagai patokan untuk menyatakan bahwa sesebuah buku atau karya itu dapat dikatakan best-seller, antara kriteria yang lazim dipakai di Indonesia dengan di luar negeri, di Amerika khususnya, berbeda.8 Misalnya saja, dalam bagian “Catalogue of Peranakan Chinese Literature” dari Claudine Salmon, Leterature in Malay by The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography, Paris: Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1981, h. 350, khususnya pada lema nama Tjiang O.S., disebutkan bahwa sadurannya yang diwujudkan dalam bentuk syair telah mengalami perubahan edisi pada tahun 1902, cetak ulang pada tahun 1924 dan tahun 1926.
9 Informasi perihal kelarisan atau dicetak-ulangnya karya-karya seperti ini dengan mudah dapat diakses melalui sejumlah situs di dunia maya. Akurasi informasi yang diberikan barangkali saja bisa meragukan, namun sebagai semacam indikator, data yang tertera pada situs-situs tersebut cukup membantu.
3
yang telah mengalami revisi maupun modifikasi di belakang hari.10 Memang tercatat
adanya penerbitan ulang, bahkan sampai enam kali untuk terbitan tahun 1922, dengan
jumlah tiras yang tidak tercatat datanya, tetapi ini hanya dialami oleh kumpulan syair
yang ditulis kembali oleh Tjiang O.S. maupun Lie Kim Hok.11 Namun demikian,
sosok wanita cantik dari desa Kuripan, Bogor, yang mengalami peristiwa tragis ini
masih berkali-kali muncul dalam berbagai wujud karya, sebagaimana telah
disinggung. Kenyataan seperti ini, meminjam ungkapan Kenji Tsuchiya, dinyatakan
“is indeed a rare occurrence in the literary history of Indonesia.”12
Nyai Dasima dan Versi-versi Reproduksinya
Berikut ini adalah kulit-depan prosa Tjerita Njai Dasima yang sejauh ini dapat
dikatakan sebagai “asli”, terbitan tahun 1896.
Gambar 1
10Cetak ulang terhadap Njai Dasima karya G. Francis baru dilakukan pada tahun 1926 oleh Penerbit F.O. Camoenie di Batavia seperti disebutkan oleh Ding Choo Ming dalam “An Introduction to the Indonesian Peranakan Literature in the Library of the Universiti Kebangsaan Malaysia, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vol. LI, Part I, No. 233, 1978, h. 59. Kemudian Njai Dasima karya G. Francis dan Nyai Dasima karya S.M. Ardan baru dicetak ulang lagi menjadi sebuah buku pada tahun 2007 oleh penerbit Masup Jakarta. Sebelumnya, Pramoedya Ananta Toer telah memasukkan karya G. Francis tersebut ke dalam antologi Tempo Doeloe yang diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1982. Menurut penjelasan Toer (1982:14), ia tidak mengubah cerita dalam antologi tersebut kendati di sana-sini ia telah melakukan penyuntingan ringan. 11 Salmon, op.cit., h. 231-232; 350.
12 Kenji Tsuchiya, “Popular Literature and Colonial Society in Late-Nineteenth Century Java—Cerita Nyai Dasima, the Macabre Story of an Englishman’s Concubine,” Southeast Asian Studies, Vol 28, No. 4, Maret 1991, h. 477.
4
Judul prosa karya G. Francis ini seterusnya hanya akan disebut sebagai “Njai
Dasima” dan bukan “Tjerita Njai Dasima”. Penetapan ini perlu dikemukakan di sini,
selain untuk menjaga kekonsistenan, juga untuk menegaskan bahwa kata “tjerita”
yang tertera pada sampul buku hanyalah penanda bahwa genre karya ini adalah prosa
dan bukan pantun atau syair, misalnya, sehingga judul yang benar tentu adalah tanpa
embel-embel kata “tjerita” itu. Kenyataan ini menjadi semakin jelas ketika lembar
pertama buku cerita ini dibuka, yaitu pada halaman 4, yang tertera bukan kata “tjerita”
lagi tetapi malahan “hikajat” yang dengan segera memberi peneguhan bahwa baik
“tjerita” maupun “hikajat” ini sungguh-sungguh hanyalah penanda genre. Sementara
itu dari sisi desain pun, kalau diperhatikan dengan seksama, tampak adanya tipografi
atau pilihan huruf yang berbeda antara kata “tjerita” dengan frase “Njai Dasima”
sehingga penyebutan karya ini yang hanya dengan “Njai Dasima” saja setidak-
tidaknya berlandaskan atas suatu argumen yang terang. Memang, kalau diperhatikan
dengan cermat, desain kulit-depan buku ini direka dengan memanfaatkan banyak jenis
huruf—sekurang-kurangnya ada tujuh jenis huruf yang dipakai13—namun kenyataan
bahwa antara “tjerita” dengan “Njai Dasima” itu diterakan dengan huruf berbeda,
dapat dimaknai sebagai telah disebutkan.
Judul lengkap yang menyertai judul utama Njai Dasima ini berbunyi Soewatoe
Korban dari pada Pemboedjoek. Anak judul atau judul tambahan seperti ini
merupakan hal yang lazim atau sebuah gaya pemberian judul yang biasa pada masa
itu, seperti terlihat pada judul yang tertera dalam kumpulan puisi pertama di Indonesia
yang terbit pada tahun 1857 yang anak judulnya berbunyi Aken Anak-Anak Ampoenja
Perbatja-an dan Pengadjaran Soepaija Dija Boleh Mengtahwie Aken Ampoenja
Perdjalanan ijang Baek dan ijang Tida Adanja.14
Versi Syair dan Lirik Lagu
Hanya berselang hitungan bulan, pada tahun 1897 novel Njai Dasima digubah
menjadi syair oleh Tjiang O.S. atau O.S.T. dengan judul lengkap Sair Tjerita di
13 Salah sebuah kemungkinan makna dari banyak dipakainya tipe huruf itu hanyalah semacam “kegenitan” dalam berkreasi mengingat bahwa dunia cetak-mencetak pada masa itu dapat dikatakan masih baru sehingga eksplorasi dalam memanfaatkan jenis atau tipe huruf masih mengikuti dengan kuat. Lihat pula Mikihiro Moriyama, “Ketika Sastra Dicetak: Perbandingan Tradisi Tulisan Tangan dan Cetakan dalam Bahasa Sunda pada Paruh Kedua Abad Ke-19.” Makalah ini dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XV Hiski di Hotel Santika Menado, 25-27 Agustus 2004.
14Sa-Orang jang Bangsjawan, Boek Saier oetawa Terseboet Pantoen, Aken Anak-Anak Ampoenja Perbatja-An dan Pengadjaran Soepaija Dija Boleh Mengtahwie Aken Ampoenja Perdjalanan Ijang Baek dan Ijang Tida Adanja, Batavia: Lange & Co., 1857.
5
Tempo Tahon 1813 jang Belon Brapa Lama Soeda Kadjadian di Batawi, Terpoengoet
Tjeritanja dari Boekoe Njaie Dasima, Boekoe Ini Ada Satoe Boekoe Nasehat,
Bergoenanja Boeat Kasi Persent Sa-orang Prampoean jang di Tingalken Harta
Banda (Batawi: Ijap Goan Ho). Lima tahun kemudian, dengan memakai nama O.S.T.
buku syair ini diterbitkan lagi oleh penerbit yang berbeda, yaitu Albrecht Co. Dan
pada tahun 1920-an, karya ini dicetak ulang dua kali, yaitu pada tahun 1924 oleh
penerbit Goan Hong (lihat gambar 2), dan tahun 1926.15
Gambar 2Pada tahun 1897 itu pula, Lie Kim Hok pun telah menggubah Njai Dasima
menjadi syair yang menurut keterangannya “terpoengoet tjeritanja dari boekoe Njaie
Dasima”.16 Karya Lie Kim Hok ini, menurut apa yang tercantum dalam buku
Claudine Salmon, telah dicetak sebanyak enam kali sampai pada tahun 1922 oleh
Penerbit Kho Tjeng Bie dan kemudian dicetak lagi oleh Penerbit Lie Tek Long pada
tahun 1923. Namun yang agak mengherankan, karya ini tidak tercantum dalam
“warisan” yang ditinggalkan oleh Lie Kim Hok dalam buku berjudul Lie Kimhok:
1853-1912 yang ditulis oleh Tio Ie Soei (Bandung: Penerbit L.D. “Good Luck”)
meskipun disebutkan bahwa “disebuah daftar perpustakaan Lembaga Kebudajaan
Indonesia (Museum) di Merdeka-Barat 12, Djakarta pernah terdapat tjatatan ini: ‘Sjair
tjerita di tempo tahon 1813 soedah kadjadian di Batawi, terpoengoet dari boekoe Njai
Dasima, terkarang oleh Lie Kimhok’”.17
15 Salmon, op.cit., h. 350; Tineke Hellwig, “Njai dasima, Een Vrouw uit de Literatuur,” A Man of Indonesian Letters; essays in Honour of A. Teeuw, Dordrecht/Cinnaminson: Foris, 1986, h. 51-52; Henri Chambert-Loir, “Sair Java-Bank Di Rampok, Sastra Melayu atau Melayu-Tionghoa?” Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, h. 339.16 Salmon, Ibid., h. 231. Chambert-Loir, ibid.17 Tio Ie Soei, Lie Kimhok: 1853-1912, Bandung: Penerbit L.D. “Good Luck”, 1959, h. 42.
6
Dengan kenyataan seperti ini, bahwa dalam hitungan hanya satu tahun setelah
terbitnya Njai Dasima, diterbitkan pula karya berbentuk syair—bahkan oleh dua
pengarang berbeda—cukup menunjukkan bahwa kisah mengenai Nyai Dasima ini
diminati, setidak-tidaknya oleh kedua penggubah itu. Demikian pula dengan dicetak-
ulangnya karya Lie Kim Hok sebanyak enam kali seperti telah disebutkan dan
dicetak-ulangnya karya Tjiang O.S. itu, menengarai adanya permintaan dari para
pembaca atau peminat terhadap kisah ini. Namun yang penting diperhatikan adalah
pada fenomena pencetakulangan itu yang tidak terjadi pada karya asli G. Francis,
yang berbentuk prosa, melainkan pada karya gubahan yang berbentuk syair seperti
yang telah dilakukan oleh Tjiang O.S. dan Lie Kim Hok. Dalam hubungan ini layak
untuk diingat bahwa prosa atau novel, merupakan “produk budaya atau barang baru”
untuk kurun akhir abad XIX itu, sedangkan syair atau pantun merupakan hal yang
sudah sangat akrab dalam keseharian masyarakat. Tie Ie Soei pun menegaskan hal ini
dengan menyatakan pendapatnya seperti di bawah ini.
Pada achir abad jang silam dan awal abad sekarang zaman selop-songkét pun sedjalan dengan zaman pantun. Toko2 buku dan penerbit2 membandjirkan pembatja Melaju-rendah dengan berdjenis2 buku pantun dan sjair, dan surat2-kabar dan madjalah2 penuh dengan pantun dan sjair, bahkan polemik dilakukan djuga dengan sjair dan pantun.18
Adanya langkah adaptatif semacam ini, selain dikarenakan oleh upaya
menyesuaikan dengan minat pembaca yang masih lebih akrab dan lebih memilih
karya yang berbentuk pantun atau syair, tentu bersumber pula dari sejumlah sebab
yang berhubungan dengan dimensi naratif. Penyebab digemarinya karya ini sangat
boleh jadi terletak pada karakteristik cerita Njai Dasima itu sendiri yang menampilkan
gambaran eskapis mengenai hubungan antara seorang “tuan” yang berasal dari Eropa
yang notabene sedang dalam posisi “menjajah” atau “berkuasa” dengan seorang
wanita pribumi jelita yang “beruntung” dipelihara sebagai nyai tetapi hidup dalam
posisi seolah-olah istri sah. Penyebab lain yang menjadikan karya ini diminati,
kemungkinan karena adanya tarik-ulur antara kesetiaan dan penyelewengan, dan
bertumpu dari kemalangan hidup, yang terjadi begitu cepat prosesnya. Ringkasnya,
sebab utamanya karena berpilar pada sebuah tragedi.19 Perihal nasib manusia yang
18 Ibid.19 Tragedi banyak diyakini sebagai pola cerita yang akan selalu menarik perhatian pembaca
terbukti dengan banyaknya kisah tragedi yang bertahan dalam sejarah sastra dan dikenal luas seperti empat karya tragedi Shakespeare yaitu Hamlet, Othello, King Lear, dan Macbeth maupun karya
7
seperti ini, yang bisa saja terjadi pada diri pembaca, yang kiranya telah mampu
menjadi pesona tersendiri dari kisah Nyai Dasima ini.
Bahkan pada masa yang tidak lagi “dikuasai” oleh pantun atau syair, yaitu
masa ketika prosa atau bentuk sastra lainnya telah mencapai kedudukan yang sejajar
atau bahkan lebih diminati dibandingkan puisi, atau masa ketika tidak ada lagi
pembedaan yang ketat antara bentuk-bentuk karya sastra, masih juga ada syair yang
diinspirasi oleh tragedi Nyai Dasima itu. Syair di bawah ini, misalnya, yang
nyanyiannya penuh perasaan dan penghayatan, dibawakan dengan mantap oleh artis
serbabisa Indonesia, Benjamin S., sempat dikenal luas dan digemari banyak orang.
Selengkapnya, syair tersebut adalah seperti berikut ini.
Dasimah
(Pata lembing pata paku)(Selarat daun delima)(Biar katé, disruduk kambing abang mati kaku)(Asal bisa’ idup amé Nyai Dasimah)
Aduh-aduh botoNyai Dasima, kembangnya PejambonIdup... idupnya sengsara, dodoy sayangJadi nyai nyai Belandé
Nyai kebedol atinyéAmé Sami’un kusir sado Tané NyonyéSamé-samé jatú cinté, dodoy sayangMa’ Buyung comblangnyé
Hayati bini Sami’un,Sétan ceki, dendem setengah matiMinta’ tulung bang Uasé, bikin abisRiwayat Nyai Dasimé, aduuuh
Nyai dipegat bang UaséDi jembatan, beléh kulon kampung KwitangDibabat batang lehernyeh, aduuuh sayangDasimé tinggal naményéh
Nyai Dasimé ngeglundung,Glundang glundung, nyemplung ke kali Ciliwung
Sophocles yang semuanya bertumpu dari tokoh Oedipus. Selain itu, tragedi juga cenderung merupakan pola cerita yang diminati oleh orang-orang yang yang secara intelektual masih rendah atau bahkan masih belum bisa baca-tulis. Lihat Michael Alexander, A History of English Literature, Hampshire dan New York: Palgrave Macmillan, 2000.
8
Sami’un rontok atinyéh, aduuh sayangBunuh diri ikut nyemplung
(Dasimah...)(Biar katé di lautan api...)(Abang ikut juga’ Dasimah...)
