ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

17
197 Ambiguitas Penerapan Restorave Jusce terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Lisyanto) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013 AMBIGUITAS PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENIMBULKAN KORBAN JIWA (Ambiguity of Restorave Jusce Implementaon on the Traffic Accident Cases Which Caused Vicms) Apri Lisyanto Pusat Penelian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Jl. Mayjen Sutoyo No.10 Cililitan Jakarta Email: [email protected] Naskah diterima: 19 Juli 2013; revisi: 25 Juli 2013; disetujui: 1 Agustus 2013 Abstrak Penerapan restorave jusce dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa sering dijumpai dan seakan menjadi dalil bagi para pihak untuk dijadikan bentuk kesepakatan pertanggung jawaban pidana. Permasalahan mbul keka kebutuhan akan penngnya restorave jusce dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas khususnya yang menimbulkan korban jiwa dihadapkan dengan berbagai benturan sehingga memunculkan ambiguitas terhadap penerapan restorave jusce itu sendiri, dan melihat bagaimana prospek pelaksanaan restorave jusce dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas di masa yang akan datang. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normaf dapat disimpulkan bahwa restorave jusce sangat dibutuhkan oleh para pihak baik pelaku, korban maupun masyarakat serta aparat penegak hukum, namun dalam pelaksanaannya mengalami berbagai benturan antara lain benturan sistem pemidanaan yang berlaku, benturan kepenngan pelaku dan korban, serta benturan terhadap nilai kepasan hukum. Seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai tujuan pemidanaan maka penerapan restorave jusce terhadap kasus-kasus kecelakaan lalu lintas memiliki prospek yang terbuka untuk dapat diterapkan secara formil. Melalui perumusan kebijakan restorave jusce secara formil kedalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maka nilai kepasan hukum akan di dapat oleh para pihak. Kata kunci: kecelakaan lalu lintas, restorave jusce, pidana. Abstract Implementaon of restorave jusce to resolve the traffic accident cases which caused vicms are common and seemed to be an argument which will be used by the pares as a form of criminal law liability agreement. The problems appear when the restorave jusce needed as an important thing to resolve the traffic accidents cases which caused vicms are faced to various conflict which will be arose the ambiguity in applicaon of restorave jusce itself, let see how is the prospect of restorave jusce implementaton to resolve the traffic accident cases in the future. By using the normave approach, it can be concluded that restorave jusce is needed by the conflict pares such as applicable criminal system conflict, conflict of interest between prepetrators and vicms, and the conflict of legal certainty system. Along with the growing thingking about the purpose of punishment, the restorave jusce applicaon on the traffic accident cases has an open prospect to formally apply. Through the policy formulazaon in formal restorave jusce into Traffic ergulaon and Road Transportaon, the pares will get the value of legal certainty. Keywords: traffic accident, restorave jusce, criminal. Jurnal RechtsVinding BPHN

Transcript of ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

Page 1: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

197Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

AMBIGUITAS PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENIMBULKAN KORBAN JIWA

(Ambiguity of Restorative Justice Implementation on the Traffic Accident Cases Which Caused Victims)

Apri ListiyantoPusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Badan Pembinaan Hukum NasionalJl. Mayjen Sutoyo No.10 Cililitan Jakarta

Email: [email protected]

Naskah diterima: 19 Juli 2013; revisi: 25 Juli 2013; disetujui: 1 Agustus 2013

Abstrak Penerapan restorative justice dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa sering dijumpai dan seakan menjadi dalil bagi para pihak untuk dijadikan bentuk kesepakatan pertanggung jawaban pidana. Permasalahan timbul ketika kebutuhan akan pentingnya restorative justice dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas khususnya yang menimbulkan korban jiwa dihadapkan dengan berbagai benturan sehingga memunculkan ambiguitas terhadap penerapan restorative justice itu sendiri, dan melihat bagaimana prospek pelaksanaan restorative justice dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas di masa yang akan datang. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa restorative justice sangat dibutuhkan oleh para pihak baik pelaku, korban maupun masyarakat serta aparat penegak hukum, namun dalam pelaksanaannya mengalami berbagai benturan antara lain benturan sistem pemidanaan yang berlaku, benturan kepentingan pelaku dan korban, serta benturan terhadap nilai kepastian hukum. Seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai tujuan pemidanaan maka penerapan restorative justice terhadap kasus-kasus kecelakaan lalu lintas memiliki prospek yang terbuka untuk dapat diterapkan secara formil. Melalui perumusan kebijakan restorative justice secara formil kedalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maka nilai kepastian hukum akan di dapat oleh para pihak.Kata kunci: kecelakaan lalu lintas, restorative justice, pidana.

AbstractImplementation of restorative justice to resolve the traffic accident cases which caused victims are common and seemed to be an argument which will be used by the parties as a form of criminal law liability agreement. The problems appear when the restorative justice needed as an important thing to resolve the traffic accidents cases which caused victims are faced to various conflict which will be arose the ambiguity in application of restorative justice itself, let see how is the prospect of restorative justice implementatiton to resolve the traffic accident cases in the future. By using the normative approach, it can be concluded that restorative justice is needed by the conflict parties such as applicable criminal system conflict, conflict of interest between prepetrators and victims, and the conflict of legal certainty system. Along with the growing thingking about the purpose of punishment, the restorative justice application on the traffic accident cases has an open prospect to formally apply. Through the policy formulatization in formal restorative justice into Traffic ergulation and Road Transportation, the parties will get the value of legal certainty.Keywords: traffic accident, restorative justice, criminal.

