ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

19
295 Dukungan Polik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstusi (Wicipto Seadi) Volume 2 Nomor 3, Desember 2013 DUKUNGAN POLITIK DALAM IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Polical Support on Constuonal Court Verdict Implementaon) Wicipto Seadi Badan Pembinaan Hukum Nasional Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta Email: [email protected] Naskah diterima: 15 November 2013; revisi: 18 November 2013; disetujui: 17 Desember 2013 Abstrak Fakta memperlihatkan bahwa dak seluruh putusan final dan mengikat itu dapat mempengaruhi parlemen dan lembaga- lembaga negara lain. Hal ini disebabkan Mahkamah Konstusi dak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin implementasi putusan final serta sangat bergantung pada kesediaan otoritas publik di luar Mahkamah Konstusi untuk menindaklanju putusan final. Tulisan ini akan membahas lebih jauh bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstusi di Indonesia dengan membandingkan prakk di beberapa negara lain; serta bagaimana pengaruh dukungan polik terhadap putusan final Mahkamah Konstusi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normaf, dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstusi dak implementaf. Melihat kenyataan ini perlu ada strategi kesadaran kolekf yang melibatkan seluruh aktor negara dan aktor non-negara sehingga problem implementasi dapat segera diatasi bersama. Selain itu dukungan publik makin diperlukan di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Agar memperoleh dukungan publik, maka Mahkamah Konstusi perlu terus mendorong transparansi dan akuntabilitasnya, termasuk juga mendorong pengawasan internal dan eksternal perilaku hakim konstusi dalam bangunan kesadaran polik hukum nasional. Kata Kunci: putusan, konstusi, implementasi, publik, polik Abstract The facts shows that not all decision final and binding verdict could be influence parliament and other instuons. The Constuonal Court does not have executor unit which guarantee of final verdict implementaon, and it is depend on willingness of public authories outside of Constuonal Court to follow up the verdict Constuonal Court in Indonesia. This paper will explain how is the implementaon of Constuonal Court ini Indonesia and other state, and also how is the polical influence of Constuonal Court verdict. By yuridis normave methode, it could be concluded that verdict of contuonal court was not implementave. Therefore, it should be have a collecve consciousness strategic which involved throughout state actor and non state actor, so that problem of implementaon could be addressed immediately. Public support increasingly urgent amid declining of public trust against those instuon. Considering importance of public support, Constuonal Court should be released by support transparancy, accountability and monitoring of constuon judges in the naonal polical of law awareness building. Keywords: verdict, constuon, implementaon, public, polic Jurnal RechtsVinding BPHN

Transcript of ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

Page 1: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

295Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

DUKUNGAN POLITIK DALAM IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

(Political Support on Constitutional Court Verdict Implementation)

Wicipto Setiadi Badan Pembinaan Hukum Nasional

Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta Email: [email protected]

Naskah diterima: 15 November 2013; revisi: 18 November 2013; disetujui: 17 Desember 2013

AbstrakFakta memperlihatkan bahwa tidak seluruh putusan final dan mengikat itu dapat mempengaruhi parlemen dan lembaga-lembaga negara lain. Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin implementasi putusan final serta sangat bergantung pada kesediaan otoritas publik di luar Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti putusan final. Tulisan ini akan membahas lebih jauh bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dengan membandingkan praktik di beberapa negara lain; serta bagaimana pengaruh dukungan politik terhadap putusan final Mahkamah Konstitusi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak implementatif. Melihat kenyataan ini perlu ada strategi kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh aktor negara dan aktor non-negara sehingga problem implementasi dapat segera diatasi bersama. Selain itu dukungan publik makin diperlukan di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Agar memperoleh dukungan publik, maka Mahkamah Konstitusi perlu terus mendorong transparansi dan akuntabilitasnya, termasuk juga mendorong pengawasan internal dan eksternal perilaku hakim konstitusi dalam bangunan kesadaran politik hukum nasional. Kata Kunci: putusan, konstitusi, implementasi, publik, politik

AbstractThe facts shows that not all decision final and binding verdict could be influence parliament and other institutions. The Constitutional Court does not have executor unit which guarantee of final verdict implementation, and it is depend on willingness of public authorities outside of Constitutional Court to follow up the verdict Constitutional Court in Indonesia. This paper will explain how is the implementation of Constitutional Court ini Indonesia and other state, and also how is the political influence of Constitutional Court verdict. By yuridis normative methode, it could be concluded that verdict of contitutional court was not implementative. Therefore, it should be have a collective consciousness strategic which involved throughout state actor and non state actor, so that problem of implementation could be addressed immediately. Public support increasingly urgent amid declining of public trust against those institution. Considering importance of public support, Constitutional Court should be released by support transparancy, accountability and monitoring of constitution judges in the national political of law awareness building. Keywords: verdict, constitution, implementation, public, politic

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 2: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

296 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

A. Pendahuluan

Keberadaan Mahkamah Konstitusi meru-pakan angin segar bagi semakin terpenuhinya syarat-syarat sebagai sebuah negara hukum, yang berkembang dari konsep Rechtsstaat maupun tradisi rule of law. Ciri-ciri Rechtssaat menurut Frederich Julius adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia yang biasa dikenal dengan Trias Politica, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan peradilan administrasi dalam perselisihan.1 Sedangkan ciri-ciri rule of law menurut A.C. Dicey adalah supremasi hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun pejabat, dan terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan pengadilan.2 Baik rule of law maupun Rechtstaat pada dasarnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang kemudian dirumuskan dalam konstitusi. Dalam perkembangannya, konstitusi tidak hanya mengatur dan melindungi hak-hak asasi manusia, tetapi juga hak politik dan hak warga negara. Dengan demikian menjadi amat penting untuk menjaga konstitusi tersebut dari

perbuatan penguasa yang selalu mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari rel konstitusi yang secara ekstrim Lord Acton menggambarkan hal ini dengan mengatakan ”power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”.3

Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi adalah pengawal konstitusi dan sekaligus penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi secara otoritatif memikul kewajiban untuk mewujudkan konkritisasi kaidah-kaidah abstrak yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dan kewajiban tersebut diselenggarakan dalam aneka kegiatan tafsir makna, lalu menciptakan guidelines bagi sustainabilitas program pembangunan yang dicanangkan oleh lembaga-lembaga negara lain. Bila dikaitkan dengan strategi pembangunan hukum, maka dengan dukungan Mahkamah Konstitusi, strategi hukum yang dipakai adalah strategi hukum yang bercorak responsif, yang populistik dan otonom.4 Dengan strategi yang demikian maka diharapkan keberadaan Mahkamah Konstitusi mampu mengatasi kecenderungan terjadinya krisis ideologi 5 akibat krisis konstitusi, serta mewujudkan prinsip ”hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kedzholiman”, yang selama

1 Oemar Seno Adji, Prasaran Dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945 (Jakarta: Seruling Masa, 1966), hlm. 24. 2 E.C.S Wadedan G Gogfrey, Constitutional Law: An Outline of The Law and Practice of The Citizen and State and

administrative Law, 7th edition (London: Longmans, 1965), hlm. 50-51.3 Lebih jauh tentang hal ini bisa dilihat dalam: Jim Powell, “Great Thinkers On Liberty”, http://www.libertystory.

net/LSTHINKACTON.html., (diakses 2 Juli 2004).4 Strategi hukum yang bercorak responsif merupakan kebalikan dari tradisi pembangunan hukum yang bersifat

ortodoks. Lebih jauh tentang strategi pembangunan hukum ini bisa dilihat dalam John Henry Marrymam, The Civil Law Tradition (California: Standorf University, 1969).

5 lebih jauh tentang krisis ideologi dapat dilihat dalam Anthony Giddens, The Third Way: The renewal of Social Democracy, atau Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Terj. Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 53.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 3: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

297Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

ini dianggap sebagai utopia semata.6 Oleh karena itu menjadi penting untuk menjaga agar putusan Mahkamah Konstitusi dapat benar-benar implementatif.

Implementasi putusan Mahkamah Konstitusi adalah tahap paling penting dalam upaya mengkonkritkan konstitusi di tengah masyarakat. Putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi perlu pula disertai dengan perangkat ”pengaman” yang diarahkan kepada perorangan ataupun institusi-institusi negara agar benar-benar dapat diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tidak dihadang oleh ”kekuatan” lain dengan alasan yang seolah-olah konstitusional. Sayangnya hingga saat ini belum ada ketentuan formal yang memastikan bahwa implementasi putusan final tersebut benar-benar dijalankan sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi sehingga implementasi putusan Mahkamah Konstitusi masih belum pada performa yang ideal. Masih ditemukan beberapa putusan yang tidak implementatif, atau bahkan tidak dijalankan oleh organ konstitusi itu sendiri, baik eksekutif maupun legislatif. Hal ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya dukungan politik atas lembaga ini. Bahkan hal ini semakin diperburuk dengan tragedi penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus korupsi. Salah satu bukti merosotnya performa

Mahkamah Konstitusi adalah perusakan ruang sidang Mahkamah Konstitusi oleh salah satu pendukung calon gubernur Maluku Utara yang sedang bersengketa di lembaga itu.7 Untuk itu diperlukan tindakan kooperatif antar lembaga negara yang berusaha menyelaraskan segala persoalan yang terkait dengan putusan final.8

Tindakan kooperatif antar lembaga negara ini sangat penting dilakukan karena produk hukum tidak dapat menjamin ekspektasi terhadap persoalan tertentu. Sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, kepastian hukum tidak jatuh dari langit.9 Oleh sebab itu, kepastian hukum tidak jatuh bersamaan lahirnya undang-undang beserta pasal-pasal dan prosedurnya10.

Kepastian hukum membutuhkan pengerahan tenaga dan kekuatan.11 Sehingga, Satjipto Rahardjo yakin bahwa kepastian hukum adalah suatu usaha.12 Kalau memang demikian halnya maka adalah tidaklah tepat bila ingin mencapai karakteristik putusan final yang implementatif hanya mengandalkan akseptabilitas normatif diktum Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

Dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, aspek hukum implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Ketentuan tersebut relatif tegas mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor

6 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum UNPAD, hlm. 4-5.

7 Lebih jauh lihat http://politik.teraspos.com/read/2013/11/15/66751/kepercayaan-publik-ke-Mahkamah Konstitusi-kian-merosot, (diakses 16 November 2013).

8 Lihat juga Inosentius Samsul, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hlm. 7.

9 Satjipto Rahardjo, ”Kepastian Hukum dan Kekuatan Bangsa”, Kompas, Rabu, 18 Januari 2006.10 Ibid.11 Ibid.12 Ibid.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 4: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

298 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, memutus pembubaran partai politik (Parpol) dan memutus sengketa hasil Pemilu. Meski demikian, fakta empiris memperlihatkan bahwa tidak seluruh putusan final dan mengikat itu dapat mempengaruhi parlemen dan lembaga-lembaga negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan regulasi yang mengatur kewenangan dan akibat hukum putusan final Mahkamah Konstitusi, belum tentu memiliki implikasi riil terhadap implementasi putusannya. Persoalan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin implementasi putusan final (special enforcement agencies). Kedua, putusan final sangat bergantung pada kesediaan otoritas publik di luar Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti putusan final.13

Fakta demikian mendorong pemikiran bahwa tugas peradilan konstitusi tidak sekadar menyelenggarakan aktivitas interpretasi, tetapi juga memikul tanggungjawab besar agar ketentuan-ketentuan konstitusi implementatif. Implementasi adalah fungsi yang memerlukan tindakan kolaboratif dan koordinatif sehingga proses pengejewantahan kaidah-kaidah konstitusi dalam kehidupan nyata tidak bisa

diwujudkan tanpa ada tindakan dan kesepakatan kolektif dari institusi-institusi dan aktor negara. Richard H. Fallon dalam Implementation the Constitution mengatakan:

”If we the Court central role as implementing the Constitution, we can better understand why the Justice sometimes must compromise their own view about what would be best in order to achieve coherent, workable constitutional doctrine.”14

Dengan demikian, implementasi kaidah-kaidah utama UUD NRI 1945 bukan semata-mata tugas Mahkamah Konstitusi, tetapi kewajiban yang harus diemban secara kolektif oleh lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, DPD dan Presiden maupun aktor negara lainnya. Di samping itu semua harus pula ada partisipasi aktif dari aktor-aktor non-negara sehingga implementasi putusan final Mahkamah Konstitusi memerlukan tindakan kolaboratif dan kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh lembaga negara, aktor negara dan aktor non-negara. Ini harus ditopang oleh keyakinan kuat untuk melahirkan negara demokrasi konstitusional di bawah UUD NRI 1945.

B. Permasalahan

Dari uraian di atas dapat dirumuskan be-berapa permasalahan sebagai berikut:1. Bagaimana implementasi putusan

Mahkamah Konstitusi?2. Bagaimana pengaruh dukungan politik

terhadap putusan final Mahkamah Konstitusi?

13 Lihat Lihat M. Kay Harris, Transformative Justice: The transformation of restorative justice, dalam Dennis Sullivan Lihat Ahmad Syahrizal, ”Problem Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, Maret (2007): 116.

14 Richard H. Fallon, JR. Implementing The Constitution (Cambridge: Harvard University Press, 2001), hlm. 37.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 5: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

299Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

C. Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif15 karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama, berupa berbagai peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait. Sedangkan dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang diteliti secara sistematis dengan menganalisis data yang diperoleh.

D. Pembahasan

1. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Terkait dengan hubungan lembaga judiciil, eksekutif dan legislatif, Alexander Hamilton pernah mengeluarkan pernyataan sebagai berikut;

The judiciary, from the nature of its function, will always be least dangerous to the political rights of the constitution. The executive holds the sword of the community and the legislature the purse: The judiciary, on the contrary has no influence over either the sword or the purse; no direction either of the strength or the wealth of society,and take no active resolution whatever. The court, may

truly be said to have neither FORCE no WILL but merely judgment; and must ultimately depend upon the aid of executive arm for the efficacious exercise even this facility. The judiciary is therefore the weakest of the three branches.16

Dalam pandangan Hamilton, jika eksekutif memiliki pedang, sedangkan legislatif menentukan atas keuangan negara, sebaliknya, cabang yudikatif (judiciary power) hanya berwenang memutus perkara. Karena itu, berarti bahwa untuk dapat mengeksekusi putusannya, peradilan harus dibantu oleh cabang eksekutif. Dari ketiga cabang kekuasaan itu, ia berpendirian kekuasaan yudikatif merupakan cabang yang paling lemah.17

Padahal keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berfungsi sebagai pemutus suatu perkara, melainkan juga berfungsi membatasi kekuasaan mayoritas dan mengawasi proses politik agar berjalan di koridor konstitusi. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam kehidupan bernegara. Sayangnya, upaya menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of Constitution ini potensial dicederai oleh lapisan mayoritas. Dalam hal ini perlu dikutip satu pertanyaan penting yang pernah diajukan Tocqueville; how can courts, and judges whom

15 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979), hlm. 15.

16 Alexander Hamilton, Federalist 78. In The Federalist Papers. New York: Mentor. Lihat juga analisis William J. Quirk dan R. Randall Bridwell dalam Judicial Dictatorship (New Jersey: Transaction Publishers, 1995), hlm. 30 dalam Ahmad Syahrizal, ”Problem Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, Maret (2007): 106.

17 Ahmad Syahrizal, Ibid.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 6: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

300 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

serve on them, constraint governing majorities in practice?18 Esensi pertanyaan ini adalah bahwa peradilan tidak hanya berfungsi sebagai organ pemutus, tetapi juga berperan membatasi kekuasaan politik kelompok terbesar. Itu sebabnya, majority rule kerap menempatkan peradilan sebagai ancaman potensial bagi aras kebijaksanaan negara yang dicanangkan oleh mereka.

Upaya menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of Constitution ini masih mendapatkan tantangan yang cukup besar. Fakta menunjukkan bahwa putusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi sering tidak direspon positif oleh organ konstitusi yang lain. Padahal dalam tahap memutus sengketa hukum, akibat hukum dari putusan pengadilan itu bersifat res judicata, artinya, putusan tersebut bersifat final, pertama dan terakhir. Dengan demikian sengketa hukum yang sudah diputus final oleh pengadilan setingkat Mahkamah Konstitusi adalah perkara yang disebut oleh John V. Orth ”a thing adjudged”, artinya, perkara yang sudah diputus final oleh lembaga ini tidak boleh diadili lagi.19 Putusan Mahkamah Konstitusi sering dihadang oleh kompleksitas permasalahan yang mengemuka di tahap implementasi putusan final. Melihat kenyataan ini perlu ada strategi kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh lembaga negara, aktor negara dan aktor non-negara sehingga strategi implementasi putusan final menuntut visi koordinatif antar lembaga negara agar permasalahan implementasi dapat segera diatasi bersama.

Di sisi lain, menurunnya dukungan terhadap Mahkamah Konstitusi hingga mengakibatkan kesulitan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tidak saja disebabkan oleh lemahnya dukungan organ negara yang lain, melainkan juga oleh beberapa persoalan yuridis sebagai berikut:

a. Ultra Petita

Ultra petita ini sebenarnya hanya dikenal dalam rejim hukum perdata, artinya tidak berlaku pada rejim hukum tata negara dan juga rejim hukum pidana. Beberapa keputusan dalam sidang pidana hakim kadangkala menjatuhkan keputusan hukuman pidana yang lebih tinggi daripada tuntutan jaksa.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan di bidang tata negara, tentu tidak terikat dengan asas ultra petita. Oleh karena itu dapat dipahami apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang kadangkala melebihi dengan apa yang diminta (petitum) oleh Pemohon. Sebagai contoh putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006).

b. Conditionaly Unconstitutionly

Norma hukum yang bersifat tidak konstitusional dengan persyaratan ini pertama kali dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tentang

18 Alexis de Tocqueville, Democracy in America, Specially Edited and Abridge for the Modern Reader by Richard D. Heffner (New York: A Mentor Book Published by The New American Library, 1956), hlm. 74-75 dalam Ahmad Syahrizal, Ibid., hlm. 107.

19 John V. Orth dalam Due Process of Law: A Brief History (Kansas:University of Kansas), hlm. 1, dalam Ahmad Syahrizal, Ibid.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 7: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

301Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), namun putusan bersyarat ini tidak disebut dalam amar putusan melainkan disebut di pertimbangan atau pendapat mahkamah.20 Hal ini berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang belakangan, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 4/PUU-VII/2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.21 Bahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT), Mahkamah Konstitusi lebih maju lagi dengan memberikan persyaratan baru bagi pemilih dalam pemilu legislatif berupa KTP dan Kartu Keluarga. Disini Mahkamah Konstitusi telah menempatkan posisinya bukan lagi sebagai negatif legislatif tetapi dapat dianggap telah melakukan fungsinya sebagai positif legislatif.

c. Pembatalan UU dengan Tenggat Waktu

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

mulai efektif tiga tahun ke depan sejak putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan merupakan terobosan hukum, mengingat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sejak selesai dibacakan di persidangan (Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi). Dalam bagian pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi mengatakan apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan Undang-Undang KPK terhadap UUD 1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Bentuk putusan yang menunda keberlaku-kan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

20 Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang SDA bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Sebagaimana dinyatakan Pasal 49 ayat (1) pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang SDA telah cukup memberi persyaratan bagi pengusahaan air untuk negara lain yang diberikan oleh Pemerintah pusat setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Daerah. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi.

21 Norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang 12 Tahun 2008 merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 8: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

302 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

nampaknya terinspirasi oleh pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana keberlakuan suatu Undang-Undang secara efektif dapat ditunda beberapa waktu setelah disahkan22.

d. Putusan Sengketa Pemilukada

Dua putusan sengeketa hasil pemilukada yang dinilai kontroversial adalah pemilukada Provinsi Jawa Timur dan Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan. Pada putusan pemilukada Jawa Timur, Mahkamah Konstitusi tidak lagi menghitung secara benar hasil suara pemilukada yang biasa digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pemilu pada tahun 2004, namun Mahkamah Konstitusi langsung melihat pada prosedur penghitungan yang dinilai terjadi kecurangan yang dilakukan secara masif dan sistimatis, sehinga diambil putusan pemungutan suara ulang untuk tiga daerah di Madura. Padahal dalam Pasal 77 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

Bunyi putusan demikian dapat dipahami karena sejalan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga demokrasi yang harus dilaksanakan dengan jujur dan adil. Artinya kecurangan dalam proses penghitungan adalah suatu tindakan tidak jujur yang wajib diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi. Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada

pemilukada Bengkulu Selatan, dimana proses penghitungan hasil pemilukada tidak ditemukan bukti adanya kecurangan, namun Mahkamah Konstitusi tetap memutuskan pemungutan suara ulang dengan syarat pasangan calon terpilih tidak boleh diikutsertakan, hanya karena ada kecacatan administratif akibat kelalaian KPU. Calon bupati terpilih terbukti melanggar Pasal 58 f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.23 Sungguhpun benar pelanggaran ini terjadi, namun hukuman yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi dengan mencabut hak dipilih sudah diluar kekuasaan Mahkamah Konstitusi. Dan yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi membebani kesalahan calon bupati terpilih kepada calon wakil terpilih dengan alasan satu pasangan. Hal ini jelas bertentangan dengan asas hukum ”Geen straf zonder schuld” (tiada hukuman tanpa kesalahan) dan asas ”nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria” (tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain).

Krisis yang berlangsung pasca putusan final ternyata tidak hanya mendera sistem ketatanegaraan di republik ini. Beberapa negara seperti Jerman dan Amerika Serikat juga pernah mengalaminya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

22 contoh Undang-Undang Lalu Lintas, Undang-Undang Yayasan dan Undang-Undang Perkawinan. 23 Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 9: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

303Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

a. Implementasi Putusan Judicial Review di Jerman

Menurut catatan, pada tahun 1995 putusan final Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman (FCC) dalam perkara Crucifix (salib) juga pernah dikecam oleh pendeta-pendeta geraja Kristen yang berkolaborasi dengan politisi dari kubu Kristen Demokrat. Helmut Kohl, yang pada waktu itu pemangku jabatan Perdana Menteri Federal Jerman, bahkan menuduh putusan final dan mengikat FCC tidak komprehensif.24

Semula di Jerman berlaku undang-undang tentang pendidikan yang intinya mengatur pengelolaan elementary schools untuk negara bagian Bavaria. Undang-undang ini mensyaratkan, Sekolah Dasar harus meletakkan tanda salib di setiap ruangan kelas. Keharusan meletakkan tanda salib ternyata dikritisi oleh filsuf kenamaan Rudolf Steiner. Ia mengatakan bahwa undang-undang tersebut tak lebih dari paksaan terselubung, yang merupakan pelanggaran hak konstitusional anak-anak. Menurut Steiner undang-undang tersebut diam-diam telah memaksa para siswa untuk meyakini agama tertentu.

Padahal, bila dicermati rumusan Pasal 4 Basic Law Republik Federal Jerman, ketentuan ini membuka peluang bagi setiap orang untuk bebas memilih meyakini suatu agama. Bahkan tiap-tiap orang boleh menganut aliran kepercayaan tertentu di luar agama formal. Hal ini bisa dilihat dari bunyi Pasal 4 Basic Law yang menyebutkan: Freedom of creed, of conscience, and freedom to profess a religious or non-religious faith are inviolable.25

Merujuk pada ketentuan ini, FCC meyakini bahwa undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pendidikan Sekolah Dasar untuk negara bagian Bavaria diyakini berten-tangan dengan Pasal 4 Basic Law. Atas dasar itulah FCC membatalkan sejumlah pasal (partial annulment) yang bermukim di balik undang-undang tersebut. Tetapi setelah memasuki tahun ajaran baru, ternyata sekolah-sekolah dasar yang ada di seluruh negara bagian Bavaria tetap saja mencantelkan tanda salib dengan patung Kristus di setiap ruangan kelas. Agar tindakan tersebut memperoleh legitimasi publik maka langkah yang ditempuh adalah melancarkan protes massal. Lebih dari 30.000 demonstran diorganisasikan oleh gereja-geraja Katolik untuk menolak putusan FCC. Di penghujung tahun 1995, diadakan kampanye untuk memperoleh tanda tangan dan berhasil mengumpulkan lebih dari 700.000 tanda tangan yang intinya menolak putusan FCC.

Pada bulan Desember di tahun yang sama, Parlemen Bavarian akhirnya menerbitkan revisi undang-undang pendidikan Sekolah Dasar. Secara substantif revisi ini didesain untuk keperluan implementasi putusan FCC. Bunyi ketentuan hasil revisi itu antara lain adalah:

”Article 7, Section 3: In light of Bavaria’s historical and cultural traditions, a cross is displayed in every classroom. This act symbolize the desire to realize the highest educational goals of the constitution on basis of Christian and occidental values while respecting religious freedom. If parent challenge the installation of the cross for genuine and acceptable reason of faith or secular belief, the school principal shall

24 Ahmad Syahrizal, ”Problem Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, Maret (2007): 110.

25 Dalam amar putusannya dikatakan: ”Article 13, Section I, Sentence 3 of the School Ordinance for Elementary Schools in Bavaria is incompatible with Article 4, Section I of the Basic Law and void.”Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 10: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

304 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

attempt a compromise solution. If it is not possible to find a solution, the principal shall notify the school authorities and the devise an individual solution that respect the religious freedom of the person who has objected and which balances the religious and secular belief of all persons in a class appropriately. In doing so, thewill of majority must be considered as much possible”.26

Jika dicermati ketentuan di atas, sebenarnya ada inkonsistensi antara putusan FCC dan undang-undang hasil revisi. Sehingga, berlandaskan pada undang-undang hasil revisi itu, tanda salib masih saja dapat dicantelkan pada dinding di setiap kelas Sekolah Dasar yang ada di negara bagian Bavaria. Kalaupun suatu ketika akan muncul keberatan dari para siswa atau orang tua mereka, berpedoman kepada regulasi baru itu, keberatan para pihak tidak serta merta dapat mengeliminasi tanda salib yang bertengger di setiap ruang kelas.

Jadi, putusan FCC yang bersifat final dan mengikat sebenarnya tidak lagi memiliki kekuatan hukum implementatif akibat Parlemen cenderung berpihak kepada gereja-gereja katolik yang menentang putusan FCC.

b. Implementasi Putusan Judicial Review di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, pada tahun 1983 Supreme Court pernah memutus perkara (INS v Chadha) yang berpaut dengan prinsip separation of power. Sejauh dapat diamati, doktrin pemisahan kekuasaan di negara ini memang dilaksanakan

secara ketat. Maka, ide Montesquiean secara eksplisit diimplementasikan ke dalam undang-undang yang mengatur kewenangan Kongres (congressional act). Masalahnya, undang-undang Kongres memberi keleluasaan kepada House of Representative untuk memveto usul rancangan legislasi (one-house legislative veto). Ketentuan semacam ini dianggap mencederai doktrin separation of power.27

Meski Kongres dapat mendelegasikan otoritas legislasi kepada cabang eksekutif, tetapi keputusan eksekutif dalam kenyataannya secara sepihak tetap saja dapat diveto oleh resolusi satu kamar dalam Kongres. Menanggapi hal ini Supreme Court dengan tegas mengatakan, doktrin separation of power inheren dalam Konstitusi Amerika Serikat (1787). Sehingga, kalau Kongres ingin meloloskan produk rancangan legislasi maka ada dua tahap yang harus dilalui. Pertama, untuk dapat menetapkan legislasi harus disetujui oleh dua kamar dalam Kongres.28 Yang kedua, presiden harus diberi kesempatan untuk menyetujui atau sebaliknya menolak (veto) rancangan produk legislasi. Itu sebabnya, otoritas legislasi yang dipusatkan kepada Kongres tidak boleh digunakan untuk mengubah keputusan eksekutif tanpa terlebih dahulu melalui dua tahap itu tadi.29

Menarik untuk membedah masalah ini karena putusan Supreme Court ternyata memunculkan reaksi Kongres yang sudah barang tentu sarat muatan politis. Di satu pihak rancangan legislasi tidak lagi diveto oleh Kongres. Dan secara

26 Lihat Ahmad Syahrizal, Op.Cit., hlm 109-110.27 Ibid.28 Persoalan ini diatur secara jelas dalam Article I Section 1 yang antara lain mengatakan: ”All legislative Power herein

granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representative”. Lihat Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787.

29 Secara lebih rinci bisa lihat analisis Harold J. Spaeth dan Jeffrey A. Segal dalam Majority Rule or Minority Will: Adherence to Precedent on the U.S Supreme Court (Cambridge: University Press, 1999), hlm. 258-259.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 11: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

305Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

umum terlihat bahwa dalam rangka meloloskan produk legislasi Kongres jarang menggunakan legislatif veto. Artinya, veto legislatif tidak lagi digunakan dan dikonversi oleh mekanisme resolusi bersama. Tetapi, kontinuitas legislatif veto adalah fakta yang tidak dapat disangkal lagi. Sebab, Kongres tetap saja menggunakan hak vetonya, tanpa syarat, meski sudah ada putusan final dan mengikat dari Supreme Court. Padahal organ ini tidak membenarkan Kongres menggunakan legislative veto sebelum dua tahap seperti dipersyaratkan dilewati.30

Uraian tersebut memperlihatkan, putusan final Supreme Court berpotensi masuk ke dalam kategori non-compliance. Bahkan, organ ini sering dihadapi oleh tuntutan para pihak yang mendalilkan bahwa putusan final dalam kenyataannya sering tidak dipatuhi. Karena itu, para pihak diberi peluang untuk mempertanyakan sikap non-compliance. Apabila demikian, Supreme Court akan segera bertindak untuk memastikan implementasi putusan final. Agaknya ini berkembang sebagai respon sehingga akan terbit perintah kepada para pihak untuk segera mematuhi putusan yang bersifat final and binding itu. Dan permohonan tersebut bisa diajukan kepada organ peradilan umum.

Suatu persoalan serius yang juga pernah muncul di Amerika Serikat adalah ketika pengurus sekolah di tingkat distrik tidak mengeliminasi mata pelajaran agama yang telah diyakini Supreme Court tidak konstitusional.

Dalam putusannya, organ ini berkesimpulan bahwa mata pelajaran agama telah mencederai prinsip kebebasan beragama. Akan tetapi, ternyata putusan tersebut tidak dipatuhi (non-compliance) oleh organ undang-undang. Akibatnya, timbul gugatan baru dari pihak yang merasa dirugikan. Petitum yang tertera dalam surat gugatan meminta agar putusan Supreme Court secara langsung harus diimplementasikan oleh sekolah-sekolah di tingkat distrik. Putusan Supreme Court yang melengkapi putusan final itu, lalu memerintahkan (injuction) kepada pengurus sekolah untuk segera menghentikan kegiatan belajar mengajar atas mata pelajaran tersebut.31 Kalau di Jerman FCC dapat menerbitkan judicial order yang mewajibkan organ undang-undang untuk mematuhi interpretasi konstitusional FCC.32

c. Implementasi Putusan Judicial Review di Rusia

Alexei Trochev seorang pengamat dan peneliti yang tajam mengatakan bahwa di Rusia, Mahkamah Konstitusi sering dihadapi dengan problem ketidakpatuhan (non-compliance). Dan sebagai akibatnya putusan final Mahkamah Konstitusi kerap menderita impotensi setelah ditolak atau tidak respon oleh otoritas federal ataupun regional. Pasca Uni Soviet bubar, realitas tersebut cenderung melahirkan pertentangan akut di antara pemerintah Moscow dan pemerintah di negaranegara bagian. Persoalan ini disebabkan karena pemerintah negara bagian

30 Ahmad Syahrizal, Op.Cit. hlm. 113. Lihat juga pandangan David M. O’Brien dalam Constitutional Law and Politics: Struggles for Power and Governmental Accountability (New York: W.W. Norton & Company, 2000), hlm. 368-369.

31 Lawrence Baun, The Implementation of United States Supreme Court Decisions, dalam Constitutional Court in Comparison; the U.S. Supreme Court and the German Federal Constitutional Court, Edited by Ralf Rogowski & Thomas Gawron (New York: Berghahn Books, 2002), hlm. 228 dalam Ahmad Syahrizal, Ibid., hlm. 112.

32 Ibid.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 12: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

306 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

selalu berupaya memperluas otonomi mereka. Dalam dimensi pertentangan itu, Mahkamah Konstitusi Rusia sering diasumsikan sebagai organ yang memiliki nilai strategis dan berjasa bagi pemerintah pusat. Fakta membuktikan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak segan-segan menolak klaim berdaulat yang diseludupkan ke dalam peraturan perundangan tingkat regional.33

Maka jelas di Rusia selalu ada resistensi entitas regional terhadap putusan final Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini secara politis mendorong Presiden Vladimir Putin (2001) mengusulkan suatu rancangan undang-undang kepada Parlemen Duma.34 Substansi dari rancangan undang-undang itu adalah tenggat waktu yang ketat bagi implementasi putusan Mahkamah Konstitusi. Yang menarik, RUU itu disetujui oleh Parlemen Rusia. Tapi, sejumlah kalangan menilai bahwa produk legislasi tersebut sarat muatan politis. Dan sebagai langkah preventif agar negara-negara bagian tidak memisahkan diri secara penuh dari Republik Federal Rusia. Yang dipertanyakan oleh mereka, undang-undang dimaksud hanya menetapkan sanksi atas pemerintah regional apabila tidak atau bahkan gagal melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan.

Sebaliknya, lembaga-lembaga negara tingkat Federal sama sekali telah dibebaskan dari sanksi ketidakpatuhan.35 Terlepas dari tindakan diskriminatif itu, peristiwa ini memperlihatkan bahwa implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Jadi, untuk mengatasi problem ini, tidak keliru kalau Putin menggagas instrumen hukum untuk mengatur implementasi putusan final.

2. Dukungan PolitikPeneliti Senior Indonesia Publik Institute,

Karyono Wibowo mengungkapkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi merosot tajam dalam waktu kurang dari satu tahun, terutama pasca penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar. Tingkat kepuasan publik merosot menjadi 25 persen. Padahal, bulan Maret 2013, tingkat kepuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia masih berada pada angka 35 persen.36 Dukungan publik makin penting ketika akhir-akhir ini putusan final kelihatannya jauh dari harapan konstitusionalitas yang didambakan oleh masyarakat luas.

Hal ini mengakibatkan berkembang wacana–khususnya dari kalangan anggota DPR agar kewenangan Mahkamah Konstitusi

33 Alexei Trochev, Implementating Russian Constitutional Court Decision (East European Constitutional Review II, 2002), hlm. 101 dalam Ahmad Syahrizal, Ibid.

34 Ahmad Syahrizal, Ibid, hlm. 113.35 Ibid.36 http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/16/kepercayaan-publik-terhadap-MahkamahKonstitusi-merosot,

diakses pada 17 November 2013. Lihat juga hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan bahwa hanya 28 persen masyarakat Indonesia yang masih percaya Mahkamah Konstitusi. Sementara mayoritas publik, 66,5 persen, tidak percaya pada lembaga tersebut. Padahal pada survei Oktober 2010, kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebesar 63,7 persen. Tahun berikutnya, 61,5 persen masyarakat masih percaya dengan kredibilitas institusi ini. Bahkan, survei yang dilakukan LSI pada Maret 2013 menunjukkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi mencapai 65,5 persen, http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=194586 Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 13: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

307Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

secara signifikan dibatasi. Ada anggota DPR yang mengusulkan kadar konstitusionalitas undang-undang yang telah disepakati secara aklamasi tidak boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Terlepas dari apakah undang-undang tersebut sesuai atau tidak dengan UUD NRI 1945. Pendapat semacam ini adalah bentuk kekhawatiran bahwa seolah-olah penegakan hukum tidak selaras dengan demokrasi. Pandangan yang melihat bahwa terdapat dilema antara demokratisasi dan penegakan hukum adalah sebagai akibat penyimpangan persepsi atas ”demokrasi” dan ”penegakan hukum” yang disebabkan oleh kuatnya warisan rezim sebelumnya. Terlebih lagi terdapat ketidaksabaran dari masyarakat untuk melihat hasil dari reformasi secara instan.

Perlu dipahami bahwa hingga saat ini Indonesia masih belum bergerak dari fase transisi. Pada fase transisi dari sebuah rejim otoritarian menuju sebuah rejim yang lebih demokratis di mana-mana tidak pernah mudah. Terdapat beberapa alasan yang sering kali disebut untuk menjelaskan ikwal itu.37 Pertama, ketika berkuasa rejim otoritarian secara sistemik membangun sebuah sistem politik yang di satu pihak mengukuhkan sebuah sistem kekuasaan yang amat terpusat dan di pihak lain mengeliminasikan kontrol yang berasal dari luar sistem. Bahkan, dalam beberapa hal terdapat kecenderungan sistem politik yang demikian itu juga menghasilkan institusi-institusi sosial, ekonomi dan budaya yang melayani kebutuhan akan terpeliharanya dominasi kekuasaan sebuah

rejim otoritarian. Karena itu, semakin lama sebuah rejim otoritarian berkuasa, semakin kompleks dan canggih nexus kekuasaan yang berhasil dibangunnya. Akibatnya, rejim transisi kerap harus berhadapan dengan berbagai paradoks yang tidak mudah didamaikan. Misalnya, sementara terdapat kebutuhan yang mendesak untuk secara cepat memulihkan ketertiban umum dengan upaya-upaya penegakan hukum, seluruh institusi hukum dan peradilan yang merupakan warisan rejim sebelumnya tidak lebih dari sekedar birokrasi negara yang tidak saja amat korup namun juga mewarisi sebuah sistem hukum yang lebih melayani kekuasaan daripada keadilan.

Kedua, walaupun terutama pada awalnya rejim otoritarian cenderung menekankan pada penggunaan kekerasan untuk melumpuhkan oposisi, dalam perkembangannya rejim semacam ini juga menggunakan dasar-dasar moral dan intelektual untuk memenangkan dukungan publik yang lebih luas. Jadi, tidak hanya dominasi tetapi juga hegemoni. Apabila dominasi membuat individu patuh karena takut pada risiko akan berbagai bentuk represi yang dilakukan oleh aparatus negara (baik yang amat subtle seperti penahanan yang dicari-cari alasannya maupun yang amat kasar seperti penculikan), hegemoni membuat individu patuh karena kepercayaannya bahwa gagasan yang ditawarkan rejim itu (termasuk di antaranya adalah berbagai cara untuk mencapai tujuan kolektif) sebagai masuk akal. Melalui hegemoni lah dukungan moral dan intelektual

37 Daniel Sparringa, ”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian dan Penyelematan Masa Depan di Indonesia” (makalah dalam Seminar dan Lokakarya ”Pembangunan Hukum Nasional VIII” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, Bali, 14-18 Juli 2003).Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 14: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

308 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

terhadap rejim otoritarian digalang. Akibatnya, rejim transisi sering harus berjuang untuk mengubah orientasi, paradigma dan berbagai bentuk kepercayaan tentang, misalnya, bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola, bagaimana individu seharusnya memposisikan dirinya terhadap kekuasaan. Berbagai gagasan tentang demokrasi dan peran partisipatoris individual tidak selalu mudah dibangkitkan karena hidupnya kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan, sekurang-kurangnya, menghambat, ikhwal itu.

Ketiga, rejim otoritarian memelihara kekuasaannya dengan menciptakan hubungan yang tak setara dan amat hierarkhis di antara negara (state) dan masyarakat (civil society). Sementara rejim otoritarian berusaha menempatkan negara dalam posisinya sebagai sumber ”kebenaran dan pencerahan”, berbagai infrastruktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terdapat dalam masyarakat secara sitematik diperlemah, bahkan dalam berbagai keadaan dihancurkan untuk memperkecil potensi tumbuhnya kekuatan-kekuatan otonom alternatif. Akibatnya sangat jelas walaupun ganjil: menyusul jatuhnya rejim otoritarian, terdapat sejumlah perkara yang rumit untuk menghadirkan kualitas yang diperlukan bagi sebuah transisi damai. Perasaan-perasaan teralienasi terhadap perubahan dan struktur yang memfasilitasi perubahan sebagai akibat langkanya infrastruktur yang memadai itu pada kenyataannya hanya menghasilkan sikap dan perilaku yang tak produktif bagi sebuah perubahan yang konstruktif.

Keempat, rejim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktu yang sering bertolak belakang dalam gagasan dasarnya: masa depan yang lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan. Sementara terdapat kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan yang diperlukan bagi hadirnya sebuah pengelolalan kekuasaan yang demokratis, terdapat desakan untuk menemukan cara tentang bagaimana warisan rejim otoritarian itu hendak diselesaikan.

Meski demikian harus diakui terdapat relasi yang sangat kuat antara dukungan publik, kekuasaan politik dan penegakan hukum. Artinya, dukungan publik adalah sumber kekuasaan. Relasi inilah yang sebenarnya akan membentuk mekanisme enforcement atas putusan final Mahkamah Konstitusi. Jika masyarakat menilai independensi peradilan dan menghormati putusan final adalah persoalan terpenting maka keputusan politisi yang dipilih untuk menolak putusan final Mahkamah Konstitusi akan berimplikasi pada hilangnya dukungan publik atas politisi. Georg Vanberg dengan terang mengatakan, ”The fear of such public backlash can be forceful inducement to implement judicial decision faithfully.”38

Mengingat pentingnya dukungan politik maka ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan.39 Pertama, Mahkamah Konstitusi seyogyanya memberlakukan dikotomi putusan secara konsisten. Tidak semua ketentuan dari UU yang dinilai tidak selaras dengan UUD NRI 1945 harus dibatalkan. Organ ini dengan arif dan bijaksana sebaiknya mengakui bahwa persoalan

38 Georg Vanberg, The Politics of Constitutional Review in Germany (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 20 dalam Ahmad Syahrizal, Op.Cit., hlm. 121.

39 Ibid hlm. 121-122.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 15: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

309Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

tertentu lebih tepat jika diselesaikan lewat organ undang-undang. Meski sudah pernah dilakukan, tetapi hanya terbatas pada undang-undang yang tingkat sensitivitasnya tidak begitu tinggi. Patut disadari bahwa pembatalan total (total annulment) dapat mengundang kecaman serius terutama dari parlemen dan pemerintah. Sehingga, di negara-negara yang mengadopsi sistem constitutional review, tipe putusan seperti ini hanya diterapkan limitatif pada rancangan undang-undang yang diyakini bertentangan secara absolut dengan konstitusi. Pengujian seperti ini menimbulkan efek pembatalan total terhadap seluruh ketentuan undang-undang. Inilah yang disebut abstract review. Subjek daripada pengujian itu terbatas pada lembaga-lembaga negara dan politisi parlemen. Tipologi pengujian tersebut lazim diselenggarakan sebelum undang-undang berlaku efektif. Sedangkan, permohonan yang diajukan oleh perorangan terhadap pasal dan ayat tertentu masuk kategori concrete review. Akibat dari pembatalan concrete review, juga bersifat tertentu hanya terhadap ketentuan-ketentuan yang dimohonkan. Jadi, Concrete review tidak menimbulkan efek pembatalan yang bersifat total (total annulment) seperti yang selama ini dipraktikkan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, untuk memperoleh dukungan publik yang memadai maka setiap ketentuan yang diyakini bertentangan dengan arus utama konstitusi harus diamputasi demi tegaknya negara hukum yang demokratis. Ketiga, agar memperoleh dukungan publik yang proporsional, faktor transparansi dan akuntabilitas tidak boleh dilepaskan dari upaya monitoring eksternal perilaku hakim (konstitusi). Kondisi inilah (dukungan publik, akuntablitas dan transparansi) yang membuat

kewenangan besar Mahkamah Konstitusi relatif berjalan baik.

Dengan demikian mayoritas legislatif yang menentang putusan final dapat dicegah jika Mahkamah Konstitusi memperoleh dukungan publik yang luas. Tentu saja efektivitas dukungan publik akan mempengaruhi kinerja Mahkamah Konstitusi ketika masyarakat sangat menyadari langkah-langkah politis untuk menolak putusan final tengah berlangsung. Kepastian ini hanya bisa diperoleh apabila putusan final itu lahir dari ruang transparansi dan akuntabilitas konkrit yang diimplementasikan organ tersebut. Apabila ukuran-ukuran transparansi dan akuntabilitas kinerja hakim tidak dikaitkan secara langsung dengan proses pengujian dan pengukuhan putusan final Mahkamah Konstitusi, niscayalah upaya akumulasi maksimal dukungan publik untuk mengakselerasi putusan final akan sulit dicapai.

Dalam realitas empiris terlihat bahwa di negara-negara industrial yang demokratis, peradilan (konstitusi) memperoleh dukungan publik yang cukup signifikan. Karena itu, mayoritas parlemen relatif tidak menolak putusan final secara eksplisit dan terbuka, kecuali mereka meyakini bahwa peradilan (konstitusi) hanya memperoleh dukungan yang tidak begitu besar. Dukungan publik yang sangat minimal inilah yang menjadi faktor utama mengapa putusan final sering ditolak oleh politisi yang bermukim dibalik institusi-institusi mayoritas. Maka sebenarnya masalah kita sekarang ialah problem implementasi putusan final yang tidak mengikat.

Problem ini kian meluas setelah Mahkamah Konstitusi dianggap unconstrained institutions sekaligus institusi yang sangat powerfull sehingga relatif dapat menggoyahkan kekuatan Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 16: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

310 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

mayoritas di DPR. Itu sebabnya, perlu ada tindakan kolaboratif lintas lembaga negara yang serius dan intensif dalam rangka implementasi putusan final. Kekuasaan formal saja tidak akan membantu putusan bekerja efektif apabila organ konstitusi mengabaikan kesepakatan kolektif yang terkoordinasi dengan baik antarlembaga negara dalam rangka implementasi putusan final Mahkamah Konstitusi. Penyebabnya adalah bahwa putusan final belum tentu dianggap mengikat oleh institusi-institusi di luar Mahkamah Konstitusi RI. Pendapat majelis hakim tipikor yang mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi adalah contoh paling nyata dari impotensi putusan final yang tidak mengikat itu.

Tampaknya kita harus belajar dari pengalaman-pengalaman ini. Karena itu, sikap yang menutup kemungkinan putusan Mahkamah Konstitusi dikritisi harus segera diakhiri. Sebagai institusi penjaga kontinuitas nilai-nilai demokrasi, Mahkamah Konstitusi tidak boleh melarang aktor negara dan nonnegara mempertanyakan putusan final yang dianggap kontroversial. Perlu diingat kembali bahwa terdapat tiga unsur yang harus selalu diperhatikan dalam melaksanakan suatu produk hukum, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweck-massigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)40. Ketiga unsur di atas harus mendapat perhatian secara seimbang. Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan

kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya. Dan, nampaknya dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut sehingga menjadikannya implementatif. Mahkamah Konstitusi harus menyadari bahwa putusan final potensial tidak implementatif jika tanpa koordinasi intensif antarlembaga negara.

Dalam kaitan ini undang-undang yang mengatur implementasi putusan final seperti yang berlaku di Rusia, perlu dipertimbangkan untuk diadopsi. Hanya saja persoalan ini bukan pekerjaan mudah untuk segera diwujudkan di tengah putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Mengingat produk legislasi semacam itu cenderung memperkuat putusan final Mahkamah Konstitusi. Apalagi dewasa ini organ tersebut sedang mendapat soroton dari masyarakat luas karena operasi kewenangannya yang kurang diapresiasi positif sehingga wacana undang-undang implementasi putusan final boleh jadi dianggap kontra-produktif bagi transparansi dan akuntabilitas kinerja hakim konstitusi. Hal ini mengingatkan apa yang dikatakan oleh Robert Dahl:41 ”the Court is almost powerless to affect the course of national policy. This is because the Court’s rulings are not self-executing. Enforcment and implementation require the cooperation and coordination of all branches of government.”

40 Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra Adtya Bakti, 1993), hlm. 1

41 David M. O’Brien, Constitutional Law and Politics: Struggles for Power and Governmental Accountability (New York: W.W. Norton and Company, 2000), hlm. 182. Robert Dahl, ”Decision-Making in a Democracy: The Supreme Court as National Policy-Maker.” Journal Public Law, hlm. 95.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 17: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

311Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Berbagai gagasan yang ditawarkan di atas perlu dibangun dalam sebuah kesadaran politik hukum nasional. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, ditujukan untuk mencapai tujuan negara, dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat, dan membangun keadilan sosial, serta melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) serta menciptakan toleransi berdasar keadaban dan kemanusiaan.42

E. Penutup

1. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial. Beberapa diantaranya bahkan masih terdapat perdebatan teoritis, seperti Ultra Petita, conditionaly unconstitutionly, Pembatalan UU dengan Tenggat Waktu, Putusan Sengketa Pemilukada. Meski Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu alasan pembentukan undang-undang yang dilakukan diluar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi harus ditindak lanjuti dengan pembentukan undang-undang (legislative

review). Terdapat beberapa hambatan dan tantangan implementasi putusan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain adalah: Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak selamanya secara cepat ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah. Bahkan, sebelum undang-undang baru terbentuk, Pemerintah mengeluarkan peraturan yang masih diwarnai oleh undang-undang atau pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Pemerintah. Putusan yang kontroversial turut mempengaruhi tindak lanjuntnya oleh Pemerintah dan DPR, karena pada dasarnya DPR dan Pemerintah adalah pihak yang dikalahkan atau yang mempertahankan undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Meski secara teoritis, jika putusan Mahkamah Konstitusi diabaikan akan menimbulkan konsekuensi bahwa produk hukum pemerintah dan DPR adalah ilegal; Kedua, Mahkamah Konstitusi sebagai cabang yudikatif (judiciary power) hanya berwenang memutus perkara. Karena itu, berarti bahwa untuk dapat mengeksekusi putusannya, peradilan harus dibantu oleh cabang eksekutif atau legislatif. Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengawal implementasi putusannya. Oleh karena itu implementasi putusan Mahkamah Konstitusi sangat tergantung pada eksekutif maupun legislatif. Sangat sulit bagi Mahkamah Konstitusi untuk memastikan bahwa putusannya ditindaklanjuti.

Dukungan politik sangat diperlukan agar Mahkamah Konstitusi dapat mengim ple men-tasikan putusannya dengan lebih mudah. Dukungan ini semakin penting di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap

42 Mahfud MD, ”Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional” (makalah dalam Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, 2006). Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 18: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

312 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 295-313

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Mahkamah Konstitusi. Meski demikian, du-kungan politik tersebut tidaklah dipersepsikan sebagai bentuk kekalahan hukum oleh demokrasi seolah-olah penegakan hukum tidak selaras dengan demokrasi. Pandangan yang melihat bahwa terdapat dilema antara demokratisasi dan penegakan hukum adalah sebagai akibat penyimpangan persepsi atas ”demokrasi” dan ”penegakan hukum” yang disebabkan oleh kuatnya warisan rezim sebelumnya. Terlebih lagi terdapat ketidaksabaran dari masyarakat untuk melihat hasil dari reformasi secara instan.

2. Saran

Dari uraian di atas juga dapat disarankan agar: pertama, pada tahap pasca putusan final, Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas tindakan legislatif dan eksekutif sekaligus diberi peluang untuk mengawasi implementasi putusannya. Pengawasan ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Kedua, Mahkamah Konstitusi tetap perlu menjalin koordinasi sinergis antar lembaga yang produknya dinyatakan tidak sah melalui mekanisme judicial review. Tanpa kerjasama dan semangat menegakkan konstitusi itu, niscayalah putusan final dan mengikat akan menjadi tidak implementatif. Hal ini karena implementasi adalah fungsi yang memerlukan tindakan kolaboratif dan koordinatif sehingga proses pengejewantahan kaidah-kaidah konstitusi dalam kehidupan nyata tidak bisa diwujudkan tanpa ada tindakan dan kesepakatan kolektif dari institusi-institusi dan aktor negara. Ketiga, agar memperoleh dukungan publik maka Mahkamah Konstitusi perlu terus mendorong transparansi dan akuntabilitasnya, termasuk juga mendorong pengawasan internal dan eksternal perilaku hakim konstitusi. Selain

itu Mahkamah Konstitusi perlu semakin memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Hal ini penting untuk menghindari putusan final yang jauh dari harapan konstitusionalitas yang didambakan oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

BukuBaun, Lawrence, The Implementation of United States

Supreme Court Decisions, dalam Constitutional Court in Comparison; the U.S. Supreme Court and the German Federal Constitutional Court, Edited by Ralf Rogowski & Thomas Gawron (New York: Berghahn Books, 2002).

Fallon, Richard H., JR. Implementing The Constitution (Cambridge: Harvard University Press, 2001).

Heffner, Richard D., Alexis de Tocqueville, Democracy in America, Specially Edited and Abridge for the Modern Reader (New York: A Mentor Book Published by The New American Library, 1956).

Mertokusumo, Sudikno, dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Citra Adtya Bakti, 1993)

O’Brien. David M., Constitutional Law and Politics: Struggles for Power and Governmental Accountability, (New York: W.W. Norton and Company, 2000).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979).

Spaeth. Harold J. dan Jeffrey A. Segal dalam Majority Rule or Minority Will: Adherence to Precedent on the U.S Supreme Court, (Cambridge: University Press, 1999).

Sparringa, Daniel, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian dan Penyelematan Masa Depan di Indonesia, dalam Seminar dan Lokakarya ”Pembangunan Hukum Nasional VIII” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, Bali, 14-18 Juli 2003.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 19: ART 1 JURNAL VOLUME 2 NO 3_PROTEKSI.pdf

313Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (Wicipto Setiadi)

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Vanberg. Georg, The Politics of Constitutional Review in Germany, (New York: Cambridge University Press, 2005).

William J. Quirk & R. Randall Bridwell, Judicial Dictatorship (New Jersey: Transaction Publishers, 1995).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian MD., Mahfud, Politik Hukum Menuju Pembangunan

Sistem Hukum Nasional, Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, 2006.

Rahardjo, Satjipto, ”Kepastian Hukum dan Kekuatan Bangsa”, Kompas, Rabu, 18 Januari 2006.

Samsul, Inosentius, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009).

Syahrizal, Ahmad, Problem Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, Maret 2007.

Trochev. Alexei, Implementating Russian Constitutional Court Decision (East European Constitutional Review II, 2002).

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN