Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

43

Click here to load reader

description

artikel jurnal

Transcript of Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Page 1: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

ABSTRAK

Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi

hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia

dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi. Diagnosis

anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering

tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3

bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker, malaria,

thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing. Akupunktur dapat

menangani anemia, yaitu dengan menggunakan titik Zusanli (ST 36). Penelitian

menunjukkan titik Zusanli (ST 36) dapat meningkatkan kadar ferritin serum dan

mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity).

Kata kunci : anemia gravis, anemia berat, Hemoglobin, eritropoetin

A. Pendahuluan

1. Definisi anemia gravis

Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3

bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel

darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada

penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia

kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia

(SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia

gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis

(TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya.

Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti tampak bingung,

kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-paru

(Tramuz & Jereb, 2003).

1

Page 2: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

2. Prevalensi anemia

Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati

1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di

Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia

Kelompok Populasi Angka Pravalensi

Anak prasekolah (balita) 30-40%

Anak usia sekolah 23-35%

Wanita dewasa 30-40%

Wanita hamil 50-70%

Laki-laki dewasa 20-30%

Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%

Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem

Hematologi

Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu

sebanyak 50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa

sebanyak 20-30%. Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan

karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya

perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al, 1995

dalam Wulansari, 2006).

Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada

geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi

masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO

mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006).

B. Fisiologi Eritrosit

Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong

kuning saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit

disebut eritropoesis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di

dalam hati, limfa, dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang

2

Page 3: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

oleh hormon eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang

membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum

tulang semakin turun (Hoffbrand, 2005).

Pembentukan sel darah merah dimulai dari pluripotensial stem cell

(PPSC) di dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi dan berkembang menjadi

unipotensial stem sel. Eritrosit dibentuk melalui suatu proses pematangan yang

terdiri dari beberapa tahap yaitu pembelahan dan perubahan-perubahan

morfologi sel berinti mulai dari rubriblas, prorubrisit, rubrisit, metarubrisit.

Setelah itu dilanjutkan dengan pembentukan eritrosit polikrom tidak berinti yang

disebut retikulosit dan akhirnya menjadi eritrosit (Jain, 1993 dalam Nuraeni,

2006).

Menurut Hoffbrand et al (2005), pronormoblas adalah sel besar dengan

sitoplasma biru tua, dengan inti tengah dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit

menggumpal. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian

normoblas yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel.

Normoblas mengandung hemoglobin yang makin banyak (yang berwarna

merah muda) dalam sitoplasma. Warna sitoplasma makin biru pucat sejalan

dengan hilang nya RNA dan appartus yang mensintesis protein, sedangkan

khromatin inti menjadi makin pekat. Normoblas (sel darah merah berinti) tampak

dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang (eritropoiesis

ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang

(Hoffbran et al, 2005).

Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik. Sel

ini memiliki khromatin inti yang tampak kasar dan inti menghilang atau tidak

jelas. Sitoplasma sudah mulai mengandung hemoglobin sehingga warna

sitoplasma menjadi kemerah-merahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan

dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit dalam keadaan normal sekitar 1-4%. Sel ini

dapat diwarnai dengan warna basa dan sel ini akan mengumpulkan sedikit sekali

hemoglobin. Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik. Inti sel ini

mengandung khromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur. Pada sel ini

3

Page 4: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Basofil eritroblas

Polikromatofil sel darah merah

Retikulosit

Eritrosit

Diagram 1. Tahap pembentukan sel darah merah (Guyton, 1997 dalam Nuraeni, 2006)

Proeritroblas

sudah tidak terdapat lagi anak inti. Inti sel lebih kecil dibandingkan dengan

prorubrisit, namun sitoplasma lebih banyak mengandung warna biru (kandugan

asam ribonukleat) dan merah (kandungan hemoglobin), warna merah lebih

dominan, sehingga lebih banyak mengandung hemoglobin. Metarubrisit disebut

juga normoblas ortokromatik atau eritroblas ortokromatik. Inti sel ini kecil

mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna nya merah, meskipun

masih kebiruan. Dalam keadaan normal jumlahnya sekitar 5-10% (Marshall,

2006).

Pada proses pematangan eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan

pelepasan inti sel masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa

RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian

lagi di dalam darah tepi. Pada saat proses pematangan akhir, eritrosit selain

mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan

organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit

polikrom, dimana konsentrasi hemoglobin sekitar 34%, sedangkan nukleus

memadat dan ukurannya mengecil (Hoffbrand et al, 2005).

4

Page 5: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Sel darah merah (SDM) atau eritrosit berbentuk cakram konkaf tidak

berinti yang kira-kira berdiameter 8 µm, total bagian tepi 2 µm dan ketebalannya

berkurang dibagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang. Komponen utama

SDM adalah hemoglobin dan protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar

oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2) dan

mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraselular (Price, 2006).

C. Patofisiologi Anemia Gravis

a) Sickle cell anemia

Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif

autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga

mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984 dalam Amri,

2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin abnormal

yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai kelarutan

dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan bentuk

eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat

dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah

anemia. (Rask, 2004).

b) Thalassemia Mayor

Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya

kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita

dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan

kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,

menurunkan tingkat akumulasi besi,  dan dapat mempertahankan

pertumbuhan dan perkembangan penderita. (Modell & Darlison, 2008)

Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis

rantai betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi

berupa peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai

gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin

yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini

5

Page 6: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah merah

(hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk mengimbangi proses

hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan jumlah yang

sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi

transfusi (Hockenberry & Wilson, 2009).

c) Penderita Kanker

Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat

disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang

ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti

interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya

disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh kanker sendiri. (Gillespie,

2003)

d) Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi

yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya

pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat dalam makanan,

meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah yang kronis

(Wijayanti, 2005).

Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan

elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada

kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet

dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada

negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya

diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih

(McPhee, 2006).

e) Leukemia

Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang

abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan

yang dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia (Hidayat,

6

Page 7: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

2006). Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik

yang disertai gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai

tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari

kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi

proliferasi dari salah satu sel yang memproduksi sel darah yang ganas. Sel

yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan

kegagalan fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga

menimbulkan gejala anemia gravis. (Bakti & Made, 2006)

f) Infeksi Cacing

Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada

dalam usus manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga

menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh

cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan

sehingga penderita mengalami anemia (Gandahasuda, 2000).

Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat

perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat

cacing tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya

perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi

besi (Wijaya, 2007).

g) Sferositosis herediter (SH)

Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik

turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan

terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein

sitoskleletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3

protein, dan protein. Defek pada beberapa protein skeletal membran yang

berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter; semua ini secara primer

atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin yaitu protein struktur

(meshwork) yang berkaitan dengan membran internal sel darah merah. Sel

darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki membran yang

7

Page 8: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya luas

permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut

berbentuk sferoid; sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang

berkurang dan terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa (Mitchell

et al, 2008).

h) Anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari

sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak

adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan

penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit

dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler (Young, 2006). Penurunan

sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang

dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejala-gejala anemia (Chan et al,

2008).

Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu

kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan

berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan

karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk

pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk

pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang

menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya

jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang menurun (Segel

et al, 2011).

C. GAMBARAN KLINIS

Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular

(dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O2

hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat

gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin

mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).

8

Page 9: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

a) Gejala

Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,

khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala.

Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina

pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan

penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat

berat, khususnya yang awitannya cepat. (McPhee, 2006)

b) Tanda

Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda

umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar

hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang

dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia,

nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada

apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada

orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan

dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi,

ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan

anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan

talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat (Lissaeur,

2007).

9

Page 10: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

c) Gambar Darah Tepi

Sickle cell anemia

Gambar 1. Bentuk sel sabit eritrosit yang abnormal (Rask, 2004).

Malaria

Gambar 2. Eritrosit penderita malaria, menunjukkan eritrosit yang

diinvasi P. falciparum (Pusarawati & Tantanular, 2005)

1.A Gambar skematik P. Falciparum bentuk cincin (ring

forms),double dots dan marginal (applique) (Jeffrey & Leach,

1975).

10

Page 11: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

1.B Ring forms

1.C Double dots dan double infection

1.D Multiple infection

Thalassemia Mayor

Gambar 3.

Abnormalitas (bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit

bermacam-macam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis

(ukuran eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit

berinti. (Hoffbrand et al, 2005)

Anemia defisiensi besi

Gambar 4. Anisokromasia. Adanya peningkatan variabilitas warna dari

hipokrom dan normokrom dan terdapat poikilosit yang memanjang

(Wickramasinghe & Jones, 1992 dalam Renova, 2003)

11

Page 12: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Leukemia

Gambar 5. Leukemia linfositik akut (LLA). Jumlah limfosit dan

neutrofil yang lebih banyak dari jumlah normal (Simamora, 2009)

Sferositosis Herediter

Gambar 6. Eritrosit berbentuk sferoid. Sperosit adalah eritrosit yang

berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari eritrosit normal

(Sari & Ismail, 2009).

D. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar

yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia

dengan berbagai indikasi.

1. Farmakologi

a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)

12

Page 13: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

b) Epoetin Alfa

c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan

FRESH FROZEN PLASMA (FFP)

CRYOPRECIPITATE

d) Garam Besi

Fereous Sulfate

Carbonyl Iron

Iron Dextran Complex

Ferric Carboxymaltose

2. Transfusi

Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami

pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif

dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada

penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat

membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi (Anand et al, 2004).

3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel

Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,

Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.

Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik.

Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi

fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan

hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).

4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan

a. Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh

karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang

adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan

manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul

esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein

13

Page 14: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena

itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi

terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan

yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak

mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008)

b. Vitamin A

Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari

tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan

suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate

selama 12 minggu dapat meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin

sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi

38%. (Zimmermann MB et.al, 2011)

Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu

absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya

status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan

untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan

membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut

dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan

vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat

infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin

kembali normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di

tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis

(Subagio HW, 2008).

Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-

sumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya

susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti

papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel. (Michael J et al,

2008)

c. Vitamin C

14

Page 15: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan

antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya

bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka

kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia

semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin C dapat

meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004)

Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang

sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C

juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam

plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008)

Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk

sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya

buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran

hijau. (Marshall, 2004)

d. Zat Besi

Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai

faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang

disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat

besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi

tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut

oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh (Provan,

2004).

Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-

kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam

makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks heme-

protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi

yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al,

2009).

e. Asam Folat

15

Page 16: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut

dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-

aminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003). Sumber

makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum,

dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau.

Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan

DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan

penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast.

Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti

eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya

kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast)

(Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg

(Matizih, 2007).

6) Vitamin B12

Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan

bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari

1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),

keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu.

Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu

hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-

masing terikat pada cobal (Robert & Brown, 2003).

Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua

reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk

enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase

membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-

CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis

hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai

pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi

vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-

16

Page 17: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic

acid oleh suatu enzim hydrolase (Gibson, 2005).

Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan

sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan

cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel

berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang

bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi

vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak

normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi

anemia (Carmel, 2006).

Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.

Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari,

pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun

sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui

memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari.

Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,

susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain (Setiawan & Rahayuningsih, 2004).

5. Pembatasan Aktivitas

Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia

dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi

dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan

(misalnya anemia pernisiosa).

E. KOMPLIKASI

1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental

Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat

berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada

bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan

pada perilaku dan fungsi intelektual anak (Lissauer, 2007). Anemia gravis

akibat defisiensi besi menyebabkan gangguan perkembangan neurologik pada

bayi dan menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena zat besi

17

Page 18: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak dan penelitian pada

hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan perilaku dan fungsi

neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa

penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan

bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan

psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang

diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka

untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ

(Intelligent Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan

dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia

defisiensi besi (WHO, 2001).

Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif

pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan

myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung

baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami

kekurangan besi. Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.

Penyebab yang kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini

terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.

Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi

dan kontrol motorik. Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi

protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada

ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak

dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin

luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin

permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).

2. Penyakit Kardiovaskular

Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL

mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah

menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan

dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac

18

Page 19: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu

konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi

oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer, 2003).

Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan

hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin.

Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi

eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen

extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor

nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta aliran

darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done & Foley, 2002)

Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain

terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular sistemik,

peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi

ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan

faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung

menyebabkan pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri. (Bridges,

2008)

Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia merupakan predisposisi

terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat

mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik. Manifestasi kardiovaskular pada

pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali pada

pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat,

bisa terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan

dapat terjadi murmur sistolik. Pada keadaan anemia, venous return jantung

akan meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan

miofibril jantung yang memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan

memperbesar stroke volume sesuai dengan mekanisme Starling. (Brannon,

1945)

19

Page 20: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi ventrikel khususnya

terjadi peningkatan tekanan dinding jantung yang mengakibatkan peningkatan

konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi

yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut dengan eccentric

hipertrofi yang bermanfaat sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi

jantung dari peningkatan tahanan dinding jantung. (Zilberman, 2007)

3. Hipoksia Anemik

Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen

(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik

lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada

sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang

diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen

dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen

fosfat organik, terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran

kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan,

PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam

kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar

penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati, 2004)

Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan

kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi

jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang.

Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah

yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam darah

vena akan menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada yang

seharusnya terjadi dalam keadaan normal. (Almatsier, 2004)

A. PROGNOSIS

Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,

keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan

20

Page 21: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan

faktor penyerta lainnya.

Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus

Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral.

Pasien dengan penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian 50%.

Tingkat perdarahan ulang pada pasien yang diobati secara medis adalah

lebih dari 70%. (Gultom, 2003)

Anemia akibat Ruptur Aorta

Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat

kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien

meninggal dalam 2 minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki

prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan bedah

yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi, seringkali lebih

dari 80%. (Maakaron, 2013)

Sickle cell anemia

Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk, karena

mereka cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien dengan

heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka hanya

mengalami keadaan kritis pada kondisi yang ekstrim. (Young et al, 2008)

Thalasemia

Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau talasemia

mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan thalasemia

lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa tahun

terakhir telah ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia, terutama

dengan terapi khelasi zat besi, yang memungkinkan pasien thalassemia

untuk hidup sehat sampai dewasa. (Stefano et al, 2004)

Hiperplasia

Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan produksi

RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang lainnya tidak

21

Page 22: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki prognosis buruk.

Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang akibat defisiensi

nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12, asam folat atau zat

besi mengarah pada penyembuhan anemia jika etiologi yang tepat

ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis antifolic atau inhibitor

sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama.

Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang dapat

merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun lebih

sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di sumsum

tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di mitokondria

untuk sintesis heme (Pignatti, 2004).

Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia refrakter

bertahun-tahun, namun beberapa kelompok akhirnya berkembang menjadi

leukimia myelogenous akut (Young et al, 2008).

Anemia aplastik

Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia karena

chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika kemungkinan

etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau anti-insektisida.

Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa pengobatan

tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis. Tingkat kematian

untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun adalah 70% tanpa tranplantasi

sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif (Young, 2006).

Sferosidosis Herediter

Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat drastic,

memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk mempertahankan

tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher, 2008).

B. PERAN AKUPUNKTUR MEDIS

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan fakta bahwa akupunktur dapat

meningkatkan kadar besi dalam darah. Akupunktur dapat meningkatkan Ferritin

Serum dan mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity). Ferritin merupakan

22

Page 23: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

protein intraseluler yang menyimpan, melepaskan dan mentransportasikan besi

ke dalam darah. TIBC merupakan tes laboratorium yang mengukur kemampuan

tubuh untuk mengikat besi dengan transferrin, pengikat besi glokoprotein plasma

darah (Acta, 2007).

Pada percobaan acak terkontrol, sebuah riset menerapkan akupunktur

pada 60 kelinci putih pada titik akupunktur ST 36 Zusanli dengan metode

manipulasi lifting-thrusting. Kelinci – kelinci tersebut dibatasi jumlah

makanannya sehingga pada gambaran simulasi, darah mengalami defisiensi

dimana terjadi kondisi penurunan ferritin serum dan peningkatan TIBC.

Akupunktur diberikan setiap beberapa hari sekali, dengan total 10 kali. Kadar

Ferritin serum dan TIBC diukur menggunakan radio immuno assay (RIA).

Keduanya pada hari ke 17 penelitian dan selama 32 hari pengujian hasil setelah

penyelesaian studi, akhirnya disimpulkan bahwa kelinci yang di akupunktur

menunjukkan peningkatan signifikan kadar ferritin serum dan penurunan TIBC

dibandingkan kelompok kontrol. (Jiu, 2012).

C. KESIMPULAN

Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis) dikatakan bila

konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Diagnosis

anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis. Faktor

resiko anemia gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status ekonomi),

pendidikan, usia, gaya hidup, keturunan. Anemia gravis juga dapat disebabkan

oleh komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan (kanker), Infeksi

cacing pada manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun cacing

tambang dapat menyebabkan perdarahan yang menahun yang berakibat

menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia

defisiensi besi. Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin

darah sampai dibawah normal disebabkan penghancuran sel darah merah yang

berlebihan oleh parasit malaria. Thalassemia merupakan penyakit herediter yang

23

Page 24: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada

hemoglobin, dan kekurangan zat besi. Beberapa pengobatan medis anemia

dengan berbagai indikasi seperti, erythropoiesis-stimulating agents (ESAs),

Epoetin alfa, Fresh Frozen Plasma (FFP), cryoprecipitate, produksi besi,

transfusi, transplantasi sumsum tulang dan stem sel, terapi nutrisi dan

pertimbangan pola makan, dan pembatasan aktivitas. Sebuah studi

menyimpulkan bahwa akupunktur dapat meningkatkan Ferritin Serum dan

mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity). Titik akupunktur ST 36

Zusanli dengan metode manipulasi lifting-thrusting dapat membantu dalam

kasus anemia.

24

Page 25: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

DAFTAR PUSTAKA

Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo

Persada.

Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States: blacks

at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62.

Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil

Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. XXX;

2004.p. 496 – 499.

Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.p.75, 185-188, 249-254.

Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to

clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149–154.

Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.

Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan.

Jakarta: EGC

Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in

patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.

Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93.

Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York:

Mc Graw-Hill

Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC,

Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke-

10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.

Casale M, Perrotta S. Splenectomy for hereditary spherocytosis: complete, partial or

not at all?. Expert Rev Hematol. Dec 2011;4(6):627-35.

Dhar R, Zazulia AR, Videen TO, et al. Red blood cell transfusion increases cerebral

oxygen delivery in anemic patients with subarachnoid hemorrhage. Stroke.

Sep 2009;40(9):3039-44.

Fleischman G. 2006. Healthcare solution with acupuncture. Bloomington: iUniverse

25

Page 26: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK, Escott-

Stump S. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition.

Philadelphia: Saunders.

Ganong W. F. 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 27 Sirkulasi Cairan Tubuh

hal. 513-515 Edisi 20. EGC : Jakarta

Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University Press.

Grace RF, Mednick RE, Neufeld EJ. Compliance with immunizations in

splenectomized individuals with hereditary spherocytosis. Pediatry Blood

Cancer. Jul 2009;52(7):865-7.

Harrison. 2004. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed. 13 Vol.4. Jakarta:

EGC

Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.

Hung M, Besser M, Sharples LD, Nair SK, Klein AA. The prevalence and association

with transfusion, intensive care unit stay and mortality of pre-operative

anaemia in a cohort of cardiac surgery patients. Anaesthesia. Sep

2011;66(9):812-8.

Jiu, Z. C., 2012. Effect lifting-thrusting reinforcing-reducing manipulations of

acupuncture on serum ferritin content and total iron binding capacity in blood-

deficiency syndrome rabbits. Acupuncture, 37(1):41-5.

Kaufman M, Rubin J, Rai K. Diagnosing and treating chronic lymphocytic leukemia

in 2009. Oncology (Williston Park). Nov 15 2009;23(12):1030-7.

Kuku I, Kaya E, Yologlu S, Gokdeniz R, Baydin A. Platelet counts in adults with iron

deficiency anemia. Platelets. Aug 3 2009;1-5.

Mardiana L, Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo.2000. Telur Ascaris

lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta Tanah di Kecamatan

Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol Ind. 13(1-2): 28-32

Matizih, 2007. Diet Atkins. Jakarta : PT Elex Media Komputindo .

26

Page 27: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Mozaffari-Khosravi H, Noori-Shadkam M, Fatehi F, Naghiaee Y. Once weekly low-

dose iron supplementation effectively improved iron status in adolescent girls.

Biol Trace Elem Res. Aug 4 2009;epub ahead of print.

Nelwanti, Nurlina., 2004. Hubungan Faktor Internal Ibu Hamil dalam Kepatuhan

Mengkonsumsi Tablet Fe dengan Status Anemia. Ners jurnal keperawatan

Universitas Andalas 1.(1).14-18

Passweg JR, Pérez WS, Eapen M, Camitta BM, Gluckman E, Hinterberger W, et al.

Bone marrow transplants from mismatched related and unrelated donors for

severe aplastic anemia. Bone Marrow Transplant. Apr 2006;37(7):641-9.

Perrotta S, Gallagher PG, Mohandas N. Hereditary spherocytosis. Lancet. Oct 18

2008;372(9647):1411-26.

Perrotta S, Della Ragione F, Rossi F, et al. {beta}-spectrinBari: a truncated {beta}-

chain responsible for dominant hereditary spherocytosis. Haematologica. Jul

16 2009;epub ahead of print

Potts, N. L. & Mandleco, B. L. 2007. Study guide to accompany pediatric nursing

(Second Edition). Canada: Thomson.

Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2.

Jakarta: EGC.

Radich JP. How I monitor residual disease in chronic myeloid leukemia. Blood. Oct

15 2009;114(16):3376-81.

Raspati H, Reniarti L, Susanah S., 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B,

Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku

Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI

Robert C, Brown DL. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician 67: 979-986,

993-994.

Ronald A, R. A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta:

EGC.

Sari, T. T., & Ismail, I. C. 2009. Sferositosis Herediter: laporan kasus. Sari Pediatri ,

11 (4), 298-303.

27

Page 28: Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev

Servilla KS, Singh AK, Hunt WC, et al. Anemia management and association of race

with mortality and hospitalization in a large not-for-profit dialysis

organization. Am J Kidney Dis. Sep 2009;54(3):498-510.

Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan Gizi di Era

Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.

Tarwoto, Warnidar., 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan

Penatalaksanaan. Jakarta : Trans Info Media

Wahidiyat I., 2007. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M,

Trijono PP, Kaswandani N dan Endyarni B. Pendekatan praktis pucat:

masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: FKUI/RSCM

Wang L, Lawrence MS, Wan Y, et al. SF3B1 and other novel cancer genes in chronic

lymphocytic leukemia. N Engl J Med. Dec 29 2011;365(26):2497-506.

Wolter M, Hermann S, Hahn A. 2003. B vitamin status and concentrations of

homocysteine and methylmalonic acid in elderly German women. Am J Clin Nutr

78(4): 765-772.

World Health Organization., 2006. Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005.

World Health Organization global database on anaemia. Atlanta

Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. Curr Opin Hematol. May

2008;15(3):162-8.

Young NS. Pathophysiologic mechanisms in acquired aplastic anemia. Hematology

pAm Soc Hematol Educ Program. 2006;72-7.

28