Hayati bini Sami’un,Sétan ceki, dendem setengah matiMinta’ tulung Bang Uasé, bikin abisRiwayat Nyai Dasimé, aduuuh
Nyai dipegat bang UaséDi jembatan, belé kulon kampung KwitangDibabat batang lehernye, dodoy sayangDasimé tinggal naményéh
Nyai Dasimé ngeglundung,Glundang glundung, nyemplung ke kali CiliwungSami’un rontok atinyé, dodoy sayangBunu diri ikut nyemplung(Dasimah...)(Biar katé di dunia kité ngga’ ketemu,)(Di akherat kita bersamé Dasimah...)(Dasimaaaahhh...)(Dasimaaaahhh...)(Dasimaaaahhh...)
Versi Manuskrip
Daya tarik Njai Dasima tidak berhenti sampai pada gubahan dalam bentuk
syair tersebut. Kira-kira sepuluh tahun kemudian, Akhmad Beramka yang berasal dari
keluarga Usman bin Fadli yang mempunyai semacam “perpustakaan rakyat” dan giat
dalam penyalinan naskah untuk disewakan, 20 melakukan penyalinan terhadap Njai
Dasima yang dilakukan sampai dengan 1907 atau sekitar setahun lamanya. Akan
tetapi, yang disalin oleh Akhmad Beramka bukan karya asli G. Francis melainkan
karya Tjiang O.S. seperti menjadi sinyalemen Henri Chambert-Loir.21 Judul naskah
yang disalin oleh sepupu penyalin naskah terkenal dari Betawi, Muhammad Bakir, ini
berjudul “Ini Sair Nyai Dasima yang telah sudah kejadian di Betawi pada tahun
1813”.22
20Muhadjir, “Sastra Tulis Melayu Klasik Betawi, Bunga Rampai Sastra Betawi, Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, 2002, h.7-8.21 Chambert-Loir, loc. cit., h. 339.
22 Judul ini dalam tulisan Muhadjir, loc.cit., h. 85, sudah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
9
Sepintas lalu, apa yang dilakukan oleh Akhmad Beramka ini sangat unik sebab
dalam situasi yang telah mengenal sistem reproduksi mekanis, masih saja ada yang
melakukan tindak penyalinan yang tentu sangat manual. Akan tetapi, kenyataan yang
sedemikian ini bukan sesuatu yang sangat istimewa sebab jauh sebelumnya,
manuskrip Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan ternyata terlebih dulu juga
“diterbitkan dengan cetak huruf pada tahun 1838” 23 baru kemudian disalin menjadi
manuskrip seperti pernah dikemukakan oleh Amin Sweeney. Sebagaimana langkah
yang dilakukan oleh Tjiang O.S. dan Lie Kim Hok, alasan yang mendasari penyalinan
Njai Dasima ke dalam bentuk manuskrip atau naskah agaknya pada masalah tingkat
kemelekhurufan dan lingkungan sosial yang berlaku pada masa itu. Sangat mungkin,
orang yang mampu membaca huruf Jawi masih jauh lebih banyak dibandingkan
dengan yang mampu membaca-tulis dalam huruf Latin, sehingga naskah-naskah yang
sedemikian itu dirasa perlu disediakan.
Versi Komedi Stambul/Bangsawan, Tonil, Lenong, Teater
Pada awal abad XX, Njai Dasima tampaknya memang populer dan dikenal
luas oleh berbagai kalangan. Bukan hanya para pembaca hikayat atau penikmat
pantun dan syair saja yang mengenal karya G. Francis ini, namun kalangan rakyat
kebanyakan dan khususnya para penonton Komedi Stambul atau Komedi
Bangsawan24 mengenalnya sebab Njai Dasima termasuk repertoar yang sering
ditampilkan.
Komedi Stambul, menurut Boen S. Oemarjati,25 didirikan oleh August Mahieu
—seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya26—pada tahun 1891 dan dikenal luas di
seluruh wilayah Pulau Jawa. Sepeninggalnya Mahieu yang mangkat pada tahun 1906,
Komedi Stambul tetap bertahan dan diteruskan oleh para pemainnya. Perubahan
dalam hal pementasan pun terjadi, termasuk dalam hal memilih naskah drama untuk
dipentaskan. Kisah-kisah yang kemudian banyak dipentaskan tidak hanya hikayat
1001 malam atau hikayat dari luar lainnya, melainkan sudah mulai memanfaatkan
23Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 1, Jakarta: Kepsutakaan Populer Gramedia dan École française d’Extrême-Orient, 2005, h. 1.
24 Dalam istilah S.M. Ardan dua jenis komedi ini digabung istilahnya menjadi “stambul bangsawan”. Lihat S.M. Ardan, “Nyai Dasima: Dari Bisu sampai Berwarna,” Media Indonesia Minggu, 24 Desember 1995.
25 Boen S. Oemarjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Djakarta: Gunung Agung, 1962, h. 21.
26 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, h. 107.
10
cerita-cerita setempat yang realistis atau novel yang populer pada masa itu seperti
Njai Dasima, Si Tjonat, atau juga Oey Tambahsia.27 Ihwal populernya Njai Dasima
sebagai kisah yang dipentaskan bukan hanya oleh Komedi Stambul, melainkan juga
oleh Komedi Bangsawan, tonil, sandiwara, maupun lenong, dan dikenal luas tidak
hanya di Batavia tetapi juga di seluruh pelosok Hindia Belanda dan bahkan sampai
Malaysia serta Singapura, dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer maupun oleh JJ
Rizal.28 Bahkan kelompok sandiwara Miss Ribut, di masa penjajahan telah
mementaskan Njai Dasima sebanyak 127 kali, seperti pernah dinyatakan koran Sinar
Harapan, edisi 27 September 1979.29
Dalam kesenian lenong, cerita mengenai Nyai Dasima ini juga sangat populer.
Ketika lenong berusaha bangkit lagi di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki pada
tanggal 10 November 1968, setelah beberapa tahun kurang diminati dan karena itu
juga kurang dipentaskan, pembuka serangkaian pementasan lenong itu adalah cerita
Njai Dasima.30 Demikian pula dalam lenong preman atau lenong karangan—lenong
yang kostumnya hanya seperti orang berpakaian sehari-hari—kisah mengenai Nyai
Dasima ini merupakan repertoar yang tidak bisa ditinggalkan atau sangat digemari,
seperti pernah dikemukakan oleh Keith Foulcher.31 Sementara itu, ditinjau dari
struktur dramaturginya sebagai lenong, menurut C.D. Grijns, “hanya Nyai Dasima
yang benar-benar membentuk sebuah drama” dibandingkan dengan empat teks lenong
lainnya dari masa yang sama.32
Demikian pula dalam pementasan tonil, kisah mengenai nyai dari desa
Kuripan, Ciseeng, Bogor, ini sering menjadi andalan karena alur ceritanya yang
mampu mengaduk-ngaduk emosi penonton dengan berujung pada simpati atau juga
empati meskipun tidak sedikit juga yang merevitalisasi cerita sehingga menjadi agak
lain. Dalam kaitan ini layak diperhatikan pernyataan di bawah ini.
Tragedi ini selalu menyedot pengunjung kalau disajikan oleh “Toneel Melajoe”. Dalam suatu rangkaian pertunjukan disebuah daerah, cerita ini akan
27 Oemarjati, op.cit., h. 23; Sumardjo, op.cit., h. 108.28 Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe, Jakarta: Hasta Mitra, h. 31; JJ Rizal, “Membaca
Dua Dasima,” Nyai Dasima S.M. Ardan, ed. J.J. Rizal, Jakarta: Masup Jakarta, 2007, h. vii.29 Ibid.30 Ardan, “Dari...,” loc.cit.
31 Keith Foulcher, “Community and the Metropolis: Lenong, Nyai Dasima and the New Order,” Asia Research Institute Working Paper Series No. 20, Maret 2004, h. 9.
32 C.D. Grijns, Kajian Bahasa Melayu-Betawi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, h. 260.
11
dipentaskan paling akhir, sebagai gong. Atau akan dimainkan kalau pertunjukan sepi atau kena hujan, supaya bisa menebus kerugian.33
Di dalam khazanah pementasan secara modern, dalam teater yang tidak lagi
terikat pada pola atau jenis dramaturgi tertentu, cerita mengenai Nyai Dasima ini
masih sering terdengar. Masih ada yang mementaskan secara “setia” dalam pengertian
tetap merujuk alur yang dibangun oleh Francis maupun terutama Ardan, namun tidak
sedikit pula yang mencoba membuat parodi atau pemelesetan terhadapnya. Bahkan
yang hanya memanfaatkan nama populer “Dasima”, sementara kisah yang
ditampilkan sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan naskah Francis
maupun Ardan, misalnya, ada juga dan dipentaskan pada dekade ini. Pementasan
yang dimaksud di sini adalah pementasan yang dilakukan oleh EKI Dance Company
dengan format drama musikal dan diberi judul “Madame Dasima”. Pementasan yang
dilangsungkan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 27 dan 28 Juni 2001
ini meski tidak langsung memanfaatkan karya yang sudah dikenal alur utamanya itu,
bagaimanapun tetap bersumber dari keberadaan Dasima dalam kehidupan kota di
masa lalu.34 Poster acara pementasan ini tampak modern seperti terlihat pada gambar
berikut ini.
Gambar 3
Versi dalam Bahasa Asing
Sementara itu, novel yang sejauh ini dapat dinyatakan sebagai penanda awal
penulisan prosa dalam lintasan sastra modern di Indonesia ini telah pula
33 Taufik Abdullah, H. Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993, h. 117.
34 Ringkasan kisah Madame Dasima yang ditulis oleh Sujiwo Tejo, dapat dibaca dalam buku acara pertun jukan.
12
diterjemahkan setidak-tidaknya ke dalam dua bahasa asing, yang paling tidak juga
menandakan bahwa kecenderungan tematik yang dikandung Njai Dasima tersebut
dapat menjadi konsumsi bacaan yang menawan untuk pembaca yang lebih luas. Pada
tahun 1926, A. Th. Manusama menerjemahkan tragedi dan melodrama35 karya G.
Francis ini ke dalam bahasa Belanda dengan judul Njai Dasima: Het slachtoffer van
bedrog en misleiding. Een historische zedenroman van Batavia.36 Kemudian pada
tahun 1988, Harry Aveling mengalihbahasakan cerita ini ke dalam bahasa Inggris
dengan judul The Story of Nyai Dasima.37
Di dalam “Introduction”, Harry Aveling memberikan semacam landasan yang
menyebabkannya menerjemahkan karya G. Francis tersebut. Ada dua alasan yang
mendorong Aveling menerjemahkan Njai Dasima ke dalam bahasa Inggris, yaitu (1)
disebabkan oleh banyaknya karya ini dirujuk atau disebutkan dalam Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer,38 dan (2) disebabkan oleh daya tarik karya ini yang
berupa melodrama.39
Versi Film
Kenji Tsuchiya, melalui artikelnya berjudul “On Cerita Nyai Dasima”,
menyatakan bahwa Nyai Dasima adalah “the most popular literature of Indonesia
since it first appeared at the end of the last century.”40 Barangkali karena cerita ini
“telah menjadi sangat populer di kalangan penduduk”,41 tidak mengherankan jika
kisah ini kemudian juga diangkat ke layar lebar sebab dunia perfilman memang sangat
erat kaitannya dengan upaya pendomplengan atas apa-apa yang tengah atau yang
telah sekian lama menjadi buah bibir, baik itu peristiwa nyata maupun sekadar rekaan,
dari awal pertumbuhannya di Indonesia hingga sekarang. Hal seperti ini merupakan
sesuatu yang jamak mengingat bahwa diperlukan biaya yang sangat besar untuk
menghasilkan sebuah film karena jenis kesenian ini merupakan sebuah karya kolektif.
35 Istilah “melodrama” ini dilekatkan oleh Harry Aveling untuk cerita ini berdasarkan kriteria yang dipakai oleh A.R. Thompson. Lihat Harry Aveling, “Introduction,” The Story of Nyai Dasima, Working Paper No. 46, Clayton: monash University, 1988, h. 3.
36 Sampai sekarang, edisi buku ini yang dicetak tahun 1962 dengan pengantar oleh Tjalie Robinson, masih dijual, setidak-tidaknya masih ditawarkan melalui situs Antiqbook.
37Aveling, loc.cit .38 Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1981.39 Aveling, loc.cit., h. 1-2.
40 Kenji Tsuchiya, “On Cerita Nyai Dasima,” Sejarah 7, Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 51. Maksud “last century” tentu adalah akhir abad XIX dan bukan abad XX.41 Abdullah, Biran, Ardan, op.cit., h. 116.
13
Dibuatnya film cerita yang pertama di Indonesia pada tahun 1926 dengan
mengangkat cerita rakyat yang sangat populer yaitu “Lutung Kasarung”,
menunjukkan bahwa dunia film lazim lebih memilih untuk mengangkat cerita atau
legenda yang memang sudah dikenal luas, tentu dengan harapan agar orang mau
menyaksikan “tontonan baru” itu dan modal yang telah dikeluarkan dapat kembali,
kendati masih berupa film bisu atau belum memasukkan teknik suara.42 Namun
kenyataan yang ada tidak sesuai dengan yang diharapkan, sebab untuk film Loetoeng
Kasaroeng ini perusahaan Java Film Co. menyatakan sudah habis-habisan dan
pemasukan dari film ini tidak memadai.43 Demikian pula dengan perusahaan yang
didirikan oleh tokoh yang merintis pembuatan film di Indonesia, yaitu Krugers
Filmbedrijf yang dimiliki oleh G. Krugers, mengalami kebangkrutan karena kedua
film buatannya (Atma de Vischer dan Amat Tangkap Kodok) tidak menghasilkan
uang.44
Njai Dasima pun diwujudkan oleh Tan’s Film pada tahun 1929—film cerita
keenam dalam konteks sejarah perfilman di Indonesia setelah Loetoeng Kasaroeng
(1926), Euis Atjih (1927), Lily van Java, Resia Boroboedoer, dan Setangan
Berloemoer Darah (1928)45—disebabkan oleh telah populernya kisah ini dalam
pertunjukan tonil.
Untuk mencapai target penonton Bumiputra, Tan’s Film menggunakan cerita-cerita dari panggung “toneel Melajoe”, yakni Njai Dasima, Si Ronda, dan Melati van Agam. Pemilihan ini nampaknya merupakan hasil kompromi antara Tan Koen Yauw si anak Kwitang, dan Lie Tek Swie, yang berpretensi melahirkan karya berbobot.46
Dengan kata lain, adanya pertimbangan terhadap penonton-sasaran yang jelas itu,
yaitu penonton pribumi utamanya, tentu ada maksud komersial di sebaliknya. Benar
saja, sebab pemutaran film Njai Dasima I dianggap cukup baik pemasukan dananya
42 Film Indonesia pertama yang memasukkan teknik tatasuara adalah film berjudul Atma De Vischer yang dibuat pada tahun 1931 dengan sutradara G. Krugers. Lihat JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-1995, Jakarta: Grafiasri Mukti, 1995, h. 2.43 Abdullah, Biran, Ardan, op.cit., h. 86.
44Benny N. Juwono dan Samsudin Noer Moenadi, “Nyai Dasima dari Masa ke Masa: Saksi Dunia Sinema Indonesia,” Citra, VI (269), 22-28 Mei 1995.
45 Urutan ini didasarkan atas buku Katalog Film Indonesia 1926-1995 susunan JB Kristanto, op.cit.46 Abdullah, Biran, Arsan, op.cit. Dari catatan yang dibuat oleh Kristanto, ibid., “tujuan Tan’s Film membuat film terutama untuk bisa menarik perhatian ‘penonton-penonton Boemipoetra dari klas moerah’”.
