Artikel jurnal pend karakter
-
Upload
anang-sarbaini -
Category
Education
-
view
1.349 -
download
9
Transcript of Artikel jurnal pend karakter
Rekonstruksi dan Reaktualisasi Nilai Patriotisme Warga Negara
Dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter
Oleh Sarbaini*)
Abstrak
Warga negara yang baik terbentuk pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berbasis karakter yang mengajarkan kepada individu warga negara mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah merosotnya nilai patriotisme, yang merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa, dan lebih mengaktual sebagai kewajiban ketimbang hak. Sekaitan dengan upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya adalah kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan upaya rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme yang mewujudkan dalam bentuk sikap kesadaran warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada masyarakat di berbagai tingkatan.
Kata Kunci: Rekonstruksi, Reaktualisasi, Patriotisme, Kesadaran, Warga negara, PKn, Karakter
A. Latar Belakang
Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap
pemerintah, menerima perlindungan dari pemerintah dan untuk menikmati hak-hak tertentu.
Warga negara yang efektif terletak pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) yang mengajarkan kepada individu warga negara mengenai hak-hak
dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban
warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah merosotnya nilai patriotisme, yang
merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa, dan lebih mengaktual sebagai
kewajiban ketimbang hak.
Inti dalam PKn dan warga negara adalah mengembalikan keseimbangan antara
keduanya, salah satunya adalah merekonstruksi nilai patriotisme melalui aktualisasinya dalam
bentuk kesadaran warga negara untuk ikut serta dalam kegiatan layanan-layanan kepada
masyarakat lokal, regional, nasional dan internasional sebagai wujud warga negara yang baik.
*. Pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FKIP Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin. Kandidat Doktor Prodi Pendidikan Umum/Nilai UPI Bandung Angkatan 2008.
1
B. Masalah
Sekaitan dengan upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya
adalah kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan
upaya rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme yang mewujudkan dalam bentuk sikap
kesadaran warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada
masyarakat di berbagai tingkatan. Dengan demikian permasalahan yang akan dibahas di sini
adalah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan : Apakah yang dimaksud warga negara
yang baik, patriotisme dan kesadaran warga negara dalam perspektif pendidikan
kewarganegaraan, dan bagaimanakah rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme
berkembang menjadi sikap kesadaran warga negara untuk berperanserta dalam kegiatan
layanan kemasyarakatan?
C. Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan; Orang yang Baik dan Warga Negara yang Baik
Pendidikan Kewarganegaraan, kapanpun dan bagaimanapun berusaha menyiapkan
orang dalam negara, khususnya generasi muda untuk menerima peran-peran mereka sebagai
warga negara (Jack Crittenden, 2007). Secara umum tujuan yang benar dari pendidikan adalah
menghasilkan warga-warga negara yang baik melalui sekolah(Eleanor Roosevelt, 1930),.
Berbagai hubungan-hubungan di sekolah, seperti aktivitas-aktivitas sosial dan atletik,
mengembangkan tim bermain, kerja sama dan pemikiran dan pertimbangan terhadap orang
lain adalah hal-hal yang esensial bagi warga negara yang baik.
Pendidikan kewarganegaran secara formal adalah suatu pengertian yang disediakan
untuk sistem organisasi dari persekolahan yang bertujuan, salah satu tujuan utamanya adalah
menyiapkan warga negara masa depan yang berpartisipasi dalam kehidupan publik. Dalam
negara-negara demokrasi menyiapkan orang-orang baik sama seperti warga-warga negara
yang baik, dan untuk pendidikan demokrasi, dalam konteks ini menekankan peranan
pendidikan kewarganegaraan.
Terdapat dua kelompok yang menonjol dalam mendukung penggunaan pendidikan
karakter sebagai cara untuk meningkatkan demokrasi. Satu kelompok terdiri dari para teorisi
politik seperti Galston, Battistoni, Benjamin Barber, dan Adrian Oldfield yang sering
menrcerminkan versi-versi modern dari aliran warga republikan. Kelompok ini
2
menginginkan kesediaan untuk menanamkan dan memelihara di antara warga-warga masa
depan kesediaan mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi kebaikan umum.
Partisipasi menurut pandangan ini adalah penting untuk stabilitas masyarakat dan
mempertinggi pertumbuhan manusia setiap individu melalui promosi kesejahteraan bersama
kita.
Kelompok kedua tidak melihat partisipasi demokratis sebagai inti, tetapi malahan
melihat partisipasi demokratis adalah satu aspek penting dari keseluruhan pendidikan
karakter. Inti dari misi sekolah-sekolah umum, menurut pandangan ini, adalah membentuk
ciri-ciri karakter yang penting untuk perilaku individu (menjadi orang yang baik) dan untuk
mengembangkan demokrasi (menjadi warga negara yang baik). Para pemimpin kelompok
ini adalah praktisi pendidikan seperti Thomas Lickona, William Bennet dan Patricia White
(Jack Crittenden, 2007).
D. Warga Negara yang Baik
1. Pengertian Warga Negara yang Baik
Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap
pemerintah dan menerima perlindungan dari pemerintah dan untuk menikmati hak-hak
tertentu (Janowitz, 1983). Warga negara yang baik (good citizen) disebut juga sebagai warga
negara yang efektif (effective citizen) yaitu seseorang yang menggunakan waktu jauh dari
“pengejaran kebahagiaan-kebahagian “ mereka dalam melakukan sesuatu yang menyokong
kebebasan kita dan menjaga keamanan negara (www.goodcitizen.org). Menurut William
Huitt (2005), warga negara yang baik adalah cara-cara untuk berperilaku untuk diri sendiri
yang sesuai dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan hak-hak istimewa dari penduduk
dalam lokasi suatu wilayah negara.
Sementara warga negara yang baik menurut Ryan, V (2006) adalah seseorang yang
respek terhadap orang lain dan hak milik mereka, penolong dan baik budi, bersedia
mendahulukan orang lain, mendengarkan pandangan orang lain, dan berpikir mengenai apa
yang mereka katakan, membantu orang yang tidak dalam posisi untuk menolong diri mereka
sendiri, respek terhadap lingkungan dan tidak merusak dengan berbagai cara, pekerja keras,
berkelakuan baik dan menyenangkan, dan berkeinginan untuk belajar.
Dengan demikian warga negara yang baik adalah cara-cara warga negara yang
berperilaku sesuai dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan hak-hak istimewa dari
3
penduduk dalam lokasi suatu wilayah negara, dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat baik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negaranya maupun
norma-norma agama, budaya dan sosial di masyarakat.
Sisi praktis dari warga negara yang baik akan sangat berhasil dibangun di sekolah,
karena sekolah sebagai satu miniatur dari kehidupan dalam suatu masyarakat, dan kondisi-
kondisi dan problem-problem dari masyarakat yang lebih luas adalah lebih mudah
direproduksi, dihadapkan dan dipecahkan. Untuk mewujudkan hal itu, mengisyaratkan
kadar yang tinggi dalam mengajar, yakni guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran,
tetapi selalu sadar bahwa semua mata pelajaran berhubungan dengan tujuan yang lebih luas,
yaitu belajar untuk hidup. Belajar menjadi warga negara yang baik adalah belajar untuk
hidup dengan memaksimalkan kemampuan-kemampuan dan peluang-peluang seseorang,
dan setiap mata pelajaran akan mengajar setiap anak dengan sudut pandang itu.
2. Ciri-ciri Warga Negara yang Baik
Warga negara yang baik memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab
terhadap masyarakat, lingkungan dan hukum. Dapat dilihat dilihat perbedaan antara warga
negara yang baik dan buruk dari ciri-cirinya dalam tabel berikut (Ryan, V, 2006).
Tabel 1
Ciri-Ciri Warga Negara yang Baik dan Warga Negara yang Buruk
Warga Negara yang Baik Warga Negara yang Buruk1. Menjadi tetangga yang baik dengan peduli
terhadap orang lain1. Melihat keluar hanya untuk diri sendiri
2. Membagi waktu dan keterampilan-keterampilan dengan masyarakat untuk membuatnya lebih baik, lebih bersih dan lebih aman.
2. Mengotori dan menyia-nyiakan sumber-sumber
3. Melestarikan sumber-sumber dengan melaksakanakan Tiga R, yaitu Reduce (mengurangi), Re-use (Menggunakan kembali) dan Recyle (Mendaurulang)
3. Menyerahkan semua persoalan-persoalan politik ada seseorang yang disebut “ahli”
4. Tetap memberitahukan terhadap isu-isu dan menyuarakan pendapatmu melalui pemungutan suara.
5. Menjalankan peran positif sebagai model kewarganegaraan dengan :a) Memperlihatkan kepedulian terhadap
keberhasilan dan keamanan orang lainb) Menggunakan bahasa yang tidak mengadili
yang tidak menyakitkan atau merendahkan.c) Melakukan sesuatu yang benar, khususnya
ketika dalam keadaan sulitd) Melakukan sesuatu yang benar, bahkan ketika
tidak ada seorangpun yang melihat.
4
e) Bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan kamu.
f) Bercermin pada bagaimana tindakan-tindakan kamu mempengaruhi kesejahteraan orang lain.
3. Cara Menjadi Warga Negara yang Baik
Manusia di jaman dahulu untuk hidup, mereka mematuhi hukum-hukum dan pola-
pola yang telah ditentukan oleh masyarakat, tetapi mengikuti pola-pola seperti itu tidak
membuat seseorang pasti menjadi warga-warga negara yang baik. Untuk menjadi warga
negara yang baik, maka orang hendaknya menjadi orang baik. Maksudnya seseorang
memiliki secara penuh nilai-nilai, prinsip-prinsip, etika-etika, dan lain-lain.
(www.elsbee.com).
Satu aspek penting untuk menjadi warga negara yang baik adalah membantu orang di
lingkungan sekitar, bahwa orang selalu membutuhkan pertolongan. Pekerjaan sebagai warga
negara yang baik adalah untuk menolong berbagai macam orang. Ketika membicarakan
tentang orang yang membutuhkan pertolongan, tidak hanya membicarakan tentang
seseorang yang miskin, tetapi juga wanita hamil yang tidak dapat membawa bungkusan
berat, atau orng tua yang tidak dapat menyeberang jalan. Aspek lain penting yang diingat
untuk menjadi warga negara yang baik adalah partisipasi aktif dalam masyarakat.
Sebenarnya banyak cara-cara yang dapat dikerjakan, seperti ketika pemilihan umum datang
untuk pemberian suara, kita berada di dalam barisan yang siap memberikan suara. Ketika
bersama para tetangga untuk memutuskan tentang pemeliharaan jalan-jalan, kita berada di
sana untuk memberikan pandangan.
Rekomendasi terakhir untuk menjadi warga negara yang baik adalah respek terhadap
orang yang hidup di lingkungan sekitar. Harus diingat bahwa kita mempunyai hak-hak,
mereka mempunyai hak-hak juga. Respek adalah satu dari basis yang sangat penting ketika
hidup dalam masyarakat. Kita semua memiliki kebebasan, tetapi itu terbatas pada aspek-
aspek tertentu. Kita tidak dapat mempertimbangkan pembunuh atau pencuri warga-warga
negara yang baik seperti mereka melanggar batasan itu. Nilai-nilai sebaiknya ditanamkan
kepada orang seperti mereka tumbuh dewasa, adalah bentuk informasi yang akan
membangun mereka untuk menjadi warga-warga negara yang baik.
5
E. Patriotisme
1. Pengertian Patriotisme
Patriotisme berasal dari kata Yunani patris, berarti tanah air (fatherland). Namun
demikian patriotisme memiliki arti berbeda dalam sepanjang masa, dan amat tergantung
pada konteks, geografi dan filosofi.
J. Peter Euben menulis bahwa filosof Yunani Socrates mengemukakan, “patriotisme”
tidak menghendaki seseorang untuk setuju dengan setiap hal bawa negara melakukan dan
akan melakukan. Hal itu sesungguhnya mempromosikan pertanyaan yang bersifat analisis
dalam menyelidiki hal terbaik yang dapat dilakukan untuk negaranya (http://en.wikipedia.
org). Dalam abad ke 18 Masa Pencerahan, gagasan patriotisme berlanjut dengan pemisahan
dari nasionalisme. Malahan patriotisme diartikan sebagai kesetiaan kepada kemanusiaan dan
kemurahan hati. Banyak gagasan kontemporer terhadap patriotisme pada abad ke 19
dipengaruhi oleh nasionalisme, sehingga selama abad ke 19, “keberadaan patriotik” menjadi
makin meningkat melekat dengan nasionalisme, dan bahkan dengan jingoisme. Namun
demikian, beberapa gagasan dari patriotisme kontemporer menolak nasionalisme lebih baik
dari versi yang lebih klasik untuk cita-cita patriotisme yang memasukkan tanggung jawab
sosial.
Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah dan rela berkorban
demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti sifat
kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau "heroism" dan "patriotism" dalam bahasa Inggris.
Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga
(http://id.wikipedia.org). Staub (1997) menyatakan patriotisme sebagai sebuah
keterikatan (attachment) seseorang pada kelompoknya (suku, bangsa, partai politik, dan
sebagainya). Keterikatan ini meliputi kerelaan seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya
pada suatu kelompok sosial (attachment) untuk selanjutnya menjadi loyal. patriotisme lebih
berbicara akan cinta dan loyalitas patriotisme lebih berbicara akan cinta dan loyalitas.
Sedangkan Yanovsky (2003: 2) mengemukakan bahwa patriotisme adalah sistem
nilai-nilai dari kehidupan moral, menyatakan respek ide-ide dari keadilan sosial, kebebasan
dan kehidupan nyata dari orang. Ini adalah perasaan yang dalam dari cinta terhadap tanah
air, kejujuran melayani keluarga dan negara, cinta terhadap bahasa ibu, kebudayaan, dan
6
menghargai kebudayaan-kebudayaan lain. Marian Kovaleva (2008) menambahkan bahwa
patriotisme berarti partisipasi dalam, dan kesetiaan kepada komunitas; itu berarti komitmen
dan kesiapan untuk melayani publik dan institusi-institusi dari publik.
2. Dimensi Patriotisme
Dari rentetan sejarah pemahaman patriotisme, nampaknya patriotisme yang
kemudian populer dan dikenal masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia, namun juga di
dunia ialah blind patriotism. Hal ini mendorong Staub juga Bar-tal menghimbau dalam
bukunya, "Patriotism in the lives of individuals and nations", untuk mempopulerkan dimensi
patriotisme yang semestinya lebih merasuk yaitu constructive patriotism. Sehingga
patriotisme memiliki beberapa dimensi dengan berbagai istilah, namun Staub (1997)
membagi patriotisme dalam dua bagian yakni blind dan constructive patriotism (patriotisme
buta dan patriotisme konstruktif). Sementara Bar-Tal (1997) menyisipkan conventional
patriotism diantaranya.
Patriotisme buta didefinisikan sebagai sebuah kerikatan kepada negara dengan ciri
khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan tidak toleran terhadap kritik. "Blind
patriotism is defined as an attachment to country characterized by unquestioning positif
evaluation, staunch allegiance, and intolerance of critism".(Staub: 1997). Melihat definisi
tersebut, patriotisme buta dengan ciri khasnya menuntut tidak adanya evaluasi positif dan
tidak toleran terhadap kritik, mungkin akan lebih mudah dipahami, jika diingat akan
pernyataan yang pernah sangat populer: "Right or wrong is my country!". Pernyataan ini
tanpa perlu dipertanyakan lagi memberikan implikasi bahwa apapun yang dilakukan
kelompok (bangsa) saya, haruslah didukung sepenuhnya, terlepas dari benar atau salah. Hal
ini telah disadari Bar-Tal sebagai pemicu awal totaliterisme atau chauvinisme. Sementara
sejarah telah mencatat konsekuensi buruk yang dihasilkan, sebut saja Nazi-Jerman,
Mussolini-Itali. Pembantaian orang tak berdosa, namun berseberangan dengan pandangan
politik pemimpin menjadi legal atas nama patriotisme, nasionalisme pun ikut diseret di
dalamnya sehingga bangsa lain pun bisa menjadi sasaran. Staub juga menyatakan
bahwa blind patriotism tidak saja berakibat buruk bagi kelompok luar (outgroup), namun
juga membahayakan kelompoknya sendiri (ingroup). Tidak adanya kritik maupun evaluasi
sama saja dengan membiarkan kelompok berjalan tanpa peta, hingga bisa terpeleset dan
masuk jurang.
7
Patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai sebuah keterikatan kepada bangsa dan
negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan pertanyaan dari anggotanya terhadap
berbagai kegiatan yang dilakukan/terjadi, sehingga diperoleh suatu perubahan positif guna
mencapai kesejahteraan bersama. "Constructive patriotism is defined as an attachment to
country characterized by support for questioning and critism of current group practices that
are intended to result in positive change." (Schatz, Staub, Lavine,1999).
Sementara patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan anggota
(rakyat) kelompoknya (bangsa), namun tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam
pandangan ini, pemimpin tidak selamanya benar, bahkan sebutan orang tidak patriotis oleh
seorang pemimpin bisa jadi berarti sebaliknya. Kritik dan evaluasi terhadap kelompok yang
dicintai seseorang justru merupakan bentuk kesetiaannya. Kritik dan evaluasi ini bertujuan
untuk menjaga agar kelompoknya tetap pada jalur yang benar atau positif. Selain hal di atas,
dalam patriotisme konstruktif terdapat 2 (dua) faktor penting, yaitu mencintai dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang yang layak disebut patriot adalah orang
yang menjunjung dan mencintai kelompok, baik kelompok partai atau bangsa atau negara,
namun lebih dari itu ia juga harus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah
diperlukan sikap peduli yang muncul dalam kritik dan evaluasi.
Patriotisme sebagai sayang dan cinta pada satu negara, mengarah kepada berbagai
bentuk keyakinan dan perilaku. Sementara patriotisme dapat menghasilkan penampilan yang
mempertinggi nilai moral bagi negara-nasional, ia juga dapat mempersempit pikiran berupa
kebencian terhadap barang atau orang asing (minded-xenophobia), atau menyumbang secara
luas terhadap saling ketergantungan terhadap masyarakat dunia. Bentuk dan muatan yang
“terbaru(update) ” dari patriotisme dikehendaki berkontribusi terhadap tujuan-tujuan
nasional dan dunia yang lebih teratur (Janowitz: 1983).
3. Beberapa Pendekatan Terhadap Patriotisme
Analisis dari studi-studi kontemporer terhadap problem-problem patriotisme
menyingkapkan keragaman dari arti dan penggunaan patriotisme, dan diklasifikasi dalam
lima tema, yang disebut pendekatan-pendekatan untuk memahami patriotisme (Marina
Kovaleva, 2008):
a. Pendekatan pertama, memandang patriotisme sebagai suatu “perasaan yang tinggi”
terhadap tanah air. Definisi ini dicirikan oleh perasaan mendalam pada masa lalu, sikap-
8
sikap positif terhadap tanah air disebabkan oleh refleksi emosional dan gambaran abstrak
dari cinta terhadap tanah kelahiran, kota kelahiran dan bayang-bayang masa anak-anak.
Istilah tanah air adalah istilah umum dan inti dari pendekatan pertama.
b. Pendekatan kedua, menggagas patriotisme sebagai inti perasaan-perasaan emosional.
Penekanan perasaan patriotik tidak hanya dipacu oleh cinta mendalam terhadap tanah air,
tetapi juga oleh motivasi untuk mengambil bagian dalam pembangunannya. Aktivitas itu
tidak hanya kondisi dari partisipasi nyata, tetapi juga sebagai kriterianya. Patriotisme dan
level dari rumusan itu tergantung pada kontribusi dari setiap orang, warga negara atau
kelompok dan kapasitas mereka untuk memecahkan problem-problem pembangunan.
Partisipasi aktif adalah istilah lain dari pendekatan kedua.
c. Pendekatan ketiga, karakter dari patriotisme, didefinisikan oleh Krejcir (2006) sebagai
loyalitas dan kehormatan dari satu kebangsaan adalah kondisi yang amat luas dari
kepelikan perkembangan sejarah masyarakat, negara, dan politik-politik dari elit
penguasa. Pendekatan ini dapat disebut “patriotisme negara”, negara dianggap objek dan
kepala pengembang patriotisme. Ivanova (2003, 295-296) menyebutnya sebagai “poros”
dari sistem negara. Negara mendorong perasaan bangga berbangsa seperti juga
mendorong partisipasi aktif dari para warga negara dalam memperkuat negara sebagai
titik tumpu dari masyarakat.
d. Pendekatan keempat, dikenal sebagai patriotisme pribadi, yang melihat pribadi-pribadi
(warga-warga negara) sebagai satuan inti dari pendidikan warga dan patriotis (sebab
cinta yang mendalam terhadap tanah air, karakter-karakter moral yang kuat dan kualitas-
kualitas pribadi yang lain).
e. Pendekatan kelima berhubungan dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya dalam
banyak aspek disebabkan patriotisme dianggap sebagai fungsi dari kepribadian, di sini
patriotisme didefinisikan sebagai fase penting dari perkembangan spiritual dan ekspresi
diri dari kepribadian. Oleh karena itu, patriotisme adalah manifestasi diri dari kesadaran
spiritual dan religius dari orang yang mencapai level dari perkembangan yang
membolehkan mereka untuk merasakan cinta yang “hebat” terhadap tanah air mereka
atau merasa siap utuk melakukan pengorbanan diri untuk kesejahteraan bersama
(Lutovinov, 2001: 8-21).
9
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan patriotisme mempunyai ciri sebagai
bentukan dari nilai-nilai spiritual dan moral, melayani terhadap tanah air dan umat manusia,
inti perasaan terhadap ketaatan terhadap tugas-tugas publik.
F. Kesadaran Warga Negara
Kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau
cinta yang positif dan penuh makna dari seseorang yang berkembang terhadap negaranya
(Janowitz, 1983). Sementara dukungan komitmen yang kuat adalah bukan tanpa komponen
oto-kritik. Oleh karena itu kesadaran warga negara adalah dilihat sebagai versi oto-kritik
terhadap patriotisme.
Kesadaran warga negara melibatkan elemen substansial dari penalaran, sana seperti
komitmen pribadi, dan berkembang dari refleksi, pengalaman pragmatis dan kepemimpinan
politik demokratis yang efektif. Dengan demikian pendidikan kewarganegaraan melibatkan
penyampaian bingkai-bingkai alternatif berupa referensi yang membantu para siswa dalam
mengembangkan pemahaman terhadap realitas-realitas sosial dan politik.
Kesadaran warga negara dalam perspektif Islam, dapat dilihat dari hadist, di mana
Rasulullah mengatakan bahwa tingkat iman yang paling rendah adalah membuang rintangan
dari jalan. Rasulullah mengatakan sendiri jalan yang terbuka lebar bagi para warga untuk
bekerja ke arah perbaikan masyarakat dan sekitar mereka adalah kata lain untuk
mengembangkan kesadaran warga negara (Auwais Rafiudeen, 2009). Kesadaran seperti itu,
seperti yang ditunjukkan hadist di atas menunjukkan, bahwa di atas semua sebutan demi
menjamin orang-orang yang hidup adalah dibuat mudah, dan mereka tidak mengalami
kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya yang dapat dihindarkan, dengan implikasi, bahwa
upaya-upaya yang dilakukan adalah untuk kenyaman dan keamanan mereka. Banyak
peraturan-peraturan pemerintah yang persis sama tujuan dan pikiran dan dibutuhkan untuk
diikuti seperti kewajiban religius, selain fakta bahwa peraturan-peraturan merupakan bagian
bentuk hukum negara.
Kesadaran warga negara dalam perspektif Islam selain peduli terhadap keamanan dan
kesejahteraan orang pada tingkat individual, juga berarti peduli mengenai kesejahteraan
masyarakat sebagai keseluruhan. Dibutuhkan pengembangan kesadaran terhadap isu-isu
nasional seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, perumahan dan
ekonomi. Hal yang amat jelas adalah bagaimana sistem nilai religi mengharapkan untuk
10
mendekati berbagai isu; untuk memiliki empati yang dalam dan fundamental terhadap kaum
miskin dan secara aktif meringankan nasib mereka, mengakui bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk bebas, kualitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, untuk
mengakui hak setiap orang untuk bermartabat melalui pekerjaan dan perumahan yang layak,
dan untuk berjuang untuk ekonomi yang menjamin kesejahteraan engarayang
menguntungkan bagi seluruh penduduk.
Tingkat kesadaran warga negara yang lain, dan sering di bawah radar adalah untuk
menjadi penting dan menanyakan terhadap tipe dari informasi yang diterima. Media, para
aktivis dari semua jenis dan semua politisi yang mempunyai agenda-agenda sendiri dalam
jenis informasi yang mereka tempatkan dan dalam perangkat tipe-tipe debat yang mereka
inginkan publik terlibat di dalamnya.Saat-saat itu dilakukan dengan maksud-maksud yang
baik dan mencari perhatian publik terhadap problem-problem nyata yang dihadapi negara.
Tetapi sering mereka sungguh manipulatif dan mencoba secara langsung menjauhkan publik
dari problem-problem itu, atau mereka membungkusnya dengan kepentingan khusus yang
mereka nyatakan dalam bentuk gambaran yang lebih luas. Warga negara yang kritis
menerima informasi secara tidak diskriminasi, tetapi melihat isu-isu secara individual dan
memutuskannya berdasarkan keuntungan-keuntungan mereka sendiri.
G. Rekontruksi dan Reaktualisasi Patriotisme
Pengertian patriotisme yang berbasis tradisional yang masih dianut oleh beberapa
kalangan hendaknya direkontruksi kepada pengertian patriotisme yang lebih sesuai dengan
kebutuhan era milineum, yaitu dalam dunia yang saling ketergantungan dan menghendaki
kerjasama saling menguntungkan, serta prioritas problem yang dihadapi oleh negara di mana
warga negara itu berada.
Patriotisme dalam pengertian tradisional menurut Janowitz (1983) adalah perasan
cinta dan sayang kepada negara, mengarah kepada berbagai bentuk keyakinan dan perilaku,
selain dapat menghasilkan penampilan yang mempertinggi nilai bagi bagi negara, juga dapat
mempersempit pikiran berupa kebencian terhadap barang atau orang asing (minded-
xenophobia). Dilihat dari dimensi patriotisme, aspek negatif dari pengertian tradisional
patriotisme dapat kiranya dikaitkan dengan patriotisme buta (blind patriotism), yaitu sebuah
kerikatan kepada negara dengan ciri khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan
tidak toleran terhadap kritik. "Blind patriotism is defined as an attachment to country
11
characterized by unquestioning positif evaluation, staunch allegiance, and intolerance of
critism".(Staub: 1997). Melihat definisi tersebut, dimana patriotisme buta dengan ciri khas
menuntut tidak adanya evaluasi positif dan tidak toleran terhadap kritik, mungkin akan lebih
mudah dipahami jika kita ingat akan pernyataan yang pernah sangat populer: "Right or
wrong is my country!". Blind patriotism tidak saja berakibat buruk bagi kelompok
luar (outgroup), namun juga membahayakan kelompoknya sendiri (ingroup). Tidak adanya
kritik maupun evaluasi sama saja dengan membiarkan kelompok berjalan tanpa peta, hingga
bisa terpeleset dan masuk jurang.
Oleh karena itu dalam rangka melakukan rekontruksi terhadap pengertian tradisional
patriotisme, maka Janowitz (1983) menawarkan definisi alternatif dari patriotisme dari
aspek sosio-politik kewarganegaraan yang diharapkan mampu memberikan kontributif
dalam bentuk dan muatan yang “terbaru” secara luas luas terhadap tujuan-tujuan nasional
dan dunia yang saling ketergantungan dan yang lebih teratur, sehingga memunculkan
pengertian patriotisme ke dalam bentuk kesadaran warga negara sebagai bentuk kewajiban
dari warga negara untuk ikut serta dalam kegiatan layanan-layanan nasional, baik dalam
dimensi sipil maupun militer. Bagi Janowitz (1983) kesadaran warga negara (civic
consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau cinta yang positif dan penuh dengan arti
dari seseorang yang berkembang terhadap negaranya. Sementara dukungan komitmen yang
kuat, adalah bukan tanpa komponen oto-kritik. Oleh karena itu kesadaran warga negara
adalah dilihat sebagai versi oto-kritik terhadap patriotisme.
Bar-ta, dalam bukunya, "Patriotism-in the lives of individuals and
nations", mempopulerkan patriotisme yang semestinya lebih merasuk yaitu constructive
patriotism sebagai reaksi terhadap blind-patriotism, karena berbagai dimensi negatif dari
blind-patriotism, dan serupa pada pengertian tradisional. Patriotisme konstruktif adalah
sebuah keterikatan kepada bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan
pertanyaan dari anggotanya terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan/terjadi, sehingga
diperoleh suatu perubahan positif guna mencapai kesejahteraan bersama. (Schatz, Staub,
Lavine,1999). Sementara patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan
kecintaan anggota (rakyat) kelompoknya (bangsa), namun tidak meninggalkan nilai-nilai
kemanusiaan.
12
Rekonstruksi pengertian patriotisme demikian, menghendaki bahwa perasaan kasih
sayang atau cinta dan penuh dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan
moral, tetapi juga ditumbuh-kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu,
masyarakat, negara dan umat manusia serta nilai-nilai kemanusiaan. Dengan rekontruksi
pengertian patriotisme demikian menghendaki pula reaktualisasi dari tindakan patriotisme.
Aktualisasi tindakan patroitisme tidak lagi hanya diwujudkan dalam bentuk mencintai
produk dalam negeri, reaksi emosional terhadap bangsa lain yang dianggap mencuri sesuatu
dari negara kita, atau siap berperang dengan negara lain, dalam membantu bangsa, warga
negara lain yang dizalimi, atau dengan kata lain siap “berperang” dalam bentuk dan dalam
kadar apapun dengan bangsa atau negara lain.
Terminologi “perang” dalam hubungannya dengan patriotisme perlu direaktualisasi,
khususnya jika patriotisme dikehendaki memberikan kontribusi dalam bentuk dan muatan
yang “terbaru” secara luas terhadap tujuan-tujuan nasional dan dunia yang saling
ketergantungan dan yang lebih teratur, atas dasar perasaan kasih sayang atau cinta dan penuh
dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan moral, tetapi juga ditumbuh-
kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu, masyarakat, negara dan umat
manusia serta nilai-nilai kemanusiaan. Aktualisasi patriotisme lebih mengarah kepada
perilaku kesadaran warga negara dalam bentuk peduli dan melakukan tindakan bekerja ke
arah perbaikan masyarakat, terhadap isu-isu nasional seperti kemiskinan, pengangguran,
pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi, dan kritis terhadap serbuan informasi yang
bersifat melumpuhkan patriotisme dan kesadaran warga negara, dan berpartisipasi aktif, baik
merintis, menjadi sponsor dan penggerak untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat
yang insindental, mendesak dan darurat dalam bentuk layanan-layanan kemasyarakatan.
H. Kesadaran Warga Negara Berperanserta dalam Kegiatan Layanan-Layanan Kemasyarakatan
sebagai Aktualisasi Patriotisme melalui kegiatan Belajar Melayani (Service Learning) dalam
Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter
Dalam Pendidikan Kewarganegaraan terdapat beragam pendekatan, salah satunya
satunya adalah pendekatan belajar berbuat atau belajar melayani. Pendekatan pembelajaran
berbuat atau belajar melayani (action learning approach atau service learning) memberi
penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-
13
perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu
kelompok.
Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral
berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk
melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama,
Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya,
melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam
suatu proses demokrasi.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan
pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian
mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan
perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga
untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan
yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka
berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu
masyarakat yang demokratis.
Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan
lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-
program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga
negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya
(environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence),
yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu
sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi
(interpersonal competence), yang dapat meberi pengaruh kepada orang-orang melalui
hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan
ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat
memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan
umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk
memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi
perubahan kebijaksanaan umum.
14
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence)
merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et. al., 1980).
Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral.
Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan
demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat
perhatian dalam berbagai pendekatan lain.
Pendekatan pembelajaran berbuat atau belajar melayani (action learning approach
atau service learning) merupakan wahana sekaligus peluang bagi Pendidikan
Kewarganegaraan untuk menumbuhkembangkan kesadaran warga negara bagi peserta
didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-Layanan kemasyarakatan sebagai
aktualisasi patriotisme. Sebagaimana dikatakan oleh Elyer, Giles dan Braxton, 1997,
“Service, combined with learning adds value and transforms both." Pelayanan, dipadukan
dengan belajar menambahkan nilai dan mentranformasikan keduanya. Jadi pelaksanaan
pendekatan service learning adalah menambahka nilai-nilai kewarganegaraan, terutama
patriotisme dan menstranformasikan nilai-nilai itu ke dalam bentuk praktek-praktek
kewarganegaraan yang patriotisme (patriotism citizenhsip). Selanjutnya Michigan Learn
and Serve Study, Meyer, Hofschire, and Billing, 2004), mengemukakan bahwa:” Service-
Learning is a proven educational technique that facilitates a student's growth in
academics, social maturity, critical thinking, communication, collaboration, and
leadership skills. Belajar pelayanan adalah teknik pendidikan yang terbukti telah
memfasilitasi pertumbuhan akademis, kematangan sosial, berpikir kritis, komunikasi,
kolaborasi dan keterampilan-keterampilan kepemimpinan.
Secara mendasar para pendidik telah lama menggunakan metode-metode layanan
(melayani). Para pendidik melibatkan anak-anak dan orang-orang muda dalam melayani
masyarakat melalui sekolah-sekolah mereka, organisasi-organisasi dan institusi agama, dan
organisasi-organisasi pemuda. Belajar melayani adaalah alat yang begitu kuat, mampu
mentransformasikan orang muda dari penerima pasif ke partisipan aktif. Newmann, seperti
banyak pendukung belajar melayani, percaya bahwa perkawinan antara pelayanan
masyarakat dan pendidikan adalah obat mujarab bagi merosotnya sistem sekolah nasional,
khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Oleh
15
karena itu, banyak sekolah dan perguruan tinggi bekerja ke arah tujuan umum,
mempromosikan tidak hanya pentingnya pengetahuan dalam kelas, juga penting bagi
kewarganegaraan dan masyarakat dilibatkan dengan baik melalui belajar melayani (service
leaning).
Beberapa kegiatan yang dilakukan melalui belajar melayani antara lain
pengembangan masyarakat miskin pedesaan, penduduk miskin di pemukiman kumuh
perkotaan, penduduk buta huruf di desa nelayan, pertolongan kepada masyarakat yang
mengalami bencana alam, peningkatan kemampuan membaca dalam mata pelajaran
bahasa, kemampuan pemahaman dalam matetimatika, atau memecahkan maupun
memenuhi kebutuhan masyarakat,seperti tuna wisma, kelaparan, buta hruf, perusakan
lingkungan, bencana penyakit, kejahatan, kekerasan rumah tangga, perilaku antisosial
pararemaja). Selain itu terdapat beberapa dari kegiatan belajar pelayanan, baik untuk SD,
SMP maupun SMA, misalnya :
1. Mentor dan tutor dari teman sebaya ke teman sebaya; satu minggu siswa-siswa lebih tua
berhadapan satu demi satu para siswa yang lebih muda untuk membantu mereka dengan
membaca, menulis, matematika, dan mata-mata pelajaran yang lain.
2. Para siswa mewawancarai para warga negara tua tentang sejarah masyarakat mereka
dan tentang kehidupan mereka. Para siswa kemudian ke dalam desain yang bagus, baik
dalam bentuk buku, video atau rekaman suara mengenai sejarah yang telah disampaikan
oleh para warga negara itu, yang berikutnya dapat membagikan kepada anak-anak dan
cucu mereka dan melalui keluarga-keluarga mereka.
3. Menguji air yang diminum masyarakat melalui laboratorium universitas lokal atau
laboratorium kesehatan dan meneliti cara-cara meningkatkan kualitas air. Menjaga
catatan tahunan dari hasil-hasil pengujian itu dan membandingkan hasil-hasilnya dari
tahun yang lalu dengan tahun-tahun sekarang untuk mengevaluasi perubahan dalam
kualitas air. Siswa melaporkan temuan-temuan mereka pada media lokal.
4. Berperanserta dalam penumpulan dana solidaritas pada aktivitas-aktivitas tertentu,
misalnya dalam kasus Prita.
I. Implikasi terhadap Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter
Konsep dari kewarganegaraan adalah kunci untuk memahami apa demokrasi dan
bagaimana demokrasi bekerja. Jadi para siswa dilibatkan dalam pendidikan mengenai nilai-
16
nilai, pengetahuan, sikap dan keterampilan demokrasi yang dibutuhkan untuk mengetahui apa
itu kewarganegaraan, bagaimana ia mendapatkan atau kehilangan kewarganegaraan dalam
berbagai sistem politik, apa hak-hak, tanggungjawab-tanggungjawab, dan kewajiban-
kewajiban dibawanya, dan bagaimana ia dihubungkan dengan dengan lembaga-lembaga dari
negara-negara nasional tertentu, khususnya negara mereka sendiri.
Tetapi para siswa membutuhkan gerakan yang melampaui pemahaman konseptual
untuk pengalaman-pengalaman belajar bahwa mengembangkan keterampilan-keterampilan
dan disposisi untuk menggunakan hak-hak dan membawa tanggungjawab-tanggungjawab dan
kewajiban-kewajiban dari kewarganegaraan dalam demokrasi. Keterampilan-keterampilan
partisipatori dan disposisi civic dibutuhkan untuk warga negara yang efektif dan
bertanggungjawab dalam demokrasi yang dapat dikembangkan melalui bentuk-bentuk
pengalaman belajar (Conrad & Hedin 1991; Niemi & Chapman 1999):
1. Partisipasi siswa dalam organisasi-organisasi siswa yang dilakukan secara demokratis
2. Sekolah berbasis layanan masyarakat yang dihubungkan secara sistematis dengan
kurikulum sekolah dan pengajar di kelas.
3. Aktifitas-aktifitas belajar kooperatif di mana kelompok-kelompok siswa berkerjasama
untuk mengejar tujuan bersama, seperti menyelidiki isu-isu publik atau merespon
problem-problem masyarakat.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education dan citizenship education) dianggap
sebagai pembelajaran demokrasi di sekolah dan di masyarakat (Endang Danial, 2007). Oleh
karena itu dilakukan berbagai upaya, dan inovasi pembelajaran dari masa ke masa, mulai dari
gagasan, konseptual, kurikulum sampai pada tatanan operasional pendidikan di sekolah.
Morris Janowitz telah mengembangkan suatu konsep dalam rangka menyeimbangkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban warga negara dengan merekontruksi istilah maupun konsep dari
nasionalisme, khususnya patriotisme ke dalam istilah kesadaran warga negara, hingga PKn
tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi merambah lahan ke bidang yang
lebih luas, sebagai implementasi dari kewajiban warga negara, baik sebagai sukarelawan
militer, sukarelawan sipil dalam kegiatan pelayanan nasional. Dengan demikian konsep
Morris Janowitz telah mengembangkan PKn yang berbasis karakter.
PKn yang berbasis karakter dengan mengacu pada pendapat Sumantri (2008: 34)
adalah memperlihatkan potensi yang kuat untuk mengembangkan secara lengkap baik fisik
17
maupun mental manusia dan mendorong pengembangan keterampilan-keterampilan,
pengetahuan dan perilaku yang akan memungkin mereka untuk meningkatkan kondisi-kondisi
kehidupan mereka. Tujuan yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan sekarang akan
menerima posisi-posisi ideologis, religius dan kultural sebagai elemen-elemen esensial dalam
tujuan-tujuan pendidikan kewarganegaraan. Hal demikian diperkuat oleh pendapat Barret
(1980) tentang ideologi, Kohlberg (1986) tentang religi, dan Giroux Krech, Crutchfield &
Ballachey (1962) tentang kultur (dalam Sumantri, 2008).
Menurut pendapat Winataputra (2000) dan Sumantri (2008), bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan baik sebagai program, proses, fase dan produk memadukan secara integral
aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, fisik dan mental, individu dan kolektif dalam
perilaku untuk menjadi warga negara yang demokratis, sekaligus menjadi warga negara yang
baik. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis karakter adalah :
• bertujuan mengembangkan kepribadian dan mengembangkan nilai-nilai kewargaan yang
demokratis berkeadaban di persekolahan dengan implementasi pembelajaran melalui
sejumlah mata pelajaran umum (dasar) atau mata kuliah dasar umum yang harus
ditempuh siswa atau mahasiswa.
• memuat cara memadukan secara integratif pemahaman tentang kehidupan demokrasi
dengan aspek kehidupan lain dan realitas.
• menyiapkan peserta didik untuk kehidupan yang penuh dan memuaskan sebagai anggota
keluarga, pekerja, warga negara yang bertanggungjawab dan integral, dan menjadi
manusia dengan tujuan tertentu, atau mengembangkan keseluruhan kepribadian
seseorang dalam kaitannya dengan masyarakat lingkungan hidupnya.
J. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Warga negara yang baik memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap
negara, bangsa, masyarakat, lingkungan dan hukum.
b. Pengertian, dimensi dan perkembangan patriotisme mempunyai ciri sebagai bentukan
dari nilai-nilai spiritual dan moral, melayani terhadap tanah air dan umat manusia, inti
perasaan terhadap ketaatan terhadap tugas-tugas publik. Aktualisasi patriotisme lebih
mengarah kepada perilaku kesadaran warga negara dalam bentuk peduli dan
18
melakukan tindakan bekerja ke arah perbaikan masyarakat dan terhadap isu-isu
nasional.
c. Kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau cinta
yang positif dan penuh dengan arti dari seseorang yang berkembang terhadap
negaranya.
d. Rekonstruksi patriotisme menghendaki bahwa perasaan kasih sayang atau cinta dan
penuh dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan moral, tetapi
juga ditumbuh-kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu,
masyarakat, negara dan umat manusia serta nilai-nilai kemanusiaan.
e. PKn berbasis karakter tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi
merambah lahan ke bidang yang lebih luas, sebagai implementasi dari kewajiban
warga negara, baik sebagai sukarelawan militer, sukarelawan sipil dalam kegiatan
pelayanan nasional.
f. Pendekatan pembelajaran berbuat atau belajar melayani (action learning approach
atau service learning) merupakan wahana sekaligus peluang bagi Pendidikan
Kewarganegaraan berbasis karakter untuk menumbuhkembangkan hak kesadaran
warga negara bagi peserta didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-layanan
kemasyarakatan sebagai aktualisasi patriotisme.
2. Saran-saran
a. PKn berbasis karakter tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi
dikehendaki merambah juga ke bidang yang lebih luas, sebagai implementasi dari
kewajiban warga negara, baik sebagai sukarelawan militer, sukarelawan sipil dalam
kegiatan pelayanan nasional.
b. PKn berbasis karakter hendaknya menggunakan pula pendekatan pembelajaran
berbuat atau belajar melayani (action learning approach atau service learning)
sebagai wahana sekaligus peluang untuk menumbuhkembangkan kesadaran hak
warga negara bagi peserta didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-layanan
kemasyarakatan sebagai aktualisasi patriotisme sebagian dari upaya pembentukan dan
pengembangan kepribadian warga negara yang baik.
19
K. Sumber Rujukan
Bar-Tal (1997) The Monopolization of Patriotism. Dalam Bar-Tal, Daniel & Staub, Ervin (ed) Patriotism-in the lives of individuals and nations. Chicago; Nelson - Hall Publisher.
Conrad, Dan, and Diane Hedin.(1991). "School Based Community Service: What We Know From Research and Theory". Phi Delta Kappan 72 (June 1991)
Crittenden, Jack. (2007). Civic Education. www.plato.stanford.edu. 27 Desember 2009
Danial, Endang. 2007. Economy Civic, Membina Warga Negara; Bersikap dan Berpartisipasi dalam Sistem Ekonomi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI
Elias, J.L. (1989). Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E.Krieger Publishing Co.Inc
Hersh, R.H, Miller, J.P, and Fielding, G.D. (1980). Model of Moral Education: an Appraisal. New York: Longman.Inc
Huitt. William. (2005). Good Citizenship. www.teach.valdosta.edu. 20 Desember 2009
Janowitz, Morris. (1983). The Reconstruction of Patriotism: Education for Civic Consciousness. Chicago: The University of Chicago Press.
______________. (1982). Patriotisme and the U.S.All-Volunteer Military. Air University Review. Januari-Februari 1982. http://www.airpower.maxwell.af.mil. 19 Desember 2009.
Kovaleva, Marina. (2008). Patriotism and Citizenship as Values of Civil Society’s Formation in Modern Russia. Middlesex University Papers in Education & Lifelong Learning. Vol.2, No.1, 2008. p63-74
Niemi, Richard G and Chapman, Chris, (1999). The Civic Development of Ninth Through Twelfth Grade Students in The United States. Washington, DC: U.S. Department of Education, 1999.
Rafiudeen, Auwais.(2009). Civic Consciousness and the Muslim. www.ipsauniversity.com. 21 Desember 2009.
Roosevelt, Eleanor. tion(1930). Good Citizenship: The Purpose of Education. Pictorial Review, April 1930: 4, 94,97
Ryan, V. (2006). What is Good Citizen. www.technologystudent.com. 22 Desember 2009
Schatz,R.T; Staub,E.; Lavine,H. (1999) On the varieties of national attachment constructive patriotism. Artikel. Journal of Political Psychology,vol 20 no.1,1999
20
Staub, E. And Schatz, R.T.(1997). Manifestations of Blind and Constructive Patriotism: personality correlates and individual-group relations. Dalam Bar-Tal, Daniel & Staub, Ervin (ed) Patriotism-in the lives of individuals and nations. Chicago; Nelson - Hall Publisher.
Sumantri, Endang, 2008 An Outline of Citizenship and Moral Education in Major Countries of South Asia. Bandung: Bintang Warliartika.
Superka.et.al. (1976). Values Education Sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc
Yanovsky, R.G.(2003). Culture of Patrioitism in the Conditions of Globalization. Safety of Eurasia. Vol.4. October-December, p75-103
www.goodcitizen.org 11 Desember 2009
www.elsbee.com. 15 Desember 2009
www://id.wikipedia.org. 18 Desember 2009
21
22