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 2: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

198 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

A. Pendahuluan

Pemberitaan mengenai kecelakaan lalu lintas tidak lagi asing di dengar, baik melalui media cetak maupun elektronik seakan menunjukan bahwa kecelakan lalu lintas acap kali terjadi. Sekelumit persoalan muncul menjadi faktor penyebab terjadinya angka kecelakaan lalu lintas yang cukup tinggi, antara lain faktor manusia (human error), faktor sarana seperti kelaikan kendaraan, rusaknya jalan, terlampauinya beban jalan serta sarana penunjang lainnya memiliki andil terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Beberapa kasus kecelakaan lalu lintas yang menyita perhatian publik pada tahun 2012 dan diawal tahun 2013 di wilayah DKI Jakarta, yaitu kasus dengan pelaku Afriyani terjadi pada tanggal 22 Januari 2012 di Tugu Tani, Jakarta Pusat, dengan mengendarai mobil Xenia bernomor polisi B 2479 XI menabrak para pejalan kaki yang baru pulang berolahraga di lapangan Monas. Dalam peristiwa tersebut, sembilan orang pejalan kaki meninggal dunia akibat tertabrak mobil yang dikendarai. Kemudian kasus Andika yang terjadi pada Kamis, 27 Desember 2012, mengendarai mobil Nissan Grand Livina bernomor polisi B 1796 KFL menabrak warung pecel lele di Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Kejadian tersebut menewaskan dua orang lelaki yang sedang makan di warung tersebut. Kemudian Kejadian yang menimpa anak Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada Selasa, 1 Januari 2013, dengan Pelaku M. Rasyid Amrullah yang mengendarai mobil BMW X5 dengan nomor polisi B 272 HR menabrak mobil Daihatsu Luxio F 1622 CY

di Tol Jagorawi. Dua orang meninggal dunia, sedangkan tiga korban lainnya menderita luka-luka.1 Peristiwa terakhir adalah kecelakaan yang dialami Aktor Ari Wibowo pada Rabu, 12 Juni 2013, yang mengendarai sepeda motor Ducati menabrak penyebrang jalan yang mengakibatkan meninggal dunianya si penyebrang tersebut.2 Dari beberapa cotoh kasus di atas, kasus Afriyani, Andhika dan Rasyid telah disidangkan, dan untuk kasus Ari Wibowo pihak kepolisian akan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Contoh-contoh kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya peristiwa kecelakaan lalu lintas di negeri ini yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, upaya penyelesaian perkaranya pun beragam, ada yang mengupayakan perdamaian antara pelaku dan korban serta pihak kepolisian sebagai mediator dengan cara memberi ganti rugi kepada keluarga korban, dan kasus akan dihentikan penyidikannya, ada pula yang tetap di proses sampai dengan sidang di pengadilan dengan variasi hukuman yang beragam, dan ada pula vonis hakim dengan di dasari perdamaian yang terlebih dahulu timbul antara si pelaku dan korban sehingga vonis yang dijatuhkan ringan seperti hukuman percobaan. Konsep restorative justice seolah menjadi dalil bagi para pihak untuk mengupayakan perdamaian antara pelaku dan korban pada perkara kecelakaan lalu lintas, sehingga dengan menyantuni pihak keluarga korban, menanggung segala biaya pengobatan dan memberi ganti rugi seolah telah menjadi pertanggung jawaban pidana bagi pelaku.

1 Sumber diambil dari http://megapolitan.kompas.com/read/2013/01/04/1740468/ Penanganan.Kasus.Afriyani.Novie.Andhika.dan.Rasyid, diakses 19 Juli 2013.

2 Sumber diambil dari http://nasional.inilah.com/read/detail/1999745/cabut-kasus-ari-wibowo-polisi-salahi-aturan, diakses 19 Juli 2013.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 3: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

199Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Restorative justice memang sudah banyak digunakan di berbagai negara, yang di awal abad ke-21 negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea, dan berbagai negara di Eropa sudah mulai menerapkan restorative justice ini, dan di Indonesia sendiri penerapan restorative justice sedikit banyak telah mempengaruhi konsep pemidanaan yang ada. Upaya pelembagaan restorative justice dalam sistem pemidanaan kita baru terlihat secara formil pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengedepankan keadilan restoratif dan konsep diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak,3 kemudian dalam Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 2 Tahun 2012 yang pada intinya terhadap kasus pencurian yang nilainya kurang dari Rp. 2.500.000,- untuk tidak ditahan.

Restorative justice lebih menekankan pada perlindungan korban kejahatan, memulihkan kerugian korban serta mengharmoniskan kembali hubungan antara pelaku dan korban kejahatan. Pada restorative justice tindak pidana dipandang bukan merupakan kejahatan terhadap negara atau publik, melainkan kejahatan terhadap korban, sehingga dalam penyelesaiannya dititik beratkan pada pemulihan korban, bukan kepada penghukuman pelaku. Sedangkan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana kita masih menekankan pada penerapan ”restitutive justice” dan ”retributive justice” yang berfokus pada pelaku kejahatan, bagaimana membuktikan kesalahannya dan memidanakannya, hal ini pulalah yang banyak mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yang memandang siapa

yang bersalah harus mendapat hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Namun praktik penerapan restorative justice pada perkara kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa juga memunculkan kekhawatiran yang antara lain dikhawatirkan munculnya kesewenang-wenangan pelaku ka-rena menganggap mampu memberikan ganti rugi sehingga di kemudian hari dapat meng-ulanginya kembali dan tidak memiliki efek jera, pada sisi yang lain kekhawatiran yang muncul adalah jika memang perdamaian itu terjadi se-belum proses peradilan apakah dimungkinkan tidak akan ada penuntutan kembali terhadap pelaku, sehingga nilai kepastian hukum tidak di dapati. Oleh sebab itu akan selalu terjadi ambiguitas pada penerapan restorative justice terhadap kasus-kasus kecelakaan lalu lintas.