14
sehingga dibuatlah sambungannya yang tidak hanya sebagai bagian II saja, tetapi
malahan dibuat pula bagian III-nya.47
Gambar 4
Dari gambaran ringkas ini dapat diurutkan bahwa Njai Dasima telah menjadi
induk kisah untuk film Njai Dasima (I) yang dibuat tahun 1929, Njai Dasima (II) dan
Nancy Bikin Pembalesan (Njai Dasima III)48 yang sama-sama dibuat pada tahun
1930, dan Njai Dasima yang dibuat tahun 1932. Kesemua film ini dibuat oleh Tan’s
Film. Masih di masa penjajahan Belanda, yaitu pada tahun 1940, ada produser lain
(Action Film) yang mengangkat lagi kisah Nyai Dasima tersebut dengan pendekatan
yang lebih modern,49 dengan judul Dasima.
Setelah Kemerdekaan, tragedi karya pengarang peranakan Inggris tersebut
dijadikan film lagi dengan judul Samiun dan Dasima pada tahun 1970 oleh Chitra
Dewi Film Production dengan sutradara Hasmanan dan Citra Dewi sebagai Dasima.
Menurut laporan majalah Tempo, edisi 20 Maret 1970, film ini termasuk film yang
berani sebab ada adegan buka-bukaan yang cukup vulgar untuk ukuran waktu itu.
Begitu beraninya film ini, sampai-sampai Misbach Jusa Biran yang menulis
skenarionya meminta agar namanya tidak dicantumkan.50
47 Ibid., h. 119.48 Menurut S.M. Ardan, “Nyai Dasima: ..., loc.cit., film berjudul Nancy Bikin Pembalesan
(Njai Dasima III) ini sudah keluar dari cerita baku. Penjelasan serupa juga mengemuka dalam “Nyai Dasima dari Masa ke Masa: Saksi Dunia Sinema Indonesia” dalam tabloid Citra, VI (269), 22-28 Mei 1995 yang ditulis oleh Bednny N. Juwono dan Syamsudin Noer Moenadi.49 Ibid.
50Juwono, loc.cit.
15
Versi Televisi
Sebagai film, Njai Dasima berhenti pada film buatan tahun 1970 yang
menghebohkan karena adanya adegan buka-bukaan yang cukup berani itu, dan belum
ada yang membuatnya lagi sampai sekarang. Namun sebagai cerita yang ditayangkan
melalui layar kaca atau televisi, kisah ini masih terus dibuat, bahkan sampai tahun
2007. Dalam segmen acara “Legenda” di Trans TV pada tanggal 2 Maret 2007
ditayangkan kisah ini dalam format cerita yang dikemas untuk selesai dalam sekali
tayang. Ini tentu jauh berbeda dengan format sinetronnya, yang pernah dibuat seri
untuk 26 episode di stasiun televisi RCTI pada tahun 1996..
Sinetron seri yang dibuat oleh Ali Shahab ini pernah dinominekan untuk
memperoleh empat Piala Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia tahun 1995, namun
akhirnya hanya dua piala yang diperoleh, yaitu untuk aktris utama (Cut keke) dan
aktor pembantu (Charlie Sahetapy). Yang unik, sebagaimana pernah ditulis oleh S.M.
Ardan,51 sinetron ini ikut dalam festival tersebut sementara kenyataannya seri ini
belum ditayangkan. Sedangkan penayangannya sendiri baru terjadi pada tanggal 22
Juni 1996 dalam kaitan menyambut ulang tahun ke-469 ibukota Jakarta.52
TVRI, jauh sebelum muncul stasiun-stasiun TV swasta, beberapa kali pernah
mengemas kisah Nyai Dasima ini dalam acara-acaranya. Misalnya pada tahun 1972,
TVRI menyiarkan Njai Dasima versi S.M. Ardan dengan menampilkan para pemain
lenong. Seterusnya, pada tahun 1980, masih berdasarkan cerita versi S.M. Ardan, Ali
Shahab pun pernah menayangkan kisah ini dengan menampilkan para pemeran
gabungan, yaitu para pemain lenong yang digabung dengan para pemain film, seperi
Rahayu Effendi sebagai Dasima dan A. Hamid Arif sebagai Haji Salihun.
Kemudian, pada tahun 1995, TVRI masih menampilkan lagi kisah ini, tetapi
tidak pada penekanan segi tragedinya melainkan pada segi komedi-karikaturalnya
dengan judul Nyai Dessy dan Nyai Imah dengan skenario ditulis oleh Veven Sp
Wardhana.53 Sementara itu, menurut pengakuan S.M. Ardan, ia pernah menyerahkan
enam episode berjudul “Kisah Cinta Nyai Dasima” kepada Duta Astrindo yang
bekerja dengan Rapi Film namun akhirnya naskah ini ditariknya karena Ali shahab
ternyata juga telah merancangnya dalam waktu yang hampir bersamaan.54
51 Ardan, loc.cit.52 Rini Sulistyati, “Nyai Dasima untuk Sambut HUT DKI ke-469: Terusiknya Rasa
Kebangsaan Si babu Cantik,” Nova, IX (435), 23 Juni 1996, h. 15.53 Juwono, loc.cit.; Saroni Asikin, “Musik Kita Selera Nyai,” Suara Merdeka, 2 Oktober 2003.54 Ardan, loc.cit.
16
Versi Cerita Rakyat atau Cerita Lisan
Ketika Trans TV menayangkan Nyai Dasima dalam serial acara “Legenda”
pada tanggal 2 Maret 2007—terlepas dari kekonsistenan atau tidaknya judul acara
tersebut dalam mengemas programnya, yaitu bahwa tidak semua yang ditayangkan
dapat dikategorikan sebagai legenda—tentu banyak pemirsa yang dibingungkan oleh
kisah tersebut. Mereka yang memahami bahwa kisah tersebut adalah kisah yang
benar-benar pernah terjadi pada tahun 1813 di Batavia tentu akan merasa masygul
karena sebuah kisah nyata ternyata telah diposisikan sebagai sebuah legenda. Akan
tetapi, ketika mereka melihat tayangan “Legenda” itu bisa jadi langsung akan
memaklumi sebab ternyata yang ditayangkan itu ternyata memang jauh dari
pengertian kisah yang pernah benar-benar terjadi tersebut.
Dengan pengertian lain, dalam “perjalanan” kisah tragis seorang nyai cantik
ini sampai setidak-tidaknya tahun 2007 itu, tidak selamanya orang akan dipahamkan
bahwa kisah tersebut merupakan kejadian yang pernah benar-benar terjadi, seperti
pernah ditegaskan oleh Ridwan Saidi.55 Sebagian orang lagi hanya akan menganggap
bahwa kisah tersebut hanyalah fiktif semata, sebagaimana juga dipercaya oleh Tineke
Hellwig dalam tulisannya.56
Demikian pula, dengan memasukkan kisah Nyai Dasima ke dalam buku
Cerita Rakyat Betawi seperti dilakukan oleh Rahmat Ali,57 apalagi sebutan yang
paling tepat terhadap cerita tersebut kalau bukan hanya semata-mata diposisikan
sebagai cerita rakyat? Dalam hal ini, kisah mengenai Nyai Dasima ini tidak ubahnya
dengan cerita Si Pitung. Dalam buku Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi susunan
Anwarudin Harapan, cerita mengenai Nyai Dasima ini dimasukkan pula ke dalam
cerita rakyat.58 Hal yang sama, terjadi dalam skripsi berjudul “Transformasi Cerita
Rakyat Betawi ‘Nyai Dasima’, Sebuah Analisis Intertekstual”. Robindrani Nuralam,59
penulis skripsi, jelas telah menyatakan pendapatnya perihal karya tersebut, yang tidak
lain sebagai cerita rakyat.
55 Sulistyati, loc.cit.56 Tineke Hellwig, “Njai Dasima, Een Vrouw uit de Literatuur,” A Man of Indonesian Letters;
essays in Honour of Professor A. Teeuw, ed. C.M.S. Hellwig dan S.O. Robson, Dordrecht/Cinnaminson: Foris, 1986, h. 51.57 Rahmat Ali, Cerita Rakyat Betawi 1, 2, Jakarta: Grasindo, 1993.
58 Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, Jakarta: APPM, 2006, h. 151-153.
59 Robindrani Nuralam, “Transformasi Cerita Rakyat Betawi ‘Nyai Dasima’, Sebuah Analisis Intertekstual,” Skripsi Sarjana FSUI, 1998.
17
Selain banyak yang menempatkannya sebagai cerita rakyat, tidak sedikit pula
yang menganggapnya sebagai legenda—dan karena itu Trans TV tentu tidak dapat
dikatakan sebagai salah!—seperti halnya A. Sofyan Jaid yang terkenal sebagai juru
cerita. Dalam sebuah penampilannya, Jaid menyatakan bahwa kisah Nyai Dasima ini
adalah sebuah legenda. 60 Sementara itu, dalam wawancara yang dilakukan oleh
Robindrani, Ali Shahab menyatakan bahwa cerita ini sesungguhnya bertolak dari
karya G. Francis namun kemudian dikembangkan menjadi cerita rakyat dan
dimainkan oleh lenong atau kelompok sandiwara lainnya.61 Sebagai cerita rakyat,
tidak perlu diherankan jika alur cerita dan bahkan mungkin nama-nama tokohnya
menjadi berlain-lainan sebab pada hakikatnya cerita rakyat berkembang dalam
kebudayaan lisan yang tentu tanpa catatan kecuali jika kemudian cerita lisan itu
ditranskrip. Sekadar sebagai contoh, nama Samiun dalam cerita lisan bisa saja
menjadi Samin62 dan para pendengarnya sangat boleh jadi juga tidak akan
mempersoalkan keakurasian nama itu.
Versi S.M. Ardan
Njai Dasima karya S.M. Ardan yang disebut di sini adalah edisi yang terbit
tahun 1971; edisi pertama terbit tahun 1965. Edisi terbaru karya Ardan yang
diterbitkan oleh Masup Jakarta tahun 2007 tidak dipakai karena ada bagian yang tidak
tertera, yaitu halaman 68 pada edisi 1971 sama sekali tidak muncul. Entah, apakah ini
suatu kesengajaan, atau hanya sebuah keteledoran, mengingat yang “hilang” itu
adalah halaman terakhir edisi tahun 1971.63 Apapun penyebabnya, lebih tepat kiranya
jika yang dipakai adalah edisi yang lengkap.
Njai Dasima versi S.M. Ardan ini berbeda dengan karya G. Francis, terutama
pada nada anti-Islamnya—meminjam ungkapan yang dipakai oleh Sykorsky64—yang
dengan sengaja ditiadakan. Namun dalam pernyataan Ardan sendiri, yang agaknya
ingin ia ubah adalah pandangan pada karya G. Francis yang terlalu menjelek-jelekkan
pribumi, seperti dikatakannya kepada Robindrani Nuralam.65 Dengan demikian, jika
disimpulkan, seperti juga ia ungkapkan dalam ceramahnya tahun 2003, ditegaskannya
bahwa versi “kolonial” atau karya G. Francis memang memperlihatlkan nada anti-
60 Ibid., h. 58.61 Ibid., h. 72, 74.
62 Lihat Harapan, op.cit., h. 151.63 S.M. Ardan, Njai Dasima, Cetakan II (I, 1965, Triwarsa), Jakarta: Pustaka Jaya, 1971.
64Sykorsky, loc.cit., h. 505. 65 Nuralam, loc.cit., h. 69.
18
muslim yang pada masanya berarti anti-pribumi. Tokoh-tokoh dalam cerita itu
semuanya jelek, kecuali Tuan W.66
Kisah mengenai Nyai Dasima ini, oleh Ardan, mula-mula dipublikasikan
sebagai cerita bersambung di suratkabar Warta Berita antara bulan September sampai
Oktober 1960. Pada tahun 1965, majalah Varia memuat kembali cerita ini sebagai
cerita bersambung dan masih pada tahun itu juga kisah ini dijadikan buku dan
diterbitkan oleh penerbit Triwarsa. Enam tahun kemudian, 1971, buku ini dicetak
ulang oleh Penerbit Pustaka Jaya.
Versi Rahmat Ali
Sebelum menerbitkan Nyai Dasima pada tahun 2000,67 Rahmat Ali telah
menulis pula kisah ini namun dalam ranah cerita rakyat sebagaimana termaktub dalam
Cerita Rakyat Betawi, terbitan Grasindo tahun 1993. Dalam menuliskan cerita tragedi
ini, Rahmat Ali menyatakan bahwa ia memang “mengisahkan kembali”; yang dengan
ungkapan tersebut terjejak indikasi bahwa ia akan menuliskan secara sangat bebas.
Apa yang ia ungkapkan ini memang kemudian terbukti bahwa cerita mengenai Nyai
Dasima ini membawa alur yang dapat dikatakan berbeda dengan versi G. Francis
maupun juga versi S.M. Ardan.
Sayangnya, selain bahwa ia memang bertujuan “mengisahkan kembali”, tidak
ada lagi penjelasan yang dapat dirunut dasar penceritaannya. Pada Kata Pengantar
yang dikemukakan, yang ia garis bawahi lebih pada persoalan proses seseorang
menjadi nyai yang seringkali tidak selalu menimpa kepada gadis yang seringkali
merasa dirinya menarik dan memang berhasrat menjadi nyai, tetapi malahan sering
dialami oleh gadis yang lugu, yang biasa saja. Dengan pengantar seperti ini, sungguh
kurang jelas apa yang ia kehendaki selain bahwa agaknya memang ia hanya ingin
memanfaatkan ihwal pernyaian ini sebagai titik berangkat cerita.
Sebagai Nama Makanan dan Minuman
Itulah versi-versi Njai Dasima yang ada selama ini yang mewujud dalam
berbagai bentuk narasi. Akan tetapi, selain yang berbentuk lisan, tulis, maupun
multimedia itu, masih banyak kalangan yang memanfaatkan nama “Nyai Dasima”
sebagai bukan jenis cerita melainkan sebagai nama makanan atau minuman. 66 JJ Rizal, “Membaca Dua Dasima,” Nyai Dasima S.M. Ardan, ed. J.J. Rizal, Jakarta: Masup
Jakarta, 2007, h. vi.67 Rahmat Ali, Nyai Dasima, Jakarta: Grasindo, 2000.
19
Kenyataan seperti ini, lagi-lagi, secara tidak langsung memberikan gambaran akan
populernya nama “Nyai Dasima” tersebut.
Berbicara soal makanan atau minuman, tentu citra yang diharapkan muncul
bukan “darah” yang menggenangi leher Dasima atau “kematian” maupun
“ketragisan” kisah Nyai Dasima melainkan agaknya pada dimensi keeksotisan
maupun aspek nostalgis. Perlu dicatat segera bahwa nama Nyai Dasima tidak selalu
berhubungan dengan jenis-jenis kuliner dari restoran atau rumah makan bergaya
“tempo doeloe” tetapi juga dapat dijumpai pada nama makanan yang disajikan oleh
BreadTalk, misalnya, yang tergolong modern.
Namun demikian, nama “Nyai Dasima” memang cenderung disematkan pada
olahan makanan atau minuman yang disajikan oleh restoran-restoran bergaya masa
lalu, seperti pisang goreng Nyai Dasima yang disediakan oleh Kafe Musium
Fatahillah atau minuman Nyai Dasima yang terdiri atas tomat, markisa, sirop, dan
susu yang disediakan oleh restoran Bandar Jakarta.
Makanan atau minuman lain dengan nama Nyai Dasima sangat mungkin
masih dapat dijumpai di berbagai tempat, namun dalam hubungan ini contoh-contoh
yang sudah disebutkan dianggap cukup sebab yang hendak ditegaskan adalah citra
kepopuleran dari tokoh cerita yang bernama Dasima itu di dalam benak orang banyak.
Kepopuleran Dasima: Daya Tarik sebuah Realisme-Eksotis
Keterangan yang menyertai judul dan anak judul novel karya G. Francis
adalah “tjerita bagoes sekali jang belon berapa lama soedah djadi di Betawi”.
Keterangan seperti ini dapat saja dianggap sebagai keterangan yang betul, yaitu
bahwa ‘kisah yang diceritakan memang pernah benar-benar terjadi’ atau hanya
dianggap sebagai kecenderungan belaka dalam pengertian bahwa keterangan itu
sekadar “mode” kefiksian yang lazim diterakan seperti halnya keterangan yang sering
kita jumpai dalam buku-buku fiksi. Terlepas mana sesungguhnya yang benar, tidak
dapat dimungkiri bahwa dimensi realis yang kental—baik dalam latar maupun
kecenderungan naratifnya—dalam cerita ini, merupakan hal yang sangat sentral
sebagai pemicu orang untuk menikmatinya; seperti halnya dewasa ini banyak yang
begitu terkesima dengan reality show.
Njai Dasima agaknya memang direka berdasarkan suatu peristiwa yang
sungguh-sungguh terjadi pada tahun 1813, sebagaimana pernah dinyatakan oleh
20
Ridwan Saidi setelah melacaknya melalui penelusuran terhadap berita-berita seputar
peristiwa ini dalam koran yang terbit tahun 1814 atau buku-buku sejarah.
Bersama Ali, Ridwan mulai melakukan studi sejarah dan serangkaian diskusi. Bahannya meliputi berita-berita di koran terbitan awal abad 19, serta buku-buku sejarah di masa sebelum dan sesudah 1814. Dari situlah didapat fakta-fakta lain. “Misalnya, putusan persidangan atas Puasa, serta keterangan tentang hubungan Pierre Bonet dengan Edward Williams,” kata Ridwan.68
Jika apa yang dikatakan oleh Ridwan Saidi ini suatu informasi yang absah
maka embel-embel yang menyertai judul Njai Dasima tadi adalah sebuah pernyataan
yang tidak mengada-ada. Oleh kenyataan yang sedemikian, berkaitan dengan
pengambilan posisi dalam memandang “kesunggguhterjadian” kisah ini, maka
pernyataan Tineke Hellwig yang pernah menyatakan bahwa kisah Nyai Dasima hanya
semata-mata fiksi (purely fictious),69 menjadi tidak relevan saat ini. Demikian pula
dengan sinyalemen bahwa penulisan Njai Dasima didasarkan atas cerita lisan yang
sebelumnya telah beredar di masyarakat, seperti dinyatakan oleh Saifur Rohman,70
juga tidak akan diperhatikan. Yang dipakai sebagai pemandu di sini adalah seperti
yang dikatakan oleh Kenji Tsuchija bahwa “the oral tradition is based on literature
and not vice-versa.”71 Dengan demikian, kerealitasan kisah ini adalah ruh yang
agaknya cukup ampuh menyihir banyak orang sepanjang lebih dari satu abad ini.
Satu aspek lain dari Nyai Dasima yang mampu melenakan pembaca untuk
kurun waktu sekian lama adalah pada eksotisme yang terpancar dari relasi antartokoh
yang berupa paduan antara pribumi dengan orang asing maupun juga kehidupan
sebagai seorang wanita peliharaan atau nyai yang cantik-alami namun kemudian
mengalami suatu malapetaka. Kemelodramatikan maupun ketragisan kisah ini niscaya
merupakan anasir naratif yang cenderung selalu akan diintip atau dicari pembaca pada
umumnya. Dalam kaitan ini, pendapat Ali Shahab yang menyatakan bahwa Njai
Dasima itu “cerita asli yang menjadi legenda” yang “basic-nya adalah fakta-
kenyataan” dan bahwa “Nyai Dasima itu ada, Tuan Willems ada, Bang Puasa itu ada,
68 Sulistyati, loc.cit. Sayangnya, dalam reportase yang ditulis Sulistyati ini ada judul subbab yang membingungkan sebab yang tertera adalah “Dari Koran Tahun 1914” yang maksudnya tentu adalah “tahun 1814”. Wieranta pun, dalam tulisannya berjudul “Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Wanita,” Basis, Juni 1990, h. 263, menegaskan pula bahwa kisah Nyai Dasima ini berdasar kisah nyata.69 Hellwig, loc.cit.
70 Saifur Rohman, “Gagasan Indonesia dalam Karya Sastra Abad ke-19: Kesah Kaum Slam, Gundik, dan Cina di Tanah Hindia,” Kompas, 17 November 2002.
71 Kenji Tsuchija, “On Cerita Nyai Dasima,” Sejarah, 1999, h. 53.
21
keturunannya juga ada,”72 merupakan penggaris bawah bahwa bentuk narasi yang
sedemikian itu merupakan pemikat yang akan selalu diingat.
Inilah, ditampilkannya gaya realime-eksotis oleh banyak pengarang atau
kreator terhadap perjalanan hidup Dasima dengan latar masa kolonial, membawa
atmosfir atau nuansa yang selalu ingin dinikmati pembaca atau penikmat seni pada
umumnya. Memang bukan hanya Dasima yang mengalami nasib cukup memilukan
ini, namun dimensi masa lalu dengan pelbagai konflik dan panorama konstruksi
naratif yang dapat dikatakan unik dilihat dari alam pembaca sesudahnya, merupakan
pembeda Nyai Dasima dengan karya-karya sastra atau seni lainnya. Oleh sebab itu,
hadirnya kisah ini dalam sejumlah wahana atau media merupakan semacam kemestian
historis yang tidak mungkin ditampik atau dinafikan, baik oleh para kreator seni
maupun juga oleh para penikmat.***
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Taufik, H. Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Jakarta: Dewan Film Nasional.
Ali, Rahmat. 1993. Cerita Rakyat Betawi, 1. Jakarta: Grasindo.
72 Nuralam, loc.cit., h. 74.
22
__________. 1993. Cerita Rakyat Betawi, 2. Jakarta: Grasindo.
__________. 2000. Nyai Dasima. Jakarta: Grasindo.
Ardan, S.M. 1971. Njai Dasima. (Cetakan I, Triwarsa, 1965). Djakarta: 1971.
_________. 1995. “Dari Bisu sampai Berwarna,” Media Indonesia Minggu, 24 Desember.
_________. 2007. Nyai Dasima, peny. J.J. Rizal. Jakarta: Masup Jakarta.
Aveling Harry, penerj. 1988. “The Story of Njai Dasima.” Working Paper No. 46. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
Chambert-Loir, Henri. 1999. “Sair Java-Bank Di Rampok: Sastra Melayu atau Melayu-Tionghoa,” Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, ed. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Christina, Nova. 2002. “Njai Dasima: Tragedi dalam Dua Kisah,” Kompas, 6 Juli.
Christanty, Linda. 1994. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda,” Prisma, 10, Oktober.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_________. 1996b. “Teori Penulisan Sejarah Sastra.” Makalah untuk “Seminar Pemetaan Sejarah Sastra Modern Indonesia di Sumatera Barat: Persoalan Teori dan Pengajaran” di Universitas Bung Hatta, Padang.
Ding, Choo Ming. 1978. “An Introduction to the Indonesian Peranakan Literature in the Library of the Universiti Kebangsaan Malaysia,” Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vol. LI, No. 233.
Foulcher, Keith. 1986. Social Commitment in Literature and the Arts: Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965. Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
__________. 2004. “Community and the Metropolis: Lenong, Nyai Dasima and the New order.” Asia Research Institute Working Paper Series No. 20, Maret.
Harapan, Anwarudin. 2006. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. Jakarta: APPM, 2006.
Hellwig, Tineke. 1986. “Njai Dasima, Een Vrouw uit de Literatuur,” A Man of Indonesian Letters; essays in Honour of A. Teeuw. Dordrecht/Cinnminson: Foris.
23
Ismail, Taufiq. 2002. “Pelangi dari Langit yang Dipotong Segi Empat,” Horison Sastra Indonesia 1-4, peny.. Taufiq Ismail, dkk. Jakarta: Horison dan Ford Foundation.
Johns, Anthony H. 1967. “Genesis of A Modern Literature,” Indonesia, ed. Ruth T. McVey. New Haven: Yale University.
_________. 1979. “The Novel as a Guide to Indonesian Social History,” Cultural Options and the Role of Tradition: A Collection of Essays on Modern Indonesian and Malaysian Literature. Canberra: Faculty of Asian Studies in Association with the Australian National University Press.
Junus, Umar. 1960. “Istilah Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’,” Medan Ilmu Pengetahuan, I (3), Juli.
Juwono, Benny N., Syamsudin Noer Moenadi. 1995. “Nyai Dasima dari Masa ke Masa: Saksi Dunia Sinema Indonesia,” Nova, VI (269), 22-28 Mei.
Kristanto, JB. 1995. Katalog Film Indonesia 1926-1995. Jakarta: Grafiaasri Mukti.
Manusama, A. Th. 1922. Komedie Stamboel of de Oost-Indische Opera. Weltevreden: Favoriet.
Moriyama, Mikihiro. 2004. “Ketika Sastra Dicetak: Perbandingan Tradisi Tulisan Tangan dan Cetakan dalam Bahasa Sunda pada Paruh Kedua Abad Ke-19.” Makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XV HISKI di Hotel Santika Menado, 25-27 Agustus.
__________. 2005. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, terj. Suryadi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muhadjir, ed. 1987. Evaluasi dan Strategi Kebudayaan. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Nuralam, Robindrani. 1998. “Transformasi Cerita Rakyat Betawi ‘Nyai Dasima’, Sebuah Analisis Intertekstual,” Skripsi Sarjana FSUI. Depok: FSUI.
Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Retnaningsih, Aning. 1983. Roman dalam Masa Pertumbuhan Kesusasteraan Indonesia Modern, Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia: c. 1300 to the Present. London: The Macmillan Press Ltd.
Roolvink, R. 1957. “’Roman Pitjisan’ dalam Bahasa Indonesia,” dalam A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta: Pembangunan.
24
Rohman, Saifur. 2002. “Gagasan Indonesia dalam Karya Sastra Abad Ke-19; Kesah Kaum Slam, Gundik, dan Cina di Tanah Hindia,” Kompas, 17 November.
Rosidi, Ajip. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Sa-orang jang Bangsjawan. 1857. Boek Saier oetawa Terseboet Pantoen, Aken Anak-Anak Ampoenja Perbatja-an dan Pengadjaran Soepaija Dija Boleh Mengtahwie Aken Ampoenja Perdjalanan Ijang Baek dan Ijang Tida Adanja. Batavia: Lange & Co.
Salmon, Claudine. 1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography. Paris: Editions de la Maison des Sciences de l’Homme.
Shahab, Alwi. 1998. “Menyusuri Jejak Nyai Kuripan,” Republika, 31 Agustus.
_________. 1999. “Dari Nyai Dasima Hingga Pak Sukri,” Republika, 24 Januari.
_________. 2004. “Dasima dan Kisah Para Nyai,” Republika, 4 Januari.
_________. 2004a. “Bang Puase Dihukum Pancung,” Republika, 11 Januari.
_________. 2007. “Eksekusi Bang Puase,” Republika, 14 Januari.
Sulistyati, Rini. 1996. “Nyai Dasima untuk Sambut HUT DKI ke-469,” Nova, IX (435), 23 Juni.
Sumardjo, Jakob. 1977. “Tradisi Novel Pop Indonesia: Sebuah Tinjauan,” Pikiran Rakyat, 25 dan 26 Mei.
_________. 1982a. “Jejak yang Hilang dalam Sastra Modern Kita,” Optimis, No. 31, Agustus.
_________. 1982b. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.
_________. 1983. “Perkembangan Sastra Melayu Rendah (1), (2), “ Pikiran Rakyat, 2 Maret.
_________. 1983a. “Sastra Melayu-Rendah Indonesia,” Horison, XIII (7), 325—6.
_________. 1992. Perkembangan Teater modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
_________. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.
Sweeney, Amin. 2005. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munnsyi, Jilid 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
25
Sykorsky, W.V. 1980. “Some Additional Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 136 (4e).
Taylor, Jean Gelman. 1996. “Nyai Dasima, Portrait of A Mistress in Literature and Film, Fantasizing the Feminine in Indonesia, peny. Laurie J. Sears. Durham dan London: Duke University Press.
Teeuw, A. 1957. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta: Pembangunan.
_________. 1984. “Boekbesprekingen: Literature in Malay by the Chinese of Indonesia by Claudine Salmon,” Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, deel 140 (4e).
Tio, Ie Soei. 1959. Lie Kim Hok: 1853-1912. Bandung: Penerbit L.D. “Good Luck”.
Toer, Pramoedya Ananta. 1963. “Sastra Assimilatif: Sastra Pra-Indonesia,” Bintang Timur, 24 November, 1, 8, 15 Desember.
_________. 1982. Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, Jakarta: Hasta Mitra.
Tsuchiya, Kenji. 1991. “Popular Literature and Colonial Society in Late-Nineteenth Century Java—Cerita Nyai Dasima, the Macabre Story of an Englishman’s Concubine,” Southeast Asian Studies, Vol 28, No. 4, Maret.
_________. 1999. “On Cerita Njai Dasima,” Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Jakarta: MSI dan Gramedia Pustaka Utama.
Venayaksa, Firman. 2005. “Keterpengaruhan Antara Novel dan Film,” Matabaca, III (12), Agustus.
Wahyudi, Ibnu. 1989. “Khasanah Novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka,” Puitika, I (1).
_________. 1996. “Perlu Reorientasi Penulisan Sejarah Sastra Indonesia,” Republika, 11 Mei.
_________.1996a. “Reorientasi Penulisan Sejarah Sastra Indonesia.” Makalah untuk “Seminar Sejarah Sastra Indonesia di Sumatra Barat: Persoalan Teori dan Pengajaran” di Universitas Bung Hatta, Padang.
_________. 2000. “The Modern Literature of Indonesia,” Modern Literature of ASEAN. Jakarta: ASEAN Committee on Culture and Information.
_________. 2005. “Awal Keberadaan Sastra Indonesia: Sebuah Pemahaman Ulang,” Dari Kampus ke Kampus, peny. Totok Suhardiyanto, Untung Yuwono, Syahrial. Depok: Program Studi Indonesia FIB UI.
26
_________. 2007. “Fenomena Dasima,” Pikiran Rakyat, 10 Maret.
Watson, C.W. 1971. “Some Preliminary Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 127 (4e)
Wiranta. 1990. “Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Wanita,” Basis, Juni.
27