Artikel Jurnal - Erniza Puspita 070810445 (B)

25
WACANA IDENTITAS ETNIS BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA Oleh: Erniza Puspita Ningsih (070810445) ABSTRAK Penelitian ini mengkaji identitas etnis Betawi yang diwacanakan dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Novel Kronik Betawi dipilih sebab teks ini bersifat lebih holistik dalam segi waktu sehingga dapat terlihat bagaimana perkembangan wacana mengenai identitas etnis Betawi sejak era kolonial hingga era Reformasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis milik Teun A. van Dijk, karena dianggap dapat mengakomodasi kebutuhan untuk menganalisis intertekstualitas antara teks, konteks/situasi sosial, dan kognisi sosial pencipta teks yakni Ratih Kumala dalam praktik pewacanaan. Hasil penelitian ini etnis Betawi diwacanakan memiliki identitas yang berubah-ubah seiring waktu, terkait kondisi sosial yang melatarinya. Kata kunci: Wacana, Identitas, Etnis Betawi, Kronik Betawi PENDAHULUAN Penelitian ini berfokus pada wacana identitas etnis Betawi dalam novel Kronik Betawi (2009) karya Ratih Kumala. Teks yang diambil peneliti ini menceritakan kehidupan tiga generasi etnis Betawi asli, yang hidup sejak akhir masa penjajahan Belanda (1940an) hingga era reformasi. Etnis Betawi pada kenyataannya adalah etnis minoritas secara jumlah di Indonesia, bahkan di Jakarta sekalipun, mereka bukanlah etnis mayoritas (Saputra, 2005). Data dari Badan Pusat Statistik menyatakan jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010 adalah 1

description

s

Transcript of Artikel Jurnal - Erniza Puspita 070810445 (B)

WACANA IDENTITAS ETNIS BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI

KARYA RATIH KUMALAOleh: Erniza Puspita Ningsih (070810445)ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji identitas etnis Betawi yang diwacanakan dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Novel Kronik Betawi dipilih sebab teks ini bersifat lebih holistik dalam segi waktu sehingga dapat terlihat bagaimana perkembangan wacana mengenai identitas etnis Betawi sejak era kolonial hingga era Reformasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis milik Teun A. van Dijk, karena dianggap dapat mengakomodasi kebutuhan untuk menganalisis intertekstualitas antara teks, konteks/situasi sosial, dan kognisi sosial pencipta teks yakni Ratih Kumala dalam praktik pewacanaan. Hasil penelitian ini etnis Betawi diwacanakan memiliki identitas yang berubah-ubah seiring waktu, terkait kondisi sosial yang melatarinya.Kata kunci: Wacana, Identitas, Etnis Betawi, Kronik Betawi

PENDAHULUAN

Penelitian ini berfokus pada wacana identitas etnis Betawi dalam novel Kronik Betawi (2009) karya Ratih Kumala. Teks yang diambil peneliti ini menceritakan kehidupan tiga generasi etnis Betawi asli, yang hidup sejak akhir masa penjajahan Belanda (1940an) hingga era reformasi.

Etnis Betawi pada kenyataannya adalah etnis minoritas secara jumlah di Indonesia, bahkan di Jakarta sekalipun, mereka bukanlah etnis mayoritas (Saputra, 2005). Data dari Badan Pusat Statistik menyatakan jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010 adalah sebanyak 9.607.787 jiwa. Jika jumlah etnis Betawi saat ini hanya 25% dari empat juta yang tinggal di Jakarta, maka berarti hanya ada satu juta penduduk etnis Betawi diantara sembilan juta lebih penduduk Jakarta (sekitar 10,4% saja) (BPS, 2011). Berkurangnya etnis Betawi di Jakarta ini bisa jadi karena program pembangunan yang cukup pesar di Jakarta, terutama sejak era 1970-an (Suprapto, 2012). Masyarakat beretnis Betawi kini banyak yang pindah ke pinggiran Jakarta dan tinggal di Depok, Tangerang, Bekasi dan Serang (ibid).Meski minoritas secara jumlah, etnis Betawi termasuk cukup sering muncul di media massa di Indonesia. Sebut saja dalam film seperti Si Doel, Si Pitung, Ca Bau Kan, dan Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta. Belum lagi yang ditampilkan oleh televisi hampir setiap hari, seperti sitkom Bajaj Bajuri, sinetron Juragan Lenong, sketsa komedi Ngelenong Nyok, sampai yang paling melegenda, sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang sampai menghasilkan enam seri karena begitu laris (Anom dalam Majalah Tempo, 2003). Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, pengamat media, Betawi hingga kapan pun akan menjadi primadona televisi di Indonesia. Pendapat ini juga keluar dari budayawan sekaligus sutradara SM Ardan, yang menyatakan bahwa Betawi memang layak dijual karena cerita tentang Betawi selalu memiliki daya pikat. Namun sayangnya, kemunculan mereka di media massa seringkali digambarkan dengan penggambaran yang cenderung stereotipikal. Banyak program televisi yang merepresentasikan suku Betawi sebagai suku yang terbelakang dan miskin (Hasfi, 2011, p.47).