Dari berbagai uraian di atas dalam praktik restorative justice di masyarakat, upaya pemenuhan hak korban, kewenangan aparat, instrumen pengaturan hukum di bidang lalu lintas menjadi sebuah mata rantai yang akan menarik untuk di kaji dalam penelitian mengenai ambiguitas penerapan restorative justice terhadap perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban jiwa.

B. Permasalahan

Dilatarbelakangi berbagai persoalan yang telah diurai pada pendahuluan di atas maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut;1. Mengapa pendekatan restorative justice

diperlukan dalam tindak pidana lalu lintas?2. Mengapa masih terjadi ambiguitas terhadap

penerapan restorative justice pada perkara

3 Pada Pasal 5 ayat (1), disebutkan Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengadakan pendekatan keadilan restoratif.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 4: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

200 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa?

3. Bagaimana prospek penerapan restorative justice sebagai proses penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa?

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Metode ini pada dasarnya meneliti kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum.4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji5 menyatakan bahwa penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian yuridis normatif juga dimaksudkan sebagai penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.6 Penelitian normatif dapat juga disebut penelitian hukum doktrinal, yang bertujuan untuk menemukan jawaban yang benar dengan mendasarkan pada preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis dan juga ajaran atau doktrin,7 dan lebih cenderung bersifat kualitatif (tidak berbentuk angka) berdasarkan data sekunder.8

Teknik pengumpulan data penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yang meliputi: bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain UUD 1945; undang-undang; Peraturan Pemerintah, Peraturan Mahkamah Agung dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan judul penelitian; bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari bahan hukum primer, antara lain doktrin-doktrin, hasil karya ilmiah atau hasil penelitian yang terdapat dalam buku dan jurnal ilmiah, dan berita-berita yang diperoleh dari majalah, surat kabar dan internet; dan bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif kualitatif. Teknik analisis data kualitatif adalah cara untuk menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma, asas-asas serta hukum positif yang ada.9 Data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dianalisa untuk mendapatkan gambaran dan permasalahan berbagai kebijakan dan regulasi.

4 Bagir Manan, ”Penelitian Terapan di Bidang Hukum”, (makalah disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9 – 11 November 1993), hlm.7.

5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14.

6 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 132.7 Soetandyo Wignjosoebroto, Ragam-ragam Penelitian Hukum, dalam Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (Ed.).

Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2011), hlm. 121.8 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 2.9 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 8 -12.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 5: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

201Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

D. Pembahasan

1. Kebutuhan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Menimbulkan Korban Jiwa

Perdebatan mengenai penerapan restorative justice terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa semakin mengemuka manakala upaya penerapannya lebih mengedepankan kepentingan pelaku dibandingkan dengan kepentingan korban. Persepsi masyarakat menjadikan upaya penerapan restorative justice terhadap kasus kecelakaan lalu lintas tersebut menjadi bias, sehingga memunculkan sikap pro dan kontra di tengah masyarakat, ada yang berpendapat bahwa penghukuman terhadap pelaku sudah memenuhi rasa keadilan karena adanya korban jiwa yang ditimbulkan akibat kecelakaan tersebut, namun disisi yang lain menganggap penghukuman pelaku dengan pidana penjara dirasa memberatkan karena unsur penyebab kecelakaan merupakan tindakan ketidak sengajaan atau kelalaian semata.

Sebelum meletakkan restorative justice ke dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa, terlebih dahulu akan dibahas makna kecelakaan dalam dua perspektif, yakni perspektif korban dan perspektif pelaku.

a. Perspektif korban kecelakaan lalu lintas

Dalam perspektif korban sebagaimana pengertian korban itu sendiri pasti mengalami penderitaan dan/atau kerugian, dari kerugian

materi, luka ringan, luka berat hingga meninggal dunia serta kerugain materi. Dalam realitanya penderitaan dan/atau kerugiannya juga dapat dialami secara bersama artinya selain penderitaan physic, psychis, dan kerugian materi. Hal ini hampir sama halnya dengan korban kejahatan kecuali kerugian sosial yang hampir tidak dialami oleh traffic accident victim.10 Efek yang dapat ditimbulkan oleh suatu tindak pidana bagi korban menurut pendapat Joanna Shapland dapat berupa kerugian materi (financial loos), akibat psikologis (psychological effect) akibat fisik (physical effects), akibat sosial (social effects),11 apalagi bagi korban meninggal dalam kasus kecelakaan lalu lintas tentu efeknya berimbas pada kehidupan keluarga yang ditinggalkan serta masa depan keluarganya.

Permasalahan yang dihadapi korban kece-lakaan juga dapat terjadi pada saat proses persidangan. Permasalahan yang dimaksud antara lain;12

1) Hakim tidak akan mengabulkan permo-honan ganti kerugian apabila pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kece-lakaan secara financial tidak mampu.

2) Hakim hanya mengabulkan tuntutan korban atas kerugian yang nyata-nyata dirasakan antara lain biaya pengobatan, dan perbaikan kendaraan. Namun tidak mengganti kerugian atas akibat kecelakaan misalnya hilangnya pendapatan karena tidak masuk kerja atau hilangnya pekerjaan akibat korban mengalami cacat tetap dan tidak dapat lagi berkerja.

10 Angkasa, Perlindungan Hukum terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas dalam Perspektif Viktimologi, (Makalah disampaikan dalam Training for Trainers on Victmology and Victim Assistance Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban 18-28 Maret 2013 di Cikopo – Bogor), hlm. 5.

11 Joanna Shapland, Victim Assistance and the Criminal Justice System: The Victim’s Perspective, dalam From Crime Policy To Victim Policy, editor Ezzat A. Fattah. (London: The Macmillan Press Ltd., 1986), hlm. 219.

12 Op.Cit., hlm. 8Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 6: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

202 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

3) Apabila pihak yang diwajibkan memberikan ganti kerugian wanprestasi maka harus menempuh melalui jalur gugatan perdata yang tentunya memakan waktu lama.

4) Apabila yang bertanggung jawab juga meninggal dunia maka korban tidak dapat menuntut ganti kerugian kepada ahli warisnya. Kecuali yang bertangung jawab adalah korporasi.

5) Korban pada kecelakaan tunggal, misalnya kecelakaan akibat jalan yang berlubang dan rusak, tidak akan memperoleh ganti kerugian.Uraian di atas menggambarkan bahwa

jalur pengadilan formal akan menyisakan permasalahan baru selain proses peradilan itu sendiri, sehingga pemulihan hak-hak korban pun bersifat pasif, tergantung terhadap apa yang di putuskan oleh seorang hakim.

Kebutuhan akan pemulihan keadaan sangat diperlukan bagi korban kecelakaan karena akan menentukan masa depan bagi keluarga yang ditinggalkan, oleh sebab itu pelibatan korban dalam memulihkan haknya akan berdampak positif, karena para pihak akan mengetahui secara pasti apa yang akan diperoleh dari si pelaku sebagai bentuk pertanggung jawabannya.

b. Perspektif pelaku kecelakaan lalu lintas

Dalam perspektif pelaku, menganggap bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi merupakan perbuatan ketidak sengajaan atau ”culpa”. Hal ini sesuai dengan perumusan normatif kecelakaan lalu lintas yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu: ”suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga

dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda”.

Pengertian kealpaan sendiri berdasarkan keterangan resmi dari pihak pembentuk W.v.S. adalah sebagai berikut: ”Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam oleh pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar bahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan-larangan tersebut, dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang terlarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu”.13

Terhadap kealpaan atau culpa dalam doktrin hukum pidana terbagi atas kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) dan kealpaan disadari (bewuste schuld). Unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh

13 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Renika Cipta.Cetakan ke5, 1993), hlm. 198.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 7: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

203Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Undang-undang. Sehingga kedudukan culpa dalam hal kasus kecelakaan lalu lintas ini terletak diantara sengaja dan kebetulan.

Dari dua perspektif di atas, maka peran restorative justice sebagai bentuk penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas memiliki peran yang signifikan guna memenuhi kepentingan korban dan pelaku, karena tujuan dari restorative justice yaitu memulihkan hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat, seperti yang dikemukakan Liebmann: ”Restorative justice aims to restore the well-being of victims, offenders and communities damaged by crime, and to prevent further offending”.14

Jika dilihat dari karakteristik15 restorative justice maka akan banyak hal positif yang dapat digali oleh kedua belah pihak, karena misi yang terkandung dari restorative justice16 yaitu: search solution (mencari solusi), repair (memperbaiki), reconciliation (perdamaian); dan the rebuilding of relationship (membangun kembali hubungan)sehingga penerapannya di dalam kasus ke-celakaan lalu lintas yang menimbulkan korban

jiwa akan mendudukan pelaku dan korban kepada posisi yang saling menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya.

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak baik korban kecelakaan, pelaku, masyarakat dan aparat penegak hukum. Korban akan mampu untuk untuk mengembalikan un sur kontrol, sementara pelaku didorong untuk me-mikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan aparat penegak hukum secara substansial berkurang dalam memonopoli proses penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan

14 Sebagaimana dikutip oleh Marian Liebmann dalam Restorative Justice: How It Works, (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007), hlm. 25.

15 Karakteristik penerapan restorative justice menurut Muladi, dapat dikemukakan cirinya yaitu: (a) Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain; (b) Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggung jawaban dan kewajiban pada masa depan; (c) Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; (d) Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; (e) Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; (f) Kejahatan diakui sebagai konflik; (g) Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; (h) Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; (i) Menggalakkan bantuan timbal balik; (j) Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban; pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab; (k) Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik; (l) Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis; (m) Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui; (n) Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak pidana; (o) Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative; (p) Ada kemungkinan (dorongan untuk bertobat dan mengampuni) yang bersifat membantu; (q) Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan (bandingkan dengan retiributive justice, perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan determinisme sosial psikologis di dalam kausa kejahatan).

16 Kuat Puji Prayitno, ”Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 (2012): 412.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 8: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

204 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.17

Proses penerapan restorative justice dalam menyikapi tindak pidana yang terjadi melalui:18

pertama, indentifying and taking steps to repair harm (mengindentifikasi dan memperbaiki langkah-langkah untuk memperbaiki kerugian/kerusakan), dalam hal ini korban kecelakaan lalu lintas dapat menginventarisir kerugian yang secara nyata timbul dan memprediksi kerugian yang lain, seperti masa depan keluarga korban dan pelaku pun dapat mengambil langkah dialogis untuk menakar kemampuan yang pada muaranya adalah kesepakatan antara pelaku dan korban; kedua, involving all stakeholders (melibatkan semua pihak yang berkepentingan), dalam penerapan restorative justice semua pihak akan berperan, pelaku, korban, ma sya-rakat dan aparat penegak hukum, ini berbeda dengan pengadilan konvensional yang hanya melibatkan pelaku dan aparat penegak hukum sehingga kepentingan korban akan sangat bergantung pada putusan pengadilan; ketiga, transforming the traditional relationship between communities and their governments in responding to crime, yang berarti adanya transformasi pola dimana masyarakat dan negara menghadapi pelaku dengan pengenaan sanksi pidana menjadi pola hubungan kooperatif antara pelaku di satu sisi dengan masyarakat/korban dalam menyelesaikan masalah akibat kejahatan, sehingga dalam hal ini penyelesaian kasus kecelakaan yang bersifat win-win solution

menjadi bentuk tanggung jawab yang dimaklumi semua pihak.

