ARTI PERUBAHAN SOSIAL, makalah
-
Upload
sindangbarag -
Category
Documents
-
view
1.014 -
download
6
Transcript of ARTI PERUBAHAN SOSIAL, makalah
PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA
A. ARTI PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA
Disamping memiliki sifat-sifat teliti, sopan, sabar, menghargai orang
lain, tenggang rasa, rasa main, dan sebagainya ternyata manusia juga
memiliki sifat jenuh, bosan dan rasa tidak puas. Sifat-sifat jenuh, bosan dan
rasa tidak puas menyebabkan terjadinya perubahan sosial.
Kejenuhan terhadap tatanan sosial akan menimbulkan upaya
meningkatkan tatanan sosial yang lebih baik, kebosanan terhadap perilaku
sosial tertentu akan menimbulkan upaya perbaikan perilaku sosial. Begitu
pula adanya rasa tidak puas terhadap kaidah sosial akan menimbulkan pula
upaya perbaikan kaidah sosial. Dengan demikian dapat dikatakan terjadinya
perubahan sosial karena kejenuhan, kebosanan dan rasa tidak puas.
Perubahan sosial menyebabkan tidak ada suatu generasi memiliki
kondisi sosial seperti nenek-moyangnya ataupun orang tuanya, sehingga
tidak ada satu generasi baru yang Iebih tua (Horton, 1992).
Samuel Johnson pada tahun 1755 telah berupaya menyusun suatu
kamus yang diharapkan dapat abadi, karena penyusunannya telah
menggunakan kosa kata yang mutahir. Namun apa jadinya dalam waktu
singkat sudah tidak digunakan orang, sebab dikatakan telah ketinggalan
(tidak up-to date). Lebih jauh, dari sejarah umat manusia tidak pernah terjadi
perubahan sosial budaya dapat ditahan. Begitu pula belum pernah terjadi
seseorang mampu menahan pengaruh sosial-budaya asing dalam kurun lama,
1
sebab kejenuhan, kebosanan dan ketidak puasan akan suatu keadaan sosial-
budaya akan selalu menyertai sepanjang sejarah manusia.
Sesungguhnya terdapat perbedaan yang mendasar antara perubahan
sosial dan perubahan budaya. Perubahan sosial lebih menekánkan kepada
struktur dan hubungan sosial, contohnya perubahan jumlah anak setiap
keluarga, menurunnya ikatan keluarga, perubahan pengaruh suami terhadap
isteri, isteri yang dahulu menurut menjadi pemarah pada suami, dan
sebagainya. Sedangkan perubahan budaya merupakan perubahan segi
budaya masyarakat (Horton, 1992), misalnya perubahan seni budaya,
perubahan tata moral misalnya berkelahi dengan model kerubutan,
perubahan kata-kata baru (prokem), dan sebagainya.
Istilah yang sering kitagunakan ‘perubahan‘ sosial bukannya kemajuan
sosial, sebab istilah maju tersirat penilaian (value judgement), sedangkan
yang dimaksud dengan perubahan sosial tidak sejauh itu. Perubahan sosial
lebih menekankan pada sifat benibahnya tingkatan sosial (Horton, 1992).
Perubahan sosial dan perubaban budaya rupanya sangat menarik
untuk dikaji, sehingga banyak para ilmuwan tertarik untuk mengemukakan
dalam berbagai bentuk pengertian. Bahkan dalam keadaan sehari-hari bukan
hanya para ilmuwan yang tertarik mengungkapkannya, tetapi juga para
pengarang cerita novel bahkan centa fiktif sangat banyak menyinggung
perubahan sosial.
2
Penyebab lain yahg acapkali kita temui seperti apa yang diungkapkan
oleh Eshleznan J. Ross (1983) dalam bukunyayang berjudul ‘Sociology, An
Introduction’:
Societies do change, but the changes are not necessarily good or bad. Societies attempt to remain stable, and although a stable one is usually better than a chaotic one, stabilit’y sometimes incurs harsh conditions, injustice, and appression. When this happens, conflict will arise and society will be forced to change perhaps for the better.
Dan apa yang diungkapkan oleh Ross di atas dapat disimpulkan bahwa
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat mungkin menuju ke situasi yang
lebih baik, mungkin juga lebih buruk. Begitu pula sebaliknya, kemungkinan
situasi yang stabil malahan penuh dengan kekerasan, bahkan menyimpang
dari ketentuan hukum. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya
konflik, memunculkan adu kekuatan sehingga terjadilah perubahan sosial
kemasyarakatan.
Berbeda pengertian antara ‘perubahan sosial’ dengan ‘kemajuan
sosial’, karena perubahan sosial tidak menjangkau perubahan yang
dikehendaki, dan juga evaluasi dan perubahan tersebut. Dalam uraian
sederhana di bawah yang hendak diungkapkan hanya menyangkut
‘perubahan sosial’ belaka.
B. TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Teori yang mengkaji tentang perubaban sosial ini berkembang dengan
pesat, kesemuanya mengungkap apa yang terjadi sesuai dengan lengkungan
dan fenomena yang ada. Sehingga bentuk-bentuk teorinya pun beragam,
3
beberapa diantaranya yang kelihatannya sangat penting hendak diungkap
dalam buku ini. Antara lain teori evolusioner, teori siklus, dan Leon konflik
perubahan sosial (Horton, 1992 Eshleman, 1983).
1. Teori EvoIusi Perubahan Sosial
Teori evolusioner menganggap bahwa perubahan sosial melalui tahapan-
tahapan tertentu yang semua masyarakat akan melalui atau pun
mengikutinya. Perubahan tersebut berjalan terus, sampai suatu saat ke
ujung perubahan, yang merupakan batas akhir perubahan sosial
(Florston, 1992).
Sampai dengan saat ini harapan akan terjadi perubahan-perubahan sosial
selalu optimis, sebab setiap perubahan akan diikuti dengan peristiwa
yang lebih menggembirakan. Antara lain adanya perubahan aturan lalu-
lintas menyebabkan pemakai jalan merasa lebih aman, adanya
perubahan sistem pendidikan memungkinkan mereka yang berpenghsilan
rendah belajar sampai ke perguruan tinggi, hukuman yang Iebih berat
kepada para penjahat menyebabkan turunnya angka kriminalitas, dan
sebagainya.
Herbert Spencer (1830-1903), menyatakan bahwa perubahan mengantar
kehidupan manusia ke arah yang lebih kompleks, la sangat terpengaruhi
atas teorinya Darwin, bahwa telah terjadi proses evolusi dengan pelan
tetapi nyata. Dan masyarakat primitive yang sederhana ke arah
masyarakat modern yang beraneka ragam corak dan kebutuhan
hidupnya. Perubahan sosial yang bertahap (evolusi), akan mengantar ke
4
arah konsep siapa yang kuat yang akan menang (survival of the fittest)
nya Darwin (Eshleman, 1983). Ia menyatakan bahwa orang yang energik
dan cekatan (cakap), akan lebih survival hidupnya, sedangkan yang lemah
malas dan kurang kreatif akan tersisih, dan terhempas dan
masyarakatnya.
Seorang ahli ilmu sosial yang lain, Lewis Heniy Morgan (1818- 1881) yang
berkeahlian bidangan tropologj menyatakan adanya tahapan-tahapan
teknologi yang mempengaruhi suatu perubahan sosial. Atau dengan kata
lain, Lewis menekankan adanya kemajuan teknologi dapat
mempengaruhi perubahan sosial, Sedangkan Auguste Comte (1798-
1857), seorang ahli sosiolog Perancis yang sering pula disebut sebagai
pendiri sosiologi, berpendapat bahwa perubahan sosial dapat dicari dari
perkembangan masyarakat melalui 3 tahap. Tahap-tahap yang dimaksud
1) tahap teologis (theological stage) yaitu tahap yang didasarkan atas
nilai-nilai agamis, 2) tahap metafisik (methaphisical stage) merupakan
tahap peralihan dan tahap percaya atas adikodrati tergeser oleh nilai-nilai
budaya, dan 3) tahap positif atau ilmiah- (positive or scienific stage),
suatu tahap dimana masyarakat berkeyakinan akan adanya prinsip-
prinsip ilmiah dalam perubahan masyarakat.
Teori sosial saat ini semakin dihayati oleh para ahli sosial. Perubahan dari
pertumbuban masyarakat sering berdampak pada ‘permasalahan sosial‘
daripada ‘kemajuan sosial’. Sebaliknya pengikut teori konflik kurang
percaya adanya ‘teori evolusi’ semacam ini.
5
Kelemahan teori evolusi dalam perubahan sosial, antara lain: (1) data
tahapan perubahan masyarakat kurang cermat dapat diawasi, sehingga
hanya diraba-raba belaka artinya suatu tahapan masyarakat dicocokkan
dengan teori sosial yang ada; (2) urutan tahapanpun sering tidak cocok
dengan teori evolusi sosial yang ada, misalnya dari masyarakat primitif
tiba-tiba maju pesat sebagai masyarakat industri, contohnya negara-
negara teluk yang kaya minyak, negara-negara blok timur masa lampau
yang umumnya tidak mengikuti pertumbuhan industry dan sebagainya;
dan (3) adanya pandangan perubahan sosial akan berakhir jika manusia
telah mencapai tahap ‘akhir’ perubahannya. Pandangan tersebut rupanya
sangat naïf akan terjadi. Karena kriteria akhir perubahan sosial ‘sosial
belum pernah terdefinisi bahkan terpikirkan, sehingga sulit ditentukan
terjadinya (Hayes, 1989).
Walau bagaimana kelemahan-kelemahan teori ini tampak jelas, namun
kecermatannya harus diakui, disamping dengan perubahan yang
mencolok dan masyarakat sederhana ke masyarakat modern yang
kompleks, sangat jelas perubahannya bersifat evolusi.
2. Teori Konflik Perubahan Sosial
Berbagai kenampakan menunjukkan bahwa teori konflik lebih optimis
daripada teori evolusi, karena berbagai kelompok yang terlibat
konflikakan dapat membawa ke kemajuan perubahan sosial masyarakat
(Eshleman, 1993). Mereka jakin kemajuan suatu masyarakat akan terjadi
6
apabila tiap kelompok terlibat atau teridinamisir oleh adanya konflik,
sehingga muncul istilah dinamika konflik.
Beberapa ahli sosial berpendapat apabila suatu masyarakat terikat pada
situasi tertentu maka akan terjadi perubahan-perubahan sosial yang
mendasar dan yang dikhawatirkan tidak evolusi lagi sifatnya tetapi sangat
cepat (revolusi). Perubahan sosial yang cepat dan mendadak perlu
dihindari, karena dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan runtuhnya
nilai-nilai sosial dan budaya. Untuk menghindarinya perlu dikaji ilmu
sosial secara terperinci, mendalam dan jika perlu secara filosofis, yang
dijabarkan dalam bentuk perencanaan sosial yang mantap.
Lebih jauh teori konflik berpendapat bahwa terjadinya perubahan sosial
adalah konflik sosial, sehingga yang konstan adalah konflik sosial. Hal
tersebut bertentangan dengan teori evolusi, yang berpegang bahwa
perubahan sosial akibat berbagai temuan teknologi dan ilmu
pengetahuan. Untuk mengatasi kesemuanya perlu perencanaan sosial
dengan mantap, terlebih-lebih dalam era kemajuan teknologi, ilmu dan
komunikasi dengan maju pesat, tanpa perencanaan sosial yang tepat
akan terjadi dinamika kemajuan (progress dinamics) yang kurang
terkontrol dapat menimbulkan berbagai keresahan masyarakat.
3. Teori Siklus Perubahan Sosial
Bagi para penganut teori siklus berpendapat bahwa optimism yang
berlebihan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Berbeda dengan
teori evolusi, teori para pengikut teori siklus berpendapat bahwa sampai
7
dengan titik akhir evolusi perubahan sosial tidak akan berhenti,
melainkan akan kembali kepada situasi awal permulaan evolusi, dengan
demikian perubahan sosial laksana siklus yang tidak mengenal ujungnya.
Sehingga menurut teori siklus perubahan sosial bersifat abadi, tidak
pernah berhenti (Hayes. 1989).
Oswald Sprenger, seorang sejarawan berpendapat bahwa perubahan rasa
kebangsaan (civilization) seperti siklus, selaras dengan perjalanan
kehidupan manusia (human beeing). Mencapai titik tertentu untuk
kembali sebagai awal permulaan. Runtuhnya pemerintahan Romawi,
disusul oleh pemerintahan Inggris, merupakan siklus sejarah kekuasaan.
Lebih lanjut, perubahan sosial merupakan kemajuan masyarakat, yang
bersifat abadi.
Umumnya para ahli sosial berpendapat bahwa perubahan masyarakat
bukanlah indikasi awal perubahan sosial, atau bahkan mendahului
terjadinya perubahan sosial. Pitirim Sorokin (1889-1968) mensinyalir
bahwa perubahan sosial berlainan dengan kemajuan sosial, sebab belum
tentu perubahan sosial menjadikan masyarakat tersebut maju, misalnya
ditemukannya penibahan manusia berbusana ke arah yang Ionggar dan
terbukam apa bedanya dengan masyarakat keterbelakangan yang belum
mengenal pakaian sebagai alat glamour, yang berlebihan tetapi kurang
memahami adakah kemajuan atau kemandegan, atau bahkan
kemunduran yang mereka lakukan?
8
Sorokin mensinyalir lebih jauh bahwa perubahan kepercayaan,
perubahan budaya, perubahan seni yang dilakukan manusia lebih bersifat
coba-coba, untuk mencari keserasian dalam hidupnya. Mereka tidak
dalam pengertian maju, sebab berbincang tentang kemajuan haruslah
menyangkut evaluasi, padahal perubahan sosial yang dilakukan bukan
berdasar evaluasi untuk lebih maju, lebih banyak hanya sekedar
menghindari kejenuhan dan kebosanan belaka. Bahkan lebih tandas
Sorokin berpendapat bahwa perubahan sosial yang bersifat siklus
disebabkan ‘fungsi sosial’ masyarakat belaka, yang akhirnya kembali
kekeadaan semula, awal siklus terjadi (Eshleman 1983).
Disamping itu Sorokin dalam teorinya Social and Cultural Dynaynics
mencoba membagi tahapan perubahan sosial Tahapan budaya dalam tiga
tahap yang berputar tanpa akhir. Ketiga perubahan tahap itu adalah:
a. Kebudayaan ideasional (ideational cultur) yang didasarkan atas nilai-
nilai adikodrati (supernatural);
b. Kebudayaan idealistis (idealistic cullctur) didasarkan atas unsur
adikodrati dan fakta-fakta nyata guna mencapai masyarakat yang
ideal; dan
c. Kebudayaan sensasi (sensate cultur) memberikan tolak-banding ukir
antara fakta dan tujuan hidup. Sorokin menilai kebudayaan barat saat
itu telah mencapai tahapan ke-3, sehingga telah rapuh dan akan
terjadi siklus ketahapan pertama, kembali menjadi tahap kebudayaan
ideasional.
9
Teori siklus yang lain tercatat Arnold Toynbee (1889-1975), seorang
sejarawan Inggris yang menyimpulkan bahwa kebudayaan bersiklus atas
kelahiran budaya, pertumbuhannya, keruntuhan, dan kematian (Horton,
1992). Lebih jauh Toynbee mensinyalir bahwa kebudayaan manusia,
termasuk kebudayaan barat akan runtuh, dan kembali pada siklus
pertama lagi, siklus kelahiran budaya baru.
Upaya dari pengikut siklus kebudayaan telah lama dilakukan, antara lain
untuk menjawab mengapa terjadi perubahan? Namun dan fakta-fakta
perubahan sosial-budaya yang ada teramat sulit dibuktikan.
4. Teori Fungsional Perubahan Sosial
Teori fungsional sering pula disebut Teori Strukiural Fungsional di dalam
perubahan sosial, yang berpendapat bahwa masyarakat laksana tubuh
manusia, yang selalu seimbang di dalam bentuk-bentuk lembaganya,
kesemuanya demi menopang kalangsungan kemasyarakatan yaitu
Apabila terjadi perubahan yang akan menimbulkan kegoncangan atau
ketidakseimbangan, maka Iembaga-Iembaga yang ada berupaya
menstabilkannya (Eshleman, 1993).
Berlimpahnya pendatang (migran), terjadinya gangguan akibat alam,
munculnya konflik yang berlebihan, atau bahkan timbulnya peperangan
akan mengakiban perubahan tatanan sosial-sosial (social order), fungsi
sosial masyarakat akan meredam dan menstabilkannya. Oleh sebab itu,
lebih jauh Sorokin berpendapat ‘evolusi‘ yang terencana akan dapat
berperan menstabilkannya. Untuk itu diperlukan upaya penyusunan
10
perencanaan sosial yang terarah dengan melibatkan ilmuwan dan
berbagai bidang (sosial, budaya, teknologi ekononi dan sebagainya) guna
menciptakan keseimbangan (equilibrium).
Istilah ‘kelambanan sosial‘ (social lag) merupakan indikasi ketidak-
seimbangan yang terjadi di dalam perencanaan sosial. Hal tersebut
mungkin terjadi karena banansosial pertumbuhan penduduk yang tinggi
ketimpangan ekonomi, bencana alam tanpa terduga, kesemuanya
menimbulkan tidak adanya keseimbangan sosial. Maka kewajiban
lembaga yang ada di masyarakat untuk mengatasinya dan
menseimbangkannya secara evolusi, yaitu dengan memantapkan
perencana sosial yang mantap, terarah dan dalam jangka waktu lama
(long term program).
C. DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial yang terjadI kadang berdampak pada tatanan sosial,
budaya, lembaga sosial, dan kemajuan sosial. Pada saat ini dalam mengkaji
perubahan sosial banyak dipengaruhi oleh teori siklusnya Pitinim Sorokin,
teori konflik, dan teori fungsional.
Sesungguhnya berbagai teori tersebut berupaya menerangkan bahwa
perubahan sosial kadangkala membawa kebaikan dan mungkin membawa
keburukan situasi sosial, untuk itu teori-teori di atas mencoba menjawabnya.
Umumnya didasarkan atas perubahan yang evolusi, namun ada yang tergesa-
gesa secara tiba-tiba (revolusi) yang diungkapkan oleh peserta teori konflik.
11
Perubahan sosial yang diinginkan masyarakat ke arah kestabilan,
bukan sekedar berubah yang hasilnya mungkin lebih baik situasinya, tetapi
mungkin juga lebih jelek yang terjadi. Maka jawaban akhir dari perubahan
sosial, sintesanya adalah aktualisasi masyarakat yang stabil dalam situasi
ekonomi, budaya, poiltik yang lebih baik. Stabil jauh dan kacaubalau
(chaotic), mungkin berupa tindakan tegas, hukum yang ketat, namun dapat
dan masyarakat dalam membangun. Sehingga diperlukan wujud perencanaan
yang mantap, tajam dan dalam jangka waktu lama (Friedman J., Cs.; 1978).
Dalam teori ini ditekankan bahwa perubahan sosial dan stabilitas
haruslah seiring, guna menciptakan masyarakat yang lebih baik di kelak
kemudian hari.
Mungkin pemahaman tentang teori sosial di atas masih diperlukan
informasi lugas dalm pelaksanaannya, maka proses perubahan sosial yang
diuraikan di bawah, akan lebih memperielas arti pentingnya teori-teori di
atas.
D. PROSES PERUBAHAN SOSIAL
Karya besar tentang proses perubahan sosial sampai dengan saat ini
kita hanya mengenal dan teori William F. Ogburn, yang merupakan peneliti
pertama tentang proses perubahan sosial. Jika dikaji lebih teliti ahli-ahli ilmu
sosial modern pada umumnya mendasarkan teori Ogburn, antara lain kita
jumpai dalam karangan Alvin Toffler dalam bukunya ‘Future Schock’ (1970)
dan ‘The Thirf Wave’ (1981), yang alur pemikiran proses perubahan sosialnya
12
merupakan pola dan Ogburn. Lebih jauh menurut Ogburn ada tiga bentuk
proses perubahan yang disebabkan oleh penemuan invensi, dan divusi
(Horton. Paul B., 1992).
1. Penemuan Dasar Perubahan
Banyak para ahli dari awalnya telah mencela adanya istilah ‘penemuan’
(discovery), sebab apa yang ditemukan itu telah ada namun diketahui
setelah manusia memahami maknanya, kegunaannya, ataupun faktanya
secara Iebih sosial nyata. Misalnya penemuan “kinine” sebagai obat
malaria, pohon kininenya telah lama ada baru setelah ada yang sakit dan
minum air sungai yang melewati pelepah pohon kinine dipahami bahwa
kinine adalah obat penyakit malaria. Mulailah perubahan terjadi, bahwa
kematian sebab penyakit malaria dapat dicegah, sehingga terjadi
perubahan dalam pertumbuhan penduduk.
Bermula adanya kilat yang bermuatan listrik telah lama, mungkin seusia
dengan jagat raya, tetapi bahwa listrik seperti kilat dapat kita buat dan
kuasai, maka manfaatnya dapat merubah dunia, dan awal globalisasi
dengan alat-alat elektronika, seperti radio, sunat kabar, telepon,
parabola, dan sebagainya yang dapat menimbulkan perubahan sosial
yang drastis, terlebih-Iebih di era globalisasi.
Temuan-temuan baru sangat bermanfaat bagi masyarakat apabila dapat
dirasakan kegunaannya semakin lama, maka akan menjadi sesuatu yang
dibutuhkan. Sehingga masyarakat tergantung untuk selalu
membutuhkan, dan dirasa perlu dikembangkan demi kesejahteraan
13
manusia. Peningkatan kesejahteraan termasuk pengetahuan,
kenikmatan, peningkatan jumlah penduduk, perpindahan desa ke kota,
kesemuanya merupakan indikasi terjadinya perubahan sosial. Dengan
demikian para ahli sosial sependapat dengan Ogburn, bahwa penemuan
merupakan salah satu proses terjadinya perubahan sosial (Friedman, J.
Cs., 1978).
2. Invensi Timbulkan Proses Perubahan
Pengertian invensi (invention) berbagai macam, namun secara umum
dikatakan sebagai penggunaan baru dan metoda atau ilmu pengetahuan
yang telah ada. Misalnya James WaIls (1754) memasang ketel uap pada
kereta yang jalannya menggunakan besi-baja, saat ini kita kenal sebagai
kereta api. Sesungguhnya metoda memadatkan ketel uap sudah lama
digunakan untuk industni, tetapi baru waktu itu dipasang untuk
kendaraan. Maka terciptalah ‘kereta api’, yang nantinya mampu merubah
kehidupan masyarakat, sampai saat ini ,kita kenal adanya kereta bawah
tanah, walau tenaganya bukan uap lagi tetapi listrik. Dengan demikian
terjadi perubahan sosial masyarakat yang mulai memahami adanya
angkutan masal ‘kereta api maupun kereta listrik’.
Dengan demikian terjadinya proses perubahan sosial bukan karena
penemuan baru, tetapi menggunakan metoda lama untuk menciptakan
model baru.
Paul B. Horton (1992), membagi invensi dalam bentuk Invensi material
(material invention) antara lain penerapan model busur dan anak panah,
14
telpon, teve, parabola, kendaraan angkasa luar, dan sebagainya. Di sisi
lain adanya invensi sosial (social invention), misalnya diterapkannya huruf
morse yang merupakan pengkodean atau pengubahan dalam bentuk
lambang ketuk, model pemerintahan yang demokratis, lambang negara
dalam bentuk burung, melindungi lingkungan alam secara tersistem yang
dahulunya secara isyarat (bulus/penyu putih sakti), dan sebagainya.
Invensi umumnya dicetuskan oleh orang perorang, atau kelompok kecil,
jadi tidak dilakukan secara masal (Jewkes, Cs.. 1969). Hal tersebut
disebabkan temuannya karena keinginan lebih memfungsikan teori,
konsep, ataupun model secara lebih optimal, yang mendasari mereka
bukannya keinginan untuk memperoleh penghargaan ataupun kekayaan,
tetapi bentuk kepuasan batin yang berupa meningkatkan makna dan
teori, konsep ataupun model tersebut bagi masyarakat.
Perkembangan akhir-akhir ini, invensi banyak diminati oleh para
pengusaha dalam upaya meningkatkan produksi, jadi bukan maknanya
tetapi hasilnya. Sehingga dirasa bahwa invensi yang dilakukan perorangan
ataupun kelompok kecil lebih murni mencari peningkatan makna,
sedangkan tim peneliti ataupun kelompok pengkaji yang lain kebanyakan
dilatarbelakangi interes (keinginan) pribadi atau golongan tersebut.
3. Difusi Dalam Perubahan Sosial
Pengertian difusi (difusion) adalah masuknya suatu unsur budaya ke
kelompok budaya lain, yang dapat budaya menimbulkan proses
perubahan sosial (Eshleman, 1983). Difusi budaya yang terjadi di
15
Indonesia kita saksikan dan penampilan musik dangdut yang berupa lagu-
lagu Melayu, bermula sering dilakukan oleh masyarakat di kawasan
pesisir Jawa Tengah. Kemudian menyebar ke pelosok pulau Jawa,
akhirnya menyebar ke seluruh tanah air, babkan sekarang digemari pula
di Jepang. Gambaran yang lain, jenis musik portugal yang berupa gitar
dan ukolele dabulu kala hanya terkenal di Portugal, karena para pelaut
Portugal melayari dunia maka musiknya sampai ke Indonesia berupa
musik ‘keroncong’ yang sangat mengasyikkan.
Dengan demikian dapat dikatakan difusi terjadi antara dua kelompok,
yang saling memberi teori, konsep, fungsi dan makna dalam bentuk
budaya, model kerja, merokok, dan sebagainya, yang kesemuanya
membawa konsekuensi bagi dunia kelompok untuk saling menerima
(barter), atau menolaknya jika menerima berarti akan terjadi proses
perubahan sosial. Salah satu contoh kongkrit difusi yang menimbulkan
perubahan sosial, terjadinya kebiasaan merokok untuk mendapatkan rasa
lebih jantan (bagi pria), gengsi, dan mencapai ketenangan oleh
masyarakat Eropa yang ditiru dan masyarakat Indian. Proses perubahan
sosial akibat merokok sampai saat ini sulit ditanggulangi padahal waktu
lampau sebagai perubahan yang positif saat ini dipandang merugikan,
sebab dapat menimbulkan radang ataupun kanker paru-paru.
Dalam proses difusi ketiga proses di atas kesemuanya terjadi di
masyarakat di seluruh dunia. Adakalanya berjalan secara evolusi,
kadangkala disertai koflik, yang jelas proses perubahan yang
16
menyebabkan kemajuan sosial (Jewkes, c’s., 1969). Banyak para ahli
berpendapat bahwa proses perubahan sosial terjadi dengan cepat di
Eropa, Asia dan Amerika Utara (Eshleman, 1983; Jewkes, Cs., 1969).
Proses perubahan tersebut kadangkala berjalan lambat, namun juga
banyak kita jumpai relatif cepat. Cepat ataupun lambatnya proses
perubahan sosial memerlukan katalisator, sebab tanpa katalisator akan
terjadi perubalan yang tersendat-sendat terhenti atau bahkan terjadi
penolakan (Hayes, 1989).
Jika kita kaji lebih jauh dan berbagai khasanah sosial, sosiologi,
antropologi, dan budaya, sebagai katalisator proses perubahan sosial
antara lain: struktur sosial, nilai sosial, sikap sosial, dan lingkungan, baik
fisik maupun kemanusiaan (Horton, 1992: Spe,Icer, 1983).
4. Modernisasi dan Perubahan Sosial
Para ilmuwan sosial berpendapat bahwa modernisasi merupakan
kenampakan umum di masyarakat industri, meliputi cara pandang, cara
kerja sehari-hari serta orientasmnya dalam bermasyarakat (Wallirstein,
1974). Seluruh masyarakat modern memiliki kesamaan dalam kebiasaan
hidupnya, baik mereka yang berada di Los Angelos, Jakarta, Columbia
(Ohio), Sidney, Hongkong dan sebagainya: Hidup mereka selalu
berorientasi kepada kebutuhan ekonomi dan pertumbuhan serta
perbaikan sosial. Dampak teknologi merupakan ciri masyarakat modern,
yang dipengaruhi oleh kesempurnaan sistem transportasi, media
elektronik maupun cetak merupakan bagian budaya hidup, kesemuanya
17
sanggup membuka dan menggugah ide-ide yang ambisius demi
kehidupan yang lebih mapan. Hal ini dapat menjadi ciri-ciri masyarakat
yang mengalami perubahan sosial secara berkelanjutan (Bell, 1973).
Lebih lanjut Bell, Daniel (1973) mensinyalir, apabila suatu masyarakat
tradisional berkeinginan berubah ke arah masyarakat modern seharusnya
bersedia mengadopsi (menerapkan) fungsi masyarakat modern, dalam
hal budaya dan lembaganya, misalnya unsur kepemerintahannya,
keterbukaan informasi, perhatiaan akan nucleted family, kebiasaan kerja
keras, memiliki respek tinggi terhadap kemajuan teknologi dan ilmu
(Toffler, 1981).
Modernisasi pada saat ini merupakan ciri perubahan sosial masyarakat,
yang sifatnya merupakan adaptasi perorangan terhadap berbagai
kebiasaan dan sikap hidup, kadangkala sulit dilakukan tetapi tanpa
adaptasi dia akan sendirian diriak gelombang hingar-bingarnya
masyarakat modern. Metta Spencer (1983) mensinyalir secara garis besar
modernisasi akibat dan dinamika kependudukan, dan dampak
lingkungan.
Dampak kependudukan terhadap modernisasi kita awali dari pertanyaan
‘seperti apakah gerangan manusia modern itu?. Serta, bagaimana
membedakannya dengan manusia tradisional di tengah masyarakat?
Untuk menjawabnya Alex Inkeles dan David H. Smith (1974), memberi
jawaban atas berbagai pertanyaan menyangkut unsur geografi, peristiwa
politik, adat istiadat, reference, serta berbagai hal yang lain. Sebagai ciri
18
utama masyarakat modern adalah memiliki sikap pribadi yang tinggi,
berbeda dengan masyarakat tradisional lainnya. Pekerjaan mereka
memiliki responsibilitas yang tinggi, di samping yakin bahwa hasil
penelitian ilmiah merupakan penentu kesejahteraan hidup mereka.
Sebagian besar masyarakat modern menopangkan harapannya dalam
mengontrol hidupnya, itulah. sebabnya mereka kelihatan lebih angkuh
dan ambisius. Mereka sangat yakin bahwa obat-obatan akan selalu dapat
menjaga kehidupan. manusia, disamping doa kepada Tuhan. Mereka
berharap dengan menguasai lapangan kerja yang baik, serta upaya
memperkecil jumlah famili akan dapat memperbaiki kelangsungan
hidupnya. Mereka lebih suka berkumpul sesamanya untuk menyusun
perencanaan yang matang demi kesejahteraannya, sehingga mereka
lebur dalam organisasi sosial demi masa depan.
Ciri masyarakat modern adanya konsep-konsep perkehidupan sosial yang
lebih luas daripada masyarakat tradisional, sehingga tidak jarang kita
dengar ungkapan ‘bahwa ia akan dpat mengharap lewat para penentu
kebijakan (di pemerintahan,) untuk mengatur lembaga keagamaan
‘(Metla, Spencer, 1983). Lebih jauh ia akan mengidentifikasi dirinya
sebagai bagian kehidupan negaranya daripada etniknya, agamanya,
ataupun wilayahnya (region). Ia akan lebih mementingkan hal-hal yang
bersifat sosial, guna menolong orang yang membutuhkan dan pada
bersikap satu ikatan kedaerahan, setnik dan sebagainya, yang
kelihatannya bagi masyarakat tradisional masih tabu.
19
Dampak lingkungan terhadap modernisasi, kita lihat berbagai upaya
mensejahterakan manusia, misalnya dengan melakukan penebangan
hutan secara luas demi kebutuhan perumahan dan peralatan manusia,
menuju hidup modern, ternyata membawa dampak pula terhadap
lingkungan. Dengan demikian masyarakat modern akan menyebabkan
munculnya kerusakan lingkungan (Horton, 1992).
Lingkungan alam yang telah rusakmenyebabkan manusia melakukan
migrasi guna mencari lahan yang lebih baik. Proses migrasi akan
menyebabkan terjadinya pertukaran budaya, diujungnya terpacu untuk
lebih modern. Dengan demikian kerusakan alam sebagai akibat kelalaian
manusia memungkinkan terciptanya modernisasi.
Dengan demikian terjadi siklus perubahan sosial, di awalnya manusia
mengeksploitasi alam demi kebutuhan hidup modern, dan modernisasi
menimbulkan kerusakan alam, kerusakan alam meningkatkan arus
migrasi, akibat migrasi memacu proses modernisasi, kembali modernisasi
dapat merusak alam, dan seterusnya.
5. Penolakan Atas Perubahan Sosial
Tidak semua perubahan sosial dapat diterima oleh masyarakat karena
berbagai alasan, antara lain dengan situasi sosial (Friedman, 1978).
Beberapa ahli sosial sosial berpendapat bahwa penolakan sosial akan
terjadi apabila: (1) perubahan tersebut dengan disertai tekanan dari luar,
(2) perubahan tersebut merupakan ancaman budaya bagi masyarakat
setempat, (3) arah perubahan kurang jelas,bahkan mungkin
20
menimbulkan konflik sosial, dan (4) tiada terdukungnya pola perubahan
tersebut oleh sikap dan lingkungan sosial budaya yang ada(Hayes, 1989).
Ternyata tidak seluruh perubahan sosial diterima, tetapi kadang-kadang
diterima setengah-setengah. Salah satu contoh yang dapat diungkapkan
disini, adanya inovasi permainan jackpot guna menyalurkan waktu yang
luang namun membawa berbagai dampak negatif, ditolak. Namun oleh
sebagian masyarakat diterima.
Kenyataan di atas menyebabkan terjadinya perubahan sosial akibat
adanya modernisasi. Selanjutnya modernisasi akan dapat memacu
perubahan sosial (social change), akhirnya menimbulkan kemajuan sosial
(social progress).
21