Penggambaran yang cenderung mengabadikan stereotip ini memang kerap dilakukan oleh media pada kelompok yang minoritas dan marjinal (Surya, 2009, p.16). Padahal, penggambaran yang bias, tidak benar dan berimbang ini dapat membuat kelompok minoritas seperti etnis Betawi semakin terpinggirkan karena dapat secara terus-menerus menerima label negatif dari kelompok lain yang menerima penggambaran tersebut melalui media. Sebab, menurut Galliano (2003, p.286 dalam Ibrahim 2007, p.4), media juga berfungsi sebagai saluran mitos sekaligus mengukuhkan mitos tertentu, termasuk mitos tentang etnis atau suku tertentu, termasuk pula etnis Betawi.Menurut Danesi (2010, p.77), novel merupakan medium yang efektif untuk meneropong sifat manusia dan masyarakat. Melalui novel, penulis dapat menyampaikan pesan-pesan bahkan ideologi kepada para pembacanya (Fitranisa, 2011, p.2). Dalam bahasa tulis, seperti yang digunakan dalam novel, alat teknis yang digunakan untuk menyampaikan gagasan/makna adalah bahasa. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi (Hall dalam Eriyanto, 2001, p.114). Secara sosial, bahasa dikonstruksi dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu. Karenanya, sebagai representasi hubungan sosial tertentu, bahasa senantiasa membentuk subyek-subyek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu (Muslich, 2010). Novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala tentunya juga menggunakan bahasa untuk menggambarkan tokoh, alur, konflik dan seluruh rentetan cerita (kisah). Dan melalui bahasa, novel ini telah mengkonstruksi identitas etnis Betawi beserta setting yang telah ditentukan oleh penulisnya, dengan tujuan-tujuan tertentu dibaliknya. Etnisitas Sebagai Bagian dari Identitas: Konstruksi Etnisitas dalam Media MassaMenurut Barker (1990, p.23-24), identitas merupakan bentuk konstruksi diskursif. Tidak ada identitas yang tidak dibentuk secara diskursif karena pada dasarnya kita tidak bisa menghindar dari bahasa. Karena itu, menurut Barker, identitas merupakan hasil dari konstruksi bahasa dan bukan sesuatu yang sifatnya tetap. Stuart Hall turut mengungkapkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal dan dikonstruksi melalui beragam wacana, posisi dan aturan. Identitas merupakan produk dari perkembangan sejarah, berproses secara terus menerus, serta dikarakterisasi oleh perubahan dan tranformasi (Hall 1996, p. 4). Sebagai sesuatu yang sifatnya fluid, identitas tidak pernah lepas dari permainan kekuasaan yang melingkupinya (Hoon 2006, p. 11). Kekuasaan untuk mengkonstruksi identitas nasional dan kultural, termasuk mendefinisikan golongan yang ekslusi dan inklusi, biasanya berada di tangan para pembuat kebijakan yang memandang identitas sebagai sesuatu yang pasti dan tidak berubah (Woodward 1997, p.12 & 15 dalam Hoon 2006, p.11). Menurut Aris Munandar (2011, p.31), etnisitas merupakan bagian dari identitas sebab etnisitas merupakan salah satu bentuk kelompok kemasyarakatan yang memberikan kesadaran kolektif dan identitas sosial pada individu. Konsep etnisitas sendiri menurut Barker (2004, p.62), merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep ras, namun secara konotasi lebih kultural. Sehingga, daripada ras, etnisitas lebih dipusatkan pada komunalitas keyakinan kultural dan praktik-praktik kebudayaan. Selain itu, menurut Dawning, etnis merupakan bagian dari identitas atau disebut juga perangkat identitas diri dan penegasan diri, yang sebenarnya dikonstruksi secara sosial dan dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Terkait dengan politisasi dalam etnisitas, maka muncullah apa yang disebut sebagai etnis mayoritas dan minoritas (Singh, 1999). Menurut Singh, etnis mayoritas adalah kelompok yang memiliki kultur dominan dan membaginya secara sosial kepada masyarakat lain yang termarjinalisasi.Etnis mayoritas dan minoritas ini juga muncul pada media dalam bentuk representasi. Representasi dalam media juga tidak lepas dari proses politisasi seperti yang disebutkan oleh Singh di atas. Henriksson (2007, p.10) menyatakan bahwa media, terutama media mainstream, memiliki kekuatan yang besar dalam merepresentasikan etnis minoritas dan para penduduk asli (indigineous people) dengan memberikan stereotip-stereotip tertentu. Dinamika media tidak dapat dipisahkan dari lingkungan politik dan ekonomi yang menciptakan, memelihara dan memodifikasi hubungan antara media dan kaum minoritas. Etnis Betawi di Indonesia: Antara Realitas dan RepresentasiMenurut definisi Badan Musyawarah Betawi, masyarakat Betawi adalah orang yang memiliki orang tua berdarah betawi, baik sepihak (ibu atau ayahnya saja) atau kedua-duanya. Atau bisa juga orang yang sudah sekian generasi tinggal di Jakarta dan tidak tahu lagi dimana kampung halaman mereka (Kristanto, 2006, p.49).Ensiklopedi Jakarta menyebutkan,jumlah orang Betawi di Jakartapada tahun 1930menurut sensus adalah 418.894 jiwa, danpada tahun 1961 adalah 655.400 jiwa (Ensiklopedi Jakarta, 2011). Meskipun secara jumlah etnis Betawi terus meningkat, namun rupanya etnis ini semakin lama semakin terpinggirkan dari Jakarta. Mereka terusir dari Jakarta, tempat dimana aslinya mereka berasal. Jumlah mereka semakin lama semakin kalah dengan para pendatang (Kiki, 2011). Pada sensus penduduk tahun 2001, tercatat hanya ada sebesar 27,65% masyarakat Betawi yang tinggal di Jakarta dan pada sensus tahun 2010, etnis Betawi hanyalah 10,4% saja dari jumlah penduduk Jakarta secara keseluruhan, tergusur oleh etnis Jawa sebagai etnis mayoritas (BPS, 2011). Menurut Suprapto, berkurangnya etnis Betawi ini dikarenakan program pembangunan yang cukup pesar di Jakarta, terutama sejak tahun 1970-an yang berdampak pada berkurangnya etnis Betawi (ibid).Menurut Afandi (2005), sejak zaman kolonial, identitas orang Betawi selalu dipandang sebagai komunitas pinggiran yang terbelakang. Pencitraan buruk ini menurut Afandi tidak terhapus ketika Indonesia sudah merdeka. Pada masa Orde Lama, kata Afandi, stereotip keterbelakangan orang Betawi dijadikan alasan oleh Presiden Soekarno bahwa Betawi tidak cocok direpresentasikan sebagai identitas budaya lokal Jakarta sehingga kebudayaan Betawi tidak pantas disebut sebagai kebudayaan Jakarta (Ramadhan, 2011). Ketika pemerintahan digantikan oleh Soeharto pun etnis Betawi lagi-lagi tak mendapatkan pengakuan identitas. Pemerintahan Orde Baru dengan sewenang-wenang sangat tidak mengindahkan orang Betawi di tanahnya sendiri, dalam bentuk-bentuk penghilangan unsur dan peran kebetawian yang begitu kentara (ibid). Tidak diakuinya identitas etnis Betawi di dunia nyata rupanya berbanding terbalik dengan apa yang ditampilkan di media. Sebab, etnis Betawi justru cukup sering ditampilkan dalam media massa. Secara intensitas penayangan, mereka cukup sering direpresentasikan. Sebut saja film Si Doel, Si Pitung, Ca Bau Kan, dan Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta. Belum lagi yang ditampilkan oleh televisi hampir setiap hari, seperti sitkom Bajaj Bajuri, sinetron Juragan Lenong, sketsa komedi Ngelenong Nyok, sampai yang paling melegenda, sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang sampai menghasilkan enam seri karena begitu laris (Anom, 2003). Akan tetapi, mayoritasnya etnis Betawi ditampilkan di media massa rupanya masih cenderung bersifat stereotipikal. Menurut tokoh Betawi Ali Shahab, kendati Betawi sangat diminati untuk ditampilkan di media massa, kebanyakan dari tayangan di media masih menampilkan sosok masyarakat Betawi pinggiran yang diidentikkan dengan keterbelakangan, dan gagap dengan perkembangan jaman (Ramadhan, 2010). Tayangan-tayangan di media tersebut juga sangat jauh dari kultur etnis Betawi yang sesungguhnya, karena selalu menggambarkan orang Betawi sebagai orang yang bodoh, tukang kawin, kasar, tidak berbudaya dan jauh dari kenyataan masyarakat Betawi yang ramah dan islami (ibid).Pahlawan: Konsep Identitas Etnis Betawi di Masa Kolonial Dalam Kronik Betawi, dikisahkan Juned adalah seorang laki-laki Betawi asli yang hidup sebatang kara dan bekerja pada seorang tentara Belanda bernama Tuan Henk. Juned bekerja sebagai pengantar susu dan ia terpilih menjadi pegawai karena ia bisa membaca dan menulis.

Orang-orang Belanda pada masa kolonial menurut Furnivall (1994) menduduki kelas tertinggi dalam stuktur masyarakat ini bekerja sama dengan masyarakat kelas menengah (warga keturunan Cina) dalam hal perdagangan dan juga dengan warga kelas terendah (pribumi) untuk membantu pekerjaan atau operasional mereka sehari-hari (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2011). Akan tetapi, hanya pribumi dengan kriteria tertentu yang bisa bekerja pada orang-orang Belanda. Gambaran mengenai hal ini muncul dalam Kronik Betawi melalui tokoh Juned.

Juned bekerja untuk seorang Belanda yang memiliki peternakan sapiTuan Henk menerimanya bekerja karena ia segelintir dari sedikit orang yang waktu itu bisa baca dan tulis. (Kronik Betawi hal. 27-28).Dari paragraf pengenalan sosok Juned ini juga terdapat latar bahwa pada masa penjajahan Belanda, masih banyak orang pribumi yang tidak bisa baca tulis. Pada teks di atas, didapatkan bahwa ketidakmampuan baca tulis bagi penduduk pribumi pada masa itu akan menimbulkan perbedaan nasib dan status sosial yang cukup signifikan antar sesama pribumi. Perbedaan status yang dimiliki oleh Juned ini tampak lagi pada kejadian ketika Juned didatangi dua orang pencoleng:Serahin duit lu! pencoleng itu mengulangi perintahnya.

Aye kagak punya duit, Bang

Boong lu! Lu kerja buat kumpeni, boong kalo kagak punya duit! (Kronik Betawi hal. 29).Berdasarkan teks di atas, nampak bahwa terdapat stereotip dari sesama pribumi bahwa seseorang yang bekerja pada penjajah memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka yang tidak bekerja pada orang Belanda. Para pekerja yang ikut orang Belanda dianggap memiliki uang yang banyak, yang berarti kelas sosial mereka berada di atas pribumi lainnya. Hal ini karena tidak semua pribumi pada masa kolonial yang bisa memasuki kelas warga kumpeni, seperti yang dijelaskan Furnivall (1994). Oleh karena itu, orang-orang pribumi yang berhasil bekerja pada kumpeni akan dianggap memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi.Perbedaan status ini kembali terjadi ketika Jepang masuk ke Jakarta, menggantikan posisi Belanda sebagai penjajah. Akan tetapi, perbedaan status ini dikonstruk melalui cara yang berbeda, yakni melalui peristiwa heroik berupa pemasangan pagar gaib terhadap rumah-rumah penduduk agar tak terlihat dan tertembak oleh tentara Jepang.

Di antara derap suara-suara sepatu tentara Jepang tiba-tiba terdengar suara Juned menembang Juned sedang keliling sambil nembang bahasa Sunda bercampur Arab dari sebuah surat di Quran (Kronik Betawi hal. 41).

Menurut Warmansjah (1997, p.154-155), kepercayaan Islam banyak digunakan penduduk Betawi untuk melawan penjajah. Mereka beranggapan bahwa memerangi penjajah adalah suatu cara untuk melawan bangsa kafir, sehingga mereka begitu bersemangat membentuk perkumpulan-perkumpulan untuk bersama-sama mengusir penjajah. Basis kepercayaan ini tampak dalam novel Kronik Betawi seperti yang tercantum dalam kutipan teks di atas, dimana Juned melawan Jepang dengan membaca ayat-ayat Al-Quran yang dinyanyikan sambil berkeliling, agar rumah-rumah terlindungi dari tembakan Jepang. Hal ini juga dicatat Saidi (dalam Shahab, 2000, p.11) bahwa Islam memberi makna khusus bagi orang Betawi di jaman penjajahan. Zikir, ratib, manakib Syekh Saman, maulei Barjanji dan Diba telah terbukti membuat penjajah tidak berkutik. Dalam Kronik Betawi, tembang yang dikonstruk sebagai senjata ampuh melawan penjajah ini ia dapatkan dari gurunya, Haji Ung seorang jago silat sekaligus ulama Betawi. Pada akhirnya, karena kemampuan ini, Juned diminta Tuan Henk untuk bekerja sebagai tukang pasang pagar gaib.

Di sinilah kemudian Juned dipanggil Bung Juned. Sebutan bung diperuntukkan bagi Juned atas keberaniannya maju ke depan memimpin mereka yang tertindas, seperti Bung Karno. (Kronik Betawi hal. 42).

Kutipan teks di atas menjadi latar terbentuknya identitas baru Juned. Karena kemampuan membuat pagar gaib, Juned dipanggil Bung oleh orang-orang. Sebutan Bung yang memiliki nilai prestis karena merupakan bentuk terima kasih atas sosok kepahlawanan Bung Juned ini begitu berbeda jika dibandingkan dengan kisah Juned sebelumnya. Pergeseran dari rasa benci karena cemburu menjadi rasa terima kasih karena telah dibantu ini membentu identitas baru Juned sebagai seorang pahlawan, yang tak lagi dibenci oleh sesama pribumi.

Dalam novel ini dijelaskan bahwa panggilan atau identitas Bung tersebut adalah wujud keberanian Juned sebagai pemimpin atas kaum tertindas yang berani maju ke medan peperangan, walau tidak dengan cara berperang. Mengenai identitas Juned yang baru ini, Irwan (dalam Shahab, 2000, p.7) mengatakan bahwa tokoh yang dihormati oleh masyarakat Betawi tempo dulu adalah ulama, kemudian jagoan, karena mereka benar-benar membela rakyat. Pembelaan Juned terhadap masyarakat di sekitarnya juga terdapat dalam novel Kronik Betawi. Akan tetapi, perjuangan etnis Betawi yang digambarkan dalam novel Kronik Betawi merupakan perjuangan yang pasif, sebab hanya berhasil berlindung dan bukannya menyerang atau melawan penjajah. Padahal, menurut data dari Proyek Pencatatan Kebudaya Daerah Jakarta (1978, p.110-112), pada masa penjajahan Jepang timbul banyak perkumpulan pergerakan, baik yang berbasis kedaerahan maupun berbasis nasional. Pergerakan-pergerakan itu antara lain Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon dan Pemuda Betawi. Munculnya pergerakan-pergerakan ini memiliki tujuan yang sama, yakni melawan penjajah Jepang (ibid, p.105). Kenyataan bahwa pada masa penjajahan terdapat gerakan Pemuda Betawi ini masih ditambah dengan catatan sejarah tentang berdirinya perkumpulan Kaum Betawi yang juga digunakan sebagai wadah pergerakan untuk melawan penjajah. Bahkan karena upayanya, orang Betawi memiliki perwakilan di Dewan Gemeente (ibid, p.120). Para pemuda Betawi juga tercatat turut berperang mengangkat senjata melawan penjajah (Redaksi kampungbetawi.com, 2012). Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya peran sosial politik etnis Betawi ternyata jauh lebih besar dari yang terkonstruk dalam novel Kronik Betawi. Apa yang tergambar dalam novel terlihat begitu dangkal dimana etnis Betawi hanya berperan dalam lingkup yang begitu kecil, tampak kurang kental jika dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini bisa jadi dikarenakan Ratih sebagai pembuat teks, tidak hidup di masa kolonial sehingga kurang bisa menggambarkan apa yang sebenarnya telah etnis Betawi lakukan, terutama dalam bidang sosial politik.Label Ketinggalan Jaman dan Wacana Diskriminasi Pemerintah Era Orde Baru

Setelah masa kolonial berlalu dan Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, cerita mengenai keluarga Bung Juned digulirkan melalui penuturan ketiga anak dari istri pertamanya, Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Ketiga kakak-beradik ini dikisahkan dalam novel Kronik Betawi dengan banyak menggunakan latar waktu masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Jakarta paska kemerdekaan semakin menunjukkan dirinya sebagai pusat pembangunan. Banyak monumen dan gedung-gedung di bangun atas perintah Presiden Soekarno, yang menitah Gubernur DKI Jakarta untuk membuat Jakarta menjadi kota yang modern dan berkelas internasional, sehingga tidak kalah dengan ibu kota negara-negara lain (Hogan, 2003, p.116). Pembangunan ini memakan sebagian besar lahan penduduk Jakarta. Dengan alasan pembangunan, penduduk Jakarta mulai ditertibkan dengan dipindahkan dari lokasi tempat tinggalnya selama ini ke kompleks perumahan minimum (ibid). Pembangunan ini tak berhenti ketika Sukarno digantikan oleh Soeharto. Soeharto yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan ini berupaya membangun Jakarta sebagai sebuah kota urban yang baru, salah satunya dengan melakukan penggusuran kampung-kampung (Harjoko, 2004, p.18). Hogan (2003, p.117) juga mencatat peristiwa penggusuran kampung yang terjadi secara besar-besaran selama masa pemerintahan Suharto ini dengan menyebut bahwa kaum miskin Jakarta disingkirkan dari jalanan dan diusir dari pusat kota.Etnis Betawi yang dikenal sebagai penduduk asli Jakarta juga merasakan efek dari pembangunan ini. Rumah dan tanah mereka yang tesebar di perkampungan digusur. Hal ini juga ditampilkan melalui kisah keluarga Jaelani yang berulang kali didatangi orang yang berbeda-beda yang hendak mengusirnya dari rumah dan tanah yang ditempatinya sejak bertahun-tahun lalu. Menariknya, reaksi Jaelani ketika menanggapi hal itu adalah membandingkan nasibnya dengan nasib para pendatang di Jakarta.

Lucu amat yak? Tanah milik aye, hanya gara-gara terlambat mengajukan permohonan, jadi milik Negara?! Sedang orang-orang pendatang dikasih sertipikat Prona. Mana adilnya?! (Kronik Betawi hal. 92).

Orang-orang pendatang yang dimaksud adalah pendatang di kota Jakarta, tempatnya tinggal, yang berarti orang-orang yang berasal dari etnis lain diluar Betawi. Reaksi Jaelani yang langsung membandingkan nasibnya sebagai pemilik tanah Betawi yang tergusur dengan nasib para pendatang yang justru diberikan sertifikat ini menunjukkan terdapat rasa iri dalam diri Jaelani sebagai etnis Betawi. Rasa iri tersebut membuatnya memberontak, memprotes keadilan yang tidak ia dapatkan.

Apa?! Elu mau gua tinggal di kandang lutung yang lu bikin itu?! Sembarangan aja lu tanah orang mau diambil jadi milik Negara! (Kronik Betawi hal. 99).Tidak hanya tidak terima mengenai penggusuran tanah yang mengatasnamakan negara, Jaelani juga tidak mau dipaksa untuk menempati lahan relokasi yang sudah dibangun oleh para pengembang. Bahkan dengan marah-marah, Jaelani menyebut lahan relokasi yang berupa rumah susun itu sebagai kandang lutung. Kandang lutung merupakan sebuah metafor dari bangunan yang jelek, yang tidak pantas ditempati. Menurut Eddyono (2006, p.50), kasus penggusuran yang terjadi di Jakarta, jarang diikuti dengan pengadaan rumah pengganti yang memadai. Rumah pengganti yang tidak memadai inilah yang disebut Jaelani sebagai kandang lutung. Metafor tersebut juga sekaligus menunjukkan bahwa penghuni asli kota Jakarta, etnis Betawi, malah mendapatkan tempat tinggal yang buruk, yang jauh lebih tidak pantas ditempati daripada bangunan yang ditempati oleh kaum pendatang. Jika menilik dari waktunya, peristiwa tersebut terjadi sebelum tahun 1998. Sebelum 1998, Jakarta sempat diramaikan dengan aksi penggusuran kampung ketika masa pemerintahan Gubernur Surjadi Soedirdja yang memerintah pada tahun 1992-1997. Di masa kepemimpinannya, Surjadi membuat proyek pembangunan rumah susun, menciptakan kawasan hijau, memperbanyak daerah resapan air (Tempo, 2004). Upaya ini dilakukan Surjadi dalam rangka meningkatkan citra Jakarta sebagai ibukota propinsi sekaligus ibukota negara. Ia mencanangkan Rencana Strategis (Renstra 1992-1997) Pembangunan DKI Jakarta, dengan sembilan sasaran prioritasnya yaitu antara lain pengendalian kependudukan, penangan pemukiman kumuh, dan keterpaduan pembangunan sosial kemasyarakatan (Ensiklopedi Jakarta, 2012). Melalui kebijakan ini sasaran yang di maksud adalah sebuah kota yang aman, tertib, nyaman, serasi, sesuai tuntutan dan tantangan yang harus dicapai Kota Jakarta hingga dapat disejajarkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia (ibid). Jika menilik penjelasan di atas, maka yang dimaksud penggusuran tanah milik orang Betawi dalam novel ini terjadi pada masa pemerintahan Surjadi. Termasuk kandang lutung yang disebut Jaelani, yang merupakan sebutan sinisnya untuk rumah susun yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Semua itu dilakukan aparat atas nama program pemerintah, program gubernur, yang menginginkan ketertiban pemukiman di Jakarta sehingga tempat tinggal kumuh dan kampung-kampung harus digusur. Etnis Betawi termasuk yang tergusur, karena kepentingan mereka sebagai rakyat jelata dikalahkan oleh kepentingan para pemimpin yang melakukan berbagai cara untuk mengusir mereka dari tanah yang telah mereka miliki secara turun temurun. Melalui penggambaran dalam novel ini ini, telah dikonstruksi betapa kekuasaan dapat bertindak sewenang-wenang. Konstruksi ini menimbulkan kesan bahwa etnis Betawi adalah etnis yang telah menjadi korban dari era modern, era yang memaksa mereka terdepak, karena mereka tidak memiliki kekuasaan dan juga pengetahuan yang lebih dibandingkan pemerintah atau penguasa.Peran media yang meneguhkan apa yang terjadi pada Jaelani hadir melalui sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS), yang dikisahkan selalu ditontonnya:...memang betul lagu di sinetron itu: Anak Betawi ketinggalan jaman. Udah taun gini juga orang kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan yang berarti, malah yang ada digusur melulu. Sementara orang-orang sudah bikin gedung tinggi-tinggi, orang kita juga masih gini-gini aja. (Kronik Betawi hal. 169).Peran media, dalam hal ini lagu di sinetron yang ditayangkan setiap sore di televisi, bersifat sebagai cermin bagi Jaelani. Dia melihat apa yang dia rasakan terwakili melalui lirik lagu tersebut. Dia merasa semakin ketinggalan jaman ketika mendengar soundtrack sinetron tersebut. Jaman yang meninggalkan anak Betawi, tidak berbeda jauh dengan peradaban yang menghilangkan sejarah Betawi, seperti yang direnungkannya ketika tanahnya digusur oleh negara. Penggunaan latar berupa penggusuran tanah yang selalu dilakukan oleh warga pendatang telah menciptakan konstruksi di pikiran pembaca bahwa benar etnis Betawi memang benar-benar telah terpinggir....memang betul lagu di sinetron itu: Anak Betawi ketinggalan jaman. Udah taun gini juga orang kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan yang berarti, malah yang ada digusur melulu. Sementara orang-orang sudah bikin gedung tinggi-tinggi, orang kita juga masih gini-gini aja. (Kronik Betawi hal. 169).

Dari gumaman Jaelani tersebut, sikap setujunya terhadap lirik soundtrack sinetron SDAS dinyatakan dengan eksplisit dan dilengkapi dengan berbagai detil yang merupakan pengalaman hidupnya sendiri sebagai anak Betawi. Konstruksi sikap setuju Jaelani terhadap apa yang diwacanakan SDAS ini tidak lepas dengan kognisi sosial Ratih sebagai pencipta teks. Sebagaimana yang ditemukan dalam website pribadinya, Ratih mengakui bahwa Si Doel adalah representasi karakter putra Betawi yang sebenarnya.

Doel adalah salah satu tokoh paling populer asal Betawi Tokoh Si Doel sepertinya sudah menjadi tokoh milik publik (khusunya Jakarta). Karakter Si Doel adalah representasi karakter putra Betawi yang memang begitulah adanya (ratihkumala.com, 2009).

Pernyataan Ratih tersebut merupakan kognisi sosialnya terhadap tokoh Si Doel yang turut memberikan andil ketika ia menciptakan Kronik Betawi beserta konflik-konfliknya yang ternyata hampir sama dengan apa yang terdapat dalam SDAS, khususnya dalam pemberian label ketinggalan jaman seperti yang dirasakan Jaelani.Selain dimaknai sebagai pendatang, orang-orang juga dapat dimaknai sebagai orang-orang kaya, berkuasa, pemilik modal yang dengan begitu mudahnya bekerjasama dengan pemerintah untuk menyingkirkan orang-orang miskin dari Jakarta, termasuk di dalamnya orang-orang Betawi seperti Jaelani dan keluarganya. Menurut Harjoko dalam Eddyono (2006, p.51), kebijakan pemerintah menggusur perkampungan di Jakarta merupakan sebuah kebijakan yang diskriminatif karena lebih mementingkan kepentingan pengusaha dan pemilik modal ketimbang kebutuhan masyarakat miskin akan rumah. Di banyak tempat, lokasi bekas gusuran kemudian dibangun sebagai sentra bisnis, yang memberi keuntungan finansial langsung kepada pemerintah, sementara orang yang digusur tak jelas nasibnya (ibid). Analisis Harjoko ini tercermin dalam kisah Jaelani yang dibangun dalam novel Kronik Betawi karena diketahui bahwa rumah Jaelani yang digusur pemerintah dalam waktu yang tidak cukup lama telah berubah menjadi ruko. Dan di sekitaran rumah tersebut juga dibangun ruko-ruko lain, yang artinya, wilayah yang digusur kini menjadi kompleks perdagangan. Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Harjoko (2006) bahwa pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap penduduk miskin, sebab penggusuran dilakukan untuk membentuk komplek usaha yang mementingkan para pengusaha dan juga memberikan keuntungan langsung pada pemerintah, tidak kepada warga miskin termasuk warga Betawi.Mahasiswa: Identitas Baru Etnis Betawi di Era Reformasi

Novel Kronik Betawi ditulis Ratih pada tahun 2008. Ketika itu, menurut Ratih, orang Betawi sudah banyak berubah, dan perubahan yang paling terlihat adalah masalah pendidikan.

Saya kembali ke Jakarta tahun 2005. Perbedaan yang signifikan antara Betawi dulu dengan sekarang adalah dari cara ortu mereka mendidik anaknya, pendidikan yang paling jelas terlihat. Sekarang, orang Betawi sadar kalau pendidikan itu penting, beberapa yang saya kenal bahkan menyekolahkan anaknya ke luar negeri (Wawancara dengan Ratih Kumala, 2012).

Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, prasangka atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa (Eriyanto, 2011, p.260). Kesadaran, prasangka dan/atau pengetahuan inilah yang menurut Eriyanto yang disebut van Dijk sebagai kognisi sosial dimana hal-hal tersebut menggambarkan bagaimana nilai-nilai masyarakat yang diketahui pembuat teks menyebar dan diserap oleh kognisi pembuat teks dan akhirnya digunakannya dalam menulis sebuah teks (ibid, p.222). Kutipan wawancara dengan Ratih Kumala di atas memperlihatkan bagaimana kognisi sosial yang terdapat pada Ratih tentang etnis Betawi sekarang telah mempengaruhi teks yang ia buat.

Fauzan adalah satu-satunya anak Jaelani, generasi ketiga keturunan Juned, yang berhasil menempuh pendidikan di tingkat universitas. Fauzan telah mendapati kedua orangtuanya berpikiran semakin modern, terutama dalam bidang pendidikan. Fauzan yang lolos UMPTN dan berhasil masuk perguruan tinggi negeri ini berhak menyandang sebutan sebagai mahasiswa, sebuah sebutan yang menunjukkan posisi kelas menengah dalam susunan masyarakat (Pitoyo, 2008). Identitas baru yang disandang Fauzan ini dapat dianggap sebagai kunci dari pembentukan label baru yakni tak lagi ketinggalan jaman, yang dibangun novel ini. Identitas ini sekaligus menunjukkan bahwa intelektualitas etnis Betawi semakin berkembang pesat. Mereka kini lebih cerdas, mampu bersaing, berhasil tidak tersingkir secara akademis dan memiliki masa depan yang cerah.Orang Betawi yang kerap ditampilkan dalam media sebagai orang yang bodoh, tidak berpendidikan, tidak maju pikirannya dan tertinggal dari etnis-etnis lain memang telah lebih dulu dibantah oleh sutradara Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) dengan menciptakan tokoh Si Doel. Si Doel merupakan sosok anak Betawi yang rajin mengaji, pintar, dan meskipada awalnya susah mencari kerja namun akhirnya menjadi seorang yang sukses. Dengan konsep yang sama, Ratih tampak hendak mengulang apa yang diciptakan Sjuman Djaja, sutradara SDAS, melalui tokoh Fauzan. Ratih tampak ingin menghadirkan kembali tokoh seorang anak Betawi yang mampu mengubah nasibnya melalui jalur pendidikan. Sekali lagi, tokoh Si Doel masuk dalam alur cerita Kronik Betawi dan memberi pengaruh yang cukup besar dalam novel ini. Hal ini bisa dimaklumi, sebab SDAS merupakan cikal bakal tumbuhnya program-program media lain yang berkisah tentang Betawi. Ratih sendiri dalam website pribadinya telah mengakui hal ini:

Doel Hamid, salah satu tokoh paling populer asal Betawi ini. .Tokoh Si Doel sepertinya sudah menjadi tokoh milik publik (khusunya Jakarta). Karakter Si Doel adalah representasi karakter putra Betawi yang memang begitulah adanya. (ratihkumala.com, 2009)

Pernyataan Ratih ini dapat dijadikan sebuah titik awal untuk mengetahui mengapa tokoh Si Doel dan SDAS berulangkali dimunculkan dalam Kronik Betawi. Tidak hanya itu, cita-cita kedua orangtua Fauzan dan juga Fauzan sendiri tampak begitu ingin meniru apa yang sudah dilakukan dan dicapai Si Doel, setelah sebelumnya menjadikan label ketinggalan jaman sebagai wacana yang mendominasi ketika novel ini menceritakan kisah keturunan Juned di masa Orde Baru. Sehingga, dapat dianalisis bahwa apa yang sebenarnya terkonstruk dalam novel Kronik Betawi tidak lepas dari kognisi sosial Ratih yang telah menganggap bahwa anak Betawi adalah Si Doel, dan orang Betawi itu memang seperti Si Doel.

Selain melalui pendidikan, novel Kronik Betawi juga mengubah konsep-konsep lama yang menjadi stereotip yang dilekatkan pada etnis Betawi melalui sikap aktif dan kritis dalam karakter Fauzan. Sikap kritis yang identik dengan cerdas ini ternyata tidak ditampilkan dalam tingkat pikiran saja (karena diperbincangkan), tetapi juga dalam tingkat perbuatan. Seperti sikap kritis Fauzan yang menentang program pemerintah berupa judi legal PORKAS. PORKAS adalah sejenis judi yang dilegalkan oleh pemerintah karena berlindung sebagai dana masyarakat yang digunakan untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia (Suara Merdeka, 2004). Masa kejayaan PORKAS ini berakhir etelah sebelumnya didahului demonstrasi mahasiswa anti-SDSB (Suara Merdeka, 2004).Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan Fauzan selalu mengatasnamakan statusnya sebagai mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari latar dan detil jas almamater yang selalu dibawa (dipakai) ketika berdemonstrasi. Detil berikutnya adalah pernyataan Fauzan bahwa ia akan berdemonstrasi bersama teman-teman kampusnya. Kedua detil ini kemudian membuat segala aksi demonstrasi yang dilakukan Fauzan menjadi sesuatu yang memang dikonstruksi lekat dengan identitas barunya sebagai seorang mahasiswa. Konstruksi yang diciptakan Ratih ini termasuk ke dalam fungsi dan peran strategis mahasiswa yang disebutkan oleh Ridarmin (2008 dalam Pitoyo, 2008) yaitu mahasiswa sebagai iron stock (calon pemimpin bangsa), agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (pengontrol sosial). Merujuk pada ketiga peran tersebut, maka yang dilakukan Fauzan merupakan upaya Ratih untuk menunjukkan bahwa anak Betawi telah melaksanakan perannya sebagai mahasiswa dengan baik. Dimunculkannya generasi berpendidikan tinggi dalam keluarga besar Juned yang merupakan keluaga Betawi, tidak berhenti pada jenjang sarjana. Usai resmi menjadi seorang arsitek dan bekerja pada sebuah perusahaan, Fauzan dikisahkan berhasil menembus seleksi beasiswa pascasarjana di Amerika. Pendidikan pascasarjana di Indonesia seringkali dikaitkan dengan dua hal, prestasi dan prestise (Herlindah, 2011). Prestasi dan prestise yang diraih oleh Fauzan masih ditambah detil sekolah gratis karena Fauzan mendapatkan beasiswa. Sama seperti menempuh pendidikan pasca sarjana, mendapat beasiswa juga sebuah prestasi dan prestise tersendiri. Serentetan pencapaian Fauzan ini dapat dilihat sebagai upaya pembentukan image baru etnis Betawi. Melalui identitas mahasiswa, telah dihadirkan konstruksi etnis Betawi yang tidak lagi bodoh, tetapi unggul dalam akademik. Fauzan juga dibentuk sebagai generasi Betawi yang tidak sekedar yang mementingkan urusan akademik tetapi juga ikut berjuang dalam perubahan bangsanya ke arah yang lebih baik. Perubahan nasib yang dihadirkan Kronik Betawi ini telah memberikan gambaran kepada para pembacanya bahwa anak Betawi yang dilekati stereotip bodoh dan ketinggalan jaman telah berhasil berjuang untuk membuktikan bahwa stereotip itu tak lagi benar. Lirik soundtrack SDAS yang sebelumnya digambarkan disetujui oleh Jaelani karena menggambarkan etnis Betawi yang terpinggirkan karena bodoh, kini tak terbukti benar karena Fauzan telah mengubah itu semua. Dan pada saat yang bersamaan, Ratih sebagai anak Betawi juga telah berjuang untuk menghilangkan stereotip negatif dari masyarakat yang dilekatkan kepada etnisnya dengan membentuk sebuah karakteristik baru yakni tidak bodoh dan unggul dalam akademik melalui novel yang ditulisnya ini.Image baru ini juga merupakan usaha perlawanan Ratih terhadap label yang terlanjur berkembang di masyarakat yang sebenarnya bersifat kontradiktif sebab di periodisasi waktu sebelumnya, ia turut meneguhkan label tertinggal pada etnisnya sendiri. Akibatnya, penghapusan label ketinggalan jaman dalam novel ini dapat dikatakan tidak berhasil secara sepenuhnya dan terkesan begitu mengikuti pola produk-produk media lainnya yang sudah ada sebelumnya dalam mengkonstruk alur perubahan nasib etnis Betawi. Pada akhirnya, konsistensi industri media melalui produk-produknya dalam mengkonstruk identitas etnis Betawi dengan label kampungan dan ketinggalan jaman ternyata juga dimiliki oleh novel Kronik Betawi.KESIMPULAN

Identitas etnis Betawi sebagai bagian dari masyarakat pribumi pada masa kolonial digambarkan memiliki kelas dan status sosial yang lebih tinggi dari pribumi lainnya. Etnis Betawi digambarkan makin unggul ketika dikonstruk berkontribusi pada kemerdekaan Indonesia dan dianggap sebagai pahlawan bagi sesama kaum terjajah. Akan tetapi, kontribusi yang diwacanakan dalam novel ini tidak sesuai dengan catatan sejarah mengenai keterlibatan etnis Betawi pada masa penjajahan. Sebab sejarah mencatat etnis Betawi bersikap aktif dalam berjuang melawan penjajah, sedangkan dalam Kronik Betawi, konstruk karakter nasionalis etnis Betawi hanya ditunjukkan dengan perjuangan yang bersifat pasif. Kejayaan etnis Betawi di masa kolonial dihadirkan terbalik pada masa paska kemerdekaan. Pada masa ini, label ketinggalan jaman begitu dilekatkan pada etnis Betawi. Konsep orang-orang yang merujuk pada etnis-etnis pendatang di kota Jakarta dijadikan sebagai penyebab tertinggalnya etnis Betawi di segala bidang. Selain itu, pemerintah dikonstruk telah bersikap diskriminatif terhadap etnis Betawi sehingga mereka juga dijadikan pihak yang bersalah atas terpinggirnya etnis Betawi dari Jakarta. Peneguhan stereotip anak Betawi ketinggalan jaman yang diberikan ini dapat dikritisi sebagai bagian dari konsistensi industri media dalam menampilkan identitas etnis Betawi.Memasuki masa reformasi, label anak Betawi ketinggalan jaman diubah melalui sebuah identitas baru: mahasiswa. Identitas mahasiswa ini merupakan sebuah lompatan status yang cukup tinggi bagi etnis Betawi. Pendidikan dijadikan sebagai kunci untuk keluar dari label ketinggalan jaman menuju etnis yang lebih modern. Image baru ini merupakan usaha perlawanan Ratih terhadap label yang terlanjur berkembang di masyarakat yang sebenarnya bersifat kontradiktif sebab di periodisasi waktu sebelumnya, ia turut meneguhkan label tertinggal pada etnisnya sendiri. Akibatnya, penghapusan label ketinggalan jaman dalam novel Kronik Betawi tak berhasil secara sepenuhnya dan terkesan begitu mengikuti pola produk media-media lainnya yang sudah ada sebelumnya dalam mengkonstruk alur perubahan nasib etnis Betawi. DAFTAR PUSTAKA

Barker, C. 1999. Television, Globalization, and Cultural Identities. Buckingham: Open University Press.

________. 2004. Cultural Studies, Teori & Praktik. Yogykarta: Kreasi Wacana.

Barker, C. Galasinski, D. 2001. Cultural Studies and Discourse Analysis. London: Sage Publications.

Danesi, M. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.Ibrahim, I.S. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Furnivall, 1994. Netherlands of Hindia: a Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press

Hall, S. Gay, P. 1996. Questions of Cultural Identity. London: SAGE Publications.

Hoon, C. 2006. Reconceptualising Ethnic Chinese Identity in Post-Suharto Indonesia. Australia:University of Western Australia, School of Social and Cultural Sciences. Kumala, R. 2009. Kronik Betawi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Letvo-Henriksson, R. 2007. Media and Ethnic Identity: Hopi Views on Media, Identity and Communication. New York: Routledge.Munandar, A. 2011. Memahami Identitas Sosial Komunitas Lokal di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia. Jakarta: Universitas Nasional.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah DKI Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan KebudayaanShahab, A. 2007. Robin Hood Betawi. Jakarta: Republika.Surya, 2009, dalam Ida, R. et al., 2009. Isu Minoritas Dalam Sinema Indonesia Pasca Ode Baru. Surabaya: Komite Film Dewan Kesenian Jawa Timur.

Warmansjah, G.A. et al., 1978. Sejarah Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Afandi, 2005. Perkampungan Budaya Betawi Sebagai Representasi Identitas Kebetawian. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.Eddyono, S.W., 2006. Pemenuhan Hak Ekonomi, Soaial dan Budaya Dalam Perspektif Jender (Hak Atas Perumahan yang Layak). Seri Dokumen Kunci 7 Komnas Perempuan. Jakarta: KOMNAS Perempuan.Fitranisa, I., 2011. Wacana Perempuan Tionghoa Dalam Novel Indonesia Paska Reformasi: Discourse Analysis Identitas Perempuan Beretnis Tionghoa Dalam Teks Novel Dimsum Terakhir Karya Clara Ng. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.

Harjoko. T.Y., 2004. Penggusuran or Eviction in Jakarta: Solution Lacking Resolution for Urban Kampung. Jakarta: Department of Architecture, Faculty of Engineering, University of Indonesia.

Hasfi, N. 2011. Kekerasan Simbolik Terhadap Suku Jawa Dalam Program TV Hidup Ini Indah Di Trans TV. E-Journal Undip, 39 (2), p.45-51).

Hogan, T., 2003. Post Colonial Cities: A View From Jakarta. Thesis Eleven, 73, p.113-122.

Kristanto, D.J., 2006. Wacana Masyarakat Betawi Dalam Sinetron Bajaj Bajuri. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.

Lo, R.H., 2008. The City as a Mirror: Transport, Land Use and Social Change in Jakarta. Urban Studies, 47 (3), p.529-555.Shahab, Y.Z., 2004. Identitas dan Otoritas Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok: Laboratorium Antropologi FISIP Universitas Indonesia.Singh, 1999, dalam Thomas, L. et al., 1999. Language, Society and Power. 2nd ed. New York: Routledge.Anom, A. K., 2003. Betawi Kagak Ade Matinye. Diakses dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/20/ pada 19 April 2012Badan Musyawarah Masyarakat Betawi, 2005. Sekilas Tentang Masyarakat Betawi. Diakses dari: http:www.bamus-betawi.or.id/ pada 16 Oktober 2011

Badan Pusat Statistik, 2011. Penduduk Indonesia Menurut Propinsi. Diakses dari: http://www.bps.go.id/ pada 3 November 2012.Badan Pusat Statistik, 2011. Penduduk Indonesia Menurut Propinsi. Diakses dari: http://www.bps.go.id/ pada 3 November 2012Harian Umum Suara Merdeka, 2004. Analisis Berita: Dari PORKAS Sampai SDSB. Diakses dari: http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/19/nas4.htm pada 16 September 2012Herlindah, 2011. Makna dibalik Kuliah Hukum S1, S2 dan S3. Diakses dari: http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2011/11/ pada 16 September 2012Kiki, R.Z., 2011. Mari Jaga Tradisi Islam di Betawi! Dikases dari: http://islamic-center.or.id/betawi-corner/866 pada 19 April 2012Kumala, R. 2009. Kronik Betawi. Diakses dari: http: //ratihkumala.com/blog/ pada 16 Oktober 2011

Kumala, R. 2009. Doel Hamid Asal Betawi. Diakses dari: http://ratihkumala.tumblr.com/post/2335590562/ pada 19 April 2012

Messwati, E.D. 2006. Pendidikan Ubah Citra Orang Betawi. Diakses dari http://www.kompas.com/ pada 21 Januari 2013Muslich, M. 2010. Paradoks Wacana. Diakses dari: http://muslich-m.blogspot.com/2010/03/ pada 5 Desember 2011Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2011. Ensiklopedi Jakarta Budaya & Warisan Sejarah. Diakses dari: http://www.jakarta.go.id/ pada 3 November 2011

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), 2011. Kisah Perbudakan Batavia. Diakses dari: http://bataviadigital.pnri.go.id/ pada 29 September 2012

Pitoyo, J. 2008. Konsep, Fungsi dan Peran Mahasiswa. Diakses dari: http://jokpit.student.fkip.uns.ac.id/2008/10/09/ pada 29 Oktober 2012

Ramadhan, C.G., 2011. Orang Betawi Dalam Peribahasa Indonesia. Diakses dari: http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/20/ pada 29 Oktober 2012

Ramadhan, C.G., 2010. Sastrawan Betawi: Pemilik Rumah Atau Kuli Bangunan? Diakses dari: http://www.theglobal-review.com/ pada 19 April 2012

Ramadhan, C.G., 2010. Sinetron Betawi, Kok Begitu? Diakses dari: http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=1935 pada 11 Mei 2012Saputra, Y.A., 2005. Menelisik Identitas Betawi. Diakses dari: http://www.republika.co.id pada 3 November 2011Saputra, Y.A., 2010. Etnik Betawi. Diakses dari: http://kampungbetawi.com/ pada 27 September 2012Suprapto, P. 2012. Jakarta Bukan Monopoli Betawi. Diakses dari: http://politik.kompasiana.com/2012/04/20/ pada 27 September 2012

Tempo, 2004. Profil Gubernur DKI Jakarta. Diakses dari: http://www.tempo.co.id/ pada 27 September 2012Wiguna, O., Angela., 2008. Koran Tempo Ruang Baca: Ketika Jakarta Masup Buku. Diakses dari: http://www.ruangbaca.com/ruangbaca pada 19 April 201215