2. Ambiguitas Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Yang Menim-bulkan Korban Jiwa

Banyak nilai keadilan tergali jika pelaksanaan restorative justice ini diterapkan, karena keadilan restoratif merupakan paradigma alternatif untuk keadilan yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan prosedur sistem pidana tradisional19 seperti yang masih digunakan di Indonesia. Namun paradigma yang ada disebagian masyarakat Indonesia, termasuk aparat penegak hukumnya adalah paradigma legalistik formal yang terpaku pada undang-undang secara tekstual, sehingga upaya penerapan restorative justice memiliki kendala yang besar dalam pelaksanaannya, apalagi terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa, akan sangat mengusik pandangan masyarakat manakala pelaku tidak dihukum sesuai perbuatannya.

Sebagai bentuk upaya penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas penerapan restorative justice masih menyisakan persoalan hukum yang menimbulkan benturan-benturan penyebab ambiguitas, antara lain:

a. Benturan terhadap sistem pemidanaan yang berlaku.

Menurut Barda Nawawi Arief, sistem pemidanaan mencakup keseluruhan peraturan

17 Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Rights, Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, (Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland), hlm 24 dalam Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, hlm 11, 12.

18 McCold and Wachtel, ”Restorative practices, The International Institue for Restorative Practies (IIRP),” New York: Criminal Justice Press & Amsterdam: Kugler Publications Journal, Vol 85 -101, (2003): 7.

19 Larry E. Sullivan & Marie Simmonetti Rose dalam Encyclopedia of Law Enforcement Volume I, (2010): 154.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 9: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

205Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

perundang-undangan yang mengatur bagai-mana hukum pidana itu ditegakkan atau di operasionalkan secara konkret sehingga dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana susbtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana di lihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.20 Hal tersebut sejalan dengan pemikiran L.H.C. Hullsman yang mengemukakan sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statuary rules relating to penal sanction and punishment).21

Jika kita konsisten pada pengertian sistem pemidanaan di atas maka upaya penanganan kasus kecelakaan lalu lintas setidaknya me-libatkan tiga komponen yaitu hukum pidana materiil/susbtantif, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana yang berlaku. Pelibatan ketiga komponen tersebut dilakukan secara sistemik karena masing-masing aparat penegak hukum memiliki peran di dalamnya. Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak dapat secara serta merta mengesampingkan komponen hukum pidana yang lain.

Seperti kita ketahui sistem pemidanaan kita mengacu pada KUHP dan KUHAP, KUHP merupakan hukum pidana materiil/susbtantif yang dapat diartikan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Sehingga ketentuan pidana yang tercantum

dalam semua Undang-Undang Khusus di luar KUHP merupakan bagian khusus (sub sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan. Dengan demikian, sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP harus terintegrasi dalam (konsisten dengan) aturan umum (general rules). Namun, dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP tersebut dapat membuat aturan khusus yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.22

Hukum pidana materiil/substantif dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu-lintas mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, undang-undang ini mengatur secara rinci mengenai perihal kecelakaan lalu lintas, dari mulai definisi, kategorisasi tingkat kecelakaan, sanksi bagi pelaku serta hak yang di dapat dari korban kecelakaan lalu lintas, sehingga undang-undang ini merupakan lex specialist dari Pasal 359 KUHP yang berbunyi ”Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”

Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga mencantumkan proses penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,23 yang berarti proses penyelesaiannya harus mengacu pada KUHAP. Tidak disebutkan adanya proses lain yang mengesampingkan penyelesaian melalui KUHAP, oleh sebab itu segala bentuk penyelesaian di luar KUHAP akan kontradiktif dengan Undang-

20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 129.21 L.H.C. Hullsman dalam Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 23.22 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, hlm. 136.23 Lihat Pasal 230 UULAJ: Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3),

dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 10: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

206 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai hukum materiil.

Berdasarkan sistem pemidanaan di atas maka penyelesaian kasus kecelakaan lalu lin-tas menghendaki pelaku untuk mendapatkan pidana penjara dan/atau denda dan diproses melalui sidang pengadilan. Upaya penyelesaian kasus dengan jalan perdamaian yang dilakukan antar pihak korban dan pelaku di luar proses persidangan sebagai upaya penerapan restor-ative justice tentu akan berbenturan dengan sistem pemidanaan yang ada, hal inilah yang membuat aparat penegak hukum mendapati posisi dilematis dalam menerapkan restorative justice terhadap perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa.

Restorative justice sebagai paradigma alternatif dalam menyelesaikan kasus kece-lakaan memang bersifat progressif yang sudah pasti akan berbenturan dengan sistem hukum yang ada, wujud perdamaian antara pelaku dan korban tidak akan berarti, karena undang-undang tidak merumuskan kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa sebagai delik aduan, melainkan sebagai delik biasa yang berarti aparat penegak hukum dapat bertindak sesuai undang-undang untuk menghukum pelaku.

Sehingga dalam paraktiknya walaupun restorative justice bertujuan baik bagi para pihak namun sistem pemidanaan di Indonesia belum mencantumkan secara formil konsep restorative justice sebagai bentuk peneyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas, sehingga secara normatif yuridis akan selalu memunculkan perbedaan pandangan di antara ahli hukum dalam melihat restorative justice sebagai upaya penyelesaian kasus, khususnya terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa.

b. Benturan kepentingan pelaku dan korban

Dalam persitiwa kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa, ada beberapa pihak yang terlibat yaitu: Pelaku, Korban (dalam hal ini di wakili oleh keluarga korban) dan aparat penegak hukum. Pelaku dan korban keduanya sama-sama memiliki kepentingan dalam pe-nyelesaian kasus tersebut. Kepentingan antara pelaku tentu akan berbeda dengan kepentingan korban, sehingga upaya mengakomodasi dua kepentingan tersebut bukanlah tanpa kendala, namun disanalah konsep restorative justice memainkan perannya, yaitu dengan memper-temukan berbagai kepentingan untuk dicari titik temu sehingga memunculkan kepentingan ber-sama yang dimaklumi oleh para pihak.

Kendala dalam mempertemukan kepen-tingan para pihak sangat dimungkinkan terjadi, mengingat tolok ukur yang dipergunakan sifat-nya sangat subjektif yaitu bergantung kepada kebutuhan (what I need) masing-masing pihak, sehingga dalam praktik di lapangan beberapa kemungkinan munculnya benturan kepentingan antara lain:1) Jika pelaku tidak mampu memberikan

kompensasi atau menyantuni korban, atau pihak korban meminta kompensasi/santunan di luar kesanggupan pelaku untuk memenuhinya.

2) Jika korban (atau keluarganya) tidak membutuhkan kompensasi atau santunan, dan lebih menginginkan penghukuman terhadap pelaku.

3) Jika adanya paksaan dari pihak pelaku kepada pihak korban dalam mengupayakan perdamaian.

4) Jika pelaku hanya seorang sopir dan timbulnya kecelakaan akibat perintah dari majikannya.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 11: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

207Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

5) Jika korban lebih dari satu, disatu pihak menerima kompensasi/santunan, tetapi pihak yang lain tidak menerima.Kemungkinan-kemungkinan seperti di

ataslah yang antara lain akan menjadikan kendala dalam penerapan restorative justice, karena menyatukan beberapa kepentingan tidak lah mudah dalam mencapai win-win solution, para pihak harus dengan sukarela memaklumi kepentingan pihak yang lain dan menjalankan apa yang telah di sepakati sebagai bentuk pelaksanaan restorative justice.

Namun jika dibandingkan dengan konsep pemidanaan yang ada saat ini, maka peran korban tidaklah signifikan, korban (atau keluarganya) hanya menjadi saksi di muka persidangan dan apa yang diinginkan oleh korban terhadap pelaku tidak dapat diakomodir, karena akan terbatas dari apa yang telah diatur oleh undang-undang, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang membatasi hak korban kecelakaan antara lain: jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman24 dan mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan25. Dari pembatasan yang ada maka akan terlihat bahwa pemulihan atas kerugian korban belum tentu memuaskan si korban itu sendiri, berbeda dengan konsep restorative justice yang memposisikan korban sebagai pihak yang memang dirugikan hak-haknya.

Oleh karena itu dengan sistem pemidanaan yang ada saat ini memunculkan dorongan bagi para pihak untuk mengupayakan penyelesaian kasus di luar pengadilan sebagai bentuk penerapan restorative justice namun benturan akan pelaksanaannya akan selalu muncul dan akan selalu menjadikan ambiguitas bagi penerapan restorative justice itu sendiri.

c. Benturan nilai kepastian hukum

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa sistem pemidanaan kita belum menempatkan restorative justice sebagai bentuk formil penyelesaian kasus, sehingga disinilah peran aparat penegak hukum dalam bertindak atas nama undang-undang menyelesaikan tindak pidana yang terjadi, dengan menghukum pelaku sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun aparat penegak hukum juga dapat menerapkan dan memaknai restorative justice sesuai dengan penafsiran masing-masing berdasarkan batasan kewenangan yang dimilikinya, seperti pihak kepolisian dapat menggunakan diskresinya dengan mengeluarakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), kejaksaan melalui deponeringnya, dan pengadilan melalui putusannya.

Banyak pihak menganggap bahwa upaya perdamaian antara pelaku dan korban dengan mengakui kesalahan, memberi ganti rugi dan menyantuni keluarga korban merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana oleh pelaku, padahal disebutkan dengan jelas dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa ”Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud

24 Pasal 235 ayat (1) UULLAJ.25 Pasal 236 ayat (1) UULLAJ.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 12: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

208 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”.26 Dan Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.27 Dari dua rumusan pasal di atas maka segala bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pihak pelaku kepada korban (atau keluarganya) tidak akan menghentikan proses kasus kecelakaan itu sendiri sehingga penanganan kasusnyapun akan tetap berlanjut, dan kesepakatan damai antara pihak pelaku dan korban hanya akan mengesampingkan tuntutan ganti kerugian di muka persidangan, karena hakim dapat memutuskan besaran ganti kerugian berdasarkan kesepakatan damai antara pihak yang terlibat.

Hal inilah yang menimbulkan benturan kepastian hukum bagi para pihak, khususnya bagi pelaku kekhawatiran akan penerusan kasus ke meja persidangan akan terus membayangi, padahal telah terjadi kesepakatan para pihak akan perdamaian dan kompensasi yang diberikan.

Sebelum adanya payung hukum formil maka penerapan restorative justice tidak akan memiliki nilai kepastian hukum, jikalau ada kepastian hukumnya akan sangat bergantung sekali kepada aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, hal inilah yang menyebabkan ambiguitas dari penerapan

restorative justice itu sendiri, karena paradigma aparat penegak hukum lah yang dapat memaknai arti dari konsep restorative justice.

3. Prospek Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Yang Me nim-bulkan Korban Jiwa

Tingginya kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa pada tiap tahunnya menunjukan bahwa potensi untuk menghilangkan sama sekali angka kecelakaan adalah sesuatu yang mustahil di negeri ini. Pertumbuhan kendaraan yang signifikan pun di bandingkan dengan beban jalan yang tersedia menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri terutama di kota-kota besar di Indonesia. Kesadaran berlalu lintas yang baik dan ketersediaan sarana jalan yang memadai juga memiliki andil dalam mempengaruhi angka kecelakaan, berdasar akan hal tersebut maka jika angka kecelakaan lalu lintas yang tinggi tentu akan berbanding lurus dengan penanganan kasus kecelakaan lalu lintas yang akan diselesaikan melalui proses pidana yang ada, tentu hal tersebut juga berbanding lurus dengan beban perkara yang masuk kepengadilan dan akan bermuara pada jumlah narapidana yang akan menghuni lembaga pemasyarakatan.

Jika memandang secara formil positifistik maka setiap bentuk pelanggaran undang-undang akan bermuara pada pidana penjara, padahal tujuan dari pemidanaan tidak semata-mata menghukum pelaku dengan merampas kemerdekaannya melalui pidana penjara, seperti apa yang dikemukakan Barda Nawawi Arief: Berkaitan dengan sanksi pidana, maka

26 Pasal 235 ayat (1) UULLAJ.27 Pasal 236 ayat (2) UULLAJ.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 13: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

209Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak pidana oleh hakim. Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana penjara banyak me-nimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana penjara tersebut.28 Oleh sebab itu sesuai dengan pandangan Muladi perlu adanya upaya mencari alternatif-alternatif pemidanaan seperti yang dikutip bahwa ”Masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non institusional. . . . .”29

Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sudut dogmatis normatif, permasalahan pokok dari hukum pidana adalah :30

a) Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau biasa disingkat dengan masalah ”tindak pidana”.

b) Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/ mempertanggung jawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah ”kesalahan”.

c) Sanksi (pidana) apa yang yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah ”pidana”.Memang secara normatif penanganan

kecelakaan lalu lintas memiliki aturan khusus sebagai lex specialist dari KUHP, yakni diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, (kemudian akan disebut sebagai UU LLAJ). Sebuah kecelakaan lalu lintas pada hakikatnya merupakan sebuah tindakan yang tidak di duga atau tidak sengaja terjadi31 atau di kenal sebagai ”culpa” atau ”alpa/lalai” sehingga faktor penyebab timbulnya korban jiwa bukan semata-mata kehendak korban namun atas dasar sebuah persitiwa kecelakaan, kecuali jika kecelakaan yang ditimbulkan dapat dibuktikan sebagai sebuah kesengajaan yang berarti dapat digolongkan sebagai tindakan pembunuhan.

Barda Nawawi Arief juga berpendapat perihal tujuan pidana yaitu: ”Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka Konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan bertitik tolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu ”perlindungan masyarakat” dan ”perlindungan/

28 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 207.29 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 5.30 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1998), hlm. 111.31 Pasal 1 Angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mendefinisikan Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu

peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 14: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

210 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

pembinaan individu pelaku tindak pidana”.32

Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat.33 Sehingga pidana penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, karena ”kerusakan” yang ditimbulkan kepada korban masih bisa di restorasi sehingga semangat untuk mengupayakan pemulihan sekaligus menjamin kelangsungan masa depan keluarga yang ditimbulkan akan tercapai sekaligus penghilangan dampak buruk penjara bagi pelaku.

Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa pidana penjara saat ini sedang mengalami ”masa krisis” karena termasuk salah satu jenis pidana yang ”kurang disukai”, sehingga banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.34 Sehingga di dalam praktik banyak sekali penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa di selesaikan dengan pendekatan restorative justice, dorongan dari pihak pelaku kepada korban untuk mengadakan perdamaian dengan meminta maaf, memberikan ganti rugi, memberikan santunan bagi keluarga

korban, dianggap sebagai bentuk pelaksanaan restorative justice.

Fakta menunjukkan bahwa pada umumnya restorative justice dipahami dan diidentikkan dengan penyelesaian di luar pengadilan yang hanya dapat diterapkan pada kasus tertentu seperti tindak pidana ringan dan peradilan anak (juvenile). Fakta lain adalah bahwa meskipun populer hampir di semua negara termasuk Indonesia, namun ternyata hanya sedikit negara yang merumuskannya secara komprehensif dalam sistem peradilan nasional mereka.35 Sehingga dorongan mengenai isu pidana alternatif selain penjara terus dijadikan wacana pada tiap negara sperti apa yang disampaikan Barda Nawawi Arief: ”Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.”36

Konsep teori restorative justice menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal

32 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 98.33 Kuat Puji Prayitno, ”Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam

Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 (2012): 407.34 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 20735 Sandra Pavelka, ”Restorative Juvenile Justice Legislation and Policy: A National Assessment” ,4 Int’l J. Res- torative

Just. 100, (2008): 100-101.36 Barda Nawawi Arief, Op Cit, hlm. 207.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 15: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

211Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in order to achieve reparation).37

Atas dasar uraian di atas maka penerapan restorative justice dalam penyelesaian kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang menimbulkan korban jiwa memiliki tingkat kebutuhan dan kepentingan yang penting, baik bagi pelaku maupun bagi korban serta masyarakat. Formalisasi pengaturan restorative justice tentu akan memberi kepastian hukum bagi para pihak, sama seperti sistem pemidanaan terhadap anak, yang mana melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang secara eksplisit mencantumkan keadilan restoratif dan konsep diversi terhadap penyelesaian kasus yang melibatkan pelaku anak.

E. Penutup

1. Kesimpulan

Kebutuhan akan penerapan restorative justice dapat dilihat dalam dua perspektif, yaitu pelaku dan korban. Dari dua perspektif di atas, maka peran restorative justice sebagai bentuk penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas memiliki peran yang signifikan guna memenuhi kepentingan korban dan pelaku, karena tujuan dari restorative justice yaitu memulihkan hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat, seperti yang dikemukakan

Liebmann: ”Restorative justice aims to restore the well-being of victims, offenders and communities damaged by crime, and to prevent further offending”.

Munculnya ambiguitas terhadap penerapan restorative justice memang pasti akan ditemui, karena dalam tataran pelaksanaan akan berbenturan dengan, antara lain: pertama, benturan sistem pemidanaan yang ada, karena sistem pemidanaan kita terhadap penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa mendasarkan pada Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan restorative justice bukan mekanisme yang di atur dalam undang-undang tersebut; kedua, benturan kepentingan pelaku dan korban, bahwa antara pelaku dan korban masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda, upaya mengakomodasi dua kepentingan tersebut juga menimbulkan kendala, mengingat tolok ukur yang dipergunakan sifatnya sangat subjektif yaitu bergantung kepada kebutuhan (what I need) masing-masing pihak, sehingga ambiguitas akan tetap terjadi manakala titik temu antar kepentingan para pihak tidak tercapai; ketiga, benturan terhadap nilai kepastian hukum, belum adanya payung hukum formil terhadap penerapan restorative justice pada kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa sehingga upaya restorative justice tidak akan memiliki nilai kepastian hukum, jikalau ada kepastian hukumnya akan sangat bergantung sekali kepada aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, hal inilah yang menyebabkan ambiguitas dari penerapan restorative justice itu sendiri, karena paradigma

37 Ivo Aertsen, et, al ”Restorative Justice and the Active victim: Exploring the Concept of Empowerment” Journal TEMIDA, (2011): 8-9.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 16: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

212 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 197-213

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

aparat penegak hukum lah yang dapat memaknai arti dari konsep restorative justice.

Bahwa prospek penerapan restorative justice terhadap penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa ke depan akan sangat terbuka, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, Sehingga dengan adanya konsep restorative justice maka pidana penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, karena ”kerusakan” yang ditimbulkan kepada korban masih bisa di restorasi sehingga semangat untuk mengupayakan pemulihan sekaligus menjamin kelangsungan masa depan keluarga yang ditimbulkan akan tercapai sekaligus penghilangan dampak buruk penjara bagi pelaku.

2. Saran

Perlu dilakukannya formulasi kebijakan terhadap penyelesaian kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang menimbulkan korban jiwa, melalui pendekatan restorative justice, hal ini disamping akan memberi kepastian hukum juga akan lebih dapat mengakomodir rasa keadilan dan perlindungan bagi korban sesuai dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh korban.

Revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya pada Bab Kecelakaan Lalu Lintas, yang ke depan perlu memuat konsep restorative justice sebagai upaya penyelesaian kasus-kasus kecelakaan lalu lintas.

Daftar Pustaka

BukuArdhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan

Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2000). Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan

Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998).

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).

Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003).

Liebmann, Marian. Restorative Justice: How It Works (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007).

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Renika Cipta, Cetakan ke-5, 1993.)

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni, 1985).

Shapland, Joanna (editor) dan Ezzat A. Fattah, Victim Assistance and the Criminal Justice System: The Victim’s Perspective, From Crime Policy To Victim Policy (London: The Macmillan Press Ltd., 1986).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).

Wignjosoebroto, Soetandyo. Ragam-ragam Penelitian Hukum, dalam Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (Ed.). Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2011).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil PenelitianAertsen, Ivo et, al., ”Restorative Justice and the Active

victim: Exploring the Concept of Empowerment”, Journal TEMIDA (2011).

Angkasa, ”Perlindungan Hukum terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas dalam Perspektif Viktimologi,” (Makalah disampaikan dalam Training for Trainers on Victmology and Victim Assistance Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 18-28 Maret 2013 di Cikopo-Bogor).

ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, 2005.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 17: ARTIKEL 4 Vol 2 No 2.pdf

213Ambiguitas Penerapan Restorative Justice terhadap Kasus Kecelakaan ... (Apri Listiyanto)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Manan, Bagir. Penelitian Terapan di Bidang Hukum, (makalah, disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9 – 11 November 1993).

McCold and Wachtel, ”Restorative practices, The International Institue for Restorative Practies (IIRP),” New York: Criminal Justice Press & Amsterdam: Kugler Publications Journal, Vol 85 -101 (2003).

Pavelka, Sandra, ”Restorative Juvenile Justice Legislation and Policy: A National Assessment”, 4 Int’l J. Res-torative Just. 100 (2008).

Prayitno, Kuat Puji. ”Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto,” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3, (2012).

Sullivan, Larry E. Marie Simmonetti Rose, Encyclopedia of Law Enforcement Volume I, (2010).

Internethttp://megapolitan.kompas.com/read/2013/01/04/

1740468/Penanganan.Kasus.Afriyani.Novie.Andhika.dan.Rasyid, diakses 19 Juli 2013.

http://nasional.inilah.com/read/detail/1999745/cabut-kasus-ari-wibowo-polisi-salahi-aturan, diakses 19 Juli 2013.

PeraturanStaatsblad 732 Tahun 1915 tentang Wetboek van

Strafrechts (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76) .

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025).

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN